Riwayat Ibnu Bajjah, Sang Filsuf dari Sarqusthan
Ibnu Bajjah menggagas klasifikasi manusia berdasarkan pertalian mereka dengan Akal Aktif.
OLEH HASANUL RIZQA
Di Andalusia, perkembangan filsafat Islam ditopang para pemikir brilian. Di antara mereka adalah Ibnu Bajjah. Sang filsuf menjadi inspirasi tokoh-tokoh sesudahnya, semisal Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khaldun.
Selama hampir 800 tahun, Islam menghadirkan peradaban yang gemilang di Semenanjung Iberia, ujung barat Benua Eropa. Dataran yang kini terdiri atas negara Spanyol dan Portugal itu melahirkan banyak cendekiawan yang brilian pada abad pertengahan.
Sejarah mencatat, kaum terpelajar Andalusia—sebutan bagi daulah Islam di sana—tidak hanya berasal dari kalangan Muslim, melainkan juga non-Muslim. Hal itu menunjukkan tingginya budaya kosmopolitan yang berbalut kemajemukan.
Dalam bidang filsafat, salah satu sarjana yang berperan besar di Andalusia abad ke-12 M adalah Ibnu Bajjah. Orang-orang Eropa menyebutnya dengan pelafalan bahasa Latin, Avempace. Gagasan-gagasannya menyoroti banyak topik, termasuk fenomenologi jiwa (soul phenomenology).
Bahkan, sesungguhnya ia merupakan seorang polymath alias ilmuwan yang serba bisa. Kepakarannya tidak melulu pada disiplin filsafat, tetapi juga sastra, gramatika Arab, ilmu musik, fisika, astronomi, dan kedokteran. Salah satu karyanya yang membahas botani, Kitab an-Nabat (Buku Tumbuh-tumbuhan), menjadi rujukan yang populer di kampus-kampus Eropa hingga awal abad modern.
Pemilik nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shaigh at-Tujibi bin Bajjah itu lahir di Sarqusthan atau kini Zaragoza tahun 1080 M/487 H. Pada zaman itu, kota tersebut merupakan salah satu dari puluhan negara-kecil (taifa) yang terbentuk sejak runtuhnya pengaruh Bani Umayyah di Andalusia. Barulah ketika sang filsuf berusia 34 tahun, kampung halamannya menjadi bagian dari kekuasaan Dinasti Murabithun.
Keterangan tentang riwayat masa kecilnya tidak banyak diketahui. Yang jelas, pendidikan dasar diperolehnya di Sarqusthan. Hingga berusia muda, dia terus belajar kepada sejumlah guru di kota kelahirannya maupun Andalusia pada umumnya.
Ibnu Bajjah muda semakin dikenal sebagai ilmuwan yang terkemuka. Karena itu, reputasinya sampai ke telinga raja Murabithun, yang baru saja menaklukkan Sarqhustan pada 1114 M. Sang raja menunjuk Abu Bakar Ali bin Ibrahim as-Sahrawi sebagai gubernur baru yang bertugas memimpin pemerintahan kota tersebut.
Reputasinya sampai ke telinga raja Murabithun, yang baru saja menaklukkan Sarqhustan pada 1114 M.
Abu Bakar as-Sahrawi menjalin hubungan yang baik dengan para ulama dan cendekiawan lokal, termasuk Ibnu Bajjah. Malahan, pemikir yang banyak dipengaruhi ide-ide Aristoteles itu kemudian diangkat menjadi perdana menteri setempat. Karena itu, salah satu julukannya adalah wazir al-hikmah.
Sekitar empat tahun berlalu. Pengaruh Murabithun melemah. Pada 1116, as-Sahrawi gugur dalam sebuah pertempuran melawan pasukan Kristen di perbatasan. Untuk mengenang wafatnya sang gubernur, Ibnu Bajjah diketahui membuat sebuah puisi dukacita atau elegi.
Pada 18 Desember 1118, Sarqusthan akhirnya jatuh ke tangan Kerajaan Aragon. Raja Alfonso I lebih lanjut menjadikan kota tersebut sebagai pusat kekuasaannya. Sejak saat itu, kehidupan umat Islam setempat berubah drastis. Terjadi marak persekusi terhadap mereka di sana.
Ibnu Bajjah sempat hijrah ke Valencia, yang ketika itu menjadi basis pasukan Ibrahim bin Tasyrifin. Keberadaannya di sana tidak lama. Kemudian, ia pergi ke Seville dengan identitas sebagai seorang dokter. Namun, daerah itu juga diserbu balatentara Alfonso sehingga dia berpindah lagi, kali ini ke Granada.
Situasi politik dan keamanan di Andalusia masih tidak stabil. Murabithun di bawah pimpinan Ali bin Yusuf bin Tasrifin terus berjuang menghalau ekspansi Aragon.
Ibnu Bajjah juga memiliki masalahnya sendiri. Popularitasnya memang menanjak, tetapi fitnah pun bertubi-tubi datang menghampirinya. Berkali-kali, ia dituding sebagai seorang ahli bidah.
Di Syatibah, sebelah selatan Valencia, Ibnu Bajjah pernah ditangkap dan dipenjara amir setempat. Kuat dugaan, penahanan itu dilakukan karena pengaruh tuduhan bidah tersebut. Karena tidak terbukti bersalah, dia pun dibebaskan.
Akhirnya, Ibnu Bajjah memilih untuk meninggalkan Andalusia. Menyeberangi Selat Jabal Thariq, ia pun tiba di Maghribiyah, Afrika utara. Di Kota Fas, dia diterima dengan tangan terbuka oleh bangsawan Murabithun, Yahya bin Yusuf bin Tasrifin.
Dengan latar belakang kemampuan dan keilmuannya yang mumpuni, ia pun diberi jabatan tinggi. Selama dua dekade, posisi elite itu didudukinya hingga tutup usia pada tahun 1138 M. Sosok yang disebut-sebut sebagai guru Ibnu Rusyd (Averroes) itu mengembuskan nafas terakhir usai diracun oleh salah seorang pembencinya yang juga dokter kenamaan, Abul Ala bin Zuhr.
Menurut Syamsuddin Arif dalam “Filsafat Islam Antara Tradisi dan Kontroversi” (2014), perkembangan filsafat yang digerakkan para pemikir Muslim di sepanjang sejarah tidak terlepas dari kebudayaan-kebudayaan pra-Islam, khususnya Yunani kuno. Para penekun filsafat pada periode awal, seperti al-Kindi (801-873 M) dan al-Farabi (870-950 M), banyak bergelut dengan karya-karya filsuf Yunani—semisal Plato, Sokrates, dan Aristoteles.
Josep Puig Montada dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy menjelaskan, maraknya kegiatan berfilsafat di Andalusia terjadi lebih belakangan daripada kawasan sisi timur dunia Islam, semisal Syam atau Irak.
Pada abad ke-10, buku-buku yang berkaitan dengan pemikiran Ikhwan ash-Shafa—sebuah perkumpulan “misterius” yang dibentuk para pemikir di Basrah—diketahui sampai ke Andalusia. Tokoh yang diduga menyebarkannya adalah Maslamah bin Ahmad al-Majriti, seorang filsuf kelahiran tahun 950 M dari Madrid.
Khususnya di Sarqusthan, jejak-jejak filsafat dapat ditelusuri pascawafatnya al-Majriti, yakni pada peranan Solomon bin Gabirol atau Avicebron. Pemikir dari kalangan Yahudi itu memperkenalkan neo-Platonisme kepada publik Barat. Gagasan-gagasannya, terutama yang termaktub dalam buku Yanbu al-Hayyah (Sumber Kehidupan), diterjemahkan ke dalam Latin pada 1150 dan mengilhami skolastisisme abad pertengahan di Eropa.
Dua generasi kemudian, tokoh berikutnya memberikan warna baru bagi tumbuhnya filsafat Islam di Andalusia. Dialah Abu Bakar Muhammad Ibnu Bajjah. Agak berbeda dengan para pendahulunya, ia sangat dipengaruhi pemikiran Aristoteles.
Menurut Mian Mohammad Sharif dalam A History of Muslim Philosophy, Ibnu Bajjah membaca dengan teliti dan mengomentari karya-karya pemikir Yunani kuno tersebut. Dalam beberapa hal, filsuf Andalusia itu mengandalkan al-Farabi untuk menelaah filsafat.
Tidak seperti sosok yang berjulukan “guru kedua” setelah Aristoteles itu, Ibnu Bajjah memakai metode yang berlandaskan pada nalar untuk mendekati masalah-masalah filsafat.
Namun, tidak seperti sosok yang berjulukan “guru kedua” setelah Aristoteles itu, Ibnu Bajjah memakai metode yang berlandaskan pada nalar untuk mendekati masalah-masalah filsafat.
Sebagai contoh, pemikiran Aristoteles mengenai substansi dan aksiden. Yang pertama tersebut merupakan hal yang utama dan fundamental. Itu membedakannya dengan kategori-kategori lain yang adalah aksidennya belaka.
Katakanlah, sebuah meja. Substansinya adalah “maujud” meja. Adapun model, warna, fungsinya di ruangan, dan lain-lain itu sekadar aksidennya saja. Totalitas benda itu adalah meja. Bahwa benda itu terbuat dari kayu, berwarna hijau, dipakai untuk makan, dan lain-lain—itu hanyalah menunjukkan kekhasannya, yang bukan pokok fundamental tentangnya.
Mengenai teori Aristoteles itu, Ibnu Bajjah menambahkan perihal empat aksiden rohani yang dipandangnya berpusat dalam diri insan. Pertama, aksiden yang muncul karena adanya indera.
Kedua, aksiden yang lahir lantaran adanya tingkah laku. Misalnya, rasa dahaga membuat orang segera mencari air. Dua aksiden terawal ini tidak hanya ditemukan pada manusia, tetapi juga binatang.
Ketiga, aksiden yang terwujud melalui hasil pemikiran akal rasional. Inilah yang dimiliki manusia (biasa). Keempat, aksiden yang ada akibat “akal aktif”. Wahyu yang diterima nabi, mimpi yang benar atau ilham yang diperoleh seorang bijaksana dapat digolongkan ke dalam jenis yang terakhir ini.
Pembahasannya mengenai “akal aktif” tidak terlepas dari legasi al-Farabi. Sang “guru kedua” berpandangan, setiap insan memiliki “watak bawaan” sehingga siap menerima bentuk-bentuk pengetahuan universal, termasuk kebenaran (tentang adanya Tuhan).
“Watak bawaan” itu diistilahkannya sebagai akal potensial (al-‘aql bi al-quwwah). Seperti tampak pada namanya, isinya adalah potensi-potensi yang akan mengabstraksikan bentuk-bentuk pengetahuan yang diserapnya. Akal potensial, setelah itu, meningkat menjadi akal aktual (al-‘aql bi al-fi’il).
Proses abstraksi, menurut al-Farabi, hanya dapat terjadi setelah akal potensial menerima “cahaya” dari akal aktif. Hubungan antara akal aktif dan akal potensial itu seumpama matahari dan mata-manusia.
Dalam kegelapan yang pekat, sepasang mata hanyalah “penglihatan potensial.” Sementara itu, matahari yang merupakan sumber cahaya melakukan penyinaran.
Dengan menerima cahaya atau pantulan cahaya itu, “penglihatan potensial” mata berubah menjadi “penglihatan aktual". Maka, objek-objek yang tadinya berpotensi dilihat menjadi benar-benar terlihat oleh mata.
Cahaya matahari pun memungkinkan mata untuk menemukan matahari itu sendiri. Dengan mekanisme seperti itu, “cahaya” akal aktif menyebabkan akal potensial berubah menjadi akal aktual, yang bahkan bisa memahami akal aktif itu sendiri.
Sampai di sini, tampaklah bahwa al-Farabi dan juga Ibnu Bajjah merupakan kalangan pemikir yang meyakini, pengetahuan tidak diperoleh hanya melalui indra (empiris). Bagi mereka, bantuan Akal Aktif diperlukan sebagai inteligensi yang mengatur dan yang membuat manusia bisa mencapai isi ilmu, penalaran apodiktik, atau pengetahuan yang bersifat niscaya.
Terkait itu, Ibnu Bajjah menggagas klasifikasi manusia berdasarkan pertalian mereka dengan Akal Aktif. Pertalian yang dimaksud tidak bersifat afektif, apalagi indrawi, melainkan intelektual.
Gagasannya itu dituangkan dalam kitab Risalat al-Ittishal al-‘Aql bi al-Insan (Uraian tentang Persatuan Intelek dengan Manusia). Karya itu merupakan himpunan surat-menyurat yang dilakukannya dengan murid kesayangan, Ibnu al-Imam. Karena termaktub di sana, buah pikirnya mengenai kelas-kelas manusia itu di kemudian hari dikenal sebagai Teori Ittishal.
https://www.republika.id/posts/29533/riwayat-ibnu-bajjah-sang-filsuf-dari-sarqusthan
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif