basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Nubuwah Perguliran Peradaban  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- "Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. ...

Nubuwah Perguliran Peradaban 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

"Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Setelah itu akan ada kekhilafahan di atas manhaj kenabian, lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Kemudian akan datang masa kerajaan menggigit (mulkan ‘aḍdan), lalu Allah mengangkatnya bila Dia menghendaki. Lalu datang masa kerajaan diktator (mulkan jabriyyan), kemudian Allah angkat bila Dia menghendaki. Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."

(HR. Ahmad)


---

Dalam sunyi malam dan renung sejarah, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan peta besar peradaban umat ini. Bukan sekadar nubuwah, melainkan peta spiritual tentang pergiliran zaman. Sebuah siklus yang bukan hanya menandai naik turunnya kekuasaan, tetapi juga mengukur kualitas ruhani umat.

Dari kenabian menuju kekhalifahan, dari kekhalifahan menuju kerajaan, dari kerajaan ke otoritarianisme, lalu kembali lagi pada khilafah yang bersandar pada manhaj kenabian. Ini bukan sekadar urutan waktu, ini adalah pusaran peradaban.

Awal yang Agung: Khilafah Rasyidah

Masa setelah wafatnya Nabi ﷺ️ menyisakan pertanyaan terbesar: siapa yang akan melanjutkan tongkat estafet kenabian? Meski tak menunjuk secara eksplisit dalam bentuk teks pewarisan, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan simbol dalam tindakan. Dalam pembangunan Masjid Nabawi, beliau meminta Abu Bakar, Umar, dan Utsman masing-masing meletakkan batu di sisinya. Sebuah penataan yang tidak hanya bersifat arsitektural, tapi isyarat kenabian.

Dan sejarah pun menjawabnya: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali tampil sebagai empat mata rantai pertama dari kekhilafahan di atas manhaj kenabian. Mereka memimpin bukan hanya dengan kekuasaan, tetapi dengan jiwa kenabian yang diwariskan.

Bergulir ke Dinasti: Kerajaan Menggigit

Namun kekuasaan adalah amanah yang berat. Ia melelahkan, dan sejarah menunjukkan bahwa idealisme awal umat mulai bergeser. Setelah Hasan bin Ali — sang pemersatu dua kelompok besar umat — menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, babak baru dimulai.

> “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin (sayyid), dan semoga Allah memperbaiki dengan sebab dia antara dua kelompok besar dari kaum Muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 2704)



Muawiyah memulai era baru yang dikenal sebagai mulk ‘aḍdan, kerajaan menggigit. Kekuasaan mulai diwariskan secara turun-temurun. Meski tetap dalam bingkai Islam, coraknya berbeda. Politik mulai mengambil bentuk dinasti. Bani Umayyah berkuasa. Kemudian datang Bani Abbas.

Isyarat Kenabian: Umayyah dan Abbasiyah

Rasulullah ﷺ️ telah memberikan isyarat:

> "Jika kekuasaan keturunan Muawiyah hanya sehari, maka kekuasaan keturunan Abbas akan dua kali lipat dari itu." (HR. Thabrani dan lainnya)



Ini bukan soal durasi waktu, tetapi soal skala dan pengaruh. Dan itu terbukti: Umayyah memerintah dari Damaskus, meluas sampai Andalusia. Abbasiyah tampil sebagai pusat intelektual dunia dari Baghdad.

Namun tetap, keduanya berada dalam siklus kerajaan menggigit: mewariskan, mempertahankan, terkadang dengan tangan besi.

Turki Utsmani: Penerus Tanpa Teks

Setelah Baghdad hancur, khilafah nyaris padam. Tapi takdir Allah membalikkan keadaan. Bangsa yang dulu dikenal sebagai pelindung Abbasiyah, yakni bangsa Turki, tampil menjadi pemimpin dunia Islam.

Turki Utsmani bukan hanya meneruskan kekuasaan, tetapi menunaikan nubuwah:

> “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad dan Hakim)



Muhammad Al-Fatih bukan hanya penakluk kota, tetapi penjaga nubuwah. Dan Utsmani berdiri sebagai puncak terakhir sebelum fase mulk jabriyyan mengambil alih.

Mulk Jabriyyan: Era Diktator dan Kegelapan

Zaman modern menyaksikan fase ini. Kekuasaan berpindah ke tangan-tangan besi. Sekularisme, kolonialisme, nasionalisme sempit, dan pemujaan pada militer menjadi wajah dominan dunia Islam. Khilafah dihapus secara resmi tahun 1924. Umat tercerai-berai menjadi negara-negara kecil yang terkungkung batas-batas buatan.

Di sinilah fase mulk jabriyyan mencapai puncaknya. Dan justru dalam kegelapan seperti ini, nubuwah bersinar lagi:

> "Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."



Nubuwah Persia dan Romawi: Keruntuhan Kekuasaan Dunia

Rasulullah ﷺ️ telah menubuatkan:

> "Kalian akan memerangi Jazirah Arab hingga Allah menangkan kalian, lalu Persia hingga Allah menangkan kalian, lalu Romawi (Rum) hingga Allah menangkan kalian, setelah itu Dajjal hingga Allah menangkan kalian." (HR. Muslim 5161)



Dan benar adanya.

> “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya. Dan jika Qaisar binasa, maka tidak ada Qaisar setelahnya...” (HR. Bukhari dan Muslim)



Imam Nawawi menegaskan bahwa maksudnya adalah, sistem imperium mereka tidak akan kembali. Mereka akan lenyap sebagai kekuatan hegemonik.

Ibnu Hajar menyatakan, ini adalah nubuwah yang telah nyata: Persia runtuh di masa Umar. Romawi Timur kehilangan jantungnya saat Konstantinopel ditaklukkan.

Roma sendiri masih menanti.

Menuju Roma: Nubuwah yang Belum Tuntas

Rasulullah ﷺ️ menyebut dua kota: Konstantinopel dan Roma. Yang pertama sudah ditaklukkan. Yang kedua, masih dalam janji.

Imam As-Suyuthi dalam al-Kashf ‘an Mujawazah Hadzihil Ummah al-Alf menyebut:

> "Roma akan ditaklukkan setelah Konstantinopel. Jika belum terjadi, maka itu tanda janji Allah belum tuntas, dan akan terjadi menjelang akhir zaman."



Ibn Katsir dalam An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim juga menyatakan:

> "Penaklukan Roma adalah bagian dari kemenangan akhir zaman, beriringan dengan bangkitnya Islam sebagai kekuatan dunia."



Renungan Akhir: Apa Peran Kita?

Perguliran kekuasaan bukan sekadar narasi sejarah. Ia adalah undangan kontemplatif: di fase manakah kita hidup sekarang? Dan di mana posisi kita dalam nubuwah itu?

Hari ini, dunia Islam tak lagi bersatu di bawah satu payung. Namun janji Rasulullah ﷺ️ bukan isapan jempol. Ia pasti terjadi. Akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian.

Bukan untuk memaksakan mimpi sejarah, tetapi untuk membangkitkan jiwa. Untuk mempersiapkan hati. Agar saat fajar itu menyingsing, kita termasuk yang menyalakan pelita.

Bukan sebagai pengamat sejarah. Tetapi sebagai bagian darinya.


---

"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka ahli waris (bumi)." (QS. Al-Qashash: 5)

Bertindak dengan Efektivitas Tinggi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada saatnya kemenangan besar justru muncul dari tindakan kecil. B...

Bertindak dengan Efektivitas Tinggi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ada saatnya kemenangan besar justru muncul dari tindakan kecil. Bukan dari kekuatan yang meledak-ledak, tapi dari langkah yang tepat sasaran. Inilah seni strategi ilahiah: memukul di tempat yang benar, meski dengan tenaga terbatas.

Allah menunjukkan kepada manusia, dari zaman Nabi Nuh hingga Khalid bin Walid, bahwa kemenangan tidak diukur dari seberapa banyak kita bergerak, tapi dari seberapa jitu kita melangkah.


---

Kapal di Tengah Banjir Besar

Mari kita mulai dari kisah Nuh 'alaihis salam. Saat dunia dilanda banjir besar, perintah Allah kepada beliau tidaklah rumit:

> "Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan wahyu dari Kami..."
(QS. Hud: 37)



Hanya sebuah kapal. Satu benda, satu alat. Tapi ia menjadi garis pemisah antara keselamatan dan kebinasaan. Allah tidak meminta Nabi Nuh menahan banjir, atau memindahkan gunung, hanya: bangunlah kapal. Titik.

Efektivitas tinggi. Minimum upaya, maksimum hasil. Itulah pola kemenangan para nabi.


---

Sasaran Jelas dalam Perang

Dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan tentang strategi yang sangat spesifik:

> "Pukullah bagian leher mereka dan potonglah tiap-tiap ujung jari mereka."
(QS. Al-Anfal: 12)



Leher: pusat kehidupan. Jari: pusat kontrol dan mobilisasi kekuatan. Bukan tubuh secara keseluruhan yang disasar, tapi titik-titik vital. Ini bukan sekadar perintah perang, tapi pelajaran strategi: pukul titik pusat, bukan seluruh permukaan.


---

 Parit yang Menghentikan Ribuan Pasukan

Dalam Perang Ahzab, Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak membuat benteng besar atau menyiapkan pasukan tambahan. Cukup menggali parit—sebuah strategi yang belum dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya.

Salman Al-Farisi yang mengusulkan ide ini, dan Rasulullah ﷺ langsung menerimanya. Parit itulah yang menjadi tameng tak terlihat:

> "Ketika pasukan Quraisy datang dan melihat parit itu, mereka terkejut dan berkata: 'Ini adalah tipu daya yang tidak pernah dikenal bangsa Arab sebelumnya.'"
(Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir)



> "Kuda-kuda mereka tidak sanggup melompatinya. Mereka kebingungan."
(Sirah Ibnu Hisyam)



Efeknya sangat besar: pasukan koalisi yang kuat dan bersatu menjadi stagnan, frustasi, dan akhirnya bubar karena kelelahan dan terpaan badai. Parit itu bukan hanya penghalang fisik, tapi juga pemutus psikologis.

Allah pun berfirman:

> "Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika datang pasukan-pasukan (Ahzab) kepadamu, lalu Kami kirim kepada mereka angin dan pasukan-pasukan yang tidak terlihat olehmu..."
(QS. Al-Ahzab: 9)




---

Strategi Ilusi di Perang Mu’tah

Perang Mu’tah adalah saksi bagaimana 3.000 pasukan Muslim menghadapi lebih dari 100.000 pasukan Romawi. Bukan kemenangan total secara fisik, tapi kemenangan strategi dan kelangsungan dakwah.

Setelah tiga panglima utama syahid, panji dipegang oleh Khalid bin Walid. Beliau tidak menerjang membabi buta, tapi merancang strategi cerdik:

1. Reorganisasi formasi: barisan depan ditukar dengan belakang, sayap kanan menjadi kiri, dan sebaliknya.


2. Debu ditabur: pasukan berjalan membentuk debu besar agar musuh mengira bala bantuan dari Madinah telah datang.


3. Mundur teratur: bukan lari panik, tapi penarikan pasukan yang sistematis.



Ibnu Katsir menulis:

> "Allah menyelamatkan pasukan Muslim melalui tangan Khalid bin al-Walid."
(Al-Bidayah wan-Nihayah)



Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan:

> "Khalid menyusun siasat mundur taktis yang membuat musuh merasa dikepung kekuatan baru. Padahal itu hanya pergantian posisi dan formasi."



Ilusi menjadi strategi, strategi menjadi penyelamat.


---
 Menundukkan Gajah, Bukan Menumbangkannya

Di medan perang melawan Persia, gajah-gajah besar menjadi senjata intimidasi. Tapi pasukan Muslim tak menanggapi dengan kepanikan. Mereka tidak sibuk menumbangkan tubuh besar itu satu-satu. Mereka fokus ke titik lemahnya: mata.

Begitu gajah buta, ia kehilangan arah. Dan saat gajah panik, seluruh formasi musuh menjadi kacau.


---

Efektivitas Itu Tajam, Bukan Ramai

Semua kisah ini menyiratkan satu pesan: jangan remehkan langkah kecil yang terarah. Dalam strategi Allah, yang kecil bisa mengalahkan yang besar, asal tepat.

Efektivitas bukan tentang kuantitas, tapi tentang presisi. Bukan tentang jumlah pasukan, tapi ketepatan langkah. Bukan tentang banyaknya senjata, tapi tentang arah pukulan.

Rasulullah ﷺ tidak pernah berpikir linear. Beliau tidak sibuk mengumpulkan jumlah terbanyak, tapi menata kekuatan terbaik. Tidak asal bergerak, tapi membaca celah dan mengatur nafas.


---

Kemenangan adalah Ilmu dan Keikhlasan

Lihatlah: Nabi Nuh dengan kapal. Rasulullah ﷺ dengan parit. Khalid bin Walid dengan formasi. Pasukan Muslim dengan panah ke mata gajah. Semua bukan tentang kekuatan raksasa, tapi kejelian menangkap titik penting.

Allah mengajarkan kita bahwa kemenangan bukan hasil dari ledakan energi, tapi dari ketundukan pada hikmah dan ilmu-Nya.

> "Sesungguhnya kemenangan itu hanya datang dari sisi Allah."
(QS. Al-Anfal: 10)



Jadi, ketika engkau merasa kecil, tidak berdaya, dan tak punya banyak sumber daya, jangan takut. Cukup temukan titik lemah musuhmu. Lalu pukul di sana—dengan iman, dengan ilmu, dan dengan doa.

Itulah kemenangan sejati: sedikit bergerak, besar hasilnya.

Pertolongan Allah Itu Tak Terasa Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Kadang kita membayangkan pertolongan Allah itu datang dalam bent...

Pertolongan Allah Itu Tak Terasa
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Kadang kita membayangkan pertolongan Allah itu datang dalam bentuk luar biasa: mukjizat langit, ledakan kekuatan, atau hancurnya musuh dalam sekejap. Tapi sejarah, dan lebih dalam lagi: wahyu, justru mengajarkan sebaliknya. Bahwa pertolongan Allah sering kali tidak terasa. Ia hadir dengan cara yang lembut, tenang, kadang tampak biasa. Tapi di situlah kemenangannya tersembunyi.

> "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)."
(QS. Ath-Thalaq: 2–3)



Takdir kemenangan pertama kaum Muslimin di Perang Badar memperlihatkan itu dengan sangat jelas. Langit tidak menurunkan petir api untuk membakar musuh. Tidak juga menurunkan gempa untuk merobohkan kemah Quraisy. Tapi yang turun... adalah hujan. Hujan malam sebelum perang. Hujan biasa, tapi bermakna luar biasa.

Hujan itu membersihkan tubuh para pejuang yang kelelahan, menyegarkan fisik yang akan bertempur. Lebih dari itu, ia menjadi air penyucian batin. Menghilangkan was-was setan. Membasuh keraguan. Membangunkan semangat.

> “Dan Allah menurunkan hujan kepadamu dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu, dan menghilangkan gangguan syaitan dari kamu, dan untuk menguatkan hatimu serta meneguhkan dengannya telapak kaki (mu).”
(QS. Al-Anfal: 11)



Namun, perhatikan lebih dalam: hujan itu tidak turun merata. Di sisi kaum Muslimin, ia turun lembut. Tanah menjadi padat, nyaman untuk pijakan. Di sisi musyrikin Quraisy, hujan lebih deras. Tanah becek dan licin. Bukankah ini cara langit mengintervensi geospasial dengan penuh kelembutan?

Lihat pula strategi posisi. Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat telah lebih dulu tiba di sumur Badar. Mereka menguasai sumber air. Rasulullah menempatkan markas di dataran yang lebih tinggi. Sementara Quraisy datang dari arah berpasir yang rendah. Tanah mereka becek oleh hujan. Gerakan mereka berat.

Semua tampak biasa. Tapi bukankah di balik semua itu ada tangan langit yang mengatur?

Bahkan pandangan pun dijaga oleh Allah. Allah memperlihatkan jumlah musuh sebagai sedikit di mata kaum Muslimin, agar mereka tidak gentar. Allah juga membuat pasukan musuh melihat kaum Muslimin seakan banyak dan kuat. Bahkan muncul pasukan misterius berkuda berbaju putih dari sisi langit. Malaikat?

> “Ingatlah ketika Allah memperlihatkan mereka (musuh-musuhmu) kepadamu dalam mimpimu (sebagai) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepadamu (dalam jumlah) banyak, niscaya kamu akan menjadi gentar dan kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu. Tetapi Allah telah menyelamatkan kamu.”
(QS. Al-Anfal: 43)



> “Dan (ingatlah) ketika Allah menampakkan mereka kepadamu ketika kamu berjumpa mereka (di medan perang), sebagai jumlah yang sedikit di matamu, dan kamu pun dijadikan sedikit dalam pandangan mereka, agar Allah melaksanakan suatu urusan yang sudah ditetapkan.”
(QS. Al-Anfal: 44)



Pertolongan itu pun turun lewat kantuk.

> “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu ketenteraman dari-Nya...”
(QS. Al-Anfal: 11)



Bayangkan, menjelang perang hidup dan mati, Allah justru membuat mereka tertidur sejenak. Tapi bukan tidur karena lelah. Ini adalah ‘na’as’—kantuk ilahiah. Penyegaran batin. Penyeimbang emosi. Penenang jiwa. Pertolongan langit yang tak terlihat, tapi terasa di dalam hati.


---

Kita pun menyaksikan pola yang sama dalam sejarah tanah air.

Saat Jenderal Sudirman memimpin gerilya dan dikepung Belanda, hujan deras turun. Petir menggelegar. Tentara Belanda kehilangan arah. Sudirman lolos. Atau saat markas Letkol Soeharto hendak disergap musuh, tiba-tiba listrik padam. Gelap total. Belanda kehilangan sasaran. Mereka membatalkan penyergapan.

Itu bukan kebetulan. Itu pola langit yang sama: pertolongan Allah itu tak terasa.


---

Dalam Perang Uhud, situasi nyaris berbalik tragis. Rasulullah صلى الله عليه وسلم terluka. Gigi beliau patah. Darah mengalir dari wajahnya. Musuh menyerang dari belakang setelah para pemanah lalai.

Namun, Allah menyelamatkan Rasulullah melalui sebuah celah kecil di kaki Gunung Uhud. Dikenal sebagai “Syib Rasul”—Celah Rasulullah. Di situ beliau terjatuh dan para sahabat membentuk perisai hidup: Abu Dujanah, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan lainnya.

> "Rasulullah berlindung di celah bukit, sementara para sahabat menjaga beliau dari semua sisi."



Gunung itu bukan sekadar batu. Ia menjadi tameng. Rasulullah bersabda:

> “Uhud adalah gunung yang mencintai kami, dan kami mencintainya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)



Ketika tidak ada lagi benteng, Allah jadikan celah kecil di gunung sebagai istana perlindungan. Ketika tidak ada lagi pasukan, Allah jadikan tubuh sahabat sebagai perisai hidup. Ketika dunia memusuhi, langit menutupi.


---

Itulah rahasia pertolongan Allah: lembut tapi menguatkan. Diam tapi menentukan. Tak terasa, tapi menyelamatkan.

Allah tidak butuh teriakan. Ia tidak butuh demonstrasi kekuatan. Cukup hujan. Cukup gelap. Cukup kantuk. Cukup celah sempit di batu. Dan kemenangan pun datang.

Jika hari ini engkau sedang berjuang, dan merasa sendiri... Jika engkau tak melihat keajaiban besar... Jika engkau hanya melihat hujan, rasa lelah, gelap, dan sepi...

Jangan takut. Mungkin itulah pertolongan Allah sedang bekerja. Pelan-pelan. Diam-diam. Tanpa terasa. Tapi nyata.

> "Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

Takdir Umat Islam Menurut Umat Terdahulu: Pembebas Timur dan Barat Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Pernahkah kita merenung sejena...

Takdir Umat Islam Menurut Umat Terdahulu: Pembebas Timur dan Barat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Pernahkah kita merenung sejenak, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad ﷼ lahir ke dunia, kabar tentang beliau dan umatnya telah disebut-sebut oleh para nabi terdahulu? Bahwa umat ini, umat Islam, adalah umat pilihan—pembebas dari gelapnya zaman, penakluk kekuatan batil, dan pelita dari Timur hingga ke Barat?

Bayangkan, seorang nabi besar seperti Musa tercengang. Bukan karena mukjizat laut terbelah atau tongkat yang berubah menjadi ular. Tapi karena satu hal yang menggetarkan jiwa: umat akhir zaman, yang amalnya tampak lebih ringan, justru diberi keutamaan luar biasa oleh Allah.

Ibnu al-Jauzi, dalam mahakaryanya al-Tabsirah (Juz 1), menuliskan sebuah percakapan penuh kekaguman:

> "Ya Tuhanku, aku melihat dalam catatan umat akhir zaman, mereka yang paling dahulu masuk surga meskipun amal mereka lebih sedikit. Mereka hafal kitab suci di dada-dada mereka, dan mereka melantunkannya di siang dan malam. Jadikanlah mereka umatku."



Lalu Allah menjawab:

> "Itu adalah umat Ahmad."



Betapa harunya hati seorang Nabi ketika menyaksikan keagungan umat yang akan datang setelahnya.

Dalam bagian lain kitab yang sama, Ibnu al-Jauzi meriwayatkan:

> "Aku mendapati dalam kitab Taurat, akan datang satu umat yang mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, dan berjihad di jalan Allah. Ya Allah, jadikanlah mereka umatku."



Lagi-lagi, jawabannya sama:

> "Mereka adalah umat Ahmad."



Ini bukan sekadar pujian. Ini adalah pernyataan langit. Sebuah isyarat bahwa umat Nabi Muhammad ﷼ bukan hanya besar dalam jumlah, tapi juga kuat dalam jiwa. Mampu mengalahkan musuh terbesar akhir zaman: Dajjal. Sementara nabi-nabi sebelumnya hanya mampu memperingatkan tentang bahayanya.

Lalu, apakah kekuatan ini murni berasal dari senjata dan jumlah? Tidak. Ia datang dari cahaya iman, kekuatan ibadah, dan keberanian spiritual yang tak tertandingi.


---

Mari menelusuri waktu. Sekitar dua abad sebelum kelahiran Rasulullah ﷼, seorang penguasa Syam bernama Nadhr bin Rabi‘ah mengalami sebuah mimpi. Mimpi yang begitu terang dan mengusik batinnya. Ia melihat cahaya besar muncul dari Makkah, menyinari seluruh Jazirah Arab hingga ke negeri Syam. Di atas Ka'bah, berdiri seorang laki-laki yang menyeru manusia untuk hanya menyembah Allah.

Terkejut dan penasaran, Nadhr mengumpulkan rahib dan ahli tafsir mimpi:

> "Aku bermimpi ada seseorang dari Makkah yang kelak akan mengguncang dunia ini. Apakah ini kabar tentang seorang nabi yang akan datang?"



Seorang rahib dari keturunan Nabi Isa menjawab tenang:

> "Ya, ini adalah cahaya kenabian terakhir. Ia akan lahir di tengah padang pasir, tetapi akan menyinari Syam dan seluruh dunia."



Lalu Nadhr menulis mimpinya, menyimpannya sebagai warisan, dan berpesan kepada keturunannya:

> "Jika mimpi ini benar, maka anak keturunanku kelak harus menjadi orang pertama yang beriman kepada nabi akhir zaman."



Tidakkah ini cukup menjadi saksi bahwa kelahiran Rasulullah ﷼ adalah janji lama yang ditunggu peradaban?


---

Kisah lain datang dari tanah suci. Dari seorang tua yang mulia: Abdul Muthalib. Suatu malam ia tertidur di al-Hijr, bagian Ka'bah yang penuh berkah. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya keluar dari tulang rusuknya. Cahaya itu menjulang ke langit, menembus gurun dan gunung, menyinari Timur dan Barat.

Dalam mimpi itu, terdengar suara berkata:

> "Dari keturunanmu akan lahir seorang pemimpin yang akan mengguncang zaman. Ia membawa kebenaran, dan namanya akan disebut di langit dan bumi."



Ketika ia bangun, tubuhnya menggigil. Ia segera mencari para rahib dari Yaman dan Syam. Salah satu dari mereka berkata:

> "Jika mimpimu benar, maka salah satu keturunanmu akan menjadi Nabi umat akhir zaman."



Sejak saat itu, Abdul Muthalib menjaga dan mencintai cucunya, Muhammad ﷼, dengan sepenuh hati. Karena ia tahu, cahaya yang dilihatnya telah mengambil wujud.


---

Buya Hamka, dalam Sejarah Umat Islam, menegaskan bahwa umat ini tidak pernah benar-benar hancur. Hanya jatuh, lalu bangkit kembali. Seperti ombak yang surut untuk kembali menggulung lebih besar.

Perang Salib yang mengerikan? Tartar yang membakar Baghdad? Semua akhirnya dikalahkan oleh umat Islam. Bahkan dari kehancuran, lahir pahlawan. Salahuddin al-Ayyubi, Baybars, Sultan Murad.

Konstantinopel yang dahulu benteng tak tertembus, akhirnya runtuh di tangan Muhammad al-Fatih.

Penjajahan Eropa yang menyayat tanah Muslim? Juga akhirnya tumbang. Umat ini memang diuji. Tapi tak pernah padam. Seperti bara yang tak mati. Ia hanya menunggu waktu untuk menyala kembali.


---

Namun, pertanyaan penting mengemuka: Mengapa masih ada rasa rendah diri di hadapan bangsa lain?

Padahal sebelum kita hadir, umat-umat terdahulu sudah mengakui keagungan umat ini.

> "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk (kebaikan) manusia, karena kalian menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110)



Umat ini bukan dipilih karena bangsanya. Bukan karena leluhurnya. Tapi karena amal dan peran: menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman dengan sepenuh keyakinan.

Inilah amanah besar. Inilah syahadah umat.


---

Kini, kita hidup di zaman yang penuh keraguan. Di mana kebanggaan sering kalah oleh kekaguman pada yang asing. Di mana banyak dari kita lupa siapa kita.

Padahal, setiap Nabi telah menyebut-nyebut kita.

Padahal, dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur—ada deskripsi tentang umat Muhammad ﷼: kuat dalam iman, teguh dalam amal, dan luas dalam pengaruh.

Tidakkah ini cukup untuk membuat kita bangga tanpa menjadi sombong? Kuat tanpa menjadi congkak?

Umat ini adalah lilin di tengah kegelapan. Cahaya di ujung malam. Umat yang disiapkan bukan hanya untuk satu tempat, tapi untuk dunia. Timur dan Barat.

Sebagaimana doa Abdul Muthalib, Sebagaimana mimpi Nadhr bin Rabi‘ah, Sebagaimana harapan Nabi Musa,

Kita adalah bagian dari janji besar itu.

Kini saatnya kita bukan hanya membaca kisah ini dengan mata. Tapi juga dengan jiwa.

Saatnya umat ini kembali mengambil peran.

Sebagai pelita. Sebagai pemimpin. Sebagai rahmat bagi semesta alam.

Malaikat Pun Berkisah Tentang Abu Bakar Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- 1. Ketika Langit Menyebut Namanya Andai ada penduduk bumi...

Malaikat Pun Berkisah Tentang Abu Bakar
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

1. Ketika Langit Menyebut Namanya

Andai ada penduduk bumi yang menjadi perbincangan di langit, maka Abu Bakar adalah salah satunya. Ia bukan hanya disebut oleh manusia karena jasanya, tetapi juga oleh para malaikat karena keyakinannya. Namanya harum di langit sebelum diagungkan di bumi.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ﷺ diliputi keresahan setelah peristiwa Isra dan Mi'raj. Betapa luar biasa pengalaman itu, namun beliau tahu bahwa kisah semacam itu akan sulit dipercaya oleh kaumnya. Rasulullah ﷺ bertanya-tanya: siapa yang akan mempercayai cerita ini?

Jibril datang menenangkannya:

> "Abu Bakar percaya kepada apa yang engkau ceritakan. Dia adalah Ash-Shiddiq."



Keyakinan Abu Bakar adalah cahaya. Kepercayaannya adalah pondasi yang tak tergoyahkan. Ia percaya, bahkan sebelum mata bisa menyaksikan. Ia menerima, bahkan ketika logika manusia meragukan.

Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, pun pernah bersaksi dari atas mimbar:

> "Sesungguhnya Allah menamakan Abu Bakar dengan sebutan Ash-Shiddiq melalui lisan Nabi-Nya."




---

2. Bersamanya dalam Kritisnya Sejarah

Nama Abu Bakar selalu hadir di titik-titik paling kritis dalam sejarah dakwah Rasulullah ﷺ. Dalam malam hijrah, ketika nyawa Rasulullah ﷺ terancam, ia lah yang menyertai di dalam gua. Ia menangis bukan karena takut akan dirinya, tetapi karena khawatir jika musuh menemui Rasulullah ﷺ.

> "Jika salah seorang dari mereka melihat ke arah kakinya, niscaya mereka akan melihat kita," kata Abu Bakar.



Dan Rasulullah ﷺ menenangkannya:

> "Wahai Abu Bakar, apa pendapatmu tentang dua orang, yang Allah adalah yang ketiga di antara mereka?"
(QS At-Taubah: 40)



Dalam Perang Badar, ketika pasukan kaum Muslimin sangat sedikit, para malaikat membicarakan Abu Bakar:

> "Tidakkah kalian melihat Ash-Shiddiq bersama Rasulullah ﷺ di bangsal tempat berteduh?"



Abu Bakar tak hanya berdiri, tetapi memayungi doa dan harapan Rasulullah ﷺ. Ia bukan pelengkap sejarah, ia porosnya.


---

3. Pengorbanan yang Tak Tertandingi

Pada suatu hari, Ibnu Umar menyaksikan Abu Bakar datang kepada Rasulullah ﷺ dengan pakaian yang lusuh dan berlubang. Hanya sehelai jubah sederhana yang menutupi tubuhnya.

Jibril turun, bertanya kepada Rasulullah ﷺ:

> "Wahai Muhammad, mengapa aku melihat Abu Bakar memakai jubah yang berlubang di bagian dadanya?"



Rasulullah ﷺ menjawab:

> "Dia telah menginfakkan seluruh hartanya untukku, sebelum penaklukan kota Makkah."



Jibril menyampaikan pesan langit:

> "Katakan padanya: Apakah kau rela dengan kefakiranmu, ataukah tidak menyukainya?"



Abu Bakar menjawab penuh keyakinan:

> "Apakah saya tidak rela terhadap Tuhanku? Saya rela."




---

4. Saat Dunia Guncang, Ia Tegak

Ketika Rasulullah ﷺ wafat, dunia para sahabat seolah runtuh. Umar bin Khattab bahkan mengancam siapa saja yang mengatakan Rasulullah ﷺ telah meninggal. Saat itu, Abu Bakar berdiri, naik ke mimbar dan berkata:

> "Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tidak akan mati."



Lalu ia membacakan ayat:

> "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?"
(QS Ali Imran: 144)



Kekokohan Abu Bakar bukan hanya menyelamatkan umat dari kejatuhan emosional, tetapi menegakkan kembali misi risalah.


---

5. Keputusan-keputusan Besar Seorang Sahabat

Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar dihadapkan pada ujian demi ujian. Banyak kabilah yang murtad, enggan membayar zakat, dan muncul gelombang pembangkangan dari dalam umat.

Abu Bakar berkata tegas:

> "Demi Allah, andai mereka menolak membayar tali unta yang dahulu mereka bayarkan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya aku akan memerangi mereka."



Para sahabat sempat ragu. Tapi Umar bin Khattab pun akhirnya berkata:

> "Demi Allah, setelah Allah lapangkan dada Abu Bakar, aku pun tahu bahwa ia benar."



Ia juga mengirim pasukan Usamah bin Zaid, sebagaimana perintah terakhir Rasulullah ﷺ. Meski banyak yang menyarankan untuk menundanya karena gentingnya kondisi, Abu Bakar tetap melaksanakannya:

> "Tidak mungkin aku membatalkan keputusan Rasulullah ﷺ."




---

6. Malaikat Bicara Tentangnya

Suatu ketika, Rasulullah ﷺ bertanya kepada Jibril tentang keutamaan Umar bin Khattab. Jibril menjawab:

> "Seandainya aku menyebut keutamaannya sepanjang umur Nabi Nuh, tidak akan habis keutamaan itu dibicarakan. Dan sesungguhnya, Umar hanyalah satu dari sekian banyak kebaikan Abu Bakar."



Ketika Abu Bakar membaca ayat:

> "Yā ayyatuha an-nafs al-muṭma’innah..."
(QS Al-Fajr: 27)



Ia berkata:

> "Wahai Rasulullah, ini ayat yang sangat indah."



Rasulullah ﷺ menjawab:

> "Ketahuilah wahai Abu Bakar, kelak malaikat akan mengucapkan ayat ini saat menjelang kematianmu."



Dan saat ajal menjemput, ruhnya dipanggil dengan kelembutan langit:

> "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai."




---

7. Dua Wazir dari Langit dan Bumi

Di akhir hayat Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Tidaklah seorang nabi pun melainkan memiliki dua wazir—satu di langit, dan satu di bumi. Wazirku di langit adalah Jibril dan Mikail. Wazirku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar."



Mereka adalah penopang, kekuatan, dan saksi dalam perjalanan risalah.


---

8. Abu Bakar: Di Antara Langit dan Bumi

Abu Bakar bukan hanya dicintai penduduk bumi, tapi juga dimuliakan oleh para penghuni langit. Namanya disebut oleh malaikat bukan karena pangkat, bukan karena keturunan, bukan pula karena kekuatan.

Tetapi karena keimanan yang jernih, keyakinan yang utuh, pengorbanan yang total, dan kesetiaan yang tanpa batas.

Ia adalah Ash-Shiddiq. Peneguh ketika yang lain ragu. Penyejuk ketika yang lain gelisah. Penyangga risalah saat dunia berguncang.

Dan langit pun bercerita tentangnya.


---

Wallahu a'lam.

Pergesekan Internal, Tumbuhkan Ukhuwah dan Khazanah Peradaban   Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah bukanlah catatan kering yang ...

Pergesekan Internal, Tumbuhkan Ukhuwah dan Khazanah Peradaban 

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sejarah bukanlah catatan kering yang beku di rak-rak perpustakaan. Ia adalah cermin panjang tempat umat manusia mematut diri. Di balik riwayat kejayaan dan kehancuran, selalu ada denyut emosi, tarikan cinta, luka-luka kecil—dan seringkali, pergesekan.

Tapi dari pergesekan itu pula, lahir kematangan.

Bahkan para tokoh yang paling suci, manusia-manusia pilihan, tidak lepas dari gesekan—bukan karena lemahnya akhlak, tetapi karena kekayaan rasa dan tugas besar yang mereka emban. Di sanalah ruh ukhuwah diuji dan dimurnikan.

1. Dari Kecemburuan, Tumbuh Peradaban

Siti Hajar dan Siti Sarah—dua perempuan mulia dalam rumah tangga Nabi Ibrahim—pernah terlibat kecemburuan. Kisah ini bukan untuk mencela, tetapi menunjukkan bahwa bahkan para istri nabi pun manusia biasa.

Apa hasil dari perasaan yang rapuh ini?

Lihatlah: Siti Hajar akhirnya harus tinggal di sebuah lembah tandus bersama putranya, Ismail. Di sana, ia berlari-lari di antara dua bukit. Lalu Zamzam memancar, dan peradaban Mekah pun tumbuh. Semua bermula dari luka kecil, yang disirami iman dan kesabaran.

> "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di sebuah lembah yang tidak memiliki tanaman, di dekat rumah-Mu yang dihormati..." (QS. Ibrahim: 37)



2. Musa dan Harun: Teguran Sangat Manusiawi

Ketika Musa kembali dari munajatnya di gunung, ia terperanjat. Kaumnya menyembah patung anak sapi. Marah, ia menarik janggut saudaranya, Harun.

Namun Harun tidak membalas keras dengan keras. Ia menjawab lembut:

> "Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku... Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata: 'Engkau telah memecah belah Bani Israil..." (QS. Thaha: 94)



Apakah ini pertikaian? Bukan. Ini adalah ruang klarifikasi, tempat ukhuwah justru dipertegas oleh kejujuran dan saling menahan diri.

3. Yusuf dan Saudara-saudaranya: Luka yang Disembuhkan oleh Takdir

Saudara-saudara Yusuf pernah melemparkannya ke dalam sumur karena iri. Konflik keluarga nabi. Lagi-lagi, ini bukan cela. Ini adalah cara Allah mengajar umat bahwa pengkhianatan bisa menjadi awal keagungan jika disikapi dengan iman.

Apa akhir dari kisah ini? Yusuf berdiri sebagai penguasa Mesir. Saudara-saudaranya bersimpuh, bukan karena kalah, tapi karena mereka akhirnya memahami rencana Allah yang agung.

4. Sahabat dan Rasulullah: Beda Pendapat, Bukan Pecah

Dalam Perang Badar dan Hunain, para sahabat berselisih soal ghanimah (harta rampasan). Ketegangan muncul. Tapi Allah langsung turun tangan lewat wahyu. Dan Rasulullah ﷺ membimbing mereka dengan kelembutan.

Bahkan dalam Perang Hunain, kaum Anshar sempat merasa tersisih ketika Rasul membagikan harta kepada para mualaf.

Rasul pun bersabda:

> “Seandainya manusia menempuh satu lembah dan kaum Anshar menempuh lembah lain, maka aku akan menempuh lembah kaum Anshar...” (HR. Bukhari dan Muslim)



Kata-kata itu bukan basa-basi. Ia adalah pernyataan cinta, yang meredakan perbedaan dan menyiram ukhuwah yang sempat mengering.

5. Hudaibiyah: Musyawarah dan Keikhlasan

Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu titik penting dalam sejarah umat Islam. Tapi juga salah satu titik paling emosional.

Umar bin Khattab marah. Ia bertanya kepada Abu Bakar:

> “Bukankah dia Rasulullah?”



> “Benar.”



> “Bukankah kita di atas kebenaran?”



> “Benar.”



> “Mengapa kita harus menerima kerendahan ini?”



Abu Bakar menjawab dengan tegas:

> “Sesungguhnya dia adalah Rasulullah. Dia tidak akan menyalahi perintah Rabb-nya. Maka tetaplah engkau berada di sisinya!”



Ali bin Abi Thalib, saat diminta menghapus gelar "Rasulullah" dalam naskah perjanjian, menjawab:

> “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya.”



Namun Nabi ﷺ sendiri yang akhirnya menghapus tulisan itu, meski beliau buta huruf. Itulah bentuk keikhlasan tertinggi dalam ukhuwah dan strategi.

Bahkan ketika sahabat enggan menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut setelah perjanjian, Ummu Salamah memberi saran bijak:

> “Wahai Rasulullah, jika engkau ingin mereka taat, lakukanlah lebih dulu tanpa berkata-kata.”



Dan benar. Setelah Nabi mencontohkan, para sahabat segera mengikuti. Kadang, pergesekan hanya perlu ditenangkan dengan keteladanan.

6. Bani Quraizah dan Ijtihad yang Dihargai

Setelah Perang Khandaq, Nabi ﷺ bersabda:

> “Janganlah salah seorang dari kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizah.” (HR. Bukhari dan Muslim)



Waktu hampir habis. Sebagian sahabat shalat di perjalanan. Sebagian lagi menundanya hingga tiba. Dan Rasulullah tidak menyalahkan keduanya.

Ibn Hajar berkata:

> “Rasulullah tidak mencela salah satu dari dua kelompok tersebut.” (Fath al-Bari)



Imam Nawawi menambahkan:

> “Ini dalil bahwa perbedaan ijtihad itu bisa diterima, dan semua mendapatkan pahala selama niatnya benar.”



Inilah pelajaran paling mendalam dari ukhuwah: bukan menuntut keseragaman mutlak, tetapi menerima perbedaan dalam bingkai kejujuran.

7. Mengapa Allah Hadirkan Gesekan?

Agar kita paham: ukhuwah bukanlah kondisi steril tanpa masalah. Justru, ukhuwah sejati lahir dari badai. Dari peluh dan luka. Dari beda pendapat dan keberanian untuk saling memahami.

Jika para nabi pernah berdebat, Jika para sahabat pernah berbeda pandangan, Jika keluarga para nabi pernah diguncang rasa cemburu dan iri,

...lalu mengapa kita harus takut dengan konflik kecil di antara kita?

Jangan remehkan pergesekan. Jangan takut berselisih. Yang penting adalah adab setelahnya: apakah kita saling memaafkan, saling memahami, dan tetap menempuh jalan ukhuwah?

Pergesekan itu seperti api—ia bisa membakar, tapi bisa juga menghangatkan, jika dikawal oleh iman dan kejujuran.

Maka nikmatilah pergesekan. Peluk ia dengan rendah hati. Karena darinya, ukhuwah tumbuh.

Dan dari ukhuwah, Allah menurunkan keberkahan.

Berkah Musyawarah pada Prosesnya Bukan Hasilnya Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Ada kalanya keputusan benar tidak membawa kemenan...

Berkah Musyawarah pada Prosesnya Bukan Hasilnya

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Ada kalanya keputusan benar tidak membawa kemenangan, dan kesalahan tidak selalu berakhir kehancuran. Namun musyawarah—meski hasilnya benar atau salah—tetap menyimpan keberkahan. Sebab, Allah tidak hanya menilai hasil akhir, tapi juga proses yang dilalui dengan adab, keikhlasan, dan kebersamaan.

Mari kita simak bagaimana para Nabi, para pemimpin pilihan Allah, menjadikan musyawarah sebagai pelita dalam gelapnya zaman, petunjuk di tengah ujian yang mengguncang jiwa.


---

1. Dialog Langit: Musa dan Harun

Nabi Musa adalah sosok pemimpin tangguh, yang tahu bahwa beratnya amanah kenabian tak bisa dipikul seorang diri. Dalam doanya, ia mengajukan permintaan:

> "Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.”
(QS. Thaha: 25–32)



Musa tidak meminta pasukan. Ia tidak meminta kekayaan. Ia meminta sahabat sejati. Seorang pendamping dalam memikul amanah.

Namun sejarah juga mencatat: ada momen saat Harun gagal membendung Bani Israil dari menyembah patung anak sapi. Ketika Musa kembali, ia marah, mengguncang kepala saudaranya.

> “Wahai Harun, apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat? ... Apakah engkau telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”
(QS. Thaha: 92–93)



Harun tak membalas dengan amarah. Ia menjawab lirih, dengan hati yang lapang:

> “Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku dan kepalaku. Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah Bani Israil...’”
(QS. Thaha: 94)



Di sinilah makna musyawarah menemukan bentuk terdalamnya: mendengar, menegur, dan menjelaskan. Bahkan antara dua nabi.


---

2. Hikmah Dua Raja: Daud dan Sulaiman

Dua pemimpin, dua pandangan, satu tujuan. Ketika seekor kambing merusak ladang, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman memutuskan hukumnya. Allah mengabadikan peristiwa ini:

> “Dan Kami memberikan pengertian tentang hukum itu kepada Sulaiman; dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu...”
(QS. Al-Anbiya: 79)



Satu pendapat lebih tepat. Tapi keduanya tetap diberi hikmah. Karena dalam ruang musyawarah, setiap suara yang jujur adalah langkah menuju kebijaksanaan.


---

3. Ayah dan Anak: Ibrahim dan Ismail

Bayangkan seorang ayah berkata kepada anaknya:

> “Wahai anakku! Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)



Apakah Ibrahim butuh restu dari Ismail? Tidak. Ia seorang nabi. Tapi ia tetap mengajak bicara. Karena musyawarah bukan sekadar soal teknis, melainkan penyelarasan hati.

Dan Ismail menjawab:

> “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”



Beginilah cinta dan ketaatan bertemu dalam satu ruang. Musyawarah menjadi jembatan antara wahyu dan ketundukan.


---

4. Rasulullah dan Musyawarah Strategis

Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah berjalan sendiri. Dalam setiap keputusan besar, beliau bermusyawarah. Termasuk saat kondisi paling genting sekalipun.

Perang Khandaq: Ketika Madinah dikepung oleh 10.000 pasukan, Salman al-Farisi mengusulkan strategi asing: menggali parit. Rasulullah menerimanya. Strategi itu menyelamatkan umat.


> "Ide menggali parit tidak dikenal dalam perang Arab sebelumnya..."
—Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah



Perang Badar: Salah satu sahabat mengusulkan perpindahan posisi agar bisa menguasai sumber air. Nabi mengikuti. Hasilnya: kemenangan telak.


> “Wahai Rasulullah, andai engkau menempuh lautan, kami akan menempuhnya bersamamu!”
—Sa'ad bin Mu'adz



Perang Uhud: Rasul ingin bertahan dalam kota. Tapi mayoritas sahabat ingin keluar. Rasul mengikuti pendapat mereka. Hasilnya: kekalahan pahit.


Namun di situ pula, keberkahan musyawarah hadir:

> “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka... kemudian bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Ali Imran: 159)




---

5. Luka yang Mendidik: Pelajaran dari Uhud

Apakah Rasulullah menyalahkan sahabatnya? Tidak. Justru Allah menurunkan ayat yang menguatkan hati mereka.

> “Kekalahan itu bukan karena lemahnya Rasul, tapi karena Allah sedang mengasah para pejuang Islam dengan luka dan darah.”
—Ibnul Qayyim, Zad al-Ma’ad



Kadang kita kalah, bukan karena salah strategi. Tapi karena Allah sedang menumbuhkan kekuatan baru dari dalam dada yang luka.


---

6. Shalahuddin dan Akka: Keteguhan dalam Kesalahan

Saat pasukan Salib menyerbu Syam, Shalahuddin Al-Ayyubi ingin mencegat mereka di jalan. Tapi hasil musyawarah menyarankan bertahan di kota Akka. Dua tahun pengepungan, dan kota itu jatuh ke tangan musuh.

Banyak yang menilai keputusan itu salah. Tapi Shalahuddin tidak menyalahkan siapapun. Ia jalankan hasil musyawarah dengan sabar dan adab.

> “Akka adalah kota yang tangguh. Shalahuddin tahu bahwa menjaganya berarti menjaga seluruh pesisir Syam.”
—Ibn al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh



Dan dari situlah keberkahan muncul. Pasukan Salib mengalami kehancuran moral. Lebih dari 50.000 tewas. Mereka mundur. Umat Islam bangkit kembali.


---

7. Musyawarah: Jalan Rahmat, Bukan Hanya Hasil

Musyawarah bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah. Ia adalah ruang pembelajaran rohani:

Untuk belajar mendengar.

Untuk belajar menahan ego.

Untuk membuka pintu hikmah yang mungkin tidak lahir dari satu kepala.


Rasulullah ﷺ tidak butuh saran. Tapi beliau mendidik umat dengan bermusyawarah. Para Nabi tidak perlu bertanya. Tapi mereka tetap bertanya, karena cinta selalu melibatkan lawan bicara.


---

Penutup: Nikmati Prosesnya

Musyawarah itu ibadah, bukan sekadar metode. Ia adalah jalan untuk menjemput berkah—bahkan bila hasilnya tidak sesuai harapan.

> “Musyawarah adalah tempat Allah menyemai rahmat dan menumbuhkan kekuatan umat.”



Maka, mari kita menikmati prosesnya. Baik salah maupun benar, dalam musyawarah yang tulus, selalu ada cahaya Ilahi yang turun menyinari langkah-langkah kita.


---

Allah memberkahi proses, bukan hanya kemenangan.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (575) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (254) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (237) Sirah Sahabat (153) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (154) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)