basmalah Pictures, Images and Photos
08/09/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Sultan Salim I, Sakit pun Tetap Berjihad, Wafatnya Bersama Surat Yasin Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit sore itu menggantung be...

Sultan Salim I, Sakit pun Tetap Berjihad, Wafatnya Bersama Surat Yasin

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Langit sore itu menggantung berat di atas bentang kekaisaran Utsmani. Awan kelabu tak hanya menaungi langit Basra dan Edirne, tapi juga hati para pengikut Sultan Salim I. Angin berembus membawa aroma musim panas yang ganjil, seolah bumi tahu bahwa sebuah babak akan segera berakhir dalam sunyi dan luka.

Pada 17 Juli 1520, Sultan Salim I—yang dijuluki "Yavuz" (Si Tegas)—berdiri gagah di hadapan pasukannya. Matanya tajam memandang ke arah barat, ke tanah Ardanah yang hendak dibebaskan. Pasukan telah siap, pedang telah diasah, kuda-kuda telah menginjak tanah dengan semangat jihad. Namun tiba-tiba, seperti petir di siang hari, rasa sakit luar biasa menyerang bahu sang Sultan.

“Hasan,” panggilnya lirih di antara napas tertahan.

Hasan, pelayan dan sahabat setia Sultan, segera menghampiri. Ia membuka pakaian bagian belakang Sultan, dan matanya menangkap benjolan kecil sebesar biji merah. Warnanya tajam, kontras dengan kulit Sultan yang pucat. “Ini terlihat tidak biasa, Tuanku,” ucap Hasan khawatir.

“Akan hilang sendiri,” jawab Sultan, suaranya tegas namun melemah.

Malamnya, langit seolah menyesakkan bumi. Rasa sakit di punggung Sultan membakar seperti bara api. Ia terjaga sepanjang malam, tidak tidur, tidak mengeluh—hanya menatap langit dan menarik napas panjang seakan menahan badai dalam dadanya.

Menjelang subuh, ia mandi air hangat. Bisul di punggungnya kini membesar, memerah seperti luka yang menyala. Juru pijat dipanggil. Ia mencoba meredakan rasa sakit itu, tapi tak banyak membantu. Tabib berkata, “Ini Chirbangh, disebabkan oleh bakteri Ristaviloc. Belum ada obat yang bisa menyembuhkannya.”

Pagi hari menyapa dengan cahaya lembut, namun tubuh Sultan diguncang nyeri hebat. Para penasehat menyarankan agar pasukan dibatalkan. Tapi Sultan menatap mereka dan berkata:

“Aku telah berjanji kepada pasukanku. Aku bukan orang yang senang membatalkan janji.”

**

Pada 18 Juli, pasukan mulai bergerak menuju Ardanah. Suasana penuh tekad, namun langkah-langkah kuda terdengar berat karena rasa cemas. Sultan memimpin di atas kudanya, menahan rasa sakit yang tak terlukiskan. Alam seakan ikut bersedih—angin mengalun lirih, matahari meredup di balik awan.

Di tengah perjalanan, di sebuah lembah yang sunyi, tubuh Sultan tidak mampu lagi menahan beban. Ia jatuh lemah dari kudanya. Sebuah kemah kecil segera didirikan.

“Hasan…” bisiknya.

Hasan masuk dan melihat wajah Sultan yang pucat pasi. “Hampir saja aku menangis seperti anak kecil karena sakit ini,” ucap Sultan dengan mata memerah.

“Beristirahatlah, Tuanku,” kata Hasan. “Para tabib akan berusaha keras menyembuhkanmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan. “Obat bagi sakit ini adalah kematian.”

**

Hari-hari berlalu, tubuh Sultan kian mengering. Sendi-sendi tubuhnya remuk, seolah tulangnya telah kehilangan bentuk. Tabib kehabisan akal. Alam sekitar terasa lebih sunyi, angin pun tak lagi riuh. Waktu seperti melambat, menunggu sesuatu yang agung.

Utusan dikirim ke Istana membawa kabar duka. Dalam perkemahan, Sultan memanggil Hasan lagi.

“Apa yang terjadi, Hasan?”

“Inilah waktu manusia berserah kepada Rabb-nya,” jawab Hasan lembut.

Beberapa jam kemudian, perdana menteri tiba di kemah. Sultan mencoba menyambutnya namun tak sanggup berdiri.

“Insya Allah, Sultan akan sembuh,” ujar perdana menteri.

Sultan menggeleng pelan. “Cukuplah ini. Aku sangat lelah. Rasa sakit ini terlalu berat. Kematian tampaknya akan mengakhirinya. Putraku Sulaiman akan menggantikanku. Terimalah dia sebagaimana kalian menerimaku.”

Ia pun memanggil Hasan lebih dekat.

“Wahai Hasan, bacakan aku surat Yasin.”

Hasan duduk di sampingnya. Dengan suara bergetar dan air mata yang jatuh tak tertahan, ia mulai membaca:

Yaa Siin. Wal-Qur’aanil Hakiim...

Sultan mendengarkan dengan khidmat. Meski tubuhnya lemah, jiwanya kuat seperti batu karang. Ketika Hasan sampai pada ayat:

“Lahum fiihaa faakihatun wa lahum maa yadda’uun. Salaamun qawlam mir rabbir rahiim.”

Sultan menarik napas panjang dan menghembuskannya. Tubuhnya tenang. Matanya tertutup. Sebuah keheningan turun bersama rahmat langit.

Hasan menghentikan bacaannya. Ia memandang wajah Sultan, lalu memeluk tubuhnya yang sudah tak bernyawa. “Telah pergi seorang raja yang lebih mencintai jihad daripada nyawanya sendiri,” bisiknya.

Malam itu, Jumat 21 Agustus 1520, langit menangis dalam diam. Tanah Ardanah menjadi saksi bisu atas wafatnya seorang mujahid agung, yang berpulang di bawah bacaan Yasin dan dalam pangkuan doa-doa yang mengalir seperti air mata.

**

Sultan Salim I tak hanya meninggalkan tahta dan wilayah kekuasaan. Ia meninggalkan jejak keberanian, kesetiaan pada janji, dan cinta pada jihad yang tak pudar meski maut sudah menunggu. Bahkan dalam sakit yang tak tertahankan, ia memilih tetap berada di barisan depan.

Dan kini, jasadnya mungkin telah ditelan bumi, namun namanya kekal dalam lembar sejarah yang suci.

Siapa pun yang membaca kisahnya, akan bertanya dalam diam:

“Sudahkah aku seteguh itu dalam menepati janji kepada Allah?”

Langit kembali terang, seolah berkata: “Beginilah para pejuang berpulang—dengan mulia, dalam damai, dan bersama Al-Qur’an.”



Sumber:
Mahmud Mustafa Saad, Golden Stories, Pustaka Al-Kautsar

Jawaban Tanda Bukti Pembelian Rumah di Surga Muncul di Batu Nisannya Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin musim panas menyapa pelan ...

Jawaban Tanda Bukti Pembelian Rumah di Surga Muncul di Batu Nisannya

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Angin musim panas menyapa pelan tanah Basrah. Langit cerah, namun udara terasa berat—seolah menahan ribuan kisah yang belum selesai. Di antara desir angin itu, seorang lelaki asing melangkah perlahan, matanya menyimpan harapan yang telah ia bawa jauh dari negeri Khurasan.

Ia datang bukan sebagai musafir biasa. Lelaki ini telah menjual seluruh hartanya. Tanah, rumah, ladang, dan kenangan. Ia tinggalkan segalanya demi satu keinginan yang sederhana namun dalam: membeli rumah untuk keluarganya. Tak banyak yang ia bawa, hanya 10.000 dirham, secarik harapan, dan seorang istri yang setia berjalan di sisinya.

Sesampainya di Basrah, niat hati mereka langsung terarah ke Mekkah. Haji menjadi panggilan spiritual yang tak bisa ditunda. Sebelum berangkat, lelaki itu menitipkan seluruh uangnya kepada seseorang yang ia percaya: Habib Abu Muhammad, seorang lelaki saleh yang dikenal karena ketakwaannya.

> “Aku dan istriku akan menunaikan haji,” ujarnya dengan suara penuh kejujuran.
> "Aku ingin membeli rumah di Basrah seharga 10.000 dirham. Jika engkau menemukan rumah seharga itu, maka belilah rumah itu untukku.”



Habib memandang mata lelaki itu. Ada keikhlasan di sana. Ada ketundukan seorang hamba yang tidak melekat pada dunia, melainkan menjadikannya tangga menuju akhirat. Habib mengangguk, menerima amanah itu dengan niat suci.

**

Hari-hari berlalu. Langit Basrah yang semula cerah mendadak murung. Musim paceklik datang tak diundang. Lumbung-lumbung kosong. Pasar sunyi. Anak-anak menangis kelaparan. Orang-orang berbaring lemas menanti harapan yang tak kunjung datang.

Habib melihat semuanya dengan mata berkaca-kaca. Ia gelisah. Di satu sisi ia memegang amanah yang besar, di sisi lain ia melihat manusia sekarat, tangisan ibu-ibu yang kehilangan susu untuk bayinya, dan bapak-bapak yang kehilangan harapan pada siang hari yang panas membakar.

Ia mengumpulkan sahabat-sahabatnya, duduk di bawah cahaya remang, memohon petunjuk.

> “Bagaimana jika uang 10.000 dirham ini kita sedekahkan kepada mereka yang kelaparan?”
> "Aku akan membelikan rumah untuknya—bukan di Basrah, tapi di Surga. Dan jika ia menolak, aku yang akan mengganti uang itu.”



Para sahabat terdiam. Keheningan adalah tanda bahwa kata-kata telah mencapai kedalaman jiwa mereka. Akhirnya mereka mengangguk.

Dengan hati bergetar, Habib membeli tepung. Tepung itu diolah menjadi roti. Roti itu dibagikan—dengan tangan gemetar, dengan mata basah. Setiap suapan menjadi kehidupan. Setiap gigitan menjadi saksi amal yang diam. Habib tidak membeli rumah dari batu dan kayu, ia membeli tempat di Surga dengan harapan dan doa orang-orang lapar.

**

Beberapa minggu kemudian, lelaki dari Khurasan kembali dari Mekkah. Wajahnya bersinar dengan cahaya ibadah. Ia menemui Habib, suaranya tetap hangat dan bersahaja.

> “Aku pemilik uang 10.000 dirham. Aku tak tahu, apakah engkau telah membelikan rumah untukku, atau engkau akan mengembalikan uang itu agar aku belikan sendiri.”



Habib menatapnya lama. Lalu dengan tenang ia menjawab,

> “Aku telah membelikan rumah untukmu. Yang di dalamnya terdapat istana, taman-taman, pohon buah-buahan, dan sungai yang mengalir jernih di surga.”



Lelaki itu terdiam. Sejenak hening menggantung. Ia mengangguk perlahan, lalu pulang ke rumahnya untuk menyampaikan kabar itu kepada istrinya.

Di rumah, sang istri mendengarkan dengan cermat. Lalu ia berkata,

> “Mintalah tanda bukti jual beli itu.”



Wanita itu bukan ragu, ia hanya ingin menjaga hak suaminya dan menjaga kepercayaan. Maka, lelaki itu kembali menemui Habib.

> “Kami menerima transaksimu dengan Allah. Tulislah untuk kami tanda buktinya.”



Habib terharu. Ia memanggil seorang penulis, lalu dicatatlah surat perjanjian itu di atas kertas.

> “Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah tanda bukti bahwa Habib Abu Muhammad telah membeli dari Tuhannya, untuk sahabatnya dari Khurasan, sebuah rumah di Surga—lengkap dengan istana, sungai yang mengalir, dan pepohonan yang rindang. Dengan harga 10.000 dirham. Tuhan yang Maha Tinggi akan menyerahkan rumah itu kepada sahabat dari Khurasan dan membebaskan Habib dari segala tuntutan.”



Lelaki itu membaca tulisan itu perlahan, lalu membawanya pulang dan menyerahkannya pada istrinya. Tidak ada emas atau bangunan yang ia bawa dari Mekkah, tetapi ada secarik kertas yang lebih berat dari dunia dan isinya.

**

Empat puluh hari kemudian, lelaki itu wafat. Ia meninggalkan dunia dengan tenang, setelah menitipkan wasiat pada istrinya: agar surat pembelian rumah di surga itu ditempelkan di kain kafannya.

Jenazahnya dimandikan. Dikafani. Dan surat itu diselipkan, sebagaimana ia minta.

Tiga hari berlalu setelah pemakamannya. Masyarakat Basrah diguncang peristiwa aneh yang belum pernah mereka saksikan. Di atas makamnya, tampak selembar kulit tipis, seperti diturunkan dari langit. Di atasnya tertulis kalimat:

> “Habib Abu Muhammad telah membeli rumah di surga untuk sahabatnya dari Khurasan. Tuhan telah menyerahkan rumah itu sesuai syarat yang telah ditetapkan. Dan Habib dibebaskan dari segala tuntutan.”



Wajah-wajah takjub memandang langit. Ada yang menangis. Ada yang bersujud. Ada yang menggenggam tanah makam dengan erat, berharap semoga akhir hidup mereka pun ditulis dalam tinta langit.

Tulisan itu dibawa kepada Habib. Ia menerimanya dengan tangan gemetar. Bibirnya bergetar membaca kata demi kata. Kemudian ia mencium tulisan itu, memeluknya, lalu berkata kepada sahabat-sahabatnya dengan suara tercekik haru,

> “Ini... ini jaminan kebebasan dari Tuhanku.”



**

Kisah ini bukan sekadar tentang uang dan rumah. Ini adalah kisah tentang iman yang dibenamkan ke dalam amal. Tentang sebuah transaksi yang tidak tercatat dalam pasar dunia, tetapi terpatri dalam catatan langit. Tentang keikhlasan yang tidak mencari imbalan, dan ketulusan yang menghapuskan hak demi memberi hidup kepada orang lain.

Transaksi yang tidak ada notaris dunia, tetapi disahkan oleh Rabb semesta alam.

Lelaki Khurasan itu membeli rumah bukan dengan uangnya—tetapi dengan kepercayaannya kepada orang saleh dan kepada Tuhan. Dan Habib membayar rumah itu bukan dengan bangunan, tetapi dengan keyakinan bahwa setiap sedekah tidak pernah sia-sia.

**

Hari ini, kisah itu tetap hidup. Ia berjalan dari mimbar ke mimbar. Dari buku ke buku. Dari hati ke hati.

Dan siapa pun yang membacanya, akan bertanya dalam hatinya sendiri:

> Sudahkah aku membeli rumah di surga?
> Ataukah aku masih membangun istana di dunia yang akan hancur?


Sumber:
Mahmud Mustafa Saad, Golden Stories, Pustaka Al-Kautsar 
---

Biografi, Duplikasi Kebrilianan  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Membaca biografi adalah cara paling sederhana untuk menduplikasi dir...

Biografi, Duplikasi Kebrilianan 
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Membaca biografi adalah cara paling sederhana untuk menduplikasi diri terhadap tokoh-tokoh hebat. Ia adalah jalan tercepat untuk merevolusi kepribadian dan mempercepat pertumbuhan jiwa. Tak semua orang mampu duduk di dekat orang besar, apalagi belajar langsung dari mereka. Tapi melalui lembar-lembar biografi, kita bisa seakan hadir di tengah peristiwa, mendengarkan langsung napas, kata, dan keputusan mereka.

Biografi bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah cermin masa depan. Ia menjadi lensa yang menyoroti bagaimana manusia biasa bisa menjadi luar biasa. Saat seseorang menyibukkan diri dengan membaca biografi, sejatinya ia sedang membangun hubungan tak kasat mata dengan jiwa-jiwa yang telah menembus sejarah.

Aku selalu meyakini, membaca biografi adalah bentuk komunikasi batin dengan para tokoh besar. Ia seperti ziarah intelektual. Kita tidak sekadar membaca huruf dan peristiwa, tapi jiwa kita sedang diajak berdialog, dididik, dan dibentuk oleh pengalaman panjang yang pernah mereka jalani. Dan sungguh, saat energi diri melemah, ketika gairah hidup seakan pudar, maka aku akan kembali membuka halaman-halaman biografi. Seolah-olah sedang duduk riung bersama para pemimpin cahaya.

Saat Kata Menjadi Cahaya

Dianugerahi setetes dari ilmu mereka saja sudah luar biasa. Dianugerahi seberkas pemikiran dan mindset mereka adalah anugerah agung. Bahkan satu cipratan cinta mereka saja menjadi kekuatan yang sanggup menghidupkan hati yang nyaris mati. Karena itu, membaca biografi tak ubahnya duduk membersamai mereka—jiwa-jiwa terpaut, hati-hati saling mengenal, dan pemikiran bergetar dalam satu frekuensi ilham.

Ada saatnya aku merasa tak mampu melanjutkan hari. Ada saatnya jiwa ini ringkih, hati ini berat, dan langkah seperti terbelenggu keraguan. Tapi ketika membaca biografi para pejuang, para ulama, para pemimpin, para pencinta Tuhan—jiwa ini seakan disetrum ulang. Tiba-tiba tubuh ini bangkit. Hati ini menyala. Semangat kembali menyala tanpa harus disuruh.

Satu malam bersama kisah hidup Umar bin Khattab bisa membuat hatiku menangis. Satu jam bersama kisah Hasan Al-Banna bisa membuat pikiranku bergolak. Satu paragraf tentang hidup Muhammad Al-Fatih bisa menggetarkan sendi-sendi ketidakyakinan. Dan sungguh, tidak ada yang lebih berbahaya dalam hidup seorang mukmin selain kehilangan gairah dan orientasi.

Ilmu yang Menghidupkan

Membaca biografi bukan sekadar menambah wawasan, melainkan membangkitkan ruh. Ia melatih cara berpikir, memperluas horizon, dan mengasah sensitivitas sejarah. Biografi membuat kita sadar bahwa hidup bukan sekadar mencari kenyamanan, tetapi menghidupi sebuah tujuan. Biografi para pahlawan adalah tamparan lembut sekaligus pelukan hangat bagi jiwa-jiwa yang tertidur.

Bukankah Allah sendiri memerintahkan kita untuk banyak membaca sejarah?

> “Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang sebelum kalian…”
(QS. Ar-Rum: 42)



Sejarah dan biografi adalah bahan bakar perenungan. Bahkan kisah para nabi dalam Al-Qur’an—tak lain adalah biografi suci yang dituturkan langsung oleh Allah agar menjadi petunjuk, peneguh jiwa, dan cahaya penerang hidup.

Menduplikasi Tanpa Merampas

Mengapa biografi bisa mengubah hidup? Karena dalam setiap kisah hidup ada keputusan-keputusan kritis yang pernah diambil di tengah badai. Dalam setiap biografi ada jejak luka, pilihan berani, dan keyakinan yang diuji. Kita tidak meniru segala hal secara literal, tetapi kita meniru nilai, semangat, dan keteguhan. Itulah duplikasi yang sah secara spiritual dan intelektual.

Kita tidak sedang menjadi mereka. Kita sedang mengaktifkan potensi terbaik kita dengan menyalakan bara semangat yang dulu pernah mereka nyalakan. Kita menjadikan mereka sebagai cermin, bukan sebagai topeng. Kita tidak kehilangan diri kita, tapi menemukan versi terbaik dari diri sendiri.

Dan kadang, dari membaca satu biografi saja, arah hidup seseorang bisa berubah selamanya.

Hari-Hari Bersama Para Pahlawan

Hari-hari di mana aku paling merasa hidup adalah hari-hari saat dikelilingi buku-buku biografi. Hari-hari itu bukan sekadar hari membaca, tapi hari pemulihan spiritual. Di saat virus kelemahan dan kemalasan menyerang, aku kembali merapat pada kisah para pejuang. Seperti anak ayam yang kembali berlindung di bawah sayap induknya, seperti santri yang kembali duduk di hadapan mursyidnya, seperti pejuang yang kembali merapikan senjatanya sebelum perang.

Ada ketenangan dalam mendengarkan kisah hidup Imam Syafi’i. Ada kekuatan dalam mengikuti jejak hidup Umar bin Abdul Aziz. Ada keindahan dalam merenungi perjalanan Ibnu Sina. Ada keberanian dalam menyelami perjuangan Imam Hassan Al-Banna, dan ada kemurnian dalam menelusuri hidup para sahabat Nabi.

Cinta yang Menyatu dalam Waktu

Dari membaca biografi, aku berharap tumbuh cinta yang mendalam kepada para tokoh itu. Bukan cinta buta, tapi cinta sadar. Cinta yang ingin berjumpa dengan mereka kelak. Cinta yang membuat mereka pun mengenalku, meski aku bukan siapa-siapa. Cinta yang membuatku yakin bahwa Allah akan mengumpulkan jiwa-jiwa yang saling mencintai karena-Nya di akhirat kelak.

> “Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)



Maka membaca biografi bukan hanya untuk dunia. Ia adalah bagian dari bekal akhirat. Karena cinta kepada orang-orang shalih adalah tanda kemuliaan. Dan siapa tahu, dengan membaca dan mencintai mereka, Allah akan menempatkanku dekat dengan mereka—meski amal tak sebanding.

Kebiasaan yang Membentuk Diri

Kebiasaan membaca biografi pelan-pelan mengubah kebiasaan harian. Kita menjadi lebih sadar waktu. Lebih berhati-hati dalam bertindak. Lebih rindu untuk bermakna daripada sekadar berumur panjang. Kita jadi merasa berdosa ketika terlalu banyak mengeluh, sebab tokoh-tokoh dalam biografi jarang sekali punya waktu untuk mengeluh. Mereka sibuk dengan misi hidup.

Maka akhlak mereka mulai menetes pada kita. Cara berpikir mereka mulai merasuki pikiran kita. Jiwa kita mulai terlatih menghadapi badai. Dan kita tidak lagi mudah tumbang hanya karena ucapan orang, atau karena satu-dua kegagalan. Karena kita tahu, orang-orang besar dalam sejarah pun sering gagal, dikhianati, difitnah, tapi mereka tetap tegak berdiri.

Menyambut Hari dengan Biografi

Aku ingin hari-hariku selalu bersahabat dengan biografi. Jika pagi diawali dengan zikir dan biografi, maka hari itu insya Allah akan penuh kekuatan dan makna. Jika malam ditutup dengan munajat dan membaca kisah perjuangan, maka tidurku terasa lebih dalam dan hati lebih tenang.

Karena saat membaca biografi, aku merasa tidak sendirian. Aku merasa sedang ditatap oleh para tokoh itu. Seolah mereka berkata: “Lanjutkan perjuangan kami. Hidup bukan sekadar hidup. Tapi hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari dirimu.”

Dan aku ingin menyambut hari-hari mendatang dengan semangat baru. Semangat yang tidak mudah padam. Semangat yang dibentuk dari serpihan kisah para manusia unggul yang telah menyelesaikan larinya di dunia dengan kemuliaan.

Biografi Adalah Cermin Takdir

Biografi adalah bukti bahwa takdir Allah bekerja dalam ritme yang indah. Bahwa kemenangan selalu menunggu di balik kesabaran. Bahwa arah sejarah bisa diubah oleh tekad satu orang. Bahwa tidak ada hidup yang remeh jika niatnya agung.

Dan pada akhirnya, membaca biografi bukan sekadar mengenang, tapi mengambil bagian. Kita tidak sedang menonton film sejarah. Kita sedang menulis ulang sejarah, dengan jiwa dan pena kita sendiri. Kita tidak sedang jadi penonton, tapi pemain dalam panggung besar peradaban ini.

Maka, jika hari ini terasa gelap dan melelahkan, bukalah kembali biografi. Duduklah bersama para sahabat Nabi, para mujahid, para ulama, para penemu, para pemimpin hati. Biarkan ruh mereka menyalakan kembali semangat kita yang padam. Karena saat mereka hidup, sejarah berubah. Dan jika kita hidup dengan semangat yang sama, insya Allah sejarah akan kembali bergerak ke arah yang benar.


---

Kisah Para Nabi: Persoalan dan Solusi Komprehensif Kehidupan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- 1. Wahyu Telah Turun, Masalah Telah ...

Kisah Para Nabi: Persoalan dan Solusi Komprehensif Kehidupan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

1. Wahyu Telah Turun, Masalah Telah Dijawab

Segala kalimat telah sempurna. Wahyu terakhir telah diturunkan. Tak ada lagi ayat baru yang akan turun. Tak ada lagi langit yang akan terbuka dengan petunjuk yang belum tersampaikan.

Segala persoalan kehidupan—baik yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi—telah dijelaskan. Segala bentuk ujian, kesalahan, kesesatan, dan kebingungan sudah pernah dialami, sudah pernah ditunjukkan cara menghadapinya.

Dan semua itu telah terhimpun… dalam satu kitab penutup: Al-Qur’an.

Kitab yang bukan sekadar bacaan suci untuk malam Jumat. Tapi pedoman menyeluruh tentang bagaimana manusia seharusnya hidup: berpikir, merasa, berbuat, dan bertahan dalam arus zaman.

Lalu mengapa manusia tetap terperangkap dalam kesulitan?

Mengapa banyak yang mengeluh tak tahu jalan keluar?

Mengapa akar persoalan hidup sering tak teridentifikasi, apalagi solusinya?

Jawabannya ternyata sederhana:
Manusia tertipu oleh dirinya sendiri.
Tertipu oleh apa yang ia sebut “kecerdasan” dan “kemajuan.”


---

2. Nabi-Nabi dan Kecerdasan Wahyu

Para Nabi adalah manusia pilihan. Mereka bukan manusia biasa yang kebetulan menjadi pemimpin. Mereka adalah insan-insan yang dipersiapkan secara spiritual dan moral, dibimbing langsung oleh Allah, dan diperkuat oleh wahyu.

Rasulullah ﷺ adalah puncaknya.
Manusia paling berpengaruh dalam sejarah.
Tapi bagaimana beliau memecahkan masalah?

> Beliau menunggu wahyu.
Menunggu Jibril datang membawa jawaban.
Beliau tidak berspekulasi. Tidak menerka-nerka. Tidak mengandalkan insting duniawi semata.



Maka, ketika wahyu tak lagi turun, ia telah diwariskan dalam bentuk Al-Qur’an. Kini kita tak perlu menunggu Jibril turun. Tak perlu menanti malaikat membawa jawaban.

Karena jawabannya… sudah ada.
Karena semua telah dirangkum.
Kini, tugas manusia bukan menunggu jawaban, tapi membacanya.
Merenungkannya. Mengamalkannya.

Ironisnya, sebagian besar manusia justru menolak memahaminya. Padahal jawabannya sudah ada di tangannya.


---

3. Seluruh Persoalan Telah Diceritakan

Kisah para nabi bukan cerita lama. Ia bukan dongeng masa lalu. Ia adalah cermin yang jernih—yang menampilkan wajah kita hari ini, dengan segala luka dan pertanyaannya.

> Bagaimana manusia pertama—Adam—jatuh ke dalam kesalahan karena bisikan iblis?
Bagaimana anaknya, Qabil, membunuh saudaranya sendiri karena dengki?
Bagaimana Nuh harus menghadapi umat yang keras kepala dan anak yang tak mau ikut bahtera?
Bagaimana Yusuf ditikam saudaranya sendiri dan tetap memaafkan?
Bagaimana Musa menantang tirani dan takut berbicara?
Bagaimana Isa menghadapi konspirasi dan pengkhianatan?
Bagaimana Muhammad ﷺ memikul seluruh beban umat di punggungnya—dengan kasih, bukan kebencian?



Setiap kisah para nabi adalah simbol dari persoalan manusia.
Dan setiap langkah mereka, adalah simbol dari solusi yang Allah ridai.

> Seluruh persoalan manusia sudah diangkat.
Seluruh solusi hidup sudah diberikan.
Langkah demi langkah. Jalan keluar. Hikmah-hikmah.



Dan semuanya telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an:

> "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal."
(QS. Yusuf: 111)



Lalu mengapa kita mencari solusi di luar itu?


---

4. Solusi Tidak Pernah Berubah

Masalah hidup akan selalu berulang. Formatnya mungkin berbeda. Tapi hakikatnya tetap sama.

Hasad, tamak, cinta dunia, pengkhianatan, kezaliman, kebodohan, kesombongan—semuanya adalah penyakit lama. Hanya berganti rupa, tapi tak pernah berubah akar.

Dan solusinya pun tak berubah:

> Iman, sabar, syukur, tawakal, kejujuran, kasih sayang, taubat.



Maka hidup ini sesungguhnya mudah, jika kita benar-benar mau mendengarkan kisah para nabi—bukan sekadar membacanya.

Karena para nabi tidak hanya mewakili masa lalu. Mereka mewakili semua musim dalam hidup manusia. Mereka adalah peta, bukan nostalgia.


---

5. Kehidupan Sudah Dibocorkan

Bayangkan ini:
Allah telah membocorkan masa depan.
Segala jebakan, tipu daya syaitan, fitnah dunia, tipu muslihat hawa nafsu—semuanya telah dijelaskan.

Allah bahkan memberi daftar jebakan hidup yang akan datang. Memberi skenario lengkap: dari fitnah Dajjal, munculnya Ya’juj Ma’juj, hingga kegelapan menjelang hari kiamat.

> Allah tidak ingin kita tersesat. Maka Allah membocorkan segalanya.



Lalu…
Mengapa manusia masih tersesat?
Mengapa manusia masih mencari arah dari suara-suara yang menyesatkan?

Karena mereka menolak peta.
Menolak petunjuk.
Lebih percaya pada bisikan syaitan daripada cahaya wahyu.


---

6. Para Nabi: Guru Kehidupan

Para Nabi bukan hanya utusan. Mereka adalah pelatih kehidupan.

Mereka tidak datang membawa teori, tapi teladan nyata. Mereka hidup, menderita, tertawa, jatuh, bangkit—untuk menjadi pelajaran.

> Mereka mengajari manusia mengenali penyakit hatinya.
Mereka menunjukkan arah keluar dari labirin dunia.
Mereka menemani jiwa manusia dari kegelapan menuju cahaya.



Nabi Muhammad ﷺ adalah guru paling sempurna. Bukan karena tak pernah salah, tapi karena setiap langkahnya dituntun oleh langit.

Dan kini, setelah wahyu berhenti turun, kita tetap punya warisan:
Al-Qur’an dan Sunnah.


---

7. Manusia Sudah Dibimbing Sejak Awal

Pernahkah kita berpikir…

Hewan pun bisa bertahan hidup. Tumbuhan pun tahu kapan berbunga dan berbuah.

Padahal mereka tak punya akal. Tak ada sekolah untuk mereka. Tapi mereka bertindak sesuai takdirnya.

Lalu bagaimana dengan manusia?

> Manusia telah dibimbing bahkan sejak dalam kandungan.
Diperkuat oleh wahyu, para nabi, ulama, orang tua, guru, dan akal.
Dilengkapi dengan hati nurani, intuisi, fitrah, dan pengalaman sejarah.



Tapi mengapa manusia masih gagal memahami persoalan hidupnya?

Karena ia sering kali menolak bimbingan.


---

8. Yang Kurang Hanya Pengamalan

Maka sesungguhnya yang kurang itu bukan pengetahuan.
Yang kurang adalah pengamalan.

Allah telah membocorkan semuanya. Para nabi telah memberi contoh. Kitab suci sudah ada di rak rumah kita. Tafsir telah tersedia dalam berbagai bahasa. Kajian tersedia gratis di internet.

Lalu apa yang membuat kita tetap gagal?

> Yang kurang hanya satu:
Kita tidak mengamalkan apa yang telah diajarkan.



Padahal Allah sudah berjanji:

> "Barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka."
(QS. Thaha: 123)




---

9. Penutup: Kembali kepada Jejak Para Nabi

Kisah para nabi bukan hanya sejarah.
Ia adalah panduan bertahan di dunia yang penuh jebakan.
Ia adalah rambu di tengah jalan hidup yang rumit.
Ia adalah obat bagi penyakit hati yang dalam.

Dan semua telah diberikan. Lengkap. Jelas. Terang.

Kita tidak butuh nabi baru. Tidak perlu kitab baru. Tidak perlu teori barat atau filsafat timur.

Kita hanya perlu membuka kembali lembaran yang telah diwariskan oleh langit.
Kembali membaca kisah-kisah yang diturunkan bukan untuk hiburan, tapi untuk keselamatan.

Dan bertanya dengan jujur pada diri sendiri:

> “Sudahkah aku memahami persoalan hidup seperti para nabi memahaminya?”
“Sudahkah aku mencari solusi seperti para nabi mencarinya—melalui wahyu, bukan ego?”




---

Satu kalimat penutup:

> Kehidupan tidak rumit. Yang membuat rumit adalah kita sendiri—karena menolak solusi yang telah diturunkan.




---

Bodoh Sejarah, Buntu Solusi Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- “Wahai Amirul Mukminin, mengapa para sahabat berbeda pendapat?” Perta...

Bodoh Sejarah, Buntu Solusi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

“Wahai Amirul Mukminin, mengapa para sahabat berbeda pendapat?”
Pertanyaan itu suatu kali diajukan kepada Umar bin Abdul Aziz. Ia tersenyum, tidak terkejut. Ia tahu, pertanyaan seperti itu muncul dari kegelisahan mereka yang ingin menyederhanakan kehidupan: seragam, lurus, tanpa dinamika.

Tapi Umar menjawab dengan penuh hikmah:

> “Saya tidak suka jika para sahabat Nabi Muhammad ﷺ tidak berselisih pendapat. Karena kalau mereka tidak berselisih, tidak akan ada keringanan bagi umat. Mereka itu para pemimpin. Jika salah satu dari mereka mengambil suatu pendapat, maka saya akan mengikutinya.”



(Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Barr dalam Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm, no. 1437)

Bagi Umar bin Abdul Aziz, perbedaan bukan ancaman. Ia adalah kekayaan. Ia adalah bintang-bintang di malam gelap. Tidak saling memadamkan, justru bersama memberi cahaya.


---

Mari bayangkan satu momen dalam sejarah: wabah melanda wilayah Syam. Umar bin Khattab, sang khalifah, telah sampai di Sargh—sebuah tempat di perbatasan. Kabar datang: wabah menjalar, menakutkan. Apa yang harus dilakukan?

Abdurrahman bin Auf angkat bicara. Ia berkata kepada Umar:

> “Aku memiliki ilmu tentang hal ini. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika kalian mendengar wabah di suatu negeri, janganlah kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di negeri itu, maka jangan keluar darinya, lari darinya.’”
(HR. al-Bukhari no. 5728, Muslim no. 2219)



Umar merenung. Kemudian memutuskan: tidak jadi memasuki Syam. Ia pulang ke Madinah.

Apakah itu kelemahan? Bukan. Itu ketundukan kepada ilmu. Kepada pengalaman Rasulullah. Kepada sejarah.


---

Kini kita menyadari, keputusan itu menjadi fondasi awal protokol karantina dalam sejarah Islam. Dalam bahasa modern, itu adalah lockdown. Dan semua itu berasal dari teladan sejarah—bukan teori baru.

Apakah kita bisa belajar jika para sahabat tidak berselisih, tidak saling memberi pandangan?

Kita tahu Abu Ubaidah bin Jarrah adalah panglima tertinggi di Syam. Ia tidak ingin meninggalkan pasukannya meskipun Umar memintanya kembali ke Madinah. Dan Umar pun tidak memaksanya. Sikap ini mengajarkan integritas dan adab dalam kepemimpinan: ketika perintah logika bertemu dengan keberanian nurani.


---

Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Sesungguhnya setiap umat memiliki orang yang paling dipercaya. Dan orang yang paling dipercaya dari umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah."
(HR. al-Bukhari no. 3744, Muslim no. 2419)



Aminu hadzihil ummah.
Abu Ubaidah adalah simbol amanah, kesetiaan, dan keteguhan. Tapi sejarah juga mencatat: ketika karakter yang dibutuhkan berubah—ketika kondisi medan perang menuntut gaya kepemimpinan yang lain—Umar mengganti panglima dari Khalid bin Walid ke Abu Ubaidah.

Dan Khalid? Tidak ada pemberontakan. Tidak ada protes. Tidak ada “drama politik”.
Ia tunduk. Ia setia. Karena ia tidak berjuang untuk Umar, tapi untuk Islam.


---

Sejarah bukan hanya catatan, ia adalah guru. Bahkan konflik besar dalam sejarah Islam pun menyimpan hikmah.

> Seandainya Sayyidina Ali, Siti Aisyah, dan Muawiyah tidak pernah berselisih, mungkinkah umat hari ini belajar bagaimana mengelola konflik internal?



> Seandainya Hasan bin Ali tidak menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, akankah kita memahami pentingnya rekonsiliasi nasional demi menjaga dakwah?



Ya. Bahkan dari luka sejarah, tumbuh pelajaran.
Bahkan dari pecah belah, bisa lahir peta kebijaksanaan.


---

Namun, hari ini kita jauh dari cara berpikir itu. Kita sibuk meratapi perbedaan tanpa memahami esensinya. Kita sibuk bertengkar, tapi lupa belajar dari masa lalu.

Kebodohan terbesar kita hari ini adalah kebodohan terhadap sejarah sendiri.

> Ketika buta sejarah, kita pun buntu dalam mencari solusi.
Padahal solusi sudah lama ada. Telah tertulis, telah tercatat, telah diteladankan.



Apakah kita tidak malu kepada generasi terdahulu?


---

Yusuf Al-Qaradawi, dalam Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Tarikh wa Turats, berkata:

> “Sejarah bukan hanya catatan masa lalu. Ia adalah gudang pengalaman manusia, tempat kita mengambil ibrah dan pelajaran. Siapa yang tidak belajar dari sejarah, akan jatuh ke lubang yang sama seperti orang-orang sebelumnya.”



Sejarah, bagi Qaradawi, adalah cermin. Ia bukan tempat bersedih, tapi tempat mengkaji realitas. Ia bukan mitos, tapi alat ukur: mengapa kita mundur? Bagaimana kita bangkit?


---

Muhammad Shalabi, sejarawan besar, berkata dalam Tarikh al-Umam al-Islamiyah:

> “Sejarah adalah cermin tempat umat bercermin. Dengan sejarah, kita tahu kapan kita bangkit, dan kapan kita jatuh—dan mengapa.”



Jatuh dan bangkit, katanya, punya sebab. Dan sebab itu dapat dibaca—jika kita mau membuka buku sejarah, bukan sekadar buku motivasi.


---

Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair dari India, menulis dengan nada getir:

> “They read history, not to reform the future, but to glorify the past.”
Mereka membaca sejarah bukan untuk membentuk masa depan, tapi hanya untuk memuliakan masa lalu.



Dan juga:

> “The past is not dead matter, it is living. The past must be understood to mold the future.”
Masa lalu bukanlah benda mati. Ia hidup. Ia harus dipahami, agar kita bisa membentuk masa depan.



Iqbal kecewa pada kaum Muslim yang sibuk dengan nostalgia, bukan perbaikan. Ia ingin sejarah dijadikan bahan bakar, bukan beban.


---

Buya Hamka, ulama dan pujangga besar Nusantara, dalam Sejarah Umat Islam menulis:

> “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu akan sejarahnya. Dan umat Islam, bila hendak bangkit, harus kembali meneliti sejarah Islam—bukan hanya sebagai dongeng, tapi sebagai pelajaran hidup.”



Dan dalam Tafsir Al-Azhar, Buya menekankan:

> “Allah menyebutkan kisah-kisah dalam Al-Qur’an agar kita tidak jatuh ke lubang yang sama. Sejarah adalah pelajaran, bukan hiburan.”




---

Lalu kita, hari ini, sedang apa?

Apakah kita menjadikan sejarah sebagai pelajaran? Atau sekadar pajangan?

Apakah kita menyerap hikmah dari sahabat, tabi’in, dan ulama? Atau sekadar mengutip nama mereka untuk membenarkan ego kita?

Apakah kita menyadari bahwa sejarah itu jantung dari kebangkitan?


---

Mari kita jujur:
Kita sering menyalahkan keadaan, menyalahkan musuh, menyalahkan takdir. Tapi jarang menyalahkan kebodohan kita sendiri atas sejarah.

> Bodoh sejarah = buntu solusi.
Paham sejarah = terbuka jalan keluar.



Umar bin Khattab tidak asal bertindak. Ia bertanya. Ia belajar. Ia merujuk pada sejarah Rasulullah. Ia tidak merasa cukup dengan jabatan.

Rasulullah sendiri, sebelum membuat keputusan penting dalam perang, meminta pendapat sahabat. Karena sejarah itu bukan monolog. Tapi dialog yang berisi nurani, kebijaksanaan, dan tanggung jawab.


---

Penutup:

Keempat tokoh besar yang disebut di atas—Yusuf Al-Qaradawi, Muhammad Shalabi, Muhammad Iqbal, dan Buya Hamka—bersepakat dalam satu simpulan:

> “Sejarah bukan sekadar memori kolektif. Sejarah adalah referensi strategis dalam memecahkan masalah umat.”



Dan jika kita masih gagal hari ini, bisa jadi karena kita menjauh dari kitab sejarah—yang seharusnya menjadi petunjuk.

Maka, mari kita kembali.
Bukan untuk memuja masa lalu. Tapi agar kita bisa menyusun masa depan.

Karena yang tidak belajar dari sejarah, pasti akan menjadi bagian dari kegagalan yang terus diulang—tanpa akhir.

Ceritakan Kegagalan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Apakah para nabi selalu berbicara tentang kemenangan? Tidak. Dalam Al-Qur...

Ceritakan Kegagalan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Apakah para nabi selalu berbicara tentang kemenangan?

Tidak. Dalam Al-Qur'an, kita justru menemukan kisah-kisah kegagalan yang sangat manusiawi. Bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan—bahwa bahkan para nabi pun diuji oleh Allah, bukan karena mereka lemah, tapi karena mereka sedang dibentuk.

Nabi Adam tergoda

Lihatlah Nabi Adam. Ia tergoda.

> "Lalu setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: 'Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kekuasaan yang tidak akan binasa?' Maka keduanya pun memakannya, lalu tampaklah aurat keduanya. Dan keduanya mulai menutupinya dengan daun-daun surga. Adam pun telah durhaka kepada Tuhannya, maka sesatlah ia."
(QS. Thaha: 120–121)



Ia bukan sekadar tergoda karena lemah, tapi karena ada keinginan akan keabadian dan kekuasaan—dua hal yang paling sering menjerat manusia sepanjang zaman.

Nabi Sulaiman terpedaya

Demikian pula Nabi Sulaiman. Di satu petang, ia terpesona oleh kuda-kuda perang—simbol kekuatan dan keindahan dunia. Hingga tanpa sadar, ia lalai dari mengingat Allah.

> "Ketika pada suatu petang dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang ketika berhenti dan cepat ketika berlari, ia berkata: 'Sesungguhnya aku menyukai harta (kuda-kuda) yang baik ini karena (mengingat) Tuhanku, sampai kuda-kuda itu hilang dari pandangan.' (Maka ia berkata): 'Bawa kembali kuda-kuda itu kepadaku.' Lalu ia mulai mengusap kaki dan leher mereka."
(QS. Shad: 31–33)



Nabi Sulaiman menyadari bahwa pesona dunia—dalam bentuk kekuatan dan keindahan—telah melalaikannya. Maka ia menebusnya dengan sikap simbolik: mengusap kuda-kuda itu sebagai tanda penyesalan dan pelepasan keterikatan.

> "Manusia tergoda bukan karena ia hina, tapi karena ia lemah di titik yang paling ia cintai."



Namun yang paling indah dari kisah ini: mereka kembali kepada Allah. Mereka bertobat. Dan dari merekalah kita belajar bahwa taubat bukanlah aib, tapi jalan kemuliaan.


---

Nabi-Nabi yang Gagal Menyelamatkan Umatnya

Lihatlah Nabi Nuh. Ia menyeru umatnya siang dan malam. Namun...

> "Nuh berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, tetapi seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).'"
(QS. Nuh: 5–6)



Secara duniawi, itu tampak seperti kegagalan. Tapi dalam pandangan Allah, ia tetap utusan yang agung.

Begitu pula Nabi Yunus. Ia pernah merasa putus asa. Ia meninggalkan umatnya dalam kemarahan, menyangka Allah tak akan mengujinya lebih jauh.

> "Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menguji/menyulitkannya)."
(QS. Al-Anbiya: 87)



Dan Nabi Musa—ketika ia mengajak Bani Israil masuk ke Tanah Suci. Apa kata mereka?

> "Wahai kaumku! Masuklah ke Tanah Suci (Palestina) yang telah ditetapkan Allah untukmu dan janganlah kamu berbalik ke belakang, niscaya kamu akan menjadi orang-orang yang rugi."
(QS. Al-Ma’idah: 21)



Namun mereka menjawab:

> "Wahai Musa! Sesungguhnya dalamnya ada kaum yang sangat kuat. Sesungguhnya kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar darinya, pasti kami akan masuk."
(QS. Al-Ma’idah: 22)



Akibat penolakan itu, mereka dihukum mengembara selama 40 tahun di padang pasir. Apakah ini kegagalan? Mungkin dalam pandangan manusia. Tapi dalam rencana Allah, ini adalah bentuk tarbiyah—pendidikan rohani.


---

Kegagalan adalah Bagian dari Takdir

Mengapa Allah kisahkan kegagalan para nabi?

Agar kita tidak menyembah keberhasilan. Agar kita tak hancur hanya karena gagal. Karena sukses dan gagal adalah dua sisi dari mata uang kehidupan.

Seperti yang dikatakan Muhammad Iqbal, filsuf Muslim dari India:

> "Kegagalan bukanlah kehancuran—selama kita tidak menyerah. Mencoba kembali adalah kunci kemenangan yang gemilang."



> "Tujuan akhir dari diri manusia bukan sekadar melihat sesuatu, melainkan menjadi sesuatu."



> "Bangkitlah dari kepentingan sempit dan ambisi pribadi. Melangkahlah dari materi menuju ruh. Materi itu keragaman, ruh itu cahaya, kehidupan, dan kesatuan."



Iqbal mengajarkan bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya, tapi momen transformasi. Ruh manusia tidak diciptakan untuk menyerah.


---

Buya Hamka: Kegagalan adalah Guru Terbaik

Buya Hamka, ulama dan sastrawan besar Indonesia, menyatakan:

> "Orang yang gagal bukan orang yang jatuh, tapi yang tidak bangkit kembali setelah jatuh."



> "Kegagalan bukanlah kehinaan. Justru darinya kita belajar berdiri lebih tegak."



> "Berani hidup berarti berani menghadapi kegagalan. Karena hidup bukan untuk menang terus, tapi untuk tetap tegar meski kalah."



> “Bila hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Bila bekerja sekadar bekerja, kera pun bekerja. Maka hidup dan bekerja harus punya tujuan.”




---

Dua Umar: Takdir Itu Ketenangan

Bagaimana para khalifah menyikapi takdir?

Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah ﷺ dan khalifah kedua, berkata:

> “Aku tidak peduli dalam keadaan apa aku berada—apakah dalam kesenangan atau kesusahan. Sebab aku tidak tahu mana di antara keduanya yang lebih baik bagiku.”
(HR. Ibnu Sa’ad)



Umar bin Abdul Aziz, khalifah besar Bani Umayyah, berkata:

> “Barangsiapa merasa cukup dengan takdir dan ridha terhadap keputusan Allah, maka ketenangan akan tinggal dalam hatinya.”




---

Maka Ceritakanlah Kegagalanmu...

Walaupun dirimu sedang jatuh, ceritakanlah. Agar orang lain tidak jatuh pada lubang yang sama.

Cerita kegagalan bisa menjadi:

Samudera ilmu bagi yang sedang mencari arah,

Tiang pancang untuk membangun ulang kehidupan,

Penyejuk bagi jiwa yang patah,

Jalan pulang bagi yang tersesat.


Bukan untuk melemahkan, tapi untuk menunjukkan:
Di balik kegagalan, selalu ada keajaiban dan samudera hikmah.

Kita semua adalah bagian dari kisah besar Allah.
Dan setiap kegagalan yang kita alami…
bukan tanpa arti.

Tragedi Sejarah, Menghancurkan Umat Islam? Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Malam itu, langit Uhud memerah. Pedang-pedang berkilat...

Tragedi Sejarah, Menghancurkan Umat Islam?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Malam itu, langit Uhud memerah. Pedang-pedang berkilat di bawah matahari yang belum jatuh sempurna. Darah mengalir bukan hanya dari tubuh, tapi juga dari hati. Rasulullah sendiri terluka. Sahabat-sahabat terbaik gugur satu per satu. Tapi benarkah kekalahan di Uhud adalah bencana? Atau justru jalan menuju kebangkitan?

Sayyid Qutb, dalam Fi Zhilalil Qur'an, mengajak kita merenung lebih dalam. Ia menolak menyebut Uhud sebagai tragedi kehancuran. Bagi Qutb, Uhud adalah madrasah—tempat Allah menempah ruh para pejuang.

> "Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia..." (QS. Ali Imran: 140)



Kemenangan dan kekalahan, menurut Sayyid Qutb, adalah cara Allah menyaring keimanan. Agar tampak siapa yang benar-benar jujur dalam janji jihad, dan siapa yang goyah saat musibah datang. Bukankah sebagian pemanah yang turun dari bukit tergoda oleh dunia?

> "Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada umat yang belum selesai proses tarbiyahnya."



Begitulah. Umat Islam diajarkan untuk tidak sekadar bersemangat, tetapi harus lurus niat, disiplin, dan siap diuji.

Hasan al-Banna pun bersuara dalam nada yang seirama. Baginya, Uhud bukan sekadar sejarah kekalahan, melainkan refleksi ruhani. Ia berkata:

> "Perhatikanlah peristiwa Uhud! Mereka tidak kalah karena jumlah, tetapi karena pelanggaran disiplin yang kecil tetapi fatal."



Kekalahan, menurutnya, bukan akhir. Itu awal dari evaluasi, cermin untuk melihat ke dalam: sejauh mana niat kita lurus? Apakah ukhuwah terjaga? Apakah pemimpin ditaati?

> "Rasulullah sendiri terluka dalam Uhud, namun beliau tetap menjadi pusat keteguhan. Maka, pemimpin dakwah harus menjadi sumber ketenangan di tengah badai."



Sejarah Islam tak kekurangan tragedi. Tapi dari sana, bangkit tokoh-tokoh besar. Lihatlah Abdullah bin Zubair.

Ia bertahan di Mekkah, kota suci yang pada akhirnya dibombardir dengan manjanik oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Batu-batu besar menghantam Ka'bah, tempat yang selama ini menjadi arah sujud. Mekkah pun luka. Bangunan Ka'bah retak.

Namun tahukah kamu? Dari retakan itu, Rasulullah seakan berbicara kembali.

Beliau pernah berkata kepada Aisyah:

> "Wahai Aisyah, seandainya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyah, niscaya aku akan menghancurkan Ka'bah dan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim."



Maka saat Ka'bah rusak akibat serangan, Abdullah bin Zubair membangunnya seperti yang diinginkan Rasulullah: dengan dua pintu, dan mengembalikan bagian Hijr Ismail ke dalam struktur. Tragedi melahirkan penyempurnaan.

Tapi sejarah belum selesai.

Abdullah dikhianati oleh salah satu jenderalnya, yang kemudian pergi ke Irak. Ironisnya, dari pengkhianatan itu lahirlah babak keadilan: ia menumpas para pembunuh Husein bin Ali, cucu Rasulullah, yang selama ini lolos dari hukuman. Tidak ada yang menyangka: pengkhianatan justru membuka jalan bagi qisas yang selama ini tertunda.

Sejarah Islam seperti itu. Penuh luka, tapi dari luka-luka itu tumbuh pohon keadilan.

Mari melompat lebih jauh.

Bangsa Tartar. Nama yang membuat jantung berdegup di abad pertengahan. Mereka membumihanguskan Baghdad, menenggelamkan buku-buku ulama dalam tinta yang menghitamkan Sungai Tigris. Peradaban runtuh. Kekhalifahan berakhir.

Tapi apakah ini akhir?

Yusuf al-Qaradawi menjawab tidak.

> "Bangsa Tartar yang selalu menang... akhirnya masuk Islam atas kehendak dan pilihan mereka sendiri. Mereka menjadi bangsa yang menang masuk agama bangsa yang kalah."



Betapa dahsyatnya dakwah Islam. Tanpa pedang. Tanpa paksaan. Tapi menembus hati bahkan bangsa yang paling brutal. Setelah itu, mereka mendirikan kerajaan-kerajaan Islam seperti Timurid, dan menjadi fondasi bagi kebangkitan Utsmani.

Dan lihatlah Utsman bin Ertugrul. Di tengah reruntuhan Abbasiyah, ia memulai dari suku kecil, melawan Tartar. Dari sana, berdirilah kekhalifahan Turki Utsmani yang bertahan lebih dari enam abad.

Tak cukup? Mari kita tengok Salib.

Perang Salib memporak-porandakan Syam dan Palestina. Tapi siapa yang muncul?

Shalahuddin al-Ayyubi. Seorang pemimpin yang bukan hanya menang, tetapi juga mengajarkan kepada Eropa arti akhlak mulia. Ia menang dengan cinta, bukan hanya pedang.

Dari tragedi, lahir tokoh. Dari runtuhan, tumbuh kekuatan.

Lalu, adakah semua tragedi itu menghancurkan umat Islam?

Jika kita menilai hanya dari darah dan reruntuhan, jawabannya bisa jadi iya. Tapi jika kita melihat dari kelahiran ruh baru, jawabannya adalah: tidak. Bahkan sebaliknya.

Tragedi adalah panggilan. Panggilan untuk bangkit. Untuk membersihkan barisan. Untuk menyaring niat. Untuk memperbaiki jalan dakwah.

> "Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberi rezeki." (QS. Ali Imran: 169)



Sejarah bukan kuburan. Ia adalah nadi. Tragedi bukan akhir. Ia adalah permulaan. Seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—menyakitkan di awal, tapi membawa kehidupan.

Uhud bukan akhir. Karbala bukan penutup. Baghdad bukan kehancuran total. Setiap tragedi adalah batu loncatan. Tinggal kita, apakah hanya menangisi masa lalu, atau menumbuhkan benih harapan dari tanah yang basah oleh darah syuhada?

Di sanalah letak kebangkitan. Di antara reruntuhan dan keheningan.

Wallahu a'lam.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (575) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (254) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (237) Sirah Sahabat (153) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (154) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)