Pertolongan Allah Itu Tak Terasa
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Kadang kita membayangkan pertolongan Allah itu datang dalam bentuk luar biasa: mukjizat langit, ledakan kekuatan, atau hancurnya musuh dalam sekejap. Tapi sejarah, dan lebih dalam lagi: wahyu, justru mengajarkan sebaliknya. Bahwa pertolongan Allah sering kali tidak terasa. Ia hadir dengan cara yang lembut, tenang, kadang tampak biasa. Tapi di situlah kemenangannya tersembunyi.
> "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)."
(QS. Ath-Thalaq: 2–3)
Takdir kemenangan pertama kaum Muslimin di Perang Badar memperlihatkan itu dengan sangat jelas. Langit tidak menurunkan petir api untuk membakar musuh. Tidak juga menurunkan gempa untuk merobohkan kemah Quraisy. Tapi yang turun... adalah hujan. Hujan malam sebelum perang. Hujan biasa, tapi bermakna luar biasa.
Hujan itu membersihkan tubuh para pejuang yang kelelahan, menyegarkan fisik yang akan bertempur. Lebih dari itu, ia menjadi air penyucian batin. Menghilangkan was-was setan. Membasuh keraguan. Membangunkan semangat.
> “Dan Allah menurunkan hujan kepadamu dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu, dan menghilangkan gangguan syaitan dari kamu, dan untuk menguatkan hatimu serta meneguhkan dengannya telapak kaki (mu).”
(QS. Al-Anfal: 11)
Namun, perhatikan lebih dalam: hujan itu tidak turun merata. Di sisi kaum Muslimin, ia turun lembut. Tanah menjadi padat, nyaman untuk pijakan. Di sisi musyrikin Quraisy, hujan lebih deras. Tanah becek dan licin. Bukankah ini cara langit mengintervensi geospasial dengan penuh kelembutan?
Lihat pula strategi posisi. Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat telah lebih dulu tiba di sumur Badar. Mereka menguasai sumber air. Rasulullah menempatkan markas di dataran yang lebih tinggi. Sementara Quraisy datang dari arah berpasir yang rendah. Tanah mereka becek oleh hujan. Gerakan mereka berat.
Semua tampak biasa. Tapi bukankah di balik semua itu ada tangan langit yang mengatur?
Bahkan pandangan pun dijaga oleh Allah. Allah memperlihatkan jumlah musuh sebagai sedikit di mata kaum Muslimin, agar mereka tidak gentar. Allah juga membuat pasukan musuh melihat kaum Muslimin seakan banyak dan kuat. Bahkan muncul pasukan misterius berkuda berbaju putih dari sisi langit. Malaikat?
> “Ingatlah ketika Allah memperlihatkan mereka (musuh-musuhmu) kepadamu dalam mimpimu (sebagai) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepadamu (dalam jumlah) banyak, niscaya kamu akan menjadi gentar dan kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu. Tetapi Allah telah menyelamatkan kamu.”
(QS. Al-Anfal: 43)
> “Dan (ingatlah) ketika Allah menampakkan mereka kepadamu ketika kamu berjumpa mereka (di medan perang), sebagai jumlah yang sedikit di matamu, dan kamu pun dijadikan sedikit dalam pandangan mereka, agar Allah melaksanakan suatu urusan yang sudah ditetapkan.”
(QS. Al-Anfal: 44)
Pertolongan itu pun turun lewat kantuk.
> “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu ketenteraman dari-Nya...”
(QS. Al-Anfal: 11)
Bayangkan, menjelang perang hidup dan mati, Allah justru membuat mereka tertidur sejenak. Tapi bukan tidur karena lelah. Ini adalah ‘na’as’—kantuk ilahiah. Penyegaran batin. Penyeimbang emosi. Penenang jiwa. Pertolongan langit yang tak terlihat, tapi terasa di dalam hati.
---
Kita pun menyaksikan pola yang sama dalam sejarah tanah air.
Saat Jenderal Sudirman memimpin gerilya dan dikepung Belanda, hujan deras turun. Petir menggelegar. Tentara Belanda kehilangan arah. Sudirman lolos. Atau saat markas Letkol Soeharto hendak disergap musuh, tiba-tiba listrik padam. Gelap total. Belanda kehilangan sasaran. Mereka membatalkan penyergapan.
Itu bukan kebetulan. Itu pola langit yang sama: pertolongan Allah itu tak terasa.
---
Dalam Perang Uhud, situasi nyaris berbalik tragis. Rasulullah صلى الله عليه وسلم terluka. Gigi beliau patah. Darah mengalir dari wajahnya. Musuh menyerang dari belakang setelah para pemanah lalai.
Namun, Allah menyelamatkan Rasulullah melalui sebuah celah kecil di kaki Gunung Uhud. Dikenal sebagai “Syib Rasul”—Celah Rasulullah. Di situ beliau terjatuh dan para sahabat membentuk perisai hidup: Abu Dujanah, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan lainnya.
> "Rasulullah berlindung di celah bukit, sementara para sahabat menjaga beliau dari semua sisi."
Gunung itu bukan sekadar batu. Ia menjadi tameng. Rasulullah bersabda:
> “Uhud adalah gunung yang mencintai kami, dan kami mencintainya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika tidak ada lagi benteng, Allah jadikan celah kecil di gunung sebagai istana perlindungan. Ketika tidak ada lagi pasukan, Allah jadikan tubuh sahabat sebagai perisai hidup. Ketika dunia memusuhi, langit menutupi.
---
Itulah rahasia pertolongan Allah: lembut tapi menguatkan. Diam tapi menentukan. Tak terasa, tapi menyelamatkan.
Allah tidak butuh teriakan. Ia tidak butuh demonstrasi kekuatan. Cukup hujan. Cukup gelap. Cukup kantuk. Cukup celah sempit di batu. Dan kemenangan pun datang.
Jika hari ini engkau sedang berjuang, dan merasa sendiri... Jika engkau tak melihat keajaiban besar... Jika engkau hanya melihat hujan, rasa lelah, gelap, dan sepi...
Jangan takut. Mungkin itulah pertolongan Allah sedang bekerja. Pelan-pelan. Diam-diam. Tanpa terasa. Tapi nyata.
> "Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)
0 komentar: