basmalah Pictures, Images and Photos
07/04/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Membumihanguskan Gaza dan Serangan Balik Iran: Mana yang Lebih Berat Bebannya bagi Warga Israel? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pera...

Membumihanguskan Gaza dan Serangan Balik Iran: Mana yang Lebih Berat Bebannya bagi Warga Israel?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Perang bukan hanya soal senjata, strategi, atau statistik. Ia adalah ujian moral, daya tahan batin, dan legitimasi politik. Dalam dua front utama yang kini dihadapi Israel—Gaza dan Iran—yang terjadi bukan hanya pertempuran fisik, melainkan juga pertarungan makna: antara narasi kemenangan dan realitas kehancuran batin.

Israel memang unggul dalam teknologi militer, tetapi konflik ini menunjukkan bahwa kekuatan fisik tidak selalu sejajar dengan ketahanan jiwa bangsa. Yang dipertaruhkan kini bukan hanya wilayah, tapi nilai-nilai dasar yang menentukan apakah sebuah negara layak disebut sebagai peradaban.



Dilema Serangan Udara vs Darat: Antara Tombol dan Luka

Dalam doktrin militer modern, perbedaan antara perang udara dan darat bukan hanya soal taktik, tapi juga soal biaya kemanusiaan dan dampak moral yang menyertainya.

1. Efisiensi Anggaran dan Logistik

Perang udara menelan biaya tinggi dalam teknologi, tapi rendah risiko bagi pasukan penyerang. Cocok untuk pembalasan cepat dan tekanan psikologis.
Sebaliknya, perang darat lebih murah per satuan serangan, namun memerlukan keterlibatan fisik dan logistik besar, serta risiko nyawa yang tak kecil.

2. Dampak Moral bagi Pasukan

Pasukan udara menjatuhkan bom dari ketinggian—jauh dari suara jeritan dan wajah korban. Tapi saat pulang, media membawa kembali citra kehancuran itu ke ruang keluarga mereka.
Sementara tentara darat menyaksikan langsung penderitaan warga sipil, luka, dan kematian anak-anak. Ini menimbulkan cedera moral yang mendalam, trauma yang tak sembuh hanya dengan medali atau pidato.

3. Efektivitas Strategis

Perang udara memang bisa melemahkan musuh, tapi jarang menyelesaikan perang.
Sebaliknya, perang darat bisa menciptakan kontrol wilayah, namun berisiko tinggi bagi legitimasi politik dan reputasi internasional.



Gaza: Membumihanguskan yang Membakar Moral

Di Gaza, Israel menggabungkan kekuatan udara dan darat dalam skala masif. Rudal dijatuhkan, tank dikirim, dan kawasan padat penduduk diserbu dengan dalih membasmi kelompok bersenjata.
Namun dalam kenyataannya, anak-anak, perempuan, dan warga sipil tak bersenjata menjadi korban utama.

Bagi dunia internasional, ini adalah tragedi kemanusiaan. Namun bagi sebagian warga Israel sendiri, ini mulai menjadi beban batin yang mengganggu keyakinan mereka atas legitimasi negaranya.

Apakah ini masih perang untuk bertahan hidup?
Atau telah menjelma menjadi pembantaian yang kehilangan nurani?


Serangan udara memang efektif secara militer. Tapi saat tubuh-tubuh kecil yang bersimbah darah muncul di layar ponsel, taktik berubah menjadi tuduhan, dan kemenangan berubah menjadi kecaman.

Moral warga mulai goyah, bukan karena tentara mereka gagal berperang, tetapi karena yang mereka lawan bukan lagi tentara, melainkan manusia yang lebih lemah dan tak bersenjata.



Iran: Serangan Balik yang Mengoyak Rasa Aman

Berbeda dari Gaza yang terus dibombardir, Iran justru membalas serangan Israel atas fasilitas nuklirnya. Untuk pertama kalinya, rudal dan drone Iran mengarah langsung ke Tel Aviv dan pangkalan militer Israel.

Sebagian besar serangan itu berhasil dicegat. Tapi yang hancur bukan hanya infrastruktur—yang lebih dalam adalah ilusi rasa aman.

Iron Dome tak lagi jadi jaminan.
Dan rakyat Israel pun menyadari bahwa rumah mereka bukan lagi “wilayah suci” yang tak tersentuh.

Iran tak perlu menimbulkan banyak korban. Mereka hanya perlu membakar rasa tenang nasional, dan itu telah terjadi. Serangan ini menjadi trauma kolektif, peringatan bahwa bahkan negara terkuat pun bisa diserang balik.



Mana yang Lebih Menyakitkan bagi Israel: Gaza atau Iran?

Iran: Ketakutan Eksistensial

Korban fisik sedikit, tapi ketakutan nasional meningkat drastis.

Serangan ke Tel Aviv menyentuh jantung simbolik dan psikologis Israel.

Ini bukan lagi serangan militer, tapi tamparan eksistensial: Israel tak lagi kebal.


Gaza: Keruntuhan Legitimasi Moral

Israel mungkin menang secara militer di Gaza.

Namun dunia melihat Israel bukan sebagai korban, tetapi sebagai penindas.

Yahudi diaspora pun mulai mempertanyakan arah negara ini.

Gaza tak hanya menumpahkan darah—ia menumpahkan kredibilitas.



Moralitas: Penentu Kemenangan Sejati

Israel mungkin menang di medan tempur, tapi di medan yang lebih luas—medan nurani dan kepercayaan publik global—mereka mulai kehilangan banyak hal.
Dan sejarah telah membuktikan: negara yang kehilangan legitimasinya akan digerus oleh arus zaman, tak peduli seberapa kuat tentaranya.

Perang udara memberi efisiensi, tapi membusukkan hati.
Perang darat memberi kontrol, tapi menghancurkan jiwa.
Perang melawan Iran mengguncang rasa aman,
Perang melawan Gaza mengguncang nurani.

Dan bila sebuah bangsa telah kehilangan keduanya—rasa aman dan nurani—tak ada senjata di dunia yang cukup untuk menyelamatkannya dari kehancuran moral.

Bisakah Israel Bertahan dengan Dukungan Penuh Amerika? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di antara konflik panjang dan perlawanan yang ...

Bisakah Israel Bertahan dengan Dukungan Penuh Amerika?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di antara konflik panjang dan perlawanan yang tak kunjung padam, Israel berdiri sebagai negara yang didukung penuh oleh kekuatan adidaya: Amerika Serikat. Dukungan ini bukan hanya moral dan diplomatik, tetapi juga militer, intelijen, logistik, hingga veto di PBB. Namun pertanyaan penting mengemuka: apakah dukungan dari luar—bahkan sekelas Amerika—cukup untuk membuat sebuah negara bertahan?

Sejarah berkata lain.



Rezim Shah Iran: Hancur Meski Didukung Amerika

Reza Pahlavi, Shah Iran terakhir, adalah salah satu sekutu paling setia Amerika di Timur Tengah. Ia didukung penuh oleh CIA dalam kudeta tahun 1953 yang menggulingkan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh. Shah mendapat bantuan senjata, pelatihan SAVAK (polisi rahasia), dan teknologi militer tercanggih saat itu.

Namun apa yang terjadi?

Tahun 1979, rakyat bangkit dalam Revolusi Iran. Bukan karena kurangnya kekuatan militer, tapi karena hilangnya legitimasi. Shah dianggap boneka Barat, anti-Islam, dan menindas rakyatnya sendiri. Dukungan Amerika tak mampu menahan gelombang jutaan rakyat yang turun ke jalan. Sistem hancur, dan kekuasaan runtuh dari dalam.



Rezim Apartheid Afrika Selatan: Runtuh Meski Didukung Eropa dan AS

Selama dekade 1950-an hingga 1980-an, rezim Apartheid Afrika Selatan mendapatkan dukungan ekonomi dan teknologi dari negara-negara Barat. Eropa dan AS berinvestasi besar, perusahaan-perusahaan multinasional terus beroperasi, dan militer Afrika Selatan menjadi salah satu yang terkuat di benua itu.

Namun apa daya?

Tekanan dari dalam negeri—gerakan rakyat kulit hitam, para pemuda, dan tokoh seperti Nelson Mandela—membuat sistem tak lagi bisa dipertahankan. Ketika rakyat bersatu dan komunitas internasional mulai sadar, dukungan luar tak mampu lagi menyelamatkan struktur kekuasaan rasis yang dibangun di atas penindasan.



Rezim Boneka di Afghanistan: Gagal Bertahan Meski Didukung Amerika

Dua dekade Amerika Serikat menduduki Afghanistan. Miliaran dolar dikucurkan. Tentara dilatih. Pemerintahan Ashraf Ghani dibentuk. Tetapi ketika Taliban masuk ke Kabul pada 2021, rezim yang dibangun AS runtuh hanya dalam hitungan hari. Tanpa ada perlawanan berarti.

Mengapa?

Karena rakyat tak mempercayai pemerintahan itu. Ia dianggap hanya simbol, bukan pemimpin sejati rakyat. Kekuasaan tanpa legitimasi rakyat hanyalah istana dari kaca: tampak kokoh, tapi sekali dihantam retakan, pecah.



Rezim Assad di Suriah: Bertahan, Tapi dengan Harga yang Hancur

Bashar al-Assad bisa bertahan di Suriah karena dukungan besar-besaran dari Rusia dan Iran. Namun yang bertahan bukanlah negara yang stabil, melainkan negara yang hancur, porak-poranda, dan kehilangan separuh populasinya. Assad tetap berkuasa, tapi Suriah tak lagi utuh.

Maka pertanyaannya bukan hanya “bertahan atau tidak?” Tapi: bertahan dalam bentuk apa?



Apakah Israel Akan Bernasib Sama?

Israel memang berbeda: teknologinya canggih, ekonominya maju, dan dukungan AS hampir tak terbatas. Tapi seperti contoh-contoh di atas, dukungan luar tidak cukup jika fondasi internalnya keropos:

1. Negara tanpa keadilan untuk semua warganya.
2. Negara yang terus hidup dari konflik, bukan perdamaian.
3. Negara yang rakyatnya sendiri banyak memiliki paspor ganda—siap pergi saat badai datang.
4. Negara yang hidup dengan membangun tembok, bukan jembatan.


Dukungan Amerika bisa menunda keruntuhan, tapi tidak bisa meniadakan hukum sejarah.



Legitimasi Lebih Kuat daripada Dana dan Senjata

Rezim bertahan bukan karena siapa yang mendukung dari luar, tapi karena siapa yang menerimanya dari dalam.
Dan negara bertahan bukan karena kuat militernya, tapi karena dalamnya akar keadilan yang ditanam di tanahnya.

Israel bisa hidup lebih lama. Tapi jika tidak berubah dari dalam—mengakui hak Palestina, meruntuhkan apartheid, dan membangun hidup bersama—maka ia akan menjadi contoh lain dari sejarah yang berulang: kekuasaan yang besar namun rapuh, dan akhirnya runtuh oleh gelombang yang diciptakannya sendiri.

Negara di Atas Gelombang vs Negara yang Berakar Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam teori politik klasik hingga tata negara modern,...

Negara di Atas Gelombang vs Negara yang Berakar

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam teori politik klasik hingga tata negara modern, sebuah negara ideal dibangun di atas empat fondasi utama: tujuan kemanusiaan yang luhur, konstitusi yang mengikat, pengakuan atas kedaulatan rakyat dan tanah, serta keutuhan sosial yang menjamin identitas dan keadilan bersama. Negara bukan hanya struktur kekuasaan, tapi wadah bagi martabat, kesejahteraan, dan peradaban manusia.

Namun ketika kita mencermati realitas Israel, kita justru melihat kebalikannya. Mari kita bandingkan satu per satu.



1. Tujuan Kemanusiaan vs Proyek Eksklusivisme

Negara ideal, kata John Locke dan Montesquieu, harus melindungi kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan seluruh rakyatnya—tanpa diskriminasi.

Israel, lahir bukan untuk melayani nilai-nilai kemanusiaan universal, melainkan untuk melindungi satu kelompok atas nama sejarah masa lalu. Tujuannya bukan menyatukan, tapi memisahkan. Negara seperti ini tidak memenuhi asas keadilan sosial; ia dibangun dari rasa takut, bukan dari kepercayaan akan persamaan derajat manusia.



2. Konstitusi yang Mengikat vs Kekuasaan Tanpa Pedoman

Dalam teori tata negara modern (lihat Hans Kelsen dan Lon L. Fuller), konstitusi adalah “jiwa negara”. Ia adalah hukum tertinggi yang menyatukan kekuasaan dan membatasi penyalahgunaan.

Israel sampai kini tidak memiliki undang-undang dasar yang komprehensif. Hukum dasar parsial (Basic Laws) justru menjadi alat fleksibel bagi penguasa untuk menyusun ulang aturan sesuai kepentingan politik. Dalam negara ideal, hukum berdiri di atas semua kekuatan; tapi di Israel, hukum kerap ditekuk oleh arah ideologi dominan.



3. Tanah Air Berbasis Historis vs Rampasan yang Dinaturalisasi

Negara ideal memiliki wilayah yang dihormati berdasarkan sejarah hidup bersama rakyatnya, bukan sekadar mitos atau kekuatan militer.

Israel adalah negara tanpa tanah air. Ia dibangun di atas tanah yang dirampas, bukan diwarisi secara sosial. Penghuni asli diusir, dan pendatang diberi gelar “pulang”. Inilah bentuk negasi terhadap asas legitimasi rakyat dan keterikatan emosional terhadap tanah—dua hal yang mendasari makna sejati dari “tanah air”.



4. Persatuan Sosial vs Konflik Internal yang Kronis

Negara ideal bukan sekadar hidup dalam hukum, tapi juga memiliki kohesi sosial (lihat teori Benedict Anderson dan Durkheim) yang menyatukan rakyat dalam solidaritas dan visi bersama.

Israel dihuni oleh kelompok-kelompok yang saling bertentangan: Yahudi sekuler vs Haredim, Ashkenazi vs Mizrahim, Yahudi Rusia vs Yahudi Etiopia, Yahudi vs Arab. Negara ini bertahan karena adanya musuh bersama, bukan karena nilai dan rasa kebangsaan yang menyatukan. Dalam teori negara, ini pertanda krisis identitas nasional.



5. Kedaulatan Penduduk Asli vs Pengusiran Sistemik

Negara ideal mengakui hak historis penduduk asli. Konvensi internasional dan PBB menegaskan, tidak ada negara yang sah jika lahir dari pengusiran sistemik.

Israel justru meniadakan keberadaan penduduk asli. Mereka yang hidup berabad-abad di sana—baik Muslim maupun Kristen Palestina—disebut tak ada. Ini bukan hanya kejahatan sejarah, tapi juga pelanggaran terhadap prinsip jus soli dan jus culturae: hak atas tanah dan budaya yang dijaga turun-temurun.



6. Kesetiaan Tunggal vs Kewarganegaraan Ganda yang Bersyarat

Negara ideal menuntut kesetiaan penuh warganya kepada negara, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip civic nationalism. Israel justru dihuni oleh warga berkewarganegaraan ganda yang dapat sewaktu-waktu meninggalkannya.

Paspor ganda menandakan ketidakpastian identitas nasional dan loyalitas politik. Negara seperti ini rentan terhadap eksodus diam-diam, ketika krisis datang. Ia bukan rumah, tapi persinggahan.



7. Perdamaian Tetangga vs Konflik Permanen

Negara ideal berfungsi sebagai penjaga stabilitas kawasan, bukan sebagai pemicu konflik. Dalam teori hubungan internasional, negara yang terus berperang adalah negara yang lemah secara diplomatik dan moral.

Israel terus berkonflik dengan tetangganya. Ia tidak pernah benar-benar berdamai, bahkan dengan bangsa yang tinggal tepat di sebelah rumahnya: Palestina. Ini pertanda negara yang tidak selesai membangun legitimasi dan masih bergantung pada kekerasan untuk bertahan.



Israel bukan negara gagal secara administratif, tetapi negara yang goyah secara etika dan prinsip dasar bernegara. Dalam banyak aspek, ia melanggar norma dan asas yang seharusnya menjadi ruh sebuah negara modern dan beradab. Ia ada, tapi tidak utuh. Ia kuat, tapi tak stabil. Ia hidup, tapi tanpa arah kemanusiaan.

Negara seperti ini bisa saja bertahan dalam waktu lama. Namun seperti rumah di atas gelombang, ia akan terus diguncang badai: dari luar, dan lebih dalam lagi, dari dalam dirinya sendiri.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (478) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)