basmalah Pictures, Images and Photos
06/28/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Sultan-Sultan Minangkabau: Melunasi Utang Demi Marwah Nagari Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Tanah Minangkaba...

Sultan-Sultan Minangkabau: Melunasi Utang Demi Marwah Nagari

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Tanah Minangkabau dikenal sebagai negeri para raja adat, ulama, dan pedagang tangguh. Namun di balik kejayaannya, para sultan dan pemimpin Minang menghadapi tantangan ekonomi serius, terutama sejak abad ke-18 saat intervensi kolonial Belanda dan sistem utang dagang mulai menjerat rakyat.

Dalam kondisi itu, para penghulu adat, raja, dan sultan di nagari-nagari besar Sumatera Barat mengambil sikap. Utang rakyat bukan hanya beban pribadi, tapi kehormatan nagari. Dan ketika marwah nagari terancam karena utang, maka para pemimpinnya harus turun tangan.



1. Sultan Alam Bagagarsyah: Melunasi Utang Rakyat di Era Kolonial

Pada masa Sultan Alam Bagagarsyah (raja Pagaruyung terakhir, 1795–1833), intervensi kolonial Belanda mulai menggoyang ekonomi lokal. Melalui praktik rente dan sistem “pinjaman paksa” kepada para penghulu dan rakyat, banyak nagari jatuh miskin, dan harta pusaka mulai tergadai.

 Sang Sultan:

Menolak pinjaman berbungakan tinggi dari pemerintah kolonial

Melunasi utang beberapa penghulu nagari dari kas kerajaan dan emas simpanan istana

Mewajibkan musyawarah adat untuk menyelesaikan persoalan utang tanpa kekerasan


Beliau berkata kepada para datuk:

“Utang yang membuat rakyat kehilangan sawah dan ladang, akan membuat kita kehilangan harga diri.”



2. Para Datuk Nagari: Melindungi Rakyat dari Utang Menindas

Dalam sistem pemerintahan Minangkabau, para Datuk atau penghulu bukan hanya tokoh adat, tapi juga pelindung ekonomi rakyatnya. Banyak kisah turun-temurun tentang datuk yang:

Menebus tanah rakyat yang digadaikan karena utang

Melarang menjual pusaka tinggi (tanah warisan kaum) demi utang pribadi

Menggalang kas bersama (sando, pitih sanak, pitih nagari) untuk melunasi utang petani dan pedagang kecil


“Tanah pusako bukan untuk dilelang. Bila anak kemenakan terjerat utang, datuk yang terlebih dulu malu.”



3. Ulama Harimau Nan Salapan: Menentang Utang Kolonial dan Rente

Kelompok ulama reformis Minang, seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, dan ulama Harimau Nan Salapan pada abad ke-18–19, bukan hanya berjuang dalam medan jihad fisik, tetapi juga melawan sistem ekonomi rente yang menjajah rakyat.

Mereka:

Membakar buku utang yang dibuat rentenir Belanda dan pedagang Cina di pasar-pasar

Mendirikan lembaga zakat dan pinjaman tanpa bunga

Mendorong rakyat menghindari utang konsumtif dan melawan sistem “gadai pusako”


Tuanku Imam Bonjol berkata:

 “Jika utang menjadikan kita budak, maka membebaskannya adalah jihad.”



4. Falsafah Minang: Utang Adalah Ujian Adat dan Agama

Falsafah Minangkabau menempatkan utang dalam posisi serius:

 “Utang dibayar, janji ditunai.”
“Nan tabao pinjam, nan digadai ditebus.”
“Biar lapar, asal tidak berutang ke musuh.”


Karena itu, kesultanan dan sistem nagari bertanggung jawab membantu rakyat keluar dari jeratan utang yang menghina.



Penutup: Utang, Marwah, dan Kepemimpinan Minangkabau

Para sultan dan pemimpin adat Minangkabau telah memberi contoh:

Tidak menjadikan utang sebagai alat menundukkan rakyat

Menggunakan kas kerajaan dan sistem sako-pusako untuk menolong rakyat

Menjaga agar tanah pusaka tidak terjual demi utang sesaat


 “Kita bukan bangsa peminta, tapi pewaris marwah. Jika anak nagari terjerat utang, pemimpin wajib membebaskannya dengan kehormatan, bukan dengan menjual negeri.”

Sultan-Sultan Demak: Melunasi Utang Rakyat, Menjaga Martabat Islam Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Kesultanan...

Sultan-Sultan Demak: Melunasi Utang Rakyat, Menjaga Martabat Islam

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Kesultanan Demak (±1475–1554 M), sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, bukan hanya simbol kejayaan dakwah Walisongo, tapi juga pelopor sistem pemerintahan Islam yang adil dan berpihak pada rakyat kecil.

Dalam perjalanan sejarahnya, para Sultan Demak dikenal sangat berhati-hati terhadap urusan utang, riba, dan ketergantungan ekonomi, terutama pada masa transisi dari sistem Hindu-Jawa yang masih mengenal rente dan perbudakan ekonomi.



1. Raden Patah (Sultan Pertama Demak): Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Feodal

Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak dan murid Sunan Ampel, melihat langsung penderitaan rakyat akibat sistem persewaan tanah dan pajak feodal Majapahit yang membuat banyak petani dan rakyat jelata jatuh miskin dan berutang.

 Langkah pentingnya:

Menghapus pajak berat warisan Majapahit

Menghapus sistem ijon dan rente hasil panen

Melunasi utang-utang rakyat kecil melalui dana wakaf istana dan zakat para saudagar Muslim


Raden Patah menyampaikan dalam khutbahnya:

 “Negeri Islam tak boleh membiarkan rakyatnya menjual anak-anaknya karena utang.”



2. Sultan Trenggono: Membentuk Dana Sosial Islam untuk Menanggulangi Utang Rakyat

Sultan Trenggono (1521–1546), sultan terbesar Kesultanan Demak, dikenal sangat memperhatikan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Di tengah ekspansi militer dan dakwah ke Pajang, Mataram, hingga Pasuruan, ia tetap mengatur lembaga sosial yang bertujuan melunasi utang rakyat miskin.

Kebijakan pentingnya:

Membentuk lembaga pengelola zakat dan wakaf negara (cikal bakal baitul mal)

Menebus tanah rakyat yang digadaikan kepada saudagar asing dan Cina peranakan

Menyediakan pinjaman tanpa riba untuk pedagang Muslim kecil dan petani


Beliau dikenal sering turun langsung ke pasar-pasar untuk memeriksa keadilan harga dan kasus utang rakyat.

“Pemimpin sejati bukan yang membangun tembok tinggi, tapi yang meruntuhkan beban utang rakyat.” — Sultan Trenggono



3. Keterlibatan Walisongo dalam Urusan Utang Rakyat

Kesultanan Demak tidak bisa dilepaskan dari bimbingan spiritual dan sosial para Walisongo, yang sangat tegas terhadap praktik riba dan utang yang menindas. Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang adalah pelopor ekonomi kerakyatan Islam berbasis wakaf dan koperasi syariah.

Sunan Kalijaga menulis dalam petuahnya:
“Siapa yang memberi pinjaman tanpa menindas, maka Allah akan menanamkan berkah di sawah dan usahanya.”


Karena itulah, sultan-sultan Demak meneladani ajaran ini dalam bentuk nyata: melunasi utang rakyat lewat dana istana dan wakaf para saudagar Muslim.



4. Keteladanan dalam Wasiat Sultan Demak

Dalam catatan lisan dan naskah-naskah Jawa Islam, dikisahkan bahwa para Sultan Demak mewasiatkan agar para penerusnya tidak hidup dalam utang kepada kekuatan asing, apalagi menjual tanah atau hak-hak rakyat demi proyek kekuasaan.

Dalam sebuah suluk tua disebutkan:

 “Yen sultan ngadhepi rakyat kang kasangsaran awit utang, kudune sultan nuwuhake welas lan tumandang gawe pamulih.”
(Jika seorang sultan melihat rakyatnya menderita karena utang, maka ia wajib menumbuhkan kasih dan bertindak untuk menyelamatkan.)



Penutup: Islam, Utang, dan Kepemimpinan

Para Sultan Demak menunjukkan bahwa kepemimpinan Islam bukan hanya soal kekuasaan politik, tetapi juga keberpihakan pada ekonomi rakyat. Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh utang dan rente, mereka hadir sebagai contoh bahwa:

Negara wajib membantu rakyat keluar dari utang menindas

Utang bukan sekadar persoalan individu, tapi amanah sosial

Islam menawarkan sistem ekonomi yang membebaskan, bukan menjerat


“Lebih baik negara kecil tapi bebas dari utang, daripada besar tapi tergadaikan martabatnya.”

Sultan-Sultan Aceh: Melunasi Utang demi Menjaga Martabat Umat Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Aceh Darussalam...

Sultan-Sultan Aceh: Melunasi Utang demi Menjaga Martabat Umat

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Aceh Darussalam adalah salah satu kesultanan Islam tertua dan terkuat di Nusantara. Sejak abad ke-16, ia bukan hanya pusat dakwah dan pendidikan Islam, tetapi juga pusat perdagangan dunia, penghubung antara Timur Tengah dan Asia Tenggara. Namun dalam keagungan itu, para sultan Aceh sangat menyadari satu hal: utang bisa menjadi alat penjajahan yang halus dan mematikan.

Oleh karena itu, para sultan Aceh menjadikan pelunasan utang—baik utang rakyat maupun negara—sebagai bagian dari jihad kepemimpinan.



1. Sultan Iskandar Muda (1607–1636): Melunasi Utang Dagang Rakyat

Di masa Sultan Iskandar Muda, rakyat Aceh sangat aktif dalam perdagangan internasional. Tapi dalam situasi badai, kegagalan panen, atau gangguan pelayaran, banyak pedagang kecil yang berutang kepada mitra dagang asing, termasuk pedagang Gujarat, Arab, bahkan Portugis.

Sultan Iskandar Muda membentuk “Baitul Mal Kesultanan”, yang di antaranya digunakan untuk:

Menebus utang pedagang lokal yang hartanya disita

Memberi pinjaman syariah kepada nelayan dan petani

Melindungi rakyat dari rente dan bunga dagang luar


Dalam khutbahnya di hadapan ulama dan qadhi, sang Sultan menegaskan:

 “Utang yang menjerat rakyat akan mengundang kehinaan. Maka wajib bagi pemimpin untuk membebaskan mereka dari belenggu itu.”



2. Sultanah Shafiyyatuddin (1641–1675): Membebaskan Janda-Janda dari Jerat Utang

Sebagai pemimpin perempuan yang bijaksana dan alim, Sultanah Shafiyyatuddin, istri dari Sultan Iskandar Tsani, sangat peduli pada nasib perempuan miskin dan janda yang terlilit utang karena ditinggal suami syahid atau wafat.

Ia mewajibkan Baitul Mal menyisihkan dana untuk:

Melunasi utang rumah tangga fakir miskin

Membebaskan hamba sahaya karena utang

Memberi modal usaha tanpa bunga kepada janda dan anak yatim


Beliau berkata:

“Yang terbebani bukan hanya mereka yang berutang, tapi negara yang diam membiarkan rakyatnya terhina.”



3. Sultan Alauddin Johan Syah (1735–1760): Menolak Bantuan Utang dari Kompeni

Pada masa ini, Belanda mulai merangsek ke perairan barat Sumatra dan menawarkan kerja sama dagang dengan embel-embel pinjaman dan pembangunan pelabuhan.

Namun Sultan Alauddin Johan Syah menolaknya mentah-mentah. Ia menyampaikan kepada utusan Belanda:

 “Kami tidak meminta bantuan yang menjadikan negeri ini terikat. Kami hidup dari hasil bumi kami, bukan dari pinjaman yang menjebak.”


Beliau bahkan menggunakan emas simpanan istana dan wakaf keluarga untuk melunasi utang-utang para saudagar dan kapten kapal yang terancam kehilangan armadanya.



4. Kebijakan Umum Para Sultan Aceh: Utang Rakyat Adalah Tanggung Jawab Negara

Dalam berbagai dokumen lokal dan hukum adat Aceh yang disebut Qanun Meukuta Alam, para sultan menerapkan prinsip-prinsip Islam yang kuat:

Utang yang zalim boleh dibatalkan

Utang rakyat karena musibah harus dilunasi Baitul Mal

Rentenir asing yang menindas bisa diusir atau diputuskan hak dagangnya

Kas istana harus digunakan untuk menolong yang lemah, bukan memperkaya bangsawan



5. Wasiat Sultan: Jangan Wariskan Negeri yang Bergantung

Dalam wasiat Sultan Aceh yang tertulis dalam naskah kuno Hikayat Raja-raja Pasai dan Tawarikh Aceh, tercatat pesan berulang:

 “Bila rakyat lapar, beri makan dari gudang. Bila mereka terjerat utang, lunasi dari kas negara. Tapi jangan sekali-kali pinjam kepada musuh yang kelak menuntut tanah kita.”



Penutup: Utang, Kedaulatan, dan Marwah Islam

Para Sultan Aceh mengajarkan bahwa:

Utang tidak boleh dijadikan alat menghinakan rakyat

Pelunasan utang adalah jihad ekonomi

Negara Islam harus berdiri di atas kemandirian, bukan pinjaman berbunga


“Biar kita miskin di mata dunia, asal kita tidak menjual kehormatan kepada penjajah.”
— Prinsip para Sultan Aceh

Sultan-Sultan Kalimantan: Melunasi Utang demi Kehormatan Rakyat Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: Nasrulloh Baksolahar  ...

Sultan-Sultan Kalimantan: Melunasi Utang demi Kehormatan Rakyat

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: Nasrulloh Baksolahar 


Tanah Kalimantan bukan hanya kaya akan hutan dan tambang, tetapi juga sarat dengan sejarah kesultanan Islam yang berdaulat. Di antara yang paling dikenal adalah Kesultanan Banjar, Kutai Kartanegara, Pontianak, dan Sambas. Para sultan di wilayah ini tidak hanya menjadi pemimpin spiritual, tetapi juga pelindung ekonomi umat.

Mereka tidak membiarkan rakyat ditindas oleh sistem utang kolonial, dan ketika rakyat jatuh ke dalam lilitan utang karena pajak dan tipu daya dagang asing, para sultan tampil ke depan: melunasi utang, menolak riba, dan membangun sistem ekonomi Islam berbasis zakat, wakaf, dan keadilan.



1. Sultan Sulaiman (Kutai Kartanegara): Melunasi Utang Petani dan Menolak Riba

Sultan Sulaiman (abad ke-19) dari Kesultanan Kutai Kartanegara terkenal dengan sikapnya yang tegas terhadap praktik utang berbunga yang dilakukan oleh pedagang Cina dan perantara Belanda. Di masa kekeringan, banyak rakyat yang meminjam beras dan uang dengan bunga tinggi.

Sultan memerintahkan:

Pembentukan baitul mal untuk melunasi utang para petani

Penghapusan bunga dalam transaksi dagang antar sesama Muslim

Larangan menyita tanah atau rumah rakyat karena utang pokok kecil


Ia berkata dalam musyawarah adat:

“Rakyat bukan barang gadai. Negeri ini bukan ladang riba.”



2. Sultan Adam Al-Watsiq Billah (Banjar): Menghapus Utang Kolonial dan Pajak Penindas

Sultan Adam (memerintah 1825–1857), penguasa besar Kesultanan Banjar, menghadapi tekanan Belanda yang mulai menerapkan sistem utang dan monopoli hasil bumi. Ia menolak kebijakan utang Belanda yang akan mengikat kesultanan dan mengurangi kedaulatan dalam perdagangan.

Ia melakukan:

Pelunasan utang rakyat kepada saudagar asing dengan kas negara

Membatalkan perjanjian yang memaksa Banjar berutang kepada Belanda

Melindungi tanah ulayat rakyat dari penyitaan akibat utang


Ia berkata:

“Kita tidak akan menjual kemerdekaan dengan emas pinjaman.”



3. Sultan Abdurrahman (Pontianak): Menolong Rakyat dari Utang Kapal dan Dagang

Di Kesultanan Pontianak, Sultan Abdurrahman dikenal sebagai pemimpin pedagang yang saleh. Di tengah ekspansi VOC dan kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda, banyak nelayan dan saudagar kecil yang terjerat utang dalam perdagangan laut.

 Sang sultan membentuk:

Dana khusus kesultanan untuk menebus kapal nelayan yang digadaikan

Sistem koperasi syariah untuk menghindarkan rakyat dari rentenir Tionghoa

Penyuluhan kepada rakyat agar menghindari utang konsumtif dan bunga tinggi



4. Sultan-Sultan Sambas: Melunasi Utang Warga dan Mengatur Keadilan Ekonomi

Di daerah Sambas, para sultan seperti Sultan Muhammad Syafiuddin II juga terlibat aktif membela rakyat dari beban ekonomi. Ketika rakyat tak mampu membayar pajak atau cicilan kepada pedagang asing, beliau seringkali melunasi utang tersebut secara pribadi atau dari zakat istana.

Ia menyampaikan kepada para ulama:

“Jangan biarkan rakyat menjual tanahnya demi beras. Negeri ini harus menjamin perut dan kehormatan mereka.”



5. Prinsip Bersama Para Sultan Kalimantan: Utang Adalah Amanah Sosial

Dalam adat dan syariat yang dianut para sultan di Kalimantan, utang bukan hanya masalah individu. Bila utang itu mendera rakyat secara sistemik, maka pemerintah wajib hadir menolong. Prinsip ini sejalan dengan hadits Nabi ﷺ:

“Siapa yang mati dalam keadaan berutang, maka jiwanya tergantung hingga utangnya dibayarkan.”
(HR. Tirmidzi)


Maka para sultan menjadikan pelunasan utang rakyat sebagai bagian dari amanah agama dan kepemimpinan.



Penutup: Kepemimpinan Islam, Bebas dari Belenggu Utang

Para sultan Kalimantan membuktikan bahwa pemimpin sejati bukan yang memperkaya istana, tapi yang melunasi beban rakyatnya. Mereka sadar bahwa:

Utang bisa menjadi alat penjajahan

Ekonomi umat harus dibangun tanpa riba

Keadilan ekonomi adalah pilar dari kekuasaan yang sah


“Lebih baik negeri ini miskin tapi bebas, daripada kaya tapi tergadai.”
— Pesan Para Sultan Kalimantan

Sultan-Sultan Makassar: Melunasi Utang, Menyelamatkan Marwah Bangsa Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Di pesisi...

Sultan-Sultan Makassar: Melunasi Utang, Menyelamatkan Marwah Bangsa

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Di pesisir barat Sulawesi Selatan, berdiri dua kekuatan maritim yang pernah menjadi poros dagang dan dakwah Islam di Nusantara: Kesultanan Gowa dan Kesultanan Tallo. Keduanya bersatu dalam kekuasaan Islam yang tidak hanya membangun pelabuhan dan armada laut, tetapi juga menata ekonomi rakyat berdasarkan syariat dan keadilan.

Sultan-sultan mereka sadar betul: utang bisa menjadi alat penjajahan yang halus namun menghancurkan. Maka mereka memilih jalan sulit—melunasi utang rakyat, menolak ketergantungan, dan menjaga kehormatan.



1. Sultan Alauddin (Raja Gowa Pertama yang Masuk Islam): Awal Kebijakan Ekonomi Islam

Setelah memeluk Islam pada 1605, Sultan Alauddin mulai menata ulang sistem pemerintahan dan ekonomi. Ia mendirikan Baitul Mal lokal yang dananya berasal dari zakat, infak, sedekah, serta hasil bumi.

 Tujuan utamanya:

Membantu petani dan nelayan yang terlilit utang kepada saudagar asing

Menebus hasil bumi yang disita karena gagal bayar

Menghapus bunga dalam transaksi perdagangan


Ia berkata kepada ulama dari Tallo:

“Jika rakyatku ditindas karena utang, maka aku yang menanggungnya. Sebab kemuliaan negeri ini bukan pada emasnya, tapi pada keadilan penguasanya.”



2. Sultan Malikussaid: Menolak Utang Dagang VOC

Sultan Malikussaid (putra Sultan Alauddin) menghadapi gempuran Belanda dengan cara halus: dengan "membantu" rakyat lewat kontrak dagang dan pinjaman barang.

Tapi sang sultan menolak keras. Ia membentuk lembaga keuangan maritim yang:

Memberi modal dagang bebas bunga

Membeli kembali kapal rakyat yang dijadikan jaminan utang

Melindungi pasar lokal dari utang berbunga saudagar Belanda dan Portugis


Ia berkata kepada utusan VOC:

 “Kami bukan negeri miskin yang menjual harga diri demi lada dan cengkih.”



3. Sultan Hasanuddin: Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Kolonial

Sultan Hasanuddin (memerintah 1653–1669), sang "Ayam Jantan dari Timur", terkenal karena perlawanan militernya terhadap VOC. Tapi yang kurang disorot adalah perjuangannya membebaskan rakyat Makassar dari jerat utang kolonial.

Dalam masa blokade dan perang ekonomi, ia:

Melunasi utang saudagar lokal kepada VOC dengan dana negara

Menghapus pajak darurat yang memaksa rakyat berutang

Memberi pinjaman dari kas kesultanan tanpa riba, berdasarkan syariat


Hasanuddin sadar, VOC tidak hanya menyerang dengan senjata, tapi juga dengan utang dagang dan monopoli.

Ia berseru kepada bangsawan dan kapitan:

“Utang kepada penjajah adalah tali yang menjerat leher bangsa.”



4. Sultan-Sultan Tallo: Membantu Melunasi Utang Rakyat di Pedalaman

Sebagai mitra Gowa, para sultan Tallo seperti Karaeng Matoaya juga membentuk lembaga wakaf dan zakat untuk melunasi utang petani, pengrajin, dan nelayan.

Dalam tradisi setempat, rakyat yang tidak sanggup membayar utang karena bencana atau gagal panen dapat mengajukan pembebasan melalui masjid dan dewan ulama.

Para pejabat istana diwajibkan menyisihkan harta untuk dana penebusan utang sebagai bagian dari pengabdian sosial.



5. Warisan dan Wasiat Para Sultan

Sebelum wafat, para sultan Makassar mewasiatkan agar negeri ini tidak diwariskan dalam kondisi terikat:

“Jangan biarkan rakyatmu hidup dari pinjaman yang mencekik. Lebih baik kita menanggung lapar bersama, daripada kenyang di bawah kendali penjajah.”



Penutup: Kedaulatan Itu Bukan Hanya Pedang, Tapi Bebas dari Utang

Para sultan Makassar paham betul, kedaulatan sejati adalah ketika rakyat tidak bergantung pada belas kasihan bangsa asing. Maka melunasi utang, menolak pinjaman berbunga, dan membela rakyat dari jerat finansial adalah jihad ekonomi yang tak kalah penting dari perang fisik.

“Utang yang memiskinkan rakyat adalah penjajahan dalam rupa baru. Dan seorang sultan tak boleh membiarkan itu terjadi.”
— Prinsip Sultan Hasanuddin

Sultan-Sultan Nusa Tenggara Barat: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Umat Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Di bal...

Sultan-Sultan Nusa Tenggara Barat: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Umat

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Di balik pegunungan dan lautan Nusa Tenggara Barat, berdiri kesultanan-kesultanan Islam yang teguh dalam menjaga kedaulatan spiritual dan ekonomi rakyatnya. Di antaranya, Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa telah mencatatkan sejarah bahwa utang bukan hanya soal angka, tapi soal kehormatan dan amanah.



1. Kesultanan Bima: Melunasi Utang Petani dan Nelayan

Pada abad ke-18 hingga ke-19, banyak rakyat Bima, terutama petani dan nelayan, yang terjerat utang akibat gagal panen, pajak kolonial, atau monopoli hasil bumi oleh pedagang luar.

Sultan Abdul Hamid (memerintah 1854–1881) dari Kesultanan Bima dikenal sebagai sultan yang adil dan sangat peduli pada utang rakyat. Ia membentuk badan semacam baitul mal lokal untuk:

Menebus utang rakyat kepada saudagar besar dan lintah darat

Memberi pinjaman tanpa bunga kepada petani yang kesulitan modal tanam

Melunasi utang nelayan yang perahunya disita oleh pedagang Belanda


 Dalam salah satu dokumen lokal, ia menyatakan:

 “Rakyatku tidak boleh kehilangan tanah atau perahu hanya karena utang. Jika mereka lemah, negara harus membantunya, bukan membiarkannya ditindas.”





2. Kesultanan Sumbawa: Melindungi Rakyat dari Jerat Utang Dagang Kolonial

Kesultanan Sumbawa, yang aktif berdagang hasil pertanian dan ternak dengan pedagang luar, sempat ditekan oleh perjanjian dagang Belanda. Rakyat diminta menyetor hasil bumi, tetapi harga dipaksa rendah. Akibatnya, banyak rakyat berutang demi bertahan hidup.

Sultan Muhammad Jalaluddin III (abad ke-19), dikenal sangat cermat dalam keuangan negara. Ia mengeluarkan kebijakan:

Membayar utang rakyat miskin dari kas negara

Menghapus sistem gadai tanah karena utang

Menebus kembali kebun dan ternak rakyat yang jatuh ke tangan pedagang asing


Ia mengingatkan pejabatnya:

“Utang yang menindas adalah bentuk penjajahan. Rakyat tidak boleh diperbudak oleh bunga atau oleh kongsi dagang asing.”





3. Utang dan Prinsip Islam dalam Kepemimpinan NTB

Sultan-sultan NTB sangat terpengaruh ajaran Islam dan tradisi dakwah para ulama lokal (tuan guru). Mereka memandang utang bukan sekadar kewajiban ekonomi, tapi tanggung jawab ruhani.

Mereka percaya pada sabda Nabi ﷺ:

“Menunda pembayaran utang oleh orang mampu adalah kezaliman.” (HR. Bukhari-Muslim)



Maka mereka:

Menolak menggunakan utang negara untuk kemewahan istana

Tidak mewariskan utang pada rakyat di akhir kekuasaan

Melunasi utang rakyat sebagai bentuk ibadah sosial




4. Wasiat Sultan: Jangan Wariskan Negeri yang Terikat

Beberapa wasiat sultan NTB yang tercatat dalam hikayat lokal menyebut:

 “Bila engkau memimpin negeri ini, jangan kau pinjam uang dari orang yang ingin membeli tanah rakyat. Bila rakyat lapar, beri mereka makan, tapi jangan biarkan mereka berutang kepada orang zalim.”





Penutup: Warisan Marwah Ekonomi Islam di Timur Nusantara

Dari Bima hingga Sumbawa, jejak para sultan menunjukkan bahwa melunasi utang bukan hanya perkara membayar, tapi menyelamatkan umat dari jerat ketergantungan dan kehilangan kehormatan.

“Lebih baik kas negara kosong, tapi rakyat berdiri tegak—daripada istana penuh emas, tapi rakyat hidup sebagai budak utang.”
— Prinsip Para Sultan NTB

Sultan-Sultan Maluku: Melunasi Utang, Menjaga Martabat Negeri Rempah Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Maluku, ...

Sultan-Sultan Maluku: Melunasi Utang, Menjaga Martabat Negeri Rempah

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Maluku, gugusan pulau penghasil cengkih dan pala, pernah menjadi pusat ekonomi dunia sejak abad ke-15. Kekayaan ini menarik bangsa Eropa—Portugis, Spanyol, Belanda—datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga untuk menguasai dan menjajah lewat utang dan tipu daya.

Namun di tengah tekanan itu, muncul para sultan dari Kesultanan Ternate dan Tidore yang berdiri tegak, menolak dijadikan budak ekonomi, dan berani melunasi utang rakyat agar tidak menjadi alat kolonialisme.



1. Sultan Baabullah (Ternate): Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Portugis

Sultan Baabullah (memerintah 1570–1583), dijuluki “Raja dari 72 Pulau”, adalah tokoh besar Maluku yang berhasil mengusir Portugis dari Ternate. Tapi perjuangannya bukan hanya di medan perang. Ia juga menghadapi perang ekonomi.

Sebagian rakyat Ternate dipaksa berutang oleh Portugis—baik dalam bentuk pajak rempah, barang dagang dengan harga manipulatif, maupun cicilan peralatan pertanian.

Setelah kemenangan militer, Sultan Baabullah memerintahkan:

Penghapusan seluruh utang rakyat kepada Portugis

Pembebasan sandera dan jaminan hutang

Pemulihan hak milik tanah dan rumah rakyat yang disita


Ia berkata kepada para ulama dan kapitan:

“Utang kepada penjajah bukanlah kewajiban, tapi belenggu. Kita lunasi dengan kemerdekaan.”



2. Sultan Saifuddin (Tidore): Membayar Utang Rakyat dengan Harta Pribadi

Pada awal abad ke-17, ketika VOC mulai menguasai jalur rempah dan menerapkan sistem monopoli paksa, banyak petani dan pedagang lokal terjerat utang karena:

Dipaksa menjual cengkih dengan harga rendah

Harus membeli barang VOC dengan harga tinggi

Dikenai denda jika gagal setor


 Sultan Tidore, Saifuddin (memerintah 1657–1687), menolak sistem ini. Ia bahkan menggunakan harta pribadi dan kekayaan istana untuk:

Menebus utang rakyat miskin kepada pedagang asing

Membeli kembali kebun cengkih rakyat yang disita

Membebaskan utang nelayan yang tidak mampu membayar pajak garam atau kapal


Ia juga mengirim utusan ke Batavia untuk menuntut penghapusan utang yang tidak adil.



3. Sultan Hairun dan Sultan Nuku: Utang adalah Perang Tanpa Darah

Sultan Hairun (Ternate) yang gugur dibunuh oleh Portugis pada 1570, pernah berkata kepada penasihatnya:

“Bangsa asing datang dengan emas, tapi ujungnya belenggu. Jika utang menjadi alat mereka mengikat rakyatku, maka aku akan menebusnya dengan darah.”

Penerus perjuangannya, Sultan Nuku (Tidore), tokoh anti-Belanda akhir abad ke-18, memimpin gerakan perlawanan dengan filosofi bahwa kedaulatan ekonomi dimulai dari pelunasan utang dan pembebasan tanah rakyat.

Nuku memerintahkan:

Setiap daerah yang dibebaskan dari VOC harus dibersihkan dari sistem utang paksa

Petani cengkih diberi hak penuh atas hasil panennya

Rakyat tidak boleh dijerat dalam utang oleh elit lokal



4. Utang dan Harga Diri dalam Islam di Maluku

Para sultan Maluku sangat memahami prinsip Islam tentang utang:

“Barang siapa mati dalam keadaan masih menanggung utang, maka jiwanya tergantung sampai utangnya dilunasi.” (HR. Tirmidzi)

Maka mereka meyakini: melunasi utang rakyat bukan hanya soal ekonomi, tapi soal penyelamatan jiwa dan kehormatan bangsa.



Penutup: Martabat Maluku, Bebas dari Utang dan Monopoli

Kisah para sultan di Maluku mengajarkan bahwa kedaulatan tak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tapi juga keberanian untuk membebaskan rakyat dari beban ekonomi yang menindas.

“Lebih baik miskin dan merdeka, daripada kaya tapi tergadai.”
— Prinsip Sultan Nuku



Di tengah dunia yang terus memutarkan roda utang sebagai alat dominasi, kisah para sultan Maluku tetap relevan: bahwa melunasi utang rakyat adalah bagian dari jihad menjaga martabat umat.

Sultan Agung Mataram: Melunasi Utang, Menegakkan Kedaulatan Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Sulta...

Sultan Agung Mataram: Melunasi Utang, Menegakkan Kedaulatan

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja besar dari Mataram Islam, bukan hanya dikenal karena keberaniannya menyerbu Batavia dan menantang hegemoni VOC, tetapi juga karena kebijakan fiskalnya yang bijak, nasionalistis, dan penuh kehormatan.

Meski istilah “utang” dalam konteks abad ke-17 di Jawa berbeda dengan definisi utang internasional modern, Sultan Agung telah menunjukkan sikap tegas terhadap semua bentuk ketergantungan finansial yang bisa melemahkan kemandirian rakyat dan negara.


---

1. Menolak Bantuan Keuangan dari VOC: "Utang adalah Awal dari Penjajahan"

Pada awal kekuasaannya, Sultan Agung ditawari “kerja sama ekonomi” oleh utusan VOC—yang intinya adalah pemberian bantuan logistik dan dana dalam bentuk barter dan pinjaman. Tapi sang Sultan menolaknya mentah-mentah.

Ia berkata kepada para patih dan penasihatnya:

> “Uang dari musuh adalah racun yang manis. Kita terima hari ini, tapi besok kita akan dijajah.”



Keputusan itu terbukti tepat. Banyak kerajaan pesisir lain yang menerima bantuan VOC, akhirnya kehilangan kedaulatan secara bertahap melalui utang dan perjanjian dagang yang timpang.


---

2. Melunasi Utang Pejabat dan Prajurit Rakyat

Sultan Agung tahu bahwa rakyat seringkali berutang kepada lintah darat untuk membayar pajak atau memenuhi kebutuhan perang. Ia membentuk Lembaga Keuangan Negara (semacam baitul mal) yang dananya diambil dari:

Pajak hasil bumi

Denda dari pelanggaran hukum istana

Perdagangan lada dan beras


Dana ini digunakan untuk:

Melunasi utang prajurit yang gugur dalam perang

Membebaskan tanah rakyat miskin dari sita

Memberi bantuan modal usaha tanpa bunga



---

3. Menolak Pajak Tak Adil, Menghapus Utang Hasil Pemerasan

Ketika terjadi keluhan dari rakyat pedalaman karena pemungutan pajak yang berlebihan oleh pejabat lokal, Sultan Agung segera mengutus penyelidik rahasia dan menghapus semua utang yang berasal dari pemerasan.

Ia menghukum beberapa pejabat tinggi yang memperkaya diri dengan cara menjerat rakyat dalam utang palsu.


---

4. Membangun Ekonomi Mandiri untuk Hindari Ketergantungan

Sultan Agung sadar bahwa utang tidak selalu dalam bentuk uang, tapi juga dalam bentuk ketergantungan terhadap komoditas asing. Maka ia memerintahkan:

Swasembada pangan melalui pertanian intensif di daerah pedalaman

Produksi tekstil lokal untuk menandingi produk India

Reformasi pasar untuk melindungi pedagang kecil


Ini adalah strategi ekonomi jangka panjang agar negara tidak perlu “berutang” kepada asing dalam bentuk apa pun.


---

5. Wasiat Kepada Penerus: Jangan Wariskan Negeri yang Terikat

Sebelum wafat pada tahun 1645, Sultan Agung berwasiat kepada putranya:

> “Janganlah kamu menjual tanah Mataram demi emas. Dan janganlah kamu berutang kepada bangsa yang datang membawa senjata dan senyum.”



Wasiat ini ditulis dalam serat-serat istana dan menjadi pedoman bagi generasi Mataram berikutnya (meski tak semua menerapkannya dengan setia).


---

Penutup: Utang Itu Beban, Kemerdekaan Itu Kehormatan

Sultan Agung tidak tercatat sebagai raja yang berutang besar kepada asing atau membebani rakyatnya dengan pajak demi kemewahan istana. Ia adalah simbol pemimpin yang berjuang membayar utang dalam arti luas:

Utang kepada rakyat yang harus dibayar dengan keadilan

Utang kepada sejarah yang dibayar dengan perjuangan

Utang kepada Tuhan yang dibayar dengan amanah kepemimpinan


> “Pemimpin yang sejati bukan yang meminta kepada rakyat, tetapi yang mengembalikan apa yang menjadi hak mereka.”
— Sultan Agung Hanyokrokusumo

Sultan Ageng Tirtayasa: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Kesultanan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sultan Ageng Tirtayasa (1631–1692),...

Sultan Ageng Tirtayasa: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Kesultanan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sultan Ageng Tirtayasa (1631–1692), pemimpin besar Kesultanan Banten, adalah sosok yang bukan hanya ahli strategi militer dan politik, tetapi juga seorang pemimpin yang tegas dalam urusan ekonomi, terutama dalam soal utang, kedaulatan, dan keadilan bagi rakyatnya.

Saat beliau memimpin (1651–1682), Banten menjadi salah satu pusat perdagangan Islam yang paling maju di Nusantara. Kapal-kapal dagang dari Arab, Persia, India, Cina, bahkan Eropa, bersandar di Pelabuhan Banten. Namun di balik kejayaannya, terdapat tantangan besar: penetrasi Belanda melalui utang dan monopoli.


---

1. Utang Rakyat kepada Pedagang Asing dan Rentenir Tionghoa

Seiring berkembangnya perdagangan, sebagian rakyat Banten—terutama pedagang kecil dan petani—mulai terjerat utang kepada pedagang besar, baik lokal maupun asing. Banyak dari mereka akhirnya kehilangan tanah atau kendali atas usahanya.

Sultan Ageng, yang dikenal dekat dengan ulama dan rakyat, tidak tinggal diam.

Ia memerintahkan agar:

Utang-utang rakyat miskin didata dan diteliti keadilannya

Tanah rakyat tidak boleh diambil hanya karena utang tanpa proses syar’i

Bila terbukti zalim, rentenir dipaksa membebaskan utang atau diganti dengan tebusan dari baitul mal



---

2. Melunasi Utang Negara Tanpa Menjual Kedaulatan

VOC (Belanda) berkali-kali menawarkan "bantuan pinjaman" untuk pembangunan pelabuhan dan militer. Namun Sultan Ageng selalu menolak dengan tegas:

> “Lebih baik kita miskin, tapi merdeka. Utang kepada penjajah adalah jalan menuju perbudakan.”



Sebaliknya, Sultan menjual sebagian harta milik pribadi dan keluarga istana untuk membayar biaya pembangunan pelabuhan, gudang, dan benteng. Ia juga:

Menarik zakat dan wakaf dari saudagar kaya

Mengurangi beban pajak rakyat miskin

Menghindari pinjaman luar negeri yang menjebak



---

3. Membentuk Dana Negara untuk Pelunasan Utang Umat

Sultan Ageng membentuk semacam baitul mal dari hasil:

Pajak perdagangan internasional

Pendapatan dari perkebunan lada

Sumbangan saudagar muslim


Dana ini digunakan untuk:

Membebaskan rakyat dari jeratan utang

Mendanai pendidikan pesantren

Menolong para petani dan nelayan yang terjerat rentenir


Ia pernah berkata kepada para ulama dan wazir:

> “Negara ini tidak berdiri untuk memperkaya bangsawan, tapi untuk menjaga kehormatan umat. Tidak boleh ada rakyat yang dipenjara karena utang.”




---

4. Wasiat Ekonomi: Jangan Wariskan Beban, Wariskan Kehormatan

Setelah ditangkap VOC karena konspirasi anak kandungnya sendiri (Sultan Haji), Sultan Ageng dipenjara dan wafat dalam tahanan. Namun sebelum itu, ia meninggalkan pesan ekonomi yang agung kepada pengikut setianya:

> “Jangan pernah menjual tanah Banten kepada penjajah, walau mereka datang membawa emas. Dan jangan biarkan rakyat kalian hidup dalam utang, karena utang itu menumbuhkan penindasan.”




---

Penutup: Utang Bukan Sekadar Angka, Tapi Ujian Marwah

Sultan Ageng Tirtayasa adalah contoh nyata bahwa pemimpin sejati tak hanya membangun dengan batu bata, tapi juga dengan kehormatan dan keberanian moral. Ia memilih melunasi utang rakyat daripada membangun istana emas. Ia memilih hidup sederhana dan merdeka, daripada kaya tapi terikat kepada penjajah.

> “Kemerdekaan adalah saat rakyat bebas dari rasa takut, dari lapar, dan dari tekanan utang.”
— Sultan Ageng Tirtayasa

Kisah Pangeran Diponegoro Melunasi Utang: Kehormatan, Bukan Kemewahan Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Pangera...

Kisah Pangeran Diponegoro Melunasi Utang: Kehormatan, Bukan Kemewahan

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Pangeran Diponegoro (1785–1855), tokoh utama dalam Perang Jawa (1825–1830), bukan hanya dikenal karena keberaniannya melawan penjajahan Belanda, tapi juga karena keteguhan moral dan integritasnya, termasuk dalam mengelola harta, menolak suap, dan melunasi utang.

Meskipun hidup sebagai bangsawan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro memilih hidup zuhud. Ia menolak warisan yang berasal dari kompromi dengan Belanda dan hidup di desa Tegalrejo dengan cara sederhana, bercocok tanam, dan berdakwah.


---

1. Menolak Suap, Tapi Melunasi Utang Sendiri

Ketika Belanda berusaha membeli loyalitasnya dengan jabatan dan tunjangan, Diponegoro menolak secara tegas. Bahkan ia pernah ditawari uang besar dan gelar politik, tapi ditolak dengan kata-kata:

> “Apakah kalian kira aku akan menjual tanah dan kehormatan hanya dengan emas kalian?”



Namun di saat yang sama, Diponegoro tetap berusaha memenuhi kewajiban keuangan pribadinya, termasuk utang kepada pedagang lokal atau rakyat biasa yang pernah membantunya dalam logistik atau keperluan perjuangan. Ia tidak membiarkan utangnya menumpuk atau membebani orang kecil.

Ketika dalam masa gerilya, ia bahkan pernah memerintahkan salah satu pembantunya untuk menjual barang pribadi milik keluarganya demi membayar kembali utang perlengkapan pasukan kepada pedagang muslim di pesisir selatan.


---

2. Mengganti Kerugian Rakyat Akibat Perang

Diponegoro memimpin perang besar yang menyebabkan kekacauan ekonomi di banyak daerah. Namun ketika melewati desa-desa yang rusak akibat konflik, ia berusaha mengirimkan bantuan pangan dan membayar kembali kerugian rakyat kecil dengan apa yang dimilikinya. Jika tak cukup, ia mencatat untuk dibayar kemudian.

Beberapa sumber lisan dan naskah babad menyebut, sebelum menyerahkan diri kepada Belanda (yang ternyata menjebaknya), Diponegoro sempat berkata kepada para pengikutnya:

> “Siapa yang masih menanggung utang karena membantu perjuangan ini, maka aku wajib membayarnya, bila perlu dengan tanah warisanku di Tegalrejo.”




---

3. Wasiat Saat Ditawan: Bebaskan Rakyat dari Beban

Saat diasingkan ke Manado dan kemudian ke Makassar, Diponegoro tetap berpegang teguh pada prinsip keuangan yang adil. Ia mewasiatkan kepada anak-anak dan pengikutnya agar:

Tidak meninggalkan utang tanpa pelunasan

Tidak menagih utang kepada rakyat miskin

Menggunakan harta untuk membebaskan, bukan menekan



---

4. Mengajarkan Zuhud dalam Kekuasaan

Dalam kitab catatannya yang kini dikenal sebagai “Babad Diponegoro”, ia menulis bahwa kekuasaan bukan tempat memperkaya diri, melainkan menjadi wakil Allah di bumi untuk menegakkan keadilan dan membela yang lemah.

Bagi Diponegoro, melunasi utang adalah bagian dari menjaga kehormatan sebagai Muslim dan sebagai pemimpin. Ia menolak gaya hidup boros dan mengajarkan bahwa utang harus dibayar walaupun musuh sedang mengepung.


---

Penutup: Pahlawan Tanpa Beban Dunia

Pangeran Diponegoro wafat dalam pengasingan di Makassar, tanpa harta, tanpa istana, tanpa jabatan. Tapi ia wafat tanpa utang dan tanpa penyesalan. Kehormatannya tetap tinggi, bukan karena kekayaan, tapi karena kesucian prinsip dan konsistensi moral.

> “Utang bukan sekadar angka. Ia adalah ujian jiwa. Barang siapa meremehkannya, maka ia telah menggali jurang kehinaan.”
– Pangeran Diponegoro

Sultan-Sultan Muslim Maroko dan Amanah Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT Dari abad ke-8 hingga ab...

Sultan-Sultan Muslim Maroko dan Amanah Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT


Dari abad ke-8 hingga abad ke-20, Maroko telah diperintah oleh berbagai dinasti Islam: Idrisiyah, Murabitun, Muwahhidun, Marinid, Sa‘diyah, hingga ‘Alawiyah. Dalam setiap masa, selalu ada sultan-sultan yang tidak hanya berkuasa, tapi juga mengemban misi moral dan spiritual: melindungi rakyat dari kehinaan ekonomi, terutama dari jeratan utang.

Berikut adalah beberapa kisah penting dari para sultan Muslim Maroko yang menjadikan pelunasan utang sebagai jalan ibadah dan keadilan:



1. Sultan Yusuf bin Tasyfin (Murabitun): Menghapus Pajak Penindas dan Membayar Utang Rakyat

Yusuf bin Tasyfin (w. 1106 M), pendiri Dinasti Murabitun dan penyatu Maghrib (Barat Islam), dikenal bukan hanya karena kemenangannya atas pasukan Kristen dalam Perang Zallaqah (Spanyol), tapi juga karena kepeduliannya terhadap kondisi ekonomi rakyat.

 Ia menghapus pajak dzalim yang diwariskan penguasa sebelumnya, lalu mengembalikan harta hasil pungutan tidak sah kepada rakyat.

Ia mendirikan wakaf sosial untuk membayar utang petani dan buruh miskin yang terjerat lintah darat.

Ia memerintahkan para qadhi dan mufti mendata utang rakyat secara adil, lalu melunasinya dari kas negara.

Ia pernah berkata:

“Negeri yang damai bukanlah negeri yang kaya, tetapi negeri yang pemimpinnya tidak menyisakan air mata rakyat karena utang.”



2. Sultan Abu Yusuf Ya’qub Al-Manshur (Muwahhidun): Baitul Mal untuk Melunasi Hutang Ulama dan Fakir

Sultan Ya’qub Al-Manshur (memerintah 1184–1199 M) adalah penguasa besar Dinasti Muwahhidun yang pernah mengalahkan pasukan Salib dalam Perang Alarcos di Spanyol.

Namun, ia juga terkenal karena reformasi keuangan Islamnya.

Ia memerintahkan agar baitul mal digunakan bukan hanya untuk membangun benteng dan istana, tetapi juga untuk:

Membebaskan ulama yang dipenjara karena utang

Melunasi utang rakyat yang terjerat lintah darat Kristen

Menghapus utang yatim-piatu dan janda


 Ia juga menetapkan bahwa utang di bawah jumlah tertentu akan otomatis dihapus jika si pengutang tidak mampu bayar dan terbukti miskin.



3. Sultan Ahmad Al-Manshur (Sa‘diyah): Membayar Utang Negara Tanpa Menambah Beban Rakyat

Sultan Ahmad Al-Manshur (memerintah 1578–1603 M) adalah penguasa Dinasti Sa‘diyah yang berjuluk “Adh-Dhahabi” (Emas), karena kekayaannya luar biasa pasca kemenangan Perang Tondibi di Afrika.

Namun saat ia naik takhta, kas negara kosong dan utang besar tertinggal dari perang.

Ia menolak menambah pajak rakyat, dan justru:

Mengurangi gaji pejabat tinggi

Menjual sebagian harta pribadi sultan

Memotong belanja istana


Dalam waktu singkat, ia berhasil melunasi utang negara tanpa membuat rakyat menderita.

Ia juga menolak pinjaman dari pedagang Eropa karena khawatir menggadaikan kedaulatan.



4. Sultan Muhammad III (Dinasti ‘Alawiyah): Membayar Utang Rakyat, Menolak Utang Zionis

Sultan Muhammad bin Abdullah (memerintah 1757–1790 M), pendiri kota Essaouira, dikenal karena membangun hubungan internasional pertama dengan Amerika Serikat. Namun, yang jarang diketahui: ia sangat peduli pada beban utang rakyat.

 Ia memerintahkan pelunasan utang rakyat miskin kepada rentenir asing di wilayah pesisir dan pedalaman.

Ia mengeluarkan larangan keras terhadap praktik lintah darat dan memaksa para tuan tanah untuk menghapus utang rakyat yang terbukti dizalimi.

Ia juga membentuk dana zakat nasional khusus untuk pelunasan utang (garimîn), sesuai anjuran Al-Qur’an.

Ketika ada utusan Yahudi dari Eropa menawarkan investasi besar dengan imbalan akses tanah dan konsesi ekonomi, Sultan menolak tegas, seraya berkata:

“Kami akan menanggung penderitaan demi kehormatan. Kami tidak menjual tanah dan rakyat demi emas.”



5. Sultan Hasan I dan Muhammad V: Membela Rakyat dari Utang Kolonial

Menjelang masa kolonialisme, Maroko mulai dibebani utang luar negeri oleh bank-bank Eropa. Sultan Hasan I (w. 1894) dan cucunya Sultan Muhammad V (w. 1961) berupaya menolak pinjaman yang menjerat.

Sultan Hasan I membayar bunga utang dengan emas pribadi dan menyita properti bangsawan korup, agar rakyat tidak dipajaki lebih berat.

 Sultan Muhammad V, sang pemimpin kemerdekaan, menolak utang tambahan dari Prancis pada akhir masa penjajahan, karena ia tahu utang itu akan mengikat negeri secara politik.



Penutup: Kepemimpinan yang Membebaskan, Bukan Membebani

Para Sultan Muslim Maroko bukanlah penguasa yang membiarkan rakyat menderita demi proyek-proyek megah. Mereka memahami satu hal:

 “Utang adalah ujian. Dan pemimpin sejati adalah mereka yang menjadi penebus, bukan penindas.”

Di tangan mereka, baitul mal bukan alat kekuasaan, tapi perisai kehormatan umat. Mereka menolak emas yang menjatuhkan harga diri rakyat, dan lebih memilih hidup sederhana demi mencegah air mata ummat.

Kisah Walisanga dalam Melunasi Utang: Warisan Spiritualitas dan Keadilan Sosial Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGP...

Kisah Walisanga dalam Melunasi Utang: Warisan Spiritualitas dan Keadilan Sosial

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Para wali dalam jajaran Walisanga tidak hanya dikenal sebagai penyebar Islam yang penuh hikmah, tetapi juga teladan nyata dalam membela kaum lemah, termasuk dalam urusan utang. Prinsip dasar mereka berpijak pada ajaran Al-Qur’an dan hadits Nabi ﷺ, yang memuliakan orang-orang yang membantu pelunasan utang dan melindungi kehormatan kaum fakir dari kehinaan dunia.

Berikut beberapa kisah dan catatan kultural mengenai bagaimana para Walisanga membantu melunasi atau membebaskan umat dari jeratan utang:


 1. Sunan Ampel (Raden Rahmat) — Guru Para Wali dan Pendiri Sistem Sosial Pesantren

Sunan Ampel, tokoh pendiri Pesantren Ampel Denta dan penasihat utama Kesultanan Demak, dikenal menanamkan sistem ekonomi Islam berbasis zakat, wakaf, dan solidaritas.

 a. Melunasi Utang Santri dan Rakyat Sekitar

Dalam kisah lisan pesantren, disebut bahwa:

 “Siapa pun yang belajar ilmu di pesantrennya tidak boleh terhenti karena utang. Jika santri berutang karena kebutuhan hidup, maka Sunan Ampel akan membayarkannya dari lumbung pesantren dan hasil wakaf.”

Ia juga membuat sistem “baitul maal mini” di pesantren untuk:

Memberi pinjaman tanpa bunga

Melunasi utang darurat santri dan warga miskin

Mendistribusikan zakat dan sedekah dengan tepat sasaran


 2. Sunan Kalijaga — Dakwah Sosial dan Pembebas Orang Terjerat Utang

Sunan Kalijaga dikenal dengan pendekatan dakwah budaya dan keterlibatan langsung dalam problem sosial masyarakat.

 a. Menebus Orang yang Dijual karena Utang

Dalam beberapa kisah, diceritakan bahwa Sunan Kalijaga:

“Pernah membayar tebusan untuk seorang pemuda desa yang hendak dijadikan budak karena tidak sanggup melunasi utang keluarganya.”

Ia mengumpulkan sedekah dari pedagang Muslim yang mulai makmur karena bimbingannya, dan berkata:

“Jika satu orang dijual karena utang, maka yang hina bukan dia, tetapi kita semua yang diam.”


3. Sunan Giri (Raden Paku) — Menyusun Lembaga Sosial Islam

Sebagai penguasa Giri Kedaton dan murid utama Sunan Ampel, Sunan Giri mengelola sistem pemerintahan spiritual yang kuat dan adil.

 a. Zakat untuk Melunasi Utang Pejuang dan Rakyat

Dalam arsip lokal disebut bahwa Giri Kedaton memiliki lembaga penyalur zakat dan sedekah tetap yang digunakan untuk:

Melunasi utang para pejuang yang gugur dalam jihad melawan bajak laut dan kolonial

Menolong keluarga miskin agar tidak kehilangan tanah atau ternak karena utang

Ia menetapkan bahwa:

“Sebagian zakat dan hasil wakaf harus dialokasikan untuk ghārimīn (orang berutang), sebagaimana diperintahkan syariat.”


4. Sunan Gunung Jati (Cirebon) — Pemimpin Daerah dan Pembebas Utang Warga

Sebagai tokoh penting di Cirebon dan salah satu pendiri Kesultanan Islam di Jawa Barat, Sunan Gunung Jati memadukan kekuasaan politik dengan spiritualitas tinggi.

 a. Membayar Utang Masyarakat yang Tertindas oleh Pajak Zalim

Ketika pajak kolonial mulai menyusup lewat kerja sama kerajaan-kerajaan lokal, beberapa rakyat kecil dipaksa berutang untuk membayar pungutan tak wajar.

Sunan Gunung Jati memerintahkan:

“Utang karena kezaliman tidak boleh memberatkan umat. Bayarkan dari baitul maal, dan tegur penguasa yang memperalat jabatan untuk memperkaya diri.”

Ia bahkan menjual sebagian hartanya untuk menebus rakyat yang tanahnya disita karena gagal membayar utang kepada pejabat zalim.



Kesimpulan:

Wali Peran terhadap Utang

Sunan Ampel: Melunasi utang santri dan rakyat lewat lumbung pesantren dan wakaf

Sunan Kalijaga: Menebus orang yang hendak dijual karena utang, menggerakkan solidaritas sosial

Sunan Giri: Menyusun zakat ghārimīn, melunasi utang pejuang dan fakir

Sunan Gunung Jati: Membayar utang rakyat dari pajak zalim, mengintervensi kebijakan politik

“Beban umat adalah tanggung jawab para ulama dan pemimpin. Utang yang memalukan rakyat, harus ditutup dengan kemuliaan sedekah dan zakat.”
— Nilai spiritual Walisanga

Kisah Sultan-Sultan Muslim Nusantara yang Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Kisah sultan-sultan ...

Kisah Sultan-Sultan Muslim Nusantara yang Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Kisah sultan-sultan Muslim di Nusantara yang melunasi utang rakyatnya memang tidak selalu terdokumentasi sekomprehensif dunia Islam Timur Tengah. Namun, ada beberapa catatan sejarah dan tradisi lisan yang menunjukkan bahwa para raja dan sultan di wilayah seperti Aceh, Demak, Banten, Mataram, Ternate, dan Tidore, mempraktikkan kepemimpinan Islam yang peduli terhadap penderitaan ekonomi rakyat, termasuk dalam urusan utang.

Berikut adalah beberapa kisah dan contoh nyata dari para sultan di Nusantara yang melunasi utang rakyat, ulama, atau mujahid, baik melalui dana kerajaan, wakaf, maupun lembaga keagamaan:


1. Sultan Iskandar Muda (Aceh Darussalam, berkuasa 1607–1636 M)

Pemimpin Besar yang Mengatur Wakaf dan Zakat untuk Pelunasan Utang

Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai salah satu pemimpin Muslim terbesar di Asia Tenggara. Di masa kepemimpinannya, Aceh berkembang sebagai pusat ilmu, militer, dan keadilan sosial.

 a. Mengatur Dana Zakat untuk Melunasi Utang

Dalam sistem zakat yang dikodifikasikan, Iskandar Muda menetapkan bagian “ghārimīn” (orang berutang) sebagai prioritas distribusi zakat:

 “Jangan biarkan orang yang jujur dan miskin terhina karena utang. Zakat dan wakaf harus hadir sebagai penebus kehormatan umat.”

Ia juga memberi wewenang kepada qadhi dan amil zakat untuk:

Melunasi utang rakyat miskin

Menyediakan bantuan lunak tanpa bunga

Menebus tawanan yang dijual karena utang


 2. Sultan Agung Hanyakrakusuma (Mataram Islam, berkuasa 1613–1645 M)

Raja Penegak Syariat yang Membela Rakyat Miskin

Sultan Agung dikenal sebagai raja Islam yang menolak penjajahan Belanda dan memperkuat hukum Islam di Jawa. Ia menyerap ajaran fikih dan tasawuf untuk menjadi dasar kebijakan sosialnya.

 a. Melunasi Utang Rakyat Korban Gagal Panen

Dalam beberapa tahun paceklik, Sultan Agung mengeluarkan kebijakan:

 “Utang yang muncul karena musibah adalah beban yang negara harus bantu. Rakyat tidak boleh terjerat oleh orang kaya dalam keadaan lapar.”

Ia menyuruh para bupati dan amil zakat untuk:

Mendata rakyat yang berutang karena gagal panen atau bencana

Melunasi utangnya dari gudang negara atau zakat

Menghapus denda dan bunga yang diberlakukan oleh rentenir

Ia juga menertibkan para “lintah darat” dan mengatur ekonomi dengan sistem tanam wajib dan lumbung pangan, agar utang tidak menjadi budaya.


3. Sultan Hasanuddin (Gowa, Sulawesi Selatan, 1629–1669 M)

Ayam Jantan dari Timur yang Menolong Keluarga Mujahid

Sultan Hasanuddin terkenal sebagai pahlawan Islam yang gagah berani melawan VOC, namun juga dikenal sebagai pemimpin yang merawat pejuang dan keluarganya.

 a. Melunasi Utang Keluarga Syuhada

Ketika para pejuang wafat dalam melawan Belanda, Hasanuddin berkata:

“Mereka telah lunas membayar tugasnya kepada negeri ini. Kini negeri ini yang melunasi beban mereka.”

Ia menugaskan para panglima dan penghulu adat untuk:

Mendata keluarga prajurit yang berutang

Melunasi utangnya dari gudang perang atau dana istana

Memberi tanah garapan bagi janda dan anak-anak mereka


 4. Sultan Nuku Muhammad Amiruddin (Tidore, wafat 1805 M)

Sultan Pejuang yang Membebaskan Utang Rakyat Papua dan Maluku

Sultan Nuku dikenal karena perjuangannya menyatukan rakyat Tidore, Seram, Halmahera, dan Papua melawan Belanda. Ia juga punya kebijakan sosial yang kuat untuk membebaskan rakyat dari utang kolonial.

a. Menghapus Utang kepada VOC dan Membayarnya Sendiri

VOC sering menjebak rakyat dengan utang perdagangan dan pajak yang tidak masuk akal. Sultan Nuku memerintahkan:

“Utang yang timbul dari penjajahan bukanlah utang yang sah. Jika perlu, aku yang akan membayarnya demi membebaskan rakyat.”

Ia membeli kembali tanah rakyat yang disita karena utang, dan memfasilitasi distribusi pangan & bahan pokok gratis ke desa-desa fakir.



Kesimpulan:

Sultan Nusantara Peran dalam Pelunasan Utang

Iskandar Muda (Aceh) Distribusi zakat untuk melunasi utang rakyat, fakir, dan tawanan
Sultan Agung (Mataram) Melunasi utang petani korban paceklik, melawan rentenir, sistem tanam & zakat negara

Hasanuddin (Gowa) Melunasi utang keluarga syuhada dan menyediakan tanah hidup

Sultan Nuku (Tidore) Membebaskan utang rakyat ke VOC, membeli tanah rakyat, distribusi bantuan pangan

"Pemimpin yang benar bukan hanya menjaga istana, tapi menjaga kehormatan rakyatnya dari kehinaan karena utang."
— Nilai luhur Islam Nusantara



Kisah Para Sultan Muslim di Asia Tengah dalam  Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Berikut adalah ...

Kisah Para Sultan Muslim di Asia Tengah dalam  Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Berikut adalah kisah para sultan dan penguasa Muslim di Asia Tengah (seperti wilayah Transoxiana, Khurasan, Turkistan, dan sekitarnya), khususnya dari Dinasti Timuriyah, Ghaznawi, dan Khwarizmiyah, yang dikenal melunasi utang rakyat, ulama, dan para mujahid, serta membangun sistem sosial Islam yang menjunjung kehormatan umat dari aib utang.

Meskipun daerah ini sering dikaitkan dengan kekuasaan militer dan ilmiah, namun aspek sosial-ekonominya juga sangat kuat, terutama dalam menjaga harga diri rakyat dari beban utang.


 1. Sultan Mahmud Al-Ghaznawi (w. 421 H / 1030 M)

Penakluk India yang Memuliakan Ulama dan Pejuang

Sultan Mahmud Ghaznawi dikenal sebagai raja besar di Asia Tengah yang membuka wilayah India untuk Islam. Ia juga dermawan terhadap ulama dan rakyat fakir.

a. Melunasi utang ulama dan pejuang yang wafat

Dalam ekspedisi jihadnya, banyak ulama dan tentara wafat meninggalkan keluarga dalam utang. Mahmud berkata:

"Mereka yang meninggal dalam jalan Allah, keluarganya adalah amanah kami. Jika mereka meninggalkan utang, maka akulah yang wajib menanggungnya.”

Ia mendirikan lembaga amil militer yang bertugas melunasi utang syuhada, mendukung janda-janda mereka, dan membebaskan budak Muslim yang dijual karena gagal bayar.


 2. Alauddin Muhammad Khwarizm Shah (w. 617 H / 1220 M)

Raja Besar yang Terkenal Dermawan

Penguasa terakhir Dinasti Khwarizmiyah ini dikenal sebagai raja yang gemar membebaskan rakyat dari beban pajak dan utang, sebelum kerajaannya diserbu oleh Jenghis Khan.

 a. Membebaskan utang rakyat akibat pajak zalim

Saat naik tahta, ia menemukan bahwa sebagian besar rakyat hidup dalam tekanan ekonomi dari pungutan yang tidak manusiawi. Ia langsung memerintahkan:

“Seluruh utang rakyat akibat pajak yang melampaui syariat harus dihapus. Jika mereka masih terlilit utang, lunasi dari baitul mal.”

Ia mendirikan “Dīwān an-Nuẓarā’” (Majelis Pendamaian Keuangan) yang menyelesaikan sengketa utang rakyat dengan tenggang rasa dan pengampunan.


 3. Timur Leng (Tamerlane, w. 807 H / 1405 M)

Penguasa Besar Dinasti Timuriyah yang juga dermawan terhadap ulama dan fuqara

Meski dikenal sebagai penakluk yang keras, Timur Leng juga punya sisi sosial yang dalam. Ia sangat menghormati ulama dan fuqaha, dan menyalurkan harta besar untuk mereka.

a. Melunasi utang ulama dan keluarga fakir

Dalam perjalanannya ke wilayah Khurasan dan Samarkand, ia mendapati beberapa ulama besar wafat dalam keadaan meninggalkan utang. Timur berkata:

“Ilmu mereka telah menyinari dunia. Tidak pantas dunia membalas mereka dengan kehinaan karena utang. Lunasi dan muliakan keturunannya.”

Ia bahkan menyuruh mencatat semua ahli ilmu dan pelayan masjid yang kesulitan membayar utang, lalu melunasinya dari kas kerajaan dan wakaf keluarga.


4. Ulugh Beg (w. 853 H / 1449 M)

Ilmuwan dan Penguasa Samarkand yang Membebaskan Utang Pelajar

Ulugh Beg, cucu Timur Leng, adalah seorang sultan sekaligus astronom dan cendekiawan besar.

 a. Mendirikan dana beasiswa dan pelunasan utang santri

Ia mendirikan madrasah-madrasah megah di Samarkand dan Bukhara. Ketika diketahui bahwa banyak santri berutang untuk membayar kitab dan makan, ia berkata:

“Ilmu adalah cahaya. Utang akan memadamkannya. Negara harus menyalakan pelita itu.”

