Yusuf: Di Atas Punggung Waktu yang Berderap Menuju Mesir
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Malam itu, angin gurun membawa bau perbekalan yang basi dan debu dari ribuan tapak kaki unta yang berjalan lamban tapi pasti. Di antara buntalan kain kasar, kuli angkut, dan jerigen air, tersembunyi seorang anak lelaki. Matanya sembab, pipinya basah, tubuhnya terbaring meringkuk seperti barang dagangan, diperlakukan bukan sebagai manusia, tapi komoditas.
Ia adalah Yusuf. Tidak ada yang tahu siapa anak ini, kecuali langit.
Tubuh kecilnya terombang-ambing di atas punggung unta, diapit karung-karung gandum dan botol minyak. Ia tidak tahu di mana ia berada, tidak tahu akan ke mana. Sejak ditarik dari sumur dengan teriakan gembira—bukan karena menyelamatkan, tetapi karena melihat peluang dagang—Yusuf seperti dilempar ke dunia yang asing dan dingin. Tak ada satu pun wajah yang mengisyaratkan belas kasih, hanya mata-mata licik pedagang yang menghitung, menimbang, lalu saling berbisik: “Kita harus sembunyikan anak ini, jangan sampai ada yang tahu dia bukan budak.”
Ia dijaga ketat. Tapi bukan karena dihargai. Melainkan karena takut kehilangan untung.
Lalu pagi tiba. Kabut pelan-pelan tersingkap. Suara pasar mulai terdengar seperti dengung lebah dari kejauhan. Mesir sudah dekat.
---
Pasar budak Mesir adalah tempat di mana harga manusia dihitung dengan logika dagang, bukan harkat. Hiruk-pikuk para pembeli, teriakan para penjaja, dan cambuk yang memecah udara—semua bersatu dalam satu simfoni suram yang biasa mereka sebut transaksi.
Yusuf diturunkan dari unta. Tubuhnya dibersihkan seadanya, rambutnya disisir, dan wajahnya dipoles agar tampak “menarik” di mata pembeli. Tetapi para pedagang itu gelisah. Wajah tampan Yusuf justru membuat mereka takut. Anak ini terlalu bersih, terlalu anggun, terlalu... berkelas.
“Cepat kita jual saja,” bisik salah satu dari mereka. “Kalau ada yang tahu dia bukan budak, kita bisa celaka.”
Tak ada lelang. Tak ada penawaran tinggi. Tak ada pujian atas rupa. Yusuf dijual secara sembunyi-sembunyi.
“Mereka menjualnya dengan harga murah—beberapa dirham saja.”
Bahkan uangnya tak perlu ditimbang, cukup dihitung dengan jari. Itu pertanda nilainya kurang dari 40 dirham, harga yang memalukan untuk seorang anak seindah Yusuf, apalagi di Mesir, negeri budak yang menjadikan harga tinggi sebagai lambang prestise.
Ketika tangan pembeli menyentuh Yusuf, bukan rasa dimiliki yang terasa, tetapi pesan langit mulai bergerak.
Pembelinya bukan orang sembarangan. Ia adalah al-‘Azīz, seorang pejabat tinggi, seorang menteri yang kekuasaannya menggetarkan pasar dan istana.
Senyap Yusuf menatap langit. Tak ada air mata. Tak ada tanya. Ia tahu, yang menjualnya bukan manusia, tetapi takdir. Dan yang membelinya bukan sembarang manusia, tetapi perantara jalan yang telah ditulis oleh Tuhan sejak ia bermimpi bertemu bintang, matahari, dan bulan.
Langkah Yusuf kini menuju istana.
Tapi sebelumnya, ia melewati harga dirinya yang ditukar dengan beberapa dirham saja.
Dan itulah permulaan perjalanan seorang nabi.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif