Kesultanan Demak: Warisan Pertama Jihad Politik Islam di Tanah Jawa
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di ufuk sejarah Nusantara, ketika Majapahit mulai meredup dan Islam mulai menyinari lembah-lembah kepercayaan rakyat, lahirlah sebuah kekuatan baru di utara Jawa. Ia bukan sekadar kerajaan. Ia adalah amanat ruhani dari para wali, sekaligus cita-cita umat untuk membentuk masyarakat yang adil dan bertauhid. Dialah Kesultanan Demak Bintoro—batu pertama dari bangunan panjang jihad Islam melawan penjajahan.
Raden Patah: Raja Santri Pendiri Demak
Didirikan sekitar tahun 1475 M oleh Raden Patah, putra Raja Majapahit dari seorang perempuan Muslim Tionghoa, Kesultanan Demak menjelma menjadi pusat kekuatan Islam pertama di tanah Jawa. Raden Patah bukan sekadar raja; ia adalah murid Wali Songo, dididik dalam hikmah dan keberanian. Ia memulai sesuatu yang belum pernah ada di Jawa: kekuasaan yang berakar dari dakwah, bukan sekadar pedang.
Dari rahim Demak, lahirlah tokoh-tokoh agung seperti:
Pati Unus (Adipati Yunus), sang syuhada laut yang berani menantang Portugis di Malaka;
dan Sultan Trenggana, pemimpin penaklukan yang membawa Islam ke Jawa Timur, menumbangkan sisa-sisa kekuasaan Hindu feodal Majapahit.
Wazir Para Wali: Politik dan Hikmah
Demak tidak bergerak sendiri. Di balik layar kekuasaan, berdiri para ulama sebagai wazir—penasihat ruhani dan strategi. Sunan Kudus adalah salah satu tokoh kunci. Ia bukan hanya ulama, tapi juga arsitek hukum dan strategi militer. Di tangannya, keilmuan bertemu kebijakan, dan fatwa menjadi bagian dari siasat negara.
Sunan Giri, pemimpin Giri Kedaton, berperan sebagai raja spiritual seluruh Jawa. Ia bukan hanya pendukung Demak, tapi penjaga akhlak kekuasaan Islam. Giri memberi restu, sementara Demak mengangkat panji.
Jihad Laut dan Darat: Pati Unus dan Trenggana
Ketika Portugis menancapkan kuku kolonialnya di Malaka, Demak tidak tinggal diam. Pati Unus, dalam usia muda, memimpin ribuan armada kayu melawan meriam Portugis. Dalam dua ekspedisi (1511 dan 1521), ia membuktikan bahwa Islam Jawa bukan hanya untuk dakwah, tapi juga untuk perlawanan.
Meski gugur, ia menjadi syuhada pertama perlawanan Islam Nusantara terhadap penjajahan Eropa.
Sementara itu, Sultan Trenggana menaklukkan sisa-sisa Majapahit, menyatukan pesisir utara, dan memperluas pengaruh Islam dengan pendekatan militer dan budaya. Di tangannya, Islam menjadi kekuatan dominan di Jawa.
Para Wali: Ulama yang Mengangkat Pedang dan Pena
Wali Songo bukan hanya menyebar Islam dengan tembang dan wayang, tapi juga mendidik bangsawan dan rakyat menjadi pejuang sejati. Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan lainnya, mengajar bahwa jihad bukan hanya melawan musuh dengan pedang, tapi juga membersihkan diri, melawan nafsu, dan menegakkan keadilan.
Mereka menanamkan semangat bahwa berjuang menegakkan kalimat Allah adalah bagian dari iman.
“Islam harus dibela dengan pena, lisan, dan pedang.” – Sunan Giri
“Perang ini bukan hanya untuk tanah, tapi untuk menegakkan kalimat Allah.” – Sunan Kudus
Bekal Spiritual: Dzikir Sebelum Teriakan Perang
Sebelum prajurit Demak mengangkat senjata, mereka menunduk dalam dzikir. Hizb al-Bahr dan Hizb al-Nashr mengalir di lidah para santri dan prajurit. Surat Al-Anfal dan Al-Fath dibaca untuk menguatkan jiwa dan melunakkan hati dari kesombongan.
Ulama memimpin shalat hajat dan dzikir berjamaah. Mereka tahu, kekuatan militer hanyalah alat; kemenangan adalah karunia dari Allah.
Tentara dari Pesantren dan Pesisir
Tentara Demak lahir dari pondok-pondok pesantren dan desa-desa pesisir. Mereka adalah santri yang bisa menghafal Al-Qur’an dan menebas musuh. Para eks prajurit Majapahit yang masuk Islam menjadi pelatih militer. Taktik darat dan laut diajarkan — dari medan terbuka hingga pertempuran kapal.
Pasukan dibagi ke dalam satuan berdasarkan mukim dan kiai. Setiap kelompok kecil punya pemimpin ruhani dan militer. Mereka bukan hanya prajurit, tapi juga murid.
Dana dan Senjata dari Umat
Dana perang berasal dari:
1. Wakaf dan infak saudagar Muslim,
2. Harta kerajaan,
3. Pajak pelabuhan Jepara,
4. dan perdagangan rempah-rempah.
Senjata diperoleh dari:
1. Pandai besi lokal: keris, tombak, pedang.
2. Senjata api dan meriam: dibeli dari pedagang Arab, Gujarat, dan Tionghoa Muslim.
3. Rampasan dari Portugis.
4. Demak dan Jepara menjadi pusat produksi senjata dan logistik perlawanan laut.
Jaringan Nusantara dan Dunia Islam
Demak menjalin aliansi dengan:
1. Cirebon dan Banten: saudara seperjuangan dari ajaran Wali Songo.
2. Giri Kedaton: sebagai poros ruhani dan fatwa.
3. Saudagar Arab, Gujarat, dan Tionghoa Muslim: sebagai penghubung teknologi dan informasi.
Dukungan moral bahkan datang dari Kesultanan Mamluk Mesir dan Khilafah Utsmani, yang mendengar seruan jihad dari timur jauh.
Warisan Bagi Nusantara
Perjuangan Demak tidak berhenti ketika istananya runtuh. Sebaliknya, semangatnya hidup dalam:
1. Kesultanan Banten, Mataram, dan Cirebon.
2. Pesantren-pesantren Jawa yang mengajarkan jihad ruhani dan intelektual.
3. Gerakan perlawanan abad 17–20 yang meneladani model jihad Demak: spiritual, terorganisir, dan berwawasan.
Kisah perang dan dakwah Demak hidup dalam tembang, hikayat, dan khutbah Jumat rakyat Jawa.
Dari Tanah Demak, Islam Bangkit Melawan
Kesultanan Demak bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi tentang jalan baru perlawanan Islam: dengan ilmu, dengan iman, dan dengan kesadaran sejarah. Ia tidak sekadar menggantikan Majapahit, tapi meletakkan dasar peradaban Islam di bumi Nusantara.
"Demak membuktikan bahwa negara bisa dibangun dari mimbar dan mihrab, bukan dari ambisi kekuasaan. Bahwa jihad adalah tangga menuju keadilan, bukan alat balas dendam."
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif