basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Nusantara

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Nusantara. Tampilkan semua postingan

Gelora Diponegoro dari Balik Penjara Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kiprah Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa telah banyak tercat...

Gelora Diponegoro dari Balik Penjara
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Kiprah Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa telah banyak tercatat dan dikenang. Ia tampil sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan, seorang panglima perang yang membakar semangat jihad, dan tokoh sentral dalam sejarah kebangkitan bangsa. Tapi pertanyaan besar yang jarang kita gali: bagaimana kehidupan beliau setelah ditangkap? Apakah kisah perjuangannya berakhir di meja perundingan dan ruang tahanan?

Tidak. Justru di balik jeruji itulah, kualitas kepribadian sejati seorang pejuang diuji. Penjara bukan akhir perjuangan; bagi jiwa-jiwa besar, penjara adalah awal dari kelahiran ruhani yang lebih dalam.

Bayangkan Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Dilemparkan ke penjara atas fitnah, namun dari ruang gelap itulah beliau terus bergerak. Ia menasihati tahanan lain, menafsirkan mimpi, hingga kelak menjadi penasehat utama raja. Dalam surah Yusuf ayat 54–55, ia berkata:

> “Jadikanlah aku bendaharawan negeri ini; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”



Bahkan sebelum keluar dari penjara, Yusuf telah menyiapkan sistem ekonomi penyelamat rakyat dari bencana kelaparan. Maka penjara bukan ruang pasrah; ia adalah ruang ikhtiar yang sunyi.

Atau ingat sahabat Nabi ï·º yang bernama Khubaib bin Adi. Dalam tahanan, saat hendak dieksekusi oleh Quraisy, ia justru meminta untuk shalat dua rakaat terlebih dahulu. Dalam dekap jeruji dan ancaman maut, ia masih ingin menyambung ruhnya kepada langit. Bahkan ketika ia menggendong anak kecil, ia tetap memohon izin untuk bersujud. Sebuah pelajaran besar tentang ketenangan iman dalam puncak tekanan.

Begitu pula yang dilakukan para ulama sepanjang sejarah. Imam Ahmad bin Hanbal menolak kompromi meski disiksa. Ibnu Taimiyah menulis ratusan risalah dari penjara, termasuk karya terkenalnya dalam aqidah dan tafsir. Ia berkata:

> "Apa yang dapat diperbuat musuhku terhadapku? Surga ada dalam dadaku. Bila aku dipenjara, itu adalah khalwat bagiku bersama Allah. Bila aku dibunuh, maka itu adalah syahadah bagiku. Bila aku diusir, maka itu adalah hijrahku di jalan Allah.”



Begitu juga Sayyid Qutb. Ketika ditawarkan kebebasan dengan syarat mencabut pemikirannya, ia menolak dan berkata:

> "Jari jemariku ini tak akan menulis satu huruf pun untuk membenarkan kebatilan.”



Dan dari balik penjara, ia menulis Fi Zilalil Qur’an, sebuah tafsir yang menggema hingga kini. Tafsir itu kelak menjadi rujukan utama Buya Hamka dalam menulis Tafsir Al-Azhar. Buya Hamka sendiri menulis tafsir tersebut dari balik penjara rezim Orde Lama. Saat ditanya tentang penderitaannya di penjara, Hamka berkata:

> “Saya tidak dendam. Bahkan saya berterima kasih, sebab di penjara saya justru dapat menyelesaikan Tafsir Al-Azhar.”



Bila mereka semua melahirkan karya besar dari balik penjara, bagaimana dengan Pangeran Diponegoro? Apakah ia hanya termenung dalam kurungan, terputus dari cita-cita besar perjuangannya?

Untuk menjawab itu, kita harus menelusuri kembali akar kehidupannya. Diponegoro bukan sekadar bangsawan. Ia menolak hidup nyaman di keraton dan memilih hidup sederhana bersama rakyat. Ia berguru kepada para ulama, termasuk Kiai Taptojani, seorang mursyid besar dalam ilmu tasawuf. Ia tumbuh sebagai santri, menyatu dengan denyut kehidupan umat.

Jauh sebelum penjara, ia telah terbiasa menyepi di Goa Selarong. Dari tempat sunyi itu, lahirlah api jihad melawan penjajahan Belanda. Maka penjara bukanlah asing baginya; itu hanyalah ruang sunyi baru untuk menyusun kekuatan ruhani yang lebih dalam.

Tahun pertama pengasingannya (1831–1832), Diponegoro menulis sebuah karya monumental: Babad Diponegoro. Dalam naskah itu, ia tidak hanya mencatat sejarah perang, tetapi juga kegelisahan jiwa, refleksi ruhani, dan kritik terhadap kerusakan moral elit keraton. Ia menulis bukan dengan tinta dendam, melainkan dengan air mata cinta dan harap.

Menurut Peter Carey dalam karyanya Sisi Lain Diponegoro, naskah itu memuat keteladanan kepada Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga, serta kepada Sultan Agung. Ia mengangkat gagasan tentang Ratu Adil—sebuah visi tentang pemimpin masa depan yang adil dan saleh. Ini menegaskan bahwa perjuangannya tidak lokal dan temporal semata, tapi bagian dari mata rantai dakwah besar:

Secara spiritual, ia terhubung dengan perjuangan para ulama di Timur Tengah dan utusan Kekhalifahan Utsmani.

Secara kultural, ia mewarisi semangat dakwah Walisongo yang meleburkan Islam dengan budaya Nusantara.


Kini, Babad Diponegoro telah diakui sebagai bagian dari Memory of the World oleh UNESCO. Sebuah pengakuan bahwa narasi sejati tak hanya lahir dari para pemenang perang, tapi justru dari mereka yang kalah di dunia, namun menang dalam sejarah.

Dalam sebuah lukisan yang tersimpan di Leiden, Pangeran Diponegoro digambarkan duduk bersama keluarganya di Penjara Benteng Rotterdam, tengah membaca kitab tasawuf. Ia tidak mengeluh. Tidak mengutuk. Ia mengisi waktunya dengan belajar. Raga boleh dibelenggu, tetapi jiwanya tetap menjulang tinggi.

Ada satu cita-cita yang tak kesampaian: berhaji ke Tanah Suci. Dalam perjalanan dari Magelang ke Manado tahun 1830, ia menyampaikan kerinduan itu kepada opsir Belanda. Hingga akhir hayatnya, ia menyimpan harapan untuk mengunjungi Rumah Allah. Namun, Allah menakdirkan jalan lain.

Pangeran Diponegoro wafat dalam pengasingan di Makassar, tahun 1855. Tapi ia tak pernah benar-benar mati. Ia hidup dalam babadnya. Dalam napas jihadnya. Dalam setiap jejak yang ia torehkan di tanah air ini.

Penjara tidak mematikan suaranya. Justru dari sanalah ia berbicara kepada zaman.

Karena memang, pejuang sejati bukan mereka yang hanya gagah di medan laga, tapi yang tetap menyalakan cahaya, meski berada dalam gelapnya kurungan.

Dan mungkin, di situlah letak gelora sejati: bukan pada gemuruh senjata, tapi pada keteguhan ruh yang tak tunduk meski dunia merundukkan kepala.

Gua Secang bagi Pangeran Diponegoro Oleh: Nasruloh Baksolahar Jika Anda berkunjung ke Candi Prambanan, di antara Klaten dan Yogy...

Gua Secang bagi Pangeran Diponegoro

Oleh: Nasruloh Baksolahar

Jika Anda berkunjung ke Candi Prambanan, di antara Klaten dan Yogyakarta, sempatkanlah singgah ke Istana Ratu Boko. Di sana, di atas sebuah bukit yang sunyi dan terbuka ke langit, berdiri reruntuhan istana yang menyimpan jejak sejarah spiritual yang lebih tua dari bayangan kita tentang kekuasaan. Bukan semata tentang tembok dan gerbang yang telah rapuh, melainkan tentang sesuatu yang lebih dalam—sebuah gua tersembunyi di jantung istana.

Mengapa ada gua dalam istana?

Gua itu bukan tempat pelarian, bukan pula ruang penyimpanan. Ia adalah altar keheningan. Tempat di mana seorang raja tidak lagi berbicara kepada rakyat, tetapi kepada Tuhannya. Tempat ia menggali kejernihan hati, menjernihkan tujuan, menata arah, dan menumbuhkan cahaya dalam kegelapan batin. Dari dalam gua itulah muncul kebijaksanaan yang menuntun kerajaan, bukan hanya dengan pedang, tetapi dengan akal dan nurani.

Gua adalah ruang sunyi, tempat lahirnya wahyu dan strategi. Sebab, keheninganlah yang sering kali menjadi pintu paling jujur untuk menyentuh langit.

Sejarah Islam mencatat banyak gua sebagai saksi awal perubahan besar dunia. Gua Hira—tempat Nabi Muhammad ï·º menerima wahyu pertama, bukan sekadar ruang fisik, melainkan ruang penyucian hati dan pencarian makna yang panjang. Gua Tsur—tempat beliau bersembunyi bersama Abu Bakar saat hijrah, adalah bukti bahwa keselamatan jiwa lahir dari tempat tak terduga, dan pertolongan Allah lebih dekat dari yang dibayangkan. Bahkan dalam kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang bersembunyi dalam gua demi mempertahankan iman, menjadi simbol kekuatan keimanan yang mengalahkan zaman.

Gua-gua itu tidak bersuara, tapi sejarah bergetar dari sana. Sunyi mereka melahirkan takdir.

Gua Secang, di Bukit Selarong, adalah salah satunya. Jika gua di Ratu Boko menjadi ruang perenungan para raja kuno Jawa, maka Gua Secang adalah titik awal letusan spiritual dan militer yang mengguncang Jawa dan bahkan Eropa. Pangeran Diponegoro tidak memulai perjuangannya dari medan perang, tetapi dari dasar gua. Ia tidak menyusun barisan tentara di halaman istana, tetapi menyusun keteguhan hati di ruang sempit yang hanya muat satu tubuh dan satu doa.

Di gua itulah, sang pangeran mendengar dentang sunyi yang menyingkap kebusukan penjajahan. Ia mendengarkan denyut rakyatnya yang terluka. Ia berbicara dengan Tuhannya, merumuskan makna jihad yang bukan tentang ambisi, melainkan amanah. Di gua itu, ia menyucikan niat. Menelanjangi pamrih. Dan dari gua itu, keputusan besar dilahirkan: melawan.

Pangeran Diponegoro tidak terlahir sebagai pemberontak. Ia lahir sebagai bangsawan keraton, dengan seluruh hak atas kenyamanan dan kedudukan. Namun yang tak banyak orang pahami adalah bahwa api perjuangan bukan hanya menyala karena ketidakadilan luar, tetapi juga karena kejujuran batin. Kejujuran itulah yang menuntunnya ke Gua Secang.

Ia bisa saja memilih kenyamanan istana. Tapi ia memilih keheningan gua. Ia bisa saja menyusun siasat dari keraton, tapi ia justru menyiapkan revolusi dari balik semak dan cadas. Inilah keindahan jalan sunyi: melahirkan kekuatan yang tak bisa dihitung oleh senjata atau jumlah pasukan.

Peter Carey, dalam karya monumentalnya tentang Diponegoro, mencatat bahwa Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar perang politik, melainkan perang spiritual. Perang menegakkan Islam sebagai jalan hidup. Sebagaimana disebutkan dalam teks Malangyuda yang dikutip GWJ Drewes, tujuan utama Diponegoro adalah mengusir kekuasaan yang tak mengakui kebenaran Islam, dan menegakkan tatanan baru yang adil, berlandaskan syariat.

Maka dari gua itu, perang sabil dimulai. Sebuah perang yang bukan dilandasi kebencian, tapi cinta yang dalam kepada rakyat dan Tuhan. Sebuah perang yang tidak didesain oleh para penasihat militer, melainkan oleh hati yang terasah dalam zikir dan tafakur. Dari gua itu, bukan hanya senjata yang diasah, tapi kesadaran sejarah dan misi kenabian.

Keputusan melawan Belanda bukan tindakan spontan. Itu adalah buah dari kontemplasi panjang—sebuah revolusi yang berakar pada keikhlasan, bukan pada ambisi. Diponegoro tahu bahwa kekuatan militer Belanda jauh di atasnya. Tapi yang ia miliki adalah sesuatu yang tak bisa diukur: kekuatan ruhani.

Setiap strategi yang ia keluarkan lahir dari gua, bukan dari ruang sidang. Setiap keputusan militer adalah hasil semedi yang panjang, bukan rapat politik yang bising. Inilah bedanya kekuasaan yang dibangun di atas doa, dibandingkan dengan kekuasaan yang lahir dari intrik dan tipu daya.

Seratus tahun kemudian, dari 1830 ke 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Banyak yang melihat ini sebagai rentang sejarah biasa. Tapi bagi orang yang membaca jejak sunyi, ini adalah gema dari Gua Secang yang menembus abad. Dari gua itulah awal kehancuran VOC dimulai, bahkan ketika kekuatan senjata mereka masih mendominasi. Karena sejarah tidak selalu bergerak dengan sorak-sorai. Ia juga bisa bergerak dari bisikan dan air mata yang jatuh di tengah doa.

Apakah Diponegoro termasuk para pembaharu yang dijanjikan Allah dalam setiap abad? Mungkin. Bukankah ia telah menyambung estafet perjuangan Islam dengan keyakinan dan pengorbanan yang tulus? Bukankah ia telah menghidupkan ruh jihad ketika banyak yang tertidur dalam pesona dunia? Dan bukankah ia lebih memilih gua daripada singgasana, seperti para nabi dan orang-orang pilihan?

Gua bukan tempat pelarian. Ia adalah ruang kelahiran kembali. Setiap pemimpin sejati, sebelum melangkah ke kancah dunia, harus lebih dulu masuk ke dalam dirinya sendiri. Harus lebih dulu menundukkan egonya. Harus lebih dulu merumuskan ulang untuk siapa ia hidup dan mati.

Pangeran Diponegoro mengajarkan itu. Ia menunjukkan bahwa kekuatan terbesar tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam. Bahwa kemenangan sejati tidak dimulai dari medan perang, tetapi dari pertarungan batin yang dimenangkan dalam sunyi.

Dan seperti gua-gua lainnya yang dicatat sejarah, Gua Secang menjadi saksi. Bukan hanya bagi suara takbir yang menggema, tapi bagi doa yang lirih. Bukan hanya bagi strategi militer, tapi bagi air mata pertobatan dan cinta. Di sanalah jiwa pemimpin ditempa. Di sanalah sejarah dilahirkan.

Kini, di antara reruntuhan Ratu Boko dan bukit Selarong, dua gua yang terpisah zaman tapi bersatu dalam pesan. Bahwa kekuasaan sejati adalah buah dari keheningan. Bahwa pemimpin besar tidak dibentuk oleh gemerlap dunia, tapi oleh kesanggupan menatap langit dari dasar bumi.

Gua-gua itu tetap sunyi. Tapi sejarah telah membuktikan: dari sunyi mereka, suara keadilan bergema hingga kini.

Ketika Aqidah Menjadi Kompas Dagang dan Politik di Era Kesultanan Nusantara Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Mereka mengira perdagang...

Ketika Aqidah Menjadi Kompas Dagang dan Politik di Era Kesultanan Nusantara

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Mereka mengira perdagangan digerakkan oleh emas dan perak. Padahal kekuatan sejatinya adalah iman dan ukhuwah.”
— Catatan pelaut Arab abad ke-16 dalam Rihlah al-Bahr al-Hindi



Malaka: Poros Peradaban Islam Asia Tenggara

Pada abad ke-15, Malaka bukan sekadar pelabuhan dagang. Ia adalah simpul spiritual dan geopolitik dunia Islam di Timur. Letaknya yang strategis di Selat Malaka menjadikannya penghubung utama antara Gujarat, Hadramaut, Makkah, Aceh, Ternate, dan Jawa. Namun bukan posisi geografis semata yang menghidupkan Malaka—melainkan ruh aqidah.

Saudagar dari Hadramaut, Gujarat, Benggala, hingga Demak datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga menyambung ukhuwah dan menyebarkan syariat. Pasar menjadi madrasah, pelabuhan menjadi mimbar. Transaksi ekonomi dijalankan dengan akhlak dan misi dakwah. Dalam istilah Azyumardi Azra, "perdagangan Islam tidak bisa dipisahkan dari misi dakwah dan ukhuwah."

Malaka hidup bukan karena cukai atau tarif, tetapi karena kepercayaan yang mengikat para pedagang Muslim dalam jaringan akidah lintas wilayah. Sebuah etos niaga yang menolak transaksi tanpa keadilan dan keberkahan.



Ketika Portugis Salah Membaca Dunia Islam

Namun kesucian itu dihancurkan meriam. Tahun 1511, armada Portugis menyerbu Malaka. Dengan benteng dan kapal perang, mereka mengira telah menguasai jalur emas Asia. Gubernur Afonso de Albuquerque dengan penuh keangkuhan menulis:

“By taking Malacca... Cairo and Mecca will be completely lost.”

Mereka menyangka bahwa dengan menguasai pelabuhan, mereka bisa memutus urat nadi Islam. Tapi mereka lupa: perdagangan Muslim tidak ditentukan oleh senjata, tapi oleh iman. Malaka yang sebelumnya hidup, tiba-tiba sepi. Kapal-kapal enggan merapat. Saudagar hijrah dalam sunyi ke Samudera Pasai dan Aceh.

Denys Lombard mencatat, “Aceh berkembang karena menjadi simbol perlawanan spiritual dan ekonomi terhadap kolonialisme.”

Islam mengajarkan bahwa hijrah tak hanya dari kekufuran, tetapi juga dari kezaliman ekonomi. Dan para pedagang Muslim memahami itu secara hakiki.



Dari Pasai ke Aceh: Akidah sebagai Arah Ekonomi

Pasai sempat menggantikan peran Malaka, tapi Portugis kembali datang membawa kehancuran. Maka gelombang hijrah kembali bergulir—menuju Aceh Darussalam. Di bawah Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh bukan hanya menjadi pusat kekuatan politik Islam, tapi juga benteng akidah yang melahirkan solidaritas ekonomi.

Aceh tidak tumbuh dari emas atau rempah, tetapi dari ruh jihad dan loyalitas kepada tauhid. Sejarawan M.C. Ricklefs menulis, “Islam menciptakan identitas trans-nasional yang mengikat komunitas-komunitas jauh dalam satu jaringan solidaritas.”

Di sinilah satu pola sejarah mulai terlihat jelas:

Ke mana aqidah ditegakkan, ke sanalah perdagangan dan kekuasaan Islam tumbuh.



Ketika Jalur Dagang Bergeser: Sunda Kelapa dan Banten Bangkit

Setelah Malaka dan Pasai jatuh, jaringan saudagar Islam tidak bubar. Mereka hanya berbelok. Jalur pelayaran menyusuri pantai barat Sumatera, melewati Lampung, menuju Sunda Kelapa dan Banten, lalu terus ke Kalimantan dan Indonesia Timur.

Sumber sejarah mencatat:

“Islamic traders… shifted their trade route from the Strait of Malacca toward the direction of Sunda Strait via West Java.”

Banten pun bangkit sebagai pelabuhan internasional. Ia menjadi titik temu pedagang dari Arab, Turki, Cina, Gujarat, Inggris, dan Bugis. Yang menghidupkan pelabuhan itu bukan tarif murah, tapi reputasi amanah para sultan dan imam. Kejujuran jadi modal utama, dan aqidah menjadi fondasi sistem dagang.



Ketika Portugis Menjadi Bajak Laut

Karena gagal menguasai jalur perdagangan yang digerakkan oleh ukhuwah Islamiyah, Portugis berubah haluan. Mereka bukan lagi pedagang atau penguasa pelabuhan, melainkan perompak samudera. Di Samudera Hindia, mereka menjarah kapal-kapal Muslim dari Jawa, Kalimantan, dan Aceh yang hendak menuju Hijaz atau Mesir.

Namun blokade itu gagal. Jamaah haji dari Nusantara mulai mengambil jalur alternatif: dari Aceh ke Sri Lanka, lalu ke Yaman dan Makkah. Upaya Portugis memutus koneksi Nusantara dengan pusat dunia Islam—gagal total.

Azyumardi Azra menyebutnya sebagai “kosmopolitanisme Islam yang berbasis pada jaringan keilmuan dan spiritualitas, bukan dominasi militer.”



Mengapa Demak dan Aceh Menyerang Malaka?

Pertanyaan ini kerap muncul: mengapa Kesultanan Demak dan Aceh menyerang Malaka, padahal lokasinya di luar teritorial mereka?

Jawabannya tegas: karena Malaka adalah bagian dari tubuh umat Islam. Penjajahan atas Malaka bukan hanya penaklukan geografis, tetapi penistaan terhadap akidah. Maka membela Malaka bukan ekspansi politik, tetapi jihad fi sabilillah.

Sejarawan Anthony Reid mencatat bahwa gerakan anti-Portugis di Nusantara bukanlah reaksi lokal, melainkan “solidaritas Islam yang bersifat lintas kerajaan dan wilayah.”

Inilah nasionalisme berbasis tauhid. Sebuah ikatan yang melampaui batas-batas darah dan bahasa.



Revolusi Politik Berbasis Akidah

Sebelum Islam datang, politik Nusantara dibangun di atas kesukuan dan kerajaan. Tapi Islam membawa paradigma baru: umat. Maka satu kapal dagang dari Minangkabau dianggap saudara oleh Sultan di Ternate. Seorang ulama dari Giri bisa memimpin pasukan di Palembang. Karena yang mengikat bukan peta, tapi kalimat tauhid.

Kesadaran baru ini melahirkan revolusi politik berbasis akidah. Sebuah bentuk awal dari apa yang hari ini disebut “geopolitik Islam”. Ulama, saudagar, dan sultan menjadi satu simpul dalam jaringan ruhani yang kokoh.



Ketika Ekonomi Tunduk pada Akidah

Inilah pelajaran besar dari sejarah:

Ekonomi Islam di Nusantara tunduk pada nilai, bukan pasar.
Jika pelabuhan dikuasai oleh penjajah kafir, maka pelabuhan itu ditinggalkan. Jika cukai dipakai untuk menindas umat, maka perdagangan pun dialihkan.

Inilah jihad ekonomi. Sebuah bentuk perlawanan tanpa senjata, tapi berdampak besar.

Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an:

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2–3)


Epilog: Bisnis Sebagai Cermin Akidah

Di era modern, kita terbiasa memisahkan bisnis dari iman. Tapi sejarah Nusantara berkata sebaliknya: bisnis sejati adalah ekspresi dari aqidah. Malaka, Pasai, Aceh, Banten—semua tumbuh bukan karena emas atau pasar bebas, tetapi karena keimanan yang teguh dan jaringan ukhuwah yang hidup.

Portugis boleh menguasai pelabuhan, tapi tidak bisa menguasai hati. Mereka bisa menembak kapal, tapi tak bisa menghentikan ruh dagang yang berpijak pada tauhid.

Buya Hamka dalam Falsafah Hidup menegaskan bahwa:

"Orang yang mengaku beriman, tetapi masih berjual beli dengan mengorbankan akhlak, sejatinya telah meletakkan dunia di atas Tuhan. Padahal bagi Muslim, rezeki adalah amanah, bukan rebutan."

Sementara Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam kerangka pemikiran Islamisasi ilmu, mengkritik pemisahan antara nilai spiritual dan aktivitas ekonomi modern. Baginya, kekayaan bukan sekadar akumulasi material, tapi tanggung jawab tauhid yang harus menjamin keadilan, keseimbangan, dan kemuliaan manusia sebagai hamba dan khalifah.

"Islam tidak mengenal dikotomi antara ‘ekonomi’ dan ‘agama’. Segala aspek hidup berada dalam orbit tauhid. Maka mencari rezeki adalah juga bentuk ibadah, selama ia bergerak dalam maqashid yang benar." — al-Attas, Islam and Secularism

Pertanyaannya untuk masa kini:

Masihkah aqidah menjadi pondasi bisnis dan politik kita hari ini?
Atau kita justru mulai menjual prinsip demi kursi dan profit?

Sejarah sudah memberi jawaban: siapa yang menjadikan iman sebagai fondasi, dialah yang akan tetap menjadi poros dunia. Bukan karena senjata. Tapi karena Allah-lah yang menggerakkan rezeki, kemuliaan, dan kemenangan.

Saat Belanda Sangat Percaya Diri untuk Abadi Menjajah Indonesia Oleh: Nasrulloh Baksolahar  “De Nederlandsch-Indië zal nooit wor...

Saat Belanda Sangat Percaya Diri untuk Abadi Menjajah Indonesia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



 “De Nederlandsch-Indië zal nooit worden losgelaten.”
“Hindia Belanda tidak akan pernah dilepas.”
— Tertulis di uang kertas Belanda, dekade 1940-an.



Ketika Kolonialisme Mengira Dirinya Abadi

Pada dekade 1940-an, Belanda benar-benar yakin bahwa Hindia Belanda adalah miliknya untuk selama-lamanya. Keyakinan ini tak hanya tampak dalam retorika politik atau propaganda, tetapi tercetak secara terang-terangan di atas lembaran uang resmi mereka. Mata uang itu tidak sekadar alat tukar—ia adalah simbol kekuasaan total.

Sejarawan Peter Carey mencatat, "Sistem kolonial Belanda pada 1940-an bukan hanya memenjarakan tubuh rakyat Indonesia, tapi juga pikirannya. Belanda menata ulang seluruh struktur sosial agar tidak ada celah perlawanan."

Mengapa mereka begitu percaya diri? Karena dari ujung Aceh hingga Papua, hampir tak ada wilayah yang benar-benar merdeka. Kesultanan-kesultanan Islam—dari Ternate, Bone, Pontianak, hingga Yogyakarta—sudah berada di bawah kendali simbolik dan administratif Belanda. Mereka masih memiliki mahkota, tetapi tidak lagi punya kekuasaan. Sistem hukum Islam telah direduksi menjadi urusan moral privat. Kata “jihad” telah dimuseumkan oleh tangan-tangan Snouck Hurgronje dan para penerusnya yang berpakaian akademik tapi bekerja untuk kolonialisme.



Keheningan yang Disangka Kemenangan

Belanda sangat memahami bahwa dominasi fisik saja tak cukup. Maka mereka menguasai seluruh sendi kehidupan. Hukum dibuat agar syariat tak bisa hidup di luar ruang pribadi. Pendidikan dirancang untuk mencetak birokrat kolaborator, bukan pemimpin perlawanan. Mata pelajaran tentang sejarah dan keislaman dibersihkan dari unsur “gerakan”.

Snouck Hurgronje menulis dalam “De Atjehers” bahwa “Islam sebagai sistem sosial-politik harus dipisahkan dari Islam sebagai ritual pribadi agar tidak membahayakan stabilitas kolonial.”

Pendidikan modern hanya dibuka bagi bangsawan loyalis. Ulama disingkirkan dari ruang publik. Bahkan fatwa keagamaan dimonitor dan diregulasi oleh pemerintah kolonial. Mata uang, sebagai simbol ekonomi, dicetak dan disebar bukan hanya untuk transaksi, tetapi untuk menyampaikan pesan kekuasaan: kalian adalah milik kami.

Menurut sejarawan ekonomi Christopher Bayly, “Berjalannya mata uang asing di wilayah jajahan adalah bentuk penjajahan tertinggi—ia menjajah tanpa terlihat, memerintah tanpa tentara.”

Dan ini bukan hanya terjadi di Hindia Belanda. Aljazair menggunakan franc Prancis, India memakai pound sterling, Filipina memakai dolar AS. Bahkan hingga kini, penggunaan dolar dalam transaksi internasional masih dianggap bentuk dominasi global pasca-kolonial. Profesor Michael Hudson menyebutnya sebagai "financial imperialism disguised as liberal trade."



Negara yang Dikuasai Total, Tapi Tetap Merdeka

Indonesia bukan satu-satunya. India, yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Inggris selama hampir dua abad, akhirnya merdeka pada 1947. Aljazair, setelah 132 tahun dijajah Prancis dengan brutal, juga memproklamirkan kemerdekaannya pada 1962. Bahkan Vietnam, yang sepenuhnya dicengkeram oleh Prancis dan kemudian Amerika, akhirnya berdiri tegak setelah perjuangan panjang dan berdarah.

Semua negara ini punya kesamaan: ketika kekuasaan kolonial merasa telah menguasai seluruh lini—politik, ekonomi, budaya, pendidikan, agama—mereka justru kehilangan kemampuan mendeteksi api yang membara di dalam jiwa rakyat.

Sejarawan Arnold Toynbee menyimpulkan hal ini dengan sangat tajam:

“Empires fall not at their weakest moment, but when they believe they are invincible.”

Inilah hukum sejarah: saat sebuah kekuasaan merasa tak terkalahkan, saat itulah ia mulai rapuh.



Ketika Semua Kekuatan Berpadu dalam Kezaliman

Kekuasaan Belanda tidak berdiri sendiri. Ia didukung oleh bangsawan lokal yang sudah kehilangan kemandirian, oleh intelektual yang sibuk mencari aman, dan oleh pedagang asing yang mencari untung. Semuanya membentuk aliansi diam-diam untuk mengabadikan ketidakadilan.

Namun sejarah mencatat: kezaliman yang terlalu rapi justru mendekati ajalnya.

“Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)

Belanda tidak dikalahkan oleh tentara besar. Mereka kalah oleh perubahan zaman dan oleh ruh perlawanan yang tak mati. Jepang membuka pintu sejarah, dan rakyat Indonesia yang selama ini ditekan menemukan kembali keberaniannya. Mereka berseru: “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!”



Yang Menghancurkan Kezaliman: Skenario Langit

Kita sering terjebak dalam logika kekuatan fisik. Tapi sejarah Indonesia membuktikan: yang menghancurkan kolonialisme bukan meriam, tapi ruh. Bukan propaganda, tapi doa. Bukan elite, tapi rakyat biasa yang istiqamah.

KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan ulama lain tidak menggenggam senjata, tapi mereka menggenggam kejujuran, keyakinan, dan pengaruh ruhani. Mereka membangun kekuatan dari bawah tanah: dari mushalla, dari pesantren, dari jiwa umat.

“Berapa banyak kelompok kecil yang mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.”
(QS. Al-Baqarah: 249)



Gaza: Cermin Masa Lalu, Api Masa Depan

Kini, dunia menyaksikan Gaza. Sebuah wilayah kecil yang dikurung, diblokade, dan dibombardir oleh kekuatan militer dan politik global. Tapi Gaza, seperti Indonesia dahulu, sedang menyimpan bara. Mereka tidak punya tank, tapi mereka punya tekad. Tidak punya satelit, tapi punya semangat. Dan sejarah akan membuktikan: kezaliman yang terlalu percaya diri sedang menuju runtuhnya.

Ketika semua jalan diblokir, jalan langit terbuka.



Pilih Sisi Sejarah

Kita tidak perlu menjadi jenderal untuk menumbangkan kekuasaan. Cukup jadi manusia jujur yang tak tunduk. Cukup jadi suara yang tak berhenti menyerukan kebenaran. Karena sejarah besar selalu dimulai oleh tindakan kecil yang istiqamah.

Belanda dulu merasa abadi. Tapi mereka hilang tanpa jejak yang harum. Gaza hari ini tampak hancur. Tapi mereka mungkin sedang menuliskan bab pertama dari sejarah baru dunia Islam.

Dan kita? Tinggal memilih: ingin jadi bagian dari sistem kezaliman, atau bagian dari skenario langit.

“Sesungguhnya Kami telah mencatat segala sesuatu dalam Kitab (Lauh Mahfuz). Maka bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu.”
(QS. Az-Zukhruf: 78–80)

Kesultanan dan Keilmuan Islam Nusantara dalam Geopolitik Dunia Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Islam di Nusantara tidak tumbuh ...

Kesultanan dan Keilmuan Islam Nusantara dalam Geopolitik Dunia Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Islam di Nusantara tidak tumbuh dari ruang kosong atau dari isolasi adat semata. Ia berkembang dalam jalinan geopolitik Islam global—menghubungkan wilayah kepulauan ini dengan pusat otoritas spiritual dan politik dunia Islam: dari Haramain di Hijaz, Istanbul di jantung Khilafah Turki Utsmani, hingga pesantren dan istana-istana Islam di Banten, Aceh, Mataram, dan Yogyakarta.

Sejak awal, Kesultanan Islam Nusantara tidak hanya mendasarkan kekuasaannya pada warisan lokal atau garis keturunan, tapi menambatkannya pada legitimasi spiritual dan politik Islam internasional. Ulama pun tak sebatas penasihat ritual, melainkan arsitek jaringan keilmuan trans-nasional yang menjadi infrastruktur intelektual umat.

Yang jarang disadari: keterhubungan global ini bukan sekadar strategi melawan kolonialisme. Ia adalah peta strategis untuk memajukan peradaban—secara spiritual, politik, keilmuan, hingga militer.



1. Banten: Legitimasi Mekah untuk Kekuasaan Modern

Tahun 1638, Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Qadir dari Banten mengutus delegasi resmi ke Mekah. Tujuannya bukan semata menunaikan ibadah haji, melainkan memperoleh pengakuan dari pusat kekuasaan Islam.

Sejarawan Martin van Bruinessen mencatat:

“The embassy he sent to Mecca returned to Banten... bringing various gifts and a new name for the ruler, to legitimize themselves by claims to Islamic knowledge and powers.”

Dengan gelar dari Haramain dan simbol legitimasi spiritual, Sultan Banten mengokohkan kekuasaannya sebagai pemimpin Muslim yang diakui dunia. Ini bukan reaksi pasif terhadap ancaman Belanda, tetapi inisiatif untuk membangun pemerintahan Islam modern berbasis pengakuan internasional.



2. Mataram: Islamisasi Institusi, Bukan Arabisasi Budaya

Tiga tahun kemudian, Sultan Agung dari Mataram melakukan hal serupa. Tahun 1641, ia mengirim utusan ke Haramain dan kembali dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi, kuluk (mahkota Arab), panji tauhid, dan air zamzam.

“The embassy returned with an Arabic title... kuluk, banner, and a jar of zamzam water.”

Simbol-simbol ini menandai masuknya Mataram dalam jaringan kepemimpinan dunia Islam. Sultan Agung mulai memperkuat struktur hukum, administrasi, dan sosial dengan pendekatan syariah. Ia tidak menanggalkan kejawaan, tetapi melekatkan kekuasaannya dalam jaringan kekhilafahan Islam global.



3. Aceh: Koalisi Militer-Islam dalam Skala Regional

Kesultanan Aceh mengambil posisi paling strategis. Ketika Portugis dan Belanda merangsek masuk ke Asia Tenggara, Aceh menjalin hubungan diplomatik dan militer dengan Khilafah Turki Utsmani.

Anthony Reid menulis:

“Diplomatic and military relations between Ottoman Turkey and some Muslim states of Southeast Asia has been known for centuries.”

Aceh memperoleh bantuan senjata, meriam, teknisi, bahkan surat kekhilafahan dari Istanbul. Menurut Jajat Burhanuddin:

“Hingga awal abad ke-19, Aceh masih menyebut dirinya bagian dari dunia kekhalifahan.”

Aceh menunjukkan bahwa kekuatan militer umat Islam bisa dibangun melalui diplomasi antar-peradaban, bukan isolasi lokal.



4. Yogyakarta dan Diponegoro: Islam sebagai Gerakan Sosial

Pada abad ke-19, Keraton Yogyakarta mempertahankan relasi simbolik dengan Haramain. Gelar Khalifatullah, stempel kekhalifahan, pedang Hijaz, hingga potongan kiswah Ka’bah menjadi simbol resmi kesultanan.

Pangeran Diponegoro menjadikan simbol-simbol itu sebagai alat mobilisasi dalam Perang Jawa. Peter Carey mencatat:

“Diponegoro menggunakan simbol-simbol Islam global untuk menyatukan rakyat dan mendeklarasikan perang suci melawan penjajahan.”

Perjuangan Diponegoro bukan sekadar jihad militer, tetapi upaya reformasi tatanan sosial Jawa yang telah rusak oleh kolonialisme dan deviasi elite.



5. Sanad Ulama: Infrastruktur Intelektual Nusantara

Jika para sultan membangun kekuasaan dengan legitimasi politik Islam, maka para ulama membangun pilar peradaban lewat keilmuan. Mereka belajar di Haramain, membawa pulang sanad dan otoritas fatwa.

Beberapa tokoh penting:

Syaikh Nawawi al-Bantani – Imam Masjidil Haram, guru KH Hasyim Asy’ari.

Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi – Guru pendiri NU dan Muhammadiyah.

Syaikh Yusuf Makassar, Arsyad al-Banjari – Mujahid keilmuan dan reformasi akhlak.


Azyumardi Azra menyatakan:

“Jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara menjadi tulang punggung transformasi sosial-politik Muslim Asia Tenggara.”

Pesantren pun lahir dari jaringan ini: sebagai pusat literasi, kaderisasi, dan pembebasan umat.



Dari Zamzam ke Meriam: Arsitektur Islam untuk Kemajuan

Apa makna semua ini?

Pengakuan dari Mekah dan Istanbul bukan sekadar ornamen. Dalam logika geopolitik Islam klasik, itu adalah bentuk penguatan kekuasaan, hukum, pendidikan, dan pertahanan. Sebuah recognition of statehood dalam sistem peradaban Islam.

Francis Robinson menegaskan:

“Peran Mekah dan Istanbul dalam dunia Islam dulu seperti PBB dan Liga Arab dalam dunia modern.”

Aceh bahkan meminta “Surat Firman” dari Sultan Ottoman sebagai perlindungan terhadap Portugis. Ini menunjukkan bahwa Kesultanan Islam Nusantara adalah aktor aktif dalam sistem internasional Islam.



Islam di Nusantara: Lokalitas atau Konektivitas?

Sering kita dengar narasi bahwa Islam Nusantara adalah hasil “adat yang diislamkan.” Tapi fakta sejarah menolak simplifikasi itu.

Jika Islam Nusantara hanya budaya lokal, mengapa para sultan ke Mekah?

Jika ia sekadar adat, mengapa ulama harus mencari sanad di Haramain?

Jika ia hanya simbol, mengapa bantuan meriam datang dari Istanbul?


Jawabannya:

Islam Nusantara kuat bukan karena eksotisme lokal, tetapi karena konektivitasnya dengan jantung peradaban Islam.



Geopolitik Hari Ini: Ketika Kiblat Kekuasaan Beralih ke Barat

Pertanyaannya kini lebih tajam: bagaimana menyikapi kenyataan bahwa kekuasaan, ilmu, dan teknologi kini dimonopoli oleh Barat?

Pakar geopolitik Islam, Ali Paya, menjawab:

> “Dalam Islam, tidak ada pemisahan mutlak antara ilmu, kekuasaan, dan spiritualitas. Yang ada adalah jaringan—saling menopang, saling menguatkan.”

Sementara itu, Tariq Ramadan memperingatkan:

“Umat Islam akan kehilangan arah jika tidak membangun kembali jaringan global berbasis ilmu, etika, dan solidaritas.”

Dan hari ini, Gaza—dengan segala kepedihannya—justru menjadi simpul awal kebangkitan jaringan itu.

Krisis di Gaza telah menyatukan masjid-masjid, ulama, aktivis, dan kaum muda dari Maroko hingga Malaysia. Ia menjadi pengingat bahwa umat Islam masih bisa disatukan oleh satu nilai: kehormatan.



Menyambung Jaringan yang Terputus

Kesultanan dan keilmuan Islam Nusantara telah memberi teladan: bahwa kekuatan umat lahir dari koneksi global, bukan isolasi lokal.

Jika dulu kekuatan itu disalurkan melalui zamzam dan panji tauhid dari Mekah, meriam dari Istanbul, serta sanad dari Haramain—hari ini, koneksi itu harus dibangun ulang lewat jaringan digital, solidaritas intelektual, dan gerakan moral lintas negara.

Mungkin Gaza adalah ujung awal. Tapi masa depan menanti:
Apakah kita siap menyambung kembali jaringan Islam dunia?
Atau kita tetap puas jadi penonton geopolitik yang dirancang bukan oleh umat ini?


Islam di Nusantara bukan sekadar warisan. Ia adalah blueprint kebangkitan.
Yang kita butuhkan bukan nostalgia, tapi aksi dan jaringan—seperti para sultan dan ulama dahulu membangunnya.

Islam di Nusantara: Lokal atau Trans-Nasional? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Islam di Nusantara kerap digambarkan sebagai “produk l...

Islam di Nusantara: Lokal atau Trans-Nasional?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Islam di Nusantara kerap digambarkan sebagai “produk lokal”—mengakar di bumi pertiwi, berpadu dengan adat, dan bersifat damai. Namun narasi semacam itu sering digunakan untuk memutus akar sejarah Islam yang sesungguhnya: bahwa sejak awal, Islam di Nusantara bukan sekadar lokal, melainkan bagian dari jaringan besar dunia Islam.

Yang ironis, keterhubungan ini kini justru dicurigai. Gerakan Islam yang menautkan diri ke Mekkah, Kairo, atau Istanbul langsung dicap “radikal” atau “asing.” Sementara hubungan ideologis ke Washington, Paris, atau Beijing malah dielu-elukan sebagai bentuk kemajuan dan keterbukaan.

Padahal, justru dari keterhubungan itulah kekuatan Islam Nusantara tumbuh. Maka pertanyaannya bukan “Islam kita lokal atau trans-nasional?”, melainkan: mengapa hanya keterhubungan Islam yang dicurigai?



Apa Itu Gerakan Trans-Nasional?

Istilah “gerakan trans-nasional” biasanya dimaknai sebagai ekspor ideologi dari luar yang mengancam kedaulatan. Aksa, peneliti dari Universitas Mulawarman, menyebut Hizbut Tahrir sebagai contoh gerakan Islam trans-nasional yang membawa doktrin khilafah global. Namun ia juga mengakui bahwa Nahdlatul Ulama memiliki dimensi trans-nasional melalui jejaring santri dan ulama global (Jurnal PAI, 2022).

Sementara itu, Prof. Azyumardi Azra memberi pandangan lebih mendalam. Dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (2004), ia menyebut fenomena ini sebagai “kosmopolitanisme Islam,” di mana ulama Nusantara menjadi bagian dari jaringan keilmuan dunia tanpa kehilangan identitas lokal.

Dengan kata lain, trans-nasionalisme bukan ancaman, tapi warisan sejarah Islam yang mendalam. Yang jadi soal bukan keterhubungannya, melainkan bagaimana ia diramu ulang dalam konteks perjuangan umat di tanah air.



Masuknya Islam: Melalui Ilmu, Bukan Invasi

Islam masuk ke Nusantara bukan lewat pedang, melainkan lewat perdagangan dan dakwah damai. T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam mencatat bahwa sejak abad ke-7, pedagang dan ulama dari Arab, Persia, dan Gujarat telah hadir di pelabuhan-pelabuhan Sumatera, Jawa, dan Maluku.

Navigator Muslim abad ke-15, Al-Mahri, menyebut Melaka sebagai pelabuhan utama para pelajar dan pedagang Islam. Itu berarti, sejak awal, Nusantara sudah menjadi simpul penting dalam jaringan dunia Islam—bukan pulau terisolasi yang mendadak “diislamkan” dari dalam.



Sriwijaya dan Khalifah: Diplomasi Islam Abad ke-8

Hubungan trans-nasional Islam-Nusantara sudah tercatat sejak masa kekhalifahan Umayyah. Sejarawan S.Q. Fatimi dalam Islam Comes to Malaysia (1963) menulis bahwa Raja Sri Indrawarman dari Sriwijaya mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717–720 M), meminta agar ulama dikirim ke kerajaannya.

“Permintaan raja Sriwijaya kepada khalifah adalah permohonan serius atas dasar keinginan belajar Islam, bukan sekadar diplomasi politik.” — S.Q. Fatimi

Ini bukti nyata bahwa keterhubungan dunia Islam tidak lahir dari proyek penaklukan, tetapi dari haus ilmu dan kerinduan spiritual yang datang dari wilayah timur dunia Islam.



Walisongo: Ulama Global, Dakwah Lokal

Walisongo bukanlah figur lokal semata, melainkan hasil interaksi panjang dengan pusat-pusat keilmuan Islam di Hadramaut, Kairo, hingga Istanbul. Menurut Azyumardi Azra, mereka adalah bagian dari jaringan ulama dunia Islam yang saling mengunjungi, menimba ilmu, dan membangun pusat-pusat dakwah baru.

“Ulama-ulama Nusantara adalah bagian dari jejaring ulama dunia Islam yang saling belajar dan mengajar.” — Azyumardi Azra (2004)

Yang membuat mereka berhasil adalah kemampuan meramu fiqh Syafi’i, tasawuf Sunni, dan ilmu Islam klasik dengan kebudayaan lokal. Inilah Islamisasi yang tidak memusnahkan budaya, tapi menyucikannya.



Aceh, Banten, dan Solidaritas Ottoman

Trans-nasionalisme Islam tidak berhenti di bidang ilmu. Ia juga tampak dalam bidang diplomasi dan perlawanan. Pada 1566, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar mengirim utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan menghadapi Portugis. Sultan Selim II mengirim meriam dan ahli militer sebagai respons.

B.J. Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce menyebutnya sebagai bentuk solidaritas Islam internasional.

Habib Abdurrahman Az-Zahir dari Aceh, pada abad ke-19, bahkan diangkat sebagai Pasha oleh Sultan Abdulhamid II karena perannya dalam diplomasi anti-kolonial. Dalam Al-Rihlah ila Bilad al-Atrak (1880), ia menulis:

“Umat Islam di Timur dan Barat adalah satu tubuh. Jika satu bagian tersakiti, seluruh tubuh merasakannya.”



Komunitas Jawi dan Perpustakaan Kairo

Santri Nusantara telah belajar di Haramain sejak abad ke-17. Mereka dikenal sebagai “kaum Jawi” dan membentuk komunitas keilmuan di Mekkah dan Madinah. Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi adalah salah satu ulama terkemuka asal Nusantara yang menjadi imam besar di Masjidil Haram dan guru dari pendiri NU dan Muhammadiyah.

Kitab-kitab pesantren pun mayoritas dicetak di Kairo, Beirut, dan Istanbul. Fealy dan Bruinessen dalam Pesantren dan Kitab Kuning mencatat:

“Mayoritas kitab yang digunakan di pesantren berasal dari tradisi Syafi’iyyah Timur Tengah dan dicetak di Kairo.”

Ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam kita tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dari interaksi global yang membumi.



NU dan Muhammadiyah: Trans-Nasional yang Dimodifikasi

NU dan Muhammadiyah bukan gerakan yang muncul dari ruang lokal murni. Keduanya adalah hasil perjumpaan ulama Nusantara dengan arus intelektual dan gerakan pembaruan di Timur Tengah. Muhammadiyah terinspirasi oleh gerakan salafiyah modernis seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. NU lahir sebagai respons terhadap modernisme yang dianggap mengabaikan tasawuf dan tradisi pesantren.

Sejarawan Prof. Karel A. Steenbrink mencatat dalam Muslim Modernism in Indonesia:

“Gerakan pembaruan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 adalah produk interaksi dengan dunia Islam yang lebih luas, bukan reaksi lokal semata.”

Dengan kata lain, NU dan Muhammadiyah adalah contoh sempurna bagaimana gagasan global bisa diramu ulang sesuai kebutuhan perjuangan umat Islam di tanah air—bukan proyek asing, melainkan penyesuaian kontekstual dari warisan bersama.



Lalu Mengapa Hanya Islam yang Dicurigai?

Kapitalisme, sekularisme, liberalisme gender, bahkan budaya pop digital seperti Netflix, TikTok, atau K-pop—semuanya adalah gerakan trans-nasional. Tapi tak satu pun dicap “radikal” atau “mengancam budaya lokal.”

Sementara Islam, ketika bersuara dari Kairo atau Istanbul, langsung dicurigai sebagai ideologi impor. Padahal, justru dari relasi global itulah Islam Nusantara tumbuh dan matang.

Inilah sisa trauma kolonial yang belum sembuh: relasi ke dunia Islam dianggap berbahaya, tapi relasi ke Barat dianggap modernitas.



Trans-Nasionalisme Adalah Akar Kita

Islam Nusantara bukan hasil isolasi budaya, melainkan hasil dialog abadi antara wahyu dan konteks, antara langit dan bumi. Ia bukan salinan mentah dari Arab, tetapi bukan pula konstruksi lokal tanpa akar.

Islam kita kuat karena ia terhubung. Ia tumbuh dari pelabuhan Melaka, dari surat Raja Sriwijaya, dari doa para wali, dari diplomasi Aceh ke Ottoman, dari pesantren-pesantren yang menimba ilmu dari Timur Tengah, hingga lahirnya NU dan Muhammadiyah sebagai hasil sintesis keilmuan dan perjuangan.

Maka, berhentilah mencurigai keterhubungan sebagai ancaman. Justru dalam keterhubungan itulah letak kekuatan, akar sejarah, dan denyut nadi peradaban Islam Nusantara.

Dari Demak ke Yogyakarta: Jejak Hukum Islam yang Dihapus oleh Penjajah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah bukan sekadar catatan ...


Dari Demak ke Yogyakarta: Jejak Hukum Islam yang Dihapus oleh Penjajah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi medan pertarungan memori dan makna. Salah satu medan yang kerap disembunyikan adalah jejak hukum Islam di Tanah Jawa. Dari Kesultanan Demak, Mataram Islam, hingga pecahannya di Yogyakarta dan Surakarta, hukum Islam pernah menjadi tulang punggung penataan masyarakat dan kekuasaan. Namun kolonialisme Belanda datang bukan hanya dengan bedil dan cukai, tetapi juga dengan proyek besar: menghapus hukum Islam dari ruang publik dan menggantinya dengan sistem hukum kolonial.



Warisan Demak dan Mataram: Syariat sebagai Sistem Bernegara

Kesultanan Demak (1475–1554), didirikan oleh Raden Patah—murid Sunan Ampel dan bagian dari jaringan Walisongo. Dalam Atlas Walisongo, Prof. Agus Sunyoto menyebut Demak sebagai bentuk awal negara hukum Islam di Nusantara. Syariat tidak hanya mengatur ibadah personal, tetapi juga urusan sosial: muamalah, pidana, zakat, wakaf, dan peradilan. Rujukan utamanya adalah kitab fiqh Syafi’iyyah seperti Fath al-Qarib, Taqrib, dan al-Tanbih.

Struktur hukumnya dibentuk melalui lembaga Balai Syuro atau Majelis Qadha, yang dipimpin para qadhi dan penghulu. Para ulama Walisongo memegang jabatan strategis dalam pengadilan dan pemerintahan. Undang-undang adat seperti Angger-angger Pasar dan Angger-angger Pradata diselaraskan dengan prinsip-prinsip fiqh.

Warisan ini diperkuat oleh Kesultanan Mataram Islam, khususnya di masa Sultan Agung (1613–1645). Ia menyatukan penanggalan Jawa dan Hijriyah melalui Kalandra Sultan Agungan, sebagai bentuk Islamisasi kultural. Hukum pidana lokal ditulis dalam Serat Angger-angger Pidana dan Serat Angger-angger Tindak. Salah satu pasalnya menyatakan:

“Yèn wong nyeluk asmane Gusti Allah saksiné, banjur mungel luput, kudu diukum kanthi pangandikan qadhi, supaya uripé ora dadi piala.”

“Jika seseorang menyebut nama Tuhan (Allah) sebagai saksinya, lalu ternyata ia berdusta, maka ia harus dihukum berdasarkan keputusan qadhi (hakim syariat), agar hidupnya tidak menjadi celaka.” (Angger-angger Pidana, pasal tentang sumpah palsu)

Pasal ini menunjukkan integrasi antara hukum adat dan prinsip syariah, terutama dalam perkara moral, harta, dan kejujuran publik.

Menurut Prof. M. Djajendra dari UGM, sistem hukum Mataram bisa disebut “semi-teokrasi”. Ulama memegang jabatan keagamaan sekaligus kehakiman, dan raja menjadi pelindung agama. Pesantren dijadikan pusat pendidikan hukum, tempat kaderisasi qadhi dan penghulu. Negara dan fiqh berjalan seiring, bukan terpisah.



Yogyakarta dan Surakarta: Fragmentasi Politik, Konsistensi Syariah

Setelah Perjanjian Giyanti (1755), Mataram terpecah menjadi dua: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Secara politik mereka terpisah, tetapi secara hukum tetap melanjutkan sistem Islam. Di Yogyakarta, jabatan Penghulu Keraton dan Mufti Kerajaan masih eksis hingga awal abad ke-20. Di Surakarta, pengadilan agama tetap berjalan di bawah perlindungan raja.

Dr. Kees van Dijk dalam Religion and State in Indonesia mencatat bahwa lembaga-lembaga ini tetap mengurus perkara nikah, talak, warisan, wakaf, hingga sengketa agraria. Ini bukan sekadar urusan domestik, tetapi manifestasi sistem hukum Islam yang masih hidup dan dihormati masyarakat.



Snouck Hurgronje: Ilmuwan atau Arsitek Dekonstruksi Syariah?

Kuatnya posisi hukum Islam membuat Belanda sadar bahwa bedil tak cukup. Maka dikirimlah Snouck Hurgronje, orientalis yang menyamar sebagai Muslim di Mekkah dan Aceh. Ia bukan sekadar akademisi, tapi perancang strategi kolonial untuk menjinakkan Islam.

Dalam The Achehnese dan Verslagen en Mededeelingen (1899), Snouck menulis:

“Jika Islam tetap dibiarkan menjadi dasar hukum dan sistem sosial, maka Hindia Belanda tak akan pernah stabil.”

Rekomendasinya diterapkan dalam kebijakan Regeeringsreglement (1854) dan Indische Staatsregeling (1925), yang mempreteli yurisdiksi pengadilan agama, membatasi hanya untuk nikah, talak, dan warisan—dan itu pun harus diawasi oleh landraad (pengadilan kolonial). Syariat dikebiri menjadi urusan domestik, bukan sistem sosial.



Perang Diponegoro: Saat Syariah Menjadi Ancaman Nyata

Namun teori Snouck menjadi kenyataan pahit saat meledak Perang Diponegoro (1825–1830). Menurut Prof. Peter Carey dalam The Power of Prophecy, ini bukan sekadar konflik tanah atau takhta, tapi “puncak perlawanan Islam politik di Jawa.”

Diponegoro tidak hanya memimpin laskar jihad, tetapi juga membentuk negara syariah bayangan. Ia mengangkat qadhi, membangun pesantren sebagai pusat logistik, dan menerapkan hukum Islam dalam administrasi lokal.

Sejarawan Niels Mulder dalam Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java menulis bahwa kekuatan Diponegoro ada pada “kemampuannya menciptakan otoritas moral dan legal tandingan” atas hukum kolonial. Inilah yang ditakuti Belanda: bahwa syariat bisa menjadi fondasi politik alternatif yang sah dan berdaya.



Kolonialisme Hukum: Dari Dekrit ke Lembaga

Pasca-Perang Jawa, Belanda bergerak sistematis. Kewenangan qadhi dipangkas. Para penghulu dijadikan pegawai negeri di bawah Kantoor voor Inlandsche Zaken. Isi khutbah Jumat dimonitor. Bahkan akad nikah pun harus dicatat oleh pejabat kolonial.

Prof. B.J.O. Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies menyebut ini sebagai bentuk “depolitisasi hukum Islam”—proyek untuk menjauhkan syariah dari potensi mobilisasi sosial dan menjadikannya sekadar urusan keluarga.



Syariah: Dari Ancaman Menjadi Harapan

Kini, ketika kita membaca ulang jejak hukum Islam di Tanah Jawa, pertanyaannya bukan hanya: “Apa yang hilang?”, tapi “Mengapa ia pernah begitu ditakuti?”

Syariah ditakuti bukan karena kejam, tapi karena ia membentuk keadilan sosial, menyatukan rakyat, dan menolak tunduk pada kekuasaan asing. Ia adalah hukum yang tidak lahir dari kolonialisme, tapi dari akal sehat, spiritualitas, dan nilai-nilai ilahiyah.

Jika Demak, Mataram, dan Yogyakarta pernah kuat karena syariat, mengapa hari ini dianggap tabu?

Sejarah telah memberi kita bukti. Kini giliran umat Islam memberi keberanian: bukan hanya mengenang syariat, tetapi menegakkannya kembali—sebagai sistem keadilan, bukan sekadar simbol ibadah.

Hilangnya Syeikh Yusuf Al-Makasari dari Kancah Pengelolaan Negara Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah negeri ini dipenuhi ironi. ...

Hilangnya Syeikh Yusuf Al-Makasari dari Kancah Pengelolaan Negara

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Sejarah negeri ini dipenuhi ironi. Tokoh-tokoh besar yang membangun pondasi peradaban justru dikaburkan dalam buku sejarah, digantikan oleh narasi politis yang steril dari hikmah. Salah satu sosok yang terbuang dari ingatan bangsa adalah Syeikh Yusuf Al-Makasari. Ulama, pejuang, pemikir, dan arsitek hukum Islam Nusantara yang peran strategisnya dalam pemerintahan Kesultanan Banten justru nyaris lenyap dari kesadaran publik.

Namanya harum dari Gowa hingga Istanbul, dari Aceh hingga Mekkah. Namun perannya dalam pengelolaan negara berbasis syariat, tasawuf, dan fiqh justru diabaikan dalam model kekuasaan modern. Dalam dinamika politik kontemporer, tak lagi ditemukan sosok ulama seperti Syeikh Yusuf—yang tak hanya memberi nasihat kepada penguasa, tapi ikut membentuk arah dan nilai sebuah pemerintahan.



Dari Gowa ke Haramain: Jejak Ilmu Seorang Ulama Petualang

Syeikh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 1626. Sejak muda, semangat keilmuannya tak tertandingi. Ia merantau ke berbagai pusat intelektual Islam: Banten, Aceh, Yaman, Mekkah, Madinah, hingga Istanbul. Di Aceh, ia berguru kepada Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, ulama besar yang menjadi mufti Kesultanan Aceh dan terkenal sebagai pembaru pemikiran Islam di wilayah Melayu-Nusantara.

Di Banten, ia menjalin persahabatan dengan Pangeran Surya, calon Sultan Ageng Tirtayasa. Hubungan mereka bukan sekadar persahabatan, tapi kolaborasi ideologis antara ulama dan umara. Syeikh Yusuf mengusulkan bentuk negara yang tak hanya kuat secara politik, tetapi juga kokoh secara akhlak dan hukum ilahiah.



Mufti yang Menghidupkan Struktur Negara

Sepulang dari Haramain dan Istanbul, Syeikh Yusuf kembali ke Banten dan diangkat sebagai mufti agung oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Namun jabatan itu bukan sekadar gelar. Ia membangun infrastruktur ruhani dan hukum negara. Ia menjadi arsitek konstitusi Islam Banten, tempat hukum syariat berjalan dalam rel keadilan.

Sejarawan Belanda, H.J. de Graaf, menyebut Syeikh Yusuf sebagai salah satu tokoh paling strategis dalam menegakkan sistem keislaman di Nusantara abad ke-17. Perannya begitu kuat hingga kerajaan-kerajaan Islam dari Sumatera hingga Maluku menjadikan Banten sebagai poros legitimasi, bukan hanya kekuasaan militer.

Banten pun menjalin hubungan erat dengan Syarif Makkah, kerajaan-kerajaan di India, Hadramaut, hingga Istanbul. Hal ini menandai Banten bukan sekadar kerajaan lokal, tapi pusat diplomasi dunia Islam regional. Semua ini tak lepas dari jaringan keilmuan dan karisma ruhani Syeikh Yusuf.



Tasawuf dalam Struktur Negara

Berbeda dari banyak sufi yang menjauhi politik, Syeikh Yusuf menghidupkan tasawuf sebagai fondasi etika kekuasaan. Ia menggabungkan tarekat dan strategi. Ia mendapat ijazah dari Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Qadiriyah, Syattariyah, dan Ba’alawiyah, menjadikannya tokoh besar dalam spiritualitas Islam global. Gelarnya: Tajul Khalwati Hidayatullah—mahkota Khalwati yang membimbing pada petunjuk Allah.

Ia membawa tasawuf ke dalam tubuh negara. Ia menanamkan nilai zuhud dalam kekuasaan, amanah dalam kepemimpinan, dan syura dalam pemerintahan. Bahkan setelah ia diasingkan oleh Belanda, Sultan-Sultan Banten tetap memakai gelar sufistik: Zainal Abidin, Zainal Arifin, Zainal Alimin, dan Zainal Asyiqin. Bukti bahwa tasawuf telah menjadi bahasa kekuasaan, bukan sekadar jalan batin.



Fakih Najmuddin dan Jejak Hukum Islam yang Terlupakan

Bersama Syeikh Yusuf, Kesultanan Banten membentuk lembaga peradilan syariat yang kuat: Kantor Qadhi. Institusi ini menangani segala urusan: muamalah, waris, nikah-cerai, dan bahkan hudud. Salah satu tokoh penting dalam sistem ini adalah Kiyahi Pakih Najmuddin, Qadhi agung Banten.

Dalam Sarasehan Sejarah Banten tahun 2015, filolog Ayang Utriza Yakin memaparkan hasil kajian atas naskah Undang-Undang Banten abad ke-17. Ia menemukan Catatan Pengadilan Fakih Najmuddin, yang menunjukkan betapa syariat Islam telah berjalan sebagai sistem legal yang kokoh. Bahkan penelitiannya itu diterima dan diapresiasi oleh Universitas Oxford, menegaskan bahwa sistem hukum Islam di Banten adalah warisan dunia yang sah.



Mengapa Syeikh Yusuf Hilang dari Pengelolaan Negara Hari Ini?

Pertanyaannya menggigit:
Ke mana peran ulama seperti Syeikh Yusuf di zaman ini?
Mengapa hari ini para ulama hanya menjadi stempel halal kekuasaan, bukan lagi pembimbing dan penentu arah negara?

Jawabannya menyedihkan:
Ulama hari ini banyak yang tercerabut dari akar keilmuan fiqh dan tasawuf secara bersamaan. Mereka hanya menguasai satu dimensi: hukum tanpa hikmah, atau sufisme tanpa strategi. Di sisi lain, para penguasa modern lebih menyukai ulama yang jinak, bukan yang jujur.

Kekuasaan kini dibangun di atas transaksionalisme, bukan spiritualisme. Ulama dijadikan ornamen, bukan organ dalam negara. Padahal sejarah membuktikan: negara tanpa ulama bukan negara, hanya kekuasaan kosong tanpa cahaya.



Model Syeikh Yusuf dan Masa Depan Politik Islam

Model pemerintahan yang dicita-citakan Syeikh Yusuf Al-Makasari bukan teokrasi kaku. Ia adalah republik ruhani, semacam spiritual commonwealth tempat hukum dan etika bersatu, tempat rakyat dituntun, bukan ditundukkan. Konsep ini sejajar dengan gagasan John Rawls tentang “overlapping consensus”—kesepakatan nilai antara agama dan masyarakat sipil.

Bahkan Alasdair MacIntyre dalam bukunya After Virtue menyatakan bahwa sistem ideal adalah komunitas berbasis etika keutamaan (virtue ethics), bukan kekuasaan instrumental. Dan inilah yang telah ditunjukkan oleh Banten bersama Syeikh Yusuf: negara yang hidup dari nilai, bukan dari hasrat.



Ruh Negara yang Dicuri Sejarah

Hilangnya Syeikh Yusuf Al-Makasari dari peta pengelolaan negara hari ini adalah kehilangan besar yang tak disadari. Ia bukan hanya bagian dari masa lalu, tapi cermin masa depan. Ia membuktikan bahwa ulama sejati bukan hanya mufti yang menasihati, tapi insinyur ruhani yang membentuk arah dan roh sebuah pemerintahan.

Di tengah krisis legitimasi politik, pecahnya moral publik, dan matinya nurani negara, Syeikh Yusuf adalah oase dari zaman keemasan yang bisa dijadikan blueprint peradaban.

Kini tinggal kita:
Apakah kita ingin kembali menjadikan ulama sebagai penuntun kekuasaan?
Atau membiarkan sejarah terus kehilangan ruhnya, satu per satu? Karena tanpa ruh, negara hanya tinggal bangkai dengan seragam.

Dakwah Melawan Wabah di Era Keruntuhan Majapahit  Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Penyakit tidak sekadar soal fisik. Ia juga tentang...

Dakwah Melawan Wabah di Era Keruntuhan Majapahit 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Penyakit tidak sekadar soal fisik. Ia juga tentang kebudayaan, keimanan, dan cara manusia memperlakukan dirinya sendiri.”
— Catatan Sejarah dari Blambangan, Abad XV


Blambangan Tercekik Wabah

Di sebuah masa ketika ilmu kedokteran belum terlembaga secara formal, dan penyakit dianggap kutukan dewa-dewa atau akibat melanggar pantangan leluhur, muncullah satu sosok yang melampaui zaman: Maulana Ishaq, salah satu anggota penting dalam jejaring Walisanga. Beliau bukan hanya ulama—tetapi juga seorang tabib, bahkan bisa disebut epidemiolog pertama di bumi Nusantara.

Blambangan, sebuah kadipaten Hindu terakhir di ujung timur Jawa, pada abad ke-15, dilanda pagebluk hebat. Wabah merajalela, rakyat panik, pemimpin bingung. Hampir setiap hari ada yang meninggal dunia. Jika pagi hari seseorang terjangkit, malamnya ia wafat. Begitu juga sebaliknya. Tak ada jeda. Tak ada penawar. Tak ada harapan.

Sejarahwan Prof. Oman Fathurahman dalam kuliahnya menyebut bahwa masyarakat Jawa klasik mengenal beragam penyakit yang dicatat dalam teks-teks kuna seperti Serat Centhini, Negarakertagama, dan Primbon Jampi Jawi—antara lain: wudunen (bisul), buduk (kusta), mengi (asma), lampung (penyakit kulit), bahkan tidur yang diartikan sebagai koma.

Penyakit yang menimpa rakyat Blambangan agaknya termasuk dalam kategori berat. Bahkan dalam kisah lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi di Banyuwangi, disebutkan bahwa penyakit itu juga menjangkiti kalangan istana. Sang putri, Dewi Sekardadu, menderita sakit keras dan hampir tak tertolong.



Maulana Ishaq: Tabib yang Bersih, Ulama yang Tajam

Sunan Ampel, pemimpin spiritual pusat dakwah Islam di Jawa kala itu, tidak tinggal diam. Beliau mengutus salah seorang ulama terbaiknya, Syaikh Maulana Ishaq, untuk mengobati rakyat dan membuka jalur dakwah di wilayah yang masih kukuh mempertahankan agama leluhur tersebut.

Berbeda dari dukun yang menggunakan mantra dan kemenyan, Maulana Ishaq justru berkeliling desa, mencatat, mengamati, dan mewawancarai masyarakat. Ia mencatat penyebab penyakit bukan semata kutukan, tetapi karena sanitasi buruk, kebiasaan hidup yang kotor, dan pola makan yang tidak higienis.

Dalam laporan sejarah yang dihimpun oleh sejarawan Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo, disebutkan bahwa Maulana Ishaq dikenal sebagai tokoh yang sangat memperhatikan kebersihan fisik dan spiritual. Ia adalah simbol dari perpaduan antara ilmu pengobatan, akhlak luhur, dan kekuatan dakwah yang menyentuh kalbu masyarakat.

Ia menemukan bahwa warga Blambangan terbiasa mengonsumsi binatang liar seperti kelelawar, kera, katak, hingga tikus. Binatang-binatang ini secara medis terbukti membawa virus dan bakteri berbahaya. Bahkan menurut Negarakertagama, konsumsi hewan-hewan tersebut dianggap hina dan bisa menyebabkan penyakit kronis seperti meningitis.



Ilmu, Iman, dan Kesehatan

Dalam khutbahnya kepada rakyat Blambangan dan kepada Prabu Menak Sembuyu, Maulana Ishaq menyampaikan bahwa Islam sangat memperhatikan kebersihan. Wudhu lima kali sehari bukan sekadar ritual, tapi juga bentuk pencegahan penyakit. Mandi junub, cuci tangan sebelum makan, potong kuku, larangan makan bangkai, hingga keharusan menguburkan jenazah dengan cepat—semua adalah bentuk sistem kesehatan preventif yang tidak dikenal dalam ajaran lokal saat itu.

“Agama kami menyuruh kami untuk bersuci sebelum menyentuh yang suci. Bayangkan jika kebiasaan itu dilakukan oleh seluruh rakyatmu. Bukankah wabah akan pergi?” ucap Maulana Ishaq dalam tradisi tutur yang masih dikenang di daerah Banyuwangi.

Dakwahnya bukan dalam bentuk pedang atau perang. Tapi dengan kasih sayang, pengobatan gratis, dan teladan hidup bersih. Ia tak memungut biaya, justru memberi bekal pada pasien yang datang dari jauh. Rakyat Blambangan jatuh hati. Bukan karena ceramahnya, tapi karena akhlaknya. Tubuhnya selalu bersih, pakaiannya harum, dan ia tidak pernah menolak orang miskin yang datang berobat.



Kesembuhan Sang Putri dan Janji yang Dikhianati

Ketika Dewi Sekardadu jatuh sakit, Prabu Menak Sembuyu kehilangan akal. Dalam keputusasaan, ia bersedia menerima syarat dari Maulana Ishaq: sang tabib akan mengobati putrinya dengan satu permintaan, yakni diperbolehkan mendakwahkan Islam secara terbuka di tanah Blambangan. Raja menyetujui.

Atas izin Allah, Dewi Sekardadu sembuh. Tapi seperti banyak kisah klasik Nusantara, keajaiban justru berujung pengkhianatan. Janji tinggal janji. Prabu Menak Sembuyu merasa terancam akan pengaruh Islam dan mengusir Maulana Ishaq dari kerajaannya.

Syaikh itu pun pergi. Ia meninggalkan rakyat yang mencintainya, meninggalkan gadis yang telah disembuhkan, dan meninggalkan Blambangan yang kembali dikejar bayangan wabah.



Wabah Kembali Menyerbu

Tak lama setelah pengusiran itu, wabah pun kembali. Kali ini lebih ganas. Tidak ada tabib, tidak ada petuah, tidak ada ajaran kebersihan. Blambangan kembali menjadi tanah kematian. Dalam cerita rakyat yang hidup di sekitar Banyuwangi, masyarakat percaya bahwa pengusiran Maulana Ishaq adalah kesalahan fatal yang membawa kutukan.

“Ketika kebenaran ditolak, maka bencana akan datang bukan hanya dari langit, tetapi juga dari dalam tubuh manusia,” begitu salah satu kutipan dalam manuskrip lokal Babad Blambangan.



Jejak Maulana Ishaq dan Cahaya dari Utara

Maulana Ishaq pergi ke Pasai, meninggalkan Jawa Timur yang keras kepala. Tapi dari perjalanannya itulah, lahir benih baru. Dari pernikahannya dengan Dewi Sekardadu, lahir seorang anak yang kelak menjadi pahlawan sejati dakwah Islam di Nusantara: Sunan Giri. Sang jenius dari Giri Kedaton. Sang pendidik, ahli strategi, dan pemimpin yang kelak mengguncang kekuasaan Majapahit dan menegakkan panji dakwah ke seluruh penjuru Nusantara.

Sejarah mencatat: meski tubuh Maulana Ishaq terusir dari Blambangan, tapi ruh perjuangannya tetap hidup. Ia mewariskan bukan hanya anak, tapi peradaban.



Akhir yang Menggetarkan

Blambangan tidak tumbang karena pasukan. Ia tumbang karena kesombongan. Karena menolak kebaikan yang datang dalam wujud lelaki bersih dengan akhlak mulia. Karena tak sanggup menerima bahwa pengetahuan bisa datang dari luar tembok adat dan warisan nenek moyang.

Walisanga bukan hanya pendakwah. Mereka adalah teknokrat, ilmuwan, insinyur, dan dokter. Mereka tidak membunuh raja, tapi menyembuhkan rakyat. Mereka tidak membakar candi, tapi menyalakan akal dan nurani. Ketika rakyat lapar, mereka beri makan. Ketika rakyat sakit, mereka berikan harapan.

Dan Maulana Ishaq adalah contohnya.

“Wabah adalah ujian. Tapi menolak kebenaran adalah musibah.”
— Refleksi atas Sejarah Blambangan

Membongkar Mitos 350 Tahun Penjajahan: Padahal Ada Kesultanan yang Baru Dikalahkan pada 1925? Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Bangsa...

Membongkar Mitos 350 Tahun Penjajahan: Padahal Ada Kesultanan yang Baru Dikalahkan pada 1925?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu kapan ia pernah benar-benar merdeka dan kapan ia pernah benar-benar dijajah.”



Kita sering mendengar narasi yang terus diulang sejak bangku sekolah dasar: Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Angka itu begitu kuat menancap di benak, seakan tak tergugat, menjadi dogma yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi mari kita bertanya secara kritis: benarkah Belanda menjajah Indonesia selama itu? Apakah mungkin satu bangsa asing mampu menjinakkan ratusan kerajaan, suku, dan pulau dalam satu tarikan napas selama tiga setengah abad?



Wilayah yang Luas, Kesultanan yang Tangguh

Nusantara bukan satu pulau kecil. Ia gugusan ribuan pulau dengan ratusan kerajaan bercorak Islam, Hindu, Budha, hingga animisme yang memiliki identitas politik dan militer sendiri. Apakah mungkin Belanda menguasainya semua secara bersamaan sejak 1602, tahun berdirinya VOC?

Sejarawan Prof. Dr. Onghokham menegaskan, kolonialisme Belanda lebih banyak berbentuk “pengaruh terbatas di titik-titik ekonomi strategis”, terutama di pelabuhan besar seperti Batavia, Makassar, dan Semarang. Wilayah pedalaman, apalagi daerah yang dipimpin oleh kesultanan Islam, kerap menjadi medan perang yang tak pernah selesai. Bahkan dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), disebutkan bahwa hingga awal abad ke-20, Belanda hanya menguasai sekitar 60% dari total wilayah geografis Indonesia secara administratif efektif.



Pecahnya Mataram: Tanda Kekalahan atau Awal Perlawanan?

Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membelah Kesultanan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta sering dianggap sebagai awal kolonialisasi Belanda di pedalaman Jawa. Tapi benarkah itu bentuk kekuasaan penuh?

Justru setelah itu, perlawanan semakin massif. Perang Jawa 1825–1830, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, bukanlah perang kecil. Dalam buku The Java War karya Peter Carey, dijelaskan bahwa ini adalah perang gerilya terbesar di Asia abad ke-19, melibatkan lebih dari 200.000 korban jiwa dan menguras kas kolonial sampai ke ambang kebangkrutan.

Jika benar Belanda telah menjajah Jawa sejak abad ke-18, kenapa butuh waktu seabad kemudian untuk “menjinakkan” rakyatnya?



Banten: Dari Batavia hingga Jejak Para Haji Mujahid

Ketika Belanda mendirikan Batavia pada 1619, itu bukan berarti mereka telah menaklukkan seluruh Banten. Kesultanan Banten, yang kala itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, masih menjadi kekuatan maritim yang tangguh. Bahkan pada 1677, Sultan Ageng nyaris merebut kembali Batavia.

Namun keunikan Banten bukan hanya pada militansinya, tapi pada keterhubungannya dengan pusat-pusat keilmuan Islam. Ketika perlawanan rakyat Banten pecah kembali pada Tahun 1888, para pemimpinnya adalah ulama jebolan Mekkah yang pernah berguru kepada Syekh Nawawi al-Bantani, mufti terkemuka di Haramain.

Sejarawan Sartono Kartodirdjo menulis bahwa pemberontakan 1888 bukan sekadar pemberontakan sosial, tetapi “berbasis ideologi jihad dan ilmu agama.” Bahkan Syekh Yusuf al-Makassari, mufti Kesultanan Banten yang dibuang Belanda ke Afrika Selatan, tetap menyulut perlawanan dengan menemui jamaah haji dari Nusantara yang menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Budak memang bisa dibelenggu, tapi ruh kemerdekaan tak bisa ditawan.



Aceh, Padri, dan Bali: Api Tak Pernah Padam

Aceh bukan sekadar wilayah yang ditaklukkan. Ia adalah simbol perlawanan yang abadi. Belanda baru berhasil menembus jantung Kesultanan Aceh pada 1904, setelah puluhan tahun pertempuran, dan itupun bukan berarti selesai. Perlawanan rakyat Aceh berlanjut hingga tahun 1942, ketika Belanda dipukul mundur oleh Jepang. Bahkan ketika semua wilayah lain telah “diam”, rakyat Aceh tetap menggenggam senjata.

Di wilayah Minangkabau, Perang Padri (1803–1838) adalah babak lain perlawanan. Belanda berhasil masuk ke pedalaman setelah terlibat dalam konflik internal antara kaum adat dan ulama, tapi tetap harus menghadapi perlawanan gigih dari tokoh seperti Tuanku Imam Bonjol. Sejarawan Taufik Abdullah menyebut Perang Padri sebagai bentuk “pembangkangan struktural terhadap sistem kolonial.”

Sementara di timur, Bali dan Lombok baru bisa direbut Belanda setelah 1894. Bahkan dalam buku Bali: A Paradise Created, Adrian Vickers mencatat bahwa pendudukan Belanda di Bali selalu berhadapan dengan sistem kasta dan kehormatan yang membuat rakyat lebih memilih mati dalam puputan (perang total) daripada tunduk pada kolonial.



Banjar dan Jambi: Kesultanan Terakhir yang Berdiri Tegak

Di Kalimantan, Perang Banjar (1859–1905) menunjukkan bahwa kolonialisme tak pernah nyaman di tanah Dayak dan Banjar. Pangeran Antasari menjadi simbol perlawanan yang hingga kini hidup dalam ingatan sejarah Kalimantan Selatan.

Adapun kesultanan terakhir yang baru dikuasai adalah Kesultanan Jambi. Sultan Thaha Syaifuddin, yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional, memimpin Perang Raja Batu hingga wafat pada 1904, namun sisa-sisa perlawanan masih hidup hingga 1925. Dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah (Kemendikbud), sejarawan mencatat bahwa Jambi adalah salah satu daerah yang waktu penjajahannya paling singkat, tak sampai satu abad.



350 Tahun? Dari Mana Angka Itu?

Jadi darimana datangnya angka 350 tahun itu? Jawaban paling umum: dari berdirinya Batavia (1619) hingga proklamasi kemerdekaan (1945). Tapi apakah seluruh wilayah Nusantara sudah benar-benar tunduk pada 1619? Ataukah Belanda hanya bercokol di beberapa kota pelabuhan saja?

Jika kita menggunakan tolok ukur kontrol militer dan administrasi, maka Belanda baru benar-benar menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia setelah 1925, usai penaklukan terakhir terhadap Jambi. Dan jika kita hitung hingga 1942, ketika Jepang masuk, maka masa “penguasaan total” Belanda atas Nusantara hanya ±17 tahun saja.



Nusantara: Tidak Pernah Tunduk Sepenuhnya

Ustadz Salim A. Fillah dalam berbagai ceramahnya sering menyebut bahwa “Nusantara adalah satu-satunya kawasan yang berhasil bertahan dari kolonialisme secara identitas.” Di Afrika, Asia Selatan, bahkan Australia dan Amerika Latin, penjajahan menyapu bersih agama asli, bahasa, hingga peradaban. Tapi di Nusantara?

Bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan. Islam tetap menjadi ruh masyarakat. Rakyat tetap menunaikan haji. Ulama tetap menjadi pemimpin moral. Belanda gagal menjajah pikiran dan jiwa bangsa ini.



Narasi Harus Dikoreksi, Agar Mental Bangsa Tidak Salah Asuh

Narasi bahwa kita dijajah selama 350 tahun harus dikaji ulang. Ia bukan hanya soal kronologi, tapi soal mentalitas kolektif. Jika kita terus percaya bahwa kita adalah korban pasif selama tiga setengah abad, maka kita akan tumbuh sebagai bangsa yang inferior.

Namun jika kita sadar bahwa kita adalah bangsa yang melawan, menolak, dan berjihad sepanjang sejarah, maka kita bisa bangkit dengan kepala tegak. Kita bukan bangsa yang dijajah, kita adalah bangsa yang terus berjihad sampai penjajah hengkang.

“Sejarah bukan sekadar masa lalu, ia adalah cermin martabat masa depan.”

Pembagian Peran Aceh dan Demak: Strategi Menjelang Badai Penjajahan Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Ketika Eropa mulai mencari jalan...

Pembagian Peran Aceh dan Demak: Strategi Menjelang Badai Penjajahan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Ketika Eropa mulai mencari jalan laut ke Timur, Islam di Nusantara justru telah menyiapkan dermaga iman, pelabuhan dakwah, dan mercusuar peradaban.” — Catatan Sejarah Nusantara, 1511



Aceh dan Demak: Sebuah Kebetulan atau Desain Ilahi?

Sejarah memiliki caranya sendiri untuk menyimpan rahasia. Kadang ia tampak seperti kebetulan, padahal sejatinya adalah bagian dari skenario besar. Demikian pula kehadiran dua poros besar Islam di Nusantara: Kesultanan Aceh di barat dan Kesultanan Demak di timur. Keduanya tidak berdiri dalam kehampaan, melainkan saling mengisi dalam dua peran yang berbeda namun saling menguatkan. Aceh menjaga simpul hubungan luar negeri dengan dunia Islam internasional. Demak membangun jantung Islam dalam negeri. Apakah ini kebetulan? Ataukah ini desain Allah SWT menjelang badai penjajahan?



Walisongo: Kiriman Turki Utsmani?

Dalam karya klasik "Sejarah Umat Islam" (jilid 4), Buya Hamka mengungkapkan bahwa Turki Utsmani memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Salah satu bentuknya adalah dukungan kepada para ulama yang kelak dikenal sebagai Walisongo. Mereka bukan sekadar ulama lokal, tetapi bagian dari jaringan dakwah transnasional, hasil dari kerjasama antara Haramain, Pasai, dan Turki.

Sejarawan Prof. Azyumardi Azra juga menulis dalam "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII", bahwa ulama Nusantara memiliki koneksi langsung dengan pusat-pusat keilmuan di Makkah dan Kairo. Bahkan sebelumnya, Aceh dan Pasai sudah menjadi pintu gerbang keilmuan bagi ulama dari Jawa. Sunan Giri, Sunan Bonang, bahkan Sunan Gunung Jati disebut-sebut menimba ilmu di wilayah ini. Artinya, sebelum berdirinya Demak, benih-benih intelektual dan spiritualnya telah disemai di bumi Aceh dan Pasai.



Simpul Keilmuan: Aceh–Demak, Satu Jaringan

Kesultanan Aceh bukan hanya sebuah kerajaan. Ia adalah universitas terbuka dunia Islam di timur. Di sinilah para ulama besar dari Jawa belajar. Aceh menjadi pelabuhan ilmu, sebelum menjadi pelabuhan diplomasi dan militer. Di sinilah peran Aceh menjadi penting: sebagai pusat orientasi keilmuan Islam yang berhubungan langsung dengan Timur Tengah, baik melalui jalur haji maupun jaringan tarekat.

Demak, di sisi lain, adalah pengejawantahan dari ilmu yang telah diserap di Aceh dan Pasai. Ia membangun sistem sosial, budaya, ekonomi, dan kekuasaan yang sepenuhnya bertumpu pada ajaran Islam. Inisiatif ini tidak lepas dari peran Walisongo yang menjadi arsitek sosial Demak.

Sejarawan Dr. Taufik Abdullah menulis bahwa jaringan keilmuan dan dakwah antara Aceh, Pasai, dan Jawa adalah bukti bahwa Islamisasi Nusantara tidak terjadi secara sporadis, melainkan sistemik dan terkoordinasi. Ini menandakan bahwa antara Aceh dan Demak ada simpul keilmuan yang satu.



Jaringan Diplomatik: Aceh sebagai Duta Besar Islam Nusantara

Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, jalur dagang dunia Islam menuju Asia Tenggara terputus. Namun Aceh tidak diam. Ia tampil sebagai garda depan menghadapi armada Portugis. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar dari Aceh bahkan mengirim utusan ke Istanbul. Dan hasilnya? Turki Utsmani mengirimkan senjata, teknisi militer, hingga armada bantuan ke Aceh pada abad ke-16. Kapal-kapal Aceh bahkan diizinkan mengibarkan bendera Turki di lautan Hindia demi melindungi diri dari bajak laut Portugis.

Hal ini diperkuat oleh catatan Anthony Reid dalam "Southeast Asia in the Age of Commerce", bahwa Aceh adalah satu-satunya kerajaan di Asia Tenggara yang secara terbuka menjalin hubungan diplomatik dan militer dengan Turki Utsmani. Ini bukan hanya strategi politik, tapi ekspresi solidaritas ukhuwah Islamiyah lintas benua.



Demak: Membangun Sistem dari Dalam

Sementara Aceh berjibaku di luar negeri, Demak memperkuat dari dalam. Dari tangan Sunan Ampel dan Sunan Giri, dibangunlah jaringan sosial dan ekonomi Islam di Jawa. Di sinilah konsep negara berbasis tauhid mulai dijalankan: zakat sebagai penguatan ekonomi rakyat, masjid sebagai pusat pemerintahan, dan pesantren sebagai pabrik pemimpin.

Demak bukan hanya kekuasaan, tapi strategi. Ia bukan hanya kesultanan, tapi jantung perlawanan. Buah dari Demak tampak di abad-abad selanjutnya: munculnya Cirebon, Banten, Mataram, Ternate, Tidore. Semua adalah hasil dari benih yang ditanam oleh Walisongo, benih yang akarnya pernah menyentuh tanah Aceh.



Tidak Pernah Bertempur, Karena Berasal dari Akar yang Sama

Adakah fakta bahwa Aceh dan Demak pernah saling memerangi? Tidak ada. Sebaliknya, hubungan mereka adalah aliansi strategis—meski tidak selalu dalam bentuk resmi. Mereka memiliki kesadaran yang sama bahwa penjajah tidak hanya datang menaklukkan tanah, tapi juga aqidah dan peradaban.

Buya Hamka mencatat bahwa sejak abad ke-16, ada semacam konsolidasi antar-kesultanan Islam di Nusantara untuk menghadang masuknya kekuatan kolonial. Ini terbukti dari surat-surat diplomatik antar-kerajaan, bantuan senjata, pertukaran ulama, dan jaringan perdagangan bersama.

“Di kala Portugis mulai menjajah dan menyebarkan agamanya, muncullah kesultanan-kesultanan Islam di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Mereka saling memberi semangat dan kekuatan, walaupun tidak semua tercatat dalam surat menyurat resmi. Tapi semangat persatuan dan satu aqidah itu menjadi perisai menghadapi bahaya dari luar.”
— Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid 5, hal. 47

Bukankah Aceh menjalin diplomatik dengan Turki Utsmani? Bukankah Demak pun lahir dari ulama yang dikirim oleh khalifah Turki Utsmani?



Menjelang Badai Penjajahan

Portugis gagal menguasai jalur rempah karena Nusantara telah bersatu. Aceh memagari jalur laut. Demak menyiapkan jalur darat. Jamaah haji dan pedagang masih bisa berangkat ke Makkah, bahkan ketika Malaka dikuasai Portugis. Di masa-masa itulah, ruh Islam Nusantara mencapai bentuknya yang paling murni: mandiri, kokoh, dan terhubung langsung dengan jantung Islam dunia.

Demak melahirkan Cirebon, lalu Banten, dan dari sana lahir pula kekuatan Mataram Islam. Sementara Aceh tetap menjadi pelabuhan dunia Islam dan basis perlawanan militer. Ketika Belanda masuk ke Batavia, sudah ada jaringan perlawanan di pesisir. Ketika Inggris menjejakkan kaki di Sumatera, Aceh sudah menjadi “khalifah kecil” yang disegani.

Penjajahan Eropa tidak pernah membayangkan bahwa Nusantara memiliki koordinasi sekokoh itu. Maka butuh 350 tahun bagi Belanda untuk menguasai Nusantara. Bahkan saat menguasainya pun, mereka tidak pernah benar-benar bisa menguasai hati umat Islam di sini. Karena hati itu selalu menghadap Makkah. Buktinya, saat Kesultanan telah digenggam, perlawanan di luar istana terus berkecamuk.



Perlawanan yang Tidak Pernah Padam

Hari ini, kita bertanya: Mengapa Aceh dan Demak muncul hampir bersamaan? Mengapa satu menjaga jalur luar, satu membangun dari dalam? Mengapa mereka tidak pernah bertempur? Jawabannya mungkin hanya satu: karena mereka bukan dua, tetapi satu tubuh dari ruh yang sama. Sebuah desain dari Allah SWT untuk menghadapi badai dari barat.

Ketika peradaban zalim datang, mereka tidak berhadapan dengan bangsa biasa. Mereka berhadapan dengan umat yang terhubung dengan Haramain, bersenjata dengan ilmu, dan dipimpin oleh para wali. Inilah rahasia kekuatan Nusantara: hati yang tidak bisa dijajah, karena telah terhubung dengan Tauhid.

Republik Ruhani Giri: Warisan Kekuasaan Islam yang Disembunyikan Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah selalu punya kecende...

Republik Ruhani Giri: Warisan Kekuasaan Islam yang Disembunyikan Sejarah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Sejarah selalu punya kecenderungan berpihak pada suara paling nyaring, bukan pada pengaruh paling dalam. Itulah sebabnya Kesultanan Demak kerap disebut sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Tapi jauh sebelum Demak membangun menara dan istana, dari atas sebuah bukit sunyi di Gresik, seorang wali, saudagar, dan pemimpin ruhani telah lebih dahulu mendirikan model kekuasaan Islam yang nyaris terlupakan: Republik Ruhani Giri.

Dialah Raden Paku, lebih dikenal sebagai Sunan Giri, yang memerintah dengan gelar Prabu Satmata—"Raja Bermata Suci". Bukan raja dalam arti kekuasaan mutlak, tetapi pemimpin dengan penglihatan tajam, jernih, dan dituntun wahyu. Sejarah kita terlalu senyap dalam menyebutnya. Padahal, ia bukan sekadar Walisanga—ia adalah raja Islam pertama di Jawa, dalam arti kepemimpinan politik, ekonomi, dan spiritual yang terstruktur.



Giri: Negara Mini yang Berdiri Tanpa Menumpahkan Darah

Tahun 1487, ketika Majapahit mulai runtuh oleh kebusukan dalam, dan Blambangan menggigil sebagai benteng terakhir Hindu-Jawa, Sunan Giri mendirikan Giri Kedaton. Bukan dengan perang atau perebutan istana, melainkan dengan membangun pusat ilmu, dakwah, dan jaringan dagang. Giri tak dilahirkan dari perebutan, tapi dari keruntuhan.

Buya Hamka menyebut Giri sebagai “kerajaan agama” yang tak mampu dihapuskan Majapahit. Mustakim mencatat Giri sebagai entitas politik otonom sejak 1487. Di masa itu, kekuasaan politik yang tidak punya tentara nyaris mustahil. Tapi Giri justru memperlihatkan cara lain: legitimasi moral, keilmuan, dan ruhaniyah bisa lebih ampuh daripada seribu pedang.

Sementara kekuasaan lain sibuk menaklukkan, Giri mengakar ke dalam hati umat, bukan ke atas peta kekuasaan.



Struktur Pemerintahan Giri: Syariat, Hikmah, dan Pelayanan

Giri bukan sekadar pesantren besar. Ia adalah negara mini spiritual. Di dalamnya terdapat:

Bangsal: pusat pemerintahan dan perumusan hukum.

Puri: tempat tinggal keluarga, ruang tradisi, dan lembaga pendidikan elite.

Giri dijalankan bukan oleh dinasti penguasa, melainkan oleh ulama, saudagar, dan santri senior. Sistemnya tidak mengenal kasta feodal. Legitimasi lahir dari khidmah (pelayanan), ta’dzim (penghormatan), dan syura (musyawarah). Ia menjalankan bentuk proto-republik spiritual yang berakar kuat pada syariat dan tradisi masyarakat maritim.

Dalam istilah modern, model ini dekat dengan "spiritual commonwealth"—pemerintahan yang dijalankan secara kolektif dengan otoritas religius sebagai pusat etika dan aturan, bukan alat kekuasaan represif.



Demak dan Giri: Dua Jalan Kekuasaan Islam di Awal Jawa

Demak tampil dengan simbol kejayaan Majapahit: masjid agung, tombak pusaka, ekspansi ke Ternate dan Malaka. Tapi semua itu tak punya legitimasi penuh tanpa restu Giri. Raden Patah sendiri naik tahta setelah mendapat pengesahan dari Sunan Giri. Demak kuat secara simbolik, tapi Giri kuat secara ruhani.

Mataram Islam melanjutkan pola sentralisasi kekuasaan. Tapi bahkan Sultan Agung pun mengakui pentingnya Giri sebagai pusat ruhani yang tak bisa dipisahkan dari struktur kekuasaan Islam Jawa.

H.J. de Graaf menyebut Giri sebagai semacam pontifikat di Jawa. M.C. Ricklefs menulis, tanpa pengesahan Giri, tidak ada raja Islam yang sah di mata umat. Giri bukan sekadar otoritas spiritual. Ia adalah lembaga politik suci yang memberi ruh kepada kekuasaan.



Ekspansi Tanpa Perang: Diplomasi Santri dan Saudagar

Cara Giri memperluas pengaruhnya sangat khas:

1. Mengirim murid-muridnya ke daerah strategis, dari Kalimantan hingga Maluku.

2. Mengembangkan jaringan dagang yang menghubungkan pesantren-pesantren pesisir dengan jalur rempah dan pelabuhan-pelabuhan strategis.

3. Menjadi pusat legitimasi kekuasaan bagi para adipati dan calon sultan.

Jejak Giri masih terasa hingga kini di Wajo, Buton, Ternate, dan Bima. Di tempat-tempat itu, Islam masuk bukan lewat pasukan, tetapi lewat nasihat, naskah, dan nikmat perniagaan.

Giri mengajarkan: kekuatan bukanlah soal teritorial, tapi pengaruh dan kepercayaan. Sebuah prinsip yang lebih tahan zaman dibanding kemenangan militer sesaat.



Mengapa Giri Dilupakan? Siapa yang Diuntungkan?

Sejarah kolonial dan nasional sama-sama abai terhadap Giri. Kolonialisme tak menyukai model kepemimpinan spiritual yang tak bisa dikendalikan. Nasionalisme modern lebih menyukai narasi heroik yang dapat dijadikan simbol negara, bukan pesantren sunyi yang tak punya bala tentara.

Giri terlalu hening untuk masuk buku sejarah sekolah. Terlalu dalam untuk dipahami oleh penguasa yang hanya sibuk menata kekuatan formal.



Bisakah Giri Diterapkan di Zaman Kini?

Di tengah dunia yang dibanjiri krisis legitimasi, korupsi, dan kekeringan moral, Giri justru tampil sebagai model alternatif paling relevan.

Bayangkan sistem yang:

Mengedepankan hikmah, bukan histeria.

Menyebarkan kepemimpinan lewat ilmu, bukan uang.

Menata umat melalui ta’dzim, bukan dominasi.

John Rawls menyebut model seperti ini sebagai "overlapping consensus"—nilai-nilai religius yang bisa hidup berdampingan dalam ruang publik.
Alasdair MacIntyre menyebutnya sebagai komunitas berbasis keutamaan (virtue ethics)—di mana struktur kekuasaan muncul dari karakter, bukan kalkulasi.

Model Giri bukan model puritan yang anti-kemajuan. Ia adalah gagasan futuristik yang belum diberi panggung.



Republik Ruhani: Warisan Masa Lalu, Solusi Masa Depan

Giri bukan sekadar situs sejarah. Ia adalah visi kenegaraan Islam yang orisinil, adil, dan mengakar.
Bukan bayang-bayang Demak. Bukan pelengkap silsilah Walisanga. Tapi model utuh kepemimpinan Islam berbasis masyarakat, bukan monarki.

Saat dunia sibuk membangun kekuasaan dengan algoritma dan senjata, Giri memberi pelajaran bahwa pengaruh sejati lahir dari ketenangan, ilmu, dan keberkahan.

Dan dari atas bukit sunyi itu, sejarah berbisik:
Inilah kekuasaan Islam yang dibangun tanpa pedang, tapi mengubah arus zaman.
Prabu Satmata bukan hanya raja. Ia adalah ruh dari kekuasaan yang bijak.



Saatnya Membaca Ulang Sejarah

Republik Ruhani Giri bukan sisa masa lalu. Ia adalah konsep masa depan.
Ia mengajarkan bahwa negara bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling patut dipercaya.
Bukan soal kontrol, tapi soal pengaruh yang lahir dari khidmat.

Di tengah reruntuhan Majapahit dan kegelisahan Blambangan, berdirilah satu poros baru peradaban Islam.
Dan di sana, di atas bukit Giri, duduk seorang pemimpin yang dilupakan sejarah:

Prabu Satmata Raja Islam pertama di tanah Jawa, pendiri republik ruhani Nusantara.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (238) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)