Mengkhianati Gencatan Senjata di Gaza
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Pada 15 Januari 2025, gencatan senjata tahap pertama antara Hamas dan penjajah Israel yang dimediasi oleh Amerika, Qatar, dan Mesir ditandatangani. Gencatan senjata ini direncanakan berlangsung dalam tiga tahap. Namun yang terjadi, penjajah justru melakukan blokade total, membunuh dengan semakin brutal, dan terus mengusir rakyat Gaza.
Tak hanya penjajah, Amerika pun melakukan hal yang sama. Setelah seorang sandera dibebaskan dengan janji imbalan berupa penghentian blokade dan tekanan kepada penjajah untuk mengakhiri perang, Amerika tampak belum melakukan apa pun. Apakah ini sebuah kerugian dan kekalahan bagi Hamas?
Memenuhi janji adalah kemenangan. Mengkhianati janji adalah kekalahan—apa pun hasil akhirnya, meskipun yang mengkhianati janji tampak meraih kemenangan pada awalnya.
Perhatikan perang Khandak. Bagaimana pengkhianatan Bani Quraizah dan kaum munafik berhasil mengajak banyak kabilah Arab untuk mengepung Madinah dengan 10.000 pasukan? Bukankah saat itu Madinah berada di ambang kehancuran?
Perhatikan pula Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian tersebut, kaum kafir Quraisy melakukan pelanggaran. Mereka justru memberikan bantuan kepada Bani Bakr untuk menyerang Bani Khuza'ah. Bani Bakr adalah sekutu kaum kafir Quraisy, sedangkan Bani Khuza'ah adalah sekutu umat Islam.
Apa yang terjadi akibat pengkhianatan ini? Kongsi antara Yahudi, kaum munafik, dan Quraisy hancur di Madinah. Rasulullah saw. berhasil membebaskan Mekah (Futuh Mekah).
Apa pengaruh kejiwaan bagi para pengkhianat? Tumbuh perasaan bersalah. Mungkinkah suasana batin semacam ini membentuk mental yang kuat? Apakah mereka tetap mendapat dukungan publik?
Perhatikan nasib penjajah. Bukankah semangat tempur mereka berada pada titik terendah? Bukankah rakyat mereka sendiri banyak yang menolak perang? Sebab tak ada lagi harga diri dalam peperangan.
Apakah sesama pengkhianat bisa bersatu padu? Kelak mereka akan berjuang sendirian, seperti Yahudi Khaibar yang akhirnya tidak mendapat bantuan dari suku Ghathafan, meskipun sebelumnya dijanjikan setengah hasil panen Khaibar. Bukankah ini mulai dirasakan penjajah lewat isolasi internasional?
Dalam sejarah, para pengkhianat tidak pernah benar-benar mampu mewujudkan tujuan pengkhianatannya, meski pada awalnya terlihat berhasil dan berjalan mulus. Itulah takdir semua pengkhianat, baik di tingkat personal maupun negara.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif