basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Sirah Nabawiyah

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Sirah Nabawiyah. Tampilkan semua postingan

Saat Heraklius dan Rustum Mengagumi Umat Rasulullah saw Oleh: Nasrulloh Baksolahar Nikmat itu bernama Islam. Nikmat itu adalah m...


Saat Heraklius dan Rustum Mengagumi Umat Rasulullah saw

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Nikmat itu bernama Islam. Nikmat itu adalah menjadi bagian dari umat Rasulullah ﷺ. Adakah kebahagiaan lain yang melebihi dua nikmat ini? Ideologi apapun, sebesar apa pun, tak mampu menghadirkan ketenangan sejati bagi jiwa manusia. Keturunan, suku, kebangsaan—semuanya tak menjamin kebahagiaan abadi, kecuali bila hidup dijalani dalam naungan Islam dan dalam barisan umat Nabi Muhammad ﷺ.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah berkata:

> "Nikmat yang paling besar atas manusia adalah Islam. Barang siapa diberi Islam, maka ia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat."



Islam bukan hanya agama, tetapi jalan hidup. Ia adalah tiket keselamatan abadi dan petunjuk untuk segala kebingungan manusia modern.


---

Doa Rasulullah ﷺ agar wafat dalam Islam:

> "Ya Allah, tetapkanlah aku dalam Islam saat hidup dan wafatkanlah aku dalam keadaan Islam." (HR. Ahmad dan Abu Ya’la – hasan)



Bahkan Rasulullah ﷺ, sosok maksum yang dijamin surga, masih memohon kepada Allah agar tetap dalam Islam hingga akhir hayatnya. Maka, bagaimana dengan kita?

Nabi Musa, menurut riwayat dalam kitab Al-Wafa karya Imam Ibnul Jauzi, pernah berdoa agar dimasukkan sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad ﷺ. Dan kelak, ketika Nabi Isa AS turun ke bumi di akhir zaman, ia akan menjadi makmum shalat di belakang Imam Mahdi. Ini adalah bukti keagungan umat ini—umat Rasulullah ﷺ.

Dari Jabir bin Abdullah RA, Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Isa bin Maryam akan turun, lalu pemimpin mereka (Al-Mahdi) berkata kepadanya: 'Majulah, jadi imam untuk kami shalat.' Tapi Isa berkata: 'Tidak, sebagian kalian adalah pemimpin bagi yang lain, sebagai bentuk penghormatan Allah terhadap umat ini.'" (HR. Muslim, no. 155)



Betapa umat ini dimuliakan. Seorang Nabi besar, Isa bin Maryam AS, memilih menjadi makmum dari umat ini. Maka bersyukurlah dan jagalah kemuliaan itu.


---

Heraklius: Sang Kaisar yang Hampir Beriman

Hati Heraklius, kaisar Romawi, pernah tergetar ingin menjadi bagian dari umat Rasulullah ﷺ. Surat dakwah dari Nabi membuatnya merenung dalam diam. Ia mengundang Abu Sufyan, kala itu masih dalam barisan Quraisy, untuk menggali lebih dalam tentang sang Nabi dari Madinah.

Dalam hadis sahih riwayat Bukhari, Heraklius menginterogasi Abu Sufyan:

Apakah dia berasal dari keluarga mulia?

Apakah ada pendahulunya yang mengaku sebagai nabi?

Siapa pengikutnya?

Apakah mereka bertambah atau berkurang?


Abu Sufyan menjawab dengan jujur, karena takut dicap pendusta di hadapan kaumnya. Heraklius menyimpulkan bahwa Muhammad ﷺ adalah nabi sejati. Ia tahu dari kitab-kitab sebelumnya, dan merasakan kebenaran dalam berita kenabian itu.

Dikisahkan bahwa Heraklius pernah mengajak Abu Sufyan ke ruang rahasianya—sebuah perpustakaan besar berisi gambar dan catatan para nabi. Di sana, Heraklius menunjukkan potret para Nabi, termasuk Muhammad ﷺ. Bahkan disebutkan bahwa terdapat pula gambaran para sahabat utama: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Ia mengetahui peran mereka dalam risalah Islam.

Namun kekuasaan mengikat kuat. Ia tak sanggup menghadapi tekanan politik dan pengaruh istananya. Maka niat itu ia kubur, dan akhirnya memilih menyingkir ke Konstantinopel.

Heraklius tahu—kebenaran Islam tak bisa dibendung. Tapi ia tidak berani mengambil risiko kehilangan tahtanya.


---

Rustum: Panglima Persia yang Menyaksikan Kebenaran

Panglima Rustum, jenderal agung Kekaisaran Persia, menyelidiki kekuatan umat Islam dengan cermat sebelum Perang Qadisiyyah. Ia mengundang utusan muslim, Rib‘i bin ‘Amir, untuk berdialog.

Rustum bertanya:

> "Apa tujuan kalian datang ke negeri kami?"



Rib‘i menjawab:

> "Allah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesama makhluk menuju penyembahan hanya kepada Allah, dari sempitnya dunia menuju kelapangan akhirat, dan dari kezaliman berbagai sistem menuju keadilan Islam."



Rustum terhenyak. Ia tak menyangka dari lisan orang biasa terpancar kebijaksanaan yang luar biasa. Ia berkata kepada para penasihatnya:

> "Aku belum pernah melihat orang yang lebih rendah derajatnya di dunia, kini memiliki keyakinan dan kekuatan seperti ini. Jika semua umat Muhammad seperti ini, maka sesungguhnya mereka akan menguasai dunia."



Dalam pengamatannya terhadap pasukan Islam, Rustum mencatat:

> "Mereka tidak tidur di malam hari, tidak makan di siang hari kecuali sedikit, sangat taat kepada pemimpin, dan sangat takut kepada Tuhan. Jika menyerang, mereka seperti singa menerkam mangsanya."



Ia lalu menyimpulkan:

> "Bangsa seperti ini tak mungkin dikalahkan oleh bangsa seperti kita yang telah tenggelam dalam kemewahan dan kebejatan."



Kekuatan umat Islam bukan pada jumlah, tetapi pada keyakinan, akhlak, dan konsistensi mereka terhadap kebenaran.

Menurut riwayat, ketika akhirnya kalah dan melihat kehancuran Persia, Rustum berkata lirih:

> "Sungguh Muhammad telah mengubah dunia. Dia mengirim kaum miskin dan menjadikan mereka penakluk kerajaan-kerajaan besar."




---

Umat Pamungkas: Harapan Dunia

Tak ada lagi umat setelah umat Rasulullah ﷺ. Inilah umat pamungkas. Umat yang Allah pilih untuk mengemban risalah terakhir. Umat yang tak lahir dari suku, warna kulit, atau keturunan, tapi dari iman, akhlak, dan ketaatan kepada Islam.

Syarifuddin Prawiranegara pernah berkata bahwa tak ada kekuatan dunia yang bisa menyelesaikan persoalan global kecuali umat Islam—bila mereka kembali kepada ajaran Islam secara utuh.

Umat ini memikul amanah besar. Dunia menanti solusi, dan Islam memegang kunci. Namun semua itu hanya akan menjadi kenyataan bila kita:

Konsisten dalam beriman

Jujur dalam beramal

Kuat dalam ukhuwah

Kritis terhadap kebatilan


Jurus terakhir peradaban adalah Islam. Jurus pamungkas. Tak ada solusi selain kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ.


---

Menjadi Umat Rasulullah ﷺ: Sebuah Kehormatan dan Tanggung Jawab

Mari renungkan...

Nabi Musa ingin menjadi bagian dari umat ini. Nabi Isa akan menjadi makmum di belakang Imam Mahdi dari umat ini. Kaisar Romawi menyimpan keinginan diam-diam menjadi bagian dari umat ini. Jenderal Persia mengakui keunggulan spiritual dan moral umat ini.

Lalu, kita yang terlahir sebagai umat Rasulullah ﷺ, apakah hanya akan diam tanpa peran?

Sejarah umat manusia dari Adam hingga hari kiamat sedang menanti penutup terbaik. Umat pamungkas harus tampil bukan sekadar sebagai jumlah, tapi sebagai solusi.

Kemenangan dan kebahagiaan hakiki ada dalam genggaman mereka yang kembali kepada Islam, hidup dalam Islam, dan wafat dalam Islam.

Semoga Allah menjadikan kita bukan hanya sebagai pengikut, tapi juga pembela dan pewaris risalah ini.

Aamiin.

Merahasiakan Strategi Pertempuran Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: k...

Merahasiakan Strategi Pertempuran
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: kerahasiaan. Dalam setiap ekspedisi militer, strategi bukan sesuatu yang diumumkan secara terbuka. Bahkan kepada panglima sekalipun, Rasulullah ﷺ seringkali tidak langsung menyampaikan rencana secara gamblang.

Jika beliau tidak ikut serta dalam ekspedisi, Rasulullah ﷺ akan menitipkan sepucuk surat kepada sang panglima. Namun, surat itu tidak boleh dibuka kecuali setelah dua hari perjalanan. Isinya? Arah gerak pasukan dan strategi pertempuran.

> "Rasulullah ﷺ memberikan surat tertutup kepada pemimpin pasukan dan berkata, 'Jangan engkau buka surat ini kecuali setelah kalian berjalan selama dua hari. Dan ketika engkau membukanya, laksanakanlah perintah yang ada di dalamnya tanpa ragu dan jangan engkau paksa siapa pun untuk ikut bersamamu.'”



Dari sini kita memahami bahwa:

Kerahasiaan total menjaga agar strategi tidak bocor ke musuh.

Ketaatan mutlak dibutuhkan demi menjaga kesatuan dan keberhasilan misi.


Mengapa harus sedemikian rahasia? Karena di Madinah sendiri banyak pihak internal yang berpotensi membocorkan informasi. Abdullah bin Ubay, misalnya, dikenal sebagai pemimpin kaum munafik yang kerap mengkhianati keputusan Rasulullah ﷺ. Ia pernah membocorkan informasi pasukan saat Perang Khaibar, termasuk jumlah pasukan dan arah serangan kepada pihak musuh.

Demikian pula ketika akan terjadi pembebasan Kota Mekah. Salah seorang sahabat yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengan kaum Quraisy, mengirimkan surat kepada orang-orang Mekah untuk memperingatkan mereka. Surat itu dibawa oleh seorang wanita dan berhasil dicegat oleh Ali bin Abi Thalib bersama beberapa sahabat. Rasulullah ﷺ menegur sahabat tersebut, tetapi tidak mencabut status keislamannya karena niatnya bukan untuk membocorkan secara penuh, melainkan karena dorongan emosional.

Artinya, bahkan dalam lingkaran sahabat, Rasulullah ﷺ tetap menjaga rahasia perang hanya untuk dirinya. Strategi tidak dibocorkan. Bukan karena tidak percaya, tapi karena amanah strategi bukan milik semua orang.

Jejak Muhammad Al-Fatih

Strategi ini kemudian diteladani oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Ketika pasukannya diberangkatkan, tak satu pun tahu ke mana arah mereka. Bahkan orang-orang kepercayaannya tidak diberi tahu sepenuhnya. Al-Fatih menyimpan rencana dalam hatinya, seolah berkata: “Jika strategi diketahui terlalu banyak orang, musuh pun akan mengetahuinya.”

Bahkan hingga saat Al-Fatih wafat, pasukannya sedang dalam perjalanan menuju sebuah ekspedisi besar. Sejarah mencatat, ekspedisi itu diduga besar mengarah ke Italia, tepatnya ke Roma—simbol utama kekuasaan Kristen Katolik di Eropa. Jika Konstantinopel telah ditaklukkan sebagai pusat Kristen Ortodoks, maka Roma adalah “puncak bukit” berikutnya.

Namun takdir berkata lain. Di tengah perjalanan, Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Ia mengalami demam tinggi di daerah Hünkârçayırı, dekat Gebze, sekitar 50 km dari Istanbul. Beberapa hari kemudian, pada 3 Mei 1481, beliau wafat dalam usia 49 tahun, sebelum sempat membuka secara publik arah pasti pasukannya.

Mengapa Merahasiakan Rencana?

Manshur Abdul Hakim, dalam biografi Khalid bin Walid, menyebutkan bahwa hanya sekali Rasulullah ﷺ mengumumkan rencana perang secara terbuka, yakni pada Perang Tabuk. Itu pun karena sifat ekspedisinya yang jauh dan memerlukan persiapan besar.

Apa hasilnya? Semangat umat untuk berinfak pun luar biasa. Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya. Umar menyerahkan separuh dari kepemilikannya. Utsman membiayai 10.000 pasukan, lengkap dengan 900 unta, 500 kuda pilihan, dan 10.000 dinar.

Namun selebihnya, semua strategi dirahasiakan. Tidak diumumkan. Disampaikan hanya melalui surat kepada panglima.

Khalifah Umar bin Khattab: Teladan Strategi dan Logistik

Umar bin Khattab, sebagai Khalifah, sangat memahami pentingnya kerahasiaan dan kalkulasi logistik. Beberapa prinsip yang beliau terapkan:

1. Tidak Melanjutkan Ekspansi Terlalu Jauh
Setelah kemenangan di Qadisiyah dan Yarmuk, Umar menahan ekspansi ke jantung Romawi dan Persia. Ia lebih memilih konsolidasi dan stabilisasi wilayah.


2. Membagi Pasukan ke Dalam Unit Kecil
Dengan pembagian ini, jika satu unit kalah, unit lain bisa tetap bertahan. Ini strategi saat menghadapi Persia dan Romawi di Syam.


3. Menunda Perang Bila Terjadi Bencana
Saat wabah Tha’un Amwas melanda Syam, Umar menolak masuk ke sana. “Aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain,” kata beliau. Ini bukan sikap pengecut, tetapi hikmah dalam menghadapi musibah.


4. Menghindari Perang Tanpa Perhitungan
Umar tidak memulai peperangan kecuali dengan persiapan matang dan pertimbangan politik yang dalam. Logistik, dukungan rakyat, dan moral pasukan selalu diperhitungkan.



Pandangan Para Pakar Militer Dunia

Kerahasiaan strategi bukan hanya ajaran Islam, tetapi prinsip yang diakui dunia.

> Sun Tzu (Tiongkok) – The Art of War: “Biarkan rencanamu gelap dan tidak bisa ditembus seperti malam; dan ketika kau bergerak, hantam seperti petir.”



> “Segala peperangan didasarkan pada tipu daya.”


> Carl von Clausewitz (Prusia) – On War: “Kejutan adalah akar dari semua operasi militer tanpa terkecuali, meski tingkatannya berbeda-beda.”


> Napoleon Bonaparte: “Rahasia perang terletak pada komunikasi.”


> George Washington: “Bahkan hal-hal kecil pun tidak boleh diungkapkan dalam urusan militer.”



Semua kutipan itu bermuara pada satu hal: rahasia adalah ruh dalam strategi perang.

Kontemplasi

Apa makna dari semua ini bagi kita yang bukan jenderal atau panglima?

Kita mungkin bukan pemimpin pasukan, tetapi hidup ini penuh pertarungan: pertarungan batin, perjuangan dakwah, konflik sosial, bahkan persaingan ide. Dalam semua itu, kita harus belajar menjaga strategi, menahan diri untuk tidak tergesa mengumbar rencana, dan memilih waktu yang tepat untuk bertindak.

Rasulullah ﷺ mengajarkan kehati-hatian, bahkan kepada para sahabat yang paling setia. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena strategi harus dijaga dengan amanah.

Sebab terkadang, bukan musuh yang kuat yang membinasakan kita, melainkan lisan dan kelalaian sendiri yang membuka pintu kekalahan.

Wallahu a'lam.

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan ...

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan kejayaan dari nol. Sebab jalan itu sudah pernah dilalui, meski kini tertutup debu zaman. Rasulullah Muhammad ﷵ، telah memberikan gambaran indah tentang posisinya dalam sejarah kenabian:

> "Perumpamaan antara aku dan para nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membangun sebuah rumah, lalu ia menyempurnakan dan memperindahnya, kecuali satu tempat bata di pojokan. Maka orang-orang mengelilingi rumah itu dan mereka kagum seraya berkata, 'Mengapa tidak diletakkan satu bata di sini?' Maka akulah bata itu, dan akulah penutup para nabi." (HR. Bukhari no. 3535 dan Muslim no. 2286)



Bata itu telah ditaruh. Rumah itu telah lengkap. Kini, tugas generasi umat adalah menjaga, memperkuat, dan memperluas peradaban yang telah Rasulullah wariskan.

Allah mengingatkan kita melalui kisah para nabi, bukan sebagai cerita nostalgia, melainkan sebagai panduan praktis bagi setiap generasi:

> "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Ia bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS. Yusuf: 111)

Itulah cara membangun  kembali ruh yang lemah dan menyegarkan strategi yang beku.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur'an menyatakan:

> "Kisah-kisah dalam Al-Qur'an bukanlah cerita khayal atau khazanah sejarah yang mati. Ia adalah pancaran kehidupan dan pelajaran nyata bagi gerakan dakwah di setiap masa."



Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, menambahkan:

> "Sesungguhnya kisah para nabi adalah kurikulum Allah untuk mencetak rijal dakwah. Dengannya terbentuk keberanian, kejernihan visi, dan kematangan ruhani."



Bagi Al-Banna, pemimpin dakwah tidak cukup hanya cerdas dan fasih. Ia harus berjiwa nabi: berpandangan jauh seperti Nuh, bijaksana seperti Yusuf, tegas seperti Musa, dan lembut seperti Isa. Karakter itu dibentuk dengan menyerap ruh kisah-kisah kenabian.

Sebagaimana Allah mampu menciptakan manusia dari tanah, tentu lebih mudah bagi-Nya untuk menghidupkannya kembali. Maka membangkitkan peradaban Islam bukan mustahil—asal jalan itu ditempuh dengan sungguh.

Ulama salaf berkata: "Tidak mungkin membangun kejayaan Islam tanpa menempuh jalan para pendahulu." Jalan kejayaan itu tetap sama: semangatnya, obsesinya, dan jiwanya. Yang berubah hanyalah strateginya.

Namun mengapa terasa begitu sulit membangun kembali kejayaan umat?

Kadang masalahnya bukan pada strategi. Ruh, obsesi, dan keikhlasan telah melemah. Strategi boleh canggih, namun tanpa jiwa, ia tak akan bergerak. Hasan al-Banna memperingatkan:

> "Melepas jihad dari Islam sama halnya dengan mencabut ruh dari jasadnya." (Majmu' Rasail)



Sayyid Qutb dalam Ma'alim fi al-Thariq menegaskan:

> "Jihad bukanlah fase sementara, tetapi sebuah perang abadi ... hingga kekuatan setan ditundukkan dan agama hanya untuk Allah secara menyeluruh."



Di sisi lain, ada pula yang memiliki semangat membara, namun memakai strategi usang yang tidak relevan dengan zaman. Maka perjuangan itu pun kehilangan daya dorong sosial. Strategi yang tak kontekstual hanya membangun nostalgia, bukan transformasi.

Sayyid Qutb mengkritik kebekuan umat:

> "Sesungguhnya Islam datang untuk membebaskan akal manusia dari setiap bentuk tekanan dan belenggu, baik yang berasal dari mitos, tradisi, atau tirani penguasa. Maka, kebekuan berpikir dan kepasrahan terhadap warisan lama tanpa kritik adalah pengkhianatan terhadap pesan Islam yang hidup dan bergerak."



> "Umat ini telah kehilangan pengaruh karena mereka tidak lagi menjadikan Islam sebagai gerakan yang membentuk realitas, melainkan hanya menjadi simbol yang beku, dibicarakan tetapi tidak dijalani."



Hasan al-Banna pun memperingatkan:

> "Hendaknya kita keluar dari jumud dan taqlid buta kepada masa lalu. Kita harus membangkitkan ruh baru dalam memahami Islam sebagai sistem hidup yang sempurna, menyatu antara ibadah, jihad, politik, dan sosial."



> "Kita bukanlah kaum yang hidup dengan mimpi masa lalu. Kita adalah pewaris risalah yang harus bergerak. Janganlah kita tertidur dalam pujian terhadap sejarah, sementara ruh dan semangat para pendahulu telah hilang dari kita."



Sejarah membuktikan: ruh yang sama, jika dikawinkan dengan strategi baru, akan membangkitkan kejayaan.

Umar bin Khattab dan Abu Bakar tidak memimpin dengan cara yang sama. Utsman bin Affan membangun armada laut, sesuatu yang tak dilakukan sebelumnya. Ali bin Abi Thalib menyelesaikan konflik internal dengan kebijaksanaan tersendiri.

Lihat juga Umar bin Abdul Aziz. Dengan ruh khilafah yang bersih, ia mengembalikan keadilan sosial dalam waktu singkat. Lihat Shalahuddin Al-Ayyubi. Ia menyatukan kembali negeri-negeri Islam yang tercerai dan menaklukkan Al-Quds. Lihat Muhammad Al-Fatih. Ia menaklukkan Konstantinopel dengan teknologi meriam dan strategi pengepungan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Mereka semua punya ruh yang sama, tetapi strategi yang kontekstual. Inilah pelajaran penting bagi kita: kejayaan Islam tidak akan terulang hanya dengan mengutip masa lalu, tetapi dengan menjiwai ruhnya dan menyesuaikan caranya.

Sekarang, hidupkan ruh itu. Juga bangun tubuhnya. Tubuh berupa strategi. Tubuh berupa gerakan. Tubuh berupa pemimpin dan umat yang bersatu.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya, adalah tanggung jawab generasi ini.

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Rasulullah ﷺ baru saja melepas pas...

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Rasulullah ﷺ baru saja melepas pasukan Usamah bin Zaid menuju Syam. Tapi belum sempat menyaksikan hasil perjalanannya, beliau dipanggil oleh Allah. Di ujung kehidupan beliau yang mulia, masih ada tugas yang belum selesai: pembebasan negeri-negeri besar yang menjadi pusat kekuatan dunia saat itu.

Syam adalah jantung kekaisaran Bizantium. Di sanalah jejak darah para syuhada Muslim mengering: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur dalam Perang Mu’tah. Maka, ketika Rasulullah ﷺ menunjuk Usamah bin Zaid—seorang pemuda—untuk memimpin ekspedisi ke Syam, itu adalah pesan penting: misi ini belum selesai, tapi harus terus berjalan.

> "Siapkanlah pasukan Usamah! Semoga Allah memberkahi pasukan itu."
(HR. Ahmad)



Belum sempat menanti kabar kemenangan, Rasulullah ﷺ wafat. Maka siapakah yang melanjutkan misi ini?

Abu Bakar Ash-Shiddiq: Menyambung Benang yang Terputus

Abu Bakar di tengah  menyelesaikan badai dahsyat: kemurtadan dan nabi-nabi palsu. Beliau mengutus pasukan Usamah seperti yang diwasiatkan Rasulullah ﷺ. Meski ditentang oleh beberapa sahabat, Abu Bakar tegas:

> "Demi Allah, aku tidak akan membatalkan pasukan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ."



Begitulah Abu Bakar menjaga warisan Nabi. Tapi waktu tidak memberinya banyak ruang. Beliau pun wafat, dan sekali lagi, benang sejarah itu belum selesai dirajut.

Umar bin Khattab: Mematahkan Kisra dan Kaisar

Umar bin Khattab tampil menggenapi nubuwah Nabi. Di masanya, Persia runtuh. Kaisarnya tumbang. Syam dan Mesir ditaklukkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika Kisra bin Hurmuz binasa, maka tidak akan ada Kisra setelahnya. Jika Kaisar binasa, maka tidak akan ada Kaisar setelahnya..."
(HR. Bukhari no. 3593)



Nubuwah ini nyata. Persia hancur. Romawi kehilangan tanah jajahan penting. Tapi Umar pun gugur. Dan misi itu belum selesai. Masih ada negeri-negeri di seberang lautan.

Utsman bin Affan: Membuka Lintasan Lautan

Utsman meletakkan fondasi armada laut pertama umat Islam. Beliau membuka pintu ke arah lautan: ke Siprus, Tunisia, dan wilayah Mediterania. Ekspedisi-ekspedisi maritim diluncurkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Pasukan pertama dari umatku yang berlayar di lautan, wajib baginya surga."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Utsman membuktikan sabda itu. Ia menapak jejak kemenangan Rasul di medan air. Namun badai fitnah membunuhnya. Dan sekali lagi, sejarah tergantung di udara.

Ali bin Abi Thalib: Meredam Fitnah, Menjaga Umat

Ali tidak mendapat kemewahan memperluas wilayah. Ia tidak membangun ekspedisi. Ia menjaga nyawa umat dari saling tikam.

Perang Jamal. Perang Shiffin. Fitnah internal. Ali memikul beban sejarah paling berat: menjaga rumah umat dari kehancuran.

Namun, sekeras apa pun usahanya, Ali pun dibunuh. Dan sejarah kembali meminta pewaris.

Hasan bin Ali: Damai Lebih Tinggi dari Tahta

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin. Semoga Allah mendamaikan dengan perantaraannya dua kelompok besar dari kaum Muslimin."
(HR. Bukhari no. 2704)



Hasan bin Ali tidak bertempur. Ia melepaskan kekuasaan demi kedamaian. Langkahnya bukan kelemahan, tapi nubuwah.

Kini, para khalifah setelahnya menyambung kembali benang yang lama terputus. Siapkah membebaskan Konstantinopel dan Roma?



Muawiyah bin Abu Sufyan: Ekspedisi ke Konstantinopel

Muawiyah memulai jihad maritim besar. Antara tahun 49–55 H, ia meluncurkan ekspedisi darat dan laut menuju Konstantinopel. Medan yang sangat sulit:

Kota dengan perlindungan benteng berlapis.

Dijaga laut dan armada tangguh.

Jauh dari pusat kekuasaan Islam (Damaskus).


Tapi Muawiyah tidak mundur. Ia kirim sahabat-sahabat utama. Jalan menuju penaklukan Konstantinopel dibuka.

Harun ar-Rasyid: Membuat Bizantium Tunduk

Harun ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah melanjutkan jihad ini. Ia mengirim jenderal Humayd bin Ma’yuf al-Hajbi memimpin ekspedisi besar. Kaisar Nikephoros sempat menghinakan Islam. Tapi Harun membalas:

> "Dari Harun, Amirul Mukminin, kepada kaisar Romawi. Telah engkau baca suratmu, dan jawabannya akan kau lihat, bukan kau dengar."



Pasukannya menghantam jantung Bizantium. Kaisar tunduk dan membayar upeti. Namun dua kekhalifahan yang telah berdiri tidak juga membebaskan Konstantinopel, siapakah yang akan melanjutkan?

Muhammad Al-Fatih: Menggenapi Penaklukan

Saat Abbasiyah runtuh, Khilafah Utsmaniyah muncul. Muhammad Al-Fatih menuntaskan nubuwah Rasulullah ﷺ:

> "Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya."
(HR. Ahmad)



Konstantinopel jatuh. Tapi Al-Fatih belum puas. Ia siapkan pasukan ke Italia untuk membebaskan Roma. Namun di tengah perjalanan:

> Sejarah mencatat: Muhammad Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Dalam perjalanan menuju Italia, beliau wafat sebelum mencapai Roma.



Mengapa Al-Fatih tak berhasil menaklukkan Roma? Karena Allah masih menyisakan tugas untuk generasi selanjutnya.

Sejarah Tak Pernah Selesai

Seakan-akan, Allah menulis sejarah ini secara bersambung. Agar setiap generasi punya bagian. Agar kita tidak hanya menjadi pembaca sejarah, tapi pelanjut.

Hari ini, nubuwah Rasul belum tuntas:

Roma belum dibebaskan.

Sistem keadilan ekonomi belum ditegakkan.

Dunia masih dikuasai oleh 1% elite ekonomi.


Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Akan datang suatu masa di mana seorang manusia berkeliling membawa zakat, namun tidak seorang pun yang membutuhkan."
(HR. Ahmad dan al-Hakim)



Maka ini bukan nostalgia. Ini kewajiban. Para sahabat gelisah bila nubuwah belum terwujud. Mereka merasa bersalah jika belum menuntaskan tugas Rasul.

Apakah kita memiliki kegelisahan yang sama?

Sekarang Giliran Kita

Kita tidak hidup di zaman penaklukan kota, tapi kita masih memikul penaklukan ide. Penaklukan ketimpangan. Penaklukan kemiskinan. Penaklukan kebodohan.

Kita tidak mengangkat pedang, tapi kita membawa pena, ilmu, teknologi, dan kekuatan moral.

Mari naikkan level kegelisahan kita. Bukan dalam skala pribadi. Tapi dalam skala umat.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya adalah tanggung jawab generasi ini.

Nubuwah Perguliran Peradaban  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- "Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. ...

Nubuwah Perguliran Peradaban 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

"Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Setelah itu akan ada kekhilafahan di atas manhaj kenabian, lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Kemudian akan datang masa kerajaan menggigit (mulkan ‘aḍdan), lalu Allah mengangkatnya bila Dia menghendaki. Lalu datang masa kerajaan diktator (mulkan jabriyyan), kemudian Allah angkat bila Dia menghendaki. Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."

(HR. Ahmad)


---

Dalam sunyi malam dan renung sejarah, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan peta besar peradaban umat ini. Bukan sekadar nubuwah, melainkan peta spiritual tentang pergiliran zaman. Sebuah siklus yang bukan hanya menandai naik turunnya kekuasaan, tetapi juga mengukur kualitas ruhani umat.

Dari kenabian menuju kekhalifahan, dari kekhalifahan menuju kerajaan, dari kerajaan ke otoritarianisme, lalu kembali lagi pada khilafah yang bersandar pada manhaj kenabian. Ini bukan sekadar urutan waktu, ini adalah pusaran peradaban.

Awal yang Agung: Khilafah Rasyidah

Masa setelah wafatnya Nabi ﷺ️ menyisakan pertanyaan terbesar: siapa yang akan melanjutkan tongkat estafet kenabian? Meski tak menunjuk secara eksplisit dalam bentuk teks pewarisan, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan simbol dalam tindakan. Dalam pembangunan Masjid Nabawi, beliau meminta Abu Bakar, Umar, dan Utsman masing-masing meletakkan batu di sisinya. Sebuah penataan yang tidak hanya bersifat arsitektural, tapi isyarat kenabian.

Dan sejarah pun menjawabnya: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali tampil sebagai empat mata rantai pertama dari kekhilafahan di atas manhaj kenabian. Mereka memimpin bukan hanya dengan kekuasaan, tetapi dengan jiwa kenabian yang diwariskan.

Bergulir ke Dinasti: Kerajaan Menggigit

Namun kekuasaan adalah amanah yang berat. Ia melelahkan, dan sejarah menunjukkan bahwa idealisme awal umat mulai bergeser. Setelah Hasan bin Ali — sang pemersatu dua kelompok besar umat — menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, babak baru dimulai.

> “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin (sayyid), dan semoga Allah memperbaiki dengan sebab dia antara dua kelompok besar dari kaum Muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 2704)



Muawiyah memulai era baru yang dikenal sebagai mulk ‘aḍdan, kerajaan menggigit. Kekuasaan mulai diwariskan secara turun-temurun. Meski tetap dalam bingkai Islam, coraknya berbeda. Politik mulai mengambil bentuk dinasti. Bani Umayyah berkuasa. Kemudian datang Bani Abbas.

Isyarat Kenabian: Umayyah dan Abbasiyah

Rasulullah ﷺ️ telah memberikan isyarat:

> "Jika kekuasaan keturunan Muawiyah hanya sehari, maka kekuasaan keturunan Abbas akan dua kali lipat dari itu." (HR. Thabrani dan lainnya)



Ini bukan soal durasi waktu, tetapi soal skala dan pengaruh. Dan itu terbukti: Umayyah memerintah dari Damaskus, meluas sampai Andalusia. Abbasiyah tampil sebagai pusat intelektual dunia dari Baghdad.

Namun tetap, keduanya berada dalam siklus kerajaan menggigit: mewariskan, mempertahankan, terkadang dengan tangan besi.

Turki Utsmani: Penerus Tanpa Teks

Setelah Baghdad hancur, khilafah nyaris padam. Tapi takdir Allah membalikkan keadaan. Bangsa yang dulu dikenal sebagai pelindung Abbasiyah, yakni bangsa Turki, tampil menjadi pemimpin dunia Islam.

Turki Utsmani bukan hanya meneruskan kekuasaan, tetapi menunaikan nubuwah:

> “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad dan Hakim)



Muhammad Al-Fatih bukan hanya penakluk kota, tetapi penjaga nubuwah. Dan Utsmani berdiri sebagai puncak terakhir sebelum fase mulk jabriyyan mengambil alih.

Mulk Jabriyyan: Era Diktator dan Kegelapan

Zaman modern menyaksikan fase ini. Kekuasaan berpindah ke tangan-tangan besi. Sekularisme, kolonialisme, nasionalisme sempit, dan pemujaan pada militer menjadi wajah dominan dunia Islam. Khilafah dihapus secara resmi tahun 1924. Umat tercerai-berai menjadi negara-negara kecil yang terkungkung batas-batas buatan.

Di sinilah fase mulk jabriyyan mencapai puncaknya. Dan justru dalam kegelapan seperti ini, nubuwah bersinar lagi:

> "Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."



Nubuwah Persia dan Romawi: Keruntuhan Kekuasaan Dunia

Rasulullah ﷺ️ telah menubuatkan:

> "Kalian akan memerangi Jazirah Arab hingga Allah menangkan kalian, lalu Persia hingga Allah menangkan kalian, lalu Romawi (Rum) hingga Allah menangkan kalian, setelah itu Dajjal hingga Allah menangkan kalian." (HR. Muslim 5161)



Dan benar adanya.

> “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya. Dan jika Qaisar binasa, maka tidak ada Qaisar setelahnya...” (HR. Bukhari dan Muslim)



Imam Nawawi menegaskan bahwa maksudnya adalah, sistem imperium mereka tidak akan kembali. Mereka akan lenyap sebagai kekuatan hegemonik.

Ibnu Hajar menyatakan, ini adalah nubuwah yang telah nyata: Persia runtuh di masa Umar. Romawi Timur kehilangan jantungnya saat Konstantinopel ditaklukkan.

Roma sendiri masih menanti.

Menuju Roma: Nubuwah yang Belum Tuntas

Rasulullah ﷺ️ menyebut dua kota: Konstantinopel dan Roma. Yang pertama sudah ditaklukkan. Yang kedua, masih dalam janji.

Imam As-Suyuthi dalam al-Kashf ‘an Mujawazah Hadzihil Ummah al-Alf menyebut:

> "Roma akan ditaklukkan setelah Konstantinopel. Jika belum terjadi, maka itu tanda janji Allah belum tuntas, dan akan terjadi menjelang akhir zaman."



Ibn Katsir dalam An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim juga menyatakan:

> "Penaklukan Roma adalah bagian dari kemenangan akhir zaman, beriringan dengan bangkitnya Islam sebagai kekuatan dunia."



Renungan Akhir: Apa Peran Kita?

Perguliran kekuasaan bukan sekadar narasi sejarah. Ia adalah undangan kontemplatif: di fase manakah kita hidup sekarang? Dan di mana posisi kita dalam nubuwah itu?

Hari ini, dunia Islam tak lagi bersatu di bawah satu payung. Namun janji Rasulullah ﷺ️ bukan isapan jempol. Ia pasti terjadi. Akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian.

Bukan untuk memaksakan mimpi sejarah, tetapi untuk membangkitkan jiwa. Untuk mempersiapkan hati. Agar saat fajar itu menyingsing, kita termasuk yang menyalakan pelita.

Bukan sebagai pengamat sejarah. Tetapi sebagai bagian darinya.


---

"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka ahli waris (bumi)." (QS. Al-Qashash: 5)

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik ...

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik tabir awan, seakan malu menyaksikan doa yang membelah keheningan bumi.

Seorang lelaki berdiri di ujung tenda, jubahnya terkulai lembut ditiup angin. Dalam gelap, suaranya gemetar, terangkat ke langit dalam bahasa air mata. Bibirnya bergetar, menyebut nama yang tak pernah letih ia panggil: Allah... Rabbul ‘Alamin.

Di hadapannya, medan Badar menanti. Pasukan kaum muslimin tak sampai 400. Sementara musuh, ribuan. Pedang mereka berkarat, kuda mereka tak seberapa. Tapi yang membuat lelaki itu berdiri bukan keberanian semata—melainkan karena ia tahu, kekuatan sejati tak lahir dari otot dan besi, melainkan dari hati yang bersandar total pada Tuhan.

Ia adalah Rasulullah ﷺ.

Malam itu, tangisnya menyatu dengan bumi. Sujudnya mengguncang langit. “Ya Allah, jika pasukan kecil ini binasa, tidak ada lagi yang menyebut nama-Mu di bumi ini.”

Air mata membasahi wajahnya. Ia tahu esok adalah hari besar. Tapi malam ini adalah malam penentuan. Malam di mana langit menjadi saksi bahwa kemenangan bukan diraih oleh strategi, tapi oleh cinta yang paling dalam kepada Yang Maha Kuasa.


---

Berabad-abad setelah malam itu, seorang pemuda berdiri di bawah temaram lampu minyak di dalam kemahnya. Jubahnya lusuh, tapi matanya berkilat. Ia bukan sekadar panglima. Ia adalah pewaris malam-malam panjang para nabi—Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pasukan Salib mengelilingi Yerusalem. Eropa telah mengirim segala yang mereka punya. Raja-raja, kesatria, imam perang, hingga rakyat awam ikut menjadi darah di medan yang dijanjikan gereja sebagai jalan menuju surga.

Tapi malam itu, Shalahuddin tak tidur.

Ia menulis surat panjang kepada Tuhannya, bukan dengan pena, tapi dengan air mata. Ia tahu, Yerusalem bukan hanya tanah. Ia adalah amanah. Ia adalah tempat yang telah disucikan oleh langkah para nabi. Dan untuk itu, ia tidak meminta kepada pasukannya, melainkan kepada Pemilik langit dan bumi.

“Ya Allah,” bisiknya lirih, “Aku tak lagi memiliki kekuatan selain-Mu. Aku telah habis. Tapi aku percaya Engkau tidak akan pernah habis. Maka biarlah malam ini menjadi saksi bahwa aku menyerahkan segalanya kepada-Mu.”

Air mata menetes ke bumi, menyatu dengan tanah para syuhada. Dan esoknya, sejarah mencatat: Yerusalem kembali dalam pelukan Islam. Tanpa pembantaian. Tanpa darah balas dendam. Hanya ada kedamaian dan keadilan.


---

Namun jauh sebelum itu, bahkan sebelum Shalahuddin dilahirkan, seorang kaisar duduk terpaku di atas kudanya. Langkahnya berat. Konstantinopel terasa lebih jauh dari biasanya, meski ia sudah melewati separuh perjalanan.

Ia adalah Heraklius. Kaisar agung Romawi Timur. Di bawah kekuasaannya, Romawi adalah peradaban besar. Tapi hari ini, ia pulang membawa luka.

Pasukannya hancur di tangan pasukan kaum muslimin. Bukan karena senjata mereka lebih baik, tapi karena ada sesuatu yang tak ia mengerti. Maka ia bertanya kepada seorang prajurit yang pernah tertawan di tangan kaum muslimin, “Apa kekuatan mereka?”

Jawaban sang prajurit menusuk kalbunya seperti belati: “Mereka menang bukan karena senjata. Tapi karena shalat malam mereka, puasa mereka, hati mereka yang bersih. Mereka tidak menyerang kecuali setelah memperingatkan. Mereka tidak menjarah, tetapi membawa kedamaian.”

Heraklius terdiam. Dalam diamnya, ia tahu—kekuasaan ini akan jatuh, bukan karena pasukan yang lebih kuat, tapi karena ruh yang lebih bersih.

“Kelak mereka akan merebut Konstantinopel,” gumamnya.


---

Semuanya berpulang pada satu hal: malam.

Malam yang sepi, yang tidak memerlukan sorakan, tidak dihadiri pasukan, tidak dikawal strategi. Tapi di malam-malam itulah lahir kemenangan. Karena malam bagi para penakluk sejati bukan tempat untuk tidur, tapi tempat untuk bertemu Sang Raja segala raja.

Nuruddin Zanky tahu itu. Maka setiap malam, ia basahi sejadahnya. Ia tak pernah lalai menangis kepada Allah. Bahkan saat tak ada perang pun, ia tetap berperang melawan nafsunya di malam-malam sunyi.

Ketika wafat, tanah kehilangan seorang pejuang, tapi langit mendapatkan kekasihnya.

Dan muridnya, Shalahuddin, memikul wasiat itu. Ia tak hanya mewarisi pedang gurunya, tapi juga air matanya. Ia tahu, tidak ada kemenangan sejati tanpa sujud yang panjang. Tidak ada benteng yang dapat dihancurkan sebelum diri ini merobohkan sombongnya di hadapan Ilahi.


---

Sebuah kenangan pun mengalir dalam benak seorang lelaki hari ini. Ia bukan jenderal. Bukan raja. Ia hanyalah seorang guru kecil di sudut desa.

Tapi malam-malam itu menggetarkan hatinya.

Ia membaca lembar-lembar sejarah seperti membaca cermin jiwanya. Ia tahu, tidak ada musuh sebesar dunia jika hatinya terhubung dengan Tuhan. Ia tahu, zaman ini bukan kekurangan strategi, tapi kekurangan rintihan.

Maka setiap malam, ia bangun. Tak ada yang tahu. Bahkan istrinya pun tak sadar. Tapi ia tahu: kalau pun ia tidak memenangkan dunia, setidaknya ia tidak kalah dalam perjuangan di hadapan Tuhan.

Dalam gelap, ia bersujud.

“Ya Allah,” ucapnya lirih, “aku mungkin tak akan menjadi seperti mereka. Tapi aku ingin menjadi bagian dari rantai panjang itu—rantai sujud, air mata, dan malam-malam yang melahirkan fajar kemenangan.”


---

Malam-malam ini tidak mati. Ia masih hidup di hati mereka yang percaya bahwa kekuatan tak datang dari dunia. Ia hidup dalam tangisan-tangisan sunyi para pecinta Allah yang tak dikenal manusia, tapi dikenali oleh para malaikat.

Malam-malam ini masih menyimpan rahasia kemenangan. Sebagaimana Badar menjadi saksi, Yerusalem menjadi bukti, dan Konstantinopel menjadi warisan.

Dan kita hari ini, tak perlu menunggu menjadi jenderal. Tak harus mengangkat pedang. Cukuplah kita hidupkan malam-malam kita, dan semesta akan mencatat kita sebagai bagian dari para penakluk: penakluk nafsu, keangkuhan, dan cinta dunia.

Karena sesungguhnya...

Tidak ada kemenangan tanpa air mata.

Dan tak ada pejuang sejati, tanpa malam-malam yang bersujud penuh cinta.


---

Ketika Madinah Tumbuh di Tengah Perang: Mengapa Sebagian Kota Runtuh?  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Perang, bagi sebagian bangsa, ...

Ketika Madinah Tumbuh di Tengah Perang: Mengapa Sebagian Kota Runtuh? 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Perang, bagi sebagian bangsa, adalah awal kehancuran. Tapi bagi Madinah, perang justru menjadi percikan yang menyalakan obor peradaban. Ketika kota-kota besar seperti Mekah, Persia, dan Romawi kehilangan napas karena konflik berkepanjangan, Madinah—yang kecil dan terancam dari segala arah—malah tumbuh menjadi poros dunia baru. Bagaimana mungkin kota yang dikepung musuh, terlibat perang hampir setiap tahun, justru berkembang menjadi pusat spiritual, militer, dan sosial?

Bukankah pertempuran menguras tenaga, waktu, dan sumber daya? Ya, kecuali jika pertempuran itu dipimpin oleh visi langit, bukan ambisi bumi.

Madinah: Kota yang Berjuang dan Bertumbuh

Sejak tahun kedua hijrah, Madinah nyaris tak pernah bebas dari ancaman perang: Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, Tabuk—deretan pertempuran yang seharusnya membuat kota ini bangkrut secara ekonomi dan psikologis. Namun realitas berkata lain. Madinah tidak hanya bertahan, tapi bangkit. Rahasianya?

Allah menurunkan konsep pembagian tugas yang sangat penting:

“Tidak sepatutnya bagi seluruh orang mukmin pergi (berperang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk mendalami agama, dan agar mereka memberi peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali, supaya mereka bisa menjaga diri.”
(QS At-Taubah: 122)

Inilah model pertahanan spiritual dan peradaban: sebagian berperang, sebagian mendalami ilmu. Madinah tidak seluruhnya ditarik ke medan tempur. Ada yang bertani, ada yang berdagang, ada yang belajar dan mengajarkan wahyu, ada yang mengatur pasar, ada yang menjadi guru, dan ada yang menyusun strategi.

Pertempuran bukan penghambat kehidupan, tapi bagian dari sistem ketahanan Madinah yang utuh dan adaptif.



Sementara Itu, Mekah Redup dan Retak dari Dalam

Bandingkan dengan Mekah, kota yang secara ekonomi lebih kuat, namun mentalitasnya rapuh. Di bawah kuasa oligarki Quraisy, Mekah mengandalkan tiga hal:

1. Simbol keagamaan (Ka’bah)
2. Dominasi dagang
3. Retorika keturunan dan kehormatan suku

Namun semua itu tidak cukup melindungi kota dari kehancuran moral dan sosial. Ketika Islam datang dengan tawaran nilai, ilmu, dan keadilan sosial, mereka menolak. Dan penolakan terhadap kebenaran selalu melahirkan stagnasi. Bahkan ketika Perang Badar dan Uhud pecah, Mekah tidak tumbuh dalam semangat, tetapi justru tenggelam dalam kebencian dan dendam. Hasilnya: ekonomi mereka stagnan, kaum miskin tetap tertindas, dan generasi muda—seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash—lebih tertarik pada kekuatan Islam daripada kejayaan Quraisy.



Persia dan Romawi: Bangsa Besar yang Tumbang oleh Perang Tanpa Jiwa

Sebelum Islam, dua kekuatan dunia—Romawi dan Persia—terlibat perang panjang (602–628 M) yang melemahkan keduanya. Perang mereka bersifat imperialis dan egoistik: soal wilayah, balas dendam, dan kebanggaan dinasti. Rakyat sengsara, ekonomi anjlok, dan spiritualitas hampa.

Di Persia, pemberontakan internal dan penggulingan 14 raja dalam 4 tahun memperlihatkan keruntuhan sistem.

Di Romawi, korupsi birokrasi, penurunan loyalitas militer, dan krisis iman dalam gereja melumpuhkan stabilitas.

Keduanya menjadi raksasa yang kelelahan. Maka ketika Islam datang dengan visi tauhid, keadilan, dan sistem zakat, banyak rakyat wilayah jajahan justru menyambut pasukan Muslim sebagai pembebas, bukan penjajah.



Israel dan Gaza: Kemenangan yang Justru Melemahkan

Kita menyaksikan ironi sejarah berulang hari ini. Israel, negara dengan kekuatan militer modern, teknologi tinggi, dan dukungan besar dari Amerika dan Eropa, justru semakin rapuh setelah berperang melawan Gaza.

Sejak invasi Gaza pasca 7 Oktober 2023, Israel menghadapi:

Kehancuran ekonomi: sektor pariwisata anjlok, anggaran perang membengkak, pertumbuhan ekonomi hanya 0,3% (terendah dalam dua dekade).

Kerusakan sosial: lebih dari 200.000 warga Israel mengungsi dari wilayah utara dan selatan.

Krisis politik: konflik antara Netanyahu, militer, dan rakyat sipil memicu protes besar-besaran di Tel Aviv.

Kemunduran citra global: 60+ negara menyerukan gencatan senjata, kampanye boikot meningkat tajam.

Trauma psikologis: ratusan tentara mengalami PTSD, dan masyarakat hidup dalam ketakutan roket dan penyusupan.

Israel menang secara militer di atas kertas, tapi kalah secara moral, politik, dan spiritual. Gaza mungkin hancur secara fisik, tapi seperti Madinah dulu, yang kecil dan terblokade bisa menang karena memiliki arah, iman, dan tekad kolektif.



Apa Bedanya Madinah dengan Mekah, Persia, Romawi, dan Israel?

1. Madinah membangun dengan visi langit, bukan dominasi dunia.
2. Pertempuran diatur, bukan membabi buta.
3. Ilmu dan iman tetap dijaga di tengah perang.
4. Ekonomi dijalankan secara adil, tidak eksploitatif.
5. Masyarakat dilibatkan, bukan diperalat.
6. Ketahanan spiritual jadi pusat kekuatan.



Pertempuran Bisa Membunuh Atau Melahirkan Peradaban

Perang bukan hanya soal senjata. Perang adalah ujian visi dan nilai. Madinah membuktikan bahwa pertempuran bisa menjadi jalan pertumbuhan jika dipimpin oleh orang-orang yang sabar, jujur, dan memiliki misi agung. Tapi perang bisa menjadi jalan kematian ketika hanya dipenuhi ambisi, dendam, dan kekosongan spiritual.

Di zaman modern, Israel memperlihatkan bahwa teknologi dan senjata tak cukup membuatmu menang. Ketika rakyatmu tak percaya lagi pada pemerintah, dan dunia memalingkan wajah karena kezalimanmu, maka bom sekuat apapun tidak akan menguatkanmu.

Sedangkan Gaza, seperti Madinah dulu, menunjukkan bahwa kota yang terlihat lemah bisa menjadi pusat perlawanan dan peradaban jika didorong oleh nilai, pengorbanan, dan solidaritas.



Penutup

Madinah tidak menang karena perangnya. Tapi karena visi Rasulullah ﷺ yang membagi peran, menanam ilmu, membangun sistem, dan menginspirasi jiwa-jiwa. Kota itu tumbuh bukan dari reruntuhan musuh, tapi dari kebangkitan ruhani para sahabat.

Kini sejarah seolah mengulang. Gaza, seperti Madinah, dikepung dan dibombardir. Tapi mereka tetap melahirkan pemuda-pemuda berani, pemikir, dan syuhada. Sementara itu, kekuatan dunia yang menyerang mereka mulai kehilangan semangat, narasi, dan legitimasi.

Maka siapa pun yang memimpin kota hari ini, belajarlah dari Madinah: bahwa kota yang bertumbuh bukanlah yang bebas dari perang, tetapi yang tahu untuk apa mereka bertahan, dan kepada siapa mereka berserah.

Dari Mu’tah ke Gaza: Ketika Panglima Gugur, Perlawanan Justru Bangkit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel membunuh para pemimpin G...

Dari Mu’tah ke Gaza: Ketika Panglima Gugur, Perlawanan Justru Bangkit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Israel membunuh para pemimpin Gaza, berharap perlawanan padam. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: lahir generasi baru, lebih cerdas, lebih berani, dan lebih mematikan

Dalam sejarah militer Islam, Perang Mu’tah adalah pelajaran besar tentang krisis dan kebangkitan. Ketika tiga panglima Muslim gugur secara beruntun—Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah—pasukan Islam tidak lumpuh. Mereka bermusyawarah, menunjuk pemimpin baru di tengah kobaran perang, dan terus melanjutkan perjuangan. Dari situ lahirlah Khalid bin Walid, panglima muda yang cerdas dan taktis, yang menyelamatkan pasukan dari kehancuran total melalui manuver mundur strategis.

1.400 tahun kemudian, sejarah itu seperti berulang. Di Gaza—tanah yang tidak jauh dari tapal batas Mu’tah—para pemimpin perlawanan Palestina dibunuh satu per satu oleh Israel. Dari Syekh Ahmad Yasin, Dr. Rantisi, Abu al-Ata, hingga puluhan komandan Al-Qassam dan Saraya Al-Quds, tak satu pun dibiarkan hidup lama. Tapi alih-alih perlawanan melemah, Gaza justru menjadi lebih berani, lebih terorganisir, dan lebih canggih dalam taktik perang kota dan infiltrasi.



Mu’tah dan Gaza: Dua Medan, Satu Spirit

Mu’tah dan Gaza mungkin berbeda zaman, tapi keduanya menyimpan semangat yang sama: ketika panglima gugur, ruh perjuangan justru menyala.

Di Mu’tah, 3.000 pasukan Muslim menghadapi lebih dari 100.000 pasukan Romawi dan Arab Kristen. Ketika tiga pemimpin syahid, para sahabat tidak menunggu perintah pusat. Mereka bermusyawarah di medan perang dan memilih Khalid bin Walid, pemuda yang bahkan belum lama masuk Islam. Hasilnya luar biasa: bukan hanya keselamatan pasukan, tapi munculnya strategi militer Islam yang fleksibel dan adaptif.

Di Gaza, strategi serupa hidup kembali dalam bentuk modern. Israel menyangka bahwa dengan membunuh tokoh sentral, mereka bisa mematikan arah. Tapi Gaza telah menyiapkan sistem regenerasi jauh lebih cepat dari kecepatan rudal. Saat satu pemimpin gugur, sepuluh lainnya sudah selesai dilatih di terowongan, di masjid, di ruang bawah tanah yang sunyi tapi penuh tekad.



Israel Membunuh, Tapi Tak Memahami

Israel percaya pada dogma militer konvensional: kill the commander, collapse the troops. Tapi sistem Islam tidak bekerja seperti itu. Kepemimpinan bukan terpusat pada satu figur. Ia terdistribusi dalam kesadaran umat.

Di Gaza, perlawanan tidak dibangun di atas figur, tapi pada jaringan, musyawarah, dan kesadaran akidah. Mereka tidak hanya mengganti panglima, tapi melahirkan pola perlawanan baru: sistem shura internal, kaderisasi militer organik, dan keahlian teknologi tempur yang terus berkembang—dari roket jarak menengah, drone penyusup, hingga sabotase jaringan komunikasi dan penyergapan urban.

Sementara itu, ironisnya, Israel justru mengalami krisis mobilisasi. Rakyatnya ogah direkrut. Tentara muda dilanda trauma karena membunuh anak-anak. Para pemimpin politik mereka sibuk bertengkar, saling menyalahkan. Negara yang membunuh panglima lawan, justru tak mampu mencetak prajurit sendiri.



Kesamaan yang Tak Terbantahkan

Mu’tah dan Gaza sama-sama memperlihatkan bahwa kekuatan Islam terletak pada jiwa kolektif yang sadar dan siap berkorban.

Di Mu’tah, pasukan selamat bukan karena jumlah, tapi karena kesatuan hati dan kecerdasan kolektif. Di Gaza, perlawanan bertahan bukan karena senjata, tapi karena kesadaran jihad yang hidup di dada rakyatnya.

Di Mu’tah, taktik Khalid bin Walid menyelamatkan pasukan dari kehancuran total. Di Gaza, taktik gabungan para komandan muda menghasilkan operasi-operasi spektakuler seperti Tufan al-Aqsa, penyergapan pasukan elite Israel, dan penguasaan wilayah yang tak disangka.

Di Mu’tah, lawannya adalah Byzantium, superpower abad ke-7. Di Gaza, lawannya adalah Israel, negara nuklir dengan teknologi tempur tercanggih di Timur Tengah. Tapi keduanya sama-sama terbentur pada satu tembok tak kasat mata: ruh jihad dan semangat yang tidak bisa dihancurkan dengan senjata.



Kemenangan yang Lahir dari Kesadaran

Apa yang menyatukan Mu’tah dan Gaza bukan hanya sejarah, tapi model peradaban kepemimpinan Islam.

Rasulullah ﷺ tidak membangun umat yang bergantung pada satu tokoh. Beliau membangun sistem: jika pemimpin gugur, maka umat siap melahirkan pemimpin baru dari barisan. Gaza adalah pengejawantahan modern dari sistem itu: tanpa negara, tanpa senjata canggih, tapi dengan kesadaran jihad yang diwariskan secara ruhiyah.

Israel menghancurkan rumah-rumah, tapi tidak bisa menghancurkan cita-cita. Mereka membunuh para komandan, tapi tidak bisa membunuh keyakinan. Mereka meledakkan markas, tapi tidak tahu bahwa basis perlawanan sejati hidup di dada anak-anak yang kehilangan ayahnya.



Jika Panglima Gugur, Siapa yang Bangkit?

Di Mu’tah, yang bangkit adalah Khalid bin Walid.
Di Gaza, yang bangkit adalah ribuan Khalid—tanpa nama, tanpa pangkat, tapi dengan kecerdasan dan keimanan.

Perlawanan bukan di tangan satu orang. Tapi di dada setiap yang beriman.
Dan selagi ruh itu hidup, perang belum berakhir—karena jiwa umat tak bisa dibunuh.

Jika dunia bertanya, mengapa Gaza tidak tumbang meski pemimpinnya terus dibunuh, maka jawablah:
Karena mereka tidak dipimpin oleh satu komandan. Mereka dipimpin oleh kesadaran.
Dan kesadaran, tidak bisa dibunuh dengan drone.

Ketika Rasulullah ﷺ Memilih Panglima dan Menentukan Jumlah Pasukan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam catatan sejarah militer Isla...

Ketika Rasulullah ﷺ Memilih Panglima dan Menentukan Jumlah Pasukan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Dalam catatan sejarah militer Islam, kemenangan bukan semata soal banyaknya pasukan atau kekuatan senjata. Rasulullah ﷺ menunjukkan kepada dunia bahwa strategi, visi, dan pembinaan sumber daya manusia jauh lebih menentukan hasil sebuah pertempuran daripada jumlah kepala dan bilah pedang. Di balik setiap ekspedisi dan perang yang beliau pimpin atau delegasikan, selalu ada kalkulasi matang, pertimbangan spiritual, dan misi pendidikan yang tersembunyi namun sangat menentukan masa depan umat.

Di sinilah letak seni strategi Rasulullah ﷺ. Tidak semua pasukan harus besar. Tidak semua panglima harus beliau sendiri. Tidak semua keputusan harus diambil satu arah. Ada ruang untuk pelatihan. Ada momen untuk regenerasi. Ada saatnya beliau memimpin sendiri. Dan ada waktunya beliau membiarkan para sahabat memilih pemimpin mereka sendiri di tengah kekacauan.



Pasukan Kecil: Mobilitas Tinggi, Tugas Spesifik

Dalam tahun-tahun awal hijrah, Rasulullah ﷺ mulai mengirim ekspedisi militer kecil. Jumlahnya kadang hanya 12, 30, atau 60 orang. Tujuannya bukan untuk perang terbuka, melainkan untuk pengintaian, pengamanan jalur dagang, atau menekan psikologi musuh.

Contohnya, pada tahun 1 Hijriah, Rasulullah ﷺ sendiri memimpin Ekspedisi Saif al-Bahr, dengan sekitar 30 orang menuju Laut Merah, untuk menyergap kafilah Quraisy. Dalam waktu berdekatan, beliau juga mengirimkan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ubaidah bin al-Harits masing-masing dengan 30–60 pasukan, dengan misi serupa. Kemudian Abdullah bin Jahsy ditugaskan memimpin 12 orang dalam operasi intelijen ke Nakhlah.

Ciri umum ekspedisi kecil ini: panglima selalu ditunjuk langsung oleh Rasulullah ﷺ, karena misi mereka sangat spesifik, rawan diplomatik, dan butuh orang yang sangat beliau percayai. Tidak ada data bahwa pasukan sekecil ini pernah memilih pemimpin mereka sendiri. Disiplin dan kecepatan lebih penting daripada musyawarah panjang.



Pasukan Besar: Konfrontasi dan Konsolidasi Kekuatan

Ketika situasi menuntut perang terbuka atau konsolidasi kekuatan politik, Rasulullah ﷺ mengirim pasukan besar, bisa mencapai ratusan hingga puluhan ribu. Dalam Perang Badar (2 H), beliau memimpin langsung 313 orang untuk menghadapi 1.000 pasukan Quraisy. Di Perang Uhud, pasukannya berjumlah sekitar 700. Dalam Perang Khandaq, jumlahnya melonjak jadi 3.000. Dan pada Perang Tabuk, Rasulullah ﷺ mengerahkan 30.000 pasukan sebagai manuver politik terhadap Byzantium.

Namun, tidak semua ekspedisi besar dipimpin langsung. Dalam Perang Mu’tah (8 H), Rasulullah ﷺ menunjuk panglima secara berjenjang: Zaid bin Haritsah, jika gugur digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib, lalu Abdullah bin Rawahah. Setelah tiga-tiganya gugur, pasukan di medan perang bermusyawarah dan memilih Khalid bin Walid sebagai panglima baru. Itu menjadi preseden penting: bahwa dalam situasi darurat, pasukan Muslim boleh dan mampu memilih pemimpinnya sendiri.

Dalam Ekspedisi Usamah bin Zaid (11 H), Rasulullah ﷺ menunjuk seorang panglima muda berusia 18 tahun, untuk memimpin pasukan besar yang berisi sahabat senior. Ini bukan semata soal taktik, melainkan pendidikan regenerasi: Islam tidak mengenal aristokrasi usia atau kasta darah. Yang penting adalah kapasitas dan kepercayaan.

Kapan Kecil, Kapan Besar?

Keputusan mengirim pasukan kecil atau besar selalu didasarkan pada tiga pertimbangan utama:

1. Skala ancaman dan jenis misi. Jika hanya pengintaian atau pengamanan, cukup dengan 10–30 orang. Jika menghadapi konfrontasi terbuka, maka dibutuhkan ratusan bahkan ribuan.

2. Letak geografis. Misi ke daerah terpencil dengan medan berat lebih cocok dengan pasukan kecil dan cepat.

3. Pesan politik dan spiritual. Kadang, mengerahkan pasukan besar bukan untuk perang, tapi untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan (seperti Perang Tabuk).



Mengapa Ada yang Dipimpin Langsung, Ditunjuk, atau Dimusyawarahkan?

Ketika Rasulullah ﷺ memimpin langsung, biasanya itu karena misi sangat strategis dan bernilai simbolik tinggi. Beliau ingin membangkitkan semangat, membuktikan kesatuan umat, dan menjadi teladan langsung di tengah pertempuran.

Namun ketika misi berada jauh, atau bersifat khusus, beliau menunjuk panglima. Dalam penunjukan ini, ada pesan kepercayaan dan pelatihan. Rasulullah ﷺ tidak hanya membentuk pasukan, tapi juga membentuk pemimpin.

Dan ketika kondisi benar-benar mendesak—panglima gugur di medan perang, dan tidak ada perintah lanjutan—maka musyawarah dipersilakan. Ini bukan kelemahan, tapi justru kematangan: pasukan Islam mampu mandiri dan solid bahkan tanpa instruksi pusat. Itulah yang terjadi di Mu’tah.



Kriteria Panglima Pilihan Rasulullah ﷺ

Dari sejarah ekspedisi yang ditugaskan Rasulullah ﷺ, kita bisa melihat pola jelas dalam pemilihan panglima:

Integritas spiritual: bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga kokoh imannya.

Kepercayaan Rasulullah ﷺ: biasanya para panglima adalah sahabat yang sangat dekat dan loyal.

Kemampuan strategi dan komunikasi: bisa menyusun taktik dan mengendalikan pasukan dari berbagai suku.

Kepemimpinan moral: mereka bukan hanya komandan, tapi teladan.


Penunjukan Usamah bin Zaid sebagai panglima adalah contoh paling tegas dari prinsip meritokrasi dalam Islam. Ia bukan dari kabilah terkemuka, bukan orang tua, tapi dipilih karena integritas dan kecakapannya.



Musyawarah: Bukan Alternatif, Tapi Bukti Kedewasaan

Musyawarah memilih panglima bukan rencana cadangan. Ia adalah bukti bahwa sistem pendidikan Rasulullah ﷺ berhasil. Ketika pasukan Muslim di Mu’tah bermusyawarah dalam keadaan genting dan menunjuk Khalid bin Walid, itu menunjukkan bahwa mereka sudah matang—secara akal, akhlak, dan kepemimpinan.

Rasulullah ﷺ tidak membentuk pasukan yang bergantung padanya. Beliau membentuk umat yang siap tegak tanpa beliau.



Strategi Rasulullah ﷺ adalah Pendidikan Kepemimpinan

Dalam strategi militer Rasulullah ﷺ, jumlah pasukan dan siapa yang memimpin bukan sekadar pilihan teknis. Di balik semua itu ada logika pendidikan, pelatihan, dan regenerasi. Umat Islam tidak hanya diajarkan untuk taat pada satu pemimpin, tapi juga untuk siap menjadi pemimpin ketika keadaan menuntut. Rasulullah ﷺ membentuk sistem yang hidup—yang tahu kapan mendengar, kapan memimpin, dan kapan bermusyawarah.

Di zaman ketika regenerasi kepemimpinan menjadi isu besar di banyak bangsa dan organisasi, strategi Rasulullah ﷺ ini memberi pelajaran penting: bahwa kepemimpinan adalah hasil dari kepercayaan, pelatihan, dan pemberdayaan. Ia bukan diwariskan, bukan dipaksakan, dan bukan pula dikultuskan.

Dan karena itulah, Rasulullah ﷺ tidak hanya memenangkan perang. Beliau memenangkan masa depan.

Gerbong yang Tidak Pernah Dihentikan: Mengapa Munafikin Dibiarkan dalam Barisan Umat? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di antara lemba...

Gerbong yang Tidak Pernah Dihentikan: Mengapa Munafikin Dibiarkan dalam Barisan Umat?


Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di antara lembaran perang dan wahyu, ada satu bab yang tak pernah ditutup: gerbong kaum munafik. Mereka tidak pernah memulai perang besar, tapi selalu menjadi luka kecil yang tak sembuh-sembuh. Mereka tidak memikul pedang, tapi melumpuhkan daya tempur. Tidak mengangkat panji, tapi menggoyahkan semangat. Mereka bukan kafir terang-terangan. Mereka lebih licik: bersembunyi di balik takbir dan saf shalat.

Yang mencengangkan: Rasulullah ﷺ membiarkan mereka tetap dalam barisan. Bahkan setelah mereka:

1. Melemahkan daya tempur dalam setiap ekspedisi (Uhud, Tabuk)

2. Merancang pembunuhan terhadap Nabi ﷺ (Peristiwa Aqabah)

3. Menyebar fitnah kehormatan terhadap Aisyah RA (Haditsul Ifki)

4. Mendirikan masjid makar (Masjid Dhirar)

5. Bersekongkol dengan Yahudi dan Quraisy dalam senyap

Mengapa tidak ada gelombang penangkapan? Mengapa tidak ada eksekusi? Mengapa nama-nama mereka hanya dipegang oleh satu sahabat: Hudzaifah bin Al-Yaman—dan tidak diumumkan ke publik?

Ini bukan kelemahan strategi. Ini adalah strategi kenabian tingkat tinggi, melampaui logika kekuasaan dan dendam politik. Ini adalah senyap yang menyelamatkan umat dari ledakan fitnah internal.



Kaum Munafik: Musuh yang Tidak Pernah Diusir

Mereka bukan orang luar. Mereka bagian dari masyarakat Muslim. Mereka ikut perang, ikut majelis, bahkan menjadi juru bicara komunitas. Tapi mereka punya misi terselubung: melemahkan dari dalam.

1. Di Tabuk, mereka menyebarkan ketakutan dan rasa malas:

“Jangan pergi dalam panas ini!” (QS. At-Taubah: 81)

2. Di Aqabah, mereka menyusun rencana pembunuhan Nabi ﷺ—menyusup malam hari dan mencoba menjatuhkan unta beliau dari celah gunung.

3. Di Madinah, mereka membangun Masjid Dhirar—bukan untuk shalat, tapi untuk menyusun konspirasi.

4. Dalam peristiwa Haditsul Ifki, mereka menebar gosip keji terhadap Aisyah RA, istri Nabi ﷺ, untuk menghancurkan reputasi beliau dari dalam rumah.

5. Dalam perang-perang besar, mereka kerap menyebar desersi, menggembosi semangat, dan membocorkan informasi ke musuh.



Mengapa Rasulullah ﷺ Tidak Mengumumkan Nama-Nama Mereka?

Dalam tekanan situasi dan tuntutan sahabat, Nabi ﷺ tetap merahasiakan identitas kaum munafik. Hanya satu orang yang diberi daftar nama: Hudzaifah bin Al-Yaman.

Umar bin Khattab RA yang tegas pun bertanya:
“Apakah aku termasuk?”

Bahkan saat memilih pejabat, Umar mengamati siapa yang dishalatkan oleh Hudzaifah—dan siapa yang tidak. Tapi Hudzaifah tetap menjaga rahasia. Ini bukan soal individu. Ini adalah proyek besar menjaga kohesi umat.

Nabi ﷺ bersabda:

“Jika aku membunuh mereka, orang-orang akan berkata: Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”
(HR. Bukhari)

Bayangkan efek sosialnya: runtuhnya kepercayaan publik, fitnah massal, dan kekacauan internal. Nabi ﷺ tidak sedang menyelamatkan dirinya—beliau sedang menyelamatkan masa depan umat.



Ini Bukan Kelemahan—Ini Strategi Kelas Tertinggi

Rasulullah ﷺ tidak membiarkan pengkhianat hidup tanpa sebab. Beliau:

1. Mengawasi dengan cermat
2. Mencatat secara pribadi
3. Menunggu waktu hingga masyarakat sendiri menyaksikan kontradiksi dan kelicikan mereka

Inilah strategi “exposure through contradiction”—membiarkan mereka terbongkar oleh diri mereka sendiri.

Seperti dalam kasus Abdullah bin Ubay bin Salul, yang berkata:

“Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia akan mengusir yang hina.”

Tapi justru anak kandungnya sendiri yang menghadangnya dan berkata:

“Engkau tidak akan masuk Madinah kecuali dengan izin Rasulullah ﷺ.”

Itu pukulan moral yang lebih telak daripada pedang.



Membangun Imunitas Moral, Bukan Membunuh Virusnya

Rasulullah ﷺ mengajarkan:

“Bangun masyarakat yang tahan terhadap racun. Bukan hanya membunuh peracun satu per satu.”

Andai Nabi ﷺ mengeksekusi satu munafik hari ini, besok bisa lahir dua, karena umat mulai saling curiga. Tapi jika umat dibangun dengan:

1. Pendidikan iman
2. Kecerdasan akal
3. Kepekaan sosial
4. Kebersihan hati

Maka racun akan ditolak otomatis. Umat akan membentengi dirinya sendiri.



Refleksi Zaman Ini: Siapa Munafik Hari Ini?

Mereka tidak selalu berpakaian aneh. Kadang berjubah, bersorban, lantang bicara tentang keadilan—tapi menjadi agen pembusukan dari dalam.
Kadang mereka membangun “masjid” bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk platform digital, media, forum, atau LSM yang menyebarkan keraguan terhadap Islam.

Mereka tidak frontal, tapi menyusup, menggoyahkan kepercayaan umat, menyuntikkan ideologi musuh lewat kanal yang "halal".

Dan sayangnya, kita sibuk memburu kafir di luar, tapi lalai membaca gerbong pengkhianat di dalam.



Utsman bin ‘Affan: Mewarisi Strategi Kenabian

Gerbong ini tak berhenti di zaman Nabi ﷺ. Di masa Khalifah Utsman bin ‘Affan RA, kaum munafik berwajah revolusioner kembali bergerak.

Mereka menyebar propaganda dari Mesir, Kufah, dan Basrah. Merekayasa dokumen, menyebarkan fitnah, dan memprovokasi opini publik.
Tapi Utsman RA tidak memerintahkan penumpasan massal. Ketika para sahabat menyarankan untuk membunuh para pemberontak, beliau menjawab:

“Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang menumpahkan darah kaum Muslimin.”

Tapi Utsman RA juga tidak menyerahkan kekuasaan kepada mereka. Ia tetap bertahan di rumahnya, menjaga legitimasi kekhalifahan. Ia memilih mati syahid dalam sabar, bukan menyerahkan kekuasaan kepada kaum pengacau yang menyamar sebagai penuntut kebenaran.

Beliau memegang amanah Nabi ﷺ:

“Akan datang suatu masa, engkau (wahai Utsman) akan diperintahkan untuk melepas baju yang Allah pakaikan kepadamu. Tapi jangan lepaskan.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban)



Gerbong Ini Masih Berjalan—Apakah Kita Sadar?

“Umat ini tidak akan tumbang oleh tentara kafir, tapi akan remuk oleh racun yang disebar dari dalam, jika tak ada yang menjaga kesadaran.”

Gerbong munafikin masih diluncurkan. Tapi strategi Rasulullah ﷺ dan para Khulafaur Rasyidin masih hidup:

1. Menjaga rahasia, bukan membabi buta
2. Menahan emosi, bukan reaktif membakar
3. Membangun benteng iman, bukan paranoia
4. Melatih kesadaran umat, bukan kultus kepemimpinan



Bukan Lagi Pertanyaan: Siapa Munafik Hari Ini?

Pertanyaannya adalah:

Apakah kita sudah membangun masyarakat yang kebal terhadap pengkhianatan?
Atau justru membuka pintu dan membiarkan gerbong itu lewat, lengkap dengan sambutan dan karpet merah?

Gerbong ini tidak pernah berhenti. Tapi kita bisa memilih:
Menjadi penumpang yang tertipu...
atau menjadi penjaga yang sadar.

Mata yang Tidak Tidur: Intelijen Rasulullah ﷺ dan Rahasia Keunggulan Strategis Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam diamnya ma...

Mata yang Tidak Tidur: Intelijen Rasulullah ﷺ dan Rahasia Keunggulan Strategis Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam diamnya malam, pasukan tidur, pemimpin pun beristirahat. Tapi ada satu orang yang tetap terjaga: Rasulullah ﷺ. Ia tidak hanya menjaga shalat malamnya, tapi juga menjaga umatnya dari kebutaan strategi. Ia bukan hanya nabi yang membawa wahyu, tapi juga panglima yang membaca medan. Dan salah satu keunggulan terbesarnya adalah: kekuatan intelijen—membaca musuh bahkan sebelum mereka menyerang.



1. Menyusup Tanpa Terdeteksi: Abbas bin Abdul Muththalib dan Quraisy

Sebelum Perang Badar, Rasulullah ﷺ menerima surat rahasia dari seseorang di Mekkah. Isinya mengejutkan: jumlah pasukan Quraisy, senjata mereka, arah perjalanan, dan waktu keberangkatan. Penulisnya? Abbas bin Abdul Muththalib, paman beliau sendiri, yang kala itu belum hijrah.

“Wahai keponakanku,” tulis Abbas dalam surat itu, “mereka tidak datang untuk berdagang. Mereka datang untuk memadamkan cahayamu. Hati-hatilah, dan bertindaklah sebelum terlambat.”

Rasulullah ﷺ tidak menyia-nyiakan informasi ini. Ia mengubah arah perjalanan, menutup semua rute agar Quraisy tak bisa lari, dan akhirnya meraih kemenangan pertama besar: Badr.

Inilah keunggulan intelijen: menang sebelum bertempur.



2. Dialog Diam-Diam: Hudzaifah bin Al-Yaman di Perkemahan Abu Sufyan

Dalam Perang Khandaq, Madinah dikepung ribuan pasukan koalisi. Tapi dalam kondisi genting itu, Rasulullah ﷺ tidak hanya berdoa. Ia memanggil Hudzaifah bin Al-Yaman dan berbisik:

"Pergilah ke tengah perkemahan musuh, lihat keadaan mereka, lalu kembali tanpa membuat mereka tahu bahwa engkau dari pihak kita."

Hudzaifah menyelinap malam-malam, dingin menggigit, nyawa di ujung tombak. Tapi ia berhasil kembali dan berkata:

"Ya Rasulullah, mereka gelisah, mereka kelaparan, dan mereka akan mundur karena cuaca buruk dan ketidaksepakatan."

Dengan satu misi, Rasulullah ﷺ tahu bahwa Ahzab akan bubar. Dan benar: esok harinya, pasukan koalisi tercerai-berai tanpa satu panah pun diluncurkan dari Madinah.



3. Abdullah bin Jahsy: Mata yang Mengawali Perang Badr

Beberapa minggu sebelum Badar, Rasulullah ﷺ mengirim Abdullah bin Jahsy dengan pesan tertutup:

“Bukalah surat ini setelah dua hari perjalanan, dan jangan paksakan siapa pun ikut jika mereka tak sanggup.”

Isinya singkat tapi strategis:

"Amati rute dagang Quraisy, jangan serang, tapi laporkan semuanya."

Abdullah memata-matai rute dagang Abu Sufyan yang membawa harta kekayaan besar dari Syam. Misi ini membuka jalan besar: ekonomi Quraisy terguncang, dan Perang Badr pun pecah karena mereka ingin membalas.



4. Bertanya pada Orang Biasa: Kenapa?

Mengapa Rasulullah ﷺ bertanya pada pedagang, musafir, orang tua, bahkan wanita dari kafilah dagang?

Karena data tidak selalu datang dari tentara. Kadang para pedagang lebih tahu kondisi pasar senjata, kabilah lebih tahu pergeseran aliansi, musafir mendengar obrolan antara pemimpin. Rasulullah ﷺ tahu: semua orang adalah potensi intelijen.

Dalam sirah disebutkan, Nabi ﷺ pernah bertanya kepada seorang wanita dari Makkah tentang keadaan kampungnya. Ia menjawab santai:

“Orang-orang Quraisy sedang menyiapkan sesuatu. Aku tak tahu pasti, tapi kudengar banyak orang keluar masuk rumah Abu Jahl.”

Kalimat sederhana itu cukup bagi Nabi ﷺ memahami: ada konspirasi besar yang sedang disusun.



5. Surat-Surat Rahasia Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ tidak hanya menyadap, tapi juga membangun perang informasi melalui surat diplomatik. Bahkan ini jadi strategi untuk menyusupkan pengaruh Islam ke dalam benak para pemimpin besar.

Surat kepada Heraklius (Romawi):

"Masuk Islamlah, engkau akan selamat. Jika engkau menolak, maka dosa seluruh rakyatmu atasmu."

Surat ini membuat Heraklius memanggil Abu Sufyan (yang belum masuk Islam) dan menanyainya panjang lebar. Heraklius akhirnya berkata:

“Jika apa yang kau katakan benar, maka orang itu (Muhammad) akan menguasai tempat di bawah kakiku ini.”
(HR. Bukhari)

Sungguh, surat itu adalah senjata psikologis yang menanamkan keraguan di jantung Romawi.



6. Mengawasi Kaum Munafik: Abdullah bin Ubay

Rasulullah ﷺ tahu siapa tokoh munafik. Tapi beliau tak sembarang menindak. Beliau sabar mengamati hingga terbongkar sendiri.

Dalam Perang Tabuk, Abdullah bin Ubay menghasut orang agar tidak ikut. Tapi Nabi tidak menahannya langsung. Beliau biarkan publik melihat siapa yang berani datang ke medan dan siapa yang sembunyi.

Ketika wahyu turun membongkar tipu daya mereka, Rasulullah ﷺ telah memiliki bukti-bukti sosial, bukan hanya prasangka.



7. Ekspedisi Tabuk: Menyusup ke Syam Sebelum Pasukan Berangkat

Rasulullah ﷺ menugaskan para sahabat untuk mengamati Syam dari jauh:

Amr bin Umayyah dikirim menyamar sebagai pedagang

Salman Al-Farisi menggali informasi dari hubungan lamanya di perbatasan


Maka ketika Tabuk digelar, Rasulullah ﷺ tahu bahwa Romawi tak akan datang karena sedang menghadapi krisis dalam negeri.

Itu sebabnya beliau tetap berangkat, bukan untuk perang fisik, tapi untuk menunjukkan kekuatan politik dan moral. Itulah kemenangan psikologis Islam.



Kecerdasan Strategis Nabi ﷺ: Perang adalah Tipu Daya, Tapi Tidak Berdusta

Rasulullah ﷺ tak pernah menyebar hoaks, tapi mengolah kebenaran jadi kekuatan. Beliau menyadap bukan untuk menipu, tapi untuk mencegah tragedi.

"Perang adalah tipu daya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

"Barangsiapa menjaga rahasia, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan."
(HR. Thabrani)



Apa Pelajaran Kita Hari Ini?

Di zaman digital, kita punya semua alat canggih: drone, satelit, spyware. Tapi kecerdasan Rasulullah ﷺ tetap tak tergantikan: menyaring, menyusun, dan menggerakkan informasi dengan hikmah dan nurani.

Jika kita ingin membangun kekuatan umat hari ini, kita tak cukup hanya orasi dan amarah. Kita butuh kekuatan intelijen, informasi, dan kesabaran—sebagaimana dicontohkan oleh panglima agung, Rasulullah ﷺ.



Panglima yang Membaca, Bukan Hanya Menyerang

Dalam setiap pasukan, ada yang membawa pedang dan ada yang membawa mata. Rasulullah ﷺ adalah keduanya. Dan beliau mewariskan kepada kita pelajaran penting: kemenangan diraih bukan hanya oleh keberanian, tapi oleh kecerdasan dan kesadaran.

Musang di Dalam Kandang: Rasulullah ﷺ dan Kecerdasan Kontra Intelijen Umat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah umat Islam, ...

Musang di Dalam Kandang: Rasulullah ﷺ dan Kecerdasan Kontra Intelijen Umat


Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam sejarah umat Islam, musuh dari luar memang menakutkan. Tapi musuh dari dalam? Mereka lebih mematikan. Mereka ikut salat, ikut perang, ikut dalam barisan Nabi ﷺ, tapi diam-diam mengasah belati di balik sorban. Mereka bukan sekadar mata-mata; mereka adalah racun yang disusupkan ke dalam darah perjuangan.

Namun justru di titik paling gelap itu, kecemerlangan strategi Rasulullah ﷺ bersinar. Beliau tidak hanya membentuk pasukan yang kuat, tetapi juga komunitas yang tahan infiltrasi, masyarakat yang memiliki daya imunitas ideologis dan sosial, serta sistem kewaspadaan moral yang hidup dari dalam. Inilah kisahnya.



Aqabah: Kudeta Gagal yang Ditelan Malam

Perjalanan pulang dari Tabuk seharusnya menjadi kemenangan moral. Tapi di tengah sunyi malam, saat Nabi ﷺ memilih jalan terjal bernama Aqabah, 12 orang munafik dengan wajah tertutup menyusup, mengincar nyawa beliau.

Mereka merencanakan sebuah "kecelakaan": menakut-nakuti unta Nabi agar terjatuh ke jurang. Tapi mereka tak tahu, Rasulullah ﷺ tak pernah sendirian. Hudzaifah bin Al-Yaman dan Ammar bin Yasir ada di sana — dua sahabat yang tak hanya menjaga tubuh Nabi, tapi juga menjaga detak nadi peradaban.

Dengan pedang dan keberanian, para penyusup dihalau. Nabi ﷺ tidak bereaksi keras, tidak gegabah mengeksekusi mereka. Nama-nama mereka diserahkan diam-diam kepada Hudzaifah. Maka Hudzaifah pun dikenal sepanjang zaman sebagai: Shahibu Sirri Rasulillah ﷺ — sang pemegang rahasia Nabi.

Mengapa Nabi ﷺ tidak mengumumkan mereka? Karena pemimpin sejati tidak memimpin dengan amarah, tapi dengan visi. Bukan sekadar ingin menyingkirkan pengkhianat, tapi ingin menjaga umat agar tidak terbelah karena fitnah. Rasulullah ﷺ tahu: ada waktu untuk membongkar, ada waktu untuk membiarkan sejarah yang menyingkapkan.



Bani Musthaliq: Satu Kalimat yang Hampir Memecah Umat

Setelah Perang Bani Musthaliq, saat pasukan sedang dalam perjalanan pulang, pertengkaran kecil antara seorang Muhajirin dan Anshar dimanfaatkan oleh Abdullah bin Ubay, tokoh utama kaum munafik.

Ia berkata lantang:

“Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia (yakni dirinya) akan mengusir yang hina (yakni Rasulullah)!”

Ini bukan sekadar penghinaan, ini adalah retorika kudeta politik. Dan Umar pun naik pitam. “Izinkan aku memenggal kepalanya, ya Rasulullah!” Tapi Rasulullah ﷺ menolak.

“Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”

Di sinilah kejeniusan kenabian tampil. Rasulullah tidak memberi musuh amunisi opini. Beliau biarkan waktu dan peristiwa menghakimi. Dan betul — tak lama setelah itu, putra Abdullah bin Ubay sendiri, yang bernama Abdullah, menghadang ayahnya di pintu Madinah dan berkata:

“Engkau tak boleh masuk sebelum Rasulullah mengizinkan.”

Kita belajar: Rasulullah tidak perlu membungkam para penyusup dengan pedang, cukup dengan membuka mata masyarakat agar mereka tersingkir oleh keadilan sosial.



Masjid Dhirar: Di Balik Kubah, Ada Konspirasi

Kaum munafik bahkan sempat membangun masjid. Masjid Dhirar — dibangun bukan untuk shalat, tapi untuk makar. Mereka ingin menjadikannya pusat propaganda anti-Rasulullah ﷺ.

Namun Allah membongkar tipu daya itu:

“Dan (ada pula) orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan, kekafiran, dan memecah belah orang-orang mukmin…”
(QS. At-Taubah: 107)

Rasulullah ﷺ pun tak ragu: beliau perintahkan masjid itu dihancurkan.

Ya, jika masjid berubah menjadi ruang konspirasi, maka menghancurkannya adalah jihad. Islam bukan soal simbol, tapi soal substansi. Dan substansi Islam adalah kebenaran, bukan kedok untuk kebusukan.



Hatib bin Abi Balta’ah: Surat Rahasia yang Dimaafkan

Sebelum Fathul Makkah, seorang sahabat bernama Hatib bin Abi Balta’ah mengirim surat rahasia kepada Quraisy, memberitahukan rencana Nabi. Sebuah pelanggaran serius. Namun saat ia dipanggil dan diinterogasi, Hatib berkata:

“Aku tidak berkhianat karena benci Islam, tapi karena ingin melindungi keluargaku yang tak berdaya di Makkah.”

Ali pun siap mengayunkan pedang. Tapi Nabi ﷺ bersabda:

“Dia ikut perang Badar. Siapa tahu Allah telah mengampuni seluruh pejuang Badar.”

Pelajaran penting: tidak semua penyusup adalah musuh. Sebagian adalah orang lemah yang salah jalan. Rasulullah ﷺ memisahkan antara pengkhianat dan yang sedang diuji imannya. Beliau adil, bukan brutal.



Strategi Rasulullah ﷺ: Mendeteksi, Menyaring, Bukan Membabi Buta

Rasulullah ﷺ tahu bahwa pasukan tidak hanya butuh pedang, tapi juga imunitas sosial dan spiritual. Beliau membiarkan medan tempur, musim panas, dan jarak perjalanan sebagai alat penyaring. Tabuk adalah contohnya. Mereka yang malas, ragu, atau punya niat busuk — gugur sendiri sebelum panah dilepaskan.

Dan mereka yang tetap ikut perang walau kelelahan, walau miskin — mereka itulah yang disebut dalam Al-Qur’an:

“Tidak ada dosa atas orang yang tidak ikut perang karena lemah atau miskin, selama mereka tulus kepada Allah dan Rasul-Nya...”
(QS. At-Taubah: 91)

Musuh sejati bukan di luar. Musuh sejati adalah ketidakjujuran dalam niat. Dan Rasulullah ﷺ membongkarnya bukan dengan brutalitas, tapi dengan hikmah, observasi sosial, dan kontrol narasi.



Ketika Musuh di Dalam Lebih Bahaya dari yang di Luar

Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa perang melawan penyusup bukan sekadar perang senjata, tapi perang akal dan nurani. Beliau membangun umat dengan kejujuran, memperkuat barisan dengan kesetiaan, dan menghadapi pengkhianat dengan strategi yang melampaui emosi.

“Umat ini tidak akan tumbang karena musuh dari luar, tapi akan luluh jika penyusup dari dalam dibiarkan tumbuh tanpa perlawanan.”

Kini, saat kita dikepung oleh infiltrasi media, fitnah digital, dan tokoh yang berpura-pura mencintai Islam — pelajaran dari Rasulullah ﷺ menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Bangkitkan mata yang jernih. Hidupkan jiwa yang tajam. Dan jangan biarkan barisan suci ini dikoyak dari dalam.

Kepedihan Pengobar Semangat: Jika Rasulullah Gugur, Untuk Apa Kita Hidup? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah Islam, ada sa...

Kepedihan Pengobar Semangat: Jika Rasulullah Gugur, Untuk Apa Kita Hidup?



Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam sejarah Islam, ada saat-saat ketika kabar buruk justru melahirkan semangat paling dahsyat. Bukan karena para sahabat Rasulullah ﷺ tidak berduka, tapi karena mereka tahu: bila kebenaran telah berdarah, maka tak ada lagi alasan untuk hidup dalam kemewahan, ketakutan, atau kompromi.

Di Perang Uhud, kabar gugurnya Nabi ﷺ sempat tersebar. Di Perang Mu’tah, tiga panglima Islam benar-benar syahid satu per satu. Di Perang Hunain, pasukan Muslim tercerai-berai. Namun semua momen ini tidak membuat pasukan hancur—justru membangkitkan kekuatan spiritual yang lebih dalam: bahwa hidup hanya bermakna jika dilanjutkan untuk cita-cita yang telah diperjuangkan para syuhada.

Dan semangat ini tidak berhenti di abad ke-7. Hari ini, kita menyaksikan para pejuang Palestina terus bertempur meski istri, anak, orang tua, bahkan para komandan tertinggi mereka dibunuh satu per satu. Seolah mereka sedang berkata, seperti sahabat dahulu:

"Jika pemimpin kami gugur, maka biarlah kami menyambung jalan mereka dengan darah kami!"



Uhud: Ketika Kabar Syahid Rasulullah ﷺ Menjadi Api Semangat

Saat pasukan Muslim hampir menang di Uhud, mereka lengah. Kemudian pasukan Quraisy menyerbu balik dari belakang bukit. Dalam kekacauan itu, Rasulullah ﷺ terluka parah. Kabar tersebar: Muhammad telah gugur!

Namun inilah detik-detik lahirnya syahadat aksi para sahabat. Anas bin Nadhr, yang belum ikut Perang Badar, berkata dengan suara membakar:

"Wahai kaum Anshar! Jika Muhammad telah terbunuh, maka apa gunanya hidup sesudahnya? Bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
(HR. Muslim)

Dan Al-Qur’an mengabadikan semangat ini dalam bentuk peringatan ilahi:

"Dan Muhammad hanyalah seorang rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang? Barang siapa yang berbalik, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun."
(QS. Ali Imran: 144)

Ini bukan sekadar ayat. Ini alarm iman. Bahwa perjuangan bukan untuk pribadi, tapi untuk risalah.



Mu’tah: Visualisasi Kematian yang Membakar Jiwa Kaum Beriman

Di medan perang Mu’tah, tiga panglima besar gugur berurutan: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Rasulullah ﷺ tidak menyembunyikan tragedi ini. Di Madinah, beliau menyampaikan kejadian itu secara langsung:

"Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan ia terbunuh pula. Lalu panji itu diambil oleh pedang dari pedang-pedang Allah: Khalid bin al-Walid, dan Allah memberinya kemenangan."
(HR. Bukhari)

Bayangkan: Rasulullah ﷺ menggambarkan satu demi satu sahabatnya gugur, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membakar semangat. Dan itu berhasil. Gugurnya tiga pemimpin besar tak menghentikan langkah, justru membentuk batu loncatan bagi kemenangan moral yang tak terlupakan.



Hunain: Pasukan Kocar-kacir, Tapi Alumni Badar Kembali Mengeras

Perang Hunain diawali dengan keunggulan jumlah. Namun jebakan lembah membuat pasukan Muslim porak-poranda. Rasulullah ﷺ berdiri tegak, menyerukan:

"Aku adalah Nabi, tidak berdusta! Aku adalah anak Abdul Muthalib!"
(HR. Muslim)

Saat sebagian besar pasukan lari, yang bertahan adalah segelintir veteran Perang Badar. Mereka bukan pasukan elit secara fisik, tapi mereka punya kekuatan spiritual dan pengalaman darah. Mereka kembali membentuk barisan, dan seruan Rasul menjadi pusat gravitasi iman.

"Dan di hari Hunain, ketika jumlahmu yang banyak membuatmu bangga, namun itu tidak berguna sama sekali bagi kalian..."
(QS. At-Taubah: 25)

Allah mengingatkan: bukan jumlah, tapi keteguhan yang memberi kemenangan.



Gaza: Ketika Syahid Komandan dan Keluarga Menjadi Energi Perlawanan

Hari ini, kita menyaksikan ulang semangat itu. Saat Israel membunuh komandan-komandan Hamas, Jihad Islam, dan para tokoh perlawanan, semangat justru tidak padam. Ketika keluarga mereka dibantai—istri, anak, saudara—pejuang Palestina tidak meninggalkan medan. Mereka menatap kamera dan berkata:

"Kami mencintai syahid seperti musuh kami mencintai hidup."

Para pejuang itu tidak lahir dari pabrik militer, tapi dari reruntuhan rumah, dari jenazah ayah, dari tangisan adik. Mereka tidak butuh orasi panjang—cukup satu suara panggilan: "Ribath fi Sabilillah!"

Seorang anak pejuang Palestina yang kehilangan seluruh keluarganya berkata dalam wawancara:

"Jika ibu dan ayahku dibunuh karena mereka Muslim, maka biarlah aku meneruskan hidup mereka dengan senapan."

Ini adalah Mu’tah di abad ke-21. Ini adalah Uhud di bawah langit Rafah. Ini adalah Hunain yang tidak lagi memerlukan jumlah, tapi niat.



Mengapa Karakter Ini Bisa Lahir?

Karena tauhid bukan teori. Karena syahadat bukan sekadar dua kalimat. Ia adalah janji hidup dan mati. Rasulullah ﷺ tidak membesarkan umat pengecut. Beliau menanamkan dalam dada para sahabat:

"Wahai manusia, janganlah kalian mengharap pertemuan dengan musuh, tapi jika kalian terpaksa bertemu, maka bersabarlah! Ketahuilah bahwa surga berada di bawah bayang-bayang pedang."
(HR. Bukhari)

Inilah kenapa mereka tidak gentar. Inilah kenapa Palestina tidak menyerah.



Jika Mereka Gugur, Mengapa Kita Diam?

Jika kabar syahid Rasulullah ﷺ membakar semangat sahabat, jika kematian para panglima membuat barisan semakin padat, jika kehancuran di Hunain justru melahirkan kemenangan—maka apa alasan kita untuk tidak bergerak saat hari ini umat kembali berdarah?

Kita tak diminta berperang jika tak mampu. Tapi kita pasti diminta untuk tidak tinggal diam. Hati, doa, harta, dan suara—semuanya bisa jadi peluru.

Jangan hanya jadi penonton. Karena sejarah tidak menulis penonton. Sejarah hanya mencatat siapa yang bertahan di jalan Nabi, meski semua kabar di sekitarnya buruk.


"Jika Muhammad telah terbunuh, maka bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
— Anas bin Nadhr, Uhud

"Surga itu berada di bawah bayang-bayang pedang."
— HR. Bukhari

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (238) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)