basmalah Pictures, Images and Photos
07/26/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Ketika Mimpi Menyalakan Api Takdir “Wahai raja Mesir, bangunlah…! Api itu bukan sembarang api…” Suatu malam, Fir’aun terbangun d...


Ketika Mimpi Menyalakan Api Takdir

“Wahai raja Mesir, bangunlah…! Api itu bukan sembarang api…”

Suatu malam, Fir’aun terbangun dari tidurnya. Tubuhnya basah oleh keringat, napasnya terengah, dan wajahnya muram bagai mendung yang menahan petir.

“Ada api,” katanya terbata. “Aku melihat api keluar dari arah Baitul Maqdis…”

Api itu melintasi padang gurun, mendekat ke Mesir, lalu menyambar satu per satu rumah bangsaku. Hancur, terbakar. Tapi… ada yang tidak tersentuh: rumah-rumah Bani Israil. Tetap tegak. Tetap teduh.

“Mungkinkah ini hanya bunga tidur?” gumamnya, tapi ketakutan telah mencengkeram jiwanya lebih dahulu daripada akalnya.

Pagi-pagi buta, ia perintahkan para pengawal kerajaan:

“Kumpulkan semua peramal, tukang sihir, dan penakwil mimpi!”

Mereka datang, satu per satu, wajah-wajah tua dengan sorban berdebu dan mata yang menyimpan rahasia. Di ruang sidang megah istana Mesir, mereka duduk melingkar, berdiskusi panjang. Suara-suara lirih berseliweran seperti angin gurun membawa kabar buruk.

Akhirnya, seorang dari mereka berkata, “Wahai Raja, itu bukan sekadar mimpi. Itu isyarat dari langit.”

“Katamu?” desak Fir’aun.

“Akan lahir seorang anak laki-laki dari Bani Israil… dan kelahirannya akan menjadi awal kehancuranmu.”

Fir’aun terdiam. Takut. Tapi tidak menunjukkan gentarnya di hadapan yang lain.

“Apa maksud kalian? Seorang bayi bisa menggulingkan kekuasaan yang dibangun dengan darah dan sungai?”

Perdebatan pun memanas di antara mereka. Sebagian berkata: “Bunuh semua anak laki-laki Israil.” Sebagian lain menyela, “Tapi, siapa yang akan menjadi budak bagi pembangunan kota dan kuilmu, wahai Raja, jika seluruh generasi lelaki dibinasakan?”

Fir’aun termenung. Ia tahu: jika ia biarkan, takdir bisa berjalan. Jika ia bantai, takdir pun bisa tetap datang lewat jalan yang tak terlihat.

Tapi rasa takut lebih kuat dari nalar.

“Laksanakan perintahku!” serunya. “Setiap bayi lelaki yang lahir dari kaum Bani Israil… sembelihlah!”

Maka pasukan pun dikerahkan. Mereka menyisir rumah demi rumah. Tangis bayi diubah menjadi jerit duka. Ketakutan menyebar seperti kabut pekat yang tak tahu kapan sirna.

Namun di suatu tempat sunyi, dalam sebuah rumah kecil, ada seorang ibu yang gelisah menimang anaknya.

“Musa,” bisiknya pelan, seolah dunia tak boleh mendengar namanya.

Di tengah air matanya yang tak sanggup tertahan, ia merasa sesuatu yang lain hadir dalam dirinya.

Bukan suara manusia. Tapi seperti desir halus yang merambat dari langit ke jiwanya.

"Wa auḥainā ilā ummi Mūsā an arḍi‘īhi…"
Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa, “Susuilah dia…”

Jantungnya berdegup. Ia mendengar perintah itu, tapi tangannya gemetar.

"Fa iẓā khifti ‘alaihi…"
“Jika engkau khawatir terhadapnya…”

Ya Allah, mana ada ibu yang tidak takut saat bayinya bisa dibunuh kapan saja?

"Fa alqīhi fil yammi…"
“Maka hanyutkanlah dia ke sungai…”

Ia tertegun. Sungai? Sungai Nil yang luas dan dingin itu? Haruskah anak ini diletakkan begitu saja, tanpa pelindung, hanya dalam sebuah peti kecil?

Tapi kalimat selanjutnya datang seperti pelukan yang menenangkan:

"Wa lā takhāfī wa lā taḥzanī…"
“Janganlah kamu takut, dan jangan bersedih hati…”

Air matanya mengalir deras. Tapi ada kekuatan dalam kalimat itu. Seolah Allah sendiri yang mendekap dan memeluknya.

"Innā rāddūhu ilaiki…"
“Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu…”

"Wa jā‘ilūhu minal mursalīn."
“Dan Kami akan menjadikannya seorang Rasul.”

Dengan tenang ia siapkan peti kecil. Ia balut anak itu dengan selimut. Dikecupnya dahi mungil itu… lalu ia berjalan, di antara gelap malam dan suara tentara yang menjauh.

Di tepi Sungai Nil, ia menatap air yang mengalir. Bukan dengan takut, tapi dengan iman.

“Musa… aku titipkanmu kepada Tuhan yang memberiku kekuatan untuk melepaskanmu.”

Lalu ia lepaskan peti kecil itu.

Dan peti itu pun mengalir… bersama takdir besar yang akan mengguncang tahta seorang raja.


Belaian Ibu, Bagai Ampunan dari Allah SWT Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di sebuah gang sempit di jantung kota Mesir, seorang lelaki...

Belaian Ibu, Bagai Ampunan dari Allah SWT

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di sebuah gang sempit di jantung kota Mesir, seorang lelaki tua berjalan pelan, matanya kosong menatap ke depan, namun hatinya tampak berkabut. Ia bukan orang sembarangan. Ia adalah sahabat Dzun Nun al-Misri, seorang sufi yang dalam ilmunya, lembut jiwanya, dan telah lama menyelami samudra makrifat.

Tapi hari-hari terakhirnya tampak berbeda. Ia sering terlihat mondar-mandir menyusuri jalan-jalan kota, menggumam sendiri dengan suara pelan:

> "Di mana hatiku…?"
> "Siapa yang mengambil hatiku?"
> "Siapa yang menemukannya untukku…?"



Anak-anak kecil, seperti biasa, tak memahami kesedihan yang diam. Mereka mengejek, melemparinya dengan kerikil kecil, menirukan ucapannya seperti lelucon. Namun lelaki tua itu tidak marah. Ia tidak membalas. Ia hanya terus berjalan… mencari sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.


---

Sebuah Gang Sunyi, dan Tangisan yang Menggetarkan

Suatu hari, untuk menghindari gangguan anak-anak itu, ia masuk ke sebuah gang kecil. Gang itu sunyi, sempit, berdebu. Ia duduk bersandar di dinding, menarik napas panjang, seolah berkata dalam diam, "Mungkin di sini aku bisa diam. Mungkin di sini aku akan menemukan hatiku kembali."

Tapi baru saja ia mencoba memejamkan mata, sebuah suara meledak dari balik salah satu pintu rumah:

> "Berapa kali harus ibu bilang padamu! Jangan membantah!"
> "Keluar sana! Jangan masuk ke rumah ini sebelum kau sadar!"



Terdengar suara tamparan. Lalu suara tangisan anak kecil. Pintu rumah terbuka. Seorang anak dilempar keluar rumah oleh ibunya. Pintu ditutup kembali dengan keras.

Anak itu berdiri di depan pintu, tubuhnya kecil, napasnya tersengal. Ia menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak ada siapa-siapa. Lalu dengan langkah gontai, ia duduk di depan pintu rumahnya, menyandarkan kepala mungilnya ke kusen kayu yang dingin, dan tertidur… masih sambil menangis.

Beberapa saat berlalu. Malam mulai turun. Angin mengendap dari balik tembok. Anak itu terbangun dan kembali menangis. Tapi kini tak ada kemarahan, hanya kerinduan.

> "Ibu…"
> "Jika engkau menutup pintu ini untukku…"
> "Siapa lagi yang akan membukakannya?"
> "Siapa yang akan mendekatkanku kepadamu, jika engkau sendiri yang menjauhkan aku?"
> "Siapa yang akan menyayangiku jika engkau membenciku?"



Tangisan itu bukan sekadar suara. Ia adalah suara jiwa yang mengetuk kasih, mengetuk ampunan.


---

Ketika Ibu Turun dari Takhta Marahnya

Dari balik pintu, sang ibu mendengar. Mungkin amarahnya belum reda. Tapi batin seorang ibu, betapapun marahnya, akan luluh jika yang mengetuk adalah tangis tulus anaknya.

Ia mengintip dari celah. Dan tampaklah anaknya: kecil, kotor, tubuhnya gemetar, wajahnya lelah, matanya sembab, namun mulutnya masih menyebut: “Ibu…”

Tak lama, pintu itu terbuka.

Sang ibu berlari. Ia rangkul anaknya. Ia peluk tubuh mungil itu ke dalam dadanya. Ia ciumi pipinya. Ia usap air matanya. Ia letakkan kepala anaknya di pangkuannya.

> "Sayang..."
> "Engkaulah yang membuat ibu marah seperti tadi."
> "Engkaulah yang menyebabkan semua ini terjadi."
> "Tapi kalau saja engkau patuh dari awal, niscaya engkau tak akan di luar pintu seperti ini..."



Namun saat kata-kata itu diucapkan, nada marahnya telah hilang. Ia hanya berkata begitu untuk menegaskan cinta. Cinta yang tetap ada meski sebelumnya ditutupi awan kemarahan.

Sang anak diam. Ia tidak menjawab. Ia hanya menangis dalam pelukan ibunya. Karena ia tahu: ia telah kembali.


---

"Saya Telah Menemukan Kembali Hati Saya"

Sahabat Dzun Nun, yang sejak tadi menyaksikan dari kejauhan, terpaku. Tangannya gemetar. Matanya basah. Jiwanya seperti disambar oleh sesuatu yang sudah lama ia cari.

Lalu ia berdiri. Dan menjerit.

> “Saya telah menemukannya!”
> “Saya telah menemukan hati saya!”



Orang-orang pun berdatangan. Mereka menyangka ia gila. Tapi kali ini, sorot matanya tajam. Ada kehadiran dalam dirinya yang sebelumnya hilang.

> “Apa yang terjadi denganmu?” tanya mereka.
> “Di mana kau menemukannya?”



Dan ia menjawab dengan suara pelan tapi dalam:

> “Di gang ini… di depan pintu rumah itu… saat seorang ibu membuka kembali pelukannya kepada anaknya…”
> “Di sanalah… aku menemukan hatiku kembali.”



Ia pun mencari Dzun Nun Al-Misri. Ia ceritakan semuanya. Dan sejak saat itu, setiap kali ia merasa sedih, takut kepada Allah, atau kehilangan arah… ia mengulang-ulang kata-kata itu:

> “Saya telah menemukan kembali hati saya… di depan pintu kasih seorang ibu.”




---

Sebuah Cermin dari Langit

Saudaraku…

Bukankah itu juga kisah kita dengan Allah?

Kita sering nakal. Kita sering menentang. Kita lupa. Kita enggan taat. Kita memunggungi perintah. Hingga suatu saat, musibah datang. Kehidupan menolak kita. Rezeki seolah tertutup. Ketentraman menghilang.

Dan kita pun merasa seperti anak kecil yang diusir ibunya: sendiri, bingung, tak tahu harus kemana.

Tapi sebagaimana si anak kecil tadi, kita pun bisa mengetuk kembali pintu itu. Kita sandarkan kepala kita di ambangnya. Kita menangis:

> “Ya Allah…
Jika Engkau menutup pintu-Mu… siapa lagi yang akan membukanya untukku?”
> "Jika Engkau menjauh… siapa lagi yang akan mendekatkanku?”
> "Jika Engkau marah… siapa lagi yang akan menyayangi?”



Dan ketika suara itu keluar dari dada yang benar-benar merindu…

Pintu itu akan terbuka.
Pelukan itu akan kembali.
Dan hati kita… akan kembali kepada pemiliknya.


---

Ampunan Allah Tak Pernah Pergi, Kita Saja yang Menjauh

Jika cinta ibu saja sanggup menghapus marah karena satu kalimat rindu, maka bagaimana dengan cinta Allah?

Allah tidak menciptakan kita untuk membenci.
Allah tidak membuka pintu-Nya untuk kemudian menutupnya selamanya.
Ampunan-Nya lebih besar dari murka-Nya.
Kasih-Nya lebih dalam dari lautan.

Kita hanya perlu belajar menangis seperti anak kecil itu.
Dan berkata jujur dari hati seperti sahabat Dzun Nun itu.

> “Wahai Tuhan… aku kembali.
> Jangan biarkan aku di luar pintu-Mu.”


Sumber:
Ibnu Jauzi, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar 

--

Pesan Imam Az-Zuhri Soal Madu bagi Santri Agar Kuat Hafalan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin malam dari jazirah bertiup lembut, ...

Pesan Imam Az-Zuhri Soal Madu bagi Santri Agar Kuat Hafalan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin malam dari jazirah bertiup lembut, membawa semilir kisah para tokoh agung dari generasi tabi'in. Di antara mereka, ada satu nama yang harum dikenang bukan hanya karena ketakwaannya, tapi juga karena kejernihan akalnya dan ketajaman hafalannya: Imam Az-Zuhri.

Ia bukan sekadar penghafal hadist. Ia adalah peletak dasar ilmu hadist, sosok pertama yang diperintahkan langsung oleh Umar bin Abdul Aziz untuk membukukan hadist secara sistematis. Dua tokoh inilah—Umar bin Abdul Aziz dan Imam Az-Zuhri—yang menjadi dua sayap burung Bani Umayyah untuk terbang menuju era keemasan yang bersih dan bercahaya, seperti era Khulafaur Rasyidin.

Di balik keilmuan dan ketekunannya, tersimpan rahasia sederhana namun dalam: makanan dan minuman yang menyehatkan pikiran dan menguatkan ingatan.

Anggur Kering dan Hafalan Hadist

Dalam satu riwayat yang disampaikan oleh Ismail Al-Makki, Imam Az-Zuhri pernah berpesan kepada para muridnya, “Barangsiapa yang senang menghafal hadist, maka hendaklah dia banyak makan anggur kering.” Sebuah kalimat yang mungkin terdengar sepele bagi telinga modern, tapi penuh makna jika direnungi.

Mengapa anggur kering?

Al-Hakim menjelaskan, “Karakter anggur kering itu panas, lembut, dan kering. Ia menghilangkan lendir yang menjadi penghalang kejernihan pikiran.” Dalam tradisi kedokteran Islam, lendir berlebihan bisa mengganggu kerja otak, membuat tubuh berat dan pikiran lemah. Maka, pengaturan pola makan bukan hanya soal kenyang, tapi soal kejernihan jiwa dan daya ingat yang tajam.

Malam dan Madu

Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi kesetiaan Imam Az-Zuhri terhadap ilmu. Malam-malamnya bukan diisi dengan mimpi, melainkan dengan tadabbur dan munajat. Ibnu Syihab menuturkan, “Dia sering begadang malam dengan madu sebagai hidangannya. Sebagaimana ahli minum, minuman untuk berbicara—dia pun minum madu sambil berdiskusi.”

Imam Az-Zuhri berkata suatu malam, “Tuangkanlah untuk kami dan bicaralah.” Kalimat itu sederhana, tapi sarat makna. Minum madu bukan untuk menikmati kemewahan, melainkan untuk membuka tabir ilmu. Bicaralah, karena dalam diskusi, ilmu bertambah dan akal menjadi tajam.

Hindari Apel, Pilih yang Menguatkan

Menariknya, Imam Az-Zuhri juga dikenal menghindari buah apel. Bukan karena tidak menyukainya, tapi karena ia menyadari efek dari makanan terhadap daya ingat. Apel, dalam beberapa literatur klasik, dikenal bersifat dingin dan lembab, yang bisa memperlambat fungsi otak bagi sebagian orang.

Sementara itu, madu dan anggur kering bersifat hangat, membersihkan, dan menajamkan. Maka tidak heran, keponakan Imam Az-Zuhri menyaksikan langsung keajaiban hafalannya. “Imam Az-Zuhri menghafal Al-Qur’an hanya dalam 80 malam,” katanya. Bahkan, beliau pernah berkata, “Aku belum pernah mengulangi sebuah hadist. Dan tidak ragu dalam menghafalnya, kecuali satu kali saja. Ketika kutanyakan pada temanku, ternyata tepat seperti yang aku hafal.”

Antara Ingatan dan Kesucian

Di balik kekuatan hafalan, ada kesucian jiwa. Imam Az-Zuhri bukan sekadar menjaga makanan, tetapi juga menjaga lisan, pandangan, dan waktunya. Hafalan tidak tumbuh dalam jiwa yang penuh dosa dan lalai. Ia tumbuh dalam hati yang bersih, lingkungan yang teduh, dan pola makan yang bijak.

Angin sepoi kembali menyapa. Dalam diam malam, seperti ada pesan yang berbisik dari langit: “Wahai para penuntut ilmu, bukan hanya kitab yang kau baca, tapi perhatikan pula apa yang masuk ke dalam tubuhmu. Karena dari situlah cahaya ilmu akan tumbuh atau padam.”

Hari ini, ketika santri menghadapi tantangan gadget, informasi instan, dan makanan instan yang miskin gizi dan makna, pesan Imam Az-Zuhri kembali relevan. Hafalan bukan sekadar soal niat, tapi soal strategi ruhani dan jasmani. Jika ingin hafalan kuat, jaga pola makan. Jika ingin ilmu kokoh, bersihkan jiwa.

Sebuah Warisan yang Layak Diwarisi

Di tengah dunia yang serba cepat dan tergesa-gesa, warisan Imam Az-Zuhri ini mengajarkan kita untuk pelan-pelan kembali pada hal-hal yang alami dan mendalam. Hafalan bukan keajaiban semata, tapi buah dari kedisiplinan dan kearifan.

Bagi para santri, guru, dan siapa saja yang ingin menghidupkan ilmu dalam dada—ingatlah, terkadang yang kecil dan sederhana, seperti anggur kering dan madu, bisa menjadi kunci untuk menghafal ribuan hadist dan membangun peradaban.

Langit malam tetap tenang. Bintang-bintang masih bersinar. Dan dalam keheningan itu, pesan Imam Az-Zuhri seolah terus hidup dan berkata: “Makanlah yang menyehatkan, minumlah yang mencerahkan. Karena hafalan yang tajam lahir dari jiwa yang bersih dan tubuh yang terjaga.”

Sumber:
Syeikh Ahmad Farid, 60 Kisah Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar

Tunggulah! Dengarkan Jawaban dari Allah SWT Oleh: Nasrulloh Baksolahar Suatu senja yang tenang di Kufah. Langit mengguratkan war...

Tunggulah! Dengarkan Jawaban dari Allah SWT

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Suatu senja yang tenang di Kufah. Langit mengguratkan warna keemasannya, dan angin padang pasir menyusup pelan melalui sela-sela rumah-rumah para tabi’in.

Di dalam sebuah masjid yang sederhana, seorang ulama besar berdiri menjadi imam. Namanya terukir dalam sejarah keilmuan Islam: Sufyan Ats-Tsauri.

Malam itu, ia mengimami shalat Maghrib. Para murid berdiri khusyuk di belakangnya. Saat ia membaca surat pembuka Kitabullah, terdengar suaranya menggetarkan:

"Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in…”
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan…”

Lalu… suara itu terhenti.

Tidak karena lupa. Bukan karena sakit.

Tetapi karena tangis.
Tangis seorang yang tahu betapa beratnya janji dalam ayat itu.
Tangis seorang yang takut bahwa ibadahnya mungkin belum tulus.
Tangis seorang alim yang merasa kecil di hadapan Tuhan yang Mahabesar.

Ia diam cukup lama. Lalu perlahan mengulang kembali dari awal:
"Bismillahirrahmanirrahim… Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin…”

Dan lagi-lagi, saat sampai di ayat kelima, tubuhnya terguncang. Air matanya menetes. Ia tak sanggup melewati barisan ayat itu dengan ringan.

Karena di sanalah puncak dari semua kejujuran hati:
Kita sembah Engkau. Kita mohon hanya kepada-Mu.

Seseorang dari barisan jamaah bertanya setelah shalat, “Wahai Imam, mengapa engkau menangis terus setiap membaca Al-Fatihah?”

Sufyan menjawab pelan, “…Aku takut.”
“Aku takut… jika aku termasuk orang yang tidak beruntung.”
“Aku takut… ayat-ayat Al-Fatihah itu tidak berlaku padaku.”
“Aku takut menjadi pendusta dalam ibadah yang seolah kusampaikan.”


---

Tangisan Seorang Alim, Bukan Karena Dunia

Atha’ Al-Khuffaf, salah seorang tabi’in, pernah bersaksi, “Aku tak pernah melihat Sufyan kecuali dalam keadaan menangis.”

“Kenapa engkau selalu menangis, wahai Sufyan?” tanyanya suatu hari.

Dan Sufyan menjawab dengan suara bergetar, “Karena aku membaca surat yang menjadi Ummul Kitab… dan aku belum yakin apakah aku benar-benar termasuk dalam kandungannya…”

Ia menyebut surat Al-Fatihah.
Surat yang dibaca berkali-kali dalam sehari.
Surat yang mungkin dilafalkan lidah, tapi tidak masuk ke dalam dada.

Sufyan menangis bukan karena ia tak bisa membaca.
Bukan karena ia lupa ayat.
Tapi karena ia takut berbohong kepada Allah saat berkata “Iyyaka na’budu.”


---

Berhenti di Setiap Ayat, Menikmati Jawaban Allah

Adab ini juga diwariskan oleh seorang pemimpin agung: Umar bin Abdul Aziz.

Khalifah yang zuhud itu dikenal membaca Al-Fatihah dengan lambat. Tidak tergesa. Dan ada jeda di antara ayat.

Saat ditanya, “Mengapa engkau diam di antara ayat, wahai Amirul Mukminin?”

Ia menjawab lembut, “Karena aku sedang menunggu jawaban Allah.”

Ya. Menunggu jawaban Allah.

Sebab, dalam riwayat sahih, Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Aku telah membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Maka jika ia berkata: ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’
Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’.
Jika ia berkata: ‘Ar-Rahmanir Rahim’
Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’.
Dan seterusnya…”



Surat ini bukan monolog.
Ia dialog.
Surat ini bukan sekadar bacaan.
Ia perjumpaan.


---

Mengapa Kita Terburu-buru Membaca Doa yang Sedekat Itu?

Surat Al-Fatihah bukan sembarang surat. Ia adalah panggilan dari langit yang turun langsung ke dalam dada manusia. Ia adalah satu-satunya surat yang wajib dibaca dalam setiap rakaat.

Namun mengapa kita sering membacanya seperti mengejar waktu?
Mengapa lidah lebih cepat dari hati?
Mengapa ayat tentang penghambaan dan permohonan kita lafalkan dengan tergesa?

Apakah kita benar-benar sedang berbicara dengan Tuhan, atau hanya sekadar mengucapkan rutinitas?

Wahab bin Munabbih—seorang alim dari generasi tabi’in—menafsirkan kalimat “Amin” sebagai sebuah harapan yang gemetar:

> “Amin itu maknanya: Ya Allah, janganlah Engkau kecewakan harapan kami.”



Bayangkan, setelah membaca permohonan dalam ayat-ayat Al-Fatihah, kita menutupnya dengan sebuah seruan: "Jangan kecewakan kami, ya Allah…"


---

Jika Surat Ini Adalah Doa, Maka Bacalah dengan Cinta

Bayangkan engkau sedang berbicara langsung dengan Tuhan.
Bayangkan engkau berdiri di hadapan-Nya, membawa beban dosa dan kerinduan yang dalam.
Lalu engkau katakan:

> “Engkaulah yang kami sembah…”
“Engkaulah tempat kami bergantung…”
“Tunjukilah kami jalan yang lurus…”



Apakah engkau akan mengucapkannya dengan cepat?
Ataukah dengan segenap cinta dan pengharapan?

Al-Fatihah adalah tangga.
Dan setiap anak tangganya mengangkatmu lebih dekat ke hadirat Ilahi.
Jika engkau terburu, mungkin kau jatuh. Tapi jika engkau pelan, engkau naik dengan selamat.


---

Bukan Soal Tajwid Saja, Tapi Rasa Takut dan Cinta

Hari ini, banyak orang belajar tajwid. Belajar makhraj dan mad. Itu penting.

Tapi pernahkah kita belajar bagaimana menangis ketika membaca Al-Fatihah?
Pernahkah kita belajar takut menjadi pembohong dalam ibadah?
Pernahkah kita belajar bagaimana diam sejenak untuk mendengar jawaban Tuhan?

Bacaan Sufyan Ats-Tsauri bukan hanya benar secara kaidah, tapi juga benar secara jiwa.

Ia menangis… karena sadar bahwa Allah sedang menyimak.

Umar bin Abdul Aziz diam… karena sadar bahwa Allah sedang menjawab.


---

Penutup: Mulailah dengan Satu Ayat Saja… Tapi Masuklah Sepenuh Jiwa

Jika engkau ingin memperbaiki shalatmu, mulailah dari surat ini.

Bacalah Al-Fatihah bukan hanya dengan lidah, tapi dengan dada.
Bacalah bukan hanya dengan hafalan, tapi dengan keinsafan.
Dan setiap kali kau ucapkan “Amin”… biarlah itu keluar sebagai harapan terakhir dari jiwa yang sangat ingin dipeluk oleh Rahmat-Nya.

Al-Fatihah bukan hanya pembuka shalat.

Ia adalah pembuka hati.
Pembuka jalan.
Dan pembuka pertemuan antara hamba dan Tuhannya.

Maka berhentilah sejenak… dan dengarkan jawaban Allah…


Sumber: 
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar 
Amru Khalid, Khowathir Qur’aniyah, Al-Itishom
Abdurrahman Asy-Syafii, Amalul Kubro, Sahara Publisher

Mengintip Abdullah Ibnu Mubarak dari Balik Malam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Malam itu, angin gurun berembus lembut menyusuri din...

Mengintip Abdullah Ibnu Mubarak dari Balik Malam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Malam itu, angin gurun berembus lembut menyusuri dinding-dinding rumah penginapan di Syam. Rombongan kami singgah untuk beristirahat setelah perjalanan panjang. Gelap menyelimuti ruangan karena tidak ada lampu menyala. Beberapa dari kami keluar mencari cahaya. Aku memilih diam.

Di tengah keheningan itu, aku termenung. Pertanyaan demi pertanyaan bergema di benakku. Apa yang membuat Abdullah Ibnu Mubarak begitu dimuliakan?

Ia shalat, kami pun shalat. Ia berpuasa, kami juga. Ia berjihad, kami ikut. Ia menunaikan haji, kami bersamanya. Tapi mengapa derajatnya begitu tinggi? Apa rahasianya?

Tiba-tiba, seberkas cahaya menembus ruang yang gelap. Bukan dari pelita, tapi dari seseorang yang baru datang membawa lampu. Dalam cahaya itu, aku melihat wajah Ibnu Mubarak. Jenggotnya basah. Bukan oleh air wudhu, tapi air mata.

Ia duduk diam. Hatinya jelas tidak di bumi. Suara isak yang pelan terdengar. Matanya menatap ke arah yang tak kasat mata. Tubuhnya seolah hadir di hadapan kami, tapi jiwanya sedang berdiri di hadapan Tuhan-Nya.

Aku berkata dalam hati, “Dengan ini dia menjadi mulia.” Saat semua lampu padam, dia justru menyalakan cahaya jiwa.

Seorang ulama, Al-Marwazi, pernah bertanya pada Imam Ahmad bin Hambal tentang rahasia kemuliaan Ibnu Mubarak.

Imam Ahmad menjawab, "Dia tidak diangkat derajatnya oleh Allah, kecuali karena banyak kebaikan yang tidak diketahui orang lain."

Air mataku mengalir. Ternyata rahasia kemuliaan bukan pada apa yang tampak, tapi yang disembunyikan. Bukan pada pujian manusia, tapi pandangan Allah di keheningan malam.

Ibnu Mubarak bukan hanya ulama. Ia juga dermawan yang menyembunyikan tangannya. Diceritakan, dalam rombongan haji yang ia biayai, tak satu pun jamaah tahu bahwa sang penyandang dana adalah dia sendiri. Ia berjalan bersama mereka, makan bersama mereka, tidur bersama mereka. Tanpa keistimewaan. Tanpa pengumuman.

Ada pula kisah tentang muridnya yang menanggung hutang besar. Hingga tak sanggup lagi belajar. Suatu hari, hutangnya lunas. Ketika ia bercerita kepada gurunya, Ibnu Mubarak hanya mendengarkan, tersenyum tipis. Ia tidak mengaku bahwa ialah pelunasinya.

Beginilah para kekasih Allah menyembunyikan kebaikan mereka seperti menyembunyikan aib. Mereka beramal bukan untuk panggung manusia, tapi untuk disaksikan oleh langit.

Di tengah dunia yang riuh mengejar pengakuan, Ibnu Mubarak diam di malam yang sunyi, menangis mengingat Hari Kiamat. Saat kita sibuk membuat konten, ia sibuk mengisi catatan malaikat yang tak pernah dipublikasikan.

Ia hidup dalam cahaya yang tak tampak, tapi sinarnya abadi.
Ia berbicara dalam diam, dan diamnya lebih keras dari ribuan khutbah.

Barangkali malam itu, Allah sedang menyampaikan pesan padaku—bahwa kemuliaan bukanlah soal seberapa banyak yang kita kerjakan, tapi seberapa jujur hati kita saat mengerjakannya. Dan seberapa sanggup kita menyembunyikannya dari riya’.

Ketika dunia mencari sorotan, Abdullah Ibnu Mubarak memilih sudut gelap malam.
Dan dari sanalah ia bersinar paling terang.


Sumber:
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar

Bergerilya Bertemu dan Belajar Bersama Nabi Khaidir Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah engkau pernah bertanya, mengapa ilmu sejat...

Bergerilya Bertemu dan Belajar Bersama Nabi Khaidir

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Apakah engkau pernah bertanya, mengapa ilmu sejati seringkali tidak hadir di ruang-ruang yang terang benderang? Mengapa para pemilik hikmah tersembunyi dari cahaya lampu dan sorotan panggung?

Begitulah pertanyaan itu bergema dalam batin Musa, sang Nabi agung. Ia tidak menanyakan soal langit dan bintang, tapi ia ingin belajar tentang jalan di balik takdir. Ia ingin tahu mengapa sebuah kapal yang tak bersalah dirusak, mengapa anak kecil dibunuh sebelum dewasa, dan mengapa sebuah tembok ditinggikan tanpa upah.

Dan yang paling mengejutkan: Allah tidak langsung menjawab pertanyaan Musa. Sebaliknya, Dia mengarahkannya untuk belajar… dari seorang hamba.

“Hamba yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan telah Kami ajarkan ilmu dari sisi Kami.” (QS Al-Kahfi: 65)

Sosok itu… tidak disebut namanya dalam Al-Qur’an. Tidak dijelaskan nasabnya. Tak tercantum pula di silsilah kenabian. Tapi seluruh dunia Islam menyebutnya: Khaidir.


---

Kau Akan Menemukannya Jika Kau Mau Mencari

Pernahkah engkau membayangkan, seorang Nabi Ulul Azmi… berjalan kaki menyeberangi padang dan samudra, hanya untuk bertemu dengan seseorang yang bahkan tak dikenal oleh masyarakatnya?

Ia tak berjumpa di istana, bukan pula di ruang kelas. Pertemuan itu bukan pada jam akademik, bukan di perpustakaan, bukan dalam seminar. Tapi… di titik pertemuan dua lautan. Di tempat sunyi. Di tempat yang ditandai bukan oleh plang nama, melainkan oleh ikan yang hidup kembali dan melompat ke laut.

Kau tahu, Musa membawa bekal. Tapi bukan makanan biasa. Bekal itu disiapkan untuk menemukan satu orang. Bukan untuk kenyang, tapi untuk petunjuk.

Dan ketika bekal itu hilang—saat itulah petunjuk ditemukan. Kadang, barulah engkau menemukan ilmu saat bekalmu habis. Ketika kesombonganmu habis. Ketika gelar dan nama yang kau bawa lenyap ditelan perjalanan panjang.


---

Ia Tak Tercatat di Struktur, Tapi Ditulis oleh Langit

Khaidir tidak punya gelar. Ia tidak duduk di bangku kekuasaan. Tidak pula dikenal di struktur keilmuan formal. Tapi ia punya sesuatu yang bahkan para profesor sulit menggapainya: rahmat dan ilmu langsung dari sisi Tuhan.

Ia tak mengajar di universitas. Ia tak dikerumuni murid. Bahkan Musa pun harus bersusah payah untuk menemuinya.

Apa ini bukan sindiran bagi kita? Yang merasa cukup dengan sertifikat, cukup dengan sanjungan, cukup dengan popularitas?

Bukankah Musa lebih tinggi derajatnya dari kita? Tapi mengapa ia masih mencari?


---

Buya Hamka dan Para Guru yang Tak Bernama

Buya Hamka pernah berkata dengan lirih, “Aku menemukan profesor-profesor sejati di dusun-dusun, di ladang, di bawah pohon, di lereng bukit. Mereka bukan profesor yang dikenal, tapi kata-katanya penuh cahaya.”

Baginya, Khaidir bukan sekadar tokoh masa lalu. Ia adalah arketipe. Ia hadir dalam bentuk yang selalu berubah. Di zaman manapun, akan selalu ada Khaidir—jika kita mau mencari.

Tapi mengapa kita jarang menemukannya?

Bisa jadi… karena kita tak mencarinya. Atau lebih parah lagi, karena kita tak mengakui siapa pun yang tak tampil di televisi, tak punya akun media sosial, tak viral di kolom trending.

Kita lupa bahwa cahaya tidak butuh panggung. Ilmu tak memerlukan sorotan.


---

Menemukan Khaidir dalam Diri Orang Biasa

Mereka yang membawa kesuburan, itulah Khaidir. Ke mana pun ia pergi, tanah yang tandus menjadi subur. Hati yang keras menjadi lembut. Pikiran yang kering menjadi bersemi.

Itu bukan karena ia berorasi. Tapi karena ia membawa rahmat.

Mereka bisa jadi adalah tetanggamu. Seorang tua renta yang tak pernah bicara, tapi bila ia menatapmu, kau merasa disingkapkan sesuatu dari balik hidup. Bisa jadi ia hanya petani, buruh, atau pelayan toko. Tapi ucapannya jernih, pikirannya tajam, hatinya bersih.

Khaidir bukan soal nama. Tapi kualitas. Dan kehadirannya bukan diukur dari ketenaran, tapi dari jejak rahmat yang ditinggalkannya.


---

Gaya Belajar yang Terbalik dari Dunia

Musa, yang biasa berdialog langsung dengan Allah, kali ini harus belajar dengan cara yang asing: diam dan mengikuti.

“Ingatlah, jangan bertanya sebelum aku jelaskan padamu,” kata Khaidir.

Apa artinya? Kita diminta untuk bersabar, tidak menyela, tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan. Tidak sok tahu. Tidak sok kritis.

Kita diajak menyaksikan sesuatu yang menyakitkan, membingungkan, dan terlihat keliru… tapi disuruh diam.

Karena ilmu sejati bukan datang dari penalaran instan. Ia butuh waktu. Ia butuh perenungan. Ia butuh kejadian demi kejadian yang membentuk jiwa kita.

Inilah gaya belajar yang dilupakan manusia modern: sabar dalam ketidaktahuan, tunduk dalam kebingungan, dan yakin bahwa di balik semuanya… ada rahasia.


---

Pewarisan Ilmu Tanpa Majelis

Abu Hurairah belajar dari Rasulullah bukan dengan duduk di ruang kelas, tapi dengan mengikuti beliau ke mana pun. Ia memperhatikan, mencatat dalam hati, dan menyimpan dalam dada. Ia diam, tapi merekam. Ia tunduk, tapi menyerap.

Begitu pula para Tabi’in—Mujahid, Atha’, Thawus—mereka tidak banyak dikenal karena duduk lama di depan kitab. Tapi karena mereka menyertai orang-orang saleh. Mereka menyerap ilmu dari kehidupan, bukan hanya dari tulisan.

Mereka memeluk hikmah dari peristiwa, bukan sekadar dari definisi.


---

Khaidir Masih Ada, Jika Kita Mau Merendah

Kalau kita jujur, yang membuat kita tak bertemu Khaidir bukan karena ia tak ada. Tapi karena kita menutup diri. Karena kita ingin belajar hanya dari mereka yang tampil. Karena kita ingin diajari sambil dipuja. Karena kita ingin dikenal sebagai murid dari guru yang populer.

Padahal Khaidir tidak butuh itu. Ia tak ingin dikerumuni. Ia tak ingin dipuja. Ia bahkan menghilang setelah tugasnya selesai. Ia tidak membentuk sekolah. Ia tidak menulis buku.

Ilmu yang sejati tidak meninggalkan tanda di batu nisan, tapi mengakar dalam sejarah manusia.


---

Maka Bergerilyalah…

Mungkin, ini saatnya kita menelusuri jalan sunyi. Meninggalkan panggung, menjauhi gempita. Mungkin Khaidir tidak hadir di seminar, tapi ada di perbincangan sepi dengan kakek tua di serambi masjid. Mungkin ia hadir dalam laku seorang ibu yang menyuapi anak-anak yatim tanpa kamera. Mungkin ia adalah suaramu sendiri di tengah malam yang mengajakmu kembali pada fitrah.

Mungkin, Khaidir hadir dalam diam… saat engkau berhenti berkoar dan mulai mendengar.


---

Tanda-Tanda Khaidir: Bukan Populer, Tapi Membekas

Apa tandanya seseorang adalah bagian dari jalan Khaidir?

Sederhana. Ke mana pun ia pergi, kehidupan menjadi lebih hidup. Yang beku mencair. Yang bimbang menjadi yakin. Yang lelah kembali semangat.

Ia menebar kesuburan, bukan kegaduhan. Ia menyembuhkan luka, bukan membuka aib. Ia hadir… bukan untuk dipuja, tapi untuk menghidupkan hati yang nyaris mati.


---

Penutup: Carilah Dengan Cinta, Belajarlah Dengan Rendah Hati

Mungkin engkau belum bertemu Khaidir karena kau belum benar-benar mencarinya.

Mungkin selama ini kau mencari ilmu dengan niat menang debat. Mungkin kau duduk di majelis untuk menambah gelar, bukan untuk menundukkan jiwa.

Dan mungkin, kau mengira semua guru harus punya mikrofon.

Padahal Khaidir tak butuh pengeras suara. Sebab suaranya sudah cukup keras untuk mengguncang jiwa siapa pun yang bersedia diam dan mendengar.

Jadi… bersiaplah.

Simpan egomu. Lepaskan gelarmu. Kosongkan hatimu.

Dan bergerilyalah, wahai pencari… karena Khaidir masih ada.
Dan ia hanya tampak bagi mereka yang rela berjalan jauh dalam kerendahan.

Ketajaman Firasat: Melampaui Akal, Ilmu dan Analisis Big Data Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Berhati-hatilah terhadap firasat seora...

Ketajaman Firasat: Melampaui Akal, Ilmu dan Analisis Big Data

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

“Berhati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin,” sabda Rasulullah ﷺ, “karena ia melihat dengan cahaya Allah.”
Kalimat ini singkat, tapi dalamnya menusuk hingga ke lubuk kalbu. Ia mengajak kita merenung, bahwa ada mata lain yang digunakan oleh orang beriman. Bukan mata kepala. Bukan pula semata akal dan ilmu. Tapi mata batin—yang peka, yang bening, yang terang oleh cahaya-Nya.

Firasat.
Satu kata yang sering terdengar samar, seakan bagian dari dunia sufi, mistik, atau bahkan klenik. Tapi sesungguhnya, ia adalah bagian dari warisan kenabian. Ia bukan sekadar perasaan. Ia adalah intuisi ruhani yang muncul dari kebeningan hati, dari kebersihan jiwa, dari hubungan yang intens dengan Allah.

Dalam kehidupan, kita sering berada di persimpangan. Dua jalan membentang, dan tak satu pun memiliki papan petunjuk. Ilmu tak cukup. Statistik membisu. Akal pun ragu. Maka yang bicara adalah nurani—yang terang karena iman, yang tajam karena takwa.

Dan di sanalah firasat berperan.
Ia tak berbicara dengan logika. Tapi ia menunjukkan arah dengan rasa. Seakan ada suara lembut berbisik dari langit, “Pergilah ke sana.” Dan ketika kita ikuti, ternyata benar: di sanalah keselamatan.


---

Firasat Para Kekasih Allah

Sejarah mencatat bahwa para ulama dan orang-orang shalih—yang hatinya bersih dan hidup dalam kedekatan kepada Allah—sering diberi isyarat-isyarat gaib. Bukan karena mereka sakti, tapi karena mereka dijaga. Allah, dalam kemahakuasaan-Nya, memberi mereka petunjuk-petunjuk yang tak tertangkap oleh radar akal biasa.

Seorang tabi’in pernah menyampaikan firasatnya: bahwa kota agung Konstantinopel akan ditaklukkan oleh seorang khalifah yang namanya berasal dari nama seorang nabi. Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah masa itu, merasa bahwa nubuat itu merujuk padanya. Ia segera mengerahkan pasukan, menyusun strategi, membakar semangat jihad. Tapi sejarah mencatat hal berbeda: penaklukan agung itu terjadi ratusan tahun kemudian, oleh seorang pemuda bernama Muhammad—Muhammad Al-Fatih. Dialah yang memenuhi sabda Rasulullah ﷺ.

Apakah ini berarti firasat tabi’in itu salah? Tidak. Ia benar. Hanya saja, waktu Allah belum tiba.

Kemenangan itu pun bukan sekadar urusan tentara dan senjata. Di balik kemenangan itu, ada dua sosok penting: Syekh Aq Syamsuddin dan Imam Qurani. Dua ulama yang membimbing Muhammad muda dengan cahaya ilmu dan firasat. Mereka tak hanya mengajarkan strategi, tetapi juga membersihkan jiwanya, menyiapkan batinnya, menanamkan visi kenabian.

Ketika Muhammad Al-Fatih mulai ragu, Syekh Aq Syamsuddin menulis surat:
"Kita telah berserah diri kepada Allah, dan kita membaca Al-Qur’an. Maka semua ini seperti rasa kantuk dalam tidur setelahnya. Sesungguhnya, telah terjadi kelembutan kekuasaan Allah dan muncullah hal-hal yang menggembirakan yang belum pernah terjadi sebelumnya."

Itu bukan motivasi biasa. Itu adalah sinar keyakinan yang datang dari hati yang menyatu dengan kehendak langit.


---

Firasat, Cahaya dalam Dada

Imam Al-Ghazali menyebut firasat sebagai kasyf, pembukaan tabir antara manusia dan Allah. Bukan ramalan, bukan bisikan jin. Tapi nur yang ditanamkan dalam dada. Sebuah kepekaan terhadap tanda-tanda. Sebuah kemampuan membaca isyarat halus dari semesta, yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang hening.

Imam Qusyairi menukil dalam Risalah Qusyairiyah:
"Firasat adalah suara batin yang masuk ke dalam hati. Ia seperti cahaya yang memancar, membawa berbagai rahasia dari alam gaib, hingga seseorang bisa melihat dengan cara pandang Allah."

Dan memang, orang-orang yang hidup dalam ketakwaan memiliki cara pandang yang unik. Mereka melihat sesuatu yang tak terlihat. Mereka membaca keadaan tanpa data. Mereka tahu arah, bahkan ketika tidak ada kompas.

Bukankah Imam Malik pernah berkata kepada Imam Syafi’i kecil:
"Kelak engkau akan menjadi orang besar. Maka jangan padamkan cahayamu dengan maksiat."

Bagaimana Imam Malik bisa tahu? Apakah karena kecerdasan Syafi’i? Mungkin. Tapi lebih dari itu, karena beliau melihat dengan firasat.


---

Mimpi yang Jernih, Firasat dalam Tidur

Firasat juga sering datang dalam bentuk mimpi. Tidak semua mimpi itu benar, tentu. Tapi mimpi orang mukmin bisa menjadi bagian dari nubuat. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa mimpi yang benar adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.

Abbas Asisi pernah meriwayatkan kisah tentang seorang tahanan politik, Najib Abdul Aziz, yang bermimpi bahwa Gamal Abdul Nasser—penguasa Mesir—akan sekarat pada hari tertentu. Mimpi itu terdengar hingga ke telinga intelijen. Dan benar, ajal pun tiba di hari itu. Mimpi bukan sekadar bunga tidur, jika tidur itu didahului oleh doa, wudhu, dan hati yang bersih.


---

Firasat dalam Sejarah Indonesia

Apakah proklamasi 17 Agustus 1945 juga hasil firasat? Sejumlah ulama menyatakan demikian. KH. Abdul Moekti, seorang tokoh Muhammadiyah, menyarankan agar proklamasi dilakukan pada tanggal itu. KH. Hasyim Asy’ari pun dikisahkan ikut bermusyawarah dan beristikharah, hingga jatuh pilihan pada 17 Agustus, bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 H.

Mengapa tanggal itu penting? Karena saat itu Jepang sudah menyerah, dan Belanda belum datang. Ada celah waktu. Sebuah momen yang hanya bisa ditangkap oleh yang peka. Mereka membaca keadaan dengan mata hati, bukan sekadar politik.


---

Menajamkan Firasat: Jalan Riyadhah

Lalu, bagaimana agar kita bisa memiliki firasat yang tajam?
Syekh Al-Kirmani memberi resepnya:

> “Barangsiapa menundukkan pandangan dari yang haram, menahan diri dari syahwat, menjaga batinnya dengan rasa diawasi Allah, meneguhkan zahirnya dengan sunnah Rasulullah ﷺ, dan membiasakan diri makan yang halal, maka firasatnya tak akan meleset.”



Firasat bukan hadiah tiba-tiba. Ia buah dari latihan panjang. Riyadhah. Mujahadah. Menahan diri. Meninggalkan yang syubhat. Menyucikan hati dari dengki, sombong, dan riya. Memelihara pandangan. Memperbanyak dzikir. Dan memutus ketergantungan pada makhluk.

Karena semakin bening hati, semakin terang cahaya Allah di dalamnya. Dan ketika cahaya itu menyala, seseorang bisa melihat dengan mata yang tidak terlihat.


---

Melampaui Akal dan Ilmu

Akal punya batas. Ilmu punya wilayah. Tapi kehidupan sering mengantar kita pada situasi-situasi yang belum dikenal. Sesuatu yang tak tercantum dalam buku teks. Suatu kejadian tiba-tiba, di luar rumus dan pola.

Apa yang harus dilakukan?

Di sinilah letak nilai firasat.
Akal hanya mengenang masa lalu. Ilmu merumuskan kebiasaan. Tapi firasat membuka pintu masa depan. Ia meraba yang belum terjadi, dan mempersiapkan diri sebelum semuanya terlambat.

Firasat bukan untuk menebak. Tapi untuk membaca tanda-tanda. Ia lebih seperti radar: tidak memprediksi, tapi mendeteksi. Dan yang paling tajam radarnya adalah mereka yang bersih dari kepentingan duniawi.


---

Pemimpin dan Firasat

Dalam dunia kepemimpinan, firasat adalah senjata utama. Seorang pemimpin tak cukup hanya mengandalkan penasihat, survei, atau strategi. Ia perlu ketajaman rasa. Karena keputusan besar sering harus diambil dalam keadaan sunyi, sepi, dan penuh risiko.

Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang memimpin dengan firasat. Bukan berdasarkan reaksi publik, tetapi berdasarkan keyakinan ruhani. Karena di atas pertimbangan politik dan ekonomi, ada satu bisikan suci: “Inilah jalan Allah.”

Para penasihat boleh berbicara dengan logika dan data. Tapi sang pemimpin... ia harus menafsirkan zaman dengan firasat. Seperti Izzuddin Abdus Salam, ulama besar di masa Mongol, yang menunjukkan kapan waktu menyerang, dan bagaimana caranya. Para sultan bertanya, dan para wali menjawab.


---

Penutup: Jadilah Mukmin yang Melihat dengan Cahaya Allah

Firasat bukan milik para nabi saja. Ia warisan yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang membersihkan diri. Tidak perlu menjadi wali besar, cukup menjadi mukmin sejati yang menata hati, memperbanyak takwa, dan berjalan dalam cahaya Al-Qur’an.

Jika dunia hari ini terasa gelap, mungkin bukan karena cahaya hilang—tetapi karena kita kehilangan ketajaman batin.

Maka, mari kita hidupkan kembali tradisi membaca tanda-tanda. Bukan dengan rasa takut, tapi dengan kepekaan spiritual. Bukan dengan firasat sembarangan, tapi dengan latihan dan penjagaan hati.

Dan jika cahaya itu mulai menyala dalam dada—dengan dzikir, dengan tangisan di malam hari, dengan menjaga pandangan, dan menahan syahwat—maka percayalah: Allah akan membisikkan sesuatu yang tak dibisikkan pada yang lain.

Karena benar sabda Nabi:

> “Orang mukmin itu melihat dengan cahaya Allah.”

Kisah, Pembuka Energi dan Kemukjizatan Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Apakah Muhammad benar-benar seorang Rasul?” Pertanyaan itu me...

Kisah, Pembuka Energi dan Kemukjizatan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

“Apakah Muhammad benar-benar seorang Rasul?”
Pertanyaan itu menggema di antara para pemuka Quraisy. Mereka gelisah. Risalah yang disampaikan Muhammad ﷺ makin kuat, pengikutnya bertambah. Tapi masih ada ruang ragu dalam dada mereka—bukan karena tak mengerti, tapi karena tak ingin kehilangan kuasa.

Maka, mereka mengutus orang-orang terbaik ke Yastrib. “Di sana,” kata mereka, “tinggal para ahli kitab. Yahudi yang membaca Taurat. Mereka pasti tahu seperti apa Nabi yang sebenarnya.”

Delegasi pun berangkat. Tidak untuk beriman, tapi untuk menguji. Mereka menempuh jalan pencarian bukan karena cinta kebenaran, tapi karena ingin menolaknya dengan cara yang tampak masuk akal.

Sesampainya di Yastrib, mereka bertanya kepada para rahib Yahudi:
“Bagaimana kami membuktikan kenabian seseorang yang mengaku membawa risalah dari langit?”

Para pemuka Yahudi menjawab—dengan serius dan penuh kehati-hatian, “Tanyakan kepadanya tiga hal. Jika ia mampu menjawab dengan benar, maka dia memang seorang Nabi. Tapi jika tidak, maka kalian berhak menolaknya.”

Tiga hal itu adalah:

1. Kisah sekelompok pemuda yang bersembunyi dalam gua.


2. Kisah seorang raja agung yang menjelajahi timur dan barat.


3. Kisah tentang ruh—apa dan bagaimana hakikatnya.



Pertanyaan itu pun dibawa kembali ke Makkah. Diajukan kepada Rasulullah ﷺ. Lalu, turunlah wahyu. Surat Al-Kahfi. Sebuah jawaban dari langit yang memuat tiga kisah itu dengan rinci, tajam, dan menyentuh jiwa. Bukan hanya untuk membungkam keraguan, tapi juga untuk menyalakan cahaya dalam hati.


---

Sejak saat itu, kita tahu bahwa kisah bukanlah pelarian dari realitas. Kisah adalah pintu menuju cahaya. Kisah bagian dari kemukjizatan. 
Dan para Nabi, bukan hanya datang membawa hukum, tapi juga membawa kisah-kisah langit.

Pernahkah engkau bertanya,
mengapa Allah menghibur Rasul-Nya yang kelelahan, bukan dengan janji harta, tapi dengan narasi masa lalu?
Mengapa saat Rasulullah ﷺ kehilangan Khadijah dan Abu Thalib, saat kaum Quraisy mengusir dan menghina, Allah malah menurunkan surat Yusuf?

Karena kisah menyembuhkan.
Karena kisah menyentuh jiwa, bukan sekadar akal.
Karena kisah membuat manusia merasa:
"Aku tidak sendiri. Ada yang pernah mengalami ini, dan ia bertahan, bahkan menang."

Lihatlah Nabi Yusuf—ia dilemparkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya. Rasulullah pun diancam dibunuh oleh kaumnya sendiri. Yusuf dibeli seperti barang murah, tapi Allah memuliakannya di istana. Rasulullah ﷺ pun hijrah dalam sembunyi, tapi disambut bak pemimpin agung di Madinah.

Dan ketika semua kisah rasul terasa masih jauh, Allah turunkan surat Ad-Dhuha. Allah tak hanya bercerita tentang masa lalu para nabi dan rasul, tapi tentang masa lalu Muhammad sendiri. “Bukankah engkau yatim? Lalu Kami lindungi. Bukankah engkau bingung? Lalu Kami beri petunjuk. Bukankah engkau miskin? Lalu Kami beri kecukupan.”

Seakan Allah berkata: lihatlah, kisahmu sendiri pun adalah mukjizat. Maka jangan ragu.

Kisah bukan nostalgia. Ia adalah cetak biru kebangkitan.
Ia menanamkan hikmah tanpa luka. Memberikan solusi tanpa harus jatuh ke dalam kesalahan yang sama.


---

Dalam gelap malam hijrah, Rasulullah ﷺ ditemani oleh Abu Bakar. Di gua Tsur, saat suara langkah para pengejar begitu dekat, apa yang menguatkan mereka? Bukan senjata, bukan kekuatan fisik. Tapi kisah Nabi Musa—yang dikejar Firaun baik saat ke Madyan maupun hingga laut Merah, tapi tetap diselamatkan. Maka turunlah surat Al-Qashash, meneguhkan Rasul bahwa dalam kejaran, selalu ada penjagaan langit.

Kisah, ternyata, bukan sekadar cerita untuk anak-anak. Ia adalah senjata jiwa.
Saat tidak ada lagi yang bisa diandalkan dari dunia, kisah menjadi pelita terakhir yang membuat ruh tak padam.


---

Dan para Wali Sanga tahu itu. Mereka yang berdakwah di tanah Jawa bukan membawa hukum kaku atau debat teologis. Mereka membawa kisah. Dalam bentuk wayang, tembang, lakon, dan simbol. Mereka membumikan Al-Qur’an dalam bentuk pertunjukan.

Bukan agar manusia hafal dalil, tapi agar manusia merenung dari kisah.
Karena yang mengubah bukan selalu logika, tapi getaran jiwa yang disentuh oleh cerita.

Mereka tidak pulang dari pertunjukan membawa catatan, tapi membawa getaran.
Perubahan terjadi bukan karena ancaman atau hadiah, tapi karena tafakur.

Dan inilah seni kisah:
ia tak menggurui, tapi menuntun.
Ia tak menghakimi, tapi meneduhkan.
Ia tak memaksa kesimpulan, tapi mengundang perenungan.


---

Salman Al-Farisi adalah satu contoh kekuatan kisah dalam wujud manusia. Ia menempuh ribuan mil, melewati agama demi agama, hanya karena sebuah kisah tentang Nabi terakhir yang disebut dalam kitab. Kisah itu mendorong langkahnya. Kisah itu membangkitkan hasrat mencari. Dan kisah itu mengantarkannya ke kaki Rasulullah ﷺ—bukan dengan gelar, tapi dengan air mata.

Betapa banyak orang hari ini kehilangan arah, bukan karena bodoh, tapi karena tidak pernah membaca kisah yang benar.
Betapa banyak pemuda hari ini tersesat, bukan karena tidak diajari, tapi karena tidak pernah merasakan hangatnya kisah yang hidup.


---

Lihatlah bagaimana sejarah Islam tumbuh dari energi kisah.
Imam Ibnu Jauzi, yang dihadiri puluhan ribu pendengar, bukan karena suaranya lantang, tapi karena kisah-kisahnya hidup.
Buku-buku terlaris di dunia pun—apakah ia teori? Bukan. Ia adalah novel, film, drama—semuanya berbentuk kisah.

Karena kisah menyusup tanpa terasa. Ia mengubah pola pikir, membentuk sudut pandang, menata ulang niat dan hati.

Kisah adalah kekuatan yang lembut, tapi mendalam.
Ia bisa menyelinap di ruang yang tak bisa ditembus oleh dalil dan argumen.
Ia bisa mengubah seseorang yang keras menjadi lembut,
seseorang yang sombong menjadi merenung,
seseorang yang lemah menjadi bangkit kembali.


---

Dan ruh—yang ditanyakan Quraisy itu—apa maknanya?

“Ruh itu urusan Tuhanmu,” jawab Al-Qur’an.
Kita tak diberi ilmu tentangnya, kecuali sedikit.

Dan barangkali... begitulah juga ruh kisah.
Kita tak selalu bisa menjelaskan bagaimana ia mengubah kita.
Tapi kita tahu, setelah mendengar kisah Ashabul Kahfi, hati kita lebih berani.

Setelah membaca tentang Musa, jiwa kita lebih kuat.

Setelah menyelami hidup Nabi Yusuf, kita lebih sabar menunggu keajaiban.

Kita tak tahu bagaimana kisah itu bekerja. Tapi kita tahu, ia bekerja di kedalaman—di tempat yang tak dijangkau logika.


---

Hari ini, jika kita ingin menyampaikan nilai-nilai Islam, kebenaran, tauhid, dan perjuangan—maka mulailah dari kisah.
Bukan dogma kaku.
Bukan kemarahan tanpa arah.
Tapi kisah yang menyentuh, yang menundukkan hati, dan membangunkan jiwa.

Karena sesungguhnya,
kisah adalah kemukjizatan.
Dan ia akan tetap menjadi senjata kaum beriman, sampai akhir zaman.


"Sungguh, dalam kisah-kisah mereka terdapat ibrah bagi orang-orang yang berpikir."
(QS. Yusuf: 111)

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik ...

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik tabir awan, seakan malu menyaksikan doa yang membelah keheningan bumi.

Seorang lelaki berdiri di ujung tenda, jubahnya terkulai lembut ditiup angin. Dalam gelap, suaranya gemetar, terangkat ke langit dalam bahasa air mata. Bibirnya bergetar, menyebut nama yang tak pernah letih ia panggil: Allah... Rabbul ‘Alamin.

Di hadapannya, medan Badar menanti. Pasukan kaum muslimin tak sampai 400. Sementara musuh, ribuan. Pedang mereka berkarat, kuda mereka tak seberapa. Tapi yang membuat lelaki itu berdiri bukan keberanian semata—melainkan karena ia tahu, kekuatan sejati tak lahir dari otot dan besi, melainkan dari hati yang bersandar total pada Tuhan.

Ia adalah Rasulullah ﷺ.

Malam itu, tangisnya menyatu dengan bumi. Sujudnya mengguncang langit. “Ya Allah, jika pasukan kecil ini binasa, tidak ada lagi yang menyebut nama-Mu di bumi ini.”

Air mata membasahi wajahnya. Ia tahu esok adalah hari besar. Tapi malam ini adalah malam penentuan. Malam di mana langit menjadi saksi bahwa kemenangan bukan diraih oleh strategi, tapi oleh cinta yang paling dalam kepada Yang Maha Kuasa.


---

Berabad-abad setelah malam itu, seorang pemuda berdiri di bawah temaram lampu minyak di dalam kemahnya. Jubahnya lusuh, tapi matanya berkilat. Ia bukan sekadar panglima. Ia adalah pewaris malam-malam panjang para nabi—Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pasukan Salib mengelilingi Yerusalem. Eropa telah mengirim segala yang mereka punya. Raja-raja, kesatria, imam perang, hingga rakyat awam ikut menjadi darah di medan yang dijanjikan gereja sebagai jalan menuju surga.

Tapi malam itu, Shalahuddin tak tidur.

Ia menulis surat panjang kepada Tuhannya, bukan dengan pena, tapi dengan air mata. Ia tahu, Yerusalem bukan hanya tanah. Ia adalah amanah. Ia adalah tempat yang telah disucikan oleh langkah para nabi. Dan untuk itu, ia tidak meminta kepada pasukannya, melainkan kepada Pemilik langit dan bumi.

“Ya Allah,” bisiknya lirih, “Aku tak lagi memiliki kekuatan selain-Mu. Aku telah habis. Tapi aku percaya Engkau tidak akan pernah habis. Maka biarlah malam ini menjadi saksi bahwa aku menyerahkan segalanya kepada-Mu.”

Air mata menetes ke bumi, menyatu dengan tanah para syuhada. Dan esoknya, sejarah mencatat: Yerusalem kembali dalam pelukan Islam. Tanpa pembantaian. Tanpa darah balas dendam. Hanya ada kedamaian dan keadilan.


---

Namun jauh sebelum itu, bahkan sebelum Shalahuddin dilahirkan, seorang kaisar duduk terpaku di atas kudanya. Langkahnya berat. Konstantinopel terasa lebih jauh dari biasanya, meski ia sudah melewati separuh perjalanan.

Ia adalah Heraklius. Kaisar agung Romawi Timur. Di bawah kekuasaannya, Romawi adalah peradaban besar. Tapi hari ini, ia pulang membawa luka.

Pasukannya hancur di tangan pasukan kaum muslimin. Bukan karena senjata mereka lebih baik, tapi karena ada sesuatu yang tak ia mengerti. Maka ia bertanya kepada seorang prajurit yang pernah tertawan di tangan kaum muslimin, “Apa kekuatan mereka?”

Jawaban sang prajurit menusuk kalbunya seperti belati: “Mereka menang bukan karena senjata. Tapi karena shalat malam mereka, puasa mereka, hati mereka yang bersih. Mereka tidak menyerang kecuali setelah memperingatkan. Mereka tidak menjarah, tetapi membawa kedamaian.”

Heraklius terdiam. Dalam diamnya, ia tahu—kekuasaan ini akan jatuh, bukan karena pasukan yang lebih kuat, tapi karena ruh yang lebih bersih.

“Kelak mereka akan merebut Konstantinopel,” gumamnya.


---

Semuanya berpulang pada satu hal: malam.

Malam yang sepi, yang tidak memerlukan sorakan, tidak dihadiri pasukan, tidak dikawal strategi. Tapi di malam-malam itulah lahir kemenangan. Karena malam bagi para penakluk sejati bukan tempat untuk tidur, tapi tempat untuk bertemu Sang Raja segala raja.

Nuruddin Zanky tahu itu. Maka setiap malam, ia basahi sejadahnya. Ia tak pernah lalai menangis kepada Allah. Bahkan saat tak ada perang pun, ia tetap berperang melawan nafsunya di malam-malam sunyi.

Ketika wafat, tanah kehilangan seorang pejuang, tapi langit mendapatkan kekasihnya.

Dan muridnya, Shalahuddin, memikul wasiat itu. Ia tak hanya mewarisi pedang gurunya, tapi juga air matanya. Ia tahu, tidak ada kemenangan sejati tanpa sujud yang panjang. Tidak ada benteng yang dapat dihancurkan sebelum diri ini merobohkan sombongnya di hadapan Ilahi.


---

Sebuah kenangan pun mengalir dalam benak seorang lelaki hari ini. Ia bukan jenderal. Bukan raja. Ia hanyalah seorang guru kecil di sudut desa.

Tapi malam-malam itu menggetarkan hatinya.

Ia membaca lembar-lembar sejarah seperti membaca cermin jiwanya. Ia tahu, tidak ada musuh sebesar dunia jika hatinya terhubung dengan Tuhan. Ia tahu, zaman ini bukan kekurangan strategi, tapi kekurangan rintihan.

Maka setiap malam, ia bangun. Tak ada yang tahu. Bahkan istrinya pun tak sadar. Tapi ia tahu: kalau pun ia tidak memenangkan dunia, setidaknya ia tidak kalah dalam perjuangan di hadapan Tuhan.

Dalam gelap, ia bersujud.

“Ya Allah,” ucapnya lirih, “aku mungkin tak akan menjadi seperti mereka. Tapi aku ingin menjadi bagian dari rantai panjang itu—rantai sujud, air mata, dan malam-malam yang melahirkan fajar kemenangan.”


---

Malam-malam ini tidak mati. Ia masih hidup di hati mereka yang percaya bahwa kekuatan tak datang dari dunia. Ia hidup dalam tangisan-tangisan sunyi para pecinta Allah yang tak dikenal manusia, tapi dikenali oleh para malaikat.

Malam-malam ini masih menyimpan rahasia kemenangan. Sebagaimana Badar menjadi saksi, Yerusalem menjadi bukti, dan Konstantinopel menjadi warisan.

Dan kita hari ini, tak perlu menunggu menjadi jenderal. Tak harus mengangkat pedang. Cukuplah kita hidupkan malam-malam kita, dan semesta akan mencatat kita sebagai bagian dari para penakluk: penakluk nafsu, keangkuhan, dan cinta dunia.

Karena sesungguhnya...

Tidak ada kemenangan tanpa air mata.

Dan tak ada pejuang sejati, tanpa malam-malam yang bersujud penuh cinta.


---

Dosa Kaum Khusus, Derita Kaum Awam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin dingin gurun menyapu jalur tua menuju perbatasan Romawi. Di ...

Dosa Kaum Khusus, Derita Kaum Awam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Angin dingin gurun menyapu jalur tua menuju perbatasan Romawi. Di atas pelana unta yang berderak perlahan, aku duduk di samping seorang lelaki berwajah teduh dan bercahaya: Abdurrahman bin Mubarak Ash-Shuri. Perjalanan panjang itu bukan sekadar tentang arah, tapi juga makna. Dan hari itu, ia membisikkan kebenaran yang mengguncang nuraniku.

"Wahai Musayyib," katanya seraya menatap cakrawala yang memerah, "tahukah engkau, kehancuran masyarakat umum... bukan karena mereka bodoh atau jahat, tapi karena kelompok khusus dalam umat ini telah rusak."

Aku menoleh padanya. "Kelompok khusus? Apa maksudmu, Abdurrahman? Jelaskanlah kepadaku. Semoga Allah merahmatimu."

Ia menarik napas panjang. Angin berhembus, seolah menunggu kelanjutan ucapannya.

"Umat Nabi Muhammad ﷺ," katanya lirih namun tegas, "dibangun atas lima pilar masyarakat. Bila satu pilar hancur, getarannya terasa. Bila semuanya runtuh... maka umat ini akan terseret ke jurang yang dalam."

Aku diam menyimak. Dan ia pun melanjutkan.

"Pertama," katanya, "adalah kaum ulama dan ilmuwan.
Mereka adalah pewaris para nabi. Lentera di kegelapan. Tetapi ketika ulama sudah rakus pada dunia, memburu kemewahan, menjual fatwa demi kekuasaan, siapa lagi yang akan dijadikan panutan oleh awam yang buta ilmu? Jika pelita itu padam, siapa yang akan menerangi malam panjang umat ini?"

Aku menunduk. Seperti ada beban menyesakkan dada.

"Kedua, adalah kaum zuhud dan ahli ibadah."
Mereka raja tanpa takhta, yang hatinya bersandar hanya pada langit. Tapi jika mereka mulai terpikat dunia, kehilangan khusyuk dan ketenangan, siapa lagi yang akan membimbing jiwa-jiwa yang ingin bertobat? Bila yang seharusnya menjadi telaga malah berubah menjadi fatamorgana, kemana para pendosa harus menengadah?"

Suara Abdurrahman makin dalam. Ada luka di nadanya.

"Ketiga, adalah pasukan dan para pejuang."
Mereka tentara Allah di muka bumi. Namun, bila mereka berperang demi nama, demi pujian, dan bukan karena Allah, kapan lagi kemenangan itu akan turun dari langit? Bila pedang digenggam dengan riya, bukan ikhlas, maka musuh akan datang bukan dari luar, tapi dari dalam dada mereka sendiri."

Aku menggenggam tali kekang unta lebih erat.

"Keempat, adalah para saudagar dan hartawan."
Mereka adalah penjaga amanah dan penyambung rezeki. Tapi bila mereka mulai menipu, khianat, dan memutar harta demi kerakusan, siapa lagi yang akan dipercaya oleh masyarakat yang lapar dan berharap? Bila lumbung berubah jadi jebakan, maka rakyat hanya akan panen kehancuran."

Dan Abdurrahman menatapku lebih dalam, seakan kalimat terakhirnya menyimpan luka paling dalam.

"Kelima, adalah para penguasa dan pemimpin."
Mereka adalah pelindung, pengayom, dan penentu arah umat. Tapi ketika seorang pemimpin telah menjelma serigala, memangsa rakyatnya sendiri, maka siapa lagi yang akan menjaga umat dari kekacauan? Bila pagar justru menjadi pencuri, maka rumah umat ini akan dirampok dari dalam."

Kami terdiam lama. Langit mulai gelap, tapi kalimat-kalimat Abdurrahman menyala di dadaku, seperti api kecil yang membakar rasa aman palsu dalam kebiasaan.

Aku sadar, umat ini bukan runtuh karena kebodohan massal, tapi karena kerusakan moral para pemegang kunci—ulama, zahid, mujahid, saudagar, dan penguasa. Bila yang khusus rusak, maka yang umum akan ikut hancur. Bila puncak bukit roboh, lembah pun akan tertimbun.

Dalam diam, aku berdoa,
“Ya Allah, selamatkan umat ini dengan memperbaiki yang terdepan… agar yang di belakang tidak tersesat dan tertindas.”

Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Kedermawanan yang Sempurna dari Bani Hasyim Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di bawah cahaya rembulan yang menyentuh ubin halaman, dua...

Kedermawanan yang Sempurna dari Bani Hasyim

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di bawah cahaya rembulan yang menyentuh ubin halaman, dua budak duduk berhadapan. Mata mereka bersinar oleh bara kesetiaan, tapi juga oleh rasa ingin membuktikan kemuliaan tuan masing-masing.

"Aku yakin," ujar budak dari Bani Hasyim, "tuan-tuan kami lebih mulia dan dermawan."

Budak dari Bani Umayyah tersenyum miring. "Kita lihat saja. Kita buktikan. Kau ke keluargamu, aku ke keluargaku. Lalu kita hitung, siapa yang benar-benar dermawan."

Keesokan harinya, budak dari Bani Umayyah mulai berkeliling. Ia ketuk pintu satu per satu dari sepuluh orang tuan dalam kabilahnya. Dengan wajah memelas dan suara lirih, ia ceritakan penderitaan dan kemiskinannya.

"Berikanlah padaku," katanya.
"Ambillah ini," kata mereka.

Seratus ribu dirham ia kumpulkan. Jumlah yang tidak kecil. Ia kembali dengan dada membusung. "Sekarang giliranmu."

Budak dari Bani Hasyim tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan ke rumah pertama—rumah Husain bin Ali.

Di hadapan cucu Rasulullah ﷺ itu, ia membuka kisah kemiskinan dan luka hidupnya. Husain menatapnya sejenak, lalu tersenyum lembut. Tanpa tanya, tanpa syarat, Husain menyerahkan 100.000 dirham.

Belum puas, ia berjalan ke rumah Abdullah bin Ja'far. Lelaki saleh itu mendengarkan, lalu mengulurkan jumlah yang sama—100.000 dirham.

Lalu, ia melangkah ke rumah terakhir: Abdullah bin Rabiah. Dan, untuk ketiga kalinya, 100.000 dirham ia terima.

Ia kembali ke pertemuan mereka. Wajah budak dari Bani Umayyah mendadak berubah. Matanya menatap tiga kantong berat di tangan lawannya.

"Dari tiga orang saja kau dapat tiga kali lipat?!" tanyanya tak percaya.

"Ya. Dan masih ada satu ujian lagi untuk benar-benar mengetahui siapa yang dermawan."

"Apa itu?"

"Kita kembalikan semuanya. Lihat apakah mereka rela menerima kembali apa yang telah mereka berikan."



Budak dari Bani Umayyah kembali ke sepuluh tuannya. Dengan suara tenang ia berkata, "Aku tak lagi membutuhkannya. Allah telah membukakan jalan. Aku ingin mengembalikannya."

Satu per satu menerima kembali uang yang pernah diberikan. Tak seorang pun menolak.

Sementara itu, budak dari Bani Hasyim kembali ke tiga rumah yang pernah ia datangi. Kepada mereka ia berkata dengan penuh hormat, "Aku sudah tidak membutuhkannya. Allah telah mencukupkan aku. Maukah kalian menerimanya kembali?"

Husain menatapnya penuh kasih. "Kami tak mengambil kembali apa yang telah kami berikan karena Allah."

Abdullah bin Ja'far berkata, "Kami tidak menarik pemberian yang telah bercampur dengan hakmu."

Dan Abdullah bin Rabiah menyempurnakan: "Apa yang telah kami hibahkan, biarlah menjadi milikmu. Jangan kau kembalikan sesuatu yang telah ditulis untukmu."



Di bawah pohon kurma, kedua budak itu kembali duduk. Satu dengan tangan kosong, satu lagi dengan harta utuh yang tak berkurang sedikit pun.

Lalu, sunyi menyelimuti malam. Tapi dari kesunyian itu, suara hati berbicara lebih lantang daripada segala kebanggaan:

"Kedermawanan bukan hanya soal memberi, tapi tentang jiwa yang tidak pernah meminta kembali."

Dan pada malam itu, sejarah menuliskan satu pelajaran:

Bani Umayyah bisa memberi. Tapi Bani Hasyim… memberi tanpa mengambil kembali.



Sumber:
Al-Ghazali, Adab Berpolitik, Qaf Publishing.

Tabib Mengugat Kumbang, Ternyata Sembuh dengan Kumbang Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ia adalah seorang filsuf besar. Seorang tabib ...

Tabib Mengugat Kumbang, Ternyata Sembuh dengan Kumbang

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Ia adalah seorang filsuf besar. Seorang tabib kenamaan. Ilmunya luas laksana samudra, keangkuhannya pun kadang menyaingi cakrawala. Namanya Galen. Ia dihormati oleh murid dan raja, karena kepakarannya yang nyaris tak tertandingi dalam dunia pengobatan dan filsafat.

Namun pada suatu hari, dalam diam dan duduknya yang panjang, ia berbicara pada dirinya sendiri:

"Aku tidak paham... mengapa Allah menciptakan serangga yang menjijikkan itu... kumbang?
Apakah manfaatnya?
Apa hikmah dari makhluk kecil yang tampaknya tak berguna?
Bukankah lebih baik jika ciptaan-Nya hanya yang bermanfaat bagi manusia?"

Suara hati itu lirih, tetapi mengandung kesombongan yang tak kasat mata. Sebuah pengingkaran kecil terhadap kebijaksanaan ilahi. Ia, sang cendekiawan, baru saja menggugat salah satu ciptaan Tuhan—dengan ukuran rasionalitasnya sendiri.



Hari berganti. Dalam takdir yang tak pernah salah arah, Galen tiba-tiba terserang penyakit mata. Pedihnya menusuk. Kaburnya pandangan menggelisahkan. Semua ramuan yang ia ketahui, semua metode yang ia pelajari, tak mampu menyembuhkan rasa sakit itu.

Para dokter terbaik yang ia kenal pun tak mampu mengubah nasibnya.

Ia mulai gelisah. Ia mulai bertanya-tanya. Ia mulai merasa kecil.

Sampai suatu pagi, datanglah seorang perempuan tua. Penampilannya sederhana. Namun matanya memancarkan keyakinan.

Dengan suara tenang ia berkata,

"Wahai Tuan Galen, aku memiliki puyer sederhana... insya Allah bisa menyembuhkan sakit matamu."

Galen memandangnya. Separuh ragu, separuh berharap.

"Apakah kau yakin?" tanyanya, dengan nada pelan.

"Bismillah, yakin. Cobalah."

Dengan perlahan, sang perempuan menaburkan puyer itu ke kedua mata Galen. Sejuk. Reda. Lalu... sembuh.

Galen terpaku. Seolah tak percaya.

"Siapa kau, wahai Ibu?
Apa isi puyer ini?
Dari mana engkau mendapatkannya?"

Perempuan tua itu tersenyum. Matanya bening menatap langit.

"Aku membuatnya dari kumbang...
Aku menjemurnya, lalu menumbuknya hingga halus."

Seketika itu, Galen terdiam. Dadanya bergetar. Wajahnya pucat.

Serangga yang dulu ia cemooh...
Makhluk yang ia anggap sia-sia...
Kini justru menjadi sebab kesembuhannya.

Ia menunduk dalam. Dalam jiwanya terdengar gema ayat yang seakan baru ia pahami:

> رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا ۖ سُبْحَانَكَ
"Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau..."
— (QS. Ali 'Imran: 191)

Air matanya menitik. Keangkuhan ilmunya runtuh di hadapan hikmah seekor kumbang.

Hari itu, Galen tak hanya sembuh dari sakit mata,
tapi juga sembuh dari penyakit hati—
yang buta terhadap makna ciptaan Allah yang tersembunyi.


Sumber:
Fuad Abdurahman, The Golden Stories, Tinta Medina

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-c...

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-celah bukit, menyentuh rumah-rumah mungil yang bersandar pada sunyi. Di salah satu desa terpencil wilayah kerajaan itu, ada satu rumah kecil berdinding tanah dan beratap jerami, berdiri tenang namun rapuh seperti penghuninya.

Malam itu, di dalam rumah, seorang perempuan muda duduk memeluk lutut di dekat tungku yang mulai padam. Ia tidak tidur. Tatapannya kosong. Matanya menyimpan gelisah. Suara pengumuman siang tadi masih bergema di telinganya:

“Barang siapa bersedekah, akan kupotong tangannya.”

Ia menggenggam kedua tangannya. Tangan yang selama ini tak pernah enggan memberi. Tangan yang terbiasa menjulurkan roti kepada yang lapar, menaruh koin di tangan anak yatim. Tapi malam ini... tangan-tangan itu terasa berat. Ada ancaman menggantung di langit-langit rumahnya.

"Apakah kini kebaikan harus dibayar dengan kehilangan?" bisiknya lirih.

Matanya basah. Ia rebahkan diri, tapi hatinya tak bisa diam. Jiwa yang selama ini damai karena berbagi, kini berperang dengan rasa takut.



Pagi harinya, matahari belum sepenuhnya naik. Udara masih lembab. Saat perempuan itu membuka pintu rumahnya, ia terpaku.

Di depan pintu, berdiri seorang lelaki tua renta. Tubuhnya kurus, bajunya lusuh, dan wajahnya seperti pecahan musim kemarau. Ia tidak bicara banyak. Hanya mengangkat tangannya yang bergetar:

“Wahai putri… tolong beri aku sedekah… demi Allah... aku belum makan sejak dua hari lalu…”

Perempuan itu menatapnya lama. Suasana batin keduanya mendidih dalam diam. Ia tahu, memberi berarti kehilangan. Tapi di hadapannya berdiri seseorang yang mungkin akan kehilangan nyawa tanpa secuil roti.

Dengan suara pelan dan gemetar, ia menjawab:

“Bagaimana aku bisa memberimu… sedang raja mengancam akan memotong tanganku jika aku bersedekah?”

Pengemis itu menunduk, tapi kemudian berkata lagi dengan mata berkaca:

“Aku tidak meminta tanganmu... hanya roti... demi Allah…”

Perempuan itu memalingkan wajah, lalu menatap ke dalam dapurnya. Hanya dua potong roti tersisa. Satu untuk hari ini, satu untuk besok. Tapi hatinya mengingat suara lain—bukan suara raja, melainkan suara nurani:

“Apa gunanya tangan yang utuh, jika hati menjadi beku?”

Ia mengambil dua roti itu, kembali ke pintu, dan meletakkannya di tangan pengemis dengan lirih:

“Ambillah… semoga Allah memberiku kekuatan jika tangan ini harus hilang…”



Hari berganti. Tapi berita tak pernah berhenti. Di istana, telinga sang raja mendengar kabar perempuan yang berani menantang titahnya. Maka tanpa banyak bicara, ia mengirim pasukan.

“Potong tangannya. Biar jadi pelajaran.”

Dan perempuan itu pun kehilangan kedua tangannya. Ia tak menangis. Ia tak melawan. Ia hanya menatap langit, seolah berkata:

“Ya Allah, jika ini harga dari memberi, maka jangan biarkan aku menyesal.”



Tahun berlalu.

Di istana, raja muda itu duduk termenung di kursi takhtanya. Hari-harinya penuh pesta dan pujian, tapi hatinya kosong. Ia berkata kepada ibunya,

“Wahai ibu, aku ingin menikah. Tapi bukan dengan siapa pun. Aku ingin perempuan yang wajahnya bersih… yang hatinya bening… yang jika kupandang, jiwaku tenang.”

Ibunya tersenyum tipis.

“Ada seorang perempuan seperti itu, Nak. Wajahnya sejuk. Tatapannya dalam. Tapi… ia memiliki cacat yang parah.”

“Cacat seperti apa?” tanya sang raja.

“Kedua tangannya buntung.”

Sang raja terdiam. Tapi hatinya justru penasaran.

“Datangkan dia ke istana.”



Ketika perempuan itu hadir di istana, ia datang dengan sederhana. Jubahnya biasa. Tapi langkahnya teguh. Ia tidak membawa kemewahan, tapi membawa ketenangan.

Sang raja menatapnya. Dan dalam hatinya bergema satu bisikan:

“Ada luka yang justru menjadikan seseorang bercahaya.”

Dengan suara mantap, ia berkata:

“Maukah engkau menjadi istriku?”

Perempuan itu menjawab dengan kepala tertunduk:

“Jika engkau menghendaki, aku bersedia…”

Raja pun menikahinya.



Setelah pernikahan itu, raja bertanya dengan hati yang mulai ingin tahu:

“Katakan padaku… mengapa tanganmu tiada?”

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Ia tidak ragu. Tidak pula menyimpan marah.

“Tangan ini hilang… karena aku memberikan dua potong roti… kepada orang yang lapar… ketika seluruh negeri takut memberi…”

Sang raja terdiam. Seolah petir menyambar batinnya. Ia sadar.

“Perempuan yang kini menjadi istriku… adalah perempuan yang dahulu kuhukum…”

Dan air matanya mengalir. Bukan karena penyesalan semata, tetapi karena ia melihat di hadapannya bukan perempuan cacat, melainkan perempuan yang tangannya mungkin hilang… tapi hatinya lebih utuh dari seluruh kerajaan.



Kadang Allah mengambil sesuatu dari kita, agar kita melihat dengan cara yang tak bisa dijangkau oleh tangan.

Terkadang, satu potong roti… lebih berat dari seluruh emas di istana.


Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin petang menyapa lembut ketika pasukan R...

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin petang menyapa lembut ketika pasukan Raja Dzulkarnain memasuki sebuah kota. Gema takbir kemenangan menyertai langkah-langkah para prajuritnya. Penduduk kota, tua muda, lelaki dan perempuan, berhamburan ke jalanan. Mereka ingin menyaksikan sang penguasa dunia yang namanya menggetarkan timur dan barat.

Namun, di tengah kerumunan yang riuh itu, ada seorang lelaki tua yang tampak sibuk menggali tanah. Kedua tangannya kotor oleh debu dan lumpur. Ia sama sekali tak menoleh, bahkan ketika iring-iringan kaisar lewat di hadapannya. Wajahnya tenang, seperti tak terganggu oleh sorak-sorai atau denting pedang para prajurit.

Dzulkarnain memperhatikannya. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Ia lalu memerintahkan para pengawalnya mendekat dan memanggil sang pria.

"Wahai lelaki, mengapa engkau tidak ikut menyambut kedatanganku? Sedangkan semua penduduk kota ini meninggalkan pekerjaannya dan bersuka cita melihat pasukanku?" tanya Dzulkarnain dengan lembut namun tegas.

Lelaki itu berdiri. Wajahnya penuh wibawa. Ia menatap Dzulkarnain tanpa gentar, lalu menjawab:

"Wahai Raja, saya sedang sibuk mengurusi kematian. Maka saya tak punya waktu untuk menyambut kehidupan dunia yang fana. Lagi pula, saya sudah belajar bahwa kekuasaan dan kehormatan dunia bukan sesuatu yang patut dikagumi."

Dzulkarnain mengernyit. "Apa maksudmu?"

Lelaki itu pun mulai berkisah, suaranya dalam dan tenang:

"Beberapa tahun silam, ada dua orang wafat di kota ini. Yang satu seorang raja, yang satu lagi rakyat jelata yang miskin. Sesuai adat kami, keduanya dimakamkan di tempat yang sama—tak ada istimewa, tak ada perbedaan."

Suasana mendadak hening. Dzulkarnain menatapnya penuh perhatian, mulai tergetar oleh arah kisah ini.

"Beberapa hari kemudian, saya datang menengok kuburan mereka. Kain kafan mereka sudah mulai berubah warna—sama-sama dimakan tanah. Tidak ada yang istimewa pada jasad sang raja dibanding si miskin."

Dzulkarnain mulai menunduk, seolah bayang-bayang kematian mengingatkannya akan sesuatu yang sering dilupakan para penguasa.

"Beberapa waktu kemudian, saya kembali datang. Daging keduanya sudah mulai hancur. Tak tersisa keelokan wajah, apalagi mahkota atau tanda kebesaran."

Mata Dzulkarnain mulai berkaca-kaca. Keangkuhan dunia seolah retak perlahan di hadapan kebenaran yang dibawa lelaki ini.

"Dan akhirnya, saya menengok lagi setelah waktu berlalu lebih lama. Yang tersisa hanyalah tulang belulang. Dan sungguh, saya tak mampu membedakan tulang raja dengan tulang si miskin. Sama-sama rapuh, sama-sama diam."

Lelaki itu menatap lurus ke arah Dzulkarnain.

"Maka sejak saat itu, saya tak lagi mengagumi pangkat, takjub pada gelar, atau terpesona oleh barisan pasukan. Semuanya akan menuju liang yang sama."

Hening. Hanya desir angin dan detak hati yang masih terasa.

Dzulkarnain diam sejenak. Lalu ia mendekat, menggenggam tangan lelaki itu.

"Engkau telah mengajariku sesuatu yang tak diajarkan oleh para menteri dan jenderalku."
Kemudian, dengan suara tegas namun penuh hormat, Dzulkarnain mengangkat lelaki itu sebagai wakilnya untuk memimpin kota tersebut.

"Orang yang pantas memimpin adalah yang tak mencintai kekuasaan. Sebab dia akan menjaga amanah, bukan menikmati kehormatan."



Refleksi:

Mengapa kekuasaan diberikan kepada mereka yang tak menginginkannya?

Karena orang yang mencintai kekuasaan akan memanfaatkannya, sedang orang yang takut pada kekuasaan akan menjaganya seperti menjaga bara api.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi tanpa memintanya, kamu akan dibantu (oleh Allah), tetapi jika kamu diberi karena memintanya, kamu akan dibebani.”
(HR. Bukhari dan Muslim)


Sumber:
Ibnu al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar.

Peti Dinar yang Menjadi Belenggu di Akhirat  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin senja berembus pelan di halaman rumah Hasan Al-Bas...

Peti Dinar yang Menjadi Belenggu di Akhirat 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin senja berembus pelan di halaman rumah Hasan Al-Bashri. Seorang lelaki datang dengan wajah letih, duduk di antara para hadirin. Nafasnya terengah, seakan membawa kabar yang berat dari perjalanan jiwa.

“Wahai Hasan,” katanya lirih. “Baru saja kami menjenguk Abdullah bin al-Ahtam.”

Hasan menoleh dengan tenang. Para hadirin pun diam. Lelaki itu melanjutkan,

“Keadaannya… sangat lemah. Tubuhnya lunglai di atas ranjang. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Kami kira ajal sudah dekat.”

Hasan menyimak tanpa menyela.

Lelaki itu menceritakan kembali percakapannya, “Kami bertanya padanya, ‘Wahai Abu Ma’mar, bagaimana keadaanmu?’”

Ia menjawab lemah, “Demi Allah… aku sakit…”

Namun tiba-tiba, ia menunjuk ke arah peti di sudut rumahnya. “Di situ ada seratus ribu dinar. Belum aku keluarkan zakatnya… Belum juga kugunakan untuk sanak kerabatku…”

Hening.

“Wahai Abu Ma’mar,” kami bertanya, “untuk apa engkau mengumpulkan semua itu?”

Dengan suara berat, ia menjawab, “Aku kumpulkan sebagai antisipasi… untuk menghadapi zaman yang penuh bencana. Untuk menjaga diri dari kesewenangan penguasa… dan, ya… untuk kebanggaan diri…”


Mendengar cerita itu, Hasan Al-Bashri menarik nafas dalam. Pandangannya tajam namun getir.

"Celaka..." bisiknya lirih, lalu suaranya meninggi pelan-pelan, "Celaka orang yang diperdaya oleh setan—dengan ketakutan palsu tentang masa depan. Ketakutan akan lapar, akan penguasa, akan kehilangan… Hingga lupa pada amanah Allah dan kesempatan hidup yang telah diberikan padanya."

Hasan menunduk. Suasana jadi sendu. Lalu ia berkata lagi dengan suara bergetar:

“Sungguh… ia pergi dari dunia ini sebagai orang yang terampas. Pergi dengan hati yang gundah, hina, dan penuh cela.”


Kemudian, dengan tatapan tajam kepada para muridnya, ia berseru,

“Wahai para pewaris! Jangan tertipu sebagaimana sahabat kalian tertipu!”

Beberapa kepala menunduk. Ada yang memejamkan mata. Kata-kata Hasan menusuk ke dalam dada.

“Harta datang kepadamu secara halal. Maka jangan sampai ia berubah menjadi malapetaka.”

Hasan berjalan beberapa langkah, lalu berhenti, seolah menimbang sesuatu di dadanya. Kemudian ia melanjutkan:

“Lihatlah orang yang mengumpulkannya! Ia kerja keras siang dan malam, menempuh gurun dan rimba, melewati dataran tandus dan tanah asing… Ia genggam hartanya erat-erat, mengikatnya rapat dalam peti. Tapi ia lupa—lupa pada zakat, lupa pada fakir miskin, lupa pada kerabatnya sendiri.”


Lalu Hasan terdiam.

Diam yang menggantung di langit-langit ruangan. Para muridnya menahan nafas, menunggu kata selanjutnya.

Dengan suara pelan, nyaris berbisik, Hasan berkata:

“Sesungguhnya… hari kiamat adalah hari penyesalan. Dan penyesalan yang paling besar… adalah ketika seseorang melihat hartanya berada di timbangan amal orang lain…”

Seseorang terperanjat. Yang lain menoleh penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin?

Hasan menjelaskan,

“Ya… dia diberi harta oleh Allah. Disuruh menginfakkan, tapi ia kikir. Takut miskin. Maka harta itu jatuh ke tangan ahli warisnya. Lalu ahli warisnya gunakan… dan amalnya tercatat di timbangan orang lain…”

Ia menatap satu per satu wajah di sekelilingnya. Kemudian ia menutup:

“Sebuah kesalahan yang tak termaafkan… dan pertaubatan yang tidak teraih.”


Malam pun turun pelan. Tapi kata-kata Hasan tak tenggelam. Ia menetap seperti api yang membakar kesadaran:
Bahwa harta bisa menjadi ujian paling halus yang meninabobokan iman,
dan peti dinar yang tidak terbuka di dunia,
bisa menjadi belenggu di akhirat.

"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih."
(QS. At-Taubah: 34)

"Kita bukan pemilik harta, hanya pemikul amanah yang akan ditanya satu per satu."



Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin  Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (358) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (561) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (242) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (490) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (251) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (234) Sirah Sahabat (152) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (153) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)