basmalah Pictures, Images and Photos
07/09/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Strategi Waktu dan Cuaca Rasulullah saw. dalam Perang Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik kejayaan Rasulullah ﷺ dalam banyak per...


Strategi Waktu dan Cuaca Rasulullah saw. dalam Perang

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di balik kejayaan Rasulullah ﷺ dalam banyak pertempuran, tersembunyi kecerdasan strategi yang kerap luput dari pembacaan awam: pengelolaan waktu dan pembacaan cuaca. Rasulullah tidak hanya membaca peta bumi, tetapi juga menafsirkan pergerakan langit. Dalam setiap perang, beliau tidak tergesa menyerang, tetapi mengukur waktu terbaik untuk bergerak, menunggu cuaca memihak, dan membiarkan musuh jatuh oleh kelelahannya sendiri.

Empat perang besar—Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar—menjadi contoh nyata bagaimana Rasulullah saw. bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga komandan waktu dan penakluk musim.



Perang Badar: Menunggu Hujan, Menang dengan Tenang

Konteks Waktu dan Cuaca:
Perang Badar terjadi pada 17 Ramadan tahun ke-2 Hijriah. Saat itu, pasukan Muslim lebih dahulu sampai di lokasi dan menghadapi malam penuh ketegangan. Namun, sebelum fajar, turun hujan yang deras.

Makna Strategis:

Hujan membersihkan debu hati dan medan yang akan dilalui kaum Muslimin.

Pasir tempat kaum Muslim berpijak menjadi padat, memudahkan gerak.

Sebaliknya, jalan Quraisy menjadi licin dan berat.


“Dan Allah menurunkan hujan dari langit kepadamu untuk membersihkan kamu, menghilangkan gangguan setan, dan memperkokoh hatimu.” (QS. Al-Anfal: 11)

Pengelolaan Waktu: Rasulullah saw. tidak tergesa menyerang. Beliau menunggu musuh datang, memosisikan pasukan dengan arah angin dan matahari di belakang mereka. Beliau memilih waktu pagi sebagai awal pertempuran, saat semangat masih tinggi dan fisik belum lelah.



Perang Uhud: Kemenangan yang Hilang karena Ketergesaan

Konteks Waktu dan Cuaca: Uhud terjadi pada pagi hari. Cuaca terang dan panas menjelang siang. Pasukan Muslim awalnya menguasai medan. Namun, saat pasukan Quraisy mundur, sebagian pemanah di Bukit Rumat turun, menyangka perang telah usai.

Makna Strategis:

Waktu serangan balik musuh terjadi saat pasukan Muslim mulai lengah.

Cuaca panas memicu kelelahan, menurunkan kewaspadaan.

Khalid bin Walid (saat itu musuh) menyerang dari belakang ketika waktu dan kondisi berpihak padanya.


Pelajaran: Perang bisa dimenangkan oleh taktik. Tapi jika waktu tak dijaga—jika pasukan terburu menjemput rampasan—maka kemenangan berubah jadi kekalahan.



Perang Khandaq: Menanti dalam Dingin, Menang Tanpa Darah

Konteks Waktu dan Cuaca: Terjadi di musim dingin panjang. Pasukan Quraisy dan sekutunya mengepung Madinah selama hampir sebulan. Madinah saat itu dikelilingi angin gurun yang dingin dan menyakitkan.

Makna Strategis:

Rasulullah saw. tidak menyerang. Beliau bertahan, membiarkan waktu dan cuaca melemahkan musuh.

Angin kencang membuat tenda-tenda musuh rubuh, makanan rusak, semangat hancur.

Malam-malam yang beku menghantam mental para pengepung lebih keras dari tombak.


“Dan Allah mengirimkan angin dan pasukan-pasukan yang tidak kamu lihat.” (QS. Al-Ahzab: 9)

Pengelolaan Waktu: Menunda pertempuran, menunggu keletihan musuh. Waktu menjadi senjata, dan cuaca menjadi sekutu Allah yang memecah kekuatan tanpa pertempuran terbuka.



Perang Khaibar: Menyerang Saat Subuh, Menaklukkan dalam Sekejap

Konteks Waktu dan Cuaca: Perang Khaibar terjadi di pagi hari. Rasulullah saw. dan pasukannya datang diam-diam, lalu menyerang saat fajar ketika penduduk benteng keluar membuka ladang.

Makna Strategis:

Cuaca pagi di dataran tinggi Khaibar dingin dan berkabut.

Musuh tidak siap, kaget, dan tidak sempat kembali ke posisi bertahan.

“Kami mendatangi Khaibar di pagi hari. Penduduknya keluar membawa cangkul dan keranjang. Ketika melihat kami, mereka berteriak, ‘Muhammad dan pasukannya!’ lalu mereka melarikan diri ke dalam benteng.” (HR. Bukhari)

Pengelolaan Waktu: Rasulullah saw. memilih jam paling tenang, ketika musuh dalam keadaan paling santai. Waktu adalah alat kejutan yang lebih tajam dari senjata.



Waktu dan Cuaca Bukan Netral, Tapi Senjata

Rasulullah saw. mengajarkan bahwa waktu bukan angka, tapi keputusan. Dan cuaca bukan hambatan, tapi alat ilahi. Dari hujan di Badar, matahari Uhud, dingin Khandaq, hingga subuh Khaibar, semua menjadi bagian dari strategi kenabian.

Hari ini, pejuang Gaza membaca siang dan malam seperti Rasulullah membaca langit Madinah. Mereka menyerang saat musuh lelah, bersembunyi saat drone buta karena kabut, dan bertahan saat malam menutupi langkah mereka.

Karena langit selalu berpihak pada mereka yang membaca waktu dengan iman dan bertindak dengan hikmah.

Strategi Rasulullah dalam Dimensi Geospasial Sebelum Pertempuran  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di setiap medan perang, sebelum sen...

Strategi Rasulullah dalam Dimensi Geospasial Sebelum Pertempuran 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di setiap medan perang, sebelum senjata diangkat dan takbir dikumandangkan, Rasulullah ﷺ terlebih dahulu mengamati tanah, membaca arah angin, menghitung jarak, dan menakar langkah. Dalam sunyi malam atau terik siang, beliau tidak pernah mengandalkan keberanian saja—melainkan perhitungan matang terhadap ruang dan waktu.

Inilah sisi Rasulullah yang sering luput dari sorotan: beliau adalah pemimpin strategis yang menjadikan peta sebagai bagian dari iman. Badar dimenangkan bukan oleh jumlah, tapi oleh posisi. Uhud hampir diraih, tapi jatuh karena satu celah terbuka. Khandaq dipagari bukan oleh dinding, tapi oleh parit. Khaibar ditaklukkan bukan dengan frontal, tapi dengan pembacaan struktur benteng yang cermat.

Hari ini, kita menyaksikan Gaza—sebidang tanah kecil yang dikepung dari segala arah—berubah menjadi labirin perlawanan. Dunia bertanya: bagaimana mungkin pejuang tanpa angkatan udara, tanpa peluru pintar, dan tanpa negara, mampu memukul mundur pasukan yang digelari tak terkalahkan? Jawabannya sederhana: karena mereka membaca tanah sebagaimana Rasulullah ﷺ dahulu membaca medan.



Mengapa Pemetaan Wilayah Adalah Kunci Kemenangan?

Setiap perang adalah benturan kekuatan. Tapi kekuatan bukan semata jumlah pasukan atau senjata. Salah satu kunci kemenangan adalah pemahaman terhadap wilayah pertempuran.

Pemetaan wilayah berarti:

1. Mengetahui kontur tanah: datar, bukit, lembah, batu, atau rawa.
2. Mengenali jalur suplai dan air, tempat persembunyian, jalur pelarian.
3. Membedakan antara tempat bertahan dan tempat menyerang.

Dalam strategi Rasulullah saw., pemetaan wilayah selalu dilakukan sebelum pertempuran dimulai. Dan setelahnya, barulah:

1. Penempatan pasukan ditentukan secara taktis.

2. Pengelompokan pasukan berdasarkan fungsi: infanteri, pemanah, pasukan kavaleri.

3. Simulasi skenario pertempuran, termasuk rute mundur atau jebakan musuh.



Perang Badar: Menguasai Sumur, Mengunci Jalur

Medan:
Tanah lapang berpasir di Badar, dengan beberapa sumur air strategis.

Pemetaan:
Rasulullah saw. dan para sahabat awalnya berkemah di tempat yang tidak terlalu menguntungkan. Namun Hubab bin Mundzir mengajukan usulan:

"Wahai Rasulullah, jika ini bukan wahyu, melainkan strategi, maka izinkan aku menyarankan: kita tempati sumur paling dekat dari musuh, keringkan sumur lainnya, dan cegah mereka dari air."

Rasulullah menerima masukan itu dan memindahkan posisi pasukan.

Hasil:
Musuh kehausan, pasukan Muslim tetap bugar. Pemetaan air = pemetaan kemenangan.



Perang Uhud: Bukit yang Dikhianati

Medan:
Lembah luas di kaki Gunung Uhud, dengan jalur sempit di belakangnya.

Pemetaan:
Rasulullah saw. memetakan kemungkinan serangan kavaleri musuh. Maka beliau menempatkan 50 pemanah di atas Bukit Rumat, dengan pesan keras: "Jangan tinggalkan pos kalian meski kalian melihat kami menang atau kalah."

Krisis:
Sebagian pemanah turun lebih awal, celah terbuka, dan Khalid bin Walid (saat itu di pihak Quraisy) memutar dari belakang.

Pelajaran:
Pemetaan telah tepat, tapi disiplin menjaga posisi adalah ujian keimanan dalam strategi.



Perang Khandaq: Kota Dilindungi Parit

Medan:
Madinah dikepung bukit batu, tapi hanya sisi utara yang terbuka.

Pemetaan:
Atas saran Salman al-Farisi, parit digali sepanjang sisi utara, tempat yang terbuka untuk serangan. Wilayah barat dan timur sudah tertutup oleh kebun dan bangunan padat. Selatan terlindungi oleh pemukiman Bani Quraizhah (yang awalnya bersumpah setia).

Strategi:
Gali parit bukan untuk menyerang, tapi mengunci musuh. Pertahanan kota = pasukan tak perlu maju jauh.

Hasil:
Pasukan musyrik berbulan-bulan terjebak tanpa bisa masuk. Cuaca dan kebosanan memecah mereka sendiri.



Perang Khaibar: Mengurai Benteng, Menaklukkan Satu per Satu

Medan:
Wilayah pertanian dan perkebunan luas, dengan beberapa benteng kuat yang saling terpisah.

Pemetaan:
Alih-alih menyerang semua sekaligus, Rasulullah saw. mengelompokkan benteng dan menyerangnya satu demi satu:
Benteng Na’im, Benteng Qamus dan Benteng Al-Wathih.

Strategi:
Isolasi logistik tiap benteng, kejut psikologis, dan pengepungan rapi.

Taktik:
Gunakan kavaleri untuk menghalau pasukan bantuan. Serbu saat musuh kelelahan atau kehabisan stok makanan.



Dari Khaibar ke Gaza: Peta Adalah Senjata Baru

Hari ini, Gaza yang kecil dan terkepung adalah simbol kemenangan dari bawah. Tapi kemenangan mereka bukan tanpa ilmu.

Pejuang Gaza memetakan:

1. Jalur bawah tanah seperti saluran air dan gorong-gorong.
2. Jaringan komunikasi antar wilayah.
3. Rute penyergapan tank dan penembak jitu.
4. Wilayah padat penduduk sebagai tameng sipil, yang secara etika menjebak Israel pada dilema hukum internasional.

Mereka memetakan peta bawah tanah dan psikologi tentara Israel. Maka tank pun bisa dihancurkan oleh anak muda bersendal jepit, karena ia tahu celah tank—bukan hanya titik lemah mesinnya, tapi kelelahan mental pengendaranya.

Gaza adalah Badar yang lain. Tapi medan telah berubah dari pasir ke terowongan, dari sumur ke bunker, dari Jabal Rumat ke menara apartemen.



Peta Tak Pernah Netral

Pemetaan wilayah bukan hanya untuk militer. Ia adalah ilmu membaca ruang dan strategi membangun harapan. Rasulullah saw. memetakan tanah agar darah tak tumpah sia-sia. Pejuang Gaza memetakan reruntuhan untuk membangkitkan kehormatan.

Dan hari ini, pertanyaannya untuk kita:
Sudahkah kita memetakan wilayah perjuangan kita masing-masing? Atau kita masih bertempur dalam gelap, tanpa arah dan ilmu?

Mengapa Kekuasaan Besar Justru Runtuh dari Dalam? Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, ...

Mengapa Kekuasaan Besar Justru Runtuh dari Dalam?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, ketika melihat dirinya cukup.”
(QS. Al-‘Alaq: 6–7)

Kekuasaan tak runtuh karena musuh dari luar. Ia hancur karena penyakit dari dalam: kerakusan, kesombongan, dan obsesi untuk menghancurkan musuh tanpa sisa. Sepanjang sejarah, tirani tak pernah lama. Bukan karena lemahnya senjata, tapi karena terlalu percaya diri pada senjata itu sendiri.

Dua tokoh dalam sejarah dan masa kini bisa menjadi cermin: Firaun, penguasa Mesir kuno, dan Netanyahu, pemimpin Israel modern. Keduanya berdiri di puncak kuasa, mengendalikan kekuatan militer, ekonomi, dan media. Tapi keduanya juga memperlihatkan gejala klasik dari keruntuhan: menguatkan kendali, tapi kehilangan kepercayaan; memenjarakan perbedaan, tapi dibelah oleh retakan internal.



Kerakusan Melemahkan Kekuasaan

Firaun memonopoli sumber daya Mesir, dibantu Qarun, si penguasa harta. Tapi justru kerakusan ini menciptakan ketimpangan sosial, ketakutan struktural, dan kemarahan rakyat. Kekuasaan yang hanya mengalir ke atas akan membusuk di atas, lalu retak ke bawah.

Netanyahu juga dibekingi oleh para oligark Yahudi global, elite ekonomi, dan perusahaan pertahanan. Tapi Gaza yang diratakan hingga ke fondasinya justru membuat Israel kehilangan simpati dunia, menguras anggaran, dan melemahkan ekonomi domestik. Kekuasaan yang rakus membakar apa saja—termasuk fondasinya sendiri.

Ketika kekuasaan mengubah semua menjadi miliknya, ia tak menyisakan tempat untuk menopang dirinya.



Kesombongan Menjadi Lubang Pertama di Dinding Kekuasaan

Firaun berkata:

“Akulah tuhan kalian yang tertinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)

Ia percaya kekuasaannya tak terbatas. Tapi justru karena terlalu yakin bahwa tak ada yang bisa mengalahkannya, ia menolak semua kritik. Bahkan ketika pejabat istana sendiri mengingatkan, ia tetap mengejar Musa sampai ke laut.

Netanyahu berkata:

“Tidak akan ada kekuasaan Palestina di Gaza selama saya hidup.” (2024)

Ia menolak semua usulan pasca-perang, bahkan dari Menteri Pertahanannya. Ia mengecam jenderal-jenderalnya, membungkam peringatan para analis. Tapi dari dalam sistemnya sendiri, kabinet perang runtuh, IDF bersuara, rakyat muak. Kesombongan tidak membuat langit tunduk—ia hanya membuat lantai tempat kita berdiri retak pelan-pelan.

Kesombongan itu seperti membangun istana megah di atas pasir: megah, tapi tak bertahan.



Penghancuran Total Justru Memunculkan Kekuatan Baru

Firaun ingin menghancurkan Musa, bahkan membunuh seluruh bayi Bani Israil demi mematikan benih kenabian. Tapi yang ia basmi justru melahirkan gelombang keimanan. Tongkat Musa mengalahkan sihir. Laut pun memilih Musa.

Netanyahu ingin menghancurkan Hamas hingga ke akar. Tapi setelah berbulan-bulan menggempur, dukungan terhadap Hamas di Gaza meningkat, resistensi tak padam, dan generasi baru pejuang lahir di bawah reruntuhan. Upaya mematikan justru melahirkan keyakinan.

Mereka yang menindas kebenaran dengan kekerasan, justru memberi cahaya baru bagi kebenaran itu untuk bersinar.



Diktator Tidak Pernah Menguatkan Kekuasaan

Firaun bukan hanya penguasa; ia adalah diktator spiritual, politis, dan simbolik. Tapi kekuasaan yang berdiri tanpa koreksi tak akan lama. Bahkan sihir pun tak bisa menutupi ketelanjangan otoritas. Ketika para ahli sihir sujud kepada Musa, dunia tahu bahwa Firaun bukan siapa-siapa.

Netanyahu bukan diktator secara formal. Tapi dalam praktik, ia bertindak tanpa mendengar. Ia abaikan nasihat, usulan, bahkan kritik internal. Ia bertahan bukan karena visi, tapi karena kekacauan koalisinya lebih takut jika ia tumbang.

Seorang diktator tak pernah kuat karena sendirinya. Ia hanya terlihat kuat karena semua orang takut bicara.



Mengapa Kekuasaan Besar Justru Runtuh dari Dalam?

Karena kekuasaan adalah ujian, bukan hak milik.
Karena kekuasaan tanpa moral hanya menciptakan kehancuran yang angkuh.
Karena saat semua orang takut pada pemimpin, tak ada yang berani berkata: “Itu jalan yang salah.”

Firaun tenggelam bukan karena Musa lebih kuat, tapi karena ia menolak peringatan dari dalam.
Netanyahu sedang digiring oleh sejarah ke jalan yang sama: menolak kritik, menyalahkan bawahan, dan menutup diri dari solusi.

Jika sejarah berulang, bukan Hamas yang akan menjatuhkan Netanyahu. Melainkan Netanyahu sendiri, yang menolak mendengar suara nurani dari dalam sistemnya.

“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru ke neraka.” (QS. Al-Qashash: 41)





Firaun yang Kokoh Saja Tak Bisa,  Apalagi Netanyahu yang Hancur di Dalam? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kekuasaan bisa terlihat kok...

Firaun yang Kokoh Saja Tak Bisa,  Apalagi Netanyahu yang Hancur di Dalam?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Kekuasaan bisa terlihat kokoh dari luar—dikelilingi pasukan, dipuja para elite, dilindungi harta dan propaganda. Tapi sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan yang menolak kebenaran, berakhir dalam kehinaan. Firaun adalah lambang keangkuhan absolut. Ia bukan hanya raja Mesir, tapi simbol sistem penindasan yang sempurna—di mana militer, ekonomi, birokrasi, dan media tunduk pada satu kehendak: menolak wahyu.

Namun, bahkan kekuatan sebesar itu pun tak sanggup membungkam kebenaran yang dibawa Nabi Musa. Maka hari ini, ketika Benjamin Netanyahu berkuasa dengan militer tercanggih, dukungan dunia Barat, dan parlemen penuh loyalis, pertanyaannya sederhana: jika Firaun yang kokoh saja tak mampu mengalahkan Nabi Musa, bagaimana mungkin Netanyahu yang hancur di dalam bisa menghancurkan Gaza?



Kekuasaan Firaun: Oligarki yang Menjadi Mesin Penindasan

Firaun tak berdiri sendiri. Ia dikelilingi lingkaran oligarki:

Haman, sang teknokrat kekuasaan, mengendalikan proyek besar dan pengaruh struktural.

Qarun, elit ekonomi dan simbol kerakusan harta, menopang kekuasaan dengan kekayaan.

Ahli sihir, pengendali opini publik, mengubah kenyataan menjadi ilusi.

Pejabat istana, birokrat patuh yang lebih takut kehilangan jabatan daripada membela kebenaran.


Ketika Nabi Musa datang dengan risalah Tauhid dan pembebasan Bani Israil, seluruh sistem ini dikerahkan untuk menindasnya. Firaun menggiring rakyat dengan narasi manipulatif:

“Sesungguhnya dia (Musa) adalah penyihir ulung, yang ingin mengeluarkan kalian dari negeri ini dengan sihirnya. Maka apa yang kalian perintahkan?” (QS. Asy-Syu‘arā’: 35-36)

Satu narasi dibangun: Musa adalah ancaman bagi stabilitas, agama, dan bangsa.



Dakwah Musa di Tengah Istana Tirani

Musa berdakwah bukan di pinggir jalan, tapi di tengah istana. Ia menatap langsung ke mata penguasa dan berkata:

“Sampaikanlah kepada Firaun: Sesungguhnya aku adalah utusan Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 16)

Tapi bukan argumen yang dijawab Firaun—melainkan ancaman. Ketika tongkat Musa berubah menjadi ular besar, Firaun memanggil seluruh ahli sihir untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya.

Pertarungan itu terjadi di depan publik. Tapi ketika Musa mengalahkan mereka, para ahli sihir justru sujud:

“Kami beriman kepada Tuhan Musa dan Harun.” (QS. Thaha: 70)

Firaun pun murka. Kekalahan logika dan spiritual ini dibalas dengan kekerasan. Ia menyiksa mereka yang percaya. Tapi iman sudah menembus ilusi.



Suara Nurani dari Dalam Istana

Salah satu dari kalangan istana, yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “lelaki mukmin dari keluarga Firaun,” memberanikan diri memberi kritik:

“Apakah kamu akan membunuh seseorang hanya karena dia berkata ‘Tuhanku adalah Allah’? Jika ia berdusta, dosanya atasnya. Tapi jika ia benar, bukankah kita yang binasa?” (QS. Ghafir: 28)

Namun Firaun tuli terhadap kritik. Ia tetap mengejar Musa, hingga akhirnya ia sendiri—bukan utusannya—memimpin pengejaran ke Laut Merah. Dan di sanalah dia tenggelam.



Netanyahu: Kuat dari Luar, Retak dari Dalam

Netanyahu hari ini juga mengendalikan sistem kekuasaan:

IDF sebagai Haman: kekuatan militer supercanggih

Elite ekonomi dan miliarder Zionis sebagai Qarun

Media dan propaganda global sebagai ahli sihir modern

Koalisi sayap kanan dan ultra-Ortodoks sebagai pejabat istana


Tapi semua itu kini retak. Sejak 7 Oktober 2023, Netanyahu kehilangan kepercayaan para jenderalnya. Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengkritik keras kebijakan perang yang tak jelas. Kepala Staf IDF, Herzi Halevi, menyuarakan kegelisahan: tentara bertempur tanpa arah politik.

Gantz dan Eisenkot mundur dari kabinet perang. IDF kehilangan semangat. Anggaran runtuh. Moral menurun. Peperangan tanpa visi berubah menjadi konflik internal.



Jika  Firaun Saja Gagal, Bagaimana dengan Netanyahu?

Firaun gagal menghadapi Musa—bukan karena Musa punya kekuatan fisik yang lebih besar, tetapi karena Musa membawa kebenaran yang tak bisa dibungkam. Para ahli sihir, pejabat istana, bahkan sebagian rakyat Mesir, menyaksikan bahwa Musa tak bisa dikalahkan dengan narasi kebohongan.

Hari ini, Netanyahu pun dihadapkan pada kebenaran yang tak bisa dikalahkan: perlawanan Gaza bukan sekadar perang fisik, tapi perang moral. Ketika Netanyahu menyalahkan tentara, menolak kritik, dan terus memaksakan kehendaknya, ia sedang mengulangi tragedi Firaun: mengejar musuh sampai ke laut, padahal sudah diperingatkan oleh suara nurani dari dalam.



Penutup:

Kekuasaan Firaun runtuh bukan karena rakyat memberontak, tapi karena kebenaran yang ditekan terlalu lama akhirnya bangkit dari tempat yang tak disangka: dari istana, dari ahli sihir, dari laut.

Netanyahu pun mungkin akan tenggelam bukan karena roket dari Gaza, tapi karena ia menolak mendengar suara jenderalnya, menterinya, rakyatnya, bahkan sejarah.

“Maka pada hari itu, tak ada penolong bagi Firaun, dan ia termasuk orang-orang yang binasa.” (QS. Al-Qashash: 41)

Ketika Militer Israel Tak Lagi Patuh Buta Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Perang bukan hanya ujian kekuatan, tapi juga ujian kejujur...

Ketika Militer Israel Tak Lagi Patuh Buta

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Perang bukan hanya ujian kekuatan, tapi juga ujian kejujuran antar mereka yang memegang senjata dan mereka yang memberi perintah.”

Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, perang tak hanya berkecamuk di Gaza, tetapi juga di ruang-ruang tertutup kabinet Israel. Bukan ledakan roket atau peluncuran drone yang paling menentukan arah masa depan Israel, melainkan ledakan konflik internal—di antara Netanyahu, petinggi militer, dan Menteri Pertahanan. Dalam perang yang panjang, bukan hanya musuh eksternal yang menggerogoti stabilitas negara, tetapi juga krisis kepercayaan dari dalam.

Titik Ledak: Ketika Realitas Menghancurkan Retorika

Awalnya, Netanyahu tampak seperti pemimpin yang menemukan momentum untuk mempersatukan bangsa. Tapi cepat sekali realitas membalikkan narasi. Pihak militer—yang sejak awal menyadari beratnya medan Gaza—tidak diberi arah strategis yang jelas. Herzi Halevi, Kepala Staf IDF, menyampaikan bahwa pasukan mampu menghancurkan Hamas secara taktis, tetapi tak bisa bertahan tanpa visi politik jangka panjang.

Netanyahu, sebaliknya, menunda-nunda keputusan tentang "hari setelah" Hamas tumbang. Ia menolak setiap upaya membahas masa depan Gaza, dan itu memicu kekesalan terbuka dari Menhan Yoav Gallant.

“Tanpa strategi politik, kemenangan militer tidak akan berarti.” — Yoav Gallant, Maret 2024.

Kutipan itu bukan sekadar keluhan birokratis. Ia adalah peringatan dini atas kekacauan yang kini nyata: IDF kelelahan, target kabur, moral menurun, dan dunia internasional kian kritis.



Retakan Demi Retakan: Dari Kritik Hingga Pemutusan Dukungan

Kritik Gallant bukan hal baru. Pada 2023, ia pernah dipecat Netanyahu gara-gara menentang reformasi yudisial yang kontroversial. Kini, setelah tragedi 7 Oktober, Gallant kembali bersuara. Tapi kali ini, ia tidak sendiri.

Herzi Halevi memberi tekanan moral dari militer: tentara bukan pion politik, dan rakyat menuntut hasil, bukan propaganda.
Benny Gantz dan Gadi Eisenkot, dua mantan petinggi militer dalam kabinet perang, akhirnya mundur pada Juni 2024. Mereka kecewa: tidak ada strategi, tidak ada integritas.

Sementara itu, Netanyahu terus menjaga koalisinya dari keruntuhan—bukan dengan visi, tapi dengan kalkulasi: menjaga loyalitas ultra-Ortodoks, memanjakan sayap kanan ekstrem, dan menunda keputusan-keputusan strategis yang menentukan masa depan Gaza.



Politik vs Profesionalisme: Militer Menolak Jadi Kambing Hitam

Salah satu sumber utama konflik adalah upaya Netanyahu mengalihkan kesalahan awal perang ke IDF dan intelijen. Tapi tentara dan dinas keamanan tidak tinggal diam. Laporan demi laporan bocor ke media: betapa peringatan intelijen diabaikan, betapa Netanyahu sibuk dengan manuver politik internal saat bahaya sedang mengintai dari pagar Gaza.

IDF merasa dimanfaatkan—disuruh menang perang, tapi tanpa peta jalan. Disuruh bertempur, tapi tak diberi tahu untuk apa. Dan ketika tekanan internasional datang, justru mereka yang disalahkan atas kegagalan taktis dan “tindakan tidak proporsional”.



Ketegangan Memuncak: Kabinet Perang Ambruk

Puncaknya terjadi pada 9 Juni 2024, saat Gantz dan Eisenkot mundur dari kabinet perang. Keputusan ini mengirim pesan ke seluruh dunia: kabinet Netanyahu bukan tempat rasionalitas, melainkan arena penundaan dan pelarian tanggung jawab.

Herzi Halevi tetap bertahan, tapi dengan posisi kritis. Yoav Gallant masih Menhan, tapi sering mengabaikan garis perintah Netanyahu. Ini bukan lagi pemerintahan yang solid—ini adalah kapal yang para awaknya tak sepakat ke mana harus berlayar.



Mengapa Netanyahu Bertahan?

Karena politik.
Koalisi Netanyahu bergantung pada dukungan ultra-Ortodoks dan blok sayap kanan. Melepas Gaza ke otoritas Palestina akan memicu perpecahan koalisi. Memaksa anak-anak Haredi ikut wajib militer juga bisa menghancurkan pemerintahan.

Netanyahu memegang kekuasaan bukan karena stabilitas, tetapi karena keberaniannya menunda ledakan-ledakan politik. Ia bertahan, tapi tidak memimpin.



Bila Perang Berbalik ke Dalam

Konflik internal antara Netanyahu dan para petinggi pertahanan menunjukkan satu hal: militer tidak akan diam saat diseret dalam kebijakan buta. Dalam sejarah Israel, IDF selalu menjadi pilar kesatuan. Tapi kali ini, bahkan pilar itu mulai goyah.

Israel kini bukan hanya menghadapi Hamas. Ia menghadapi dilema moral, dilema strategis, dan dilema kepercayaan. Dan jika Netanyahu terus menolak mendengar suara dari mereka yang memahami perang lebih baik darinya—maka mungkin kekalahan Israel bukan datang dari Gaza, tapi dari kantor-kantor kekuasaan di Yerusalem sendiri.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (496) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (237) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)