basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Nusantara

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Nusantara. Tampilkan semua postingan

Kesultanan Tempaan Walisongo Jadi Pelopor Perlawanan terhadap Portugis dan Belanda Ketika Tauhid Diuji oleh Penjajahan Setiap za...


Kesultanan Tempaan Walisongo Jadi Pelopor Perlawanan terhadap Portugis dan Belanda


Ketika Tauhid Diuji oleh Penjajahan

Setiap zaman memiliki ujian keimanan.
Bagi umat Islam di Jawa abad ke-16, ujian itu datang dari arah laut — dari kapal-kapal asing yang membawa bendera salib, senjata meriam, dan senyum diplomasi yang menyembunyikan niat penaklukan. Mereka datang dengan alasan dagang, namun di balik layar, tersembunyi ambisi untuk menguasai tanah, iman, dan jiwa.

Al-Qur’an telah mengingatkan:

> “Dan sungguh, akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)



Dari situlah, kesultanan-kesultanan Islam di Jawa yang lahir dari rahim dakwah Walisongo menghadapi ujian sejarahnya.
Mereka bukan kerajaan biasa. Mereka adalah madrasah tauhid yang menjelma menjadi kekuatan politik — tempat di mana ilmu, iman, dan keberanian bertemu.

Dan ketika ombak penjajahan pertama kali menghempas tanah Jawa, Demak berdiri paling depan.
Kemudian, di generasi berikutnya, Banten mewarisi obor perlawanan itu dengan darah dan doa.


---

Kesultanan Demak: Benteng Islam Pertama yang Menentang Portugis

1. Dari Pesantren ke Istana

Kesultanan Demak bukan lahir dari perang, tetapi dari dakwah dan pendidikan.
Raden Patah, pendirinya, adalah murid utama Sunan Ampel, salah satu dari Walisongo yang membentuk fondasi Islam di Nusantara.
Dari majelis ilmu di Ampel Denta, Surabaya, ia belajar bahwa kekuasaan hanyalah alat, bukan tujuan.

Demak pun berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, sekitar akhir abad ke-15. Ia menjadi wadah bagi murid-murid para wali — dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, hingga Sunan Kudus — untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab.

Maka ketika Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511, Demak tidak melihatnya sebagai urusan ekonomi, tapi panggilan jihad.
Sejarawan Anthony Reid menulis dalam Southeast Asia in the Age of Commerce:

> “Kejatuhan Malaka mengguncang seluruh jaringan Islam di Nusantara. Bagi kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, itu bukan sekadar kehilangan pelabuhan, tetapi kehilangan simbol kedaulatan Islam di laut.”



2. Serangan ke Malaka: Pangeran Sabrang Lor

Atas restu para wali, terutama Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga, Sultan Demak mengirimkan armada laut dari Jepara yang dipimpin oleh Pati Unus, adik ipar Raden Patah.
Serangan pertama dilancarkan pada 1512, namun gagal.
Setahun kemudian, pada 1513, ekspedisi kedua dilakukan dengan ratusan kapal dan ribuan prajurit.

Kapal-kapal itu tidak hanya membawa meriam, tapi juga tekad iman. Di setiap kapal, para santri membaca zikir dan ayat jihad.

> “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas.”
(QS. Al-Baqarah: 190)



Meski Malaka tidak berhasil direbut, serangan itu menggetarkan dunia.
Pati Unus dikenal dengan gelar “Pangeran Sabrang Lor” — sang penyeberang laut utara. Ia menjadi simbol keberanian Islam Jawa yang melampaui batas daratan.
Ibnu Bathuthah, dalam catatan ulang yang dikutip sejarawan lokal, menggambarkan semangat jihad maritim Demak sebagai “gelombang tauhid yang menyapu lautan”.

3. Perang di Sunda Kelapa: Kemenangan Jayakarta (1527)

Dua dekade kemudian, Portugis mencoba peruntungan baru.
Mereka bersekutu dengan Kerajaan Pajajaran untuk membangun benteng di Sunda Kelapa — pelabuhan strategis di barat Jawa. Namun Demak, yang kini dipimpin Sultan Trenggono, tidak tinggal diam.

Ia mengirim seorang ulama sekaligus panglima: Fatahillah (Faletehan), murid dan menantu Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Dari Cirebon, ia bergerak membawa pasukan ke barat.
Pada 22 Juni 1527, Portugis berhasil diusir dan benteng Pajajaran dihancurkan.

Fatahillah menamai pelabuhan itu Jayakarta, yang berarti “kemenangan yang sempurna”.
Tanggal itu kelak dikenang sebagai hari lahir Jakarta — sebuah simbol bahwa ibu kota Indonesia lahir dari perlawanan Islam terhadap penjajahan.

Sunan Gunung Jati menulis dalam pesan dakwahnya kepada para panglima:

> “Jihad tidak hanya di pedang, tapi di niat. Barangsiapa berperang karena Allah, maka setiap langkahnya adalah ibadah.”



4. Ruh Pendidikan Walisongo

Perang-perang Demak bukan hasil ambisi duniawi. Ia lahir dari ruh pendidikan Walisongo, yang menanamkan keseimbangan antara ilmu dan iman.
Para wali mendidik sultan-sultan muda dengan tasawuf, fiqh, dan adab kepemimpinan.

Demak memahami bahwa menegakkan Islam bukan sekadar berkuasa, tetapi membebaskan manusia dari perbudakan — baik terhadap manusia lain, maupun terhadap hawa nafsu.
Maka jihad mereka adalah jihad pembebasan.

Sunan Kalijaga pernah berkata,

> “Keadilan tanpa iman adalah kekerasan. Iman tanpa perjuangan adalah kemalasan.”




---

Kesultanan Banten: Pewaris Ruh Walisongo yang Melawan Belanda

1. Dari Dakwah ke Kekuasaan

Setelah Demak, obor Islam berpindah ke barat.
Di sana, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) — keturunan Rasulullah ï·º dari Hadramaut — mendirikan Kesultanan Cirebon dan kemudian Kesultanan Banten melalui putranya, Maulana Hasanuddin, sekitar tahun 1526.

Sunan Gunung Jati tidak membangun kerajaan untuk mencari kekuasaan, tetapi untuk melindungi dakwah dari tekanan politik Hindu-Pajajaran dan kolonial Eropa.
Banten tumbuh sebagai pelabuhan Islam terbesar di Jawa bagian barat, menjadi simpul perdagangan rempah dari Sumatera hingga Maluku, dan sekaligus pusat studi Islam.

Sejarawan Denys Lombard dalam Le Carrefour Javanais menulis:

> “Banten bukan sekadar pelabuhan, tetapi sebuah peradaban Islam. Di sana, ulama dan saudagar duduk sejajar dengan sultan.”



2. Awal Perseteruan dengan Belanda

Ketika VOC Belanda datang pada awal abad ke-17, mereka datang dengan strategi yang lebih licik daripada Portugis: berdagang sambil menaklukkan.
Mereka menawarkan perjanjian dagang yang pada akhirnya mematikan kedaulatan ekonomi pribumi.

Banten, di bawah Sultan Maulana Yusuf dan kemudian Sultan Abdul Mufakhir, menolak monopoli VOC.
Mereka lebih memilih merdeka dalam kesederhanaan daripada kaya dalam perbudakan.

Sultan Abdul Mufakhir berkata kepada para ulama istana:

> “Bila emas adalah tali pengikat leher umat, maka biarlah kita miskin tapi bebas di sisi Allah.”



3. Puncak Perlawanan: Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683)

Sultan Ageng Tirtayasa adalah puncak dari tempaan ruh Walisongo di Banten.
Ia alim, tegas, dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Di bawah kepemimpinannya, Banten membangun armada laut, memperkuat pertanian, dan menjalin hubungan diplomatik dengan Mekkah, Turki Utsmani, dan Inggris — semua tanpa tunduk pada Belanda.

Namun VOC menganggap Banten ancaman.
Ketika Sultan Ageng memutus hubungan dagang dengan Belanda dan menutup pelabuhan bagi kapal VOC, perang besar pun pecah (1671–1683).

Sultan Ageng memimpin langsung pasukan jihad dari Banten Lama, meneriakkan takbir di tengah hujan meriam.
Namun sebagaimana banyak tragedi besar Islam, kekalahannya datang bukan dari musuh di luar, tapi dari pengkhianatan di dalam.
Putranya sendiri, Sultan Haji, tergoda bujukan VOC dan bersekutu dengan mereka untuk merebut tahta.

Sultan Ageng akhirnya ditangkap dan dipenjara di Batavia hingga wafat.
Namun dalam catatan sejarah, ia tidak disebut kalah.
Ia disebut teguh — karena mempertahankan iman lebih berharga daripada mempertahankan istana.

> “Dan janganlah kamu lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman.”
(QS. Ali Imran: 139)



4. Suara Para Sejarawan dan Ulama

Sejarawan Indonesia, Azyumardi Azra, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, menulis:

> “Banten dan Demak adalah dua simpul awal Islam politik di Jawa. Tapi yang membedakan keduanya adalah ruh spiritualnya: keduanya tidak pernah berperang untuk tahta, melainkan untuk amanah tauhid.”



Ulama Banten, Syekh Yusuf al-Makassari — murid sekaligus penasihat Sultan Ageng — menulis dalam salah satu suratnya dari pengasingan di Cape Town:

> “Kemenangan bukan pada banyaknya pasukan, tapi pada istiqamah di jalan Allah. Siapa yang tetap berpegang pada tauhid, dialah pemenang, meski tubuhnya ditawan.”




---

Refleksi: Rantai Emas Perlawanan Islam di Jawa

Jika Demak adalah api pertama yang menyala, maka Banten adalah bara yang terus menyimpan panasnya.
Keduanya adalah dua sisi dari satu cita-cita: menegakkan Islam dan membebaskan manusia.

Dari keduanya lahir generasi penerus — Mataram dengan Sultan Agung, Ternate dengan Baabullah, hingga Aceh dengan Sultan Iskandar Muda — semuanya berjalan di jalan yang sama: melawan penjajahan atas dasar iman.

Walisongo mungkin telah wafat, tapi madrasah mereka tetap hidup — dalam bentuk kesultanan, pesantren, dan tradisi perjuangan.
Mereka mendidik sultan bukan untuk berkuasa, tapi untuk melayani.
Mereka menanamkan tauhid bukan hanya dalam masjid, tapi dalam pemerintahan dan perdagangan.

Sebagaimana sabda Nabi ï·º:

> “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)




---

Epilog: Dari Laut Demak ke Ombak Banten

Sejarah Demak dan Banten bukan sekadar kisah peperangan, melainkan puisi panjang tentang keteguhan tauhid.
Ketika Portugis datang dengan salib, mereka menjawab dengan takbir.
Ketika Belanda datang dengan perjanjian dan tipu daya, mereka menjawab dengan istiqamah dan doa.

Mereka tahu — kemerdekaan sejati bukan saat tanah bebas dari penjajah, tapi saat hati bebas dari ketakutan kepada selain Allah.

Demak dan Banten telah menunjukkan itu.
Mereka adalah hasil tempaan Walisongo — para guru yang membentuk jiwa bangsa sebelum bangsa itu memiliki nama.
Dan dari darah mereka mengalir kesadaran bahwa perjuangan adalah ibadah, dan kemerdekaan adalah bagian dari iman.

> “Dan Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(QS. Al-Hajj: 40)

Raja Zulkarnain dalam Filologi Melayu Prolog: Ketika Mitos Menjadi Bahasa Kekuasaan Dalam dunia Melayu klasik, mitos bukan sekad...


Raja Zulkarnain dalam Filologi Melayu


Prolog: Ketika Mitos Menjadi Bahasa Kekuasaan

Dalam dunia Melayu klasik, mitos bukan sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah bahasa legitimasi, alat yang menenun kekuasaan dengan kesucian, darah raja dengan cahaya langit. Di antara mitos paling abadi yang menembus zaman itu adalah kisah Iskandar Zulkarnain, sosok agung yang disebut dalam Al-Qur’an (QS. Al-Kahfi: 83–98) sebagai raja yang “diberi kekuasaan di bumi” dan “menempuh perjalanan ke arah matahari terbit dan terbenam”.

Bagi bangsa Arab, Zulkarnain adalah simbol raja ideal yang bijak dan menegakkan keadilan. Namun, bagi dunia Melayu-Islam, terutama sejak abad ke-15, figur ini menjelma menjadi Raja Zulkarnain, leluhur mitologis dari para penguasa, pembuka jalan bagi terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam seperti Melaka, Aceh, dan Johor.

Dalam Sejarah Melayu (Sulalat al-Salatin), kisah itu ditulis dengan penuh kemegahan: “Maka adalah raja yang bernama Iskandar Zulkarnain itu menaklukkan segala negeri, daripada Maghrib sampai ke Mashriq. Maka dari keturunannya datanglah segala raja yang besar-besar di dunia ini.”

Dengan kalimat seperti ini, sebuah identitas politik lahir — bukan sekadar pengakuan atas darah keturunan, melainkan simbol bahwa kekuasaan Melayu berakar dari wahyu, dari sejarah Islam universal.

Namun, apakah kisah ini hanya mitos? Ataukah ia adalah cermin dari cara umat Melayu memahami dirinya di tengah perubahan sejarah?
Pertanyaan itulah yang dijawab secara tajam oleh dua sejarawan Islam Nusantara terkemuka: Jajat Burhanudin dan Azyumardi Azra.


---

Islamisasi dan Filologi Melayu: Menyapa Dunia yang Berlapis

Kedua tokoh ini membaca teks Melayu bukan semata sebagai karya sastra, tetapi sebagai dokumen kebudayaan. Dalam pandangan mereka, hikayat, silsilah, dan sejarah istana adalah arena di mana Islam, tradisi lokal, dan politik bernegara saling bertemu.

Azyumardi Azra, dalam karya-karyanya tentang jaringan ulama dan Islamisasi Nusantara, melihat bahwa kisah-kisah seperti Zulkarnain merupakan bagian dari arus besar transmisi budaya Islam dari Timur Tengah dan India ke dunia Melayu. Melalui ulama, pedagang, dan penulis, cerita Qur’ani dan legenda Islam diterjemahkan menjadi bagian dari identitas lokal.

Sedangkan Jajat Burhanudin, dalam bukunya Ulama dan Kekuasaan di Nusantara, menunjukkan bahwa teks-teks Melayu yang menyebut Zulkarnain adalah instrumen politik dan spiritual. Ia bukan hanya kisah, melainkan simbol yang digunakan oleh istana untuk memperkuat wibawa dan legitimasi raja.

Dengan kata lain, filologi Melayu tidak bisa dibaca tanpa memahami kekuasaan. Setiap kata dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain atau Sejarah Melayu adalah gema dari pertarungan antara agama, budaya, dan ambisi manusia.


---

Jajat Burhanudin: Zulkarnain sebagai Bahasa Kekuasaan

Bagi Jajat Burhanudin, Zulkarnain adalah arsitektur imajinatif kekuasaan Islam Melayu. Dalam narasi istana, raja Melayu bukan sekadar penguasa duniawi, tetapi juga zill Allah fi al-alam — bayangan Allah di bumi. Untuk mengokohkan klaim itu, diperlukan silsilah yang mulia, dan Zulkarnain menjadi figur yang sempurna: raja yang disebut Al-Qur’an, pembela keadilan, penakluk bangsa kafir, dan pelindung umat.

Dalam salah satu analisisnya, Burhanudin menulis bahwa raja-raja Melayu “meminjam simbol Islam untuk menjadikan kekuasaan mereka tampak sakral, tetapi tetap berpijak pada adat.” Islam, dalam pengertian ini, bukan hanya agama ritual, tetapi bahasa politik yang memberi bentuk pada cara kekuasaan dijalankan.

Lihatlah bagaimana dalam Sejarah Melayu, keturunan raja-raja Palembang dikisahkan berasal dari Bukit Siguntang, tempat turunnya keturunan Iskandar Zulkarnain. Maka raja yang berkuasa tidak hanya menjadi anak manusia, tetapi juga anak sejarah ilahi.

Burhanudin membaca ini bukan sebagai “penipuan sejarah”, melainkan sebagai cara masyarakat Melayu memahami kekuasaan secara spiritual. Ia menulis:

> “Raja tidak dilihat sekadar manusia, tetapi cermin dari langit yang memantulkan cahaya Tuhan di bumi.”



Dalam pandangan ini, mitos Zulkarnain menjadi alat komunikasi antara dunia langit dan dunia manusia. Sebuah metafora yang menyatukan iman, budaya, dan politik dalam satu bahasa.


---

Azyumardi Azra: Zulkarnain sebagai Jembatan Budaya Islam

Azyumardi Azra membaca legenda Zulkarnain dari sisi lain. Ia tidak terlalu fokus pada legitimasi kekuasaan, tetapi pada perjalanan ide dan transmisi budaya Islam.

Menurutnya, kisah Zulkarnain masuk ke dunia Melayu melalui jaringan ulama dan naskah yang menyebar dari India, Persia, dan Arab. Dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain, tokoh ini menjadi representasi dari raja ideal Islam yang berilmu, berakhlak, dan berdaulat.

Bagi Azra, adopsi terhadap figur Zulkarnain menunjukkan kemampuan Islam Melayu untuk mengislamkan simbol lama tanpa menghapus akar lokalnya. Dengan cara ini, dunia Melayu menjadi bagian dari kosmos Islam tanpa kehilangan ke-Melayu-annya.

Azra menulis bahwa hikayat-hikayat seperti ini adalah “jembatan kultural yang menghubungkan peradaban Islam dengan kebudayaan Nusantara.” Di dalamnya, kisah Al-Qur’an bertemu dengan adat raja, dan bahasa Arab dipeluk dalam aksara Jawi.

Dalam perspektif Azra, penggunaan tokoh seperti Zulkarnain bukanlah bentuk imitasi, tetapi kreativitas budaya Islam lokal. Dunia Melayu tidak menyalin Timur Tengah, tetapi menafsir ulangnya dengan rasa dan sejarah sendiri.


---

Zulkarnain: Antara Mitos dan Sejarah

Baik Azra maupun Burhanudin sepakat bahwa sosok Zulkarnain dalam teks Melayu tidak dapat dipahami secara literal. Ia bukan klaim genealogis yang dapat diverifikasi secara ilmiah, melainkan konstruksi simbolik — semacam “sandi sejarah” yang memuat nilai dan arah peradaban.

Dalam tradisi filologi, hal ini dikenal sebagai “genealogi sakral”: cara suatu masyarakat membangun jati diri melalui mitos keturunan dari tokoh ilahi atau legendaris. Dalam tradisi Arab, kabilah Quraisy mengklaim garis keturunan dari Nabi Ibrahim; dalam tradisi Eropa, raja-raja mengklaim turunan dari dewa-dewi; dalam dunia Melayu, para raja mengaitkan diri dengan Zulkarnain.

Tetapi, yang menarik adalah fungsi sosial dan spiritual dari mitos itu. Dalam masyarakat Melayu-Islam, raja dipandang sebagai penjaga keseimbangan antara langit dan bumi. Maka, mengaitkan dirinya dengan Zulkarnain berarti mengambil tanggung jawab kosmik: menegakkan keadilan, menjaga agama, dan menata dunia.

Di sinilah nilai reflektifnya.
Mitos Zulkarnain bukan sekadar legitimasi kekuasaan, tetapi juga tuntutan moral. Seorang raja yang mengaku keturunan Zulkarnain dituntut untuk meniru keadilan dan ketakwaannya.

Seperti yang tercermin dalam ayat Al-Qur’an:

> “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi, dan Kami telah memberinya jalan untuk mencapai segala sesuatu...”
(QS. Al-Kahfi: 84)



Ayat ini bukan hanya menegaskan kekuasaan, tetapi juga amanah. Zulkarnain menaklukkan dunia bukan dengan keserakahan, melainkan dengan keadilan. Dan nilai itulah yang dijadikan cermin oleh para raja Melayu.


---

Simbolisme dan Politik Identitas

Dari sudut pandang politik, kedua sejarawan ini melihat bahwa legenda Zulkarnain memainkan peran strategis dalam membentuk identitas kolektif.

Burhanudin menekankan bahwa melalui simbol-simbol Islam seperti Zulkarnain, kekuasaan lokal menjadi tampak universal. Raja yang sebelumnya hanya memerintah wilayah kecil menjadi bagian dari sejarah besar Islam. Dengan kata lain, mitos ini adalah strategi globalisasi spiritual dalam bentuk pra-modern.

Sementara Azra melihatnya sebagai upaya internalisasi nilai Islam. Ketika nama “Iskandar Shah” atau “Zulkarnain Shah” muncul dalam gelar raja-raja Melaka dan Aceh, itu menunjukkan bahwa Islam bukan lagi agama asing, tetapi sudah menjadi bagian dari identitas istana dan rakyat.

Keduanya sepakat bahwa mitos ini memiliki daya cipta yang besar. Ia menulis sejarah bukan dengan pena fakta, tetapi dengan pena makna.


---

Dari Istana ke Naskah: Teks sebagai Cermin Zaman

Bukti filologis paling nyata dari kehadiran Zulkarnain dalam tradisi Melayu adalah teks-teks seperti:

Hikayat Iskandar Zulkarnain (abad ke-16)

Sejarah Melayu / Sulalat al-Salatin

Hikayat Aceh dan Tuhfat al-Nafis


Dalam teks-teks ini, Zulkarnain tampil sebagai sosok penakluk yang saleh, penyebar agama, dan pelindung umat manusia dari Ya’juj dan Ma’juj. Namun yang lebih penting, ia berperan sebagai prototipe raja Islam Melayu — berilmu, adil, dan dikelilingi ulama.

Burhanudin membaca teks ini sebagai “peta kekuasaan simbolik” yang menunjukkan bagaimana Islam dijadikan sumber wibawa.
Sedangkan Azra melihatnya sebagai “peta spiritual” — naskah-naskah itu membentuk cara masyarakat Melayu memahami dunia dan sejarahnya sendiri.

Dua pandangan ini, jika dipadukan, menunjukkan bahwa filologi Melayu bukan hanya studi tentang teks, tetapi studi tentang jiwa: bagaimana bangsa menulis dirinya melalui kisah dan iman.


---

Refleksi: Jejak Zulkarnain dalam Diri Melayu

Apabila kita menatap lebih jauh, kisah Zulkarnain sebenarnya menggambarkan pergulatan abadi manusia Melayu: antara takdir dan ikhtiar, antara sejarah dan iman.

Zulkarnain adalah raja penjelajah. Ia menempuh batas dunia, bukan demi kekuasaan, tetapi untuk menegakkan keadilan. Itulah pesan spiritual yang menjadi dasar bagi para penulis Melayu ketika mengadaptasi kisahnya: bahwa kekuasaan sejati bukanlah milik darah, tetapi milik nurani yang tunduk kepada Allah.

Dalam konteks kini, pandangan Burhanudin dan Azra mengingatkan kita bahwa memahami sejarah tidak cukup dengan mengumpulkan fakta. Kita perlu membaca makna-makna yang tersembunyi di balik mitos. Karena di sanalah bangsa menyembunyikan harapannya.

Seperti halnya Zulkarnain yang membangun tembok untuk melindungi manusia dari Ya’juj dan Ma’juj, demikian pula para ulama dan penulis Melayu membangun “tembok makna” — untuk melindungi nilai Islam di tengah arus zaman.


---

Penutup

Zulkarnain dalam filologi Melayu adalah lebih dari sekadar sosok sejarah; ia adalah simbol peradaban.
Ia menjelma dalam bahasa Jawi, hidup dalam hikayat, diucapkan dalam khutbah, dan dijadikan nama raja.
Melalui dirinya, dunia Melayu memandang dirinya sebagai bagian dari sejarah Islam universal — sebuah dunia yang berpusat pada iman, keadilan, dan pengetahuan.

Jajat Burhanudin mengajarkan kita membaca Zulkarnain sebagai bahasa kekuasaan,
sedangkan Azyumardi Azra mengajarkan kita membacanya sebagai bahasa budaya dan spiritualitas.
Dan di antara keduanya, kita menemukan keseimbangan:
sebuah pandangan bahwa mitos tidak menipu, melainkan menuntun.

Maka, sebagaimana firman Allah dalam Al-Kahfi:

> “Katakanlah: Aku akan bacakan kepadamu cerita tentang dia (Zulkarnain).”
(QS. Al-Kahfi: 83)



Ayat ini bukan sekadar undangan membaca kisah,
tetapi juga ajakan untuk membaca diri sendiri —
karena dalam setiap kisah Zulkarnain,
tercermin pula kisah manusia Melayu
yang mencari Tuhan di antara sejarah dan kekuasaan.

Membaca Gejolak Sejarah di Era Mataram Islam 1. Awal Sejarah: Dari Pesisir ke Pedalaman Dalam penelusuran sejarah Jawa, baik De ...


Membaca Gejolak Sejarah di Era Mataram Islam



1. Awal Sejarah: Dari Pesisir ke Pedalaman

Dalam penelusuran sejarah Jawa, baik De Graaf maupun Ricklefs sepakat bahwa Kesultanan Mataram bukanlah kerajaan yang lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari akar sejarah panjang — dari Islamisasi pesisir abad ke-15 yang dibawa oleh Walisongo, menuju Islam politik pedalaman abad ke-16.

De Graaf, dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, menggambarkan bahwa Mataram muncul di tengah kekosongan kekuasaan setelah Demak dan Pajang melemah. Ia menelusuri bagaimana Senapati, seorang bangsawan bawahan Pajang, memanfaatkan kekuatan spiritual dan politik lokal untuk menegakkan kekuasaan baru di pedalaman Jawa.

Bagi De Graaf, Mataram adalah fenomena politik: kelanjutan dari sistem kerajaan Jawa-Hindu yang diislamkan. Islam hadir sebagai legitimasi moral kekuasaan, tetapi struktur politiknya masih bersifat tradisional: ada wahyu keprabon (hak ilahi untuk memerintah), peran kiai dan ulama istana, serta ritual yang menggabungkan unsur lama dan baru.

Namun, Ricklefs, dalam Sejarah Islamisasi Jawa dan Islamisation and Its Opponents in Java, melihat dimensi yang lebih sosial dan ideologis. Bagi Ricklefs, Mataram bukan sekadar transformasi politik, melainkan puncak dari sintesis antara Islam dan budaya Jawa.
Ia menulis bahwa “pada masa Sultan Agung, Islam bukan lagi sekadar ajaran pesisir, tetapi telah menjadi sistem etika yang menyatu dalam tatanan kekuasaan, bahasa, dan seni istana.”

Dengan kata lain, De Graaf memandang bagaimana Mataram berdiri, sedangkan Ricklefs menjelaskan mengapa Mataram memiliki jiwa.


---

2. Panembahan Senapati: Sang Perintis Pedalaman

Panembahan Senapati Ingalaga adalah sosok yang menarik perhatian dua sejarawan ini.
De Graaf menggambarkannya dengan sangat rinci: seorang penguasa yang penuh strategi, menguasai diplomasi dan kekuatan spiritual. Ia menelusuri kisah-kisah mitologis Senapati, seperti pertemuannya dengan Ratu Kidul, bukan sebagai legenda kosong, tetapi sebagai simbol legitimasi. Dalam tafsir De Graaf, mitos itu menandai “penggabungan antara kekuasaan duniawi dan mistik sebagai alat kendali sosial.”

Namun, Ricklefs membaca mitos ini lebih dalam secara sosiologis. Ia melihatnya sebagai upaya Islam menegosiasikan budaya lama tanpa menghancurkannya. Islamisasi Jawa berjalan inklusif, bukan revolusioner.
Ricklefs menulis bahwa masyarakat Jawa abad ke-16 tidak meninggalkan kepercayaan lamanya secara tiba-tiba, melainkan “mengislamkan ulang” makna-makna lokal.
Dalam konteks ini, Senapati bukan hanya pendiri kerajaan, tapi mediator antara dunia lama dan dunia baru — antara Jawa dan Islam.


---

3. Sultan Agung: Puncak dan Paradox Mataram

Dalam pandangan De Graaf, masa Sultan Agung (1613–1645) adalah puncak kekuasaan Mataram.
Ia menulis buku Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, yang menggambarkan seorang penguasa dengan ambisi luar biasa: menaklukkan seluruh Jawa, menyerang Batavia (VOC), memperluas pengaruh hingga Madura dan Blambangan.
De Graaf menekankan strategi militer dan politik Agung, namun juga menyadari kontradiksi dalam ambisinya — “Sultan Agung lebih berhasil menaklukkan hati rakyat Jawa daripada menaklukkan Belanda.”

Sementara itu, Ricklefs membaca Sultan Agung bukan hanya sebagai penakluk, tetapi sebagai pemadu kebudayaan Islam dan Jawa.
Ia menguraikan bahwa Agung menegaskan identitas Mataram sebagai Islam kejawen: menulis kalender Jawa-Islam (perpaduan Hijriah dan Saka), mengislamkan ritual keraton, memperkuat peran ulama, namun tetap mempertahankan kosmologi Jawa.
Dalam pandangan Ricklefs, di sinilah kebesaran sekaligus paradoks Mataram: Islam masuk ke jantung kebudayaan, tetapi tidak seluruhnya mampu mengubah struktur kekuasaan feodal yang diwarisi dari masa Hindu-Buddha.

Jika De Graaf menyorot politik Sultan Agung yang gagal menaklukkan VOC, Ricklefs melihat spirit Sultan Agung yang berhasil menaklukkan hati umat Jawa — menjadikan Islam sebagai etika sosial baru yang melampaui senjata.


---

4. Mangkurat dan Keruntuhan: Dari Krisis Moral ke Kolonialisme

Setelah Sultan Agung wafat, Mataram perlahan runtuh. De Graaf menulis kisah tragis itu dalam Runtuhnya Istana Mataram, dengan nuansa yang lebih gelap.
Ia menggambarkan masa pemerintahan Amangkurat I (1646–1677) sebagai periode intrik, korupsi, dan kekejaman. Raja membunuh para ulama yang menentang, memenjarakan bangsawan, dan kehilangan dukungan rakyat.
Dalam tafsir De Graaf, inilah momen degenerasi politik Mataram, di mana kesetiaan berganti dengan ketakutan, dan agama dijadikan simbol, bukan kekuatan moral.

Ricklefs menafsirkan peristiwa ini dari sisi yang lebih sosial. Ia menulis bahwa setelah masa Sultan Agung, terjadi ketegangan antara Islam rakyat dan Islam istana.
Ulama yang dulunya dekat dengan kekuasaan mulai menjauh, muncul gerakan spiritual yang menolak absolutisme raja, dan pada akhirnya, kolonialisme VOC memanfaatkan celah ini untuk menguasai Jawa.

Bagi Ricklefs, kehancuran Mataram bukan sekadar politik, tapi kehilangan ruh.
Ketika nilai Islam yang hidup di hati rakyat tak lagi tercermin di istana, maka kekuasaan kehilangan legitimasi ilahinya.


---

5. Dua Cara Membaca Sejarah: Politik dan Jiwa

Kedua sejarawan ini memiliki gaya yang berbeda, tetapi saling melengkapi.
De Graaf adalah arsitek kronologi: ia membangun narasi dari data, arsip, dan dokumen VOC. Ia cermat dalam menggambarkan peristiwa, tahun, nama, dan kronologi perang.
Sedangkan Ricklefs adalah penafsir makna: ia menulis dengan kesadaran historis bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa berkuasa, tapi bagaimana kekuasaan dipahami oleh rakyatnya.

De Graaf menulis dari sisi luar istana, memotret pergolakan yang tampak.
Ricklefs menulis dari sisi dalam masyarakat, menelusuri dinamika iman dan identitas.
De Graaf menjelaskan bagaimana Mataram jatuh, Ricklefs menjelaskan mengapa Mataram tetap hidup dalam jiwa Islam Jawa.


---

6. Refleksi: Islam, Kekuasaan, dan Peradaban Jawa

Jika menelusuri dua karya besar ini dengan hati yang jernih, kita menemukan benang merah yang menggetarkan:
Bahwa Islamisasi Jawa tidak pernah berhenti di masjid atau pesantren, tetapi mengalir ke struktur politik, ekonomi, dan seni pemerintahan.

Walisongo meletakkan fondasi tauhid, Demak menegakkannya dalam negara, dan Mataram mewarisinya dalam kebudayaan.
Namun, setiap kali Islam hanya menjadi simbol legitimasi kekuasaan, dan tidak lagi menjadi ruh kepemimpinan, maka sejarah berulang: kemegahan berubah menjadi keruntuhan.

Kita belajar dari De Graaf bahwa politik tanpa moral adalah kerapuhan.
Dan kita belajar dari Ricklefs bahwa moral tanpa institusi adalah ketidakberdayaan.
Keduanya menuntun kita memahami bahwa peradaban Islam Jawa berdiri di antara dua kutub: iman dan kekuasaan, pesantren dan istana, spiritualitas dan strategi.


---

7. Penutup: Mataram sebagai Cermin Diri

Hari ini, ketika kita membaca kembali Mataram melalui mata dua sejarawan ini, kita sesungguhnya sedang membaca jiwa bangsa sendiri.
Sebab dalam setiap periode sejarahnya, selalu ada pertanyaan yang sama:
Apakah kekuasaan digunakan untuk menegakkan kebenaran, atau hanya membungkusnya?
Apakah Islam menjadi sumber keadilan, atau sekadar ornamen politik?

De Graaf memberi kita peta masa lalu, Ricklefs memberi kita cermin masa depan.
Keduanya sepakat — meski tak pernah menulisnya secara eksplisit — bahwa peradaban Islam tidak akan bertahan oleh kekuatan pedang, tetapi oleh kekuatan nurani.

Sebagaimana Sultan Agung menulis dalam petuahnya:

> “Negeri tidak akan kokoh dengan pasukan, jika hati rakyat tidak percaya kepada pemimpinnya.”



Dan sebagaimana Islam datang pertama kali ke Jawa: bukan dengan perang, tetapi dengan ilmu, akhlak, dan keteladanan.

Mengislamkan Jawa: Menurut Sejarawan Belanda dan Nusantara  1. Pendahuluan: Sebuah Pulau yang Tidak Diam Pulau Jawa tidak pernah...


Mengislamkan Jawa: Menurut Sejarawan Belanda dan Nusantara 


1. Pendahuluan: Sebuah Pulau yang Tidak Diam

Pulau Jawa tidak pernah menjadi tanah kosong yang pasif menunggu peradaban datang. Ia adalah tanah yang hidup—di mana agama, kekuasaan, dan kebudayaan silih berganti mencari bentuk. Ketika Islam tiba, ia tidak datang dengan pedang, melainkan dengan pelita ilmu, lisan yang lembut, dan tangan yang bekerja.

Buku Mengislamkan Jawa karya M.C. Ricklefs (Islamization and Its Opponents in Java, 2006) memaparkan dengan tajam proses panjang ini—bukan sekadar perpindahan agama, tetapi transformasi peradaban. Ricklefs menolak pandangan simplistik bahwa Islam datang ke Jawa hanya karena perdagangan, melainkan sebagai kekuatan sosial dan spiritual yang terus berinteraksi dengan budaya lokal hingga membentuk “Islam Jawa” yang khas.

Namun di balik itu, Azyumardi Azra dan Mansur Suryanegara memberi kedalaman lain: bahwa Islamisasi di Jawa bukan sekadar hasil asimilasi budaya, melainkan strategi dakwah terencana yang digerakkan oleh jaringan ulama internasional dan visi politik tauhid. Di sinilah kisah Walisongo menemukan konteksnya, bukan sebagai dongeng mistik, tapi sebagai proyek peradaban.


---

2. Islamisasi Menurut Ricklefs: Antara Pengaruh dan Perlawanan

Ricklefs menulis bahwa proses Islamisasi Jawa berlangsung selama lima abad, dimulai sejak abad ke-14 hingga ke-19. Dalam pandangannya, Islam tidak langsung menggantikan sistem kepercayaan lama (Hindu-Buddha atau animisme), melainkan hidup berdampingan dan bernegosiasi dengannya. Hasilnya adalah sinkretisme — Islam yang “Jawa,” dan Jawa yang “Islam.”

Ricklefs membagi proses itu menjadi tiga tahap besar:

1. Tahap Penanaman Awal (abad ke-14–15)
Islam hadir melalui jalur perdagangan dan dakwah damai. Kota-kota pelabuhan seperti Gresik, Tuban, dan Demak menjadi pusat penyebaran pertama. Di sini, tokoh seperti Maulana Malik Ibrahim dan Walisongo memainkan peran vital.


2. Tahap Integrasi dan Kekuasaan (abad ke-16–17)
Islam mulai menjadi kekuatan politik melalui Kesultanan Demak, Pajang, dan Mataram. Proses Islamisasi mulai menembus struktur sosial dan kekuasaan, menggantikan sisa-sisa Majapahit.


3. Tahap Tantangan dan Re-Islamisasi (abad ke-18–19)
Muncul gelombang baru Islamisasi dari pesantren dan tarekat. Para ulama menegaskan kembali nilai-nilai ortodoksi, menolak sinkretisme, dan melahirkan gerakan sosial keagamaan. Namun pada masa yang sama, muncul pula resistensi dari kalangan priyayi dan pengaruh kolonial Belanda.



Bagi Ricklefs, konflik batin dan sosial antara “Islam murni” dan “Jawa tradisional” menjadi ciri khas sejarah spiritual Jawa hingga masa modern.


---

3. Azyumardi Azra: Islamisasi sebagai Jaringan Intelektual

Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (1994) memberikan sudut pandang yang berbeda. Ia menegaskan bahwa Islamisasi Jawa bukanlah proses lokal yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari jaringan intelektual Islam global.

Para ulama Nusantara belajar di Haramain (Mekah dan Madinah), lalu kembali membawa pembaruan ilmu, tarekat, dan semangat tajdid. Mereka tidak hanya mengajarkan fikih dan tasawuf, tetapi juga etos perlawanan terhadap kezaliman. Dari sinilah muncul pesantren-pesantren awal di Jawa—bukan hanya pusat pendidikan agama, tetapi juga benteng sosial dan politik.

Menurut Azra, Walisongo harus dilihat dalam konteks jaringan ini. Mereka bukan hanya sembilan wali lokal, melainkan representasi misi dakwah internasional yang menyatukan spiritualitas, ilmu, dan politik. Dakwah mereka bukan sekadar Islamisasi kebudayaan, tapi transformasi dunia batin dan sosial masyarakat Jawa agar sesuai dengan prinsip tauhid dan keadilan sosial.

Dengan demikian, Islamisasi versi Azra lebih luas dari sekadar “sinkretisme” ala Ricklefs. Ia adalah proses ideologis yang cerdas, lembut, dan terstruktur—mengubah akidah sekaligus struktur kekuasaan.


---

4. Mansur Suryanegara: Islamisasi dan Jiwa Jihad Nusantara

Sementara itu, Prof. Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah menolak keras pandangan kolonial dan orientalis yang memisahkan Islam dari perlawanan politik. Ia menegaskan bahwa sejak awal Islamisasi, jiwa jihad melawan penindasan telah mengakar dalam dakwah para ulama.

Menurutnya, Kesultanan Demak adalah contoh paling awal dari sintesis antara dakwah, ilmu, dan jihad. Raden Patah bukan sekadar raja, tetapi murid Walisongo yang melanjutkan visi dakwah Rasulullah ï·º: membangun masyarakat tauhid dan menegakkan keadilan. Karena itu, Demak bukan kerajaan etnis Jawa, melainkan negara Islam pertama di Nusantara.

Demak memerangi Portugis di Malaka dan Sunda Kelapa bukan karena ekspansi ekonomi semata, tapi karena misi suci melawan penjajahan atas umat Islam. Dari Demak, lahir Banten dan Cirebon yang kelak meneruskan semangat itu menghadapi Belanda.

Mansur menulis, “Islam di Jawa tidak tumbuh dari akulturasi pasif, tetapi dari semangat dakwah yang menolak tunduk pada kekuasaan zhalim.”

Dengan kata lain, di tangan para wali dan kesultanan Islam, Islamisasi adalah juga perlawanan spiritual dan politik terhadap segala bentuk penjajahan—baik penjajahan akidah maupun penjajahan kolonial.


---

5. Dari Demak ke Banten: Dakwah yang Menjadi Kekuatan

Demak adalah mercusuar Islamisasi pertama yang mengubah wajah Jawa. Di bawah Raden Patah, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga, Islam tidak hanya disebarkan lewat pengajian, tapi juga melalui seni, sastra, dan ekonomi. Bahkan sistem pemerintahan Demak diilhami oleh konsep syura (musyawarah) dan keadilan Islam.

Namun ketika Demak melemah, Banten mengambil peran. Di bawah Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten menjadi pusat Islamisasi dan perdagangan internasional yang memadukan syariat, ilmu, dan ekonomi.

Ricklefs melihat Banten sebagai kerajaan kosmopolitan yang tetap memelihara tradisi lokal. Tapi Mansur dan Azra melihatnya sebagai benteng jihad ekonomi dan politik Islam yang menghadapi monopoli VOC Belanda. Ketika Sultan Ageng menolak tunduk kepada Belanda, ia tidak sekadar mempertahankan kekuasaan, tetapi menegakkan marwah Islam terhadap penindasan kafir asing.


---

6. Pesantren dan Ulama: Penjaga Jiwa Islamisasi

Dalam tahap berikutnya, pesantren menjadi kelanjutan misi Islamisasi yang dimulai Walisongo. Ricklefs mencatat bahwa abad ke-18 hingga 19 merupakan era kebangkitan re-Islamisasi, di mana pesantren seperti Tegalsari, Termas, dan Jampes menjadi pusat ortodoksi Islam.

Azyumardi Azra menafsirkan fenomena ini sebagai hasil dari konektivitas ulama Jawa dengan jaringan internasional Timur Tengah.
Sedangkan Mansur melihatnya sebagai bukti bahwa Islamisasi tidak pernah berhenti, hanya berganti medan: dari istana ke pesantren, dari pedang ke pena, dari perang fisik ke jihad ilmu.

Ulama seperti Kiai Mutamakkin, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi bukti bahwa ruh Islamisasi di Jawa adalah kesinambungan antara ilmu, tasawuf, dan perjuangan.


---

7. Dialektika Islam dan Kebudayaan Jawa

Salah satu kekuatan buku Mengislamkan Jawa adalah kemampuannya menunjukkan kompleksitas hubungan antara Islam dan budaya Jawa. Bagi Ricklefs, Islam di Jawa bukan Islam Arab, tapi Islam yang hidup di tanah Jawa, berbicara dalam bahasa simbol, dan berdialog dengan alam pikir lokal.

Namun bagi Azra dan Mansur, hal ini harus dipahami dengan hati-hati. Islam memang lentur terhadap budaya, tapi tidak tunduk padanya. Islamisasi Jawa berhasil bukan karena kompromi tanpa batas, melainkan karena kemampuan Islam menyucikan budaya tanpa mencabut akar kemanusiaannya.

Walisongo memahami hal ini dengan luar biasa. Mereka tidak menghancurkan candi, tapi mengubahnya menjadi pesantren. Mereka tidak menolak gamelan, tapi menanamkan nilai tauhid di dalamnya. Inilah seni dakwah yang membangun, bukan menghapus.


---

8. Kolonialisme dan Tantangan Islamisasi

Ricklefs menulis bahwa pada masa kolonial, Islam menghadapi dua tantangan besar: sekularisasi kolonial dan modernisme Barat. Pemerintah Belanda berusaha memisahkan Islam dari politik dan menekan kekuatan pesantren.

Namun seperti dicatat oleh Mansur Suryanegara, kebijakan itu justru memperkuat semangat jihad dan kemandirian umat. Dari pesantren-pesantren itulah lahir tokoh-tokoh perlawanan seperti Pangeran Diponegoro, Kiai Haji Zainal Musthafa, dan Kiai Hasyim Asy’ari.

Islamisasi pun memasuki babak baru: dari dakwah menjadi perlawanan nasional.


---

9. Refleksi: Dari Islamisasi ke Kebangkitan Umat

Jika Ricklefs menutup kajiannya dengan menyoroti pergeseran antara “Islam santri” dan “Islam abangan,” maka refleksi Azra dan Mansur justru melihat harapan kebangkitan Islam di Jawa.

Islamisasi bukan masa lalu, tetapi proses yang terus berjalan. Setiap generasi Jawa akan terus mengalami pergulatan antara iman dan adat, antara globalisasi dan spiritualitas. Namun, sebagaimana diajarkan Walisongo, Islamisasi sejati bukan sekadar mengubah nama dan upacara, tetapi menghidupkan kesadaran tauhid dalam seluruh aspek kehidupan.


---

10. Penutup: Cahaya yang Tidak Pernah Padam

Sejarah Islamisasi Jawa adalah sejarah penyatuan langit dan bumi: iman dan budaya, ilmu dan kekuasaan, dakwah dan perjuangan.

Ricklefs mungkin melihatnya sebagai perjalanan sosial yang kompleks, tetapi bagi Azra dan Mansur, di balik kompleksitas itu ada satu garis lurus: nur Muhammad, cahaya dakwah yang menembus batas zaman.

Dari Demak hingga Banten, dari pesantren hingga perlawanan, Islam tidak sekadar hadir di Jawa — ia membentuk jiwa Jawa. Dan di setiap denyutnya, terpatri pesan abadi Walisongo:

> “Barangsiapa menanam Islam di tanah hati manusia, ia menanam pohon yang tidak akan pernah layu.”

Perang-Perang di Jawa yang Dipimpin Ulama Pendahuluan: Ulama sebagai Panglima Jihad Sejarah Jawa tidak hanya dipenuhi kisah raja...


Perang-Perang di Jawa yang Dipimpin Ulama

Pendahuluan: Ulama sebagai Panglima Jihad

Sejarah Jawa tidak hanya dipenuhi kisah raja dan kesultanan, tetapi juga deretan perang suci (jihad) yang digerakkan oleh para ulama — pewaris spiritual para wali.
Mereka berdiri di garis depan melawan penjajahan Portugis, VOC Belanda, hingga kolonial modern abad ke-19.

Perang-perang ini tidak bisa dipahami hanya sebagai “pemberontakan lokal.” Di baliknya, terdapat kesadaran tauhid yang mendalam: bahwa penguasaan manusia atas manusia adalah bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Allah.
Itulah sebabnya jihad di Jawa selalu lahir dari pesantren, langgar, tarekat, dan majelis ilmu, bukan dari istana atau partai.


---

1. Perang Demak Melawan Portugis (1513–1527)

Dipimpin oleh Sultan Trenggana dan para ulama wali

Setelah Portugis menaklukkan Malaka tahun 1511, Kesultanan Demak — didirikan oleh Raden Patah, murid para wali — menjadi benteng pertama Islam di Jawa yang menentang kekuasaan Kristen Eropa.

Atas dorongan Walisongo, Sultan Trenggana memimpin ekspedisi jihad laut ke Malaka (1513). Walau belum berhasil merebutnya, perang itu menjadi simbol awal perlawanan Islam terhadap kolonialisme Barat.

Tahun 1527, Fatahillah (Faletehan), murid Sunan Gunung Jati, memimpin serangan ke Sunda Kelapa yang saat itu hendak dijadikan pelabuhan Portugis.
Kemenangan di sana melahirkan kota Jayakarta (Jakarta) — nama yang berarti “kemenangan yang luhur.”
Peristiwa ini menandai awal perlawanan Islam terhadap penjajahan di tanah Jawa, dipimpin langsung oleh ulama dan kesatria didikan para wali.

> “Inilah perang pertama antara dunia Islam dan Eropa di tanah Jawa — bukan karena harta, tapi karena iman,” tulis sejarawan de Graaf (1985).




---

2. Perang Ulama Banten Melawan Belanda (1600–1750)

Dari Maulana Yusuf hingga Sultan Ageng Tirtayasa

Kesultanan Banten, pewaris spiritual Demak dan Cirebon, adalah pusat ulama, perdagangan, dan dakwah internasional.
Ketika Belanda (VOC) datang tahun 1596 dan mulai menguasai perdagangan, Banten menolak tunduk.

Puncak perlawanan terjadi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683), seorang sultan yang sangat dekat dengan ulama dan tarekat Syattariyah.
Ia memimpin perang melawan VOC yang ingin memonopoli perdagangan lada dan menguasai pelabuhan.

Di baliknya berdiri ulama besar Syekh Yusuf al-Makassari, penasihat spiritual dan mujahid internasional yang pernah berjihad di Makassar dan Yaman.
Perang ini menunjukkan bahwa politik Islam dan spiritualitas tidak terpisah: Sultan berperang di laut dan darat, ulama memimpin zikir dan strategi moral pasukan.

Namun karena pengkhianatan internal (anaknya yang berpihak pada VOC), kerajaan melemah. Sultan Ageng ditangkap dan wafat di tahanan Batavia.
Meski begitu, pesan jihadnya abadi. Syekh Yusuf kemudian melanjutkan perlawanan di Makassar, hingga diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan — tempat dakwah Islam justru tumbuh subur.


---

3. Perang Diponegoro (1825–1830)

Dipimpin oleh Pangeran Diponegoro — murid ulama dan sufi tarekat Qadiriyah–Naqsyabandiyah

Perang ini adalah puncak jihad ulama di Jawa abad ke-19.
Pangeran Diponegoro bukan sekadar bangsawan Mataram, tetapi seorang santri, murid para kiai, dan pengamal tarekat sufi.
Ia belajar kepada Kiai Mojo, Kiai Maja, Kiai Hasan Besari Tegalsari, dan banyak ulama karismatik lainnya.

Ketika tanahnya di Tegalrejo digusur oleh pemerintah kolonial, Diponegoro memandangnya bukan sekadar pelanggaran hak pribadi, tetapi simbol penistaan terhadap kehormatan Islam dan tanah warisan para wali.

Perang yang ia pimpin berlangsung lima tahun, mencakup seluruh Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur.
Rakyat, petani, santri, dan kiai ikut bergerak. Mereka menyebut perjuangan ini sebagai “Perang Sabil” — perang di jalan Allah.

> “Diponegoro tidak berperang untuk tahta, tetapi untuk menegakkan agama,” tulis sejarawan Peter Carey (2011).
Dalam catatan Belanda, bendera pasukan Diponegoro bertuliskan ayat La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah.



Ketika perang berakhir dan Diponegoro ditangkap dengan tipu muslihat, Belanda mengira segalanya selesai.
Namun justru sejak itu lahir jaringan tarekat dan pesantren perlawanan yang melahirkan generasi ulama pejuang berikutnya.


---

4. Perang Santri Jawa Timur (1850–1880-an)

Dipimpin oleh para kiai pesantren: Kiai Kasan Besari, Kiai Sholeh Darat, dan jaringan santri Mataraman

Setelah Perang Diponegoro, Jawa Timur menjadi pusat baru jaringan tarekat dan pesantren.
Para ulama memandang penjajahan bukan sekadar politik, tetapi penjajahan terhadap iman.
Di pesantren Tegalsari (Ponorogo), Termas, dan Lasem, muncul ulama seperti Kiai Hasan Besari, Kiai Sholeh Darat, dan Kiai Kholil Bangkalan yang membentuk kader ulama pejuang.

Mereka menolak sistem pajak kolonial, kerja paksa, dan upaya sekularisasi pendidikan.
Meskipun tidak semua perang mereka berbentuk militer, perlawanan intelektual dan spiritual yang mereka bangun menjadi fondasi munculnya gerakan Islam modern seperti Nahdlatul Ulama.


---

5. Perang di Jawa Barat dan Banten: Gerakan Ulama Tarekat (1888)

Dipimpin oleh Kiai Wasid dan para mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Pada 1888 terjadi pemberontakan Banten, yang sering direduksi oleh sejarah kolonial sebagai “kerusuhan rakyat fanatik.”
Padahal, penelitian Sartono Kartodirdjo dan Martin van Bruinessen menunjukkan bahwa perlawanan ini dipimpin oleh para kiai tarekat yang menyerukan jihad fi sabilillah.

Mereka menolak praktik korupsi pejabat kolonial, pajak berlebihan, dan penghinaan terhadap simbol Islam.
Para kiai dan santri menyerbu pos-pos Belanda di Anyer, Cilegon, dan Pandeglang.
Meski akhirnya ditumpas, gerakan ini menandai kesadaran Islam politik rakyat bawah yang lahir dari tarekat dan pesantren.

> Azyumardi Azra menyebut gerakan ini sebagai “Islam sosial transformatif,”
karena para ulama tidak hanya mengajarkan zikir, tetapi mengubah masyarakat menuju keadilan.




---

6. Perang Ulama di Jawa Timur dan Madura (1900–1920)

Dipimpin oleh Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Kholil Bangkalan, dan jaringan pesantren

Memasuki abad ke-20, perang bersenjata mulai berganti bentuk menjadi perang pemikiran dan organisasi.
Namun semangat jihad ulama tetap sama: menolak dominasi kolonial dan menghidupkan Islam sebagai sistem kehidupan.

Ulama seperti Kiai Kholil Bangkalan mendidik kader seperti Hasyim Asy’ari (Tebuireng) dan Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).
Mereka berjuang melalui dakwah, pendidikan, dan fatwa — tetapi ketika Jepang dan Belanda kembali mengancam, para ulama-lah yang pertama menyerukan resolusi jihad (1945).

Artinya, perang ulama di Jawa tidak berhenti di abad 19.
Ia bertransformasi dari jihad fisik menjadi jihad intelektual dan spiritual yang melahirkan gerakan kebangkitan Islam Indonesia.


---

Refleksi: Pola yang Sama, Ruh yang Tak Padam

Jika ditelusuri dari Demak hingga Diponegoro, semua perang ulama di Jawa memiliki empat ciri utama:

1. Basis Pesantren dan Tarekat
Perlawanan lahir dari pendidikan ruhani — bukan politik istana. Ulama mendidik umat agar berani karena iman, bukan karena ambisi dunia.


2. Motif Tauhid dan Keadilan
Setiap perang lahir dari kesadaran bahwa hanya Allah yang berhak ditaati mutlak. Segala bentuk penjajahan adalah taghut.


3. Kepemimpinan Karismatik Spiritual
Ulama bukan pemimpin administratif, tetapi mursyid — yang memimpin dengan teladan, doa, dan kesucian hidup.


4. Kesinambungan Generasi
Dari Walisongo → Sultan Ageng Tirtayasa → Diponegoro → Kiai Kholil → Hasyim Asy’ari.
Semua terhubung dalam rantai keilmuan dan ruh perjuangan.




---

Kesimpulan: Ulama sebagai Pusat Sejarah Perlawanan Jawa

Perang-perang di Jawa menunjukkan bahwa Islam adalah nadi perlawanan bangsa.
Tanpa pesantren, tarekat, dan jaringan ulama, perlawanan di Jawa hanya menjadi politik feodal.
Tetapi dengan kehadiran ulama, perang menjadi ibadah dan dakwah, bukan sekadar reaksi politik.

Seperti ditulis Mansur Suryanegara,

> “Kemerdekaan Indonesia adalah buah dari jihad panjang umat Islam.
Di Jawa, para ulama-lah yang menanam benihnya.”

Adat dan Islam di Minangkabau: Harmoni dalam Ketegangan yang Panjang 1. Pendahuluan: Dua Arus yang Tak Pernah Padam Di antara pe...


Adat dan Islam di Minangkabau: Harmoni dalam Ketegangan yang Panjang

1. Pendahuluan: Dua Arus yang Tak Pernah Padam

Di antara pegunungan dan lembah Sumatera Barat, mengalir dua arus yang sejak berabad-abad menjadi denyut kehidupan masyarakat Minangkabau: adat dan Islam. Dua arus ini ibarat dua sungai yang bertemu di muara: sesekali bergelombang karena derasnya arus, namun pada akhirnya menyatu dalam kesadaran kolektif masyarakat yang dikenal dengan falsafah “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”

Karya Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau” (1966), menjadi tonggak penting dalam memahami dialektika dua kekuatan ini. Ia menelusuri bukan hanya sejarah lahirnya konflik antara adat dan Islam, tetapi juga proses sosial, politik, dan spiritual yang melahirkan sintesis baru: Islam yang berbudaya dan adat yang bersyariat.

Kajian Taufik ini memperlihatkan bahwa sejarah Minangkabau tidak dapat dipahami hanya dari sisi agama atau tradisi semata, melainkan dari dialog panjang antara wahyu dan warisan budaya. Seperti kata Azyumardi Azra, “Islam di Nusantara tidak datang untuk menggantikan budaya, tetapi untuk menafsirkannya kembali dalam cahaya tauhid.”


---

2. Akar Adat: Dari Gunung ke Nagari

Sebelum kedatangan Islam, Minangkabau telah memiliki sistem sosial yang sangat mapan. Adat bukan sekadar kebiasaan, melainkan struktur kehidupan yang mengatur segalanya — dari hubungan keluarga, warisan, pertanian, hingga hukum pidana dan penyelesaian sengketa. Sistem ini lahir dari pengalaman kolektif masyarakat yang hidup dalam kesatuan nagari.

Salah satu ciri khasnya ialah matrilinealitas — garis keturunan ditarik dari ibu. Rumah gadang, pusaka tinggi, dan sistem kekerabatan semuanya berpijak pada perempuan sebagai pusat keluarga. Bagi masyarakat Minang, adat berarti keteraturan, keseimbangan, dan kehormatan.

Dalam terminologi lokal, adat bukan hanya norma sosial, melainkan “hukum tak tertulis yang turun dari nenek moyang.” Maka bagi mereka, melanggar adat bukan sekadar kesalahan sosial, tapi juga dosa moral.

Namun, sistem adat ini lahir dari pengalaman manusia, bukan wahyu. Ketika Islam datang membawa nilai-nilai transenden yang berlandaskan tauhid, muncullah gesekan. Apakah hukum adat yang lahir dari tradisi dapat hidup berdampingan dengan hukum syariat yang datang dari Tuhan? Pertanyaan inilah yang menjadi inti pembahasan Taufik Abdullah.


---

3. Datangnya Islam: Dari Pesisir ke Pedalaman

Islam datang ke Minangkabau sekitar abad ke-16, melalui jalur perdagangan dan dakwah para ulama pesisir barat Sumatera. Salah satu tokoh pentingnya ialah Syekh Burhanuddin Ulakan, murid dari ulama Aceh Syekh Abdurrauf as-Singkili. Burhanuddin memadukan ajaran tasawuf dengan nilai-nilai lokal Minang, sehingga Islam diterima tanpa benturan keras di wilayah pesisir.

Namun, ketika Islam mulai menembus ke daerah pedalaman (darek), ia berhadapan dengan sistem adat yang kuat dan tertutup terhadap pengaruh luar. Para penghulu adat merasa kedatangan Islam bisa menggeser posisi mereka sebagai pemegang otoritas moral dan sosial. Di sinilah mulai terjadi perbedaan cara pandang: Islam memandang kebenaran berasal dari wahyu, sedangkan adat memandangnya dari konsensus dan warisan leluhur.

Sebagaimana dicatat Taufik Abdullah, konflik ini tidak serta-merta meledak, tetapi tumbuh perlahan sebagai ketegangan nilai antara dua dunia — dunia syara’ (agama) dan dunia adat.


---

4. Konflik: Dari Ketegangan Nilai ke Perang Sosial

Ketegangan itu mencapai puncaknya pada awal abad ke-19, ketika muncul gerakan Kaum Paderi. Gerakan ini dipimpin oleh para ulama Minang yang baru pulang dari Mekkah, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Mereka terinspirasi oleh semangat pemurnian tauhid dan reformasi sosial seperti yang digerakkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Hijaz.

Kaum Paderi melihat banyak unsur adat yang bertentangan dengan ajaran Islam: pesta adat yang berlebihan, minuman keras, judi, serta struktur matrilineal yang dianggap menyalahi hukum waris Islam. Mereka ingin mengembalikan masyarakat Minangkabau kepada syariat yang murni.

Sementara itu, kaum adat merasa Islam versi Paderi terlalu keras, memutus tradisi, dan mengancam keseimbangan sosial yang sudah lama terjaga. Akibatnya, terjadilah Perang Paderi (1803–1837), salah satu perang paling penting dalam sejarah Indonesia pra-kolonial.

Perang ini bukan hanya antara Islam dan adat, tetapi juga antara kekuatan lokal dan kolonial. Ketika kaum adat merasa terdesak oleh kaum Paderi, mereka meminta bantuan Belanda. Permintaan itu membuka pintu penjajahan yang lebih dalam ke wilayah Minangkabau.

Dalam perspektif Azyumardi Azra, Perang Paderi adalah tragedi besar dalam sejarah Islam Nusantara, karena sesungguhnya kedua belah pihak — adat dan Islam — memiliki akar yang sama: sama-sama lahir dari usaha menjaga moral masyarakat. Hanya saja, keduanya terjebak dalam perbedaan metode, bukan tujuan.


---

5. Sintesis: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah

Dari konflik berdarah itu, masyarakat Minangkabau belajar bahwa permusuhan antara adat dan Islam hanya membawa kehancuran. Maka lahirlah sintesis besar yang menjadi jiwa Minangkabau hingga kini:

> “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”



Artinya, adat harus berpijak pada syariat, dan syariat berpijak pada Al-Qur’an. Prinsip ini bukan hanya kompromi politik, tetapi juga hasil kesadaran spiritual kolektif bahwa adat tidak boleh memisahkan diri dari kebenaran wahyu.

Taufik Abdullah menulis bahwa formula ini adalah “hasil dari proses panjang negosiasi antara elite agama dan elite adat.” Ia lahir dari luka sejarah, namun juga dari kebijaksanaan yang tumbuh di tengah masyarakat yang tidak ingin kehilangan keduanya: akar budaya dan tuntunan agama.

Di sinilah Minangkabau memberikan teladan bagi dunia Islam: bahwa Islamisasi tidak harus berarti Arabisasi, dan pemurnian agama tidak harus menghapus kearifan lokal.


---

6. Perspektif Azyumardi Azra: Jaringan Ulama dan Integrasi Islam

Dalam karya-karyanya seperti Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, Azyumardi Azra memperluas pembacaan Taufik Abdullah dengan menunjukkan bahwa proses Islamisasi Minangkabau tidak terisolasi, melainkan terhubung dengan jaringan ulama internasional.

Para ulama Minang yang belajar ke Mekkah, Aceh, dan Patani membawa pulang gagasan pembaruan, kemudian menyesuaikannya dengan konteks lokal. Di sinilah muncul dinamika unik: Islam di Minangkabau menjadi kosmopolit sekaligus lokal.

Menurut Azra, kesepakatan Adat basandi Syara’ adalah bentuk ijtihad sosial — yaitu usaha masyarakat muslim menggabungkan nilai universal Islam dengan realitas lokal. Ia menulis:

> “Minangkabau menjadi contoh bagaimana Islam menemukan bahasa budayanya sendiri.”



Pandangan ini menegaskan bahwa tidak ada dikotomi antara adat dan Islam; yang ada adalah upaya berkelanjutan untuk menyelaraskan keduanya agar masyarakat tetap hidup dalam kesatuan iman dan identitas.


---

7. Pandangan Mansur Suryanegara: Dari Dakwah ke Kebangsaan

Sementara itu, Ahmad Mansur Suryanegara, dalam Api Sejarah, melihat peristiwa Paderi dan rekonsiliasi adat-Islam sebagai bagian dari proses lahirnya nasionalisme Islam Indonesia. Bagi Mansur, ulama Minang seperti Tuanku Imam Bonjol bukan sekadar pejuang agama, tetapi juga pelopor perlawanan terhadap kolonialisme.

Dalam pandangannya, integrasi adat dan Islam di Minangkabau menjadi fondasi bagi kesadaran kebangsaan. Masyarakat yang berakar pada adat tetapi disinari oleh syariat melahirkan kekuatan moral untuk menentang penjajahan.

> “Dari Minangkabau lahir gagasan bahwa cinta tanah air tidak bertentangan dengan cinta kepada Allah.”



Dengan demikian, apa yang tampak sebagai konflik spiritual ternyata juga merupakan awal dari kesadaran politik Islam di Nusantara — bahwa kemerdekaan sejati hanya lahir dari masyarakat yang berpegang pada kebenaran wahyu dan menghormati warisan budaya.


---

8. Dimensi Sosiologis: Islam Sebagai Etika, Adat Sebagai Struktur

Taufik Abdullah juga membaca konflik adat-Islam melalui pendekatan sosiologi. Menurutnya, Islam membawa etos moral dan spiritual, sedangkan adat menyediakan kerangka sosial dan kelembagaan. Ketika keduanya bertemu, terjadilah proses “pembudayaan agama dan pengislaman budaya.”

Contohnya, konsep musyawarah nagari (forum adat) disinari oleh semangat syura dalam Islam. Hukum waris yang awalnya matrilineal disesuaikan dengan prinsip faraidh, meski tidak sepenuhnya identik. Pesta adat tetap dilakukan, tetapi dengan nilai keislaman yang lebih kuat.

Artinya, adat tidak hilang — ia berislam; dan Islam tidak menghapus — ia mewarnai.


---

9. Relevansi untuk Indonesia Kini

Apa yang terjadi di Minangkabau sesungguhnya mencerminkan perjalanan panjang Islam di Nusantara: dari fase penerimaan, ketegangan, hingga sintesis. Proses itu melahirkan bentuk keberagamaan yang tidak kaku, tetapi juga tidak kehilangan kemurnian.

Dalam konteks Indonesia modern, pelajaran Minangkabau menjadi penting. Ketika sebagian umat terjebak pada polarisasi antara “Islam puritan” dan “Islam budaya”, sejarah Minangkabau mengingatkan bahwa keduanya dapat bersatu. Yang dibutuhkan hanyalah hikmah dalam memaknai wahyu dan kearifan dalam menghargai warisan.

Azyumardi Azra sering menegaskan, “Islam Nusantara adalah hasil sejarah panjang negosiasi antara langit dan bumi, antara syariat dan adat.” Prinsip itu nyata dalam falsafah Minangkabau yang hingga kini masih hidup dalam praktik sosial, ekonomi, dan pendidikan mereka.


---

10. Penutup: Dari Konflik Menuju Kesempurnaan

Dalam penutup karyanya, Taufik Abdullah menulis bahwa sejarah Minangkabau bukanlah kisah pertentangan antara dua kebenaran, melainkan perjalanan menuju keseimbangan. Konflik antara adat dan Islam bukan kegagalan, tetapi bukti bahwa masyarakat hidup dan berpikir.

Hari ini, falsafah Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah bukan sekadar slogan, melainkan fondasi sosial dan spiritual. Ia mengajarkan bahwa tidak ada peradaban yang kokoh tanpa iman, dan tidak ada iman yang membumi tanpa budaya.

Sebagaimana firman Allah:

> “Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)



Minangkabau telah membuktikan makna ayat ini: mereka mengenal Allah tanpa melupakan asal-usulnya, dan menjaga adat tanpa menodai syariat. Dalam ketegangan yang panjang itu, lahir harmoni — sebuah pelajaran bagi seluruh dunia Islam tentang bagaimana iman dan identitas dapat hidup bersama dalam keseimbangan yang indah.

Gelora Diponegoro dari Balik Penjara Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kiprah Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa telah banyak tercat...

Gelora Diponegoro dari Balik Penjara
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Kiprah Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa telah banyak tercatat dan dikenang. Ia tampil sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan, seorang panglima perang yang membakar semangat jihad, dan tokoh sentral dalam sejarah kebangkitan bangsa. Tapi pertanyaan besar yang jarang kita gali: bagaimana kehidupan beliau setelah ditangkap? Apakah kisah perjuangannya berakhir di meja perundingan dan ruang tahanan?

Tidak. Justru di balik jeruji itulah, kualitas kepribadian sejati seorang pejuang diuji. Penjara bukan akhir perjuangan; bagi jiwa-jiwa besar, penjara adalah awal dari kelahiran ruhani yang lebih dalam.

Bayangkan Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Dilemparkan ke penjara atas fitnah, namun dari ruang gelap itulah beliau terus bergerak. Ia menasihati tahanan lain, menafsirkan mimpi, hingga kelak menjadi penasehat utama raja. Dalam surah Yusuf ayat 54–55, ia berkata:

> “Jadikanlah aku bendaharawan negeri ini; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”



Bahkan sebelum keluar dari penjara, Yusuf telah menyiapkan sistem ekonomi penyelamat rakyat dari bencana kelaparan. Maka penjara bukan ruang pasrah; ia adalah ruang ikhtiar yang sunyi.

Atau ingat sahabat Nabi ï·º yang bernama Khubaib bin Adi. Dalam tahanan, saat hendak dieksekusi oleh Quraisy, ia justru meminta untuk shalat dua rakaat terlebih dahulu. Dalam dekap jeruji dan ancaman maut, ia masih ingin menyambung ruhnya kepada langit. Bahkan ketika ia menggendong anak kecil, ia tetap memohon izin untuk bersujud. Sebuah pelajaran besar tentang ketenangan iman dalam puncak tekanan.

Begitu pula yang dilakukan para ulama sepanjang sejarah. Imam Ahmad bin Hanbal menolak kompromi meski disiksa. Ibnu Taimiyah menulis ratusan risalah dari penjara, termasuk karya terkenalnya dalam aqidah dan tafsir. Ia berkata:

> "Apa yang dapat diperbuat musuhku terhadapku? Surga ada dalam dadaku. Bila aku dipenjara, itu adalah khalwat bagiku bersama Allah. Bila aku dibunuh, maka itu adalah syahadah bagiku. Bila aku diusir, maka itu adalah hijrahku di jalan Allah.”



Begitu juga Sayyid Qutb. Ketika ditawarkan kebebasan dengan syarat mencabut pemikirannya, ia menolak dan berkata:

> "Jari jemariku ini tak akan menulis satu huruf pun untuk membenarkan kebatilan.”



Dan dari balik penjara, ia menulis Fi Zilalil Qur’an, sebuah tafsir yang menggema hingga kini. Tafsir itu kelak menjadi rujukan utama Buya Hamka dalam menulis Tafsir Al-Azhar. Buya Hamka sendiri menulis tafsir tersebut dari balik penjara rezim Orde Lama. Saat ditanya tentang penderitaannya di penjara, Hamka berkata:

> “Saya tidak dendam. Bahkan saya berterima kasih, sebab di penjara saya justru dapat menyelesaikan Tafsir Al-Azhar.”



Bila mereka semua melahirkan karya besar dari balik penjara, bagaimana dengan Pangeran Diponegoro? Apakah ia hanya termenung dalam kurungan, terputus dari cita-cita besar perjuangannya?

Untuk menjawab itu, kita harus menelusuri kembali akar kehidupannya. Diponegoro bukan sekadar bangsawan. Ia menolak hidup nyaman di keraton dan memilih hidup sederhana bersama rakyat. Ia berguru kepada para ulama, termasuk Kiai Taptojani, seorang mursyid besar dalam ilmu tasawuf. Ia tumbuh sebagai santri, menyatu dengan denyut kehidupan umat.

Jauh sebelum penjara, ia telah terbiasa menyepi di Goa Selarong. Dari tempat sunyi itu, lahirlah api jihad melawan penjajahan Belanda. Maka penjara bukanlah asing baginya; itu hanyalah ruang sunyi baru untuk menyusun kekuatan ruhani yang lebih dalam.

Tahun pertama pengasingannya (1831–1832), Diponegoro menulis sebuah karya monumental: Babad Diponegoro. Dalam naskah itu, ia tidak hanya mencatat sejarah perang, tetapi juga kegelisahan jiwa, refleksi ruhani, dan kritik terhadap kerusakan moral elit keraton. Ia menulis bukan dengan tinta dendam, melainkan dengan air mata cinta dan harap.

Menurut Peter Carey dalam karyanya Sisi Lain Diponegoro, naskah itu memuat keteladanan kepada Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga, serta kepada Sultan Agung. Ia mengangkat gagasan tentang Ratu Adil—sebuah visi tentang pemimpin masa depan yang adil dan saleh. Ini menegaskan bahwa perjuangannya tidak lokal dan temporal semata, tapi bagian dari mata rantai dakwah besar:

Secara spiritual, ia terhubung dengan perjuangan para ulama di Timur Tengah dan utusan Kekhalifahan Utsmani.

Secara kultural, ia mewarisi semangat dakwah Walisongo yang meleburkan Islam dengan budaya Nusantara.


Kini, Babad Diponegoro telah diakui sebagai bagian dari Memory of the World oleh UNESCO. Sebuah pengakuan bahwa narasi sejati tak hanya lahir dari para pemenang perang, tapi justru dari mereka yang kalah di dunia, namun menang dalam sejarah.

Dalam sebuah lukisan yang tersimpan di Leiden, Pangeran Diponegoro digambarkan duduk bersama keluarganya di Penjara Benteng Rotterdam, tengah membaca kitab tasawuf. Ia tidak mengeluh. Tidak mengutuk. Ia mengisi waktunya dengan belajar. Raga boleh dibelenggu, tetapi jiwanya tetap menjulang tinggi.

Ada satu cita-cita yang tak kesampaian: berhaji ke Tanah Suci. Dalam perjalanan dari Magelang ke Manado tahun 1830, ia menyampaikan kerinduan itu kepada opsir Belanda. Hingga akhir hayatnya, ia menyimpan harapan untuk mengunjungi Rumah Allah. Namun, Allah menakdirkan jalan lain.

Pangeran Diponegoro wafat dalam pengasingan di Makassar, tahun 1855. Tapi ia tak pernah benar-benar mati. Ia hidup dalam babadnya. Dalam napas jihadnya. Dalam setiap jejak yang ia torehkan di tanah air ini.

Penjara tidak mematikan suaranya. Justru dari sanalah ia berbicara kepada zaman.

Karena memang, pejuang sejati bukan mereka yang hanya gagah di medan laga, tapi yang tetap menyalakan cahaya, meski berada dalam gelapnya kurungan.

Dan mungkin, di situlah letak gelora sejati: bukan pada gemuruh senjata, tapi pada keteguhan ruh yang tak tunduk meski dunia merundukkan kepala.

Gua Secang bagi Pangeran Diponegoro Oleh: Nasruloh Baksolahar Jika Anda berkunjung ke Candi Prambanan, di antara Klaten dan Yogy...

Gua Secang bagi Pangeran Diponegoro

Oleh: Nasruloh Baksolahar

Jika Anda berkunjung ke Candi Prambanan, di antara Klaten dan Yogyakarta, sempatkanlah singgah ke Istana Ratu Boko. Di sana, di atas sebuah bukit yang sunyi dan terbuka ke langit, berdiri reruntuhan istana yang menyimpan jejak sejarah spiritual yang lebih tua dari bayangan kita tentang kekuasaan. Bukan semata tentang tembok dan gerbang yang telah rapuh, melainkan tentang sesuatu yang lebih dalam—sebuah gua tersembunyi di jantung istana.

Mengapa ada gua dalam istana?

Gua itu bukan tempat pelarian, bukan pula ruang penyimpanan. Ia adalah altar keheningan. Tempat di mana seorang raja tidak lagi berbicara kepada rakyat, tetapi kepada Tuhannya. Tempat ia menggali kejernihan hati, menjernihkan tujuan, menata arah, dan menumbuhkan cahaya dalam kegelapan batin. Dari dalam gua itulah muncul kebijaksanaan yang menuntun kerajaan, bukan hanya dengan pedang, tetapi dengan akal dan nurani.

Gua adalah ruang sunyi, tempat lahirnya wahyu dan strategi. Sebab, keheninganlah yang sering kali menjadi pintu paling jujur untuk menyentuh langit.

Sejarah Islam mencatat banyak gua sebagai saksi awal perubahan besar dunia. Gua Hira—tempat Nabi Muhammad ï·º menerima wahyu pertama, bukan sekadar ruang fisik, melainkan ruang penyucian hati dan pencarian makna yang panjang. Gua Tsur—tempat beliau bersembunyi bersama Abu Bakar saat hijrah, adalah bukti bahwa keselamatan jiwa lahir dari tempat tak terduga, dan pertolongan Allah lebih dekat dari yang dibayangkan. Bahkan dalam kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang bersembunyi dalam gua demi mempertahankan iman, menjadi simbol kekuatan keimanan yang mengalahkan zaman.

Gua-gua itu tidak bersuara, tapi sejarah bergetar dari sana. Sunyi mereka melahirkan takdir.

Gua Secang, di Bukit Selarong, adalah salah satunya. Jika gua di Ratu Boko menjadi ruang perenungan para raja kuno Jawa, maka Gua Secang adalah titik awal letusan spiritual dan militer yang mengguncang Jawa dan bahkan Eropa. Pangeran Diponegoro tidak memulai perjuangannya dari medan perang, tetapi dari dasar gua. Ia tidak menyusun barisan tentara di halaman istana, tetapi menyusun keteguhan hati di ruang sempit yang hanya muat satu tubuh dan satu doa.

Di gua itulah, sang pangeran mendengar dentang sunyi yang menyingkap kebusukan penjajahan. Ia mendengarkan denyut rakyatnya yang terluka. Ia berbicara dengan Tuhannya, merumuskan makna jihad yang bukan tentang ambisi, melainkan amanah. Di gua itu, ia menyucikan niat. Menelanjangi pamrih. Dan dari gua itu, keputusan besar dilahirkan: melawan.

Pangeran Diponegoro tidak terlahir sebagai pemberontak. Ia lahir sebagai bangsawan keraton, dengan seluruh hak atas kenyamanan dan kedudukan. Namun yang tak banyak orang pahami adalah bahwa api perjuangan bukan hanya menyala karena ketidakadilan luar, tetapi juga karena kejujuran batin. Kejujuran itulah yang menuntunnya ke Gua Secang.

Ia bisa saja memilih kenyamanan istana. Tapi ia memilih keheningan gua. Ia bisa saja menyusun siasat dari keraton, tapi ia justru menyiapkan revolusi dari balik semak dan cadas. Inilah keindahan jalan sunyi: melahirkan kekuatan yang tak bisa dihitung oleh senjata atau jumlah pasukan.

Peter Carey, dalam karya monumentalnya tentang Diponegoro, mencatat bahwa Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar perang politik, melainkan perang spiritual. Perang menegakkan Islam sebagai jalan hidup. Sebagaimana disebutkan dalam teks Malangyuda yang dikutip GWJ Drewes, tujuan utama Diponegoro adalah mengusir kekuasaan yang tak mengakui kebenaran Islam, dan menegakkan tatanan baru yang adil, berlandaskan syariat.

Maka dari gua itu, perang sabil dimulai. Sebuah perang yang bukan dilandasi kebencian, tapi cinta yang dalam kepada rakyat dan Tuhan. Sebuah perang yang tidak didesain oleh para penasihat militer, melainkan oleh hati yang terasah dalam zikir dan tafakur. Dari gua itu, bukan hanya senjata yang diasah, tapi kesadaran sejarah dan misi kenabian.

Keputusan melawan Belanda bukan tindakan spontan. Itu adalah buah dari kontemplasi panjang—sebuah revolusi yang berakar pada keikhlasan, bukan pada ambisi. Diponegoro tahu bahwa kekuatan militer Belanda jauh di atasnya. Tapi yang ia miliki adalah sesuatu yang tak bisa diukur: kekuatan ruhani.

Setiap strategi yang ia keluarkan lahir dari gua, bukan dari ruang sidang. Setiap keputusan militer adalah hasil semedi yang panjang, bukan rapat politik yang bising. Inilah bedanya kekuasaan yang dibangun di atas doa, dibandingkan dengan kekuasaan yang lahir dari intrik dan tipu daya.

Seratus tahun kemudian, dari 1830 ke 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Banyak yang melihat ini sebagai rentang sejarah biasa. Tapi bagi orang yang membaca jejak sunyi, ini adalah gema dari Gua Secang yang menembus abad. Dari gua itulah awal kehancuran VOC dimulai, bahkan ketika kekuatan senjata mereka masih mendominasi. Karena sejarah tidak selalu bergerak dengan sorak-sorai. Ia juga bisa bergerak dari bisikan dan air mata yang jatuh di tengah doa.

Apakah Diponegoro termasuk para pembaharu yang dijanjikan Allah dalam setiap abad? Mungkin. Bukankah ia telah menyambung estafet perjuangan Islam dengan keyakinan dan pengorbanan yang tulus? Bukankah ia telah menghidupkan ruh jihad ketika banyak yang tertidur dalam pesona dunia? Dan bukankah ia lebih memilih gua daripada singgasana, seperti para nabi dan orang-orang pilihan?

Gua bukan tempat pelarian. Ia adalah ruang kelahiran kembali. Setiap pemimpin sejati, sebelum melangkah ke kancah dunia, harus lebih dulu masuk ke dalam dirinya sendiri. Harus lebih dulu menundukkan egonya. Harus lebih dulu merumuskan ulang untuk siapa ia hidup dan mati.

Pangeran Diponegoro mengajarkan itu. Ia menunjukkan bahwa kekuatan terbesar tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam. Bahwa kemenangan sejati tidak dimulai dari medan perang, tetapi dari pertarungan batin yang dimenangkan dalam sunyi.

Dan seperti gua-gua lainnya yang dicatat sejarah, Gua Secang menjadi saksi. Bukan hanya bagi suara takbir yang menggema, tapi bagi doa yang lirih. Bukan hanya bagi strategi militer, tapi bagi air mata pertobatan dan cinta. Di sanalah jiwa pemimpin ditempa. Di sanalah sejarah dilahirkan.

Kini, di antara reruntuhan Ratu Boko dan bukit Selarong, dua gua yang terpisah zaman tapi bersatu dalam pesan. Bahwa kekuasaan sejati adalah buah dari keheningan. Bahwa pemimpin besar tidak dibentuk oleh gemerlap dunia, tapi oleh kesanggupan menatap langit dari dasar bumi.

Gua-gua itu tetap sunyi. Tapi sejarah telah membuktikan: dari sunyi mereka, suara keadilan bergema hingga kini.

Ketika Aqidah Menjadi Kompas Dagang dan Politik di Era Kesultanan Nusantara Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Mereka mengira perdagang...

Ketika Aqidah Menjadi Kompas Dagang dan Politik di Era Kesultanan Nusantara

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Mereka mengira perdagangan digerakkan oleh emas dan perak. Padahal kekuatan sejatinya adalah iman dan ukhuwah.”
— Catatan pelaut Arab abad ke-16 dalam Rihlah al-Bahr al-Hindi



Malaka: Poros Peradaban Islam Asia Tenggara

Pada abad ke-15, Malaka bukan sekadar pelabuhan dagang. Ia adalah simpul spiritual dan geopolitik dunia Islam di Timur. Letaknya yang strategis di Selat Malaka menjadikannya penghubung utama antara Gujarat, Hadramaut, Makkah, Aceh, Ternate, dan Jawa. Namun bukan posisi geografis semata yang menghidupkan Malaka—melainkan ruh aqidah.

Saudagar dari Hadramaut, Gujarat, Benggala, hingga Demak datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga menyambung ukhuwah dan menyebarkan syariat. Pasar menjadi madrasah, pelabuhan menjadi mimbar. Transaksi ekonomi dijalankan dengan akhlak dan misi dakwah. Dalam istilah Azyumardi Azra, "perdagangan Islam tidak bisa dipisahkan dari misi dakwah dan ukhuwah."

Malaka hidup bukan karena cukai atau tarif, tetapi karena kepercayaan yang mengikat para pedagang Muslim dalam jaringan akidah lintas wilayah. Sebuah etos niaga yang menolak transaksi tanpa keadilan dan keberkahan.



Ketika Portugis Salah Membaca Dunia Islam

Namun kesucian itu dihancurkan meriam. Tahun 1511, armada Portugis menyerbu Malaka. Dengan benteng dan kapal perang, mereka mengira telah menguasai jalur emas Asia. Gubernur Afonso de Albuquerque dengan penuh keangkuhan menulis:

“By taking Malacca... Cairo and Mecca will be completely lost.”

Mereka menyangka bahwa dengan menguasai pelabuhan, mereka bisa memutus urat nadi Islam. Tapi mereka lupa: perdagangan Muslim tidak ditentukan oleh senjata, tapi oleh iman. Malaka yang sebelumnya hidup, tiba-tiba sepi. Kapal-kapal enggan merapat. Saudagar hijrah dalam sunyi ke Samudera Pasai dan Aceh.

Denys Lombard mencatat, “Aceh berkembang karena menjadi simbol perlawanan spiritual dan ekonomi terhadap kolonialisme.”

Islam mengajarkan bahwa hijrah tak hanya dari kekufuran, tetapi juga dari kezaliman ekonomi. Dan para pedagang Muslim memahami itu secara hakiki.



Dari Pasai ke Aceh: Akidah sebagai Arah Ekonomi

Pasai sempat menggantikan peran Malaka, tapi Portugis kembali datang membawa kehancuran. Maka gelombang hijrah kembali bergulir—menuju Aceh Darussalam. Di bawah Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh bukan hanya menjadi pusat kekuatan politik Islam, tapi juga benteng akidah yang melahirkan solidaritas ekonomi.

Aceh tidak tumbuh dari emas atau rempah, tetapi dari ruh jihad dan loyalitas kepada tauhid. Sejarawan M.C. Ricklefs menulis, “Islam menciptakan identitas trans-nasional yang mengikat komunitas-komunitas jauh dalam satu jaringan solidaritas.”

Di sinilah satu pola sejarah mulai terlihat jelas:

Ke mana aqidah ditegakkan, ke sanalah perdagangan dan kekuasaan Islam tumbuh.



Ketika Jalur Dagang Bergeser: Sunda Kelapa dan Banten Bangkit

Setelah Malaka dan Pasai jatuh, jaringan saudagar Islam tidak bubar. Mereka hanya berbelok. Jalur pelayaran menyusuri pantai barat Sumatera, melewati Lampung, menuju Sunda Kelapa dan Banten, lalu terus ke Kalimantan dan Indonesia Timur.

Sumber sejarah mencatat:

“Islamic traders… shifted their trade route from the Strait of Malacca toward the direction of Sunda Strait via West Java.”

Banten pun bangkit sebagai pelabuhan internasional. Ia menjadi titik temu pedagang dari Arab, Turki, Cina, Gujarat, Inggris, dan Bugis. Yang menghidupkan pelabuhan itu bukan tarif murah, tapi reputasi amanah para sultan dan imam. Kejujuran jadi modal utama, dan aqidah menjadi fondasi sistem dagang.



Ketika Portugis Menjadi Bajak Laut

Karena gagal menguasai jalur perdagangan yang digerakkan oleh ukhuwah Islamiyah, Portugis berubah haluan. Mereka bukan lagi pedagang atau penguasa pelabuhan, melainkan perompak samudera. Di Samudera Hindia, mereka menjarah kapal-kapal Muslim dari Jawa, Kalimantan, dan Aceh yang hendak menuju Hijaz atau Mesir.

Namun blokade itu gagal. Jamaah haji dari Nusantara mulai mengambil jalur alternatif: dari Aceh ke Sri Lanka, lalu ke Yaman dan Makkah. Upaya Portugis memutus koneksi Nusantara dengan pusat dunia Islam—gagal total.

Azyumardi Azra menyebutnya sebagai “kosmopolitanisme Islam yang berbasis pada jaringan keilmuan dan spiritualitas, bukan dominasi militer.”



Mengapa Demak dan Aceh Menyerang Malaka?

Pertanyaan ini kerap muncul: mengapa Kesultanan Demak dan Aceh menyerang Malaka, padahal lokasinya di luar teritorial mereka?

Jawabannya tegas: karena Malaka adalah bagian dari tubuh umat Islam. Penjajahan atas Malaka bukan hanya penaklukan geografis, tetapi penistaan terhadap akidah. Maka membela Malaka bukan ekspansi politik, tetapi jihad fi sabilillah.

Sejarawan Anthony Reid mencatat bahwa gerakan anti-Portugis di Nusantara bukanlah reaksi lokal, melainkan “solidaritas Islam yang bersifat lintas kerajaan dan wilayah.”

Inilah nasionalisme berbasis tauhid. Sebuah ikatan yang melampaui batas-batas darah dan bahasa.



Revolusi Politik Berbasis Akidah

Sebelum Islam datang, politik Nusantara dibangun di atas kesukuan dan kerajaan. Tapi Islam membawa paradigma baru: umat. Maka satu kapal dagang dari Minangkabau dianggap saudara oleh Sultan di Ternate. Seorang ulama dari Giri bisa memimpin pasukan di Palembang. Karena yang mengikat bukan peta, tapi kalimat tauhid.

Kesadaran baru ini melahirkan revolusi politik berbasis akidah. Sebuah bentuk awal dari apa yang hari ini disebut “geopolitik Islam”. Ulama, saudagar, dan sultan menjadi satu simpul dalam jaringan ruhani yang kokoh.



Ketika Ekonomi Tunduk pada Akidah

Inilah pelajaran besar dari sejarah:

Ekonomi Islam di Nusantara tunduk pada nilai, bukan pasar.
Jika pelabuhan dikuasai oleh penjajah kafir, maka pelabuhan itu ditinggalkan. Jika cukai dipakai untuk menindas umat, maka perdagangan pun dialihkan.

Inilah jihad ekonomi. Sebuah bentuk perlawanan tanpa senjata, tapi berdampak besar.

Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an:

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2–3)


Epilog: Bisnis Sebagai Cermin Akidah

Di era modern, kita terbiasa memisahkan bisnis dari iman. Tapi sejarah Nusantara berkata sebaliknya: bisnis sejati adalah ekspresi dari aqidah. Malaka, Pasai, Aceh, Banten—semua tumbuh bukan karena emas atau pasar bebas, tetapi karena keimanan yang teguh dan jaringan ukhuwah yang hidup.

Portugis boleh menguasai pelabuhan, tapi tidak bisa menguasai hati. Mereka bisa menembak kapal, tapi tak bisa menghentikan ruh dagang yang berpijak pada tauhid.

Buya Hamka dalam Falsafah Hidup menegaskan bahwa:

"Orang yang mengaku beriman, tetapi masih berjual beli dengan mengorbankan akhlak, sejatinya telah meletakkan dunia di atas Tuhan. Padahal bagi Muslim, rezeki adalah amanah, bukan rebutan."

Sementara Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam kerangka pemikiran Islamisasi ilmu, mengkritik pemisahan antara nilai spiritual dan aktivitas ekonomi modern. Baginya, kekayaan bukan sekadar akumulasi material, tapi tanggung jawab tauhid yang harus menjamin keadilan, keseimbangan, dan kemuliaan manusia sebagai hamba dan khalifah.

"Islam tidak mengenal dikotomi antara ‘ekonomi’ dan ‘agama’. Segala aspek hidup berada dalam orbit tauhid. Maka mencari rezeki adalah juga bentuk ibadah, selama ia bergerak dalam maqashid yang benar." — al-Attas, Islam and Secularism

Pertanyaannya untuk masa kini:

Masihkah aqidah menjadi pondasi bisnis dan politik kita hari ini?
Atau kita justru mulai menjual prinsip demi kursi dan profit?

Sejarah sudah memberi jawaban: siapa yang menjadikan iman sebagai fondasi, dialah yang akan tetap menjadi poros dunia. Bukan karena senjata. Tapi karena Allah-lah yang menggerakkan rezeki, kemuliaan, dan kemenangan.

Saat Belanda Sangat Percaya Diri untuk Abadi Menjajah Indonesia Oleh: Nasrulloh Baksolahar  “De Nederlandsch-Indië zal nooit wor...

Saat Belanda Sangat Percaya Diri untuk Abadi Menjajah Indonesia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



 “De Nederlandsch-Indië zal nooit worden losgelaten.”
“Hindia Belanda tidak akan pernah dilepas.”
— Tertulis di uang kertas Belanda, dekade 1940-an.



Ketika Kolonialisme Mengira Dirinya Abadi

Pada dekade 1940-an, Belanda benar-benar yakin bahwa Hindia Belanda adalah miliknya untuk selama-lamanya. Keyakinan ini tak hanya tampak dalam retorika politik atau propaganda, tetapi tercetak secara terang-terangan di atas lembaran uang resmi mereka. Mata uang itu tidak sekadar alat tukar—ia adalah simbol kekuasaan total.

Sejarawan Peter Carey mencatat, "Sistem kolonial Belanda pada 1940-an bukan hanya memenjarakan tubuh rakyat Indonesia, tapi juga pikirannya. Belanda menata ulang seluruh struktur sosial agar tidak ada celah perlawanan."

Mengapa mereka begitu percaya diri? Karena dari ujung Aceh hingga Papua, hampir tak ada wilayah yang benar-benar merdeka. Kesultanan-kesultanan Islam—dari Ternate, Bone, Pontianak, hingga Yogyakarta—sudah berada di bawah kendali simbolik dan administratif Belanda. Mereka masih memiliki mahkota, tetapi tidak lagi punya kekuasaan. Sistem hukum Islam telah direduksi menjadi urusan moral privat. Kata “jihad” telah dimuseumkan oleh tangan-tangan Snouck Hurgronje dan para penerusnya yang berpakaian akademik tapi bekerja untuk kolonialisme.



Keheningan yang Disangka Kemenangan

Belanda sangat memahami bahwa dominasi fisik saja tak cukup. Maka mereka menguasai seluruh sendi kehidupan. Hukum dibuat agar syariat tak bisa hidup di luar ruang pribadi. Pendidikan dirancang untuk mencetak birokrat kolaborator, bukan pemimpin perlawanan. Mata pelajaran tentang sejarah dan keislaman dibersihkan dari unsur “gerakan”.

Snouck Hurgronje menulis dalam “De Atjehers” bahwa “Islam sebagai sistem sosial-politik harus dipisahkan dari Islam sebagai ritual pribadi agar tidak membahayakan stabilitas kolonial.”

Pendidikan modern hanya dibuka bagi bangsawan loyalis. Ulama disingkirkan dari ruang publik. Bahkan fatwa keagamaan dimonitor dan diregulasi oleh pemerintah kolonial. Mata uang, sebagai simbol ekonomi, dicetak dan disebar bukan hanya untuk transaksi, tetapi untuk menyampaikan pesan kekuasaan: kalian adalah milik kami.

Menurut sejarawan ekonomi Christopher Bayly, “Berjalannya mata uang asing di wilayah jajahan adalah bentuk penjajahan tertinggi—ia menjajah tanpa terlihat, memerintah tanpa tentara.”

Dan ini bukan hanya terjadi di Hindia Belanda. Aljazair menggunakan franc Prancis, India memakai pound sterling, Filipina memakai dolar AS. Bahkan hingga kini, penggunaan dolar dalam transaksi internasional masih dianggap bentuk dominasi global pasca-kolonial. Profesor Michael Hudson menyebutnya sebagai "financial imperialism disguised as liberal trade."



Negara yang Dikuasai Total, Tapi Tetap Merdeka

Indonesia bukan satu-satunya. India, yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Inggris selama hampir dua abad, akhirnya merdeka pada 1947. Aljazair, setelah 132 tahun dijajah Prancis dengan brutal, juga memproklamirkan kemerdekaannya pada 1962. Bahkan Vietnam, yang sepenuhnya dicengkeram oleh Prancis dan kemudian Amerika, akhirnya berdiri tegak setelah perjuangan panjang dan berdarah.

Semua negara ini punya kesamaan: ketika kekuasaan kolonial merasa telah menguasai seluruh lini—politik, ekonomi, budaya, pendidikan, agama—mereka justru kehilangan kemampuan mendeteksi api yang membara di dalam jiwa rakyat.

Sejarawan Arnold Toynbee menyimpulkan hal ini dengan sangat tajam:

“Empires fall not at their weakest moment, but when they believe they are invincible.”

Inilah hukum sejarah: saat sebuah kekuasaan merasa tak terkalahkan, saat itulah ia mulai rapuh.



Ketika Semua Kekuatan Berpadu dalam Kezaliman

Kekuasaan Belanda tidak berdiri sendiri. Ia didukung oleh bangsawan lokal yang sudah kehilangan kemandirian, oleh intelektual yang sibuk mencari aman, dan oleh pedagang asing yang mencari untung. Semuanya membentuk aliansi diam-diam untuk mengabadikan ketidakadilan.

Namun sejarah mencatat: kezaliman yang terlalu rapi justru mendekati ajalnya.

“Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)

Belanda tidak dikalahkan oleh tentara besar. Mereka kalah oleh perubahan zaman dan oleh ruh perlawanan yang tak mati. Jepang membuka pintu sejarah, dan rakyat Indonesia yang selama ini ditekan menemukan kembali keberaniannya. Mereka berseru: “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!”



Yang Menghancurkan Kezaliman: Skenario Langit

Kita sering terjebak dalam logika kekuatan fisik. Tapi sejarah Indonesia membuktikan: yang menghancurkan kolonialisme bukan meriam, tapi ruh. Bukan propaganda, tapi doa. Bukan elite, tapi rakyat biasa yang istiqamah.

KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan ulama lain tidak menggenggam senjata, tapi mereka menggenggam kejujuran, keyakinan, dan pengaruh ruhani. Mereka membangun kekuatan dari bawah tanah: dari mushalla, dari pesantren, dari jiwa umat.

“Berapa banyak kelompok kecil yang mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.”
(QS. Al-Baqarah: 249)



Gaza: Cermin Masa Lalu, Api Masa Depan

Kini, dunia menyaksikan Gaza. Sebuah wilayah kecil yang dikurung, diblokade, dan dibombardir oleh kekuatan militer dan politik global. Tapi Gaza, seperti Indonesia dahulu, sedang menyimpan bara. Mereka tidak punya tank, tapi mereka punya tekad. Tidak punya satelit, tapi punya semangat. Dan sejarah akan membuktikan: kezaliman yang terlalu percaya diri sedang menuju runtuhnya.

Ketika semua jalan diblokir, jalan langit terbuka.



Pilih Sisi Sejarah

Kita tidak perlu menjadi jenderal untuk menumbangkan kekuasaan. Cukup jadi manusia jujur yang tak tunduk. Cukup jadi suara yang tak berhenti menyerukan kebenaran. Karena sejarah besar selalu dimulai oleh tindakan kecil yang istiqamah.

Belanda dulu merasa abadi. Tapi mereka hilang tanpa jejak yang harum. Gaza hari ini tampak hancur. Tapi mereka mungkin sedang menuliskan bab pertama dari sejarah baru dunia Islam.

Dan kita? Tinggal memilih: ingin jadi bagian dari sistem kezaliman, atau bagian dari skenario langit.

“Sesungguhnya Kami telah mencatat segala sesuatu dalam Kitab (Lauh Mahfuz). Maka bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu.”
(QS. Az-Zukhruf: 78–80)

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (1) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (563) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (258) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (243) Sirah Sahabat (156) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (13) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)