basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Sirah Nabawiyah

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Sirah Nabawiyah. Tampilkan semua postingan

Strategi Perang Rasulullah ﷺ, Strategi Perang Bisnis Pendahuluan: Dari Medan Badar ke Pasar Dunia Jika hari ini kita mendengar k...

Strategi Perang Rasulullah ﷺ, Strategi Perang Bisnis

Pendahuluan: Dari Medan Badar ke Pasar Dunia

Jika hari ini kita mendengar kata strategi bisnis, pikiran kita melayang pada teori manajemen modern—Michael Porter dengan competitive advantage, Peter Drucker dengan management by objective, atau Jack Welch dengan kepemimpinan korporatnya. Namun, berabad-abad sebelum itu, di padang pasir Hijaz, Rasulullah ﷺ telah mencontohkan strategi yang bukan hanya memenangkan pertempuran, tetapi juga membangun peradaban.

Rasulullah ﷺ adalah seorang nabi, tetapi juga seorang pemimpin, seorang negosiator, seorang manajer logistik, dan seorang arsitek strategi. Setiap perang di masa beliau menyimpan pelajaran bisnis yang relevan hingga hari ini.

> Allah SWT berfirman:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, yang dengan persiapan itu kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu...”
(QS. Al-Anfal: 60)



Ayat ini adalah perintah strategis: siapkan sumber daya, kelola dengan baik, dan gunakan untuk mencapai tujuan. Inilah ruh strategi Rasulullah ﷺ, yang bisa kita tarik ke dalam dunia bisnis modern.


---

1. Perang Badar → Pentingnya Logistik & Posisi Pasar

Perang pertama kaum Muslimin. Pasukan kecil, hanya 313 orang, berhadapan dengan 1.000 pasukan Quraisy. Secara jumlah dan senjata, mustahil menang. Tetapi Rasulullah ﷺ memilih strategi yang cerdas: posisi dekat sumur air.

Al-Mubarakfuri dalam Ar-Raheeq al-Makhtum menjelaskan, Rasulullah ﷺ mendengarkan usul sahabat Hubab bin Mundzir untuk menempati posisi strategis. Pasukan Muslim tetap segar, sementara Quraisy kehabisan logistik.

Dalam bisnis, ini disebut strategic positioning. Seperti Amazon yang sejak awal menguasai logistik dan distribusi, sehingga kompetitor kehabisan tenaga. Atau seperti AirAsia yang menempatkan dirinya di segmen low cost, sehingga bisa bertahan saat maskapai lain gulung tikar.

Karakter bisnis dari Badar:

Entrepreneur harus tahu sumber daya apa yang menjadi “sumur air”-nya.

Modal, jaringan distribusi, atau akses konsumen adalah logistik inti.

Tanpa penguasaan logistik, bisnis hanya jadi penonton.



---

2. Perang Uhud → Disiplin & Amanah dalam Bisnis

Rasulullah ﷺ menempatkan 50 pemanah di bukit untuk menjaga strategi. Namun sebagian turun demi harta rampasan, melanggar instruksi. Akibatnya, pasukan Muslim kalah momentum.

> Allah menegaskan:
“Dan sungguh Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya, sampai kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu, serta mendurhakai perintah setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai...”
(QS. Ali Imran: 152)



Ibn Katsir menafsirkan ayat ini sebagai pelajaran bahwa pelanggaran disiplin dan ketamakan pada keuntungan instan akan meruntuhkan strategi besar.

Dalam bisnis, berapa banyak perusahaan hancur bukan karena produk buruk, tetapi karena tim tidak disiplin. Nokia pernah menguasai pasar, tetapi lengah, tergoda pada keuntungan jangka pendek, dan akhirnya tumbang oleh Apple dan Samsung.

Karakter bisnis dari Uhud:

Jangan korbankan visi jangka panjang demi keuntungan sesaat.

Disiplin adalah aset tak ternilai dalam membangun tim bisnis.

Kepercayaan (trust) dalam organisasi lahir dari amanah.



---

3. Perang Khandaq (Ahzab) → Inovasi & Kolaborasi

Ketika sepuluh ribu pasukan Quraisy mengepung Madinah, Rasulullah ﷺ menerima usulan Salman al-Farisi: menggali parit di sekeliling kota. Strategi asing bagi bangsa Arab, tetapi efektif.

Al-Mubarakfuri mencatat, inilah pertama kalinya teknologi militer baru diterapkan di Jazirah Arab. Rasulullah ﷺ tidak menolak ide hanya karena datang dari orang non-Arab.

Dalam bisnis, inilah innovation acceptance. Perusahaan seperti Toyota sukses karena mau belajar dari Amerika. Apple melesat karena berani menerima ide user interface dari luar.

Karakter bisnis dari Khandaq:

Pemimpin visioner mau mendengar, bahkan dari orang kecil.

Inovasi sering datang dari luar tim, maka keterbukaan itu penting.

Kolaborasi lintas budaya adalah kekuatan.



---

4. Perjanjian Hudaibiyah → Diplomasi & Strategi Damai

Rasulullah ﷺ menerima perjanjian yang tampak merugikan: umat Islam dilarang umrah tahun itu. Tetapi Ibn Hajar dalam Fath al-Bari menegaskan, strategi ini membuka pintu dakwah lebih luas. Dalam dua tahun, jumlah Muslim melonjak drastis.

> Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.”
(QS. Al-Fath: 1)



Dalam bisnis, tidak semua persaingan harus dimenangkan dengan perang harga. Microsoft pernah menggandeng Apple dalam kerja sama, justru membuat keduanya bertahan. Gojek dan Tokopedia memilih merger daripada saling menghancurkan.

Karakter bisnis dari Hudaibiyah:

Kadang mundur sejenak adalah strategi menang jangka panjang.

Diplomasi dan negosiasi bisa lebih menguntungkan daripada konfrontasi.

Visi besar lebih penting daripada kemenangan kecil.



---

5. Fathu Makkah → Branding & Reputasi

Ketika memasuki Makkah, Rasulullah ﷺ bisa saja membalas dendam. Tetapi beliau memilih ampunan umum: “Pergilah, kalian bebas.”

Sejarawan Ibn Katsir menulis, inilah yang membuat hati orang Quraisy luluh. Makkah ditaklukkan bukan dengan pedang, melainkan dengan akhlak.

Dalam bisnis, reputasi lebih kuat daripada dominasi pasar. Apple tidak hanya menjual produk, tapi menjual trust. Toyota dikenal dengan kualitas, bukan sekadar mobil murah.

Karakter bisnis dari Fathu Makkah:

Reputasi adalah modal tak ternilai.

Brand yang dibangun dengan akhlak akan dicintai konsumen.

Kemenangan sejati bukan menguasai pasar, tapi menguasai hati.



---

6. Perang Hunain → Manajemen Krisis

Di Hunain, pasukan Muslim sempat kocar-kacir karena serangan mendadak. Tetapi Rasulullah ﷺ tetap teguh, memanggil pasukan kembali: “Wahai hamba Allah, kemari!”

Dalam hadits riwayat Muslim, disebutkan bagaimana Nabi berdiri di garis depan, menenangkan pasukan.

Dalam bisnis, krisis selalu datang: resesi, produk gagal, kompetitor baru. Perusahaan seperti IBM atau Apple pernah hampir bangkrut, tetapi bangkit karena kepemimpinan tenang.

Karakter bisnis dari Hunain:

Krisis bukan alasan panik, tapi ujian kepemimpinan.

Pemimpin yang teguh bisa mengubah kekalahan menjadi kemenangan.

Mental resilience adalah aset utama entrepreneur.



---

7. Perang Tabuk → Show of Force & Ekspansi Pasar

Rasulullah ﷺ membawa pasukan besar ke Tabuk. Tidak ada pertempuran, tetapi musuh mundur hanya melihat kekuatan. Ibn Khaldun menyebut ini sebagai strategi psikologis.

Dalam bisnis, kadang perusahaan perlu menunjukkan skala besar. Tesla melakukan massive marketing agar dipercaya. Google menginvestasikan miliaran dolar hanya untuk menunjukkan kapasitas risetnya.

Karakter bisnis dari Tabuk:

Visi besar membangun kepercayaan mitra.

Kadang “tunjukkan kekuatan” lebih efektif daripada konfrontasi.

Ekspansi pasar perlu keberanian mengambil risiko.



---

Refleksi: Dari Perang ke Pasar

Jika kita tarik benang merah, strategi Rasulullah ﷺ bisa dirumuskan sebagai teori bisnis Islami:

1. Strategi Logistik (Badar): kuasai sumber daya inti.


2. Strategi Disiplin (Uhud): bangun tim yang amanah.


3. Strategi Inovasi (Khandaq): terbuka pada ide baru.


4. Strategi Diplomasi (Hudaibiyah): negosiasi lebih kuat dari konfrontasi.


5. Strategi Akhlak (Fathu Makkah): bangun reputasi dengan kejujuran.


6. Strategi Krisis (Hunain): tetap tenang di tengah badai.


7. Strategi Ekspansi (Tabuk): tunjukkan kekuatan kolektif.




---

Perspektif Ulama & Pakar Bisnis

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah: “Kekuatan ekonomi dan politik lahir dari disiplin, kerja keras, dan solidaritas, bukan dari kemewahan.”

Imam Nawawi: “Upah qirath Rasulullah saat menggembala adalah pelajaran awal tentang nilai kerja.”

Peter Drucker: “Manajemen adalah mengubah sumber daya terbatas menjadi kekuatan hasil.”

Jim Collins: “Perusahaan hebat bukan dibangun dari teknologi, tapi dari disiplin.”


Perhatikan, semuanya selaras dengan strategi Rasulullah ﷺ.


---

Penutup: Perang Sebagai Madrasah Bisnis

Medan perang di era Rasulullah ﷺ bukan sekadar sejarah militer. Ia adalah madrasah manajemen. Dari Badar hingga Tabuk, kita belajar tentang logistik, disiplin, inovasi, diplomasi, reputasi, krisis, hingga ekspansi.

Hari ini, medan perang kita adalah pasar global. Musuhnya bukan pedang Quraisy, tapi kompetisi kapitalisme. Namun strategi Rasulullah ﷺ tetap relevan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
(HR. Ahmad)



Bisnis dalam Islam bukan hanya mencari laba, tetapi menjadi jalan kebermanfaatan. Dari perang beliau, kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan hanya pada senjata, tetapi pada karakter, akhlak, dan strategi.

Maka, barang siapa ingin menjadi pebisnis Muslim sejati, belajarlah dari Rasulullah ﷺ—seorang nabi, seorang panglima, seorang manajer, sekaligus seorang entrepreneur ulung yang membangun peradaban dari padang pasir hingga mengguncang dunia.

Menggembala dan Memelihara Binatang Sebagai Sekolah Bisnis Pendahuluan: Sekolah di Padang Rumput Jika hari ini kita bicara tenta...


Menggembala dan Memelihara Binatang Sebagai Sekolah Bisnis

Pendahuluan: Sekolah di Padang Rumput

Jika hari ini kita bicara tentang sekolah bisnis, pikiran kita mungkin segera melayang pada Harvard Business School, Wharton, atau London School of Economics. Kita membayangkan ruang kuliah modern, dosen ternama, dan teori manajemen mutakhir.

Namun dalam sejarah para nabi, sekolah bisnis justru berada di tempat yang paling sederhana: padang rumput. Tidak ada gedung, tidak ada kurikulum tertulis, bahkan tidak ada papan tulis. Yang ada hanyalah kawanan kambing, teriknya matahari, dinginnya malam, serta heningnya alam yang mendidik jiwa.

Di situlah Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Ibrahim, hingga Nabi Muhammad ﷺ menempuh pendidikan hidup: belajar rezeki, kepemimpinan, tanggung jawab, dan manajemen. Dari padang rumput itu pula Allah menyiapkan mereka untuk memikul misi yang jauh lebih besar.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan ia pernah menggembala kambing.”
Para sahabat bertanya: “Engkau juga, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Ya, aku menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan beberapa qirath.”
(HR. Bukhari)



Hadis ini sederhana, tetapi menyimpan teori besar: sebelum memimpin manusia, para nabi harus terlebih dahulu belajar memimpin hewan.


---

Setiap Nabi adalah Penggembala

1. Nabi Musa ‘alaihis-salām
Al-Qur’an menggambarkan bagaimana Musa, setelah melarikan diri dari Mesir, tinggal di Madyan. Di sana ia membantu dua perempuan memberi minum ternak mereka:

> “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternak mereka), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu dua orang perempuan yang sedang menahan (ternaknya). Musa berkata: ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang sudah lanjut usianya.’”
(QS. Al-Qashash: 23)



Musa kemudian bekerja pada Nabi Syu‘aib, mertuanya, selama delapan hingga sepuluh tahun (QS. Al-Qashash: 27). Di sanalah Allah merekayasa pendidikan hidup Musa: dari seorang pangeran istana menjadi penggembala yang merasakan susah payah rakyat jelata. Kelak, keterampilan mengurus kambing itu berubah menjadi keterampilan mengurus umat besar Bani Israil.

2. Nabi Daud ‘alaihis-salām
Literatur sirah dan tafsir menjelaskan, sebelum menjadi raja, Daud juga menggembala. Ia menjaga ternak milik keluarganya, bahkan melawan binatang buas yang mengancam kawanan itu. Keberanian itu kelak terlihat ketika ia menghadapi Jalut (Goliath) dan memenangi pertempuran besar. Dari pengalaman menggembala, Daud belajar keberanian, perlindungan, dan manajemen aset, sebelum Allah memberinya kerajaan dan Kitab Zabur.

3. Nabi Ibrahim ‘alaihis-salām
Riwayat menyebut Ibrahim pun pernah menggembala, sebagaimana umumnya para nabi di Jazirah Arab. Hewan ternak kala itu adalah pusat ekonomi masyarakat. Dari mengelola ternak, Ibrahim belajar dasar-dasar ekonomi keluarga dan komunitas.

4. Nabi Muhammad ﷺ
Beliau menggembala kambing di Makkah dengan upah beberapa qirath. Ibn Ishaq dalam Sirah Nabawiyah mencatat, pengalaman itu melatih beliau dalam kesabaran, manajemen waktu, menjaga amanah, serta mengajarkan interaksi sosial. Dari kawanan kambing itulah lahir reputasi al-Amīn — pribadi terpercaya — yang kelak menopang karier beliau sebagai pedagang besar.


---

Teori dan Karakter Bisnis Menurut Ulama

Para ulama tafsir dan ahli sirah menekankan bahwa menggembala adalah madrasah kehidupan.

Ibn Katsir dalam tafsir QS. An-Nahl: 5–6 menjelaskan bahwa hewan ternak adalah nikmat sekaligus modal ekonomi. Dari situlah manusia belajar mengelola sumber daya untuk keberlangsungan hidup.

Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menekankan, menggembala melatih kesabaran, kelembutan, dan ketegasan—kualitas utama seorang pemimpin.

Imam Nawawi menambahkan, upah qirath yang diterima Nabi ﷺ adalah bentuk awal transaksi yang sah secara syariat, mendidik beliau memahami prinsip ujrah (upah kerja).

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menulis bahwa bangsa yang lahir dari padang rumput memiliki daya tahan, kesabaran, dan kepemimpinan lebih kuat dibanding mereka yang tumbuh dalam kemewahan.


Sejarawan Muslim seperti al-Mas‘udi pun melihat penggembalaan sebagai bentuk pendidikan sosial-ekonomi yang menyiapkan manusia untuk kepemimpinan besar.


---

Teori Bisnis Menggembala Menurut Antonio Syafi’i

Pakar ekonomi syariah Antonio Syafi’i menyebut menggembala sebagai laboratorium bisnis pertama. Ia merumuskan empat pelajaran bisnis:

1. Asset Management – Kambing adalah aset hidup. Anak belajar menjaga aset agar tidak hilang nilainya.


2. Risk Management – Ancaman serigala, penyakit, dan pencurian melatih keterampilan mitigasi risiko.


3. Leadership & Human Resource Management – Menggiring kambing butuh seni memimpin: kapan tegas, kapan lembut.


4. Financial Literacy – Upah qirath adalah pengenalan pertama pada transaksi. Setiap kerja ada harga, setiap amanah ada imbalan.



Antonio menulis: “Penggembalaan melahirkan entrepreneur sejati, karena ia memadukan kesabaran spiritual, kecermatan ekonomi, dan keberanian menghadapi risiko.”


---

Perspektif Pakar Bisnis Modern

Teori ini ternyata sejalan dengan pandangan para pakar kontemporer:

Stephen Covey menekankan bahwa kepemimpinan lahir dari mengelola hal kecil. Menggembala adalah contoh nyata.

Peter Drucker menyebut bisnis sebagai seni mengelola orang dan sumber daya terbatas — identik dengan menggembala kambing.

Robert Kiyosaki menekankan pentingnya literasi finansial sejak dini; Nabi ﷺ sudah belajar mengelola uang dari upah qirath.

Jim Collins menegaskan bahwa pemimpin besar lahir dari disiplin dan kerja keras, bukan dari kemewahan — semua itu dibentuk dalam padang penggembalaan.



---

Dari Padang Rumput ke Pasar Dunia

Sejarawan Barat, Montgomery Watt, menulis: “Kejujuran Muhammad di pasar Mekah tidak lahir tiba-tiba, tetapi hasil pendidikan panjang sejak menggembala kambing hingga memimpin kafilah dagang.”

Polanya jelas:

Nabi Musa: menggembala di Madyan → memimpin Bani Israil.

Nabi Daud: menggembala di Palestina → memimpin kerajaan.

Nabi Muhammad ﷺ: menggembala di Makkah → memimpin perdagangan Khadijah → memimpin umat Islam.



---

Refleksi: Pendidikan Bisnis untuk Anak Zaman Kini

Pertanyaan kita: bagaimana menerapkan prinsip menggembala dalam dunia modern?

Tanggung jawab kecil – misalnya memberi anak peliharaan, menjaga toko kecil, atau mengatur uang saku.

Risk management nyata – bila lalai, hewan bisa mati, uang bisa hilang. Anak belajar konsekuensi.

Menumbuhkan amanah – apa yang dititipkan harus dijaga, meski tampak kecil.


Islam sudah mengajarkan sejak lama: bisnis adalah soal karakter sebelum kapital.


---

Penutup: Sekolah Padang Rumput

Setiap nabi adalah penggembala. Dari padang rumput, mereka belajar sabar, disiplin, risiko, dan kejujuran. Dari menjaga kambing, mereka belajar menjaga umat. Dari upah qirath, mereka belajar mengelola ekonomi besar.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Barang siapa tidak mensyukuri yang sedikit, ia tidak akan mampu mensyukuri yang banyak.”
(HR. Ahmad)



Hari ini, mungkin anak-anak kita tak lagi menggembala kambing. Tetapi kita bisa menghadirkan semangat itu dalam bentuk lain: memberi tanggung jawab nyata, pengalaman langsung, dan pendidikan karakter melalui bisnis kecil.

Karena sejatinya, sekolah bisnis terbaik dalam Islam bukanlah ruang kuliah mewah, melainkan padang rumput — di bawah langit terbuka, bersama kawanan kambing, yang mengajarkan sabar, amanah, dan manajemen hidup.

Model Mekah dan Madinah: Kesunyian yang Membangun Dunia Baru 1. Sungai-Sungai yang Masih Mengalir, Tapi Peradaban yang Mati Di t...


Model Mekah dan Madinah: Kesunyian yang Membangun Dunia Baru


1. Sungai-Sungai yang Masih Mengalir, Tapi Peradaban yang Mati

Di tepi Efrat dan Tigris, di lembah Nil, di dataran Indus, di tepi Huang Ho—di sanalah sejarah manusia mula-mula memahat bentuknya.
Di situlah lahir kota, tulisan, hukum, dan kerajaan. Namun lihatlah kini: sungai-sungai itu tetap mengalir, tetapi peradaban yang dulu mereka hidupkan telah berubah menjadi museum, reruntuhan, dan legenda.

Sumeria dan Akkadia tinggal catatan pada tablet tanah liat.
Mesir purba tinggal piramida dan mumi yang membisu.
Yunani dan Romawi yang pernah menaklukkan dunia kini hidup sebagai kisah klasik dalam buku-buku sekolah.
Persia, Indus, dan Cina kuno—semuanya pernah menggenggam dunia, lalu kehilangan arah dan runtuh di bawah beban keagungan sendiri.

Ibn Khaldun menulis dalam Muqaddimah:

 “Setiap peradaban memiliki usia, seperti manusia: ia lahir, tumbuh, menua, lalu mati.”

Oswald Spengler dalam The Decline of the West menyebut bahwa kebudayaan itu punya “biologi sendiri”—ia lahir dari jiwa, mencapai puncak kejayaan, lalu membatu menjadi bentuk tanpa ruh.
Arnold Toynbee menambahkan dalam A Study of History:

 “Peradaban tidak hancur karena serangan luar, melainkan karena kegagalan menjawab tantangan dari dalam.”

Sumeria gagal menjaga makna spiritual.
Mesir tenggelam dalam pemujaan penguasa.
Romawi memuja hukum tapi melupakan keadilan.
Persia membangun istana tapi kehilangan ruh pengabdian.
Mereka mati bukan karena ditaklukkan, tetapi karena kehilangan makna.


---

2. Keagungan yang Membatu

Sumeria melahirkan tulisan pertama, namun menuhankan raja.
Ziggurat mereka menjulang, tapi kosong dari doa yang tulus.
Mesir membangun piramida demi keabadian, namun mengurung dirinya dalam kuburan raksasa.

Arnold Toynbee menyindir:

“Ketika manusia menolak ilham Ilahi, mereka mencari keabadian dalam batu.”

Dan batu memang bertahan, tapi ruh yang menggerakkannya mati.
Demikianlah paradoks pertama sejarah manusia: kemajuan yang meniadakan jiwa.


---

3. Dari Assyria hingga Romawi: Kekuasaan yang Kehilangan Tujuan

Assyria menaklukkan dunia dengan teror.
Persia menguasai dengan kemegahan.
Yunani memuja rasio.
Romawi mengandalkan hukum dan tentara.

Namun semuanya berakhir sama: kelelahan spiritual.
Spengler menyebut Romawi sebagai “peradaban yang menua”—masih besar, tapi sudah kosong dari makna.
Bangsa Romawi tak lagi berjuang demi cita-cita, melainkan demi roti dan sirkus.
Ketika bangsa barbar menyerang, Romawi sebenarnya sudah mati dari dalam.

Peradaban besar jarang dibunuh oleh musuh luar; mereka bunuh diri karena kehilangan arah.


---

4. Dunia di Ambang Kegelapan

Menjelang abad ke-6 Masehi, dunia seperti padam.
Bizantium dan Persia berperang tanpa makna.
India tenggelam dalam sistem kasta.
Cina terpecah perang saudara.

Sejarawan sirah Nabawiyah, Dr. Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, menggambarkan dunia pra-Islam sebagai zaman “gelap akal dan gelap hati”.
Tak ada keadilan universal, tak ada makna yang menyatukan umat manusia.

Dan di ujung selatan Asia, di padang tandus tanpa sungai—ada Jazirah Arab.
Tanah sunyi tanpa istana, tapi masih menyimpan fitrah: hati yang menunggu wahyu.

Sejarawan Marshall Hodgson menulis dalam The Venture of Islam:

 “Bangsa Arab hidup dalam kesunyian spiritual, tapi kesunyian itu menyiapkan mereka untuk mendengar suara wahyu.”


---

5. Mekah dan Madinah: Dua Kota Sunyi yang Mengubah Dunia

Mekah hanyalah kota kecil di antara bebatuan.
Namun di sanalah terletak Ka’bah—pusat spiritual dunia sejak zaman Nabi Ibrahim.
Dari kota itu lahir revolusi yang tak diawali pedang, melainkan kalimat.

Muhammad ﷺ datang membawa satu kalimat pembebasan: La ilaha illallah.
Ia memutus rantai perbudakan manusia oleh manusia.
Ia menyatukan yang terpecah, meninggikan yang tertindas.

Syekh Abul Hasan Ali Nadwi dalam Maza Khasiral ‘Alam binhithat al-Muslimin menulis:

“Dunia kehilangan makna ketika wahyu terputus. Dan ketika wahyu turun di Mekah, dunia mendapat kembali jiwanya.”

Mekah menjadi pusat pembersihan akidah.
Madinah menjadi pusat pembangunan masyarakat.
Dari keduanya lahirlah tatanan baru: negara tanpa raja, hukum tanpa tirani, kekuasaan yang tunduk pada wahyu.

Dalam satu abad, cahaya dari dua kota itu menjalar ke tiga benua.
Islam tak hanya menaklukkan wilayah, tapi menyalakan akal dan hati manusia.


---

6. Rahasia dari Padang Pasir

Bagaimana mungkin padang tandus melahirkan peradaban agung?

Sayyid Qutb menulis dalam Fi Zhilal al-Qur’an:

“Islam membangun manusia dengan iman sebelum membangun dunia dengan tangan.”

Iman menjadi tenaga penggerak.
Solidaritas yang disebut Ibn Khaldun sebagai ‘ashabiyyah—bukan karena darah, tapi karena aqidah—membentuk kekuatan kolektif yang luar biasa.

Toynbee menyebut kebangkitan Islam sebagai “respons kreatif terhadap krisis spiritual global.”
Sementara Spengler melihat Islam sebagai “renaisans Timur”—suara baru yang menandai akhir peradaban lama dan lahirnya dunia baru.

Islam membangun ruh sebelum membangun struktur.
Dan ketika ruh hidup, kota, ilmu, dan keadilan tumbuh dengan sendirinya.


---

7. Dari Jiwa ke Struktur: Peradaban yang Bertumpu pada Iman

Peradaban Islam berdiri di atas tiga pilar:

1. Tauhid sebagai ruh — pusat segala nilai.

2. Ilmu sebagai jalan ibadah.

3. Keadilan sebagai sistem sosial.


Ketiga pilar ini menciptakan keseimbangan antara langit dan bumi.
Ketika kekuasaan berpindah ke khalifah, wahyu tetap jadi batas.
Ketika ilmu berkembang, ia tetap diikat oleh ibadah.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis:

“Ilmu tanpa iman adalah kesesatan; iman tanpa ilmu adalah kebutaan.”

Karena itu Baghdad, Kairo, Andalusia, dan Samarkand menjadi mercusuar dunia.
Ibn Sina menulis ilmu kedokteran untuk memahami kebijaksanaan Tuhan.
Al-Khwarizmi menulis aljabar demi keteraturan ciptaan.
Al-Farabi menulis filsafat politik untuk meniru keadilan Rasulullah ﷺ di Madinah.

Peradaban Islam tumbuh bukan dari kerakusan, tapi dari pengabdian.


---

8. Mekanisme Kejatuhan: Ketika Ruh Melemah

Namun hukum sejarah tetap bekerja.
Ketika iman melemah, peradaban kehilangan daya hidupnya.

Ibn Khaldun mencatat:

 “Ketika kemewahan menggantikan semangat jihad, peradaban memasuki masa senja.”

Sayyid Qutb menyebutnya sebagai jahiliyah modern—masa ketika manusia membangun kota tapi menghancurkan hati.
Toynbee menamainya internal decay, pembusukan dari dalam.

Spengler menjelaskan fenomena ini:

“Setiap kebudayaan yang berhenti mendengarkan suara langit, akan menjadi peradaban yang membatu.”

Umat Islam pun pernah jatuh.
Tapi berbeda dengan Romawi, ia tidak mati.
Sebab sumber kehidupannya bukan istana, tapi wahyu yang hidup di dada manusia.


---

9. Kemampuan Bangkit yang Tak Dimiliki Peradaban Lain

Inilah keunikan Islam: ia bisa jatuh politiknya, tapi tidak ruhnya.

Dari Andalusia yang hilang, lahir ilmuwan di Maghrib.
Dari Baghdad yang dibakar Mongol, lahir madrasah di Mesir.
Dari kolonialisme Barat, lahir kebangkitan Islam abad ke-20.

Toynbee mengakui:

“Islam adalah satu-satunya peradaban besar yang masih hidup secara spiritual, dan mungkin akan membangkitkan dunia dari krisis materialisme.”

Selama ada satu hati yang tunduk kepada Allah, peradaban Islam masih berdenyut. Karena fondasinya bukan geografi, tapi iman.


---

10. Dunia Modern: Mengulang Kesalahan Kuno

Kini dunia modern tengah mengulang kesalahan peradaban kuno.

Eropa, Amerika, dan Cina mencapai puncak teknologi tapi kehilangan ruh. Kemanusiaan diukur dengan angka, bukan nilai. Kemajuan menggantikan kebijaksanaan.

Spengler menyebut ini fase Caesarisme — masa teknokrasi menggantikan kebudayaan.
Toynbee menyebutnya “kelesuan spiritual global.”
Dan jika Ibn Khaldun hidup hari ini, ia akan menulis bab baru tentang kemewahan yang menggerogoti kekuatan moral umat manusia.

Perang, ketimpangan, dan kehancuran lingkungan hanyalah gejala dari penyakit batin: hilangnya kesadaran sebagai hamba.


---

11. Mekah dan Madinah: Kembali ke Akar

Ketika dunia kehilangan arah, dua kota itu kembali menjadi penunjuk jalan.

Mekah mengingatkan bahwa kekuasaan sejati dimulai dari penaklukan diri.
Madinah mengingatkan bahwa negara sejati dibangun di atas keadilan, bukan dominasi.

Ulama besar seperti Syekh Muhammad al-Ghazali menulis dalam Sirah Nabawiyah ‘Ibrah wa al-Ma’ani:

“Madinah bukan hanya kota sejarah, tetapi model politik ilahiah: menegakkan hukum Allah tanpa kehilangan rahmat kemanusiaan.”

Selama ruh Mekah dan Madinah hidup, Islam tidak akan mati. Karena keduanya bukan tempat, melainkan paradigma — cara memandang dunia dengan cahaya wahyu.


---

12. Refleksi: Hukum Sejarah dan Hukum Langit

Hukum sejarah berkata: setiap peradaban akan mati bila kehilangan makna.
Namun hukum langit berkata: Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.

Keduanya bertemu dalam Islam: peradaban bukan soal ras atau sungai, tapi soal iman dan moral.
Mekah dan Madinah membuktikan: padang gersang pun bisa menjadi taman bila disiram dengan tauhid.

Dunia modern yang lelah harus kembali belajar dari dua kota sunyi ini — tentang keseimbangan antara akal dan wahyu, kemajuan dan keadilan.


---

13. Epilog: Dua Kota, Dua Cahaya

Ketika Sumeria runtuh, tulisannya tinggal di museum.
Ketika Mesir runtuh, piramidanya jadi monumen.
Ketika Romawi runtuh, hukumnya jadi catatan.
Ketika Yunani runtuh, filsafatnya jadi kuliah.
Tapi ketika Islam melemah, cahayanya berpindah dari satu hati ke hati lain.

Karena fondasinya bukan batu, tapi iman dan ilmu yang berpadu.
Mekah dan Madinah tak punya sungai, tapi dari keduanya mengalir arus nilai yang menghidupkan dunia.

Dua kota itu membuktikan satu hal:
bahwa Tuhan bisa menumbuhkan peradaban dari tempat paling sunyi—asal manusia mau tunduk dan beriman.


---

Penutup: Di Antara Reruntuhan dan Janji

Kini reruntuhan Sumeria, Mesir, Romawi, dan Persia menjadi cermin bagi dunia modern.
Setiap menara kaca dan kota futuristik hanyalah piramida baru.

Namun dari balik hiruk-pikuk itu, dua kota di Hijaz masih berbisik lembut:

“Bangunlah peradaban bukan untuk kekuasaan, tapi untuk kebenaran.
Bukan untuk keabadian dunia, tapi untuk ridha Tuhan.”

Selama pesan itu hidup, sejarah tidak akan berhenti di reruntuhan.
Ia akan berputar menuju cahaya — dan cahaya itu, sebagaimana seribu tahun lalu,
akan kembali terbit dari tempat yang paling sunyi di bumi: Mekah dan Madinah.

Merahasiakan Strategi Pertempuran Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: k...

Merahasiakan Strategi Pertempuran

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: kerahasiaan. Dalam setiap ekspedisi militer, strategi bukan sesuatu yang diumumkan secara terbuka. Bahkan kepada panglima sekalipun, Rasulullah ﷺ seringkali tidak langsung menyampaikan rencana secara gamblang.

Jika beliau tidak ikut serta dalam ekspedisi, Rasulullah ﷺ akan menitipkan sepucuk surat kepada sang panglima. Namun, surat itu tidak boleh dibuka kecuali setelah dua hari perjalanan. Isinya? Arah gerak pasukan dan strategi pertempuran.

> "Rasulullah ﷺ memberikan surat tertutup kepada pemimpin pasukan dan berkata, 'Jangan engkau buka surat ini kecuali setelah kalian berjalan selama dua hari. Dan ketika engkau membukanya, laksanakanlah perintah yang ada di dalamnya tanpa ragu dan jangan engkau paksa siapa pun untuk ikut bersamamu.'”



Dari sini kita memahami bahwa:

Kerahasiaan total menjaga agar strategi tidak bocor ke musuh.

Ketaatan mutlak dibutuhkan demi menjaga kesatuan dan keberhasilan misi.


Mengapa harus sedemikian rahasia? Karena di Madinah sendiri banyak pihak internal yang berpotensi membocorkan informasi. Abdullah bin Ubay, misalnya, dikenal sebagai pemimpin kaum munafik yang kerap mengkhianati keputusan Rasulullah ﷺ. Ia pernah membocorkan informasi pasukan saat Perang Khaibar, termasuk jumlah pasukan dan arah serangan kepada pihak musuh.

Demikian pula ketika akan terjadi pembebasan Kota Mekah. Salah seorang sahabat yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengan kaum Quraisy, mengirimkan surat kepada orang-orang Mekah untuk memperingatkan mereka. Surat itu dibawa oleh seorang wanita dan berhasil dicegat oleh Ali bin Abi Thalib bersama beberapa sahabat. Rasulullah ﷺ menegur sahabat tersebut, tetapi tidak mencabut status keislamannya karena niatnya bukan untuk membocorkan secara penuh, melainkan karena dorongan emosional.

Artinya, bahkan dalam lingkaran sahabat, Rasulullah ﷺ tetap menjaga rahasia perang hanya untuk dirinya. Strategi tidak dibocorkan. Bukan karena tidak percaya, tapi karena amanah strategi bukan milik semua orang.

Jejak Muhammad Al-Fatih

Strategi ini kemudian diteladani oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Ketika pasukannya diberangkatkan, tak satu pun tahu ke mana arah mereka. Bahkan orang-orang kepercayaannya tidak diberi tahu sepenuhnya. Al-Fatih menyimpan rencana dalam hatinya, seolah berkata: “Jika strategi diketahui terlalu banyak orang, musuh pun akan mengetahuinya.”

Bahkan hingga saat Al-Fatih wafat, pasukannya sedang dalam perjalanan menuju sebuah ekspedisi besar. Sejarah mencatat, ekspedisi itu diduga besar mengarah ke Italia, tepatnya ke Roma—simbol utama kekuasaan Kristen Katolik di Eropa. Jika Konstantinopel telah ditaklukkan sebagai pusat Kristen Ortodoks, maka Roma adalah “puncak bukit” berikutnya.

Namun takdir berkata lain. Di tengah perjalanan, Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Ia mengalami demam tinggi di daerah Hünkârçayırı, dekat Gebze, sekitar 50 km dari Istanbul. Beberapa hari kemudian, pada 3 Mei 1481, beliau wafat dalam usia 49 tahun, sebelum sempat membuka secara publik arah pasti pasukannya.

Mengapa Merahasiakan Rencana?

Manshur Abdul Hakim, dalam biografi Khalid bin Walid, menyebutkan bahwa hanya sekali Rasulullah ﷺ mengumumkan rencana perang secara terbuka, yakni pada Perang Tabuk. Itu pun karena sifat ekspedisinya yang jauh dan memerlukan persiapan besar.

Apa hasilnya? Semangat umat untuk berinfak pun luar biasa. Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya. Umar menyerahkan separuh dari kepemilikannya. Utsman membiayai 10.000 pasukan, lengkap dengan 900 unta, 500 kuda pilihan, dan 10.000 dinar.

Namun selebihnya, semua strategi dirahasiakan. Tidak diumumkan. Disampaikan hanya melalui surat kepada panglima.

Khalifah Umar bin Khattab: Teladan Strategi dan Logistik

Umar bin Khattab, sebagai Khalifah, sangat memahami pentingnya kerahasiaan dan kalkulasi logistik. Beberapa prinsip yang beliau terapkan:

1. Tidak Melanjutkan Ekspansi Terlalu Jauh
Setelah kemenangan di Qadisiyah dan Yarmuk, Umar menahan ekspansi ke jantung Romawi dan Persia. Ia lebih memilih konsolidasi dan stabilisasi wilayah.


2. Membagi Pasukan ke Dalam Unit Kecil
Dengan pembagian ini, jika satu unit kalah, unit lain bisa tetap bertahan. Ini strategi saat menghadapi Persia dan Romawi di Syam.


3. Menunda Perang Bila Terjadi Bencana
Saat wabah Tha’un Amwas melanda Syam, Umar menolak masuk ke sana. “Aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain,” kata beliau. Ini bukan sikap pengecut, tetapi hikmah dalam menghadapi musibah.


4. Menghindari Perang Tanpa Perhitungan
Umar tidak memulai peperangan kecuali dengan persiapan matang dan pertimbangan politik yang dalam. Logistik, dukungan rakyat, dan moral pasukan selalu diperhitungkan.



Pandangan Para Pakar Militer Dunia

Kerahasiaan strategi bukan hanya ajaran Islam, tetapi prinsip yang diakui dunia.

> Sun Tzu (Tiongkok) – The Art of War: “Biarkan rencanamu gelap dan tidak bisa ditembus seperti malam; dan ketika kau bergerak, hantam seperti petir.”



> “Segala peperangan didasarkan pada tipu daya.”


> Carl von Clausewitz (Prusia) – On War: “Kejutan adalah akar dari semua operasi militer tanpa terkecuali, meski tingkatannya berbeda-beda.”


> Napoleon Bonaparte: “Rahasia perang terletak pada komunikasi.”


> George Washington: “Bahkan hal-hal kecil pun tidak boleh diungkapkan dalam urusan militer.”



Semua kutipan itu bermuara pada satu hal: rahasia adalah ruh dalam strategi perang.

Kontemplasi

Apa makna dari semua ini bagi kita yang bukan jenderal atau panglima?

Kita mungkin bukan pemimpin pasukan, tetapi hidup ini penuh pertarungan: pertarungan batin, perjuangan dakwah, konflik sosial, bahkan persaingan ide. Dalam semua itu, kita harus belajar menjaga strategi, menahan diri untuk tidak tergesa mengumbar rencana, dan memilih waktu yang tepat untuk bertindak.

Rasulullah ﷺ mengajarkan kehati-hatian, bahkan kepada para sahabat yang paling setia. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena strategi harus dijaga dengan amanah.

Sebab terkadang, bukan musuh yang kuat yang membinasakan kita, melainkan lisan dan kelalaian sendiri yang membuka pintu kekalahan.

Wallahu a'lam.

Saat Heraklius dan Rustum Mengagumi Umat Rasulullah saw Oleh: Nasrulloh Baksolahar Nikmat itu bernama Islam. Nikmat itu adalah m...


Saat Heraklius dan Rustum Mengagumi Umat Rasulullah saw

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Nikmat itu bernama Islam. Nikmat itu adalah menjadi bagian dari umat Rasulullah ﷺ. Adakah kebahagiaan lain yang melebihi dua nikmat ini? Ideologi apapun, sebesar apa pun, tak mampu menghadirkan ketenangan sejati bagi jiwa manusia. Keturunan, suku, kebangsaan—semuanya tak menjamin kebahagiaan abadi, kecuali bila hidup dijalani dalam naungan Islam dan dalam barisan umat Nabi Muhammad ﷺ.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah berkata:

> "Nikmat yang paling besar atas manusia adalah Islam. Barang siapa diberi Islam, maka ia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat."



Islam bukan hanya agama, tetapi jalan hidup. Ia adalah tiket keselamatan abadi dan petunjuk untuk segala kebingungan manusia modern.


---

Doa Rasulullah ﷺ agar wafat dalam Islam:

> "Ya Allah, tetapkanlah aku dalam Islam saat hidup dan wafatkanlah aku dalam keadaan Islam." (HR. Ahmad dan Abu Ya’la – hasan)



Bahkan Rasulullah ﷺ, sosok maksum yang dijamin surga, masih memohon kepada Allah agar tetap dalam Islam hingga akhir hayatnya. Maka, bagaimana dengan kita?

Nabi Musa, menurut riwayat dalam kitab Al-Wafa karya Imam Ibnul Jauzi, pernah berdoa agar dimasukkan sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad ﷺ. Dan kelak, ketika Nabi Isa AS turun ke bumi di akhir zaman, ia akan menjadi makmum shalat di belakang Imam Mahdi. Ini adalah bukti keagungan umat ini—umat Rasulullah ﷺ.

Dari Jabir bin Abdullah RA, Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Isa bin Maryam akan turun, lalu pemimpin mereka (Al-Mahdi) berkata kepadanya: 'Majulah, jadi imam untuk kami shalat.' Tapi Isa berkata: 'Tidak, sebagian kalian adalah pemimpin bagi yang lain, sebagai bentuk penghormatan Allah terhadap umat ini.'" (HR. Muslim, no. 155)



Betapa umat ini dimuliakan. Seorang Nabi besar, Isa bin Maryam AS, memilih menjadi makmum dari umat ini. Maka bersyukurlah dan jagalah kemuliaan itu.


---

Heraklius: Sang Kaisar yang Hampir Beriman

Hati Heraklius, kaisar Romawi, pernah tergetar ingin menjadi bagian dari umat Rasulullah ﷺ. Surat dakwah dari Nabi membuatnya merenung dalam diam. Ia mengundang Abu Sufyan, kala itu masih dalam barisan Quraisy, untuk menggali lebih dalam tentang sang Nabi dari Madinah.

Dalam hadis sahih riwayat Bukhari, Heraklius menginterogasi Abu Sufyan:

Apakah dia berasal dari keluarga mulia?

Apakah ada pendahulunya yang mengaku sebagai nabi?

Siapa pengikutnya?

Apakah mereka bertambah atau berkurang?


Abu Sufyan menjawab dengan jujur, karena takut dicap pendusta di hadapan kaumnya. Heraklius menyimpulkan bahwa Muhammad ﷺ adalah nabi sejati. Ia tahu dari kitab-kitab sebelumnya, dan merasakan kebenaran dalam berita kenabian itu.

Dikisahkan bahwa Heraklius pernah mengajak Abu Sufyan ke ruang rahasianya—sebuah perpustakaan besar berisi gambar dan catatan para nabi. Di sana, Heraklius menunjukkan potret para Nabi, termasuk Muhammad ﷺ. Bahkan disebutkan bahwa terdapat pula gambaran para sahabat utama: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Ia mengetahui peran mereka dalam risalah Islam.

Namun kekuasaan mengikat kuat. Ia tak sanggup menghadapi tekanan politik dan pengaruh istananya. Maka niat itu ia kubur, dan akhirnya memilih menyingkir ke Konstantinopel.

Heraklius tahu—kebenaran Islam tak bisa dibendung. Tapi ia tidak berani mengambil risiko kehilangan tahtanya.


---

Rustum: Panglima Persia yang Menyaksikan Kebenaran

Panglima Rustum, jenderal agung Kekaisaran Persia, menyelidiki kekuatan umat Islam dengan cermat sebelum Perang Qadisiyyah. Ia mengundang utusan muslim, Rib‘i bin ‘Amir, untuk berdialog.

Rustum bertanya:

> "Apa tujuan kalian datang ke negeri kami?"



Rib‘i menjawab:

> "Allah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesama makhluk menuju penyembahan hanya kepada Allah, dari sempitnya dunia menuju kelapangan akhirat, dan dari kezaliman berbagai sistem menuju keadilan Islam."



Rustum terhenyak. Ia tak menyangka dari lisan orang biasa terpancar kebijaksanaan yang luar biasa. Ia berkata kepada para penasihatnya:

> "Aku belum pernah melihat orang yang lebih rendah derajatnya di dunia, kini memiliki keyakinan dan kekuatan seperti ini. Jika semua umat Muhammad seperti ini, maka sesungguhnya mereka akan menguasai dunia."



Dalam pengamatannya terhadap pasukan Islam, Rustum mencatat:

> "Mereka tidak tidur di malam hari, tidak makan di siang hari kecuali sedikit, sangat taat kepada pemimpin, dan sangat takut kepada Tuhan. Jika menyerang, mereka seperti singa menerkam mangsanya."



Ia lalu menyimpulkan:

> "Bangsa seperti ini tak mungkin dikalahkan oleh bangsa seperti kita yang telah tenggelam dalam kemewahan dan kebejatan."



Kekuatan umat Islam bukan pada jumlah, tetapi pada keyakinan, akhlak, dan konsistensi mereka terhadap kebenaran.

Menurut riwayat, ketika akhirnya kalah dan melihat kehancuran Persia, Rustum berkata lirih:

> "Sungguh Muhammad telah mengubah dunia. Dia mengirim kaum miskin dan menjadikan mereka penakluk kerajaan-kerajaan besar."




---

Umat Pamungkas: Harapan Dunia

Tak ada lagi umat setelah umat Rasulullah ﷺ. Inilah umat pamungkas. Umat yang Allah pilih untuk mengemban risalah terakhir. Umat yang tak lahir dari suku, warna kulit, atau keturunan, tapi dari iman, akhlak, dan ketaatan kepada Islam.

Syarifuddin Prawiranegara pernah berkata bahwa tak ada kekuatan dunia yang bisa menyelesaikan persoalan global kecuali umat Islam—bila mereka kembali kepada ajaran Islam secara utuh.

Umat ini memikul amanah besar. Dunia menanti solusi, dan Islam memegang kunci. Namun semua itu hanya akan menjadi kenyataan bila kita:

Konsisten dalam beriman

Jujur dalam beramal

Kuat dalam ukhuwah

Kritis terhadap kebatilan


Jurus terakhir peradaban adalah Islam. Jurus pamungkas. Tak ada solusi selain kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ.


---

Menjadi Umat Rasulullah ﷺ: Sebuah Kehormatan dan Tanggung Jawab

Mari renungkan...

Nabi Musa ingin menjadi bagian dari umat ini. Nabi Isa akan menjadi makmum di belakang Imam Mahdi dari umat ini. Kaisar Romawi menyimpan keinginan diam-diam menjadi bagian dari umat ini. Jenderal Persia mengakui keunggulan spiritual dan moral umat ini.

Lalu, kita yang terlahir sebagai umat Rasulullah ﷺ, apakah hanya akan diam tanpa peran?

Sejarah umat manusia dari Adam hingga hari kiamat sedang menanti penutup terbaik. Umat pamungkas harus tampil bukan sekadar sebagai jumlah, tapi sebagai solusi.

Kemenangan dan kebahagiaan hakiki ada dalam genggaman mereka yang kembali kepada Islam, hidup dalam Islam, dan wafat dalam Islam.

Semoga Allah menjadikan kita bukan hanya sebagai pengikut, tapi juga pembela dan pewaris risalah ini.

Aamiin.

Merahasiakan Strategi Pertempuran Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: k...

Merahasiakan Strategi Pertempuran
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: kerahasiaan. Dalam setiap ekspedisi militer, strategi bukan sesuatu yang diumumkan secara terbuka. Bahkan kepada panglima sekalipun, Rasulullah ﷺ seringkali tidak langsung menyampaikan rencana secara gamblang.

Jika beliau tidak ikut serta dalam ekspedisi, Rasulullah ﷺ akan menitipkan sepucuk surat kepada sang panglima. Namun, surat itu tidak boleh dibuka kecuali setelah dua hari perjalanan. Isinya? Arah gerak pasukan dan strategi pertempuran.

> "Rasulullah ﷺ memberikan surat tertutup kepada pemimpin pasukan dan berkata, 'Jangan engkau buka surat ini kecuali setelah kalian berjalan selama dua hari. Dan ketika engkau membukanya, laksanakanlah perintah yang ada di dalamnya tanpa ragu dan jangan engkau paksa siapa pun untuk ikut bersamamu.'”



Dari sini kita memahami bahwa:

Kerahasiaan total menjaga agar strategi tidak bocor ke musuh.

Ketaatan mutlak dibutuhkan demi menjaga kesatuan dan keberhasilan misi.


Mengapa harus sedemikian rahasia? Karena di Madinah sendiri banyak pihak internal yang berpotensi membocorkan informasi. Abdullah bin Ubay, misalnya, dikenal sebagai pemimpin kaum munafik yang kerap mengkhianati keputusan Rasulullah ﷺ. Ia pernah membocorkan informasi pasukan saat Perang Khaibar, termasuk jumlah pasukan dan arah serangan kepada pihak musuh.

Demikian pula ketika akan terjadi pembebasan Kota Mekah. Salah seorang sahabat yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengan kaum Quraisy, mengirimkan surat kepada orang-orang Mekah untuk memperingatkan mereka. Surat itu dibawa oleh seorang wanita dan berhasil dicegat oleh Ali bin Abi Thalib bersama beberapa sahabat. Rasulullah ﷺ menegur sahabat tersebut, tetapi tidak mencabut status keislamannya karena niatnya bukan untuk membocorkan secara penuh, melainkan karena dorongan emosional.

Artinya, bahkan dalam lingkaran sahabat, Rasulullah ﷺ tetap menjaga rahasia perang hanya untuk dirinya. Strategi tidak dibocorkan. Bukan karena tidak percaya, tapi karena amanah strategi bukan milik semua orang.

Jejak Muhammad Al-Fatih

Strategi ini kemudian diteladani oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Ketika pasukannya diberangkatkan, tak satu pun tahu ke mana arah mereka. Bahkan orang-orang kepercayaannya tidak diberi tahu sepenuhnya. Al-Fatih menyimpan rencana dalam hatinya, seolah berkata: “Jika strategi diketahui terlalu banyak orang, musuh pun akan mengetahuinya.”

Bahkan hingga saat Al-Fatih wafat, pasukannya sedang dalam perjalanan menuju sebuah ekspedisi besar. Sejarah mencatat, ekspedisi itu diduga besar mengarah ke Italia, tepatnya ke Roma—simbol utama kekuasaan Kristen Katolik di Eropa. Jika Konstantinopel telah ditaklukkan sebagai pusat Kristen Ortodoks, maka Roma adalah “puncak bukit” berikutnya.

Namun takdir berkata lain. Di tengah perjalanan, Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Ia mengalami demam tinggi di daerah Hünkârçayırı, dekat Gebze, sekitar 50 km dari Istanbul. Beberapa hari kemudian, pada 3 Mei 1481, beliau wafat dalam usia 49 tahun, sebelum sempat membuka secara publik arah pasti pasukannya.

Mengapa Merahasiakan Rencana?

Manshur Abdul Hakim, dalam biografi Khalid bin Walid, menyebutkan bahwa hanya sekali Rasulullah ﷺ mengumumkan rencana perang secara terbuka, yakni pada Perang Tabuk. Itu pun karena sifat ekspedisinya yang jauh dan memerlukan persiapan besar.

Apa hasilnya? Semangat umat untuk berinfak pun luar biasa. Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya. Umar menyerahkan separuh dari kepemilikannya. Utsman membiayai 10.000 pasukan, lengkap dengan 900 unta, 500 kuda pilihan, dan 10.000 dinar.

Namun selebihnya, semua strategi dirahasiakan. Tidak diumumkan. Disampaikan hanya melalui surat kepada panglima.

Khalifah Umar bin Khattab: Teladan Strategi dan Logistik

Umar bin Khattab, sebagai Khalifah, sangat memahami pentingnya kerahasiaan dan kalkulasi logistik. Beberapa prinsip yang beliau terapkan:

1. Tidak Melanjutkan Ekspansi Terlalu Jauh
Setelah kemenangan di Qadisiyah dan Yarmuk, Umar menahan ekspansi ke jantung Romawi dan Persia. Ia lebih memilih konsolidasi dan stabilisasi wilayah.


2. Membagi Pasukan ke Dalam Unit Kecil
Dengan pembagian ini, jika satu unit kalah, unit lain bisa tetap bertahan. Ini strategi saat menghadapi Persia dan Romawi di Syam.


3. Menunda Perang Bila Terjadi Bencana
Saat wabah Tha’un Amwas melanda Syam, Umar menolak masuk ke sana. “Aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain,” kata beliau. Ini bukan sikap pengecut, tetapi hikmah dalam menghadapi musibah.


4. Menghindari Perang Tanpa Perhitungan
Umar tidak memulai peperangan kecuali dengan persiapan matang dan pertimbangan politik yang dalam. Logistik, dukungan rakyat, dan moral pasukan selalu diperhitungkan.



Pandangan Para Pakar Militer Dunia

Kerahasiaan strategi bukan hanya ajaran Islam, tetapi prinsip yang diakui dunia.

> Sun Tzu (Tiongkok) – The Art of War: “Biarkan rencanamu gelap dan tidak bisa ditembus seperti malam; dan ketika kau bergerak, hantam seperti petir.”



> “Segala peperangan didasarkan pada tipu daya.”


> Carl von Clausewitz (Prusia) – On War: “Kejutan adalah akar dari semua operasi militer tanpa terkecuali, meski tingkatannya berbeda-beda.”


> Napoleon Bonaparte: “Rahasia perang terletak pada komunikasi.”


> George Washington: “Bahkan hal-hal kecil pun tidak boleh diungkapkan dalam urusan militer.”



Semua kutipan itu bermuara pada satu hal: rahasia adalah ruh dalam strategi perang.

Kontemplasi

Apa makna dari semua ini bagi kita yang bukan jenderal atau panglima?

Kita mungkin bukan pemimpin pasukan, tetapi hidup ini penuh pertarungan: pertarungan batin, perjuangan dakwah, konflik sosial, bahkan persaingan ide. Dalam semua itu, kita harus belajar menjaga strategi, menahan diri untuk tidak tergesa mengumbar rencana, dan memilih waktu yang tepat untuk bertindak.

Rasulullah ﷺ mengajarkan kehati-hatian, bahkan kepada para sahabat yang paling setia. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena strategi harus dijaga dengan amanah.

Sebab terkadang, bukan musuh yang kuat yang membinasakan kita, melainkan lisan dan kelalaian sendiri yang membuka pintu kekalahan.

Wallahu a'lam.

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan ...

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan kejayaan dari nol. Sebab jalan itu sudah pernah dilalui, meski kini tertutup debu zaman. Rasulullah Muhammad ﷵ، telah memberikan gambaran indah tentang posisinya dalam sejarah kenabian:

> "Perumpamaan antara aku dan para nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membangun sebuah rumah, lalu ia menyempurnakan dan memperindahnya, kecuali satu tempat bata di pojokan. Maka orang-orang mengelilingi rumah itu dan mereka kagum seraya berkata, 'Mengapa tidak diletakkan satu bata di sini?' Maka akulah bata itu, dan akulah penutup para nabi." (HR. Bukhari no. 3535 dan Muslim no. 2286)



Bata itu telah ditaruh. Rumah itu telah lengkap. Kini, tugas generasi umat adalah menjaga, memperkuat, dan memperluas peradaban yang telah Rasulullah wariskan.

Allah mengingatkan kita melalui kisah para nabi, bukan sebagai cerita nostalgia, melainkan sebagai panduan praktis bagi setiap generasi:

> "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Ia bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS. Yusuf: 111)

Itulah cara membangun  kembali ruh yang lemah dan menyegarkan strategi yang beku.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur'an menyatakan:

> "Kisah-kisah dalam Al-Qur'an bukanlah cerita khayal atau khazanah sejarah yang mati. Ia adalah pancaran kehidupan dan pelajaran nyata bagi gerakan dakwah di setiap masa."



Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, menambahkan:

> "Sesungguhnya kisah para nabi adalah kurikulum Allah untuk mencetak rijal dakwah. Dengannya terbentuk keberanian, kejernihan visi, dan kematangan ruhani."



Bagi Al-Banna, pemimpin dakwah tidak cukup hanya cerdas dan fasih. Ia harus berjiwa nabi: berpandangan jauh seperti Nuh, bijaksana seperti Yusuf, tegas seperti Musa, dan lembut seperti Isa. Karakter itu dibentuk dengan menyerap ruh kisah-kisah kenabian.

Sebagaimana Allah mampu menciptakan manusia dari tanah, tentu lebih mudah bagi-Nya untuk menghidupkannya kembali. Maka membangkitkan peradaban Islam bukan mustahil—asal jalan itu ditempuh dengan sungguh.

Ulama salaf berkata: "Tidak mungkin membangun kejayaan Islam tanpa menempuh jalan para pendahulu." Jalan kejayaan itu tetap sama: semangatnya, obsesinya, dan jiwanya. Yang berubah hanyalah strateginya.

Namun mengapa terasa begitu sulit membangun kembali kejayaan umat?

Kadang masalahnya bukan pada strategi. Ruh, obsesi, dan keikhlasan telah melemah. Strategi boleh canggih, namun tanpa jiwa, ia tak akan bergerak. Hasan al-Banna memperingatkan:

> "Melepas jihad dari Islam sama halnya dengan mencabut ruh dari jasadnya." (Majmu' Rasail)



Sayyid Qutb dalam Ma'alim fi al-Thariq menegaskan:

> "Jihad bukanlah fase sementara, tetapi sebuah perang abadi ... hingga kekuatan setan ditundukkan dan agama hanya untuk Allah secara menyeluruh."



Di sisi lain, ada pula yang memiliki semangat membara, namun memakai strategi usang yang tidak relevan dengan zaman. Maka perjuangan itu pun kehilangan daya dorong sosial. Strategi yang tak kontekstual hanya membangun nostalgia, bukan transformasi.

Sayyid Qutb mengkritik kebekuan umat:

> "Sesungguhnya Islam datang untuk membebaskan akal manusia dari setiap bentuk tekanan dan belenggu, baik yang berasal dari mitos, tradisi, atau tirani penguasa. Maka, kebekuan berpikir dan kepasrahan terhadap warisan lama tanpa kritik adalah pengkhianatan terhadap pesan Islam yang hidup dan bergerak."



> "Umat ini telah kehilangan pengaruh karena mereka tidak lagi menjadikan Islam sebagai gerakan yang membentuk realitas, melainkan hanya menjadi simbol yang beku, dibicarakan tetapi tidak dijalani."



Hasan al-Banna pun memperingatkan:

> "Hendaknya kita keluar dari jumud dan taqlid buta kepada masa lalu. Kita harus membangkitkan ruh baru dalam memahami Islam sebagai sistem hidup yang sempurna, menyatu antara ibadah, jihad, politik, dan sosial."



> "Kita bukanlah kaum yang hidup dengan mimpi masa lalu. Kita adalah pewaris risalah yang harus bergerak. Janganlah kita tertidur dalam pujian terhadap sejarah, sementara ruh dan semangat para pendahulu telah hilang dari kita."



Sejarah membuktikan: ruh yang sama, jika dikawinkan dengan strategi baru, akan membangkitkan kejayaan.

Umar bin Khattab dan Abu Bakar tidak memimpin dengan cara yang sama. Utsman bin Affan membangun armada laut, sesuatu yang tak dilakukan sebelumnya. Ali bin Abi Thalib menyelesaikan konflik internal dengan kebijaksanaan tersendiri.

Lihat juga Umar bin Abdul Aziz. Dengan ruh khilafah yang bersih, ia mengembalikan keadilan sosial dalam waktu singkat. Lihat Shalahuddin Al-Ayyubi. Ia menyatukan kembali negeri-negeri Islam yang tercerai dan menaklukkan Al-Quds. Lihat Muhammad Al-Fatih. Ia menaklukkan Konstantinopel dengan teknologi meriam dan strategi pengepungan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Mereka semua punya ruh yang sama, tetapi strategi yang kontekstual. Inilah pelajaran penting bagi kita: kejayaan Islam tidak akan terulang hanya dengan mengutip masa lalu, tetapi dengan menjiwai ruhnya dan menyesuaikan caranya.

Sekarang, hidupkan ruh itu. Juga bangun tubuhnya. Tubuh berupa strategi. Tubuh berupa gerakan. Tubuh berupa pemimpin dan umat yang bersatu.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya, adalah tanggung jawab generasi ini.

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Rasulullah ﷺ baru saja melepas pas...

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Rasulullah ﷺ baru saja melepas pasukan Usamah bin Zaid menuju Syam. Tapi belum sempat menyaksikan hasil perjalanannya, beliau dipanggil oleh Allah. Di ujung kehidupan beliau yang mulia, masih ada tugas yang belum selesai: pembebasan negeri-negeri besar yang menjadi pusat kekuatan dunia saat itu.

Syam adalah jantung kekaisaran Bizantium. Di sanalah jejak darah para syuhada Muslim mengering: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur dalam Perang Mu’tah. Maka, ketika Rasulullah ﷺ menunjuk Usamah bin Zaid—seorang pemuda—untuk memimpin ekspedisi ke Syam, itu adalah pesan penting: misi ini belum selesai, tapi harus terus berjalan.

> "Siapkanlah pasukan Usamah! Semoga Allah memberkahi pasukan itu."
(HR. Ahmad)



Belum sempat menanti kabar kemenangan, Rasulullah ﷺ wafat. Maka siapakah yang melanjutkan misi ini?

Abu Bakar Ash-Shiddiq: Menyambung Benang yang Terputus

Abu Bakar di tengah  menyelesaikan badai dahsyat: kemurtadan dan nabi-nabi palsu. Beliau mengutus pasukan Usamah seperti yang diwasiatkan Rasulullah ﷺ. Meski ditentang oleh beberapa sahabat, Abu Bakar tegas:

> "Demi Allah, aku tidak akan membatalkan pasukan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ."



Begitulah Abu Bakar menjaga warisan Nabi. Tapi waktu tidak memberinya banyak ruang. Beliau pun wafat, dan sekali lagi, benang sejarah itu belum selesai dirajut.

Umar bin Khattab: Mematahkan Kisra dan Kaisar

Umar bin Khattab tampil menggenapi nubuwah Nabi. Di masanya, Persia runtuh. Kaisarnya tumbang. Syam dan Mesir ditaklukkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika Kisra bin Hurmuz binasa, maka tidak akan ada Kisra setelahnya. Jika Kaisar binasa, maka tidak akan ada Kaisar setelahnya..."
(HR. Bukhari no. 3593)



Nubuwah ini nyata. Persia hancur. Romawi kehilangan tanah jajahan penting. Tapi Umar pun gugur. Dan misi itu belum selesai. Masih ada negeri-negeri di seberang lautan.

Utsman bin Affan: Membuka Lintasan Lautan

Utsman meletakkan fondasi armada laut pertama umat Islam. Beliau membuka pintu ke arah lautan: ke Siprus, Tunisia, dan wilayah Mediterania. Ekspedisi-ekspedisi maritim diluncurkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Pasukan pertama dari umatku yang berlayar di lautan, wajib baginya surga."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Utsman membuktikan sabda itu. Ia menapak jejak kemenangan Rasul di medan air. Namun badai fitnah membunuhnya. Dan sekali lagi, sejarah tergantung di udara.

Ali bin Abi Thalib: Meredam Fitnah, Menjaga Umat

Ali tidak mendapat kemewahan memperluas wilayah. Ia tidak membangun ekspedisi. Ia menjaga nyawa umat dari saling tikam.

Perang Jamal. Perang Shiffin. Fitnah internal. Ali memikul beban sejarah paling berat: menjaga rumah umat dari kehancuran.

Namun, sekeras apa pun usahanya, Ali pun dibunuh. Dan sejarah kembali meminta pewaris.

Hasan bin Ali: Damai Lebih Tinggi dari Tahta

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin. Semoga Allah mendamaikan dengan perantaraannya dua kelompok besar dari kaum Muslimin."
(HR. Bukhari no. 2704)



Hasan bin Ali tidak bertempur. Ia melepaskan kekuasaan demi kedamaian. Langkahnya bukan kelemahan, tapi nubuwah.

Kini, para khalifah setelahnya menyambung kembali benang yang lama terputus. Siapkah membebaskan Konstantinopel dan Roma?



Muawiyah bin Abu Sufyan: Ekspedisi ke Konstantinopel

Muawiyah memulai jihad maritim besar. Antara tahun 49–55 H, ia meluncurkan ekspedisi darat dan laut menuju Konstantinopel. Medan yang sangat sulit:

Kota dengan perlindungan benteng berlapis.

Dijaga laut dan armada tangguh.

Jauh dari pusat kekuasaan Islam (Damaskus).


Tapi Muawiyah tidak mundur. Ia kirim sahabat-sahabat utama. Jalan menuju penaklukan Konstantinopel dibuka.

Harun ar-Rasyid: Membuat Bizantium Tunduk

Harun ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah melanjutkan jihad ini. Ia mengirim jenderal Humayd bin Ma’yuf al-Hajbi memimpin ekspedisi besar. Kaisar Nikephoros sempat menghinakan Islam. Tapi Harun membalas:

> "Dari Harun, Amirul Mukminin, kepada kaisar Romawi. Telah engkau baca suratmu, dan jawabannya akan kau lihat, bukan kau dengar."



Pasukannya menghantam jantung Bizantium. Kaisar tunduk dan membayar upeti. Namun dua kekhalifahan yang telah berdiri tidak juga membebaskan Konstantinopel, siapakah yang akan melanjutkan?

Muhammad Al-Fatih: Menggenapi Penaklukan

Saat Abbasiyah runtuh, Khilafah Utsmaniyah muncul. Muhammad Al-Fatih menuntaskan nubuwah Rasulullah ﷺ:

> "Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya."
(HR. Ahmad)



Konstantinopel jatuh. Tapi Al-Fatih belum puas. Ia siapkan pasukan ke Italia untuk membebaskan Roma. Namun di tengah perjalanan:

> Sejarah mencatat: Muhammad Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Dalam perjalanan menuju Italia, beliau wafat sebelum mencapai Roma.



Mengapa Al-Fatih tak berhasil menaklukkan Roma? Karena Allah masih menyisakan tugas untuk generasi selanjutnya.

Sejarah Tak Pernah Selesai

Seakan-akan, Allah menulis sejarah ini secara bersambung. Agar setiap generasi punya bagian. Agar kita tidak hanya menjadi pembaca sejarah, tapi pelanjut.

Hari ini, nubuwah Rasul belum tuntas:

Roma belum dibebaskan.

Sistem keadilan ekonomi belum ditegakkan.

Dunia masih dikuasai oleh 1% elite ekonomi.


Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Akan datang suatu masa di mana seorang manusia berkeliling membawa zakat, namun tidak seorang pun yang membutuhkan."
(HR. Ahmad dan al-Hakim)



Maka ini bukan nostalgia. Ini kewajiban. Para sahabat gelisah bila nubuwah belum terwujud. Mereka merasa bersalah jika belum menuntaskan tugas Rasul.

Apakah kita memiliki kegelisahan yang sama?

Sekarang Giliran Kita

Kita tidak hidup di zaman penaklukan kota, tapi kita masih memikul penaklukan ide. Penaklukan ketimpangan. Penaklukan kemiskinan. Penaklukan kebodohan.

Kita tidak mengangkat pedang, tapi kita membawa pena, ilmu, teknologi, dan kekuatan moral.

Mari naikkan level kegelisahan kita. Bukan dalam skala pribadi. Tapi dalam skala umat.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya adalah tanggung jawab generasi ini.

Nubuwah Perguliran Peradaban  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- "Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. ...

Nubuwah Perguliran Peradaban 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

"Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Setelah itu akan ada kekhilafahan di atas manhaj kenabian, lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Kemudian akan datang masa kerajaan menggigit (mulkan ‘aḍdan), lalu Allah mengangkatnya bila Dia menghendaki. Lalu datang masa kerajaan diktator (mulkan jabriyyan), kemudian Allah angkat bila Dia menghendaki. Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."

(HR. Ahmad)


---

Dalam sunyi malam dan renung sejarah, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan peta besar peradaban umat ini. Bukan sekadar nubuwah, melainkan peta spiritual tentang pergiliran zaman. Sebuah siklus yang bukan hanya menandai naik turunnya kekuasaan, tetapi juga mengukur kualitas ruhani umat.

Dari kenabian menuju kekhalifahan, dari kekhalifahan menuju kerajaan, dari kerajaan ke otoritarianisme, lalu kembali lagi pada khilafah yang bersandar pada manhaj kenabian. Ini bukan sekadar urutan waktu, ini adalah pusaran peradaban.

Awal yang Agung: Khilafah Rasyidah

Masa setelah wafatnya Nabi ﷺ️ menyisakan pertanyaan terbesar: siapa yang akan melanjutkan tongkat estafet kenabian? Meski tak menunjuk secara eksplisit dalam bentuk teks pewarisan, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan simbol dalam tindakan. Dalam pembangunan Masjid Nabawi, beliau meminta Abu Bakar, Umar, dan Utsman masing-masing meletakkan batu di sisinya. Sebuah penataan yang tidak hanya bersifat arsitektural, tapi isyarat kenabian.

Dan sejarah pun menjawabnya: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali tampil sebagai empat mata rantai pertama dari kekhilafahan di atas manhaj kenabian. Mereka memimpin bukan hanya dengan kekuasaan, tetapi dengan jiwa kenabian yang diwariskan.

Bergulir ke Dinasti: Kerajaan Menggigit

Namun kekuasaan adalah amanah yang berat. Ia melelahkan, dan sejarah menunjukkan bahwa idealisme awal umat mulai bergeser. Setelah Hasan bin Ali — sang pemersatu dua kelompok besar umat — menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, babak baru dimulai.

> “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin (sayyid), dan semoga Allah memperbaiki dengan sebab dia antara dua kelompok besar dari kaum Muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 2704)



Muawiyah memulai era baru yang dikenal sebagai mulk ‘aḍdan, kerajaan menggigit. Kekuasaan mulai diwariskan secara turun-temurun. Meski tetap dalam bingkai Islam, coraknya berbeda. Politik mulai mengambil bentuk dinasti. Bani Umayyah berkuasa. Kemudian datang Bani Abbas.

Isyarat Kenabian: Umayyah dan Abbasiyah

Rasulullah ﷺ️ telah memberikan isyarat:

> "Jika kekuasaan keturunan Muawiyah hanya sehari, maka kekuasaan keturunan Abbas akan dua kali lipat dari itu." (HR. Thabrani dan lainnya)



Ini bukan soal durasi waktu, tetapi soal skala dan pengaruh. Dan itu terbukti: Umayyah memerintah dari Damaskus, meluas sampai Andalusia. Abbasiyah tampil sebagai pusat intelektual dunia dari Baghdad.

Namun tetap, keduanya berada dalam siklus kerajaan menggigit: mewariskan, mempertahankan, terkadang dengan tangan besi.

Turki Utsmani: Penerus Tanpa Teks

Setelah Baghdad hancur, khilafah nyaris padam. Tapi takdir Allah membalikkan keadaan. Bangsa yang dulu dikenal sebagai pelindung Abbasiyah, yakni bangsa Turki, tampil menjadi pemimpin dunia Islam.

Turki Utsmani bukan hanya meneruskan kekuasaan, tetapi menunaikan nubuwah:

> “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad dan Hakim)



Muhammad Al-Fatih bukan hanya penakluk kota, tetapi penjaga nubuwah. Dan Utsmani berdiri sebagai puncak terakhir sebelum fase mulk jabriyyan mengambil alih.

Mulk Jabriyyan: Era Diktator dan Kegelapan

Zaman modern menyaksikan fase ini. Kekuasaan berpindah ke tangan-tangan besi. Sekularisme, kolonialisme, nasionalisme sempit, dan pemujaan pada militer menjadi wajah dominan dunia Islam. Khilafah dihapus secara resmi tahun 1924. Umat tercerai-berai menjadi negara-negara kecil yang terkungkung batas-batas buatan.

Di sinilah fase mulk jabriyyan mencapai puncaknya. Dan justru dalam kegelapan seperti ini, nubuwah bersinar lagi:

> "Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."



Nubuwah Persia dan Romawi: Keruntuhan Kekuasaan Dunia

Rasulullah ﷺ️ telah menubuatkan:

> "Kalian akan memerangi Jazirah Arab hingga Allah menangkan kalian, lalu Persia hingga Allah menangkan kalian, lalu Romawi (Rum) hingga Allah menangkan kalian, setelah itu Dajjal hingga Allah menangkan kalian." (HR. Muslim 5161)



Dan benar adanya.

> “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya. Dan jika Qaisar binasa, maka tidak ada Qaisar setelahnya...” (HR. Bukhari dan Muslim)



Imam Nawawi menegaskan bahwa maksudnya adalah, sistem imperium mereka tidak akan kembali. Mereka akan lenyap sebagai kekuatan hegemonik.

Ibnu Hajar menyatakan, ini adalah nubuwah yang telah nyata: Persia runtuh di masa Umar. Romawi Timur kehilangan jantungnya saat Konstantinopel ditaklukkan.

Roma sendiri masih menanti.

Menuju Roma: Nubuwah yang Belum Tuntas

Rasulullah ﷺ️ menyebut dua kota: Konstantinopel dan Roma. Yang pertama sudah ditaklukkan. Yang kedua, masih dalam janji.

Imam As-Suyuthi dalam al-Kashf ‘an Mujawazah Hadzihil Ummah al-Alf menyebut:

> "Roma akan ditaklukkan setelah Konstantinopel. Jika belum terjadi, maka itu tanda janji Allah belum tuntas, dan akan terjadi menjelang akhir zaman."



Ibn Katsir dalam An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim juga menyatakan:

> "Penaklukan Roma adalah bagian dari kemenangan akhir zaman, beriringan dengan bangkitnya Islam sebagai kekuatan dunia."



Renungan Akhir: Apa Peran Kita?

Perguliran kekuasaan bukan sekadar narasi sejarah. Ia adalah undangan kontemplatif: di fase manakah kita hidup sekarang? Dan di mana posisi kita dalam nubuwah itu?

Hari ini, dunia Islam tak lagi bersatu di bawah satu payung. Namun janji Rasulullah ﷺ️ bukan isapan jempol. Ia pasti terjadi. Akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian.

Bukan untuk memaksakan mimpi sejarah, tetapi untuk membangkitkan jiwa. Untuk mempersiapkan hati. Agar saat fajar itu menyingsing, kita termasuk yang menyalakan pelita.

Bukan sebagai pengamat sejarah. Tetapi sebagai bagian darinya.


---

"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka ahli waris (bumi)." (QS. Al-Qashash: 5)

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik ...

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik tabir awan, seakan malu menyaksikan doa yang membelah keheningan bumi.

Seorang lelaki berdiri di ujung tenda, jubahnya terkulai lembut ditiup angin. Dalam gelap, suaranya gemetar, terangkat ke langit dalam bahasa air mata. Bibirnya bergetar, menyebut nama yang tak pernah letih ia panggil: Allah... Rabbul ‘Alamin.

Di hadapannya, medan Badar menanti. Pasukan kaum muslimin tak sampai 400. Sementara musuh, ribuan. Pedang mereka berkarat, kuda mereka tak seberapa. Tapi yang membuat lelaki itu berdiri bukan keberanian semata—melainkan karena ia tahu, kekuatan sejati tak lahir dari otot dan besi, melainkan dari hati yang bersandar total pada Tuhan.

Ia adalah Rasulullah ﷺ.

Malam itu, tangisnya menyatu dengan bumi. Sujudnya mengguncang langit. “Ya Allah, jika pasukan kecil ini binasa, tidak ada lagi yang menyebut nama-Mu di bumi ini.”

Air mata membasahi wajahnya. Ia tahu esok adalah hari besar. Tapi malam ini adalah malam penentuan. Malam di mana langit menjadi saksi bahwa kemenangan bukan diraih oleh strategi, tapi oleh cinta yang paling dalam kepada Yang Maha Kuasa.


---

Berabad-abad setelah malam itu, seorang pemuda berdiri di bawah temaram lampu minyak di dalam kemahnya. Jubahnya lusuh, tapi matanya berkilat. Ia bukan sekadar panglima. Ia adalah pewaris malam-malam panjang para nabi—Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pasukan Salib mengelilingi Yerusalem. Eropa telah mengirim segala yang mereka punya. Raja-raja, kesatria, imam perang, hingga rakyat awam ikut menjadi darah di medan yang dijanjikan gereja sebagai jalan menuju surga.

Tapi malam itu, Shalahuddin tak tidur.

Ia menulis surat panjang kepada Tuhannya, bukan dengan pena, tapi dengan air mata. Ia tahu, Yerusalem bukan hanya tanah. Ia adalah amanah. Ia adalah tempat yang telah disucikan oleh langkah para nabi. Dan untuk itu, ia tidak meminta kepada pasukannya, melainkan kepada Pemilik langit dan bumi.

“Ya Allah,” bisiknya lirih, “Aku tak lagi memiliki kekuatan selain-Mu. Aku telah habis. Tapi aku percaya Engkau tidak akan pernah habis. Maka biarlah malam ini menjadi saksi bahwa aku menyerahkan segalanya kepada-Mu.”

Air mata menetes ke bumi, menyatu dengan tanah para syuhada. Dan esoknya, sejarah mencatat: Yerusalem kembali dalam pelukan Islam. Tanpa pembantaian. Tanpa darah balas dendam. Hanya ada kedamaian dan keadilan.


---

Namun jauh sebelum itu, bahkan sebelum Shalahuddin dilahirkan, seorang kaisar duduk terpaku di atas kudanya. Langkahnya berat. Konstantinopel terasa lebih jauh dari biasanya, meski ia sudah melewati separuh perjalanan.

Ia adalah Heraklius. Kaisar agung Romawi Timur. Di bawah kekuasaannya, Romawi adalah peradaban besar. Tapi hari ini, ia pulang membawa luka.

Pasukannya hancur di tangan pasukan kaum muslimin. Bukan karena senjata mereka lebih baik, tapi karena ada sesuatu yang tak ia mengerti. Maka ia bertanya kepada seorang prajurit yang pernah tertawan di tangan kaum muslimin, “Apa kekuatan mereka?”

Jawaban sang prajurit menusuk kalbunya seperti belati: “Mereka menang bukan karena senjata. Tapi karena shalat malam mereka, puasa mereka, hati mereka yang bersih. Mereka tidak menyerang kecuali setelah memperingatkan. Mereka tidak menjarah, tetapi membawa kedamaian.”

Heraklius terdiam. Dalam diamnya, ia tahu—kekuasaan ini akan jatuh, bukan karena pasukan yang lebih kuat, tapi karena ruh yang lebih bersih.

“Kelak mereka akan merebut Konstantinopel,” gumamnya.


---

Semuanya berpulang pada satu hal: malam.

Malam yang sepi, yang tidak memerlukan sorakan, tidak dihadiri pasukan, tidak dikawal strategi. Tapi di malam-malam itulah lahir kemenangan. Karena malam bagi para penakluk sejati bukan tempat untuk tidur, tapi tempat untuk bertemu Sang Raja segala raja.

Nuruddin Zanky tahu itu. Maka setiap malam, ia basahi sejadahnya. Ia tak pernah lalai menangis kepada Allah. Bahkan saat tak ada perang pun, ia tetap berperang melawan nafsunya di malam-malam sunyi.

Ketika wafat, tanah kehilangan seorang pejuang, tapi langit mendapatkan kekasihnya.

Dan muridnya, Shalahuddin, memikul wasiat itu. Ia tak hanya mewarisi pedang gurunya, tapi juga air matanya. Ia tahu, tidak ada kemenangan sejati tanpa sujud yang panjang. Tidak ada benteng yang dapat dihancurkan sebelum diri ini merobohkan sombongnya di hadapan Ilahi.


---

Sebuah kenangan pun mengalir dalam benak seorang lelaki hari ini. Ia bukan jenderal. Bukan raja. Ia hanyalah seorang guru kecil di sudut desa.

Tapi malam-malam itu menggetarkan hatinya.

Ia membaca lembar-lembar sejarah seperti membaca cermin jiwanya. Ia tahu, tidak ada musuh sebesar dunia jika hatinya terhubung dengan Tuhan. Ia tahu, zaman ini bukan kekurangan strategi, tapi kekurangan rintihan.

Maka setiap malam, ia bangun. Tak ada yang tahu. Bahkan istrinya pun tak sadar. Tapi ia tahu: kalau pun ia tidak memenangkan dunia, setidaknya ia tidak kalah dalam perjuangan di hadapan Tuhan.

Dalam gelap, ia bersujud.

“Ya Allah,” ucapnya lirih, “aku mungkin tak akan menjadi seperti mereka. Tapi aku ingin menjadi bagian dari rantai panjang itu—rantai sujud, air mata, dan malam-malam yang melahirkan fajar kemenangan.”


---

Malam-malam ini tidak mati. Ia masih hidup di hati mereka yang percaya bahwa kekuatan tak datang dari dunia. Ia hidup dalam tangisan-tangisan sunyi para pecinta Allah yang tak dikenal manusia, tapi dikenali oleh para malaikat.

Malam-malam ini masih menyimpan rahasia kemenangan. Sebagaimana Badar menjadi saksi, Yerusalem menjadi bukti, dan Konstantinopel menjadi warisan.

Dan kita hari ini, tak perlu menunggu menjadi jenderal. Tak harus mengangkat pedang. Cukuplah kita hidupkan malam-malam kita, dan semesta akan mencatat kita sebagai bagian dari para penakluk: penakluk nafsu, keangkuhan, dan cinta dunia.

Karena sesungguhnya...

Tidak ada kemenangan tanpa air mata.

Dan tak ada pejuang sejati, tanpa malam-malam yang bersujud penuh cinta.


---

Ketika Madinah Tumbuh di Tengah Perang: Mengapa Sebagian Kota Runtuh?  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Perang, bagi sebagian bangsa, ...

Ketika Madinah Tumbuh di Tengah Perang: Mengapa Sebagian Kota Runtuh? 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Perang, bagi sebagian bangsa, adalah awal kehancuran. Tapi bagi Madinah, perang justru menjadi percikan yang menyalakan obor peradaban. Ketika kota-kota besar seperti Mekah, Persia, dan Romawi kehilangan napas karena konflik berkepanjangan, Madinah—yang kecil dan terancam dari segala arah—malah tumbuh menjadi poros dunia baru. Bagaimana mungkin kota yang dikepung musuh, terlibat perang hampir setiap tahun, justru berkembang menjadi pusat spiritual, militer, dan sosial?

Bukankah pertempuran menguras tenaga, waktu, dan sumber daya? Ya, kecuali jika pertempuran itu dipimpin oleh visi langit, bukan ambisi bumi.

Madinah: Kota yang Berjuang dan Bertumbuh

Sejak tahun kedua hijrah, Madinah nyaris tak pernah bebas dari ancaman perang: Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, Tabuk—deretan pertempuran yang seharusnya membuat kota ini bangkrut secara ekonomi dan psikologis. Namun realitas berkata lain. Madinah tidak hanya bertahan, tapi bangkit. Rahasianya?

Allah menurunkan konsep pembagian tugas yang sangat penting:

“Tidak sepatutnya bagi seluruh orang mukmin pergi (berperang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk mendalami agama, dan agar mereka memberi peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali, supaya mereka bisa menjaga diri.”
(QS At-Taubah: 122)

Inilah model pertahanan spiritual dan peradaban: sebagian berperang, sebagian mendalami ilmu. Madinah tidak seluruhnya ditarik ke medan tempur. Ada yang bertani, ada yang berdagang, ada yang belajar dan mengajarkan wahyu, ada yang mengatur pasar, ada yang menjadi guru, dan ada yang menyusun strategi.

Pertempuran bukan penghambat kehidupan, tapi bagian dari sistem ketahanan Madinah yang utuh dan adaptif.



Sementara Itu, Mekah Redup dan Retak dari Dalam

Bandingkan dengan Mekah, kota yang secara ekonomi lebih kuat, namun mentalitasnya rapuh. Di bawah kuasa oligarki Quraisy, Mekah mengandalkan tiga hal:

1. Simbol keagamaan (Ka’bah)
2. Dominasi dagang
3. Retorika keturunan dan kehormatan suku

Namun semua itu tidak cukup melindungi kota dari kehancuran moral dan sosial. Ketika Islam datang dengan tawaran nilai, ilmu, dan keadilan sosial, mereka menolak. Dan penolakan terhadap kebenaran selalu melahirkan stagnasi. Bahkan ketika Perang Badar dan Uhud pecah, Mekah tidak tumbuh dalam semangat, tetapi justru tenggelam dalam kebencian dan dendam. Hasilnya: ekonomi mereka stagnan, kaum miskin tetap tertindas, dan generasi muda—seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash—lebih tertarik pada kekuatan Islam daripada kejayaan Quraisy.



Persia dan Romawi: Bangsa Besar yang Tumbang oleh Perang Tanpa Jiwa

Sebelum Islam, dua kekuatan dunia—Romawi dan Persia—terlibat perang panjang (602–628 M) yang melemahkan keduanya. Perang mereka bersifat imperialis dan egoistik: soal wilayah, balas dendam, dan kebanggaan dinasti. Rakyat sengsara, ekonomi anjlok, dan spiritualitas hampa.

Di Persia, pemberontakan internal dan penggulingan 14 raja dalam 4 tahun memperlihatkan keruntuhan sistem.

Di Romawi, korupsi birokrasi, penurunan loyalitas militer, dan krisis iman dalam gereja melumpuhkan stabilitas.

Keduanya menjadi raksasa yang kelelahan. Maka ketika Islam datang dengan visi tauhid, keadilan, dan sistem zakat, banyak rakyat wilayah jajahan justru menyambut pasukan Muslim sebagai pembebas, bukan penjajah.



Israel dan Gaza: Kemenangan yang Justru Melemahkan

Kita menyaksikan ironi sejarah berulang hari ini. Israel, negara dengan kekuatan militer modern, teknologi tinggi, dan dukungan besar dari Amerika dan Eropa, justru semakin rapuh setelah berperang melawan Gaza.

Sejak invasi Gaza pasca 7 Oktober 2023, Israel menghadapi:

Kehancuran ekonomi: sektor pariwisata anjlok, anggaran perang membengkak, pertumbuhan ekonomi hanya 0,3% (terendah dalam dua dekade).

Kerusakan sosial: lebih dari 200.000 warga Israel mengungsi dari wilayah utara dan selatan.

Krisis politik: konflik antara Netanyahu, militer, dan rakyat sipil memicu protes besar-besaran di Tel Aviv.

Kemunduran citra global: 60+ negara menyerukan gencatan senjata, kampanye boikot meningkat tajam.

Trauma psikologis: ratusan tentara mengalami PTSD, dan masyarakat hidup dalam ketakutan roket dan penyusupan.

Israel menang secara militer di atas kertas, tapi kalah secara moral, politik, dan spiritual. Gaza mungkin hancur secara fisik, tapi seperti Madinah dulu, yang kecil dan terblokade bisa menang karena memiliki arah, iman, dan tekad kolektif.



Apa Bedanya Madinah dengan Mekah, Persia, Romawi, dan Israel?

1. Madinah membangun dengan visi langit, bukan dominasi dunia.
2. Pertempuran diatur, bukan membabi buta.
3. Ilmu dan iman tetap dijaga di tengah perang.
4. Ekonomi dijalankan secara adil, tidak eksploitatif.
5. Masyarakat dilibatkan, bukan diperalat.
6. Ketahanan spiritual jadi pusat kekuatan.



Pertempuran Bisa Membunuh Atau Melahirkan Peradaban

Perang bukan hanya soal senjata. Perang adalah ujian visi dan nilai. Madinah membuktikan bahwa pertempuran bisa menjadi jalan pertumbuhan jika dipimpin oleh orang-orang yang sabar, jujur, dan memiliki misi agung. Tapi perang bisa menjadi jalan kematian ketika hanya dipenuhi ambisi, dendam, dan kekosongan spiritual.

Di zaman modern, Israel memperlihatkan bahwa teknologi dan senjata tak cukup membuatmu menang. Ketika rakyatmu tak percaya lagi pada pemerintah, dan dunia memalingkan wajah karena kezalimanmu, maka bom sekuat apapun tidak akan menguatkanmu.

Sedangkan Gaza, seperti Madinah dulu, menunjukkan bahwa kota yang terlihat lemah bisa menjadi pusat perlawanan dan peradaban jika didorong oleh nilai, pengorbanan, dan solidaritas.



Penutup

Madinah tidak menang karena perangnya. Tapi karena visi Rasulullah ﷺ yang membagi peran, menanam ilmu, membangun sistem, dan menginspirasi jiwa-jiwa. Kota itu tumbuh bukan dari reruntuhan musuh, tapi dari kebangkitan ruhani para sahabat.

Kini sejarah seolah mengulang. Gaza, seperti Madinah, dikepung dan dibombardir. Tapi mereka tetap melahirkan pemuda-pemuda berani, pemikir, dan syuhada. Sementara itu, kekuatan dunia yang menyerang mereka mulai kehilangan semangat, narasi, dan legitimasi.

Maka siapa pun yang memimpin kota hari ini, belajarlah dari Madinah: bahwa kota yang bertumbuh bukanlah yang bebas dari perang, tetapi yang tahu untuk apa mereka bertahan, dan kepada siapa mereka berserah.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (361) Al-Qur’an (6) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (568) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (260) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (6) Sirah Penguasa (243) sirah Sahabat (2) Sirah Sahabat (160) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (21) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)