Kesultanan Tempaan Walisongo Jadi Pelopor Perlawanan terhadap Portugis dan Belanda
Ketika Tauhid Diuji oleh Penjajahan
Setiap zaman memiliki ujian keimanan.
Bagi umat Islam di Jawa abad ke-16, ujian itu datang dari arah laut — dari kapal-kapal asing yang membawa bendera salib, senjata meriam, dan senyum diplomasi yang menyembunyikan niat penaklukan. Mereka datang dengan alasan dagang, namun di balik layar, tersembunyi ambisi untuk menguasai tanah, iman, dan jiwa.
Al-Qur’an telah mengingatkan:
> “Dan sungguh, akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)
Dari situlah, kesultanan-kesultanan Islam di Jawa yang lahir dari rahim dakwah Walisongo menghadapi ujian sejarahnya.
Mereka bukan kerajaan biasa. Mereka adalah madrasah tauhid yang menjelma menjadi kekuatan politik — tempat di mana ilmu, iman, dan keberanian bertemu.
Dan ketika ombak penjajahan pertama kali menghempas tanah Jawa, Demak berdiri paling depan.
Kemudian, di generasi berikutnya, Banten mewarisi obor perlawanan itu dengan darah dan doa.
---
Kesultanan Demak: Benteng Islam Pertama yang Menentang Portugis
1. Dari Pesantren ke Istana
Kesultanan Demak bukan lahir dari perang, tetapi dari dakwah dan pendidikan.
Raden Patah, pendirinya, adalah murid utama Sunan Ampel, salah satu dari Walisongo yang membentuk fondasi Islam di Nusantara.
Dari majelis ilmu di Ampel Denta, Surabaya, ia belajar bahwa kekuasaan hanyalah alat, bukan tujuan.
Demak pun berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, sekitar akhir abad ke-15. Ia menjadi wadah bagi murid-murid para wali — dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, hingga Sunan Kudus — untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab.
Maka ketika Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511, Demak tidak melihatnya sebagai urusan ekonomi, tapi panggilan jihad.
Sejarawan Anthony Reid menulis dalam Southeast Asia in the Age of Commerce:
> “Kejatuhan Malaka mengguncang seluruh jaringan Islam di Nusantara. Bagi kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, itu bukan sekadar kehilangan pelabuhan, tetapi kehilangan simbol kedaulatan Islam di laut.”
2. Serangan ke Malaka: Pangeran Sabrang Lor
Atas restu para wali, terutama Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga, Sultan Demak mengirimkan armada laut dari Jepara yang dipimpin oleh Pati Unus, adik ipar Raden Patah.
Serangan pertama dilancarkan pada 1512, namun gagal.
Setahun kemudian, pada 1513, ekspedisi kedua dilakukan dengan ratusan kapal dan ribuan prajurit.
Kapal-kapal itu tidak hanya membawa meriam, tapi juga tekad iman. Di setiap kapal, para santri membaca zikir dan ayat jihad.
> “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas.”
(QS. Al-Baqarah: 190)
Meski Malaka tidak berhasil direbut, serangan itu menggetarkan dunia.
Pati Unus dikenal dengan gelar “Pangeran Sabrang Lor” — sang penyeberang laut utara. Ia menjadi simbol keberanian Islam Jawa yang melampaui batas daratan.
Ibnu Bathuthah, dalam catatan ulang yang dikutip sejarawan lokal, menggambarkan semangat jihad maritim Demak sebagai “gelombang tauhid yang menyapu lautan”.
3. Perang di Sunda Kelapa: Kemenangan Jayakarta (1527)
Dua dekade kemudian, Portugis mencoba peruntungan baru.
Mereka bersekutu dengan Kerajaan Pajajaran untuk membangun benteng di Sunda Kelapa — pelabuhan strategis di barat Jawa. Namun Demak, yang kini dipimpin Sultan Trenggono, tidak tinggal diam.
Ia mengirim seorang ulama sekaligus panglima: Fatahillah (Faletehan), murid dan menantu Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Dari Cirebon, ia bergerak membawa pasukan ke barat.
Pada 22 Juni 1527, Portugis berhasil diusir dan benteng Pajajaran dihancurkan.
Fatahillah menamai pelabuhan itu Jayakarta, yang berarti “kemenangan yang sempurna”.
Tanggal itu kelak dikenang sebagai hari lahir Jakarta — sebuah simbol bahwa ibu kota Indonesia lahir dari perlawanan Islam terhadap penjajahan.
Sunan Gunung Jati menulis dalam pesan dakwahnya kepada para panglima:
> “Jihad tidak hanya di pedang, tapi di niat. Barangsiapa berperang karena Allah, maka setiap langkahnya adalah ibadah.”
4. Ruh Pendidikan Walisongo
Perang-perang Demak bukan hasil ambisi duniawi. Ia lahir dari ruh pendidikan Walisongo, yang menanamkan keseimbangan antara ilmu dan iman.
Para wali mendidik sultan-sultan muda dengan tasawuf, fiqh, dan adab kepemimpinan.
Demak memahami bahwa menegakkan Islam bukan sekadar berkuasa, tetapi membebaskan manusia dari perbudakan — baik terhadap manusia lain, maupun terhadap hawa nafsu.
Maka jihad mereka adalah jihad pembebasan.
Sunan Kalijaga pernah berkata,
> “Keadilan tanpa iman adalah kekerasan. Iman tanpa perjuangan adalah kemalasan.”
---
Kesultanan Banten: Pewaris Ruh Walisongo yang Melawan Belanda
1. Dari Dakwah ke Kekuasaan
Setelah Demak, obor Islam berpindah ke barat.
Di sana, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) — keturunan Rasulullah ï·º dari Hadramaut — mendirikan Kesultanan Cirebon dan kemudian Kesultanan Banten melalui putranya, Maulana Hasanuddin, sekitar tahun 1526.
Sunan Gunung Jati tidak membangun kerajaan untuk mencari kekuasaan, tetapi untuk melindungi dakwah dari tekanan politik Hindu-Pajajaran dan kolonial Eropa.
Banten tumbuh sebagai pelabuhan Islam terbesar di Jawa bagian barat, menjadi simpul perdagangan rempah dari Sumatera hingga Maluku, dan sekaligus pusat studi Islam.
Sejarawan Denys Lombard dalam Le Carrefour Javanais menulis:
> “Banten bukan sekadar pelabuhan, tetapi sebuah peradaban Islam. Di sana, ulama dan saudagar duduk sejajar dengan sultan.”
2. Awal Perseteruan dengan Belanda
Ketika VOC Belanda datang pada awal abad ke-17, mereka datang dengan strategi yang lebih licik daripada Portugis: berdagang sambil menaklukkan.
Mereka menawarkan perjanjian dagang yang pada akhirnya mematikan kedaulatan ekonomi pribumi.
Banten, di bawah Sultan Maulana Yusuf dan kemudian Sultan Abdul Mufakhir, menolak monopoli VOC.
Mereka lebih memilih merdeka dalam kesederhanaan daripada kaya dalam perbudakan.
Sultan Abdul Mufakhir berkata kepada para ulama istana:
> “Bila emas adalah tali pengikat leher umat, maka biarlah kita miskin tapi bebas di sisi Allah.”
3. Puncak Perlawanan: Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683)
Sultan Ageng Tirtayasa adalah puncak dari tempaan ruh Walisongo di Banten.
Ia alim, tegas, dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Di bawah kepemimpinannya, Banten membangun armada laut, memperkuat pertanian, dan menjalin hubungan diplomatik dengan Mekkah, Turki Utsmani, dan Inggris — semua tanpa tunduk pada Belanda.
Namun VOC menganggap Banten ancaman.
Ketika Sultan Ageng memutus hubungan dagang dengan Belanda dan menutup pelabuhan bagi kapal VOC, perang besar pun pecah (1671–1683).
Sultan Ageng memimpin langsung pasukan jihad dari Banten Lama, meneriakkan takbir di tengah hujan meriam.
Namun sebagaimana banyak tragedi besar Islam, kekalahannya datang bukan dari musuh di luar, tapi dari pengkhianatan di dalam.
Putranya sendiri, Sultan Haji, tergoda bujukan VOC dan bersekutu dengan mereka untuk merebut tahta.
Sultan Ageng akhirnya ditangkap dan dipenjara di Batavia hingga wafat.
Namun dalam catatan sejarah, ia tidak disebut kalah.
Ia disebut teguh — karena mempertahankan iman lebih berharga daripada mempertahankan istana.
> “Dan janganlah kamu lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman.”
(QS. Ali Imran: 139)
4. Suara Para Sejarawan dan Ulama
Sejarawan Indonesia, Azyumardi Azra, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, menulis:
> “Banten dan Demak adalah dua simpul awal Islam politik di Jawa. Tapi yang membedakan keduanya adalah ruh spiritualnya: keduanya tidak pernah berperang untuk tahta, melainkan untuk amanah tauhid.”
Ulama Banten, Syekh Yusuf al-Makassari — murid sekaligus penasihat Sultan Ageng — menulis dalam salah satu suratnya dari pengasingan di Cape Town:
> “Kemenangan bukan pada banyaknya pasukan, tapi pada istiqamah di jalan Allah. Siapa yang tetap berpegang pada tauhid, dialah pemenang, meski tubuhnya ditawan.”
---
Refleksi: Rantai Emas Perlawanan Islam di Jawa
Jika Demak adalah api pertama yang menyala, maka Banten adalah bara yang terus menyimpan panasnya.
Keduanya adalah dua sisi dari satu cita-cita: menegakkan Islam dan membebaskan manusia.
Dari keduanya lahir generasi penerus — Mataram dengan Sultan Agung, Ternate dengan Baabullah, hingga Aceh dengan Sultan Iskandar Muda — semuanya berjalan di jalan yang sama: melawan penjajahan atas dasar iman.
Walisongo mungkin telah wafat, tapi madrasah mereka tetap hidup — dalam bentuk kesultanan, pesantren, dan tradisi perjuangan.
Mereka mendidik sultan bukan untuk berkuasa, tapi untuk melayani.
Mereka menanamkan tauhid bukan hanya dalam masjid, tapi dalam pemerintahan dan perdagangan.
Sebagaimana sabda Nabi ï·º:
> “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
---
Epilog: Dari Laut Demak ke Ombak Banten
Sejarah Demak dan Banten bukan sekadar kisah peperangan, melainkan puisi panjang tentang keteguhan tauhid.
Ketika Portugis datang dengan salib, mereka menjawab dengan takbir.
Ketika Belanda datang dengan perjanjian dan tipu daya, mereka menjawab dengan istiqamah dan doa.
Mereka tahu — kemerdekaan sejati bukan saat tanah bebas dari penjajah, tapi saat hati bebas dari ketakutan kepada selain Allah.
Demak dan Banten telah menunjukkan itu.
Mereka adalah hasil tempaan Walisongo — para guru yang membentuk jiwa bangsa sebelum bangsa itu memiliki nama.
Dan dari darah mereka mengalir kesadaran bahwa perjuangan adalah ibadah, dan kemerdekaan adalah bagian dari iman.
> “Dan Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(QS. Al-Hajj: 40)
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif