basmalah Pictures, Images and Photos
2025 - Our Islamic Story

Choose your Language

Infrastruktur yang Dibangun dan Dihancurkan Sendiri oleh Yahudi: Dari Madinah ke Palestina Jejak Lama, Luka yang Belum Sembuh Da...

Infrastruktur yang Dibangun dan Dihancurkan Sendiri oleh Yahudi: Dari Madinah ke Palestina



Jejak Lama, Luka yang Belum Sembuh

Dalam lorong waktu yang panjang, sejarah selalu menyimpan satu pelajaran pahit bagi siapa pun yang berani mengulang kesalahan lama: bahwa tangan yang membangun, bisa jadi adalah tangan yang merobohkan. Kaum Yahudi, dari Madinah abad ke-7 hingga Palestina abad ke-21, telah meninggalkan jejak yang mengejutkan: mereka membangun benteng dengan kekuatan, lalu menghancurkannya sendiri karena ketakutan, dendam, dan perhitungan politik.

Ini bukan hanya catatan masa lalu. Ini adalah pola. Pola pengkhianatan, keserakahan, dan kebencian yang memicu siklus kehancuran. Bukan oleh musuh mereka, tapi oleh tangan mereka sendiri. Sejarah di Madinah mencatatnya dengan darah dan debu. Palestina hari ini melanjutkannya dengan drone dan buldoser.

Dan Allah telah lebih dulu mengingatkan, dalam satu ayat yang mengguncang hati dan menyayat nurani:

"Maka mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang Mukmin. Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan."
— (QS Al-Hasyr:2)



Madinah: Ketika Kesepakatan Dikhianati, Rumah Jadi Abu

Bani Qainuqa’: Arogansi yang Menghancurkan

Kaum Yahudi dari Bani Qainuqa’ hidup berdampingan dengan umat Islam di bawah Piagam Madinah. Mereka bukan rakyat kecil—mereka pandai, punya industri logam, punya kekuasaan ekonomi. Namun kekuasaan tanpa adab melahirkan arogansi. Saat mereka melecehkan seorang wanita Muslim di pasar dan merendahkan Rasulullah ï·º, persaudaraan itu pecah. Dikepung, mereka menyerah. Tapi sebelum pergi, mereka meruntuhkan rumah dan tokonya sendiri, lebih memilih melihatnya hancur daripada digunakan oleh kaum Muslim.

Bani Nadhir: Konspirasi Berujung Kehinaan

Berbenteng, berharta, dan merasa tak terkalahkan, Bani Nadhir berani merancang pembunuhan terhadap Nabi Muhammad ï·º. Tapi Allah membongkar makar itu. Mereka dikepung, disuruh pergi, diberi waktu membawa apa yang mereka sanggup. Tapi, seperti sebelumnya, mereka memilih menghancurkan rumah mereka sendiri. Sebuah simbol bahwa pengkhianatan tidak hanya meruntuhkan kepercayaan, tapi juga peradaban.

Bani Quraizhah: Duri Dalam Daging yang Terbakar Sendiri

Saat Madinah dikepung dalam Perang Khandaq, Bani Quraizhah—yang terikat perjanjian damai—justru membuka pintu dari dalam. Mereka berkhianat ketika kaum Muslimin paling rentan. Setelah pengepungan dan kekalahan, mereka dihukum sesuai hukum Yahudi sendiri. Sebagian mereka merobohkan rumah dan membakar simpanan mereka agar tak tersisa apa pun untuk “musuh” mereka. Sebuah ironi: kekayaan yang dibanggakan tak bisa diselamatkan oleh kejahatan yang mereka mulai.



Palestina: Ketika Kekuasaan Membakar Rumah Sendiri

Hari ini, kisah lama itu menjelma dalam wajah baru. Negara Israel yang dibentuk oleh kaum Yahudi modern membangun perumahan, pangkalan militer, menara pengawas, dan jaringan permukiman ilegal di tanah Palestina. Namun ketika keadaan berbalik, mereka sendiri yang menghancurkannya. Bukan karena takdir, tapi karena strategi militer, rasa takut akan pembalasan, atau karena ingin menutupi kegagalan.

Apa yang dulu terjadi di Madinah, kini terlihat nyata di Gaza dan Tepi Barat: Israel membangun dengan tangan kirinya, dan merobohkan dengan tangan kanannya.



Jejak Penghancuran oleh Tangan Sendiri di Palestina

1. Gaza, 2005 – Gush Katif Dibumihanguskan

Ariel Sharon memerintahkan evakuasi 8.000 pemukim Yahudi dari Jalur Gaza. Tapi mereka tidak pergi begitu saja. 21 permukiman Yahudi dihancurkan dengan buldoser Israel sendiri. Mengapa? Karena mereka takut Hamas akan menempatinya. Mereka lebih rela kehilangan bangunan daripada menyerahkan kendali. Trauma nasional pun membekas, bukan dari serangan musuh, tetapi dari rasa kalah kepada diri sendiri.

2. Yamit, Sinai, 1982 – Kota yang Diruntuhkan untuk Damai

Setelah damai dengan Mesir, seluruh kota Yahudi Yamit di Sinai dihancurkan. Bukan oleh musuh, tapi oleh tentara Israel sendiri. Kota yang dibangun bertahun-tahun diratakan hanya dalam hitungan hari. Mereka tak ingin Mesir “mewarisi” hasil kolonisasi mereka. Harga damai dibayar dengan penghancuran mimpi mereka sendiri.

3. Benteng Netzarim, Gaza, 2005 – Simbol Pertahanan yang Dilenyapkan

Pos militer Netzarim, jantung pertahanan Israel di tengah Gaza, dibongkar sebelum penarikan. Daripada jatuh ke tangan Hamas, mereka meledakkannya sendiri. Simbol pertahanan berubah jadi bukti kegagalan strategi jangka panjang.

4. Lebanon Selatan, 2000 – Kabur Sambil Menghancurkan

Ehud Barak memerintahkan mundur dari Lebanon Selatan. Tapi mereka tidak pergi begitu saja. Benteng, bunker, dan pos pengawasan dihancurkan untuk mencegah direbut Hizbullah. Kekalahan diplomatik ini menjadi noda yang terus menghantui militer Israel.

5. Outpost Migron, Tepi Barat, 2012 – Dibangun Ilegal, Dihancurkan Sendiri

Permukiman ilegal yang dibangun tanpa izin dibongkar oleh Israel sendiri setelah tekanan dari Mahkamah Agung. Bukan tanpa perlawanan: pemukim Yahudi menyerang tentaranya sendiri. Negara dan rakyatnya bertarung soal tanah yang bukan milik mereka.

6. Amona, 2017 – Perang Saudara Mini

40 rumah Yahudi di Amona dihancurkan karena berdiri di atas tanah milik Palestina. Negara Israel melawan ekstremisnya sendiri. Yang menang bukan hukum, tapi konflik batin sebuah bangsa yang retak di dalam.

7. Pos Militer Rafah, 2024 – Mundur dan Meruntuhkan

Setelah tekanan global dan ancaman dari Hamas, Israel menghancurkan sendiri pos militernya di Rafah. Jalur logistik dihancurkan karena ketakutan akan serangan balik. Tapi yang mereka hancurkan bukan sekadar infrastruktur—mereka merobek ilusi kendali.

8. Evyatar, 2021 – Harapan yang Dihancurkan Pemerintahnya Sendiri

Pemukim Yahudi membangun Evyatar tanpa izin. Pemerintah Israel menghancurkannya setelah gelombang protes. Yang tersisa hanyalah debu dan kekecewaan dua kubu yang tak sepakat tentang masa depan.

9. Kerem Shalom, 2023 – Pos Perdagangan yang Dihapus

Setelah serangan besar, Israel menghancurkan sendiri pos dagang Kerem Shalom agar tidak dipakai kelompok perlawanan. Rantai ekonomi yang mereka bangun sendiri dipotong dengan pisau ketakutan.

10. Gaza Utara, 2023 – Hancur Sebelum Digunakan

Peralatan berat, bunker, dan jaringan komunikasi yang dibangun di Gaza Utara dihancurkan oleh tentara Israel sendiri saat mundur. Mereka takut alat-alat itu digunakan oleh Hamas. Tapi efeknya adalah kehilangan aset militer bernilai jutaan dolar—dihancurkan oleh tangan yang membelinya sendiri.



Ketika Sejarah Tak Dibelajari, Ia Menghukum dengan Cara yang Sama

Mereka membangun. Mereka mengkhianat. Lalu mereka hancurkan.
Dari Madinah ke Gaza, dari benteng ke bunker, dari rumah ke reruntuhan.

Surat Al-Hasyr ayat 2 tidak sekadar menggambarkan masa lalu, tapi membentuk pola abadi:

 "Maka mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri..."

Peringatan ini bukan hanya untuk kaum Yahudi, tapi untuk siapa saja yang memulai kerusakan dan berpikir ia bisa mengendalikannya. Yang merobohkan kehormatan dan perjanjian, akan melihat kehancuran bangkit dari tangan mereka sendiri.

Dan kini, saat dunia menyaksikan Israel mulai merobek-robek bangunannya sendiri—pertanyaannya bukan lagi, “kapan mereka hancur”, tapi:

“Sudah sejauh mana tangan mereka menggali kuburannya sendiri?”

Yahudi di Madinah, Zionisme di Palestina, Berakhir Sama? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah tak sekadar catatan masa lalu—ia ada...


Yahudi di Madinah, Zionisme di Palestina, Berakhir Sama?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Sejarah tak sekadar catatan masa lalu—ia adalah cermin. Dan yang sedang tercermin kini adalah ulangan dari kisah lama: tentang satu kaum yang membangun benteng kekuasaan, merajut jejaring ekonomi, memahat simbol kejayaan—hanya untuk kemudian menghancurkannya sendiri dengan tangan mereka. Inilah yang terjadi di Madinah. Dan kini, ia berulang dengan lebih besar dan lebih telanjang di Palestina.



Yahudi di Madinah: Membentengi Kekuasaan, Menjerat Ekonomi

Jauh sebelum Nabi Muhammad ï·º hijrah ke Yatsrib, kaum Yahudi sudah lebih dulu datang. Mereka tidak sekadar membangun rumah—mereka membangun dominasi. Mereka tidak sekadar berbisnis—mereka mengendalikan. Dari Bani Nadhir, Quraizhah, hingga Qainuqa’, mereka memagari diri dengan benteng, memonopoli pasar, dan menghisap kekayaan penduduk lokal melalui sistem riba dan kontrak pertanian yang timpang.

Namun ketika kebenaran datang lewat risalah kenabian, mereka membuangnya. Mereka tidak hanya menolak, tapi mengkhianati. Dan ketika Allah menghukum mereka, yang mereka hancurkan pertama kali bukan musuh-musuh mereka—tetapi rumah mereka sendiri. Mereka menggali kehancuran dengan tangan mereka. Sebuah potret tragis dari kesombongan yang berbuah kehinaan.

"Mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin..."
— Al-Hasyr: 2

Hari ini, pertanyaannya: apakah kita sedang menyaksikan babak kedua dari tragedi itu—di Palestina?



Zionisme: Ideologi Gila yang Menuju Tembok Buntu

Zionisme bukan gerakan spiritual. Ia bukan kepulangan suci. Zionisme adalah proyek kolonial berselimut kitab suci. Sebuah gerakan yang mencuri ayat, lalu mengusir manusia. Ia lahir dari trauma Eropa, tumbuh dalam pelukan imperialis Inggris, dan mewujud dalam genosida di tanah Palestina.

Dengan dalih “Tanah yang Dijanjikan,” Zionisme memulai ekspansi. Tapi yang dijanjikan oleh siapa? Tuhan? Atau ambisi manusia? Dan kini, setelah 100 tahun lebih proyek itu digerakkan, dunia mulai membuka mata: proyek ini bukanlah rumah pulang, tapi bom waktu yang sedang menghitung mundur.

Tanda-tanda kehancurannya bukan lagi samar: isolasi internasional, kejatuhan moral, dan pemberontakan dari dalam. Zionisme sedang memakan anak-anaknya sendiri.



Tanah yang Dijanjikan: Surga Palsu yang Kini Ditinggalkan

Konsep "Tanah yang Dijanjikan" dulu menjadi magnet. Ribuan Yahudi datang dari Eropa dengan mimpi: rumah damai, negeri aman. Tapi apa yang mereka temukan? Perang. Ketakutan. Dinding-dinding kebencian. Mereka datang membawa harapan—dan kini pulang membawa kecewa.

Yang dijanjikan ternyata bukan surga, tapi medan perang abadi. Hari demi hari, narasi tentang negeri impian berubah menjadi berita tentang pemboman, blokade, dan pembantaian. Dan kini, banyak dari mereka yang dulu datang dengan koper dan harapan, pergi kembali dengan paspor kedua dan rasa hampa.



Demokrasi Israel: Topeng yang Mulai Terkelupas

Israel menyebut dirinya satu-satunya demokrasi di Timur Tengah. Tapi demokrasi macam apa yang hanya melayani satu ras? Demokrasi macam apa yang memenjarakan anak-anak Palestina dan membiarkan ekstremis Yahudi membakar rumah-rumah warga Arab?

Yang disebut demokrasi itu ternyata hanya etalase. Di baliknya, apartheid bekerja siang malam. Hari ini, perpecahan di tubuh Israel semakin brutal: sekuler vs Haredim, Yahudi vs Arab, elit vs akar rumput. Demokrasi ini tidak sedang dirawat, tapi sedang dirusak dari dalam—oleh pemimpinnya sendiri.



Militerisme Israel: Kekuatan yang Kini Kehilangan Nafas

Dulu, tentara Israel dianggap tak terkalahkan. Dari Haganah, Irgun, hingga IDF, mereka menancapkan taring di tanah Palestina. Setiap warga dilatih jadi tentara, setiap rumah bisa jadi pos tempur. Tapi hari ini, sesuatu berubah. Anak-anak muda mulai menolak wajib militer. Para serdadu pulang dengan trauma. Dan musuh-musuh Israel—yang dulu dianggap kecil—kini menyerang dari banyak arah sekaligus.

Militer Israel mungkin masih kuat di atas kertas. Tapi semangatnya? Sudah keropos. Kemenangan demi kemenangan militer kini dibayar dengan kekalahan moral yang tak tertanggungkan.



Pertahanan Udara: Iron Dome yang Tak Lagi Tahan Guncangan

Teknologi pertahanan udara Israel pernah menjadi kebanggaan: Iron Dome, Arrow, David’s Sling. Tapi teknologi tak bisa menghadang sejarah. Serangan simultan dari Gaza, Lebanon, dan Iran dalam dua tahun terakhir membuka fakta: tembok besi itu punya celah, dan musuh tahu cara menemukannya.

Lebih dari itu: biaya mempertahankan ilusi keamanan ini semakin tak masuk akal. Ketergantungan pada AS semakin mempermalukan. Israel kini bukan simbol kekuatan—melainkan simbol kepanikan.



Kewarganegaraan Ganda: Jalan Masuk yang Kini Jadi Jalan Keluar

Israel dulu menarik warga Yahudi dari seluruh dunia dengan janji: kewarganegaraan instan, tanah, perlindungan, dan identitas. Tapi kini, janji itu berbalik arah. Paspor Israel tak lagi jadi harapan, tapi beban. Mereka yang dulu datang, kini antre membuat paspor Portugal, Prancis, bahkan Argentina. Negeri yang dulu jadi "rumah pulang" kini jadi tempat yang ingin ditinggalkan.

Zionisme mengira mereka bisa mengikat Yahudi dunia dengan tanah. Tapi ternyata, tanah yang berdarah hanya melahirkan rasa ingin lari.



Akhir Sebuah Ilusi: Ketika Sejarah Membalas Dendam

Zionisme bukan proyek keabadian. Ia bukan nubuat suci. Ia hanyalah narasi politik yang dibungkus mitos. Dan hari ini, narasi itu retak di mana-mana. Dunia tidak lagi percaya. Rakyat Palestina tidak lagi takut. Dan banyak Yahudi sendiri mulai mempertanyakan segalanya.

Apa yang dulu terjadi di Madinah—di mana pengkhianatan dibalas kehancuran—kini tampak sedang terjadi di Palestina. Sejarah, rupanya, sedang membuka lembar baru... dari buku lama.

"Tidaklah mereka menghancurkan melainkan diri mereka sendiri, namun mereka tidak menyadarinya."
— Al-Hasyr: 2

Dan bila mereka masih belum sadar, sejarah akan memastikan mereka belajar—dengan cara paling pahit.

Membumihanguskan Gaza dan Serangan Balik Iran: Mana yang Lebih Berat Bebannya bagi Warga Israel? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pera...

Membumihanguskan Gaza dan Serangan Balik Iran: Mana yang Lebih Berat Bebannya bagi Warga Israel?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Perang bukan hanya soal senjata, strategi, atau statistik. Ia adalah ujian moral, daya tahan batin, dan legitimasi politik. Dalam dua front utama yang kini dihadapi Israel—Gaza dan Iran—yang terjadi bukan hanya pertempuran fisik, melainkan juga pertarungan makna: antara narasi kemenangan dan realitas kehancuran batin.

Israel memang unggul dalam teknologi militer, tetapi konflik ini menunjukkan bahwa kekuatan fisik tidak selalu sejajar dengan ketahanan jiwa bangsa. Yang dipertaruhkan kini bukan hanya wilayah, tapi nilai-nilai dasar yang menentukan apakah sebuah negara layak disebut sebagai peradaban.



Dilema Serangan Udara vs Darat: Antara Tombol dan Luka

Dalam doktrin militer modern, perbedaan antara perang udara dan darat bukan hanya soal taktik, tapi juga soal biaya kemanusiaan dan dampak moral yang menyertainya.

1. Efisiensi Anggaran dan Logistik

Perang udara menelan biaya tinggi dalam teknologi, tapi rendah risiko bagi pasukan penyerang. Cocok untuk pembalasan cepat dan tekanan psikologis.
Sebaliknya, perang darat lebih murah per satuan serangan, namun memerlukan keterlibatan fisik dan logistik besar, serta risiko nyawa yang tak kecil.

2. Dampak Moral bagi Pasukan

Pasukan udara menjatuhkan bom dari ketinggian—jauh dari suara jeritan dan wajah korban. Tapi saat pulang, media membawa kembali citra kehancuran itu ke ruang keluarga mereka.
Sementara tentara darat menyaksikan langsung penderitaan warga sipil, luka, dan kematian anak-anak. Ini menimbulkan cedera moral yang mendalam, trauma yang tak sembuh hanya dengan medali atau pidato.

3. Efektivitas Strategis

Perang udara memang bisa melemahkan musuh, tapi jarang menyelesaikan perang.
Sebaliknya, perang darat bisa menciptakan kontrol wilayah, namun berisiko tinggi bagi legitimasi politik dan reputasi internasional.



Gaza: Membumihanguskan yang Membakar Moral

Di Gaza, Israel menggabungkan kekuatan udara dan darat dalam skala masif. Rudal dijatuhkan, tank dikirim, dan kawasan padat penduduk diserbu dengan dalih membasmi kelompok bersenjata.
Namun dalam kenyataannya, anak-anak, perempuan, dan warga sipil tak bersenjata menjadi korban utama.

Bagi dunia internasional, ini adalah tragedi kemanusiaan. Namun bagi sebagian warga Israel sendiri, ini mulai menjadi beban batin yang mengganggu keyakinan mereka atas legitimasi negaranya.

Apakah ini masih perang untuk bertahan hidup?
Atau telah menjelma menjadi pembantaian yang kehilangan nurani?


Serangan udara memang efektif secara militer. Tapi saat tubuh-tubuh kecil yang bersimbah darah muncul di layar ponsel, taktik berubah menjadi tuduhan, dan kemenangan berubah menjadi kecaman.

Moral warga mulai goyah, bukan karena tentara mereka gagal berperang, tetapi karena yang mereka lawan bukan lagi tentara, melainkan manusia yang lebih lemah dan tak bersenjata.



Iran: Serangan Balik yang Mengoyak Rasa Aman

Berbeda dari Gaza yang terus dibombardir, Iran justru membalas serangan Israel atas fasilitas nuklirnya. Untuk pertama kalinya, rudal dan drone Iran mengarah langsung ke Tel Aviv dan pangkalan militer Israel.

Sebagian besar serangan itu berhasil dicegat. Tapi yang hancur bukan hanya infrastruktur—yang lebih dalam adalah ilusi rasa aman.

Iron Dome tak lagi jadi jaminan.
Dan rakyat Israel pun menyadari bahwa rumah mereka bukan lagi “wilayah suci” yang tak tersentuh.

Iran tak perlu menimbulkan banyak korban. Mereka hanya perlu membakar rasa tenang nasional, dan itu telah terjadi. Serangan ini menjadi trauma kolektif, peringatan bahwa bahkan negara terkuat pun bisa diserang balik.



Mana yang Lebih Menyakitkan bagi Israel: Gaza atau Iran?

Iran: Ketakutan Eksistensial

Korban fisik sedikit, tapi ketakutan nasional meningkat drastis.

Serangan ke Tel Aviv menyentuh jantung simbolik dan psikologis Israel.

Ini bukan lagi serangan militer, tapi tamparan eksistensial: Israel tak lagi kebal.


Gaza: Keruntuhan Legitimasi Moral

Israel mungkin menang secara militer di Gaza.

Namun dunia melihat Israel bukan sebagai korban, tetapi sebagai penindas.

Yahudi diaspora pun mulai mempertanyakan arah negara ini.

Gaza tak hanya menumpahkan darah—ia menumpahkan kredibilitas.



Moralitas: Penentu Kemenangan Sejati

Israel mungkin menang di medan tempur, tapi di medan yang lebih luas—medan nurani dan kepercayaan publik global—mereka mulai kehilangan banyak hal.
Dan sejarah telah membuktikan: negara yang kehilangan legitimasinya akan digerus oleh arus zaman, tak peduli seberapa kuat tentaranya.

Perang udara memberi efisiensi, tapi membusukkan hati.
Perang darat memberi kontrol, tapi menghancurkan jiwa.
Perang melawan Iran mengguncang rasa aman,
Perang melawan Gaza mengguncang nurani.

Dan bila sebuah bangsa telah kehilangan keduanya—rasa aman dan nurani—tak ada senjata di dunia yang cukup untuk menyelamatkannya dari kehancuran moral.

Bisakah Israel Bertahan dengan Dukungan Penuh Amerika? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di antara konflik panjang dan perlawanan yang ...

Bisakah Israel Bertahan dengan Dukungan Penuh Amerika?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di antara konflik panjang dan perlawanan yang tak kunjung padam, Israel berdiri sebagai negara yang didukung penuh oleh kekuatan adidaya: Amerika Serikat. Dukungan ini bukan hanya moral dan diplomatik, tetapi juga militer, intelijen, logistik, hingga veto di PBB. Namun pertanyaan penting mengemuka: apakah dukungan dari luar—bahkan sekelas Amerika—cukup untuk membuat sebuah negara bertahan?

Sejarah berkata lain.



Rezim Shah Iran: Hancur Meski Didukung Amerika

Reza Pahlavi, Shah Iran terakhir, adalah salah satu sekutu paling setia Amerika di Timur Tengah. Ia didukung penuh oleh CIA dalam kudeta tahun 1953 yang menggulingkan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh. Shah mendapat bantuan senjata, pelatihan SAVAK (polisi rahasia), dan teknologi militer tercanggih saat itu.

Namun apa yang terjadi?

Tahun 1979, rakyat bangkit dalam Revolusi Iran. Bukan karena kurangnya kekuatan militer, tapi karena hilangnya legitimasi. Shah dianggap boneka Barat, anti-Islam, dan menindas rakyatnya sendiri. Dukungan Amerika tak mampu menahan gelombang jutaan rakyat yang turun ke jalan. Sistem hancur, dan kekuasaan runtuh dari dalam.



Rezim Apartheid Afrika Selatan: Runtuh Meski Didukung Eropa dan AS

Selama dekade 1950-an hingga 1980-an, rezim Apartheid Afrika Selatan mendapatkan dukungan ekonomi dan teknologi dari negara-negara Barat. Eropa dan AS berinvestasi besar, perusahaan-perusahaan multinasional terus beroperasi, dan militer Afrika Selatan menjadi salah satu yang terkuat di benua itu.

Namun apa daya?

Tekanan dari dalam negeri—gerakan rakyat kulit hitam, para pemuda, dan tokoh seperti Nelson Mandela—membuat sistem tak lagi bisa dipertahankan. Ketika rakyat bersatu dan komunitas internasional mulai sadar, dukungan luar tak mampu lagi menyelamatkan struktur kekuasaan rasis yang dibangun di atas penindasan.



Rezim Boneka di Afghanistan: Gagal Bertahan Meski Didukung Amerika

Dua dekade Amerika Serikat menduduki Afghanistan. Miliaran dolar dikucurkan. Tentara dilatih. Pemerintahan Ashraf Ghani dibentuk. Tetapi ketika Taliban masuk ke Kabul pada 2021, rezim yang dibangun AS runtuh hanya dalam hitungan hari. Tanpa ada perlawanan berarti.

Mengapa?

Karena rakyat tak mempercayai pemerintahan itu. Ia dianggap hanya simbol, bukan pemimpin sejati rakyat. Kekuasaan tanpa legitimasi rakyat hanyalah istana dari kaca: tampak kokoh, tapi sekali dihantam retakan, pecah.



Rezim Assad di Suriah: Bertahan, Tapi dengan Harga yang Hancur

Bashar al-Assad bisa bertahan di Suriah karena dukungan besar-besaran dari Rusia dan Iran. Namun yang bertahan bukanlah negara yang stabil, melainkan negara yang hancur, porak-poranda, dan kehilangan separuh populasinya. Assad tetap berkuasa, tapi Suriah tak lagi utuh.

Maka pertanyaannya bukan hanya “bertahan atau tidak?” Tapi: bertahan dalam bentuk apa?



Apakah Israel Akan Bernasib Sama?

Israel memang berbeda: teknologinya canggih, ekonominya maju, dan dukungan AS hampir tak terbatas. Tapi seperti contoh-contoh di atas, dukungan luar tidak cukup jika fondasi internalnya keropos:

1. Negara tanpa keadilan untuk semua warganya.
2. Negara yang terus hidup dari konflik, bukan perdamaian.
3. Negara yang rakyatnya sendiri banyak memiliki paspor ganda—siap pergi saat badai datang.
4. Negara yang hidup dengan membangun tembok, bukan jembatan.


Dukungan Amerika bisa menunda keruntuhan, tapi tidak bisa meniadakan hukum sejarah.



Legitimasi Lebih Kuat daripada Dana dan Senjata

Rezim bertahan bukan karena siapa yang mendukung dari luar, tapi karena siapa yang menerimanya dari dalam.
Dan negara bertahan bukan karena kuat militernya, tapi karena dalamnya akar keadilan yang ditanam di tanahnya.

Israel bisa hidup lebih lama. Tapi jika tidak berubah dari dalam—mengakui hak Palestina, meruntuhkan apartheid, dan membangun hidup bersama—maka ia akan menjadi contoh lain dari sejarah yang berulang: kekuasaan yang besar namun rapuh, dan akhirnya runtuh oleh gelombang yang diciptakannya sendiri.

Negara di Atas Gelombang vs Negara yang Berakar Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam teori politik klasik hingga tata negara modern,...

Negara di Atas Gelombang vs Negara yang Berakar

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam teori politik klasik hingga tata negara modern, sebuah negara ideal dibangun di atas empat fondasi utama: tujuan kemanusiaan yang luhur, konstitusi yang mengikat, pengakuan atas kedaulatan rakyat dan tanah, serta keutuhan sosial yang menjamin identitas dan keadilan bersama. Negara bukan hanya struktur kekuasaan, tapi wadah bagi martabat, kesejahteraan, dan peradaban manusia.

Namun ketika kita mencermati realitas Israel, kita justru melihat kebalikannya. Mari kita bandingkan satu per satu.



1. Tujuan Kemanusiaan vs Proyek Eksklusivisme

Negara ideal, kata John Locke dan Montesquieu, harus melindungi kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan seluruh rakyatnya—tanpa diskriminasi.

Israel, lahir bukan untuk melayani nilai-nilai kemanusiaan universal, melainkan untuk melindungi satu kelompok atas nama sejarah masa lalu. Tujuannya bukan menyatukan, tapi memisahkan. Negara seperti ini tidak memenuhi asas keadilan sosial; ia dibangun dari rasa takut, bukan dari kepercayaan akan persamaan derajat manusia.



2. Konstitusi yang Mengikat vs Kekuasaan Tanpa Pedoman

Dalam teori tata negara modern (lihat Hans Kelsen dan Lon L. Fuller), konstitusi adalah “jiwa negara”. Ia adalah hukum tertinggi yang menyatukan kekuasaan dan membatasi penyalahgunaan.

Israel sampai kini tidak memiliki undang-undang dasar yang komprehensif. Hukum dasar parsial (Basic Laws) justru menjadi alat fleksibel bagi penguasa untuk menyusun ulang aturan sesuai kepentingan politik. Dalam negara ideal, hukum berdiri di atas semua kekuatan; tapi di Israel, hukum kerap ditekuk oleh arah ideologi dominan.



3. Tanah Air Berbasis Historis vs Rampasan yang Dinaturalisasi

Negara ideal memiliki wilayah yang dihormati berdasarkan sejarah hidup bersama rakyatnya, bukan sekadar mitos atau kekuatan militer.

Israel adalah negara tanpa tanah air. Ia dibangun di atas tanah yang dirampas, bukan diwarisi secara sosial. Penghuni asli diusir, dan pendatang diberi gelar “pulang”. Inilah bentuk negasi terhadap asas legitimasi rakyat dan keterikatan emosional terhadap tanah—dua hal yang mendasari makna sejati dari “tanah air”.



4. Persatuan Sosial vs Konflik Internal yang Kronis

Negara ideal bukan sekadar hidup dalam hukum, tapi juga memiliki kohesi sosial (lihat teori Benedict Anderson dan Durkheim) yang menyatukan rakyat dalam solidaritas dan visi bersama.

Israel dihuni oleh kelompok-kelompok yang saling bertentangan: Yahudi sekuler vs Haredim, Ashkenazi vs Mizrahim, Yahudi Rusia vs Yahudi Etiopia, Yahudi vs Arab. Negara ini bertahan karena adanya musuh bersama, bukan karena nilai dan rasa kebangsaan yang menyatukan. Dalam teori negara, ini pertanda krisis identitas nasional.



5. Kedaulatan Penduduk Asli vs Pengusiran Sistemik

Negara ideal mengakui hak historis penduduk asli. Konvensi internasional dan PBB menegaskan, tidak ada negara yang sah jika lahir dari pengusiran sistemik.

Israel justru meniadakan keberadaan penduduk asli. Mereka yang hidup berabad-abad di sana—baik Muslim maupun Kristen Palestina—disebut tak ada. Ini bukan hanya kejahatan sejarah, tapi juga pelanggaran terhadap prinsip jus soli dan jus culturae: hak atas tanah dan budaya yang dijaga turun-temurun.



6. Kesetiaan Tunggal vs Kewarganegaraan Ganda yang Bersyarat

Negara ideal menuntut kesetiaan penuh warganya kepada negara, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip civic nationalism. Israel justru dihuni oleh warga berkewarganegaraan ganda yang dapat sewaktu-waktu meninggalkannya.

Paspor ganda menandakan ketidakpastian identitas nasional dan loyalitas politik. Negara seperti ini rentan terhadap eksodus diam-diam, ketika krisis datang. Ia bukan rumah, tapi persinggahan.



7. Perdamaian Tetangga vs Konflik Permanen

Negara ideal berfungsi sebagai penjaga stabilitas kawasan, bukan sebagai pemicu konflik. Dalam teori hubungan internasional, negara yang terus berperang adalah negara yang lemah secara diplomatik dan moral.

Israel terus berkonflik dengan tetangganya. Ia tidak pernah benar-benar berdamai, bahkan dengan bangsa yang tinggal tepat di sebelah rumahnya: Palestina. Ini pertanda negara yang tidak selesai membangun legitimasi dan masih bergantung pada kekerasan untuk bertahan.



Israel bukan negara gagal secara administratif, tetapi negara yang goyah secara etika dan prinsip dasar bernegara. Dalam banyak aspek, ia melanggar norma dan asas yang seharusnya menjadi ruh sebuah negara modern dan beradab. Ia ada, tapi tidak utuh. Ia kuat, tapi tak stabil. Ia hidup, tapi tanpa arah kemanusiaan.

Negara seperti ini bisa saja bertahan dalam waktu lama. Namun seperti rumah di atas gelombang, ia akan terus diguncang badai: dari luar, dan lebih dalam lagi, dari dalam dirinya sendiri.

Israel: Negara di Atas Gelombang Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel adalah negara di atas gelombang—mengambang di atas riak sejar...

Israel: Negara di Atas Gelombang

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Israel adalah negara di atas gelombang—mengambang di atas riak sejarah yang dipaksakan, berdiri di antara badai politik, gelora konflik, dan reruntuhan nilai kemanusiaan. Ia bukan lahir dari kedalaman nurani umat manusia, melainkan dari laboratorium kolonialisme modern, di mana luka dijadikan dasar negara, dan pengusiran dianggap permulaan harapan.

Ini adalah negara tanpa tujuan kemanusiaan. Ia tidak dibangun untuk menciptakan kedamaian universal, tetapi untuk melindungi eksklusivitas satu kelompok atas nama sejarah dan penderitaan masa lalu. Tujuannya bukan inklusi, melainkan pemisahan. Bukan keadilan, melainkan kekuasaan. Negara ini menyebut dirinya demokrasi, tapi gagal memberi ruang bagi martabat manusia yang berbeda darinya.

Ia pun negara tanpa undang-undang dasar. Tanpa konstitusi yang utuh, ia menjelma menjadi negara yang dapat diatur sesuka waktu dan suara mayoritas dominan. Hukum bukan pilar keadilan, tapi alat politik. Maka rakyat tak dilindungi oleh kesepakatan luhur, melainkan oleh siapa yang berkuasa hari ini. Keadilan menjadi relatif, dan demokrasi menjadi manipulasi.

Israel adalah negara tanpa tanah air—karena tanahnya diperoleh bukan dengan cinta, melainkan dengan paksa. Diproklamirkan bukan di atas sejarah sosial bersama, tapi di atas reruntuhan desa-desa Palestina yang dihancurkan. Ia tidak tumbuh dari akar organik yang menghormati penghuni lama, tapi dari bibit ideologi yang menafikan eksistensi orang lain. Inilah tanah air yang dideklarasikan, bukan diwarisi.

Negara ini juga berisi kelompok masyarakat yang terus berkonflik. Yahudi Ortodoks menolak Yahudi sekuler. Yahudi Rusia bersitegang dengan Yahudi Etiopia. Arab Israel hidup dalam ketakutan. Palestina di wilayah pendudukan hidup dalam keterasingan. Tak ada identitas tunggal yang menyatukan, hanya musuh bersama yang dijadikan alasan untuk tetap saling bertahan. Sebuah masyarakat yang retak dari dalam, meski berusaha utuh di luar.

Ini juga adalah negara tanpa penduduk asli. Orang-orang yang menanam zaitun, mengumandangkan azan, membunyikan lonceng gereja, dan menggembala sejak berabad-abad lamanya—disebut tak ada. Mereka diusir, dilabeli asing, lalu dijadikan target. Sementara yang datang dari jauh, dari Eropa, dari Amerika, dari Rusia—dianggap “pulang”. Inilah ironi: negeri yang mengusir anak kandung, lalu menyambut tamu sebagai pewaris tunggal.

Israel bahkan dipenuhi warga dengan kewarganegaraan ganda. Banyak dari mereka datang bukan karena cinta tanah air, melainkan karena kesempatan, atau sekadar pelarian dari krisis identitas. Paspor Amerika di satu saku, paspor Israel di saku lainnya. Dalam damai, mereka hidup di Tel Aviv. Dalam bahaya, mereka pulang ke New York atau Berlin. Sebuah negara yang warganya bisa meninggalkan tanahnya kapan saja—karena tanah itu belum benar-benar menjadi “milik hati”.

Dan yang paling nyata: Israel adalah negara yang terus berperang dengan tetangganya. Tak ada hari tanpa ketegangan. Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania, Iran—semua pernah atau sedang menjadi musuh. Palestina, tetangga yang ditolak keberadaannya, terus menjadi korban dan kambing hitam. Israel bukanlah rumah dalam lingkaran damai, melainkan benteng dalam lautan konflik.



Akhirnya...

Israel berdiri, tapi goyah.
Ia bersinar, tapi dari api, bukan cahaya.
Ia bertahan, tapi di atas ketakutan.
Ia ada, tapi belum menjadi negara yang seutuhnya hidup.

Sebab negara sejati bukan dibangun dari klaim sejarah, tapi dari keberanian memberi ruang bagi orang lain.
Bukan dari dinding beton dan senjata, tapi dari keadilan dan pengakuan.
Dan selama itu belum terjadi, Israel akan tetap menjadi… negara di atas gelombang—yang setiap saat bisa dihantam oleh gelombang yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Tanah yang Menolak Dikosongkan Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di ujung dunia yang dipagari tembok, kawat berduri, dan sanksi senjat...


Tanah yang Menolak Dikosongkan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di ujung dunia yang dipagari tembok, kawat berduri, dan sanksi senjata paling mematikan, ada sebuah bangsa yang terus mencoba dihapus dari peta. Bukan hanya peta geopolitik, tapi juga dari peta demografi, dari sejarah, bahkan dari ingatan. Itulah proyek paling gelap yang kini sedang dijalankan: depopulasi—usaha sistematis untuk mengurangi, menggusur, menghapus satu bangsa dari tanah yang mereka cintai, dan yang mencintai mereka kembali.

Palestina, terutama Gaza dan Tepi Barat, sedang menghadapi ujian sejarah semacam ini. Tapi sejarah punya memori panjang. Ia tahu, pernah ada benua seperti Amerika dan Australia yang berhasil dibersihkan dari penduduk aslinya oleh para kolonialis. Dengan senjata, penyakit, propaganda, dan hukum buatan, para penjajah Eropa menciptakan dunia baru—tanpa orang lama. Maka pertanyaannya muncul kembali hari ini: apakah Israel sedang dan akan berhasil melakukan hal yang sama di Palestina?



Gaza: Tidak Punya Tempat Lain

Di Gaza, orang-orang lahir bukan dengan paspor, tapi dengan nasib. Mereka tidak punya tempat untuk lari. Tak ada rumah kedua di Toronto. Tak ada nenek moyang yang bisa ditelusuri untuk mendapatkan kewarganegaraan Jerman. Mereka lahir di kamp pengungsi, besar di bawah drone, tidur dalam suara dentuman. Tapi besok paginya mereka bangun—dan tetap tinggal.

Gaza tidak punya rencana cadangan. Karena tanah itu bukan hanya tempat, tapi harga diri. Dan kehormatan, bagi bangsa yang telah dihancurkan berkali-kali, justru menjadi alasan untuk tidak pergi.

Israel tahu ini. Maka senjata mereka tidak hanya bom dan peluru. Tapi juga kelaparan, pengungsian internal, pemusnahan infrastruktur, dan blokade yang menusuk ke perut anak-anak. Ini bukan sekadar perang. Ini perhitungan penduduk. Ini politik angka hidup dan mati.



Tepi Barat: Tanah yang Digigit Sedikit Demi Sedikit

Sementara itu, di Tepi Barat, depopulasi berjalan dengan cara yang lebih sunyi, tapi tak kalah sistematis. Pemukim ilegal—datang dengan paspor ganda dan perlindungan militer—mengambil tanah hektar demi hektar. Penduduk Palestina ditekan oleh hukum, dikurung dalam dinding, dan dihadapkan pada pilihan: pergi atau tenggelam dalam penderitaan yang perlahan.

Ada desa-desa yang tak lagi punya nama di peta. Ada ladang zaitun yang berubah menjadi jalan bagi militer. Dan ada keluarga yang melihat rumahnya dihancurkan bukan karena perang, tapi karena surat dari “pengadilan pemukim.”

Israel membangun jalan, hukum, dan tembok, bukan untuk semua orang, tapi untuk sebagian—yang datang dari luar dan diberi hak atas tanah yang bukan milik mereka. Itu bukan pembangunan. Itu pembersihan.



Rintangan yang Tak Bisa Ditembus Senjata

Tapi ada satu hal yang tidak bisa diatasi oleh sistem canggih Israel: tekad rakyat Palestina. Mereka yang tidak punya tempat pergi, tak bisa diusir semudah itu. Mereka tidak hanya tinggal di tanah itu, mereka menjadi tanah itu. Tidak ada senjata yang bisa memisahkan akar dari bumi tanpa membuat keduanya mati.

Tekanan internasional mulai berubah. Mahkamah Internasional menyebut ini sebagai genosida. Opini publik global—terutama generasi muda—tidak lagi diam. Dan di setiap reruntuhan sekolah Gaza, ada tangan kecil yang memegang buku, bukan untuk pergi dari sejarah, tapi untuk menulisnya ulang.



Tanah yang Akan Memihak yang Bertahan

Dalam sejarah, penjajah selalu datang dengan kekuatan. Tapi mereka yang bertahan selalu datang dengan cinta. Dan cinta, dalam bentuk yang paling murni, adalah ketika seseorang tinggal di tempat yang ingin membunuhnya—karena dia tahu, tanah itu lebih membutuhkannya daripada ketakutannya sendiri.

Israel mungkin bisa mengguncang dunia dengan teknologi militer. Tapi rakyat Gaza mengguncang nurani dunia dengan daya tahannya.

“Depopulasi hanya bisa terjadi jika penduduknya menyerah. Tapi Gaza tidak menyerah. Dan Tepi Barat masih melawan—dalam bisu, dalam diam, dalam doa, dalam batu, dalam darah.”

Tanah Palestina, dalam luka-lukanya, tetap hidup. Dan selama ada satu keluarga yang menolak meninggalkan rumahnya, sejarah akan menulis ulang dirinya sendiri: bukan untuk mereka yang datang, tapi untuk mereka yang tetap tinggal.

Ketika Warga Israel Bersiap Pergi Sebelum Negara Runtuh Oleh: Nasrulloh Baksolahar Watak Diaspora dalam Paspor Ganda Di balik wa...

Ketika Warga Israel Bersiap Pergi Sebelum Negara Runtuh

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Watak Diaspora dalam Paspor Ganda

Di balik wajah modern Israel—dengan kibbutz teknologi, kampus elit, dan kekuatan militer termutakhir—tersimpan kecemasan laten yang diwariskan selama ribuan tahun: ketidakpastian akan tempat tinggal terakhir. Maka tak heran jika kewarganegaraan ganda menjadi bukan hanya dokumen hukum, tetapi cermin watak historis bangsa Yahudi itu sendiri.

Sejak pengusiran dari tanah Kanaan oleh Babilonia dan Romawi, lalu diaspora panjang akibat Inkuisisi, pogrom, hingga Holocaust, bangsa Yahudi terbiasa hidup tanpa tanah tetap. Mereka tak tumbuh dengan akar, melainkan dengan sayap: fleksibilitas identitas dan mobilitas lintas batas.

Mereka ahli bertahan bukan dengan benteng lagi, tapi juga dengan cadangan pilihan tempat hidup. Dan hari ini, bentuk modernnya adalah paspor asing di samping paspor Israel.

Di sinilah paspor ganda menjadi warisan yang tak tertulis dari mentalitas diaspora. Tradisi Exodus tak pernah benar-benar selesai. Bahkan setelah berdirinya negara Israel, banyak Yahudi—terutama kalangan sekuler—tetap menyimpan satu pintu keluar. Mereka mencintai tanah ini, tapi tidak yakin akan tinggal selamanya.



Konflik Mendorong Pintu Darurat

Seiring memburuknya konflik di kawasan, gelombang permohonan paspor asing melonjak—terutama setelah serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas. Ketakutan bukan hanya pada roket, tapi pada masa depan yang tak stabil:

Ketegangan di Gaza dan Tepi Barat yang tak kunjung selesai.

Ancaman rudal dari Hizbullah Lebanon dan Suriah yang makin presisi.

Serangan rudal dari Ansarullah Yaman yang kini menyasar Laut Merah dan Tel Aviv.

Warga Israel, khususnya yang sekuler dan berpendidikan, menyediakan paspor asing bagi anak-anak mereka bahkan sebelum anak itu bisa bicara. Mereka mendatangi konsulat Jerman, Polandia, Kanada, atau Prancis. Bukan untuk pindah esok hari—tapi untuk bersiap bila esok tak ada lagi.

Hari ini, paspor asing lebih bernilai dari rumah, tanah, bahkan saham teknologi.



Mengapa Israel Mengizinkan Kewarganegaraan Ganda?

Israel sangat longgar soal paspor ganda. Bukan tanpa alasan:

1. Sejarah Imigrasi dan Aliyah

Negara ini dibangun dari orang-orang yang datang dari Rusia, Eropa, AS, Yaman, dan Afrika Utara. Mereka tiba dengan membawa paspor lama, dan Israel tidak ingin memutuskan keterhubungan mereka dengan dunia luar—terutama karena Yahudi diaspora punya pengaruh politik dan ekonomi global.

2. Mobilitas dan Keamanan

Kewarganegaraan ganda memudahkan warganya bepergian ke negara yang tidak bersahabat dengan Israel—tanpa membuka identitas.

3. Asuransi Politik

Bagi sebagian warga, paspor asing adalah jalan kabur darurat jika konflik sipil meledak, pemerintah ekstremis berkuasa, atau ekonomi kolaps. Paspor itu menjadi jaminan hidup alternatif—sebuah “Plan B” kolektif bangsa yang masih trauma oleh sejarahnya sendiri.



Kelompok Mana yang Paling Banyak Punya Paspor Ganda?

Kaum Sekuler — PALING BANYAK

Berasal dari latar imigran Eropa dan Amerika.

Paling sadar risiko politik dan ekonomi.

Anak-anak mereka yang lahir di Israel pun didaftarkan untuk paspor Jerman, Polandia, atau AS.


Arab Israel — JUGA CUKUP BANYAK, Tapi Dengan Nuansa Lain

Sebagian memiliki koneksi ke Yordania, Tepi Barat, bahkan Eropa.

Bagi mereka, paspor asing adalah jembatan identitas, bukan strategi kabur.


Pemukim Ilegal Yahudi — BANYAK JUGA

Ironis: mereka paling vokal tentang “tanah yang dijanjikan,” tapi tetap menyimpan paspor Prancis atau AS.

Banyak dari mereka adalah imigran yang belum melepas kewarganegaraan lama.


Haredim — PALING SEDIKIT

Hidup dalam komunitas tertutup, fokus agama.

Kurang peduli urusan internasional.

Meski begitu, sebagian kecil masih menyimpan paspor lama dari diaspora.



Ancaman Bagi Masa Depan Israel

1. Brain Drain

Paspor asing membuat generasi muda berbakat mudah pindah ke luar negeri—dan mereka tidak kembali.

2. Krisis Loyalitas

Saat Israel berkonflik dengan negara lain, warga dengan paspor asing bisa ditarik oleh kesetiaan ganda.

3. Ketimpangan Sosial Baru

Paspor menjadi kelas sosial: yang punya bebas ke luar negeri, punya opsi masa depan. Yang tidak? Terjebak dalam krisis internal.

4. Ancaman Keamanan

Paspor ganda bisa digunakan untuk menyelundupkan identitas, logistik, atau informasi. Ini menciptakan potensi lubang intelijen.



Negara dengan Dua Jiwa

Israel adalah negara yang dibangun oleh mimpi dan trauma. Tapi kini, banyak warganya hidup dengan dua paspor dan dua kemungkinan masa depan. Yang satu sebagai warga negara Israel. Yang lain sebagai pewaris trauma diaspora—yang tahu bahwa sejarah bisa berulang.

Saat anak-anak Tel Aviv punya paspor Berlin dan anak-anak pemukiman ekstrem punya paspor New York, pertanyaannya bukan lagi “apakah mereka cinta Israel?” tapi “apakah mereka siap tinggal jika Israel berubah?”

Masa Depan Penjajah Israel yang Kian Retak Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam bayang-bayang menara-menara kaca Tel Aviv, pusat ken...


Masa Depan Penjajah Israel yang Kian Retak


Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam bayang-bayang menara-menara kaca Tel Aviv, pusat kendali Iron Dome, dan barak-barak elit militer Unit 8200, berdetak sebuah bom waktu sosial dan demografis yang nyaris tak terdengar. Israel, negara kecil dengan reputasi besar di bidang militer dan teknologi, kini menghadapi ancaman yang tak datang dari luar, melainkan dari dalam tubuhnya sendiri. Bukan roket, bukan embargo, bukan tekanan diplomatik yang paling membahayakan masa depan Israel—melainkan ketegangan sosial yang kian mengkristal di antara empat kelompok besar masyarakatnya.

Masing-masing kelompok itu membawa dunia sendiri. Mereka hidup berdampingan, tapi tidak berjalan searah. Mereka memakai bahasa yang sama, tapi bicara dalam logika yang berbeda. Dan bila tak segera ada koreksi arah, benturan di antara mereka bisa menjadi lebih dahsyat dari semua perang yang pernah mereka menangkan.



Sekuler: Otak Negara yang Perlahan Pergi

Mereka adalah para insinyur, ilmuwan, pendiri startup, jenderal militer, diplomat, dan ekonom. Mereka membangun citra Israel sebagai “Start-Up Nation” yang disegani dunia. Tapi kini, mereka mulai merasa asing di tanah yang dulu mereka rancang.

Mereka melihat negara yang mereka bangun mulai diambil alih oleh aturan agama yang tak mereka pilih, oleh politik sayap kanan yang menusuk akal sehat, dan oleh anggaran negara yang lebih banyak mengalir ke yeshiva daripada ke riset dan pengembangan.

Mereka tidak marah. Mereka hanya meninggalkan. Berbondong-bondong menuju Berlin, Toronto, New York, Paris. Mereka membawa koper, ijazah, dan kenangan akan sebuah negara yang mungkin tidak akan pernah kembali seperti semula.



Haredim: Menang Dalam Jumlah, Tapi Tidak Dalam Gagasan

Di sisi lain, komunitas Haredim terus tumbuh dalam jumlah dan kekuatan politik. Setiap tahun, anak-anak Haredi memenuhi ruang-ruang kelas yang menolak matematika, sains, dan bahasa Inggris. Mereka belajar Taurat siang malam, menolak wajib militer, dan sebagian besar hidup dari subsidi negara.

Namun pertumbuhan populasi mereka sangat cepat—jauh melampaui kelompok lainnya. Ini bukan sekadar angka kelahiran, tapi arah masa depan.

Pertanyaannya: apa jadinya Israel jika mayoritas penduduknya tidak bekerja, tidak mau belajar teknologi, dan tidak mempercayai negara demokratis sekuler?



Para Pemukim: Menanam Ideologi di Atas Tanah Sengketa

Mereka menyebut diri sebagai penjaga tanah yang dijanjikan, meski dunia menyebut mereka pelanggar hukum internasional. Para pemukim Yahudi di Tepi Barat adalah perpaduan antara nasionalisme religius dan fanatisme ideologis. Mereka memperluas permukiman dengan dukungan penuh pemerintah, dilindungi tentara, dan dibiayai oleh pajak yang dibayar oleh kelompok sekuler.

Mereka bukan sekadar beban fiskal. Mereka adalah sumber ketegangan geopolitik yang tak kunjung padam. Mereka memperkecil kemungkinan perdamaian dengan Palestina, memicu kemarahan dunia Arab, dan mendorong Israel ke jurang keterasingan diplomatik.

Israel boleh menambah wilayah fisik, tapi kehilangan wilayah moral dan politik.



Arab Israel: Warga yang Tak Pernah Dianggap Penuh

Berjumlah hampir 20% dari populasi, Arab Israel adalah warga negara yang hidup di antara pengakuan dan penolakan. Mereka membayar pajak, belajar, bekerja sebagai dokter, pengacara, sopir, guru. Tapi mereka tidak pernah menjadi “kita”. Mereka tetap “mereka”.

Namun di balik diskriminasi dan pengucilan itu, muncul generasi baru yang terdidik, melek teknologi, dan punya ambisi. Mereka tidak lagi sekadar bertahan. Mereka mulai bersaing. Dan ketika ruang terus ditutup, mereka bisa berubah dari jembatan perdamaian menjadi simbol perlawanan internal.



Israel yang Akan Datang: Negara Tanpa Pusat Kekuatan 

Jika tren ini terus berlanjut, Israel di masa depan bukan lagi negara kuat dengan fondasi sekuler dan teknologi tinggi. Ia akan menjadi negara dengan pusat yang kosong:

Inovasi tetap ada, tapi tak sebesar dulu—karena para penciptanya sudah pindah ke luar negeri.

Militer tetap kuat, tapi dijalankan oleh negara yang makin tertutup dan religius.

Ekonomi tetap hidup, tapi diseret oleh beban subsidi untuk kelompok yang tak produktif.

Politik tetap sibuk, tapi hanya mengurus konflik internal dan eksternal yang tak kunjung selesai.

Dan yang paling parah: dunia internasional bisa kehilangan kepercayaan terhadap Israel sebagai mitra yang rasional. Negara-negara yang dulu jadi sekutu bisa mulai menjauh. Geopolitik berubah. Diplomasi meredup.



Dari Ancaman Luar ke Ledakan Dalam

Israel dibangun oleh mimpi besar dan ketakutan besar. Tapi kini, ancaman terbesarnya bukan dari luar, melainkan dari dalam. Saat kaum sekuler pergi, Haredim tumbuh, pemukim meledakkan batas, dan Arab Israel terus dipinggirkan—Israel sedang menciptakan sebuah dunia dengan banyak kutub tapi tanpa pusat.

Pertanyaannya bukan lagi: “Apakah Israel akan bertahan?”
Tapi: “Israel yang mana yang akan bertahan?”
Apakah yang modern dan terbuka? Ataukah yang religius dan eksklusif?



Jika tak ada arah bersama yang disepakati, maka kekuatan militer dan teknologi tak akan cukup menyelamatkan Israel dari kehancuran yang perlahan tapi pasti—karena negara bisa bertahan dari musuh luar, tapi tak bisa diselamatkan dari pertikaian di dalam rumah sendiri.

Ketika Tulang Punggung Penjajah Israel Perlahan Pergi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah debu konflik dan percikan senjata di ...


Ketika Tulang Punggung Penjajah Israel Perlahan Pergi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di tengah debu konflik dan percikan senjata di Timur Tengah, ada cerita yang lebih diam, tapi lebih dalam: migrasi. Bukan tentang satu dua orang yang pindah rumah, tapi tentang pergerakan ribuan manusia—yang datang ke Israel dengan harapan, lalu pergi dengan getir. Inilah narasi tentang bagaimana negara yang dibangun oleh para pendatang, kini mulai kehilangan daya tariknya sebagai “tanah impian.”



Imigran: Bukan Tentara, Tapi Tulang Punggung

Israel lahir dari semangat aliyah—hijrah orang Yahudi ke Tanah yang Dijanjikan. Namun, bukan militer yang membentuk kekuatan Israel, melainkan para imigran. Mereka membawa keahlian di bidang teknologi, medis, pertanian, hingga keuangan. Mereka adalah tenaga penggerak ekonomi, para inovator di Tel Aviv, peneliti di Haifa, dan insinyur di Negev.

Selama beberapa dekade, imigrasi menjadi kebanggaan. Pemerintah menggelontorkan miliaran shekel untuk program penyambutan, pendidikan, hingga subsidi perumahan bagi para olim—sebutan bagi para pendatang Yahudi. Bahkan dalam kondisi sulit, seperti saat perang Rusia-Ukraina, puluhan ribu Yahudi datang ke Israel karena diyakini lebih aman dan menjanjikan.

Namun, sejak 2023, angin mulai berubah. Dari negeri yang dibanjiri harapan, Israel mulai disusupi arus sebaliknya: emigrasi.



Dari Janji Jadi Cemas

Pemerintah Israel memang menawarkan banyak: uang tunai, rumah, pelatihan bahasa, bahkan pembebasan pajak. Tapi bagi banyak pendatang baru, janji tak lagi cukup ketika rudal meluncur, harga rumah melonjak, dan reformasi hukum memecah masyarakat.

“Yang kami cari bukan hanya tempat tinggal, tapi kehidupan,” ujar seorang olim dari Prancis, yang pada 2024 memutuskan kembali ke Eropa karena pendidikan anak-anaknya terganggu oleh sirene perang dan ketakutan akan invasi.

Data tak bisa disembunyikan:
Tahun 2022, lebih dari 74.000 orang masuk. Tapi 2023 dan 2024 mencatat arus keluar lebih besar dari masuk. Net migration negatif. Ini bukan sekadar angka—ini tanda bahwa sesuatu yang dalam sedang terjadi di dalam tubuh Israel.



Kenapa Mereka Pergi?

Pertama, perang yang tak berkesudahan. Serangan dari Gaza, bayangan konflik dengan Hizbullah, dan kini konfrontasi terbuka dengan Iran telah membuat banyak orang mempertanyakan apakah ini tempat aman untuk keluarga mereka.

Kedua, ketimpangan dan tekanan ekonomi. Harga rumah di Israel melambung gila-gilaan. Gaji yang stagnan, inflasi yang menyiksa, dan beban pajak menekan. Bagi para profesional muda, New York atau Berlin lebih menawarkan masa depan.

Ketiga, polarisasi politik. Ketika demokrasi dipertanyakan oleh undang-undang reformasi hukum dan protes sipil memuncak, banyak warga—terutama generasi muda—merasa kehilangan arah.



Dampak: Negara Tanpa Akar Baru?

Jika yang keluar adalah orang-orang yang terampil, kaya, dan muda, maka dalam jangka panjang, Israel akan menghadapi krisis brain drain.
Sistem kesehatan bisa kehilangan dokter.
Teknologi bisa kehilangan programmer.
Ekonomi bisa kehilangan investor.
Dan yang lebih menakutkan: masyarakat kehilangan harapan.

Tak hanya itu, migrasi bukan cuma soal statistik, tapi juga legitimasi ideologi. Jika negara yang didirikan untuk menampung umat Yahudi justru ditinggalkan oleh Yahudi sendiri, lalu apa yang tersisa?



Antara Bertahan dan Bertanya

Namun tidak semua gelap. Masih ada ribuan orang yang tetap datang, meski tidak sebanyak dulu. Masih ada solidaritas, masih ada keyakinan. Tapi hari-hari ini, pertanyaan yang lebih jujur mulai muncul di kalangan Yahudi global:

Apakah Israel masih tanah impian atau sudah menjadi tanah ujian?

Dan mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah modernnya, Israel harus menjawab itu bukan dengan militer, tapi dengan reformasi, kesejahteraan, dan keadilan bagi semua warganya.



Penutup
Imigrasi adalah awal berdirinya Israel. Tapi ketika emigrasi mengambil alih, itu bukan hanya soal siapa yang datang dan pergi—tapi siapa yang percaya, dan siapa yang tidak lagi percaya. Negeri ini tak akan runtuh oleh perang, tapi bisa goyah oleh hilangnya harapan.

Dan ketika tulang punggung itu mulai menjauh, hanya waktu yang akan menjawab: apakah Israel akan menyesuaikan diri—atau perlahan kehilangan jiwanya sendiri.

Ketika Doa Menyatu dengan Bilah dan Peluru Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di tengah gelombang laut penjajahan yang menghantam pesis...

Ketika Doa Menyatu dengan Bilah dan Peluru

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di tengah gelombang laut penjajahan yang menghantam pesisir dan pedalaman Nusantara, para pejuang tidak hanya mengangkat senjata—mereka mengangkat kehormatan. Dari kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Banten, Mataram, Cirebon, hingga Giri Kedaton, lahirlah barisan-barisan yang tak hanya mengandalkan taktik dan tenaga, tapi juga iman dan semangat jihad.

Dalam tangan para sultan, panglima, ulama, santri, dan rakyat, senjata bukan sekadar alat tempur, melainkan manifestasi ruh perjuangan.



Keris, Tombak, dan Pedang: Bilah yang Ditajamkan oleh Doa

Sultan Trenggana dari Demak, Sultan Agung dari Mataram, hingga Sultan Ageng dari Banten dikenal membawa keris pusaka ke medan perang. Bukan sekadar lambang, keris menjadi senjata dalam duel kehormatan, sebagai tanda bahwa pemimpin pun siap gugur demi negeri. Di sisi lain, tombak panjang dan pedang bermata dua menjadi senjata utama dalam barisan laskar, dibawa oleh para panglima seperti Adipati Yunus atau Tumenggung Singaranu.

Tak kalah penting, tongkat besi para ulama yang biasa digunakan dalam dakwah, berubah menjadi alat pertahanan diri ketika musuh mulai menyerang masjid dan pesantren. Setiap bilah tajam itu diselubungi bacaan hizib dan ayat-ayat suci.



Bedil, Panah, dan Bambu Runcing: Suara Ledakan dari Tanah dan Langit

Senjata api mulai diperkenalkan lewat jaringan perdagangan Muslim dari Arab, Gujarat, Turki, dan Aceh. Meriam Lela dan senapan lontak dijadikan kekuatan andalan pelabuhan Cirebon dan Jepara. Namun di balik itu, rakyat kecil menciptakan bedil bambu, panah beracun, dan bambu runcing, menjadikannya senjata gerilya yang ditakuti pasukan VOC.

Di ladang dan gunung, petani menjadikan golok dan parang sebagai senjata pelindung, menyimpan amarah dan tekad yang diam-diam menanti komando dari pesantren.



Bukan dari Eropa, Tapi dari Doa dan Persaudaraan Muslim

Sebagian senjata itu memang datang dari luar negeri: pedang Arab, meriam dari Turki, senapan dari Gujarat, hingga teknik tempur dari para pelaut Aceh. Tapi kekuatan sesungguhnya tidak berasal dari mesiu dan logam asing—melainkan dari keyakinan bahwa mereka sedang mempertahankan akidah dan amanah para wali.

Di Giri Kedaton, Cirebon, dan Banten, senjata-senjata itu dirawat dengan minyak cendana, diasapi dengan menyan, dan dibacakan dzikir. Ia bukan benda mati, tapi bagian dari jiwa para mujahid.





Senjata Legendaris, Jiwa Abadi

Beberapa senjata dikenang sebagai legenda:
1. Keris Kyai Carubuk milik Sultan Trenggana,
2. Tombak Kyai Plered milik Sultan Agung,
3. Keris Kyai Mangir milik gerilyawan Mataram,
4. dan Meriam Ki Jimat di pelabuhan Cirebon.

Mereka bukan hanya benda, tapi saksi—dan simbol—bahwa bangsa ini pernah melawan dengan penuh harga diri.



Melawan Senjata Canggih Belanda dengan Iman yang Tajam

Penjajah datang membawa senapan canggih dan barisan tentara bayaran. Tapi pejuang Islam membawa dzikir, wirid, dan semangat ukhuwah. Mereka berperang dalam barisan yang dimulai dari shalat malam dan dzikir al-Fath. Karena mereka tahu: kekuatan sejati tak selalu ada di peluru, tapi di dada yang tak takut mati.



Jejak Senjata Itu Masih Hidup Sampai Hari Ini

Senjata-senjata zaman kesultanan itu melahirkan taklim gerilya pesantren, laskar-laskar rakyat di zaman Diponegoro, dan bahkan taktik TKR dan Hizbullah di masa revolusi kemerdekaan. Meski bentuknya berubah, semangatnya tetap satu: bahwa kemerdekaan adalah warisan suci yang dilindungi oleh bilah iman dan peluru tauhid.



Bilah, Doa, dan Darah yang Tidak Pernah Sia-Sia

Mereka berperang bukan untuk menjadi pahlawan, tapi untuk menjaga agar anak cucu tidak menjadi budak. Senjata-senjata itu menjadi saksi bahwa bangsa ini tidak pernah diam saat diinjak, dan bahwa kehormatan tak akan pernah bisa ditaklukkan oleh senjata buatan manusia.

Keris boleh berkarat, meriam boleh berkarat, tapi semangat jihad tak akan pernah padam.

Di Balik Timbangan Ada Perlawanan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mereka bukan hanya pengukur harga. Mereka adalah penjaga harga diri...

Di Balik Timbangan Ada Perlawanan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Mereka bukan hanya pengukur harga. Mereka adalah penjaga harga diri bangsa. Di balik setiap keranjang lada, tumpukan kain, dan timbangan emas, para pedagang Muslim menanam benih kemerdekaan. Saat para penjajah mengira pasar hanya tempat transaksi, para wali dan sultan telah menjadikannya medan jihad.

Saat kompeni menebar monopoli, para pedagang menyusun strategi. Dan saat penjajah menginjakkan kaki di bumi Nusantara, para saudagar Muslim telah lebih dulu menanam tekad untuk tidak tunduk, tak akan dijual dengan harga berapa pun.



Para Wali dan Sultan yang Juga Saudagar

Wali Sanga bukan hanya berdakwah di mimbar, tapi juga berdagang di pelabuhan. Sunan Giri mengirim kapal dagangnya ke timur jauh, Sunan Kalijaga menjual hasil rakyat untuk membiayai perjuangan, dan Sultan Trenggana dari Demak membangun pasar sekaligus benteng.

Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah raja sekaligus pengatur distribusi lada terbesar yang membuat VOC menggigil. Di bawah kendalinya, pelabuhan Banten jadi pusat perdagangan internasional sekaligus pangkalan logistik jihad. Dan Pangeran Diponegoro? Ia mendirikan jaringan pasar desa untuk menghidupkan perlawanan dari akar rumput.

Mereka semua tahu: barang dagangan bisa habis, tapi semangat merdeka tak boleh luntur.



Pasar: Benteng yang Tak Bisa Dihancurkan Meriam

Saat senjata dibatasi, pedagang Muslim menyelundupkan mesiu dalam peti kayu, menyembunyikan senjata di bawah karung beras, dan menyelipkan surat rahasia di antara lembar kain dagang.

Pelabuhan Jepara, Gresik, Cirebon, hingga Banten menjadi simpul jihad. Dari tempat inilah kapal berlayar membawa bukan hanya rempah, tapi juga kabar perjuangan dan bantuan bagi para mujahid. Kafilah dagang berubah menjadi konvoi kebebasan. Gudang berubah jadi lumbung perjuangan.

“Kami berdagang bukan untuk kaya, tapi untuk merdeka.”



Ketika Penjajah Mengincar Pasar, Mereka Menyalakan Perlawanan

VOC tahu siapa musuh sebenarnya: bukan hanya para sultan, tapi juga para pedagang Muslim. Maka dibuatlah monopoli. Diberlakukan pajak mencekik. Pasar rakyat dirusak, pedagang ditangkap, bahkan diasingkan.

Tapi mereka lupa satu hal: pedagang Muslim bisa bangkit dari reruntuhan, karena mereka tak dagang demi untung, tapi demi umat.

Para saudagar membentuk jaringan rahasia. Mereka berpura-pura patuh di hadapan kompeni, tapi di malam hari menyuplai laskar dengan makanan dan senjata. Mereka berdagang sambil menyebarkan pesan: “Jangan beli barang VOC. Jangan jual harga diri pada penjajah.”



Nama-Nama yang Terlupakan Tapi Berjasa

Nyai Gede Pinatih: saudagar Gresik yang membiayai Sunan Giri dan pengiriman dakwah ke luar Jawa.

Haji Hasanuddin Banten: penguasa lada yang menyumbangkan armada untuk Sultan Ageng.

Para saudagar Arab, Gujarat, Makassar: yang membawa senapan, mesiu, dan ilmu dari luar negeri.

Mereka tak tercatat di buku sejarah resmi, tapi amal mereka tercatat di langit perjuangan.



Dari Pasar ke Panggung Sejarah

Apa yang mereka wariskan?

1. Semangat ekonomi mandiri.

2. Kesadaran bahwa dagang bukan hanya mencari nafkah, tapi membebaskan umat dari ketergantungan.

3. Lahirnya Sarekat Dagang Islam, koperasi umat, dan gerakan ekonomi rakyat.


Mereka adalah benih yang menumbuhkan semangat perlawanan ekonomi hari ini. Karena bangsa yang tak punya kemandirian dagang, akan dijajah dengan cara yang lebih halus: melalui harga, utang, dan pasar.



Jika Kau Tak Punya Senjata, Milikilah Timbangan

Bangsa ini bukan hanya dibela oleh tentara, tapi juga oleh para pedagang. Mereka tak menembak peluru, tapi mengalirkan logistik. Mereka tak berteriak di medan tempur, tapi berbisik dalam tawar-menawar: “Sebagian keuntungan ini untuk jihad.”

“Jika senjata dikuasai penjajah, maka kita pakai dagang sebagai senjata.”
“Dan kalau jalan menuju benteng ditutup, maka pasar kita jadikan benteng!”

Kisah Senyap Jihad Harta Para Wali, Sultan dan Rakyat  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik setiap tembakan meriam dan teriakan t...

Kisah Senyap Jihad Harta Para Wali, Sultan dan Rakyat 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di balik setiap tembakan meriam dan teriakan takbir di medan laga, ada doa seorang ibu yang menjual gelangnya. Di balik setiap benteng yang menjulang, ada seorang saudagar yang diam-diam menyerahkan ladangnya. Di balik baju zirah yang melindungi prajurit Islam, ada seorang petani yang menyumbangkan hasil panennya. Inilah jihad yang jarang ditulis: jihad harta.

Di tengah gempuran Portugis dan Belanda, ketika rakyat dicekik pajak dan petani kehilangan tanah, para wali dan sultan tidak hanya mengangkat senjata. Mereka juga mengangkat timbangan, membuka ladang-ladang wakaf, dan menyulap kekayaan menjadi amunisi jihad. Inilah kisah agung ketika emas dijadikan perisai, bukan hiasan.



Harta Mereka Bukan untuk Istana, Tapi untuk Umat

Para Wali Sanga hidup bukan dari tahta. Mereka hidup dari keikhlasan dan usaha. Sunan Giri membangun pesantren dan mengirim kapal dagang ke Lombok dan Maluku. Sunan Kalijaga membuat wayang dan ukiran, hasilnya diserahkan untuk umat. Sunan Ampel dan Sunan Bonang berdagang rempah dan hasil bumi, lalu menggunakannya untuk membiayai dakwah dan pasukan.

Sementara itu, para sultan—Demak, Banten, Cirebon, Giri, Mataram—tidak hanya mengumpulkan pajak. Mereka menjual perhiasan, merelakan tanah pusaka, dan melelang emas istana demi satu kalimat suci: "La ilaha illallah".

Sultan Agung menjual permata keraton untuk membangun galangan kapal.
Sultan Trenggana membeli kembali sawah rakyat yang dirampas Portugis.
Sultan Ageng Tirtayasa menyisihkan keuntungan lada demi membebaskan rakyat dari jerat utang Belanda.



Ketika Rakyat Diinjak, Para Wali Membayar Harga Kehormatan

Zaman itu rakyat bukan hanya miskin, tapi dihina. Tanah mereka dirampas. Anak mereka diperbudak. Ibu-ibu terpaksa menjual tubuh atau anaknya untuk makan. Dalam derita itu, para wali tidak tinggal diam.

Sunan Gunung Jati menebus utang petani pelabuhan Cirebon. Ulama Giri Kedaton membeli budak-budak Muslim di Malaka dan membawa mereka pulang sebagai manusia merdeka. Bahkan pesantren-pesantren menjual hasil tani dan kitab untuk membeli kembali kebun rakyat yang dikuasai VOC.

Di saat penjajah menjadikan tanah sebagai alat penaklukan, para wali menjadikannya ladang jihad.



Benteng Dibangun dari Wakaf, Meriam Dibeli dari Zakat

Jangan bayangkan benteng Jepara, Kartasura, atau Giri dibangun dari kas kerajaan saja. Rakyat biasa membawa batu, wakafkan kayu, dan menyumbang beras. Saudagar Arab dan Gujarat mengirim senapan dan mesiu sebagai bagian dari ikatan ukhuwah Islamiyah. Bahkan, banyak perempuan melepas perhiasan pernikahan mereka demi membeli pelindung bagi santri di garis depan.



Warisan yang Tidak Bisa Dijajah: Jiwa Berkorban

Jihad harta para wali dan sultan ini bukan hanya menyelamatkan satu generasi, tapi mewariskan roh kemerdekaan. Mereka membentuk tradisi gotong-royong jihad. Rakyat belajar bahwa tanah air bukan diwarisi secara gratis, tapi ditebus dengan keringat, darah, dan emas.

Semangat ini mengalir ke pesantren. Di kemudian hari, para pejuang kemerdekaan—KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim—berdiri di atas warisan moral itu: bahwa jihad bukan hanya di medan perang, tapi juga di ladang, pasar, dan meja infak.



Ketika Emas Tak Lagi Disembah, Tapi Dikorbankan

Di zaman ketika banyak bangsa kalah karena dijajah ekonominya, Nusantara punya rahasia: orang-orang yang rela miskin demi agar Islam tidak dihina. Mereka menjadikan kekayaan sebagai alat melawan, bukan alat menindas. Mereka lebih rela menjual rumah daripada membiarkan masjid dijadikan markas kafir.

Jangan takut miskin karena jihad. Sebab, lebih hina hidup dalam penjajahan daripada mati tanpa warisan.

Apakah kita siap meneladani mereka? Hari ini, kita mungkin tidak lagi diminta mengangkat pedang. Tapi apakah kita siap menyerahkan harta, waktu, dan kenyamanan untuk kebaikan umat?

Jika para wali dahulu berdagang untuk membiayai perang, mengapa kita tak bisa berdagang untuk membiayai dakwah?

Barisan yang Tak Tergoyahkan: Jejak Jihad Istana, Pesantren, dan Rumah di Jawa Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tanah yang harum ol...

Barisan yang Tak Tergoyahkan: Jejak Jihad Istana, Pesantren, dan Rumah di Jawa

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di tanah yang harum oleh langkah para wali dan doa para syuhada, perlawanan terhadap penjajahan bukan hanya lahir dari senjata, melainkan dari keyakinan. Inilah kisah ketika para sultan menjadi panglima, para ulama menjadi kompas, santri menjadi prajurit, dan rakyat menjadi benteng.

Kala VOC mengincar tanah Jawa, sebelum Belanda menancapkan kuku besinya di bumi pertiwi, kesultanan-kesultanan Islam telah terlebih dahulu mendirikan benteng perlawanan: Demak, Mataram, Cirebon, Banten, dan Giri Kedaton. Mereka bukan hanya kerajaan; mereka adalah madrasah ruhani, tempat ditempanya jiwa-jiwa yang siap gugur dalam nama keadilan dan tauhid.



Sultan: Pemimpin yang Membakar Harapan

Para sultan di era ini bukan hanya penguasa politik. Mereka berdiri di mimbar, turun ke pasar, dan menginjak tanah medan laga. Mereka mengobarkan semangat para bangsawan dan rakyat dengan narasi iman dan kehormatan. Sultan Trenggana dari Demak, Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng dari Banten—semuanya memimpin langsung, menyebut perlawanan ini bukan sekadar untuk merebut tanah, tapi untuk membebaskan ruh bangsa dari belenggu kekafiran dan ketidakadilan.

Dalam pidatonya, Sultan sering berkata:

"Kita tidak sedang mempertahankan kerajaan, tapi marwah agama dan masa depan anak cucu. Bila kita kalah, iman kalian akan dirampas seperti garam larut di laut."



Panglima: Ksatria yang Tidak Takut Mati

Para panglima perang seperti Adipati Yunus, Tumenggung Singaranu, atau komandan Giri Kedaton, adalah pemimpin sejati. Mereka tak hanya memerintah, tetapi tidur bersama prajurit dan berbagi nasi dengan rakyat. Sebelum perang, mereka menggenggam Al-Qur’an dan mengangkat pedang dengan doa. Di medan tempur, mereka berteriak:

"Hari ini bukan hari untuk menang, tapi untuk menunjukkan bahwa kita tidak tunduk pada kesewenangan!"



Ulama: Suara Langit yang Membakar Jiwa

Ulama-ulama besar seperti Sunan Kudus, Sunan Giri, Syekh Lemah Abang, dan para kiai Giri dan Cirebon menjadi ruh dari seluruh perlawanan. Mereka bukan pembisik pasif, melainkan pemantik semangat jihad. Mereka menuliskan fatwa jihad, memimpin dzikir akbar, dan menggantungkan bendera bertuliskan La ilaha illallah di halaman masjid dan benteng.

Dalam malam-malam sunyi sebelum perang, mereka mengimami shalat tahajud, membaca Surah Al-Anfal dan Al-Fath, serta Ratib al-Haddad dan Hizib Nashr. Pesan mereka sederhana:

"Kalian boleh kalah oleh peluru, tapi jangan pernah kalah oleh rasa takut."



Tentara, Santri, dan Rakyat: Barisan yang Tak Tergoyahkan

Tentara istana dibentuk dari para prajurit bangsawan dan bekas pasukan Majapahit yang telah masuk Islam. Mereka ahli berkuda, bersenjata keris dan tombak, serta diajarkan ilmu medan dan laut. Mereka dijuluki pengawal langit, karena sebelum bertempur, mereka berzikir seperti akan wafat.

Santri dilatih tak hanya dengan kitab kuning, tapi juga ilmu panah, bela diri, dan strategi gerilya. Di bawah komando para kiai, mereka menjadi unit-unit laskar pesantren yang bergerak dari dusun ke dusun, membakar semangat rakyat, sekaligus menjadi mata-mata dan pembawa kabar.

Rakyat biasa: petani, nelayan, pedagang kecil, ikut dalam gelombang perlawanan. Mereka mengangkut logistik, menyembunyikan pejuang, menyuplai makanan, dan dalam banyak kasus, turut mengangkat senjata meskipun hanya dengan bambu runcing dan parang warisan leluhur.



Pemersatu Perlawanan: Islam, Iman, dan Persaudaraan

Apa yang menyatukan mereka semua? Bukan upah. Bukan jabatan. Tapi cinta pada tanah air dan cinta pada agama. Masjid menjadi markas, pesantren menjadi benteng, dan rumah rakyat menjadi gudang senjata.

Sultan, ulama, santri, dan rakyat tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka membentuk semacam Majelis Syura Perlawanan: sebuah dewan tidak resmi yang mengatur siasat tempur, distribusi logistik, hingga strategi dakwah ke pedalaman.

“Jangan tanyakan siapa yang memulai. Tapi jadilah bagian dari yang menyelesaikan penjajahan ini,” ujar salah satu panglima Giri kepada pasukannya.



Warisan Abadi: Jiwa Merdeka yang Tak Bisa Dijajah

Meskipun banyak pertempuran dimenangkan Belanda dengan tipu daya, senjata modern, dan politik adu domba, mereka gagal menjajah ruh perlawanan. Sebab, ruh itu turun temurun hidup dalam darah para santri, dai, dan rakyat.

Jejaknya terlihat jelas dalam perang Diponegoro, pemberontakan Banten, pemberontakan petani di Cirebon, hingga pergerakan nasional dan lahirnya Republik Indonesia. Semuanya berakar pada spirit jamaah, jihad, dan keadilan yang diwariskan oleh kesultanan Islam.



Bila Doa dan Darah Menjadi Satu

Bangsa ini tidak lahir dari meja perundingan saja. Ia tumbuh dari dzikir para kiai, air mata ibu, darah prajurit, dan keberanian petani. Mereka yang dulu bersujud sebelum berangkat perang telah membangun fondasi kebebasan kita.

"Kalau bukan karena mereka yang berjaga di malam hari dengan wirid, dan bertempur di siang hari dengan semangat, kita mungkin masih dijajah sampai hari ini."

Abdurrahman bin Auf: Kaya Beriman, Dermawan Tak Bertepi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Jika ada sahabat Nabi ï·º yang berhasil membukt...

Abdurrahman bin Auf: Kaya Beriman, Dermawan Tak Bertepi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Jika ada sahabat Nabi ï·º yang berhasil membuktikan bahwa kekayaan tidak selalu menjerumuskan, maka dialah Abdurrahman bin Auf. Ia tidak hanya sukses sebagai pedagang, tapi juga lulus sebagai pecinta akhirat yang tidak diperbudak dunia.

Hartanya tak membuatnya sombong, jabatannya tak membuatnya congkak, dan kedermawanannya tak membuatnya merasa berjasa. Ia hidup sebagai pejuang ekonomi Islam, dan wafat sebagai ahli surga yang dijamin oleh Nabi ï·º.

Berikut adalah teladan Abdurrahman bin Auf dalam mengelola uang dalam enam aspek kehidupan:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Menjadi Suami dan Ayah yang Bertanggung Jawab

Sebagai orang kaya, Abdurrahman bin Auf bisa saja hidup bermewah-mewahan. Namun kepada keluarganya, ia mengajarkan kesederhanaan dan tanggung jawab. Ia memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan layak, tanpa berlebih.

Ia menjaga nafkah yang halal, dan memastikan bahwa keluarganya tidak ikut dalam gaya hidup konsumtif. Dalam sebuah riwayat, ketika mendengar putranya membeli pakaian mahal, ia menegur dengan lembut:

“Apakah engkau ingin dilalaikan dari akhirat hanya karena kemewahan dunia?”

Ia mendidik keluarganya agar tahu: harta bukan untuk dibanggakan, tapi untuk dipertanggungjawabkan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur, Mandiri, dan Profesional

Bisnis Abdurrahman bin Auf berkembang pesat berkat kejujuran, kerja keras, dan integritas. Ketika hijrah ke Madinah tanpa harta, ia menolak bantuan materi dan berkata:

“Tunjukkan aku jalan ke pasar.”

Dengan kerja keras dan keahlian berdagang, ia segera bangkit menjadi saudagar sukses. Tapi ia tetap menjaga:

Tidak menimbun barang

Tidak memanipulasi harga

Tidak memeras orang miskin

Tidak memperdagangkan barang haram


Ia memandang bisnis sebagai wasilah (jalan) untuk meraih ridha Allah, bukan sekadar laba dunia. Hartanya bersih, karena itulah hatinya ringan melepaskannya.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hindari Beban, Lunasi Cepat

Abdurrahman bin Auf adalah orang yang sangat berhati-hati terhadap utang. Ia tidak suka berutang, dan jika terpaksa meminjam, ia berusaha segera melunasi.

Sebaliknya, ketika orang lain berutang padanya dan tidak mampu membayar, ia ringan memaafkan.

“Aku tidak ingin harta menjadi penghalang bagiku dan orang lain di akhirat.”

Ia tahu bahwa utang bukan sekadar angka di dunia, tapi bisa menjadi beban besar di akhirat. Itulah sebabnya ia hidup sederhana dan penuh perhitungan, tapi sangat dermawan kepada yang benar-benar butuh.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Dermawan Tanpa Jabatan

Abdurrahman bin Auf tidak pernah menjadi bendahara negara, tetapi ia adalah penopang besar kekuatan negara Islam.

Dalam Perang Tabuk, ia menyumbangkan 200 uqiyah emas.

Ia mendatangkan 700 ekor unta penuh muatan untuk logistik jihad dan menyedekahkan seluruhnya.

Ia ikut membiayai kaum muhajirin yang miskin setelah hijrah.

Ia menyumbang dengan diam-diam, tanpa ingin popularitas. Rasulullah ï·º sampai bersabda:

“Tidak akan merugi harta Abdurrahman meski ia berinfak sebanyak apa pun di jalan Allah.”

Ia tidak mengambil dari kas negara, tapi justru memasukkan harta pribadinya ke dalamnya.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Kekuasaan, Menerima Tanggung Jawab

Abdurrahman bin Auf menolak menjadi khalifah saat umat Islam membentuk syura setelah wafatnya Umar bin Khattab. Namun ia menerima amanah untuk menjadi penentu akhir dalam pemilihan khalifah ketiga.

Ia tidak mengambil gaji, tidak minta imbalan, dan tidak memanfaatkan posisi strategis itu untuk kepentingan pribadi.

Ia hidup dari usahanya sendiri dan berkata:

 “Aku takut hartaku yang tidak jelas asalnya akan menjadi bara api di punggungku kelak di akhirat.”

Ia membuktikan bahwa pejabat tak harus bergaji besar, jika hatinya besar untuk Allah dan umat.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Semua Kembali untuk Allah dan Umat

Ketika wafat, Abdurrahman bin Auf meninggalkan kekayaan besar:

1.000 unta

100 kuda

3.000 kambing

Emas yang dibagikan warisannya saja membuat ahli waris sulit mengangkatnya

Namun yang lebih agung dari jumlahnya adalah cara ia mewasiatkannya:

Ia membebaskan 100 budak sebelum wafat.

Ia mewasiatkan 50.000 dinar (setara miliaran rupiah) untuk para veteran perang Badar.

Ia mewakafkan tanah-tanah subur miliknya untuk kaum miskin.

Ia wafat dalam keadaan telah memberi sebanyak mungkin, dan takut hartanya menjadi beban hisab.

Ia tak mati meninggalkan istana, tapi meninggalkan cahaya keteladanan dalam dunia bisnis, keluarga, dan pelayanan umat.



Penutup: Jadilah Kaya Seperti Abdurrahman bin Auf

Banyak orang ingin kaya seperti Qarun, tapi lupa bahwa Abdurrahman bin Auf jauh lebih mulia. Ia bukan hanya kaya, tapi suci, bersih, dan jujur.

Hartanya di tangan, bukan di hati.
Hartanya besar, tapi syukurnya lebih besar.
Hartanya banyak, tapi hisabnya ringan—karena sudah ditunaikan di dunia.

Itulah rahasia mengelola uang dalam Islam: bukan banyaknya, tapi bersihnya.

Thalhah bin Ubaidillah: Miliarder Surga yang Tidak Tertawan Dunia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Thalhah bin Ubaidillah ra. adalah s...

Thalhah bin Ubaidillah: Miliarder Surga yang Tidak Tertawan Dunia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Thalhah bin Ubaidillah ra. adalah satu dari sedikit orang yang dijamin surga oleh Rasulullah ï·º semasa hidupnya. Ia dikenal sebagai sahabat yang sangat dermawan, sangat berjasa di medan perang, dan salah satu pebisnis paling sukses dalam sejarah sahabat.

Ketika kebanyakan orang diuji dengan kekurangan, Thalhah diuji dengan kelimpahan harta. Tapi ia berhasil melaluinya — bukan dengan menumpuk, tapi dengan membagi.

Berikut enam sisi keteladanannya dalam mengelola uang dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Penuh Cinta dan Tanggung Jawab

Thalhah bukan hanya pemberani di medan perang, tapi juga ayah dan suami yang penuh kasih sayang. Ia menafkahi keluarganya dengan baik dari kekayaan halal hasil perniagaan, kebun, dan investasi tanah.

Ia memperhatikan kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Mereka hidup dalam cukup, namun tidak berlebihan.

Ia tidak pelit kepada keluarga, tapi juga tidak memanjakan mereka dengan kemewahan dunia.

“Harta adalah amanah. Keluarga adalah tanggung jawab. Aku ingin anak-anakku besar dalam keberkahan, bukan hanya dalam limpahan.” – demikian semangat hidupnya.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur, Produktif, dan Visioner

Thalhah bin Ubaidillah adalah salah satu saudagar besar Madinah. Ia berdagang kain, ternak, dan tanah. Ia punya:

Perkebunan luas di Irak dan Madinah

Gudang dan jalur dagang lintas Hijaz

Properti yang terus berkembang


Namun kekayaannya tidak menjadikannya tamak. Ia terkenal jujur dalam transaksi, tidak mengambil keuntungan haram, dan selalu memperhatikan hak orang miskin.

Setiap kali memperoleh keuntungan besar, ia langsung membaginya:

Sebagian untuk keluarga

Sebagian untuk para sahabat miskin

Sebagian untuk zakat dan wakaf


Ia pernah menyumbangkan 700.000 dinar dalam sekali duduk! Dan berkata:

“Aku malu tidur malam, sementara hartaku masih tertahan di rumahku.”



3. Mengelola Uang Soal Utang: Amanah dan Bertanggung Jawab

Thalhah sangat berhati-hati dengan utang. Ia dikenal tidak banyak berutang, karena:

Sumber usahanya lancar

Perputaran bisnisnya sehat

Dan gaya hidupnya tetap sederhana


Namun bila ada yang berutang kepadanya, ia sangat pemaaf. Ia mudah menghapuskan utang orang miskin, bahkan terkadang memberikan lebih dari yang mereka pinjam.

“Aku lebih bahagia melihat orang terbebas dari utang, daripada melihat hartaku bertambah.” – ucapnya suatu hari.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tidak Mengambil Hak Umat

Walaupun kaya dan terpandang, Thalhah tidak pernah mengambil keuntungan dari kas negara. Ia membiayai jihad dan dakwah dari harta pribadinya, dan menolak bayaran dari baitul mal.

Ia tidak pernah menjabat posisi bendahara atau gubernur, karena lebih senang berdakwah dan berdagang. Namun kontribusinya kepada negara sangat besar, terutama:

Menyumbang logistik untuk pasukan Islam

Memberi modal kepada sahabat yang miskin

Menyediakan kebun dan rumah untuk tamu Nabi



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Tidak Tergiur Jabatan

Thalhah tidak tergiur jabatan meski punya pengaruh besar. Ia tidak pernah mengambil gaji dari negara. Dalam Perang Jamal, ia maju bukan karena ambisi kekuasaan, tapi karena keyakinan politik dan kecintaan pada umat.

Saat konflik pecah, Thalhah menyesal dan menarik diri dari pertempuran. Ia syahid sebagai penengah yang mengajak damai, bukan pemburu tahta.

Harta yang ia hasilkan tetap dari bisnisnya — bukan dari posisi atau fasilitas.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Membagi dengan Adil, Memberi Sebelum Ditanya

Menjelang wafat, Thalhah bin Ubaidillah meninggalkan harta yang sangat banyak. Namun ia telah menyiapkan pembagiannya dengan rinci:

Warisan untuk anak dan istri

Wakaf untuk umat

Pembebasan utang orang yang berutang padanya

Pemberian tetap untuk keluarga sahabat


Menurut riwayat, ia meninggalkan:

200.000 dinar tunai

200.000 dirham perak

Kebun-kebun di Madinah dan Irak

Rumah-rumah dan properti sewa


Namun seluruh kekayaan itu dikelola bukan dengan keserakahan, tapi dengan keikhlasan.

Ia tidak membawa hartanya ke kubur, tapi mengirimnya lebih dulu ke akhirat.



Penutup: Kaya Raya, Tapi Tidak Dimiliki Dunia

Thalhah bin Ubaidillah adalah simbol bahwa kekayaan dan surga bisa berjalan beriringan, jika hati tidak dikuasai dunia.

Ia memiliki banyak,
Memberi banyak,
Tapi mengambil sedikit.

Harta tidak membuatnya sombong. Jabatan tidak membuatnya rakus. Dan surga tidak membuatnya malas berbuat.

Ia bukan hanya pebisnis cerdas, tapi dermawan yang ikhlas.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (480) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)