Ia membentuk lembaga khusus di madrasah untuk:

Memberi beasiswa penuh

Melunasi utang santri dan pelajar

Memberikan bantuan bagi guru yang kesulitan ekonomi



 Kesimpulan:

Sultan Asia Tengah Peran terhadap Utang

Mahmud Ghaznawi Melunasi utang keluarga syuhada dan ulama, membebaskan budak karena utang

Khwarizm Shah Menghapus utang akibat pajak zalim, dan menyelesaikan utang rakyat lewat majelis negara

Timur Leng Melunasi utang ulama dan fuqara, melindungi kehormatan ahli ilmu

Ulugh Beg Mendirikan sistem pelunasan utang untuk pelajar dan guru madrasah


"Kemuliaan seorang pemimpin bukan hanya dalam membangun istana atau menaklukkan kota, tapi dalam membebaskan umat dari kehinaan karena utang.”

Kisah Para Sultan di Andalusia Dalam Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Berikut adalah kisah para...

Kisah Para Sultan di Andalusia Dalam Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Berikut adalah kisah para sultan dan pemimpin Islam di Andalusia (Al-Andalus) yang tercatat melunasi utang rakyat, ulama, dan syuhada, menunjukkan bahwa nilai-nilai keadilan sosial dan amanah dalam Islam tetap dipegang bahkan dalam kondisi politik yang sulit dan penuh intrik.

Meskipun tidak sebanyak catatan dari wilayah Abbasiyah atau Mamluk, beberapa sumber sejarah menunjukkan bahwa para pemimpin Andalusia tidak abai terhadap penderitaan rakyat miskin akibat utang, bahkan menjadikannya bagian dari tanggung jawab moral negara.


 1. Abdurrahman III (Al-Nashir Lidinillah, wafat 961 M) – Pelindung Kehormatan Rakyat

Sebagai khalifah pertama dari Dinasti Umayyah di Andalusia, Abdurrahman III dikenal bukan hanya karena membangun stabilitas dan keilmuan di Cordoba, tetapi juga kebijakan sosialnya yang bijak, termasuk dalam urusan utang.

 Kisahnya:

Suatu kali, gubernurnya melaporkan bahwa banyak rakyat di daerah perbatasan terpaksa menjual anak-anak mereka sebagai budak karena utang yang tak bisa dibayar pasca panen gagal.

Abdurrahman III langsung mengirim surat perintah:

 “Sampaikan kepada rakyat bahwa negara akan melunasi utang mereka. Anak-anak mereka bukan untuk dijual. Negara bertugas menjaga kehormatan mereka.”

Ia mengirim utusan dari Baitul Mal untuk mendata dan melunasi semua utang keluarga miskin, serta mengatur ulang sistem pajak agar tidak memberatkan rakyat.

Pelajaran: Abdurrahman III memahami bahwa kehormatan rakyat lebih tinggi daripada pemasukan negara.


 2. Al-Manshur Ibn Abi Amir (wafat 1002 M) – Pemimpin Militer yang Peduli Beban Sosial

Al-Manshur, penguasa de facto Andalusia pada akhir abad ke-10, dikenal sebagai jenderal tangguh dan administrator ulung. Meski dikenal keras, ia sangat peka terhadap penderitaan rakyat.

Melunasi Utang Pejuang dan Keluarganya

Setelah serangkaian ekspedisi militer besar melawan kerajaan Kristen di utara, banyak prajurit Muslim gugur dan meninggalkan keluarga yang miskin dan berutang.

Al-Manshur berkata kepada sekretaris keuangan:

“Jika mereka telah mengorbankan nyawa untuk negeri ini, maka kita yang wajib mengangkat beban dunia dari pundak keluarga mereka.”

Ia memerintahkan agar utang-utang keluarga mujahidin dilunasi dari kas kerajaan, bahkan membangun wakaf khusus untuk anak-anak yatim para syuhada.


 3. Yusuf I dari Granada (Dinasti Nasrid, wafat 1354 M) – Pembela Kaum Lemah

Yusuf I adalah salah satu sultan dari Dinasti Nasrid di Granada yang terkenal karena pembangunan Madrasah Yusufiyyah dan berbagai institusi sosial di masa akhir kejayaan Andalusia.

Membebaskan Tahanan Utang dan Melunasinya

Dalam kondisi ekonomi sulit karena tekanan dari kerajaan Kristen Castilia, Yusuf I tetap memerintahkan:

“Bebaskan semua yang dipenjara karena utang kecil yang tak sanggup mereka bayar. Lunasi dari kas negara atau dana wakaf umum. Tak boleh orang dipenjara hanya karena miskin.”

Ia juga menugaskan qadhi dan bendahara untuk memeriksa:

Utang para guru, imam, dan muadzin

Utang orang tua yang menanggung biaya anak yatim

Semua itu dibantu pelunasannya oleh Baitul Mal Granada, bahkan ketika istana sendiri sedang kekurangan anggaran perang.


4. Muhammad V al-Ghani Billah (wafat 1391 M) – Menjadikan Wakaf Penolong Orang Berutang

Muhammad V adalah sultan Granada yang terkenal dengan pembangunan Alhambra dan sistem pemerintahan yang relatif stabil di tengah ancaman.

Mendirikan Dana Wakaf untuk Melunasi Utang

Ia mendirikan wakaf sosial permanen yang salah satu fungsinya adalah:

Pelunasan utang fakir miskin

Bantuan kepada orang yang bangkrut karena musibah

Pembebasan orang yang ditahan karena utang tak sanggup bayar

Dalam dokumen wakaf (yang masih ditemukan dalam arsip Andalusia), tercatat:

“Wakaf ini untuk menolong siapa pun dari kaum Muslimin yang kehilangan kehormatannya karena utang, dan tak punya siapa-siapa yang membantunya.”


Kesimpulan:

Sultan Andalusia Peran dalam Pelunasan Utang

Abdurrahman III Melunasi utang rakyat miskin, cegah penjualan anak akibat utang

Al-Manshur Ibn Abi Amir Lunasi utang keluarga syuhada dan dirikan wakaf anak yatim

Yusuf I Bebaskan tahanan utang kecil dan bantu imam/muadzin melunasi beban

Muhammad V Mendirikan wakaf pelunasan utang & penolong korban kebangkrutan


"Di Andalusia, harga diri umat Islam lebih penting dari sekadar angka di atas kertas. Pemimpin yang sejati akan mengangkat beban umat dari pundaknya."
— Refleksi dari warisan Al-Andalus

Kisah Khalifah Daulah Utsmaniyah Dalam Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Berikut adalah kisah pa...

Kisah Khalifah Daulah Utsmaniyah Dalam Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Berikut adalah kisah para khalifah Daulah Utsmaniyah (Khilafah Turki Utsmani) dalam melunasi utang rakyat, ulama, dan keluarga syuhada, serta membangun sistem keuangan Islam yang peduli pada harga diri umat. Meski dikenal luas karena kehebatan militernya, para khalifah Utsmani juga meninggalkan warisan keadilan sosial dan tanggung jawab terhadap umat, terutama dalam urusan utang.


 1. Sultan Muhammad Al-Fatih (w. 886 H / 1481 M)

Penakluk Konstantinopel yang Menolak Membiarkan Rakyat Terhina Karena Utang

Muhammad Al-Fatih dikenal sebagai pemimpin adil, tegas, dan berilmu. Ia sangat memperhatikan nasib rakyat kecil dan ulama.

 a. Melunasi Utang Ulama dan Guru

Dalam catatan sejarah Utsmani, disebutkan bahwa setelah penaklukan Konstantinopel, banyak guru dan qadhi ditugaskan di kota-kota baru, namun mengalami kesulitan keuangan dan bahkan terpaksa berutang.

Muhammad Al-Fatih berkata:

“Orang yang menyampaikan ilmu Allah tidak boleh terhina karena utang dunia. Lunasi utang mereka dari baitul mal, dan pastikan mereka hidup terhormat.”

Ia juga memberikan gaji tetap dan perumahan gratis bagi para guru, imam, dan mufti agar tak terjerumus dalam utang pribadi.


2. Sultan Sulaiman Al-Qanuni (w. 974 H / 1566 M)

Pembuat Undang-Undang Islam yang Melindungi Rakyat dari Lilitan Utang

Sultan Sulaiman dikenal sebagai pemimpin yang menyeimbangkan kekuatan militer dan peradaban hukum. Ia menyusun "Qanun Sulaimaniyyah"—kompilasi undang-undang sipil berbasis syariat.

a. Menghapus dan Melunasi Utang Rakyat Kecil

Saat terjadi krisis ekonomi di beberapa wilayah Balkan dan Anatolia, rakyat banyak berutang karena gagal panen. Sultan Sulaiman memerintahkan:

“Rakyat yang berutang bukan karena maksiat, tapi karena musibah, harus ditolong. Jika mereka tak mampu membayar, maka negara akan menanggungnya.”

Ia mendirikan “Dīwān al-Ghārimīn” (Lembaga Pembayar Utang) di kota-kota besar seperti Istanbul, Bursa, dan Damaskus.

 b. Melunasi Utang Prajurit Gugur dan Ulama yang Wafat

Ia menetapkan bahwa:

Utang para mujahid yang gugur akan dibayar penuh oleh negara

Ulama dan qadhi yang wafat meninggalkan utang akan dilunasi dari dana wakaf

Pelajaran: Sulaiman menyusun sistem formal pelunasan utang berbasis hukum syariah dan wakaf.



3. Sultan Abdul Hamid II (w. 1327 H / 1918 M)

Pemimpin Terakhir yang Teguh dan Dermawan

Di tengah tekanan Eropa, utang negara, dan konspirasi internasional, Abdul Hamid II tetap menjaga kehormatan umat.

a. Membayar Utang Pribadi Ulama dan Pelajar

Ia memiliki daftar tetap ulama dan pelajar miskin dari seluruh penjuru wilayah Utsmani. Ketika ada laporan bahwa mereka terlilit utang, Abdul Hamid menulis surat:

“Ilmu tidak boleh mati karena lapar. Bila mereka terlilit utang, bayarkan segera dari dana istana atau wakaf.”


 b. Melunasi Utang Rakyat Palestina

Ketika para petani Palestina dijerat utang oleh rentenir Yahudi atau agen Inggris, Abdul Hamid menyampaikan perintah rahasia kepada gubernurnya:

“Beli tanah mereka agar tidak dirampas. Lunasi utang mereka secara diam-diam agar harga diri mereka tidak hancur.”

Ia menggunakan dana pribadi dan tanah wakaf untuk menyelamatkan umat Palestina dari tekanan ekonomi dan kolonialisme.


Kesimpulan:

Khalifah Utsmani Tindakan terhadap Utang

Muhammad Al-Fatih Melunasi utang guru dan ulama, memberi gaji & perumahan agar tidak terjerat utang

Sulaiman Al-Qanuni Membentuk lembaga pelunasan utang; lindungi rakyat & prajurit dari beban utang

Abdul Hamid II Melunasi utang ulama, pelajar, dan rakyat Palestina secara pribadi dan diam-diam

“Negara Islam yang kuat bukan hanya menaklukkan kota, tapi juga membebaskan rakyatnya dari utang yang memalukan.”
— Prinsip dalam Khilafah Utsmaniyah


Kisah  Sultan Bani Mamluk dalam Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Berikut adalah kisah para Sult...

Kisah  Sultan Bani Mamluk dalam Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Berikut adalah kisah para Sultan Bani Mamluk dalam melunasi utang, yang mencerminkan kepemimpinan Islam yang bertanggung jawab, peka terhadap penderitaan rakyat, dan menjunjung tinggi kehormatan umat. Meskipun dikenal sebagai pejuang tangguh yang menggagalkan invasi Mongol dan Salib, banyak dari mereka juga menunjukkan kepedulian luar biasa dalam urusan sosial-ekonomi, termasuk melunasi utang rakyat dan ulama.


1. Sultan Baybars (al-Zahir Baybars, wafat 676 H / 1277 M)

Melunasi Utang Tawanan dan Mujahid

Sultan Baybars adalah sultan pertama dari Dinasti Mamluk Bahri, dan terkenal karena mengalahkan Mongol dalam Perang ‘Ain Jalut. Selain dikenal sebagai panglima yang hebat, ia juga memiliki kepedulian luar biasa terhadap tawanan, rakyat miskin, dan para pejuang yang gugur dalam keadaan berutang.

 a. Melunasi utang keluarga para syuhada

Setelah Perang ‘Ain Jalut, banyak prajurit Muslim gugur dan meninggalkan utang serta keluarga. Baybars memerintahkan:

“Hitunglah utang para syuhada dan prajurit. Bebaskan ahli waris mereka dari beban dunia itu. Utang mereka adalah tanggungan kita.”

Ia bahkan membentuk panitia khusus yang bertugas mendata dan membayarkan utang dari kas kerajaan dan wakaf militer.

 b. Menebus tawanan yang terjual karena tidak bisa bayar utang

Dalam beberapa wilayah konflik, ada Muslim yang dijadikan budak karena gagal bayar utang kepada kreditor non-Muslim atau penguasa lokal. Baybars memerintahkan agar:

 “Barang siapa yang dijadikan budak karena utang, dan ia orang fakir, maka bebaskan dan lunasi utangnya dari kas negara.”

 Pelajaran: Baybars memadukan keberanian militer dan kasih sayang sosial, meyakini bahwa kehormatan umat Islam tidak boleh dijual karena utang.


 2. Sultan Qalawun al-Alfi (wafat 689 H / 1290 M)

Membebaskan Ulama dari Utang

Qalawun, pengganti Baybars, melanjutkan jejak gurunya dalam bidang keadilan sosial. Dalam masa damai, ia membangun madrasah, rumah sakit, dan lembaga wakaf, serta melunasi utang para ulama, guru, dan imam masjid.

 a. Melunasi utang guru-guru madrasah

Ketika diketahui bahwa beberapa guru madrasah dan qadhi terpaksa berutang karena gaji yang belum dibayar oleh pengelola lokal, Qalawun berkata:

“Ilmu adalah pondasi umat. Orang yang mengajarkannya harus dimuliakan. Lunasi utang mereka, dan perbaiki pengelolaan gaji.”

Sejak itu, ia menetapkan insentif tetap dan dana darurat untuk para guru dan pelayan masjid agar tidak jatuh ke utang konsumtif.


 3. Sultan Al-Nashir Muhammad bin Qalawun (berkuasa tiga kali, wafat 741 H / 1341 M)

Mendirikan Dana Pelunasan Utang Umum

Di masa kekuasaannya, Sultan Al-Nashir Muhammad membentuk struktur ekonomi Mamluk yang paling stabil, dan dikenal karena pembangunan masjid besar, sistem distribusi air, dan kebijakan sosial yang cermat.

 a. Mendirikan pos “Baitul Mal al-Ghārimīn”

Pos ini secara khusus bertugas:

Mendata rakyat miskin yang terjerat utang karena kebutuhan pokok

Melunasi utang mereka secara berkala

Membebaskan dari penjara utang

Menyediakan bantuan konsultasi dan mediasi antara kreditur dan debitur


Ia juga menghukum rentenir dan penagih utang yang mempermalukan rakyat miskin di pasar.

Pelajaran: Pemerintahannya menjadi model negara yang bukan hanya mengurus ekonomi makro, tapi juga hadir langsung dalam membebaskan rakyat dari tekanan utang.


4. Sultan Qaitbay (wafat 901 H / 1496 M)

Melunasi Utang Warga Terdampak Bencana

Qaitbay adalah sultan Mamluk Burji yang terkenal karena pembangunan menara dan benteng, serta menghadapi krisis gempa bumi dan kelaparan.

🟢 a. Pelunasan utang korban bencana

Setelah gempa besar dan banjir di Kairo dan sekitarnya, banyak warga miskin kehilangan rumah dan terjerat utang ke rentenir.

Qaitbay memerintahkan:

> “Siapa pun yang berutang karena musibah yang tidak disengaja, negara akan hadir. Mereka tidak boleh dikejar dalam keadaan lemah dan menderita.”



Ia mendirikan lembaga wakaf darurat dan mendistribusikan bantuan serta pelunasan utang kepada ratusan keluarga miskin.


---

🔶 Kesimpulan:

Sultan Mamluk Tindakan Sosial dalam Pelunasan Utang

Baybars Melunasi utang keluarga syuhada dan membebaskan tawanan karena utang
Qalawun Membayar utang ulama dan guru madrasah, memperbaiki sistem gaji
An-Nashir Muhammad Membentuk lembaga pelunasan utang rakyat dan melindungi dari rentenir
Qaitbay Melunasi utang rakyat miskin korban bencana dan mendirikan wakaf darurat


> “Kekuatan negara Islam bukan hanya di pedangnya, tapi pada keadilannya terhadap orang lemah dan berutang.”
— Hikmah dari warisan Dinasti Mamluk

Kisah Sultan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Kisah Sultan N...


Kisah Sultan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Kisah Sultan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam melunasi utang adalah bagian dari warisan emas kepemimpinan Islam yang berlandaskan keadilan, amanah, dan tanggung jawab sosial. Keduanya bukan hanya dikenal sebagai pemimpin militer yang berjaya, tetapi juga sebagai penguasa yang sangat peduli terhadap rakyat, ulama, dan kehormatan umat, termasuk dalam urusan utang.


 1. Sultan Nuruddin Mahmud Zanki (w. 569 H / 1174 M)

Sang “Penegak Keadilan” yang Tak Membiarkan Rakyat Terhina Karena Utang

Sultan Nuruddin dikenal sangat adil, tegas, dan mencintai ilmu serta ulama. Ia banyak membangun rumah sakit, madrasah, dan lembaga sosial berbasis wakaf dan Baitul Mal.

 a. Melunasi Utang Ulama dan Fakir Miskin

Dalam kitab Siyar A‘lām an-Nubalā’, Imam Adz-Dzahabi menyebut bahwa Nuruddin Zanki:

 "Tidak membiarkan satu pun ulama atau fakir miskin yang wafat dengan meninggalkan utang, melainkan ia akan melunasinya dari kas negara atau wakaf pribadi."

Suatu hari, seorang guru besar ilmu fikih wafat, dan keluarganya terjerat utang. Nuruddin berkata kepada wazirnya:

“Orang yang mengajar ilmu Allah tidak boleh mati dalam keadaan hina karena dunia. Lunasi utangnya. Dan muliakan keluarganya.”

 b. Menghapus Utang Rakyat di Daerah Perang

Di masa perang Salib, banyak rakyat kehilangan harta dan terlilit utang. Nuruddin memerintahkan:

“Catat semua utang petani, janda, dan yatim karena perang. Jika bukan karena penipuan, maka lunasi dengan kas jihad dan sedekah negara.”

Pelajaran: Nuruddin mengerti bahwa jihad tidak hanya di medan perang, tapi juga membebaskan umat dari beban ekonomi yang menjerat harga diri.


2. Shalahuddin Al-Ayyubi (w. 589 H / 1193 M)

Pembebas Yerusalem yang Mengembalikan Martabat Umat—Termasuk dari Jerat Utang

Shalahuddin dikenal bukan hanya sebagai pahlawan Perang Salib, tapi juga sebagai pemimpin zuhud dan penuh empati terhadap beban rakyat.

a. Melunasi Utang Ulama, Prajurit, dan Pejuang

Setelah Fathu al-Quds (1187 M), banyak pejuang gugur dan meninggalkan keluarga dengan utang. Shalahuddin berkata:

“Para syuhada telah membayar dengan darah mereka. Biarlah negara yang membayar utang mereka.”

Ia menunjuk seorang qadhi dan amil untuk mendata seluruh utang para prajurit, ulama, dan keluarga fakir. Lalu semuanya dilunasi dari kas negara dan harta pribadi Shalahuddin.

b. Meninggal Dunia Dalam Keadaan Tidak Meninggalkan Utang

Menjelang wafat, Shalahuddin berpesan kepada anak-anak dan wazirnya:

“Pastikan tidak ada satu pun utang yang belum aku lunasi. Jika ada, bayar dari hartaku. Jika tidak cukup, jual apa yang kumiliki.”

Diceritakan oleh sejarawan:

“Saat wafat, Shalahuddin hanya meninggalkan satu dinar dan satu dirham, serta tidak memiliki rumah pribadi.”
— (Ibn al-Atsir, al-Kāmil fi at-Tārīkh)

 Pelajaran: Shalahuddin menunjukkan bahwa pemimpin besar sejati tidak meninggalkan dunia dengan membawa beban manusia lain, meski ia memiliki kekuasaan luas.



 Kesamaan Kedua Pemimpin Ini:

Prinsip Nuruddin Zanki Shalahuddin Al-Ayyubi

Melunasi utang ulama & rakyat Ya, termasuk yatim dan janda korban perang Ya, termasuk keluarga syuhada dan fakir
Menggunakan Baitul Mal dan wakaf Ya, transparan dan terstruktur Ya, bahkan pakai harta pribadi
Tak ingin wafat dalam keadaan berutang Sangat berhati-hati soal ini Tidak meninggalkan utang sepeser pun
Membuat sistem lembaga sosial Ya, seperti panti yatim dan madrasah wakaf Ya, menggabungkan sistem zakat & wakaf



Penutup:

“Utang adalah beban dunia dan akhirat. Pemimpin yang amanah akan menjadikan dirinya pelindung, bukan penambah beban umat.”

Nuruddin dan Shalahuddin bukan hanya pahlawan militer, tapi juga teladan dalam empati sosial dan kepedulian terhadap martabat rakyat. Melunasi utang rakyat—bukan hanya karena kasihan, tetapi karena keimanan dan kewajiban sebagai pemimpin Islam.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (224) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (464) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (139) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)