basmalah Pictures, Images and Photos
07/12/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Capung: Penjaga Sunyi dari Langit, Penawar Hama di Kebun Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di suatu sore yang tenang, di antara sorot ...

Capung: Penjaga Sunyi dari Langit, Penawar Hama di Kebun

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di suatu sore yang tenang, di antara sorot matahari dan ujung pucuk daun, seekor capung melayang. Sayapnya bening, tubuhnya ramping berkilau, dan geraknya seperti jurus rahasia dari langit. Tidak bersuara. Tidak mencuri. Tapi penuh makna.

Capung sering dianggap makhluk tak penting. Tapi bagi petani yang jeli, ia bukan sekadar serangga, melainkan penanda rahmat, penjaga alam, dan kadang, tanda bahwa kebun sedang disayangi Tuhan.



Apa Itu Capung?

Capung adalah serangga dari ordo Odonata, dikenal dengan sayap transparan, terbang cepat, dan tubuh memanjang. Ia hidup di dua dunia: air dan udara. Masa kecilnya di air sebagai larva, dan setelah bermetamorfosis, ia terbang bebas sebagai makhluk langit.

Capung bukan serangga biasa. Ia predator alami, penjaga ketenangan di permukaan air dan pemangsa senyap di antara daun. Ia hidup bukan untuk mengganggu, tapi untuk menyeimbangkan.



Karakter Capung: Lincah, Tertib, dan Misterius

1. Pengendali udara yang piawai
Capung bisa terbang mundur, diam di tempat, dan meluncur cepat seperti peluru. Ia adalah pilot alami terbaik di dunia serangga.

2. Tak pernah hinggap sembarangan
Capung memilih ranting tertinggi, titik cahaya terbaik. Ia tahu di mana ia harus terlihat dan kapan harus menghilang.

3. Tak mengganggu tanaman, tapi memangsa pengganggu tanaman
Capung memakan nyamuk, lalat kecil, ulat terbang, dan serangga pengisap daun.


Di tengah kebun, capung adalah penegak keadilan tanpa pengadilan.



Kehidupan Capung: Siang Aktif, Malam Menghilang

Capung adalah makhluk diurnal, aktif saat cahaya matahari menyentuh dedaunan.
Ia suka terbang di sekitar air, sawah, kanal, atau parit yang bersih.

Saat malam, ia bersembunyi. Bukan karena takut, tapi karena tahu: waktu malam bukan ladangnya.

Kehadirannya adalah simbol cahaya. Jika capung sering terlihat, maka cahaya kebun Anda masih utuh.



Apa Makanan Capung?

Capung tidak makan daun, tidak mengganggu bunga, apalagi batang tanaman. Ia adalah pemangsa:

Nyamuk

Serangga kecil

Ngengat

Kutu kebul

Lalat buah muda


Bahkan capung muda (nimfa) di air pun menjadi predator jentik nyamuk dan larva hama tanaman air.

Ia bekerja tanpa upah, tanpa pestisida, tanpa pamrih.



Tanda Kehadiran Capung di Kebun

Terbang rendah di atas semak, kanal, atau bunga

Mengambang sebentar lalu melesat seperti kilat

Hinggap di pucuk ranting yang tinggi

Muncul di pagi dan sore hari saat udara bersih dan hangat


Jika kebun Anda tak pernah dikunjungi capung, mungkin airnya terlalu kotor, udaranya terlalu beracun, atau pestisida terlalu banyak disemprotkan.



Apakah Capung Membantu Pembuahan Tanaman?

Tidak secara langsung. Capung bukan penyerbuk. Ia tidak mengisap nektar, tidak membawa serbuk sari, dan tidak masuk ke kelopak bunga.

Tapi secara tidak langsung, capung melindungi bunga dari perusak, seperti lalat buah dan ulat pemakan kelopak.

Jadi meski bukan penyerbuk, capung adalah penjaga bunga. Ia memastikan calon buah tidak dirusak sebelum sempat berkembang.



Apakah Capung Makan Batang? Apakah Itu Menumbuhkan Tunas Baru?

Tidak. Capung tidak makan batang, daun, atau bagian tanaman apa pun. Ia bukan herbivora.
Namun dengan memangsa hama daun dan bunga, capung menjaga kesehatan tanaman.

Dan tanaman yang sehat, dengan daun utuh dan bunga terlindungi, akan:

Tumbuh lebih banyak cabang

Menghasilkan lebih banyak daun muda

Lebih siap menghasilkan bunga dan buah

Dalam ekosistem, capung tidak membuat luka. Tapi menjaga agar luka tidak bertambah. Itu peran spiritualnya.




Capung dan Doa Pertanian yang Tak Tertulis

Capung seperti malaikat kecil. Ia tidak bersuara, tapi setiap kepakan sayapnya seperti doa penjaga pertanian:
"Ya Tuhan, lindungi pohon ini dari hama, beri ruang bagi bunga untuk mekar, dan jadikan kebun ini layak bagi kehidupan."

Kehadiran capung adalah tanda bahwa kebun sedang diawasi langit.
Karena capung hanya datang ke tempat yang airnya jernih, udaranya bersih, dan pohonnya penuh kehidupan.



Saat Capung Datang, Jangan Dihalau—Tapi Disyukuri

Di tengah dunia yang sibuk menyemprot pestisida, memotong ranting sehat, dan menebang kebun demi proyek, capung datang sebagai pengingat bahwa ada cara bertani yang lebih damai.

Bertani bukan hanya soal hasil, tapi juga soal harmoni.
Dan capung, dengan sayap bening dan mata tajamnya, adalah guru ekosistem yang kita lupakan.

Jangan buru-buru membasmi semua ulat, jangan racuni semua semak.
Biarkan capung datang. Biarkan ia menjaga.

Karena selama capung masih bersedia menari di kebun Anda, berarti alam belum menyerah untuk hidup bersama Anda.




  Kupu-Kupu: Dari Sayap Luka Menuju Buah Kehidupan Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Ia datang tanpa suara, hinggap sebentar, lalu ter...



 
Kupu-Kupu: Dari Sayap Luka Menuju Buah Kehidupan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Ia datang tanpa suara, hinggap sebentar, lalu terbang menari di antara bunga. Tak mencakar, tak mencuri, tak menyengat. Tapi kehadirannya seperti doa diam yang dikirim langit: tanda bahwa kebun masih bernapas, bunga masih berharap, dan alam belum sepenuhnya mati oleh racun manusia.

Itulah kupu-kupu—makhluk mungil yang lembut, tapi menyimpan kekuatan besar: penyerbuk, penanda ekosistem sehat, dan saksi perjalanan spiritual tanaman dari luka menuju buah.



Dari Ulat yang Dibenci, Lahir Kupu-Kupu yang Dicintai

Tak ada kupu-kupu yang lahir indah. Semuanya bermula dari ulat—makhluk yang sering dianggap hama, pemakan daun, pengganggu pohon. Tapi justru dari tubuh ulat yang rakus dan dipandang jijik itu, lahirlah keajaiban.

Kupu-kupu tidak muncul dari kemewahan. Ia lahir dari kepompong sepi, dari luka daun yang dimakan, dari proses panjang yang tak instan. Sama seperti kebun yang perlu musim kering sebelum panen besar. Seperti manusia yang perlu kesabaran sebelum kematangan.

Alam mengajarkan satu hukum suci: keindahan bukan hadiah, tapi hasil dari luka yang diterima dan ditumbuhkan.




Si Penari Siang Hari: Kupu-Kupu dan Ritme Cahaya

Berbeda dengan ngengat yang aktif malam, kupu-kupu adalah penari siang hari. Mereka mencintai sinar mentari, aroma bunga, dan udara hangat.

Ketika pagi merekah dan bunga mulai mekar, kupu-kupu datang bukan untuk memperindah taman, tapi untuk bekerja. Mereka mencari nektar—cairan manis dari bunga—dan dalam proses itu, serbuk sari menempel di tubuhnya dan berpindah ke bunga lain.

Apa yang terjadi? Penyerbukan.
Dan apa hasilnya? Buah.

Tanpa disadari, kupu-kupu adalah pembawa benih kehidupan, penghubung bunga dan buah, antara keindahan dan kebermanfaatan.



Makanan Kupu-Kupu: Manisnya Kehidupan yang Tak Merusak

Kupu-kupu tidak menggigit daun, tidak melubangi batang, tidak memakan buah.
Ia hanya mengisap nektar bunga, cairan dari buah yang matang, atau air dari tanah basah.

Di sini letak perbedaan spiritualnya dengan ulat:

Ulat tumbuh dengan melukai,

Kupu-kupu hidup dengan menyambung.


Dan bukankah begitu seharusnya manusia? Belajar dari luka, lalu menjadi penyejuk yang menyatukan kehidupan.



Tanda Kehadiran Kupu-Kupu: Kebun Masih Disayangi Langit

Jika di kebun Anda banyak kupu-kupu, itu bukan hanya indah. Itu indikasi spiritual-ekologis bahwa:

Tanaman Anda menghasilkan bunga sehat.

Tidak ada pestisida berlebihan.

Masih ada rantai kehidupan: dari bunga, ulat, burung, hingga manusia.

Alam masih bersedia menitipkan penari suci ke tempat itu.


Kupu-kupu tak datang ke kebun yang beracun. Mereka hanya hadir di tempat yang alam percaya masih pantas dititipi kehidupan.




Apakah Kupu-Kupu Membantu Pembuahan Tanaman?

Ya. Dan bahkan sangat penting.

Banyak tanaman buah—mangga, jambu, belimbing, pepaya, semangka—bergantung pada penyerbuk alami. Selain lebah, kupu-kupu adalah pekerja yang senyap tapi efektif.
Tanpa mereka, proses reproduksi tanaman bisa terganggu.
Tanpa mereka, bunga hanya menjadi bunga, tidak menjadi buah.

Mereka bukan hanya memperindah taman.
Mereka menyambung hidup.



Apakah Kupu-Kupu Merusak atau Membantu Pertumbuhan Cabang Baru?

Kupu-kupu tidak memakan batang atau daun, sehingga tidak secara langsung menyebabkan tumbuhnya cabang baru. Namun, fase sebelum menjadi kupu-kupu—yakni ulat—sering menggigit batang muda atau daun.

Ironisnya, batang yang digigit ulat justru kadang melahirkan tunas baru, cabang muda, atau bunga baru. Ini seperti hukum kehidupan:
rasa sakit bisa memicu kebangkitan.
Daun yang luka bisa melahirkan pucuk harapan.



Kupu-Kupu dan Jiwa Pertanian

Kupu-kupu mengajarkan kita bahwa keindahan lahir dari proses, bukan dari permulaan yang sempurna.
Ia mengajarkan bahwa kerusakan tak selalu akhir, tapi bisa menjadi jalan pertumbuhan.
Ia mengingatkan kita bahwa alam tak butuh manusia sebagai penguasa, tapi sebagai penjaga.

Jika kita bisa menciptakan kebun yang cukup ramah bagi kupu-kupu, maka mungkin kita juga bisa menciptakan dunia yang cukup ramah bagi anak cucu kita.
Karena di balik sayap lembut kupu-kupu, ada pesan keras dari langit: “Rawat yang kecil, maka yang besar akan terjaga.”


Dari Bunga ke Buah, dari Luka ke Keindahan

Kupu-kupu tidak hanya membantu pembuahan. Ia mewakili rahmat ekologi, simbol kehadiran langit di kebun kita.

Ia tidak memotong, tidak menyiram, tidak mencangkul. Tapi tanpanya, banyak buah tak akan jadi. Banyak bunga hanya akan layu tanpa pernah berbuah.

Maka jika Anda melihat kupu-kupu hinggap di kebun Anda, jangan hanya kagumi sayapnya.
Lihat juga jiwanya.
Karena ia tak hanya membawa warna—ia membawa kehidupan yang diam-diam kita harapkan.



Ulat: Si Pemakan Daun yang Diam-diam Menyuburkan Kehidupan Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Banyak orang melihat ulat sebagai musuh t...



Ulat: Si Pemakan Daun yang Diam-diam Menyuburkan Kehidupan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Banyak orang melihat ulat sebagai musuh tanaman. Wajahnya tak ramah, jalannya pelan dan menggerogoti daun tanpa ampun. Ia dianggap perusak, pengganggu, dan hama yang harus segera dienyahkan. Tapi benarkah ulat hanya serangga perusak?

Atau justru, dalam diam dan rakusnya, ulat menyimpan pelajaran penting tentang pertumbuhan, pembaharuan, dan keseimbangan alam?


Apa Itu Ulat?

Ulat adalah larva dari kupu-kupu atau ngengat. Ia bukan serangga dewasa, tapi fase awal dari makhluk bersayap indah yang sering kita kagumi di taman-taman bunga.
Sebelum menjadi kupu-kupu penyerbuk, ia menjalani hidup sebagai ulat—tahap yang paling “kasar” dan sering dibenci manusia.

Namun di sinilah letak ironi:
Kita mencintai kupu-kupu, tapi membenci ulat yang menjadi jalannya.



Karakter Ulat: Pemakan Rakus yang Tak Pernah Minta Maaf

Ulat adalah pemakan ulung. Tubuh lunaknya bersegmen, dilengkapi mulut penggigit yang efektif menghancurkan daun. Ia tidak meminta izin, tidak berpura-pura, tidak membuang waktu.

Beberapa ulat berbulu dan bisa menyebabkan iritasi, tapi sebagian besar tidak berbahaya bagi manusia. Mereka hanya sibuk dengan satu hal: makan untuk tumbuh.

Ia lahir kecil, lalu makan tanpa henti. Dalam beberapa hari, ukurannya bisa membesar beberapa kali lipat. Dan ketika tiba waktunya, ia berhenti makan, membungkus diri dalam kepompong, dan… diam.

Di dalam keheningan itulah, keajaiban metamorfosis terjadi.



Siang, Malam, dan Kehidupan Diam-Diam

Tak semua ulat aktif di siang hari. Beberapa bersembunyi di balik daun atau tanah, lalu keluar di malam hari untuk makan. Mereka tahu kapan harus menyelinap, kapan harus menampakkan diri.

Ulat tidak bersuara. Tapi jejaknya terasa: daun yang hilang, batang yang berlubang, dan bunga yang tertunda mekar.

Namun, apakah semua itu kerugian?



Makanan Ulat: Daun, Bunga, Kadang Buah

Ulat adalah herbivora, pemakan daun, bunga, dan kadang buah muda. Ini yang membuat petani resah. Mereka takut panen gagal karena ulat mengunyah apa yang mestinya jadi hasil.

Tapi siapa sangka, dari batang yang digigit ulat, terkadang justru tumbuh cabang baru, daun muda, bahkan tunas bunga.

Dalam dunia pertanian, ini dikenal sebagai efek pemangkasan alami. Sama seperti manusia yang memangkas ranting untuk merangsang pertumbuhan, ulat melakukannya dengan cara yang lebih kasar, tapi hasilnya bisa serupa: pemulihan dan regenerasi.



Tanda Kehadiran Ulat di Kebun

Ulat tidak mudah disadari, tapi meninggalkan banyak jejak:

Daun berlubang atau habis separuh

Daun menggulung, sering kali tempat ulat bersembunyi

Butiran kotoran kecil (frass) di bawah daun

Jejak lendir atau gigi di bunga dan buah muda

Kemunculan kupu-kupu dewasa di sekitar kebun (karena berarti sebelumnya ada ulat)



Apakah Ulat Membantu Pembuahan Tanaman?

Jawabannya: tidak secara langsung.

Ulat justru sering memakan bunga atau daun muda yang penting untuk pembuahan. Tapi setelah ia menjadi kupu-kupu dewasa, ia bisa berperan sebagai penyerbuk alami.
Artinya, fase ulat adalah jalan menuju fase penyerbuk.

Namun, kehadiran ulat juga menyumbang sesuatu yang lebih dalam:

Ia mengundang burung pemangsa, yang juga membantu mengontrol hama lain.

Ia membuka ruang untuk pertumbuhan cabang baru dari batang yang digigitnya.

Ia memberi pelajaran tentang keseimbangan dan keterbatasan.



Ulat dalam Perspektif Ekosistem: Hama atau Katalis Kehidupan?

Ulat memang bisa merusak jika jumlahnya tak terkendali. Tapi dalam jumlah alami, ia adalah bagian penting dari siklus hidup:

Makan daun → membuka ruang tunas baru

Dimakan burung → mendukung rantai makanan

Jadi kupu-kupu → membantu penyerbukan

Mati → jadi pupuk mikroorganisme


Dalam ekosistem kebun yang sehat, ulat bukan musuh, melainkan bagian dari orkestra kehidupan.



Yang Tampak Merusak, Belum Tentu Merugikan

Petani sering menganggap ulat sebagai pengganggu. Tapi bagaimana jika kita ubah cara pandangnya?

Ulat bisa dilihat sebagai pemangkas alami yang mendorong pertumbuhan baru.
Sebagai uji kesabaran sebelum panen.
Bahkan sebagai guru kehidupan: ia mengajari kita tentang pertumbuhan yang menyakitkan, proses yang rakus, dan keindahan yang lahir dari kesunyian kepompong.

Tanpa ulat, tidak akan ada kupu-kupu.
Dan tanpa luka pada daun, barangkali tak akan tumbuh cabang baru.



Ulat, Sang Pengganggu yang Mengandung Potensi

Jika Anda menemukan ulat di kebun Anda, jangan buru-buru membunuh semuanya.
Lihat dulu: berapa jumlahnya, apakah masih dalam kendali, apakah sudah mengganggu keseimbangan?

Karena kadang, yang tampak sebagai perusak, justru pemicu kehidupan baru.
Dan ulat, sang pemakan daun yang dibenci itu, bisa jadi penyubur rahasia yang tak kita sadari.

Bunglon di Kebun: Penjaga Tak Bernama yang Tak Pernah Diminta Terima Kasih Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di kebun-kebun buah, kita...

Bunglon di Kebun: Penjaga Tak Bernama yang Tak Pernah Diminta Terima Kasih

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di kebun-kebun buah, kita biasa berbicara tentang pupuk, hama, hasil panen, dan harga pasar. Tapi ada satu makhluk yang jarang disebut, jarang disadari, dan bahkan sering diusir karena dianggap aneh, lambat, dan tak berguna. Ia tak berisik, tak memakan buah, bahkan tak meninggalkan jejak kerusakan apa pun.

Tapi justru makhluk inilah yang berjasa menjaga daun tetap hijau, bunga tetap utuh, dan buah tetap tumbuh.
Namanya: bunglon.



Ia Tidak Membawa Paku atau Pisau, Tapi Menjaga Lebih Baik dari Banyak Petani

Bunglon tidak butuh upah, tidak minta pujian, tidak mencari perhatian. Ia hanya hadir di kebun—diam, lambat, dan menyatu dengan batang pohon.

Tapi ia punya keahlian yang tidak dimiliki manusia: menangkap hama tanpa pestisida, membasmi ulat tanpa racun, dan menjaga keseimbangan kebun hanya dengan menjadi dirinya sendiri.

Bunglon tidak mencangkul, tapi ia bekerja lebih tenang dari petani. Ia tidak menanam, tapi menjaga apa yang kita tanam.



Di Mana Bunglon, Di Situ Kebun Masih Waras

Jika Anda melihat bunglon di kebun Anda, itu bukan sekadar penampakan satwa liar. Itu adalah pertanda ekosistem Anda masih hidup. Bahwa masih ada rantai makanan, bahwa pohon Anda masih menarik serangga alami, dan bahwa lingkungan belum terlalu rusak oleh pestisida kimia.

Karena bunglon tidak akan hidup di tempat yang mati.

Bunglon datang ketika ada ulat untuk ia buru.
Bunglon tinggal jika pohon-pohon punya ranting untuk ia pegang.
Dan bunglon akan bertahan jika manusia membiarkan ia bekerja dalam sunyi.



Bunglon Tidak Mengotori, Tidak Mengganggu, Tapi Dianggap Mengganggu

Ironi manusia modern: mengusir yang tidak merusak, dan memelihara yang merusak.

Berapa banyak petani yang mengusir bunglon karena "takut warna kulitnya berubah"?
Berapa banyak orang tua yang mengajarkan anaknya bahwa bunglon itu “menyeramkan”?
Padahal bunglon tidak menggigit, tidak beracun, dan tidak pernah memakan buah atau bunga.

Ia hanya memakan belalang, ulat, lalat buah, dan serangga-serangga kecil yang justru sering merugikan panen.



Apakah Bunglon Membantu Pembuahan?

Tidak secara langsung.

Bunglon bukan lebah. Ia tidak memindahkan serbuk sari dari bunga ke bunga. Tapi ia melakukan sesuatu yang lebih sunyi, tapi tak kalah penting:
Menjaga bunga tetap utuh sebelum ia sempat diserbuki.

Bayangkan: seekor ulat bisa membuat bunga rontok. Seekor belalang bisa menggigit kelopak.
Tapi jika bunglon hadir, ulat itu tidak sempat menggigit. Belalang itu tidak sempat melompat.

Bunglon bukan penyubur, tapi ia penjaga. Dan kadang, penjaga lebih penting daripada pemupus.



Si Penjaga yang Tak Punya Lencana

Di dunia manusia, penjaga dihargai karena berseragam. Tapi di dunia tumbuhan, penjaga seperti bunglon tidak bersuara, tidak berseragam, dan tidak punya lencana.

Ia hanya menyatu dengan dahan, berubah warna mengikuti matahari, dan muncul kadang kala seperti pesan dari alam bahwa "masih ada yang peduli, meski tak terlihat".

Kita mungkin tidak pernah mengucap terima kasih. Tapi pohon buah tahu siapa yang menjaga mereka diam-diam.



Bunglon Tidak Membuat Panen Berlimpah, Tapi Menjaga agar Tak Gagal

Petani sering berpikir soal panen besar. Tapi siapa yang berpikir soal kegagalan panen akibat hama?

Kita terlalu sibuk menghitung pupuk dan pestisida, hingga lupa bahwa ada yang menjaga bunga tetap utuh tanpa biaya. Bunglon adalah bagian dari sistem alam yang tak butuh instruksi. Ia datang ketika diperlukan, dan pergi ketika ekosistem sudah rusak.

Pertanyaannya: apakah kita masih memberi ruang untuk ia tinggal?



Belajar dari Bunglon yang Sabar

Bunglon tidak protes ketika kita menyemprot pestisida dan membunuh serangga yang jadi makanannya.
Ia tidak marah saat dahan tempat ia tidur ditebang.
Ia tidak menggigit ketika ditangkap dan dibuang jauh.

Tapi barangkali, kita yang perlu belajar darinya:
Bagaimana bekerja dalam diam.
Bagaimana menjaga yang kita cintai tanpa perlu sorotan.
Bagaimana setia pada peran meski tak pernah disapa terima kasih.



Jika Anda Melihat Bunglon di Kebun Anda…

…berhentilah sejenak.
Lihatlah bagaimana ia berjalan pelan, bagaimana matanya mengamati dua arah, dan bagaimana tubuhnya menyatu dengan daun.

Lalu ucapkan dalam hati:

“Terima kasih, penjaga sunyi. Teruslah tinggal di sini. Kami butuh kamu, meski kami sering lupa bahwa kamu ada.”

Dan mungkin, saat itu, kebun Anda menjadi lebih hidup dari sebelumnya.


Esai ini ditulis untuk membuka mata para petani, pencinta tanaman, dan siapa saja yang percaya bahwa alam tak pernah bekerja sendirian. Terkadang, penjaga terbaik adalah yang tak kita sadari kehadirannya.

Dari Mu’tah ke Gaza: Ketika Panglima Gugur, Perlawanan Justru Bangkit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel membunuh para pemimpin G...

Dari Mu’tah ke Gaza: Ketika Panglima Gugur, Perlawanan Justru Bangkit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Israel membunuh para pemimpin Gaza, berharap perlawanan padam. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: lahir generasi baru, lebih cerdas, lebih berani, dan lebih mematikan

Dalam sejarah militer Islam, Perang Mu’tah adalah pelajaran besar tentang krisis dan kebangkitan. Ketika tiga panglima Muslim gugur secara beruntun—Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah—pasukan Islam tidak lumpuh. Mereka bermusyawarah, menunjuk pemimpin baru di tengah kobaran perang, dan terus melanjutkan perjuangan. Dari situ lahirlah Khalid bin Walid, panglima muda yang cerdas dan taktis, yang menyelamatkan pasukan dari kehancuran total melalui manuver mundur strategis.

1.400 tahun kemudian, sejarah itu seperti berulang. Di Gaza—tanah yang tidak jauh dari tapal batas Mu’tah—para pemimpin perlawanan Palestina dibunuh satu per satu oleh Israel. Dari Syekh Ahmad Yasin, Dr. Rantisi, Abu al-Ata, hingga puluhan komandan Al-Qassam dan Saraya Al-Quds, tak satu pun dibiarkan hidup lama. Tapi alih-alih perlawanan melemah, Gaza justru menjadi lebih berani, lebih terorganisir, dan lebih canggih dalam taktik perang kota dan infiltrasi.



Mu’tah dan Gaza: Dua Medan, Satu Spirit

Mu’tah dan Gaza mungkin berbeda zaman, tapi keduanya menyimpan semangat yang sama: ketika panglima gugur, ruh perjuangan justru menyala.

Di Mu’tah, 3.000 pasukan Muslim menghadapi lebih dari 100.000 pasukan Romawi dan Arab Kristen. Ketika tiga pemimpin syahid, para sahabat tidak menunggu perintah pusat. Mereka bermusyawarah di medan perang dan memilih Khalid bin Walid, pemuda yang bahkan belum lama masuk Islam. Hasilnya luar biasa: bukan hanya keselamatan pasukan, tapi munculnya strategi militer Islam yang fleksibel dan adaptif.

Di Gaza, strategi serupa hidup kembali dalam bentuk modern. Israel menyangka bahwa dengan membunuh tokoh sentral, mereka bisa mematikan arah. Tapi Gaza telah menyiapkan sistem regenerasi jauh lebih cepat dari kecepatan rudal. Saat satu pemimpin gugur, sepuluh lainnya sudah selesai dilatih di terowongan, di masjid, di ruang bawah tanah yang sunyi tapi penuh tekad.



Israel Membunuh, Tapi Tak Memahami

Israel percaya pada dogma militer konvensional: kill the commander, collapse the troops. Tapi sistem Islam tidak bekerja seperti itu. Kepemimpinan bukan terpusat pada satu figur. Ia terdistribusi dalam kesadaran umat.

Di Gaza, perlawanan tidak dibangun di atas figur, tapi pada jaringan, musyawarah, dan kesadaran akidah. Mereka tidak hanya mengganti panglima, tapi melahirkan pola perlawanan baru: sistem shura internal, kaderisasi militer organik, dan keahlian teknologi tempur yang terus berkembang—dari roket jarak menengah, drone penyusup, hingga sabotase jaringan komunikasi dan penyergapan urban.

Sementara itu, ironisnya, Israel justru mengalami krisis mobilisasi. Rakyatnya ogah direkrut. Tentara muda dilanda trauma karena membunuh anak-anak. Para pemimpin politik mereka sibuk bertengkar, saling menyalahkan. Negara yang membunuh panglima lawan, justru tak mampu mencetak prajurit sendiri.



Kesamaan yang Tak Terbantahkan

Mu’tah dan Gaza sama-sama memperlihatkan bahwa kekuatan Islam terletak pada jiwa kolektif yang sadar dan siap berkorban.

Di Mu’tah, pasukan selamat bukan karena jumlah, tapi karena kesatuan hati dan kecerdasan kolektif. Di Gaza, perlawanan bertahan bukan karena senjata, tapi karena kesadaran jihad yang hidup di dada rakyatnya.

Di Mu’tah, taktik Khalid bin Walid menyelamatkan pasukan dari kehancuran total. Di Gaza, taktik gabungan para komandan muda menghasilkan operasi-operasi spektakuler seperti Tufan al-Aqsa, penyergapan pasukan elite Israel, dan penguasaan wilayah yang tak disangka.

Di Mu’tah, lawannya adalah Byzantium, superpower abad ke-7. Di Gaza, lawannya adalah Israel, negara nuklir dengan teknologi tempur tercanggih di Timur Tengah. Tapi keduanya sama-sama terbentur pada satu tembok tak kasat mata: ruh jihad dan semangat yang tidak bisa dihancurkan dengan senjata.



Kemenangan yang Lahir dari Kesadaran

Apa yang menyatukan Mu’tah dan Gaza bukan hanya sejarah, tapi model peradaban kepemimpinan Islam.

Rasulullah ï·º tidak membangun umat yang bergantung pada satu tokoh. Beliau membangun sistem: jika pemimpin gugur, maka umat siap melahirkan pemimpin baru dari barisan. Gaza adalah pengejawantahan modern dari sistem itu: tanpa negara, tanpa senjata canggih, tapi dengan kesadaran jihad yang diwariskan secara ruhiyah.

Israel menghancurkan rumah-rumah, tapi tidak bisa menghancurkan cita-cita. Mereka membunuh para komandan, tapi tidak bisa membunuh keyakinan. Mereka meledakkan markas, tapi tidak tahu bahwa basis perlawanan sejati hidup di dada anak-anak yang kehilangan ayahnya.



Jika Panglima Gugur, Siapa yang Bangkit?

Di Mu’tah, yang bangkit adalah Khalid bin Walid.
Di Gaza, yang bangkit adalah ribuan Khalid—tanpa nama, tanpa pangkat, tapi dengan kecerdasan dan keimanan.

Perlawanan bukan di tangan satu orang. Tapi di dada setiap yang beriman.
Dan selagi ruh itu hidup, perang belum berakhir—karena jiwa umat tak bisa dibunuh.

Jika dunia bertanya, mengapa Gaza tidak tumbang meski pemimpinnya terus dibunuh, maka jawablah:
Karena mereka tidak dipimpin oleh satu komandan. Mereka dipimpin oleh kesadaran.
Dan kesadaran, tidak bisa dibunuh dengan drone.

Ketika Rasulullah ï·º Memilih Panglima dan Menentukan Jumlah Pasukan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam catatan sejarah militer Isla...

Ketika Rasulullah ï·º Memilih Panglima dan Menentukan Jumlah Pasukan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Dalam catatan sejarah militer Islam, kemenangan bukan semata soal banyaknya pasukan atau kekuatan senjata. Rasulullah ï·º menunjukkan kepada dunia bahwa strategi, visi, dan pembinaan sumber daya manusia jauh lebih menentukan hasil sebuah pertempuran daripada jumlah kepala dan bilah pedang. Di balik setiap ekspedisi dan perang yang beliau pimpin atau delegasikan, selalu ada kalkulasi matang, pertimbangan spiritual, dan misi pendidikan yang tersembunyi namun sangat menentukan masa depan umat.

Di sinilah letak seni strategi Rasulullah ï·º. Tidak semua pasukan harus besar. Tidak semua panglima harus beliau sendiri. Tidak semua keputusan harus diambil satu arah. Ada ruang untuk pelatihan. Ada momen untuk regenerasi. Ada saatnya beliau memimpin sendiri. Dan ada waktunya beliau membiarkan para sahabat memilih pemimpin mereka sendiri di tengah kekacauan.



Pasukan Kecil: Mobilitas Tinggi, Tugas Spesifik

Dalam tahun-tahun awal hijrah, Rasulullah ï·º mulai mengirim ekspedisi militer kecil. Jumlahnya kadang hanya 12, 30, atau 60 orang. Tujuannya bukan untuk perang terbuka, melainkan untuk pengintaian, pengamanan jalur dagang, atau menekan psikologi musuh.

Contohnya, pada tahun 1 Hijriah, Rasulullah ï·º sendiri memimpin Ekspedisi Saif al-Bahr, dengan sekitar 30 orang menuju Laut Merah, untuk menyergap kafilah Quraisy. Dalam waktu berdekatan, beliau juga mengirimkan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ubaidah bin al-Harits masing-masing dengan 30–60 pasukan, dengan misi serupa. Kemudian Abdullah bin Jahsy ditugaskan memimpin 12 orang dalam operasi intelijen ke Nakhlah.

Ciri umum ekspedisi kecil ini: panglima selalu ditunjuk langsung oleh Rasulullah ï·º, karena misi mereka sangat spesifik, rawan diplomatik, dan butuh orang yang sangat beliau percayai. Tidak ada data bahwa pasukan sekecil ini pernah memilih pemimpin mereka sendiri. Disiplin dan kecepatan lebih penting daripada musyawarah panjang.



Pasukan Besar: Konfrontasi dan Konsolidasi Kekuatan

Ketika situasi menuntut perang terbuka atau konsolidasi kekuatan politik, Rasulullah ï·º mengirim pasukan besar, bisa mencapai ratusan hingga puluhan ribu. Dalam Perang Badar (2 H), beliau memimpin langsung 313 orang untuk menghadapi 1.000 pasukan Quraisy. Di Perang Uhud, pasukannya berjumlah sekitar 700. Dalam Perang Khandaq, jumlahnya melonjak jadi 3.000. Dan pada Perang Tabuk, Rasulullah ï·º mengerahkan 30.000 pasukan sebagai manuver politik terhadap Byzantium.

Namun, tidak semua ekspedisi besar dipimpin langsung. Dalam Perang Mu’tah (8 H), Rasulullah ï·º menunjuk panglima secara berjenjang: Zaid bin Haritsah, jika gugur digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib, lalu Abdullah bin Rawahah. Setelah tiga-tiganya gugur, pasukan di medan perang bermusyawarah dan memilih Khalid bin Walid sebagai panglima baru. Itu menjadi preseden penting: bahwa dalam situasi darurat, pasukan Muslim boleh dan mampu memilih pemimpinnya sendiri.

Dalam Ekspedisi Usamah bin Zaid (11 H), Rasulullah ï·º menunjuk seorang panglima muda berusia 18 tahun, untuk memimpin pasukan besar yang berisi sahabat senior. Ini bukan semata soal taktik, melainkan pendidikan regenerasi: Islam tidak mengenal aristokrasi usia atau kasta darah. Yang penting adalah kapasitas dan kepercayaan.

Kapan Kecil, Kapan Besar?

Keputusan mengirim pasukan kecil atau besar selalu didasarkan pada tiga pertimbangan utama:

1. Skala ancaman dan jenis misi. Jika hanya pengintaian atau pengamanan, cukup dengan 10–30 orang. Jika menghadapi konfrontasi terbuka, maka dibutuhkan ratusan bahkan ribuan.

2. Letak geografis. Misi ke daerah terpencil dengan medan berat lebih cocok dengan pasukan kecil dan cepat.

3. Pesan politik dan spiritual. Kadang, mengerahkan pasukan besar bukan untuk perang, tapi untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan (seperti Perang Tabuk).



Mengapa Ada yang Dipimpin Langsung, Ditunjuk, atau Dimusyawarahkan?

Ketika Rasulullah ï·º memimpin langsung, biasanya itu karena misi sangat strategis dan bernilai simbolik tinggi. Beliau ingin membangkitkan semangat, membuktikan kesatuan umat, dan menjadi teladan langsung di tengah pertempuran.

Namun ketika misi berada jauh, atau bersifat khusus, beliau menunjuk panglima. Dalam penunjukan ini, ada pesan kepercayaan dan pelatihan. Rasulullah ï·º tidak hanya membentuk pasukan, tapi juga membentuk pemimpin.

Dan ketika kondisi benar-benar mendesak—panglima gugur di medan perang, dan tidak ada perintah lanjutan—maka musyawarah dipersilakan. Ini bukan kelemahan, tapi justru kematangan: pasukan Islam mampu mandiri dan solid bahkan tanpa instruksi pusat. Itulah yang terjadi di Mu’tah.



Kriteria Panglima Pilihan Rasulullah ï·º

Dari sejarah ekspedisi yang ditugaskan Rasulullah ï·º, kita bisa melihat pola jelas dalam pemilihan panglima:

Integritas spiritual: bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga kokoh imannya.

Kepercayaan Rasulullah ï·º: biasanya para panglima adalah sahabat yang sangat dekat dan loyal.

Kemampuan strategi dan komunikasi: bisa menyusun taktik dan mengendalikan pasukan dari berbagai suku.

Kepemimpinan moral: mereka bukan hanya komandan, tapi teladan.


Penunjukan Usamah bin Zaid sebagai panglima adalah contoh paling tegas dari prinsip meritokrasi dalam Islam. Ia bukan dari kabilah terkemuka, bukan orang tua, tapi dipilih karena integritas dan kecakapannya.



Musyawarah: Bukan Alternatif, Tapi Bukti Kedewasaan

Musyawarah memilih panglima bukan rencana cadangan. Ia adalah bukti bahwa sistem pendidikan Rasulullah ï·º berhasil. Ketika pasukan Muslim di Mu’tah bermusyawarah dalam keadaan genting dan menunjuk Khalid bin Walid, itu menunjukkan bahwa mereka sudah matang—secara akal, akhlak, dan kepemimpinan.

Rasulullah ï·º tidak membentuk pasukan yang bergantung padanya. Beliau membentuk umat yang siap tegak tanpa beliau.



Strategi Rasulullah ï·º adalah Pendidikan Kepemimpinan

Dalam strategi militer Rasulullah ï·º, jumlah pasukan dan siapa yang memimpin bukan sekadar pilihan teknis. Di balik semua itu ada logika pendidikan, pelatihan, dan regenerasi. Umat Islam tidak hanya diajarkan untuk taat pada satu pemimpin, tapi juga untuk siap menjadi pemimpin ketika keadaan menuntut. Rasulullah ï·º membentuk sistem yang hidup—yang tahu kapan mendengar, kapan memimpin, dan kapan bermusyawarah.

Di zaman ketika regenerasi kepemimpinan menjadi isu besar di banyak bangsa dan organisasi, strategi Rasulullah ï·º ini memberi pelajaran penting: bahwa kepemimpinan adalah hasil dari kepercayaan, pelatihan, dan pemberdayaan. Ia bukan diwariskan, bukan dipaksakan, dan bukan pula dikultuskan.

Dan karena itulah, Rasulullah ï·º tidak hanya memenangkan perang. Beliau memenangkan masa depan.

Gerbong yang Tidak Pernah Dihentikan: Mengapa Munafikin Dibiarkan dalam Barisan Umat? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di antara lemba...

Gerbong yang Tidak Pernah Dihentikan: Mengapa Munafikin Dibiarkan dalam Barisan Umat?


Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di antara lembaran perang dan wahyu, ada satu bab yang tak pernah ditutup: gerbong kaum munafik. Mereka tidak pernah memulai perang besar, tapi selalu menjadi luka kecil yang tak sembuh-sembuh. Mereka tidak memikul pedang, tapi melumpuhkan daya tempur. Tidak mengangkat panji, tapi menggoyahkan semangat. Mereka bukan kafir terang-terangan. Mereka lebih licik: bersembunyi di balik takbir dan saf shalat.

Yang mencengangkan: Rasulullah ï·º membiarkan mereka tetap dalam barisan. Bahkan setelah mereka:

1. Melemahkan daya tempur dalam setiap ekspedisi (Uhud, Tabuk)

2. Merancang pembunuhan terhadap Nabi ï·º (Peristiwa Aqabah)

3. Menyebar fitnah kehormatan terhadap Aisyah RA (Haditsul Ifki)

4. Mendirikan masjid makar (Masjid Dhirar)

5. Bersekongkol dengan Yahudi dan Quraisy dalam senyap

Mengapa tidak ada gelombang penangkapan? Mengapa tidak ada eksekusi? Mengapa nama-nama mereka hanya dipegang oleh satu sahabat: Hudzaifah bin Al-Yaman—dan tidak diumumkan ke publik?

Ini bukan kelemahan strategi. Ini adalah strategi kenabian tingkat tinggi, melampaui logika kekuasaan dan dendam politik. Ini adalah senyap yang menyelamatkan umat dari ledakan fitnah internal.



Kaum Munafik: Musuh yang Tidak Pernah Diusir

Mereka bukan orang luar. Mereka bagian dari masyarakat Muslim. Mereka ikut perang, ikut majelis, bahkan menjadi juru bicara komunitas. Tapi mereka punya misi terselubung: melemahkan dari dalam.

1. Di Tabuk, mereka menyebarkan ketakutan dan rasa malas:

“Jangan pergi dalam panas ini!” (QS. At-Taubah: 81)

2. Di Aqabah, mereka menyusun rencana pembunuhan Nabi ï·º—menyusup malam hari dan mencoba menjatuhkan unta beliau dari celah gunung.

3. Di Madinah, mereka membangun Masjid Dhirar—bukan untuk shalat, tapi untuk menyusun konspirasi.

4. Dalam peristiwa Haditsul Ifki, mereka menebar gosip keji terhadap Aisyah RA, istri Nabi ï·º, untuk menghancurkan reputasi beliau dari dalam rumah.

5. Dalam perang-perang besar, mereka kerap menyebar desersi, menggembosi semangat, dan membocorkan informasi ke musuh.



Mengapa Rasulullah ï·º Tidak Mengumumkan Nama-Nama Mereka?

Dalam tekanan situasi dan tuntutan sahabat, Nabi ï·º tetap merahasiakan identitas kaum munafik. Hanya satu orang yang diberi daftar nama: Hudzaifah bin Al-Yaman.

Umar bin Khattab RA yang tegas pun bertanya:
“Apakah aku termasuk?”

Bahkan saat memilih pejabat, Umar mengamati siapa yang dishalatkan oleh Hudzaifah—dan siapa yang tidak. Tapi Hudzaifah tetap menjaga rahasia. Ini bukan soal individu. Ini adalah proyek besar menjaga kohesi umat.

Nabi ï·º bersabda:

“Jika aku membunuh mereka, orang-orang akan berkata: Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”
(HR. Bukhari)

Bayangkan efek sosialnya: runtuhnya kepercayaan publik, fitnah massal, dan kekacauan internal. Nabi ï·º tidak sedang menyelamatkan dirinya—beliau sedang menyelamatkan masa depan umat.



Ini Bukan Kelemahan—Ini Strategi Kelas Tertinggi

Rasulullah ï·º tidak membiarkan pengkhianat hidup tanpa sebab. Beliau:

1. Mengawasi dengan cermat
2. Mencatat secara pribadi
3. Menunggu waktu hingga masyarakat sendiri menyaksikan kontradiksi dan kelicikan mereka

Inilah strategi “exposure through contradiction”—membiarkan mereka terbongkar oleh diri mereka sendiri.

Seperti dalam kasus Abdullah bin Ubay bin Salul, yang berkata:

“Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia akan mengusir yang hina.”

Tapi justru anak kandungnya sendiri yang menghadangnya dan berkata:

“Engkau tidak akan masuk Madinah kecuali dengan izin Rasulullah ï·º.”

Itu pukulan moral yang lebih telak daripada pedang.



Membangun Imunitas Moral, Bukan Membunuh Virusnya

Rasulullah ï·º mengajarkan:

“Bangun masyarakat yang tahan terhadap racun. Bukan hanya membunuh peracun satu per satu.”

Andai Nabi ï·º mengeksekusi satu munafik hari ini, besok bisa lahir dua, karena umat mulai saling curiga. Tapi jika umat dibangun dengan:

1. Pendidikan iman
2. Kecerdasan akal
3. Kepekaan sosial
4. Kebersihan hati

Maka racun akan ditolak otomatis. Umat akan membentengi dirinya sendiri.



Refleksi Zaman Ini: Siapa Munafik Hari Ini?

Mereka tidak selalu berpakaian aneh. Kadang berjubah, bersorban, lantang bicara tentang keadilan—tapi menjadi agen pembusukan dari dalam.
Kadang mereka membangun “masjid” bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk platform digital, media, forum, atau LSM yang menyebarkan keraguan terhadap Islam.

Mereka tidak frontal, tapi menyusup, menggoyahkan kepercayaan umat, menyuntikkan ideologi musuh lewat kanal yang "halal".

Dan sayangnya, kita sibuk memburu kafir di luar, tapi lalai membaca gerbong pengkhianat di dalam.



Utsman bin ‘Affan: Mewarisi Strategi Kenabian

Gerbong ini tak berhenti di zaman Nabi ï·º. Di masa Khalifah Utsman bin ‘Affan RA, kaum munafik berwajah revolusioner kembali bergerak.

Mereka menyebar propaganda dari Mesir, Kufah, dan Basrah. Merekayasa dokumen, menyebarkan fitnah, dan memprovokasi opini publik.
Tapi Utsman RA tidak memerintahkan penumpasan massal. Ketika para sahabat menyarankan untuk membunuh para pemberontak, beliau menjawab:

“Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang menumpahkan darah kaum Muslimin.”

Tapi Utsman RA juga tidak menyerahkan kekuasaan kepada mereka. Ia tetap bertahan di rumahnya, menjaga legitimasi kekhalifahan. Ia memilih mati syahid dalam sabar, bukan menyerahkan kekuasaan kepada kaum pengacau yang menyamar sebagai penuntut kebenaran.

Beliau memegang amanah Nabi ï·º:

“Akan datang suatu masa, engkau (wahai Utsman) akan diperintahkan untuk melepas baju yang Allah pakaikan kepadamu. Tapi jangan lepaskan.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban)



Gerbong Ini Masih Berjalan—Apakah Kita Sadar?

“Umat ini tidak akan tumbang oleh tentara kafir, tapi akan remuk oleh racun yang disebar dari dalam, jika tak ada yang menjaga kesadaran.”

Gerbong munafikin masih diluncurkan. Tapi strategi Rasulullah ï·º dan para Khulafaur Rasyidin masih hidup:

1. Menjaga rahasia, bukan membabi buta
2. Menahan emosi, bukan reaktif membakar
3. Membangun benteng iman, bukan paranoia
4. Melatih kesadaran umat, bukan kultus kepemimpinan



Bukan Lagi Pertanyaan: Siapa Munafik Hari Ini?

Pertanyaannya adalah:

Apakah kita sudah membangun masyarakat yang kebal terhadap pengkhianatan?
Atau justru membuka pintu dan membiarkan gerbong itu lewat, lengkap dengan sambutan dan karpet merah?

Gerbong ini tidak pernah berhenti. Tapi kita bisa memilih:
Menjadi penumpang yang tertipu...
atau menjadi penjaga yang sadar.

Mata yang Tidak Tidur: Intelijen Rasulullah ï·º dan Rahasia Keunggulan Strategis Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam diamnya ma...

Mata yang Tidak Tidur: Intelijen Rasulullah ï·º dan Rahasia Keunggulan Strategis Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam diamnya malam, pasukan tidur, pemimpin pun beristirahat. Tapi ada satu orang yang tetap terjaga: Rasulullah ï·º. Ia tidak hanya menjaga shalat malamnya, tapi juga menjaga umatnya dari kebutaan strategi. Ia bukan hanya nabi yang membawa wahyu, tapi juga panglima yang membaca medan. Dan salah satu keunggulan terbesarnya adalah: kekuatan intelijen—membaca musuh bahkan sebelum mereka menyerang.



1. Menyusup Tanpa Terdeteksi: Abbas bin Abdul Muththalib dan Quraisy

Sebelum Perang Badar, Rasulullah ï·º menerima surat rahasia dari seseorang di Mekkah. Isinya mengejutkan: jumlah pasukan Quraisy, senjata mereka, arah perjalanan, dan waktu keberangkatan. Penulisnya? Abbas bin Abdul Muththalib, paman beliau sendiri, yang kala itu belum hijrah.

“Wahai keponakanku,” tulis Abbas dalam surat itu, “mereka tidak datang untuk berdagang. Mereka datang untuk memadamkan cahayamu. Hati-hatilah, dan bertindaklah sebelum terlambat.”

Rasulullah ï·º tidak menyia-nyiakan informasi ini. Ia mengubah arah perjalanan, menutup semua rute agar Quraisy tak bisa lari, dan akhirnya meraih kemenangan pertama besar: Badr.

Inilah keunggulan intelijen: menang sebelum bertempur.



2. Dialog Diam-Diam: Hudzaifah bin Al-Yaman di Perkemahan Abu Sufyan

Dalam Perang Khandaq, Madinah dikepung ribuan pasukan koalisi. Tapi dalam kondisi genting itu, Rasulullah ï·º tidak hanya berdoa. Ia memanggil Hudzaifah bin Al-Yaman dan berbisik:

"Pergilah ke tengah perkemahan musuh, lihat keadaan mereka, lalu kembali tanpa membuat mereka tahu bahwa engkau dari pihak kita."

Hudzaifah menyelinap malam-malam, dingin menggigit, nyawa di ujung tombak. Tapi ia berhasil kembali dan berkata:

"Ya Rasulullah, mereka gelisah, mereka kelaparan, dan mereka akan mundur karena cuaca buruk dan ketidaksepakatan."

Dengan satu misi, Rasulullah ï·º tahu bahwa Ahzab akan bubar. Dan benar: esok harinya, pasukan koalisi tercerai-berai tanpa satu panah pun diluncurkan dari Madinah.



3. Abdullah bin Jahsy: Mata yang Mengawali Perang Badr

Beberapa minggu sebelum Badar, Rasulullah ï·º mengirim Abdullah bin Jahsy dengan pesan tertutup:

“Bukalah surat ini setelah dua hari perjalanan, dan jangan paksakan siapa pun ikut jika mereka tak sanggup.”

Isinya singkat tapi strategis:

"Amati rute dagang Quraisy, jangan serang, tapi laporkan semuanya."

Abdullah memata-matai rute dagang Abu Sufyan yang membawa harta kekayaan besar dari Syam. Misi ini membuka jalan besar: ekonomi Quraisy terguncang, dan Perang Badr pun pecah karena mereka ingin membalas.



4. Bertanya pada Orang Biasa: Kenapa?

Mengapa Rasulullah ï·º bertanya pada pedagang, musafir, orang tua, bahkan wanita dari kafilah dagang?

Karena data tidak selalu datang dari tentara. Kadang para pedagang lebih tahu kondisi pasar senjata, kabilah lebih tahu pergeseran aliansi, musafir mendengar obrolan antara pemimpin. Rasulullah ï·º tahu: semua orang adalah potensi intelijen.

Dalam sirah disebutkan, Nabi ï·º pernah bertanya kepada seorang wanita dari Makkah tentang keadaan kampungnya. Ia menjawab santai:

“Orang-orang Quraisy sedang menyiapkan sesuatu. Aku tak tahu pasti, tapi kudengar banyak orang keluar masuk rumah Abu Jahl.”

Kalimat sederhana itu cukup bagi Nabi ï·º memahami: ada konspirasi besar yang sedang disusun.



5. Surat-Surat Rahasia Rasulullah ï·º

Rasulullah ï·º tidak hanya menyadap, tapi juga membangun perang informasi melalui surat diplomatik. Bahkan ini jadi strategi untuk menyusupkan pengaruh Islam ke dalam benak para pemimpin besar.

Surat kepada Heraklius (Romawi):

"Masuk Islamlah, engkau akan selamat. Jika engkau menolak, maka dosa seluruh rakyatmu atasmu."

Surat ini membuat Heraklius memanggil Abu Sufyan (yang belum masuk Islam) dan menanyainya panjang lebar. Heraklius akhirnya berkata:

“Jika apa yang kau katakan benar, maka orang itu (Muhammad) akan menguasai tempat di bawah kakiku ini.”
(HR. Bukhari)

Sungguh, surat itu adalah senjata psikologis yang menanamkan keraguan di jantung Romawi.



6. Mengawasi Kaum Munafik: Abdullah bin Ubay

Rasulullah ï·º tahu siapa tokoh munafik. Tapi beliau tak sembarang menindak. Beliau sabar mengamati hingga terbongkar sendiri.

Dalam Perang Tabuk, Abdullah bin Ubay menghasut orang agar tidak ikut. Tapi Nabi tidak menahannya langsung. Beliau biarkan publik melihat siapa yang berani datang ke medan dan siapa yang sembunyi.

Ketika wahyu turun membongkar tipu daya mereka, Rasulullah ï·º telah memiliki bukti-bukti sosial, bukan hanya prasangka.



7. Ekspedisi Tabuk: Menyusup ke Syam Sebelum Pasukan Berangkat

Rasulullah ï·º menugaskan para sahabat untuk mengamati Syam dari jauh:

Amr bin Umayyah dikirim menyamar sebagai pedagang

Salman Al-Farisi menggali informasi dari hubungan lamanya di perbatasan


Maka ketika Tabuk digelar, Rasulullah ï·º tahu bahwa Romawi tak akan datang karena sedang menghadapi krisis dalam negeri.

Itu sebabnya beliau tetap berangkat, bukan untuk perang fisik, tapi untuk menunjukkan kekuatan politik dan moral. Itulah kemenangan psikologis Islam.



Kecerdasan Strategis Nabi ï·º: Perang adalah Tipu Daya, Tapi Tidak Berdusta

Rasulullah ï·º tak pernah menyebar hoaks, tapi mengolah kebenaran jadi kekuatan. Beliau menyadap bukan untuk menipu, tapi untuk mencegah tragedi.

"Perang adalah tipu daya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

"Barangsiapa menjaga rahasia, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan."
(HR. Thabrani)



Apa Pelajaran Kita Hari Ini?

Di zaman digital, kita punya semua alat canggih: drone, satelit, spyware. Tapi kecerdasan Rasulullah ï·º tetap tak tergantikan: menyaring, menyusun, dan menggerakkan informasi dengan hikmah dan nurani.

Jika kita ingin membangun kekuatan umat hari ini, kita tak cukup hanya orasi dan amarah. Kita butuh kekuatan intelijen, informasi, dan kesabaran—sebagaimana dicontohkan oleh panglima agung, Rasulullah ï·º.



Panglima yang Membaca, Bukan Hanya Menyerang

Dalam setiap pasukan, ada yang membawa pedang dan ada yang membawa mata. Rasulullah ï·º adalah keduanya. Dan beliau mewariskan kepada kita pelajaran penting: kemenangan diraih bukan hanya oleh keberanian, tapi oleh kecerdasan dan kesadaran.

Musang di Dalam Kandang: Rasulullah ï·º dan Kecerdasan Kontra Intelijen Umat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah umat Islam, ...

Musang di Dalam Kandang: Rasulullah ï·º dan Kecerdasan Kontra Intelijen Umat


Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam sejarah umat Islam, musuh dari luar memang menakutkan. Tapi musuh dari dalam? Mereka lebih mematikan. Mereka ikut salat, ikut perang, ikut dalam barisan Nabi ï·º, tapi diam-diam mengasah belati di balik sorban. Mereka bukan sekadar mata-mata; mereka adalah racun yang disusupkan ke dalam darah perjuangan.

Namun justru di titik paling gelap itu, kecemerlangan strategi Rasulullah ï·º bersinar. Beliau tidak hanya membentuk pasukan yang kuat, tetapi juga komunitas yang tahan infiltrasi, masyarakat yang memiliki daya imunitas ideologis dan sosial, serta sistem kewaspadaan moral yang hidup dari dalam. Inilah kisahnya.



Aqabah: Kudeta Gagal yang Ditelan Malam

Perjalanan pulang dari Tabuk seharusnya menjadi kemenangan moral. Tapi di tengah sunyi malam, saat Nabi ï·º memilih jalan terjal bernama Aqabah, 12 orang munafik dengan wajah tertutup menyusup, mengincar nyawa beliau.

Mereka merencanakan sebuah "kecelakaan": menakut-nakuti unta Nabi agar terjatuh ke jurang. Tapi mereka tak tahu, Rasulullah ï·º tak pernah sendirian. Hudzaifah bin Al-Yaman dan Ammar bin Yasir ada di sana — dua sahabat yang tak hanya menjaga tubuh Nabi, tapi juga menjaga detak nadi peradaban.

Dengan pedang dan keberanian, para penyusup dihalau. Nabi ï·º tidak bereaksi keras, tidak gegabah mengeksekusi mereka. Nama-nama mereka diserahkan diam-diam kepada Hudzaifah. Maka Hudzaifah pun dikenal sepanjang zaman sebagai: Shahibu Sirri Rasulillah ï·º — sang pemegang rahasia Nabi.

Mengapa Nabi ï·º tidak mengumumkan mereka? Karena pemimpin sejati tidak memimpin dengan amarah, tapi dengan visi. Bukan sekadar ingin menyingkirkan pengkhianat, tapi ingin menjaga umat agar tidak terbelah karena fitnah. Rasulullah ï·º tahu: ada waktu untuk membongkar, ada waktu untuk membiarkan sejarah yang menyingkapkan.



Bani Musthaliq: Satu Kalimat yang Hampir Memecah Umat

Setelah Perang Bani Musthaliq, saat pasukan sedang dalam perjalanan pulang, pertengkaran kecil antara seorang Muhajirin dan Anshar dimanfaatkan oleh Abdullah bin Ubay, tokoh utama kaum munafik.

Ia berkata lantang:

“Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia (yakni dirinya) akan mengusir yang hina (yakni Rasulullah)!”

Ini bukan sekadar penghinaan, ini adalah retorika kudeta politik. Dan Umar pun naik pitam. “Izinkan aku memenggal kepalanya, ya Rasulullah!” Tapi Rasulullah ï·º menolak.

“Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”

Di sinilah kejeniusan kenabian tampil. Rasulullah tidak memberi musuh amunisi opini. Beliau biarkan waktu dan peristiwa menghakimi. Dan betul — tak lama setelah itu, putra Abdullah bin Ubay sendiri, yang bernama Abdullah, menghadang ayahnya di pintu Madinah dan berkata:

“Engkau tak boleh masuk sebelum Rasulullah mengizinkan.”

Kita belajar: Rasulullah tidak perlu membungkam para penyusup dengan pedang, cukup dengan membuka mata masyarakat agar mereka tersingkir oleh keadilan sosial.



Masjid Dhirar: Di Balik Kubah, Ada Konspirasi

Kaum munafik bahkan sempat membangun masjid. Masjid Dhirar — dibangun bukan untuk shalat, tapi untuk makar. Mereka ingin menjadikannya pusat propaganda anti-Rasulullah ï·º.

Namun Allah membongkar tipu daya itu:

“Dan (ada pula) orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan, kekafiran, dan memecah belah orang-orang mukmin…”
(QS. At-Taubah: 107)

Rasulullah ï·º pun tak ragu: beliau perintahkan masjid itu dihancurkan.

Ya, jika masjid berubah menjadi ruang konspirasi, maka menghancurkannya adalah jihad. Islam bukan soal simbol, tapi soal substansi. Dan substansi Islam adalah kebenaran, bukan kedok untuk kebusukan.



Hatib bin Abi Balta’ah: Surat Rahasia yang Dimaafkan

Sebelum Fathul Makkah, seorang sahabat bernama Hatib bin Abi Balta’ah mengirim surat rahasia kepada Quraisy, memberitahukan rencana Nabi. Sebuah pelanggaran serius. Namun saat ia dipanggil dan diinterogasi, Hatib berkata:

“Aku tidak berkhianat karena benci Islam, tapi karena ingin melindungi keluargaku yang tak berdaya di Makkah.”

Ali pun siap mengayunkan pedang. Tapi Nabi ï·º bersabda:

“Dia ikut perang Badar. Siapa tahu Allah telah mengampuni seluruh pejuang Badar.”

Pelajaran penting: tidak semua penyusup adalah musuh. Sebagian adalah orang lemah yang salah jalan. Rasulullah ï·º memisahkan antara pengkhianat dan yang sedang diuji imannya. Beliau adil, bukan brutal.



Strategi Rasulullah ï·º: Mendeteksi, Menyaring, Bukan Membabi Buta

Rasulullah ï·º tahu bahwa pasukan tidak hanya butuh pedang, tapi juga imunitas sosial dan spiritual. Beliau membiarkan medan tempur, musim panas, dan jarak perjalanan sebagai alat penyaring. Tabuk adalah contohnya. Mereka yang malas, ragu, atau punya niat busuk — gugur sendiri sebelum panah dilepaskan.

Dan mereka yang tetap ikut perang walau kelelahan, walau miskin — mereka itulah yang disebut dalam Al-Qur’an:

“Tidak ada dosa atas orang yang tidak ikut perang karena lemah atau miskin, selama mereka tulus kepada Allah dan Rasul-Nya...”
(QS. At-Taubah: 91)

Musuh sejati bukan di luar. Musuh sejati adalah ketidakjujuran dalam niat. Dan Rasulullah ï·º membongkarnya bukan dengan brutalitas, tapi dengan hikmah, observasi sosial, dan kontrol narasi.



Ketika Musuh di Dalam Lebih Bahaya dari yang di Luar

Rasulullah ï·º mengajarkan bahwa perang melawan penyusup bukan sekadar perang senjata, tapi perang akal dan nurani. Beliau membangun umat dengan kejujuran, memperkuat barisan dengan kesetiaan, dan menghadapi pengkhianat dengan strategi yang melampaui emosi.

“Umat ini tidak akan tumbang karena musuh dari luar, tapi akan luluh jika penyusup dari dalam dibiarkan tumbuh tanpa perlawanan.”

Kini, saat kita dikepung oleh infiltrasi media, fitnah digital, dan tokoh yang berpura-pura mencintai Islam — pelajaran dari Rasulullah ï·º menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Bangkitkan mata yang jernih. Hidupkan jiwa yang tajam. Dan jangan biarkan barisan suci ini dikoyak dari dalam.

Kepedihan Pengobar Semangat: Jika Rasulullah Gugur, Untuk Apa Kita Hidup? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah Islam, ada sa...

Kepedihan Pengobar Semangat: Jika Rasulullah Gugur, Untuk Apa Kita Hidup?



Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam sejarah Islam, ada saat-saat ketika kabar buruk justru melahirkan semangat paling dahsyat. Bukan karena para sahabat Rasulullah ï·º tidak berduka, tapi karena mereka tahu: bila kebenaran telah berdarah, maka tak ada lagi alasan untuk hidup dalam kemewahan, ketakutan, atau kompromi.

Di Perang Uhud, kabar gugurnya Nabi ï·º sempat tersebar. Di Perang Mu’tah, tiga panglima Islam benar-benar syahid satu per satu. Di Perang Hunain, pasukan Muslim tercerai-berai. Namun semua momen ini tidak membuat pasukan hancur—justru membangkitkan kekuatan spiritual yang lebih dalam: bahwa hidup hanya bermakna jika dilanjutkan untuk cita-cita yang telah diperjuangkan para syuhada.

Dan semangat ini tidak berhenti di abad ke-7. Hari ini, kita menyaksikan para pejuang Palestina terus bertempur meski istri, anak, orang tua, bahkan para komandan tertinggi mereka dibunuh satu per satu. Seolah mereka sedang berkata, seperti sahabat dahulu:

"Jika pemimpin kami gugur, maka biarlah kami menyambung jalan mereka dengan darah kami!"



Uhud: Ketika Kabar Syahid Rasulullah ï·º Menjadi Api Semangat

Saat pasukan Muslim hampir menang di Uhud, mereka lengah. Kemudian pasukan Quraisy menyerbu balik dari belakang bukit. Dalam kekacauan itu, Rasulullah ï·º terluka parah. Kabar tersebar: Muhammad telah gugur!

Namun inilah detik-detik lahirnya syahadat aksi para sahabat. Anas bin Nadhr, yang belum ikut Perang Badar, berkata dengan suara membakar:

"Wahai kaum Anshar! Jika Muhammad telah terbunuh, maka apa gunanya hidup sesudahnya? Bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
(HR. Muslim)

Dan Al-Qur’an mengabadikan semangat ini dalam bentuk peringatan ilahi:

"Dan Muhammad hanyalah seorang rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang? Barang siapa yang berbalik, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun."
(QS. Ali Imran: 144)

Ini bukan sekadar ayat. Ini alarm iman. Bahwa perjuangan bukan untuk pribadi, tapi untuk risalah.



Mu’tah: Visualisasi Kematian yang Membakar Jiwa Kaum Beriman

Di medan perang Mu’tah, tiga panglima besar gugur berurutan: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Rasulullah ï·º tidak menyembunyikan tragedi ini. Di Madinah, beliau menyampaikan kejadian itu secara langsung:

"Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan ia terbunuh pula. Lalu panji itu diambil oleh pedang dari pedang-pedang Allah: Khalid bin al-Walid, dan Allah memberinya kemenangan."
(HR. Bukhari)

Bayangkan: Rasulullah ï·º menggambarkan satu demi satu sahabatnya gugur, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membakar semangat. Dan itu berhasil. Gugurnya tiga pemimpin besar tak menghentikan langkah, justru membentuk batu loncatan bagi kemenangan moral yang tak terlupakan.



Hunain: Pasukan Kocar-kacir, Tapi Alumni Badar Kembali Mengeras

Perang Hunain diawali dengan keunggulan jumlah. Namun jebakan lembah membuat pasukan Muslim porak-poranda. Rasulullah ï·º berdiri tegak, menyerukan:

"Aku adalah Nabi, tidak berdusta! Aku adalah anak Abdul Muthalib!"
(HR. Muslim)

Saat sebagian besar pasukan lari, yang bertahan adalah segelintir veteran Perang Badar. Mereka bukan pasukan elit secara fisik, tapi mereka punya kekuatan spiritual dan pengalaman darah. Mereka kembali membentuk barisan, dan seruan Rasul menjadi pusat gravitasi iman.

"Dan di hari Hunain, ketika jumlahmu yang banyak membuatmu bangga, namun itu tidak berguna sama sekali bagi kalian..."
(QS. At-Taubah: 25)

Allah mengingatkan: bukan jumlah, tapi keteguhan yang memberi kemenangan.



Gaza: Ketika Syahid Komandan dan Keluarga Menjadi Energi Perlawanan

Hari ini, kita menyaksikan ulang semangat itu. Saat Israel membunuh komandan-komandan Hamas, Jihad Islam, dan para tokoh perlawanan, semangat justru tidak padam. Ketika keluarga mereka dibantai—istri, anak, saudara—pejuang Palestina tidak meninggalkan medan. Mereka menatap kamera dan berkata:

"Kami mencintai syahid seperti musuh kami mencintai hidup."

Para pejuang itu tidak lahir dari pabrik militer, tapi dari reruntuhan rumah, dari jenazah ayah, dari tangisan adik. Mereka tidak butuh orasi panjang—cukup satu suara panggilan: "Ribath fi Sabilillah!"

Seorang anak pejuang Palestina yang kehilangan seluruh keluarganya berkata dalam wawancara:

"Jika ibu dan ayahku dibunuh karena mereka Muslim, maka biarlah aku meneruskan hidup mereka dengan senapan."

Ini adalah Mu’tah di abad ke-21. Ini adalah Uhud di bawah langit Rafah. Ini adalah Hunain yang tidak lagi memerlukan jumlah, tapi niat.



Mengapa Karakter Ini Bisa Lahir?

Karena tauhid bukan teori. Karena syahadat bukan sekadar dua kalimat. Ia adalah janji hidup dan mati. Rasulullah ï·º tidak membesarkan umat pengecut. Beliau menanamkan dalam dada para sahabat:

"Wahai manusia, janganlah kalian mengharap pertemuan dengan musuh, tapi jika kalian terpaksa bertemu, maka bersabarlah! Ketahuilah bahwa surga berada di bawah bayang-bayang pedang."
(HR. Bukhari)

Inilah kenapa mereka tidak gentar. Inilah kenapa Palestina tidak menyerah.



Jika Mereka Gugur, Mengapa Kita Diam?

Jika kabar syahid Rasulullah ï·º membakar semangat sahabat, jika kematian para panglima membuat barisan semakin padat, jika kehancuran di Hunain justru melahirkan kemenangan—maka apa alasan kita untuk tidak bergerak saat hari ini umat kembali berdarah?

Kita tak diminta berperang jika tak mampu. Tapi kita pasti diminta untuk tidak tinggal diam. Hati, doa, harta, dan suara—semuanya bisa jadi peluru.

Jangan hanya jadi penonton. Karena sejarah tidak menulis penonton. Sejarah hanya mencatat siapa yang bertahan di jalan Nabi, meski semua kabar di sekitarnya buruk.


"Jika Muhammad telah terbunuh, maka bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
— Anas bin Nadhr, Uhud

"Surga itu berada di bawah bayang-bayang pedang."
— HR. Bukhari

Perang Mu’tah, Video Hamas, Narasi IDF, dan Perang yang Tak Ingin Disaksikan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada 10 Juli 2025, Hamas...

Perang Mu’tah, Video Hamas, Narasi IDF, dan Perang yang Tak Ingin Disaksikan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada 10 Juli 2025, Hamas merilis sebuah video pendek namun menggemparkan. Isinya: serangan terhadap pasukan Israel di Khan Younis, Gaza selatan, sehari sebelumnya. Video ini langsung menjadi sorotan karena memperlihatkan peristiwa yang berbeda dari narasi resmi Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Bahkan Times of Israel—media arus utama Israel—mengakui adanya kontradiksi signifikan antara rekaman Hamas dan pernyataan militer Israel.

IDF menyebut bahwa Sersan Mayor (Purn.) Abraham Azulay, operator ekskavator tak bersenjata, diserang tiba-tiba oleh militan Hamas yang muncul dari terowongan, sempat melawan, namun gugur secara heroik. Namun video Hamas memperlihatkan proses panjang dan terencana: para pejuang mengintai dari reruntuhan bangunan, menyusup perlahan, lalu menembakkan RPG ke arah ekskavator. Tak tampak adanya duel senjata atau perlawanan dari sang prajurit. Bahkan jasad Azulay terlihat tak berdaya sebelum dua pejuang Hamas menyita senjatanya dan menembaknya kembali.

Apakah video itu bukti kemenangan Hamas atau manipulasi visual? Apapun itu, ia telah mengguncang bangunan naratif yang selama ini disusun rapi oleh militer Israel.



Sensor, Narasi, dan Ketakutan akan Kebenaran

Pertanyaan lebih besar segera muncul: mengapa informasi tentang Gaza sangat dibatasi, bahkan bagi jurnalis Israel sendiri?

Sejak meletusnya perang pada 7 Oktober 2023, pemerintah Israel secara aktif menutup akses media ke Jalur Gaza. Jurnalis asing, media independen, bahkan reporter dalam negeri dibatasi geraknya. Narasi tunggal dari IDF mendominasi pemberitaan, sementara gambar-gambar kehancuran di Gaza hanya datang dari pihak ketiga: LSM, warga sipil, atau—ironisnya—Hamas itu sendiri.

Apakah sensor seperti ini baru terjadi? Ternyata tidak. Sejak lama, Israel memiliki kebijakan military censorship yang mengatur ketat publikasi berita terkait keamanan nasional. Namun sejak 2023, intensitasnya meningkat drastis. Prof. Orna Ben-Naftali, pakar hukum internasional dari Israel, menyebut fenomena ini sebagai “penyusutan ruang demokratis saat perang berlangsung.” Jurnalis kawakan Amira Hass bahkan menyebut Israel kini lebih takut pada kebenaran visual daripada pada rudal Hamas.

Yang lebih aneh, IDF sendiri hampir tidak pernah merilis dokumentasi video dari serangan mereka ke Gaza. Padahal, dalam perang modern, video adalah alat propaganda yang ampuh. Mengapa ini tidak dilakukan? Beberapa analis menyebut: karena apa yang terjadi di Gaza bukan kemenangan visual, melainkan kehancuran moral. Jika disiarkan, ia akan membunuh legitimasi perang lebih cepat daripada peluru.



Dari Gaza ke Mu’tah: Ketika Kebenaran Tak Disembunyikan

Menariknya, perbandingan ini justru membawa kita pada sebuah peristiwa jauh di masa lalu: Perang Mu’tah. Sebuah ekspedisi militer kaum Muslimin ke wilayah Romawi yang berakhir dengan gugurnya tiga panglima utama: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.

Apa yang dilakukan Rasulullah ï·º saat itu? Beliau tidak menyembunyikan kabar buruk itu. Beliau mengumpulkan para sahabat dan menggambarkan jalannya pertempuran dengan jujur: bagaimana Zaid gugur, lalu panji diambil Ja’far yang juga syahid, lalu dipegang Abdullah hingga ia pun gugur. Tak ada sensor, tak ada narasi palsu.

Namun dari kejujuran itu, justru tumbuh semangat juang luar biasa. Rasulullah ï·º menyebut ketiganya sebagai syuhada dan memperlihatkan betapa agungnya kedudukan mereka di sisi Allah. Maka meski kabar itu menyayat hati, ia tak meruntuhkan semangat, justru membangkitkan ghirah jihad. Inilah bedanya pemimpin yang membangun peradaban, bukan sekadar mempertahankan kekuasaan.



Siapa yang Menang dalam Perang Narasi?

Hamas dan IDF bisa saling tuding soal siapa yang jujur dan siapa yang manipulatif. Namun ada satu kenyataan yang tak bisa dibantah: jika Israel memang di pihak benar, mengapa ia takut pada kamera? Jika Gaza hanya sarang teror, mengapa wartawan tak diizinkan masuk? Dan jika IDF benar bertempur demi membela rakyatnya, mengapa mereka sembunyikan setiap detil perangnya?

Pada akhirnya, dalam perang yang digerakkan oleh senjata dan dikendalikan oleh sensor, kebenaran bukan lagi soal siapa yang menang. Tapi soal siapa yang berani memperlihatkan luka dan mengakui duka.

Dan dalam hal ini, Israel tampaknya lebih takut pada kenyataan daripada pada musuhnya.

"Perang Mu’tah bukan kemenangan militer, tapi kemenangan moral umat Islam—karena kebenaran disampaikan tanpa sensor, dan keberanian ditanamkan lewat kejujuran, bukan ilusi."
— Refleksi dari Sirah Nabawiyah

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (238) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)