basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Sirah Sahabat

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Sirah Sahabat. Tampilkan semua postingan

Puasa, Cara Praktis Cerdas Finansial Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa hubungan antara puasa dan kecerdasan finansial? Mungkin terl...

Puasa, Cara Praktis Cerdas Finansial

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa hubungan antara puasa dan kecerdasan finansial? Mungkin terlihat jauh, bahkan seperti dua dunia yang berbeda. Namun sejatinya, kecerdasan finansial tidak pernah lepas dari kematangan jiwa. Dan puasa adalah latihan paling praktis dalam membentuk kematangan itu.

Puasa, lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah latihan spiritual yang membentuk ketahanan diri, kejernihan hati, dan kepekaan terhadap batas antara keinginan dan kebutuhan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa puasa adalah cara membersihkan jiwa:

> "Sesungguhnya kenyang menguatkan keinginan syahwat, dan puasa itu menghancurkannya."



Kenyang yang berlebihan menyuburkan syahwat dan menjauhkan seseorang dari kejernihan berpikir. Dalam konteks keuangan, syahwat adalah nafsu konsumtif, keinginan tak terbatas yang mendorong seseorang hidup di luar batas kemampuan. Ketika seseorang berpuasa, ia belajar menahan diri—dari makan, minum, hingga membeli hal-hal yang tidak perlu.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Al-Ghunyah menyamakan nafsu dengan binatang buas:

> "Nafsu bagaikan binatang buas. Bila ia kenyang, ia mengaum. Bila lapar, ia tunduk dan jinak."



Dalam kelaparan itulah seseorang mengenal batas. Ia tidak lagi dikendalikan oleh dorongan syahwat, tetapi oleh akal sehat dan nurani. Maka dari itu, puasa melatih seseorang untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Bukankah inti dari kecerdasan finansial adalah kemampuan membedakan dua hal itu?

Hasan Al-Banna dalam risalahnya menyatakan:

> "Puasa adalah latihan keikhlasan yang mendalam. Tidak ada yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali dirinya sendiri dan Allah. Oleh karena itu, puasa adalah madrasah untuk melatih pengawasan diri (muraqabah), keikhlasan, dan keteguhan hati dalam menghadapi dorongan hawa nafsu."



Cobalah perhatikan: pengeluaran uang sering kali bukan soal kebutuhan, tapi gaya hidup, pamer, atau pelampiasan emosi. Orang yang tidak bisa mengelola syahwat takkan pernah mencapai kematangan finansial. Puasa adalah fondasi paling awal dan paling efektif untuk mengelola syahwat. Maka, kecerdasan finansial adalah efek samping dari kedewasaan spiritual.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an saat menafsirkan QS Al-Baqarah: 183 berkata:

> "Puasa adalah sarana yang efektif untuk membentuk manusia bertakwa. Ia memotong dorongan hawa nafsu dari sumbernya dan mendidik jiwa agar mencintai ketinggian spiritual, membenci kedangkalan syahwat, serta menguatkan kontrol ruhani atas naluri hewani."



Pengelolaan harta berakar dari pengelolaan hawa nafsu. Mereka yang terbiasa menahan diri akan lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, lebih cermat dalam berinvestasi, dan lebih kuat dalam menghadapi godaan utang konsumtif.

Puasa menanamkan kesadaran: dunia ini bukan hanya tentang hari ini. Menunda kesenangan hari ini demi kebaikan esok adalah prinsip utama dalam semua teori keuangan modern. Bahkan penelitian psikologi di Amerika menunjukkan bahwa anak yang mampu menahan diri tidak langsung memakan permen saat dibagikan—justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih sukses secara ekonomi.

Puasa adalah pelajaran untuk menahan, menunda, dan menimbang. Tanpa harus membaca puluhan buku manajemen keuangan, tanpa harus mengikuti banyak seminar, seseorang yang berpuasa dengan benar sudah belajar manajemen konsumsi, disiplin, dan pengendalian diri—inti dari kecerdasan finansial.

Sungguh, banyak orang bergaji besar tetapi tidak kaya. Sebaliknya, ada yang bergaji kecil tapi hidup berkecukupan. Bedanya bukan pada jumlah pendapatan, tetapi pada kedewasaan dalam mengelola. Dan kedewasaan itu bermula dari ketenangan hati, dari kejernihan jiwa yang dilatih melalui puasa.

Keharaman dalam pendapatan adalah musuh kecerdasan finansial. Pendapatan haram mendorong seseorang pada gaya hidup mewah yang artifisial, tanpa keberkahan. Bahkan, seperti kata Imam Al-Ghazali, hati yang gelap tak akan mampu menerima ilham. Bagaimana bisa seseorang mengembangkan hartanya dengan bijak jika cahaya Allah tak menembus hatinya?

> "Lapar akan menumbuhkan kejernihan hati dan menyingkapkan tabir antara hamba dan Rabb-nya." — Syekh Abdul Qadir al-Jailani



Dari sinilah akan lahir strategi keuangan yang sejati. Inovasi tidak muncul dari pikiran yang penuh syahwat, tetapi dari hati yang tenang dan bersih. Oleh sebab itu, puasa adalah pintu makrifat sekaligus manajemen keuangan paling esensial.

Berpuasalah. Tidak hanya di bulan Ramadan, tetapi juga dalam gaya hidup sehari-hari. Berpuasa dari barang-barang yang tidak perlu. Berpuasa dari belanja impulsif. Berpuasa dari pemborosan.

Para sufi bahkan berhati-hati dalam hal yang halal dan mubah. Mereka hanya menggunakan dunia sebatas menjaga harga diri di hadapan manusia. Rumah cukup yang melindungi. Makanan cukup yang menyehatkan. Pakaian cukup yang menutupi aurat dan menjaga martabat.

> "Seburuk-buruk manusia adalah mereka yang memakan berbagai makanan, meminum berbagai minuman, mengenakan berbagai pakaian, dan berbicara dengan keras." — Rasulullah SAW



Puasa mengajari kita untuk menahan, agar bisa menikmati. Berpuasa hari ini agar bisa menikmati masa depan. Tidak semua hal harus dinikmati sekarang. Ada kalanya, menunda adalah bentuk terbaik dari kebijaksanaan.

Cobalah lakukan. Satu bulan puasa dengan sungguh-sungguh akan memperbaiki gaya hidup. Uang lebih hemat. Makan lebih teratur. Pikiran lebih tenang. Hati lebih peka. Dan saat lebaran, banyak yang menyadari: tabungannya utuh, pengeluarannya sedikit, tapi hidupnya lebih bermakna.

Maka, mulailah dari diri sendiri. Bukan dari teori. Bukan dari seminar. Tapi dari satu keputusan sederhana: Aku ingin berpuasa. Karena puasa bukan hanya urusan langit, tapi juga strategi bijak di bumi. Ia membentuk hati, menata diri, dan memberi kita kemampuan untuk berkata: Cukup.

Itulah awal dari kecerdasan finansial sejati.

Mengintip Nilai Kekayaan Para Sahabat: Ada yang Ratusan Juta Keping Perak Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pernahkah kita membayangkan...

Mengintip Nilai Kekayaan Para Sahabat: Ada yang Ratusan Juta Keping Perak

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pernahkah kita membayangkan, bahwa kekayaan yang luar biasa ternyata juga dimiliki oleh para Nabi dan Sahabat? Namun, yang menjadi titik sorot bukanlah banyaknya angka, melainkan bagaimana mereka memandang dan memperlakukan harta itu sendiri. Al-Qur'an dengan jernih menampilkan dua potret: si pemilik kebun yang sombong, dan Qarun yang ditelan bumi. Keduanya bukan dihukum karena harta, melainkan karena kesombongan dan ketamakan yang menyertai harta mereka.

Lalu bagaimana dengan para Nabi? Bukankah mereka para penjelajah lintas benua? Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan tentu Nabi Muhammad saw, semuanya melakukan perjalanan jauh sebagai bagian dari dakwah mereka. Dalam dunia kini, bepergian ke luar negeri kerap dianggap simbol kemapanan. Apakah itu berarti para Nabi juga orang kaya? Jawabannya bisa jadi: iya, jika kita ukur dari sumber daya yang mereka kelola dan pengaruh yang mereka miliki.

Lihatlah Nabi Sulaiman as. Beliau bahkan berdoa, "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku." (QS. Shad: 35). Kekayaan Nabi Sulaiman bukan hanya berupa materi, tapi juga kekuasaan yang mencakup manusia, jin, hingga binatang.

Nabi Ayyub as pun pernah hidup dalam limpahan kekayaan sebelum diuji dengan kehilangan segalanya. Dan Nabi Syuaib as berdakwah kepada masyarakat Mad-yan yang dipenuhi para pedagang dan pengusaha, menegur mereka agar menimbang dengan adil dan tidak menipu dalam transaksi.

Dalam Islam, harta bukanlah musuh. Rasulullah saw pernah bersabda, "Sungguh apabila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, itu lebih baik bagimu dibandingkan meninggalkan mereka miskin dan meminta-minta." (HR. Bukhari dan Muslim)

Harta, jika berada di tangan orang baik, justru menjadi wasilah menuju kebaikan. Kepada Amr bin Ash, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baiknya harta yang baik adalah untuk orang yang baik." (HR. Ahmad)

Mari kita tengok jejak kekayaan para sahabat Rasulullah:

Abu Bakar Ash-Shiddiq disebut oleh Urwah bin Az-Zubair memiliki kekayaan sebanyak 40.000 dinar saat pertama kali masuk Islam. Sebagian besar hartanya habis dalam perjuangan dakwah.

Utsman bin Affan saat wafat memiliki simpanan 30 juta keping perak dan 150 ribu keping emas. Ia juga meninggalkan 1.000 unta dan 200.000 dinar zakat. Tapi ingat, ini sahabat yang membiayai perluasan Masjid Nabawi dan melengkapi pasukan perang Tabuk.

Thalhah bin Ubaidillah mewariskan total kekayaan sekitar 30 juta keping perak. Ibnu Jauzi menyebut, ia meninggalkan emas sebanyak 300 angkutan, dengan satu angkutan kira-kira seberat 3 kwintal.

Abdurrahman bin Auf terkenal sebagai saudagar besar. Ia bersedekah 4.000 keping perak pada awal dakwah, lalu 40.000 keping emas, 500 ekor kuda, dan mewariskan ribuan unta dan kambing.

Zubair bin Awwam memiliki harta tak bergerak sebesar 100 juta keping perak. Hartanya dibagikan kepada 40 juta orang. Sebuah angka yang mengejutkan, tapi juga menunjukkan betapa luas usahanya.

Mush’ab bin Zubair bahkan mendapatkan hadiah berupa pohon kurma dari emas dengan tangkai dari permata, ditaksir mencapai 2 miliar keping emas.

Abdullah bin Mas’ud, seorang ahli ilmu, tetap mampu mewariskan 90 ribu dinar saat wafat.


Kekayaan ini bukan hasil warisan, tetapi hasil kerja, kejujuran, dan kepercayaan masyarakat. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana para sahabat mengelola hartanya.

Mari kita ambil pelajaran dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beberapa riwayat, disebutkan ia membagi hasil kebun kurmanya menjadi tiga bagian:

1. Sepertiga untuk konsumsi keluarga,


2. Sepertiga untuk ditanam kembali (investasi),


3. Sepertiga untuk disedekahkan.



Salman berkata, "Kami diberi rezeki oleh Allah, maka kami tidak menyimpannya seluruhnya untuk diri sendiri, dan kami tidak juga menghamburkannya seluruhnya. Kami ambil sepertiga untuk makan, sepertiga untuk berdagang, dan sepertiga untuk orang-orang miskin."

Inilah filosofi pengelolaan harta yang adil dan penuh berkah. Seperti buah: bijinya ditanam kembali (investasi), dagingnya dimakan (konsumsi), dan kulitnya dibuang ke tanah untuk menjadi pupuk (sedekah). Tidak ada yang sia-sia, semuanya kembali ke tanah, kembali kepada Sang Pencipta.

Maka pertanyaannya bukanlah berapa harta yang kita miliki, tetapi bagaimana kita memperlakukan harta itu. Apakah ia jadi jalan menuju kesombongan seperti Qarun, atau jadi titian menuju surga seperti Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf?

Di dunia yang makin materialistik ini, semangat para sahabat adalah cahaya penuntun. Mereka tidak takut kaya, karena mereka tahu untuk apa dan untuk siapa kekayaan itu digunakan.

Semoga kita bisa menjadi seperti mereka: mencintai harta bukan untuk disembah, tapi untuk dikelola, dibagi, dan diberkahi.

Wallahu a'lam.



Sumber:
Abdul Fattah As-Samman, Harta Nabi, Pustaka Al-Kautsar

Malaikat Pun Berkisah Tentang Abu Bakar Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- 1. Ketika Langit Menyebut Namanya Andai ada penduduk bumi...

Malaikat Pun Berkisah Tentang Abu Bakar
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

1. Ketika Langit Menyebut Namanya

Andai ada penduduk bumi yang menjadi perbincangan di langit, maka Abu Bakar adalah salah satunya. Ia bukan hanya disebut oleh manusia karena jasanya, tetapi juga oleh para malaikat karena keyakinannya. Namanya harum di langit sebelum diagungkan di bumi.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ﷺ diliputi keresahan setelah peristiwa Isra dan Mi'raj. Betapa luar biasa pengalaman itu, namun beliau tahu bahwa kisah semacam itu akan sulit dipercaya oleh kaumnya. Rasulullah ﷺ bertanya-tanya: siapa yang akan mempercayai cerita ini?

Jibril datang menenangkannya:

> "Abu Bakar percaya kepada apa yang engkau ceritakan. Dia adalah Ash-Shiddiq."



Keyakinan Abu Bakar adalah cahaya. Kepercayaannya adalah pondasi yang tak tergoyahkan. Ia percaya, bahkan sebelum mata bisa menyaksikan. Ia menerima, bahkan ketika logika manusia meragukan.

Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, pun pernah bersaksi dari atas mimbar:

> "Sesungguhnya Allah menamakan Abu Bakar dengan sebutan Ash-Shiddiq melalui lisan Nabi-Nya."




---

2. Bersamanya dalam Kritisnya Sejarah

Nama Abu Bakar selalu hadir di titik-titik paling kritis dalam sejarah dakwah Rasulullah ﷺ. Dalam malam hijrah, ketika nyawa Rasulullah ﷺ terancam, ia lah yang menyertai di dalam gua. Ia menangis bukan karena takut akan dirinya, tetapi karena khawatir jika musuh menemui Rasulullah ﷺ.

> "Jika salah seorang dari mereka melihat ke arah kakinya, niscaya mereka akan melihat kita," kata Abu Bakar.



Dan Rasulullah ﷺ menenangkannya:

> "Wahai Abu Bakar, apa pendapatmu tentang dua orang, yang Allah adalah yang ketiga di antara mereka?"
(QS At-Taubah: 40)



Dalam Perang Badar, ketika pasukan kaum Muslimin sangat sedikit, para malaikat membicarakan Abu Bakar:

> "Tidakkah kalian melihat Ash-Shiddiq bersama Rasulullah ﷺ di bangsal tempat berteduh?"



Abu Bakar tak hanya berdiri, tetapi memayungi doa dan harapan Rasulullah ﷺ. Ia bukan pelengkap sejarah, ia porosnya.


---

3. Pengorbanan yang Tak Tertandingi

Pada suatu hari, Ibnu Umar menyaksikan Abu Bakar datang kepada Rasulullah ﷺ dengan pakaian yang lusuh dan berlubang. Hanya sehelai jubah sederhana yang menutupi tubuhnya.

Jibril turun, bertanya kepada Rasulullah ﷺ:

> "Wahai Muhammad, mengapa aku melihat Abu Bakar memakai jubah yang berlubang di bagian dadanya?"



Rasulullah ﷺ menjawab:

> "Dia telah menginfakkan seluruh hartanya untukku, sebelum penaklukan kota Makkah."



Jibril menyampaikan pesan langit:

> "Katakan padanya: Apakah kau rela dengan kefakiranmu, ataukah tidak menyukainya?"



Abu Bakar menjawab penuh keyakinan:

> "Apakah saya tidak rela terhadap Tuhanku? Saya rela."




---

4. Saat Dunia Guncang, Ia Tegak

Ketika Rasulullah ﷺ wafat, dunia para sahabat seolah runtuh. Umar bin Khattab bahkan mengancam siapa saja yang mengatakan Rasulullah ﷺ telah meninggal. Saat itu, Abu Bakar berdiri, naik ke mimbar dan berkata:

> "Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tidak akan mati."



Lalu ia membacakan ayat:

> "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?"
(QS Ali Imran: 144)



Kekokohan Abu Bakar bukan hanya menyelamatkan umat dari kejatuhan emosional, tetapi menegakkan kembali misi risalah.


---

5. Keputusan-keputusan Besar Seorang Sahabat

Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar dihadapkan pada ujian demi ujian. Banyak kabilah yang murtad, enggan membayar zakat, dan muncul gelombang pembangkangan dari dalam umat.

Abu Bakar berkata tegas:

> "Demi Allah, andai mereka menolak membayar tali unta yang dahulu mereka bayarkan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya aku akan memerangi mereka."



Para sahabat sempat ragu. Tapi Umar bin Khattab pun akhirnya berkata:

> "Demi Allah, setelah Allah lapangkan dada Abu Bakar, aku pun tahu bahwa ia benar."



Ia juga mengirim pasukan Usamah bin Zaid, sebagaimana perintah terakhir Rasulullah ﷺ. Meski banyak yang menyarankan untuk menundanya karena gentingnya kondisi, Abu Bakar tetap melaksanakannya:

> "Tidak mungkin aku membatalkan keputusan Rasulullah ﷺ."




---

6. Malaikat Bicara Tentangnya

Suatu ketika, Rasulullah ﷺ bertanya kepada Jibril tentang keutamaan Umar bin Khattab. Jibril menjawab:

> "Seandainya aku menyebut keutamaannya sepanjang umur Nabi Nuh, tidak akan habis keutamaan itu dibicarakan. Dan sesungguhnya, Umar hanyalah satu dari sekian banyak kebaikan Abu Bakar."



Ketika Abu Bakar membaca ayat:

> "Yā ayyatuha an-nafs al-muṭma’innah..."
(QS Al-Fajr: 27)



Ia berkata:

> "Wahai Rasulullah, ini ayat yang sangat indah."



Rasulullah ﷺ menjawab:

> "Ketahuilah wahai Abu Bakar, kelak malaikat akan mengucapkan ayat ini saat menjelang kematianmu."



Dan saat ajal menjemput, ruhnya dipanggil dengan kelembutan langit:

> "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai."




---

7. Dua Wazir dari Langit dan Bumi

Di akhir hayat Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Tidaklah seorang nabi pun melainkan memiliki dua wazir—satu di langit, dan satu di bumi. Wazirku di langit adalah Jibril dan Mikail. Wazirku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar."



Mereka adalah penopang, kekuatan, dan saksi dalam perjalanan risalah.


---

8. Abu Bakar: Di Antara Langit dan Bumi

Abu Bakar bukan hanya dicintai penduduk bumi, tapi juga dimuliakan oleh para penghuni langit. Namanya disebut oleh malaikat bukan karena pangkat, bukan karena keturunan, bukan pula karena kekuatan.

Tetapi karena keimanan yang jernih, keyakinan yang utuh, pengorbanan yang total, dan kesetiaan yang tanpa batas.

Ia adalah Ash-Shiddiq. Peneguh ketika yang lain ragu. Penyejuk ketika yang lain gelisah. Penyangga risalah saat dunia berguncang.

Dan langit pun bercerita tentangnya.


---

Wallahu a'lam.

Kerinduan Bertemu Rasulullah saw dan Sahabatnya  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- “Kami tidak merindukan surga karena buah-buahann...

Kerinduan Bertemu Rasulullah saw dan Sahabatnya

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

“Kami tidak merindukan surga karena buah-buahannya, tapi karena ingin bertemu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para syuhada.”
– Imam Hasan Al-Banna

Ada cinta yang tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia melampaui kehidupan dunia dan akhirat, menghubungkan hati dengan para kekasih Allah yang telah lama tiada. Itulah cinta kepada Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatnya. Kerinduan yang tak sekadar tentang kenikmatan surga, melainkan tentang perjumpaan dengan jiwa-jiwa suci yang dirindukan langit.

Kerinduan ini adalah energi spiritual. Bahkan menjelang ajal, para kekasih Allah menyambut kematian dengan damai, karena mereka tahu: kematian adalah gerbang pertemuan.


---

Utsman bin Affan: Janji Berbuka di Surga

Menjelang akhir hayatnya, rumah Khalifah Utsman bin Affan dikepung oleh para pemberontak. Meskipun ancaman mengelilinginya, Utsman tetap tenang, berpuasa dan memperbanyak ibadah. Malam sebelum syahid, ia bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Umar. Rasulullah bersabda, “Engkau akan berbuka puasa bersama kami esok hari di surga.”

Pagi harinya, Utsman ditikam, dan darah terus mengalir dari tubuhnya. Para sahabat memintanya berbuka untuk memperkuat diri. Tapi Utsman menjawab, “Aku telah berjanji akan berbuka bersama Rasulullah ﷺ.” Dan pada hari itu juga, Utsman wafat dalam keadaan berpuasa, syahid, dan memenuhi janji surgawi.


---

Umar bin Abdul Aziz: Wajah Berseri Menuju Kekasih

Suatu malam, Umar bin Abdul Aziz tertidur dalam kelelahan. Ia baru saja menghabiskan malam dengan menulis surat kepada para gubernurnya, agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan menunaikan amanat. Dalam tidurnya yang ringan, ia bermimpi.

Ia melihat sebuah rumah sederhana, bercahaya namun teduh. Di dalamnya, duduk Rasulullah ﷺ, dikelilingi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Umar bin Abdul Aziz pun masuk dengan hati berdebar.

Rasulullah ﷺ memandangnya dengan wajah penuh kasih. Lalu berkata:

"Ilaiya, ya Umar. Wahai Umar, kemarilah."

Ia mendekat, lalu Rasulullah ﷺ berkata:

"Engkau akan datang kepada kami dalam waktu dekat. Dan engkau termasuk dari kami, wahai Umar."

Umar pun terbangun dengan tubuh gemetar. Malam itu juga ia menangis. Ia tahu, usianya akan segera berakhir. Tapi ia tidak takut, karena ia merasa telah berusaha memimpin dengan amanah dan takut kepada Allah.

Dan benar, hanya beberapa hari setelah mimpi itu, Umar bin Abdul Aziz wafat di usia 39 tahun. Ia meninggalkan dunia, namun namanya harum sepanjang zaman.


---

Imam Bukhari: Nama yang Dinanti

Ketika Imam Bukhari wafat, seorang ulama bermimpi melihat Rasulullah ﷺ bersama para sahabat: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Dalam mimpi itu Rasulullah ﷺ berkata, “Tunggulah, Muhammad bin Ismail (Bukhari) akan segera datang.”

Tak lama setelah mimpi itu, kabar wafatnya Imam Bukhari pun datang. Seakan mimpi itu menjadi isyarat bahwa para penghuni surga tengah menantinya. Bukan semata karena keilmuannya, tetapi karena cintanya yang murni kepada Nabi dan para sahabat.


---

Cinta yang Menyatukan Dunia dan Akhirat

Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya." (HR. Bukhari-Muslim)



Ini bukan hanya janji, melainkan kunci. Cinta yang benar kepada Rasulullah ﷺ akan membuahkan amal. Amal yang tulus akan membawa pada pertemuan di akhirat. Cinta itu tak cukup hanya dengan kata dan air mata, tapi harus dibuktikan dengan kesetiaan dan perjuangan.


---

Imam Hasan Al-Banna: Aku Ingin Bertemu Mereka

Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, adalah pecinta Rasulullah ﷺ dan para sahabat sejati. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, beliau berkata:

> “Kami tidak menginginkan surga karena buah-buahannya, tapi karena ingin bertemu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para syuhada.”



Baginya, cinta kepada mereka adalah cinta yang menggerakkan, bukan sekadar nostalgia. Cinta yang melahirkan gerakan dakwah, membentuk ruh jihad, dan membangkitkan umat.


---

Mimpi Terakhir dan Kematian Syahid

Malam sebelum wafatnya, Hasan Al-Banna bermimpi bertemu Ali bin Abi Thalib. Dalam mimpi itu, Imam Ali berkata, “Wahai Hasan, urusanmu telah selesai. Engkau telah menyampaikan risalahmu. Allah telah menerimamu.”

Setelah terbangun, Hasan Al-Banna berkata, “Melihat Imam Ali dalam mimpi adalah tanda kematian syahid.” Dan benar. Pada 12 Februari 1949, beliau ditembak enam kali di depan kantor Ikhwanul Muslimin.

Meskipun terluka parah, beliau masih mengejar mobil penyerangnya dan menghafal nomor polisinya. Namun saat dilarikan ke rumah sakit, akses bantuan dihalangi. Beliau syahid dalam sunyi. Jenazahnya hanya diurus oleh ayah dan saudari perempuannya. Siapa pun yang ingin menyolatkannya ditangkap.


---

Pesan Terakhir: Jangan Lupakan Allah

Dalam pesan terakhirnya, Hasan Al-Banna berkata:

> “Aku tidak khawatir terhadap musuh-musuh kalian. Tapi aku khawatir jika kalian melupakan Allah dan hanya mengandalkan diri sendiri. Aku juga khawatir kalian melupakan ukhuwah.”



Itulah kerinduan yang tidak padam. Cinta yang menghidupkan ruh perjuangan bahkan setelah kematian.


---

Visi Masa Depan yang Terkabul

Pada tahun 1946, dalam wawancara dengan penulis Amerika Robert Jackson, Hasan Al-Banna berkata:

> “Aku sangat yakin bahwa Turki akan kembali kepada Islam. Dan tanda-tanda itu sudah mulai tampak.”

Empat tahun kemudian, Adnan Menderes terpilih sebagai perdana menteri melalui pemilu demokratis pada tahun 1950, mengalahkan Partai Rakyat Republik (CHP) yang didirikan oleh Mustafa Kemal Atatürk. Ia menjadi simbol kebangkitan politik rakyat, terutama umat Islam yang sebelumnya dibungkam oleh sekularisme radikal ala Kemalis.

Bagaimana dengan Turki sekarang? Partai sekuler runtuh sejak kemenangan partai Raffah 1998.


---

Menutup dengan Rindu

Kerinduan para kekasih Allah kepada Rasulullah ﷺ dan para sahabat bukan sekadar kenangan sejarah. Itu adalah peta jalan spiritual yang menghubungkan dunia dan akhirat.

Hari ini, kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita juga merindukan Rasulullah? Apakah cinta kita padanya cukup kuat untuk membawa kita pada perjumpaan kelak?

Jika iya, maka buktikanlah dengan amal. Karena Rasulullah ﷺ telah bersabda:

> “Engkau akan bersama orang yang kau cintai.”



Semoga Allah mempertemukan kita dengan Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para syuhada dalam surga-Nya. Amin.

Memilih Pemimpin Gaya Umar bin Khattab Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Suatu hari, Rasulullah ﷺ bersabda: > “Wahai Abdurrahman...

Memilih Pemimpin Gaya Umar bin Khattab

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Suatu hari, Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Sebab jika diberi karena permintaan, maka kamu akan dibiarkan sendiri. Tapi jika diberikan tanpa meminta, kamu akan diberi pertolongan.”



(HR. Bukhari dan Muslim)

Kepemimpinan, rupanya, bukanlah perkara ambisi. Ia bukan wilayah bagi mereka yang haus kekuasaan. Sabda Nabi itu adalah peringatan abadi: janganlah kepemimpinan diisi oleh orang-orang yang mengejarnya. Sebab kepemimpinan bukan kemuliaan, tapi ujian. Bukan panggung kemegahan, tapi jurang pertanggungjawaban.

Seleksi Kepemimpinan: Tradisi yang Dimulai Sejak Nabi ﷺ

Perang Mu’tah mencatat satu pelajaran penting tentang seleksi kepemimpinan. Rasulullah ﷺ sendiri menunjuk tiga panglima perang secara berurutan: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Bila satu gugur, maka yang lain menggantikannya. Ini bukan sekadar strategi militer. Ini adalah refleksi dari akurasi pandangan Nabi ﷺ tentang siapa yang paling layak memimpin dalam kondisi genting.

Seleksi ini berlanjut bahkan setelah wafatnya Rasulullah ﷺ. Ketika umat kebingungan pasca wafatnya sang Nabi, Umar bin Khattab tampil dengan kejernihan pikir dan keberanian jiwa. Ia menggenggam tangan Abu Bakar, lalu berkata:

> “Siapa yang lebih layak memimpin umat ini selain orang yang pernah menjadi imam salat kita ketika Nabi masih hidup?”



Logika Umar sederhana, tapi dalam: jika Abu Bakar diakui sebagai imam salat oleh Rasulullah ﷺ, maka ia juga layak memimpin umat setelah kepergian sang Nabi. Maka dibaiatlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

Umar: Pemimpin yang Memilih dengan Hati dan Akal

Ketika giliran Umar bin Khattab memimpin, ia membawa standar seleksi kepemimpinan ke tingkat yang lebih mendalam. Baginya, memilih pemimpin bukan hanya soal popularitas, bukan pula karena hubungan pribadi atau kerajinan ibadah semata.

Ia melihat lebih dalam.

Ia mendengar lebih peka.

Ia menilai lebih jernih.

Bagi Umar, pemimpin adalah penentu arah zaman. Maka salah memilih berarti menghancurkan masa depan umat. Maka dari itu, ia menakar bukan hanya dari permukaan, tapi dari esensi karakter.

Menembus Kepalsuan: Ujian Makan, Safar, dan Uang

Umar punya tiga alat untuk menguji karakter seseorang. Ia sering berkata:

> “Jika kau ingin mengenal seseorang, makanlah bersamanya, lakukan perjalanan jauh dengannya, dan bertransaksilah dengannya.”



Saat makan, tampaklah kesederhanaan dan pengendalian diri. Saat safar, tampaklah kesabaran dan kepemimpinan. Saat bertransaksi, terbukalah kejujuran dan amanah. Ini bukan teori, tapi praktik. Umar melakukannya—salah satunya terhadap Ahnaf bin Qais, yang diuji lewat uang dan sikapnya terhadap masyarakat.

Pernah seseorang diberi uang oleh utusan Umar untuk diamati. Jika uang itu digunakan hanya untuk dirinya, ia dicoret dari daftar calon pejabat. Tapi bila uang itu dibagikan kepada orang miskin, maka namanya dinaikkan.

Huzaifah bin Al-Yaman: Barometer Kejujuran dan Kemunafikan

Umar tahu, wajah bisa menipu, ibadah bisa disandiwarakan. Maka ia meminta pendapat Huzaifah bin Al-Yaman—sahabat yang diberi amanah oleh Rasulullah ﷺ untuk mengetahui nama-nama munafik.

“Apakah kau melihat tanda kemunafikan padanya?” tanya Umar.

Sebab Umar sadar, seorang munafik bisa jadi lebih sering ke masjid daripada orang jujur. Tapi mereka menyimpan racun dalam lisan dan kelicikan dalam janji. Maka Huzaifah menjadi semacam cermin batin yang membantu Umar menyaring tokoh-tokoh berwajah teduh tapi berhati gelap.

Belajar dari Penolakan Rasulullah kepada Abu Dzar

Kepemimpinan juga tentang kemampuan memikul beban. Umar mengambil pelajaran dari Rasulullah ﷺ yang pernah menolak permintaan Abu Dzar al-Ghifari, meskipun ia seorang sahabat yang zuhud dan saleh.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, dan kepemimpinan adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi yang menunaikannya dengan benar.”



(HR. Muslim)

Kepemimpinan bukan soal kesalehan pribadi semata, tapi keteguhan mental, kemampuan mengelola konflik, dan ketahanan terhadap godaan dunia. Umar paham itu.

Lihat Bagaimana Ia Memperlakukan Keluarganya

Umar punya standar yang mengejutkan: ia menilai calon pemimpin dari bagaimana ia memperlakukan anak dan istrinya.

“Jika ia kasar kepada keluarganya,” kata Umar, “bagaimana mungkin ia akan lembut kepada rakyat?”

Sebab keluarga adalah tempat tanpa topeng. Di sanalah muncul watak asli. Jika seseorang tak bisa berlaku adil dan sabar terhadap yang paling dekat, bagaimana ia akan adil terhadap yang jauh?

Ilmu dan Waspada: Dua Pilar Seleksi

Bila ada dua orang sama-sama saleh, Umar akan memilih yang lebih berilmu. Sebab ilmu membuat seseorang bijak. Ia memahami realitas, bisa menimbang maslahat dan mafsadat, dan tidak mudah tertipu oleh godaan atau bisikan sesat.

Selain itu, Umar juga memilih mereka yang mampu mengenali keburukan. Ia berkata:

> “Manusia tidak akan selamat dari keburukan sampai ia mengenal keburukan itu sendiri.”



Pemimpin harus punya radar terhadap bahaya. Harus mampu mencium kebusukan dari jauh, dan tahu cara menghindarinya.

Kebijakan yang Menembus Zaman

Pilihan-pilihan Umar bukan hanya akurat, tapi tahan uji. Banyak pejabat yang ia angkat tetap bertahan hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ini bukti bahwa pilihan Umar bukan hasil kompromi politik, melainkan intuisi spiritual dan kecerdasan manajerial.

Menurut Umar, salah satu tanda bahwa Allah mencintai seorang pemimpin adalah dikelilinginya ia oleh orang-orang terbaik. Sebaliknya, pemimpin yang dikelilingi oleh penjilat dan penghasut adalah tanda bahwa ia sedang dibiarkan oleh Allah.

Wasiat Terakhir: Memilih Khalifah dengan Lembaga Syura

Menjelang wafat, Umar bin Khattab tidak menunjuk penerusnya secara langsung. Ia membentuk majelis syura beranggotakan enam sahabat mulia, termasuk Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Umar ingin agar pemimpin dipilih berdasarkan musyawarah, bukan warisan atau ambisi pribadi.

Ia berkata:

> “Jika ada dua yang berselisih, ikutilah pendapat mayoritas. Tapi jika tiga banding tiga, ikutilah pendapatnya Abdurrahman bin Auf.”



Dengan itu, Umar mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah hasil dari proses kolektif. Ia bukan warisan, bukan hadiah. Ia harus lahir dari keadilan dan akal sehat.

Untuk Nusantara: Kapan Kita Selektif Seperti Umar?

Negeri ini tak kekurangan orang yang pandai bicara, lihai bersilat kata, dan rajin memamerkan kesalehan. Tapi kita terlalu sering tertipu oleh tampilan luar. Kita lupa menilai seseorang di ruang-ruang kecil: saat ia lapar, saat ia marah, saat ia memegang uang.

Umar mengingatkan: seleksi pemimpin adalah akar dari semua perbaikan. Kesalahan pertama dalam kepemimpinan adalah membiarkan orang yang salah berada di lingkar kekuasaan. Maka perbaikan bangsa harus dimulai dari sini.

Bukan sekadar memilih siapa yang akan duduk di kursi tertinggi, tapi siapa yang akan duduk di sekelilingnya.

Kita butuh pemimpin yang tidak hanya rajin salat, tapi juga adil. Yang tidak hanya fasih bicara, tapi juga tabah diuji. Yang tidak hanya dermawan di depan kamera, tapi juga sabar dan tulus terhadap keluarganya.

Kita butuh pemimpin seperti yang dipilih Umar: kuat dan amanah, cerdas dan bersih, lembut dan berani.

Maka semoga dari lorong-lorong sunyi Nusantara ini, lahir kembali semangat Umar bin Khattab. Semangat untuk tidak silau pada wajah, tidak tunduk pada nama besar, dan tidak takut mengambil keputusan sulit demi kebaikan umat.

Semoga Allah melindungi bangsa ini dengan pemimpin yang benar.

Aamiin.

Abdurrahman bin Auf: Kaya Beriman, Dermawan Tak Bertepi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Jika ada sahabat Nabi ﷺ yang berhasil membukt...

Abdurrahman bin Auf: Kaya Beriman, Dermawan Tak Bertepi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Jika ada sahabat Nabi ﷺ yang berhasil membuktikan bahwa kekayaan tidak selalu menjerumuskan, maka dialah Abdurrahman bin Auf. Ia tidak hanya sukses sebagai pedagang, tapi juga lulus sebagai pecinta akhirat yang tidak diperbudak dunia.

Hartanya tak membuatnya sombong, jabatannya tak membuatnya congkak, dan kedermawanannya tak membuatnya merasa berjasa. Ia hidup sebagai pejuang ekonomi Islam, dan wafat sebagai ahli surga yang dijamin oleh Nabi ﷺ.

Berikut adalah teladan Abdurrahman bin Auf dalam mengelola uang dalam enam aspek kehidupan:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Menjadi Suami dan Ayah yang Bertanggung Jawab

Sebagai orang kaya, Abdurrahman bin Auf bisa saja hidup bermewah-mewahan. Namun kepada keluarganya, ia mengajarkan kesederhanaan dan tanggung jawab. Ia memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan layak, tanpa berlebih.

Ia menjaga nafkah yang halal, dan memastikan bahwa keluarganya tidak ikut dalam gaya hidup konsumtif. Dalam sebuah riwayat, ketika mendengar putranya membeli pakaian mahal, ia menegur dengan lembut:

“Apakah engkau ingin dilalaikan dari akhirat hanya karena kemewahan dunia?”

Ia mendidik keluarganya agar tahu: harta bukan untuk dibanggakan, tapi untuk dipertanggungjawabkan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur, Mandiri, dan Profesional

Bisnis Abdurrahman bin Auf berkembang pesat berkat kejujuran, kerja keras, dan integritas. Ketika hijrah ke Madinah tanpa harta, ia menolak bantuan materi dan berkata:

“Tunjukkan aku jalan ke pasar.”

Dengan kerja keras dan keahlian berdagang, ia segera bangkit menjadi saudagar sukses. Tapi ia tetap menjaga:

Tidak menimbun barang

Tidak memanipulasi harga

Tidak memeras orang miskin

Tidak memperdagangkan barang haram


Ia memandang bisnis sebagai wasilah (jalan) untuk meraih ridha Allah, bukan sekadar laba dunia. Hartanya bersih, karena itulah hatinya ringan melepaskannya.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hindari Beban, Lunasi Cepat

Abdurrahman bin Auf adalah orang yang sangat berhati-hati terhadap utang. Ia tidak suka berutang, dan jika terpaksa meminjam, ia berusaha segera melunasi.

Sebaliknya, ketika orang lain berutang padanya dan tidak mampu membayar, ia ringan memaafkan.

“Aku tidak ingin harta menjadi penghalang bagiku dan orang lain di akhirat.”

Ia tahu bahwa utang bukan sekadar angka di dunia, tapi bisa menjadi beban besar di akhirat. Itulah sebabnya ia hidup sederhana dan penuh perhitungan, tapi sangat dermawan kepada yang benar-benar butuh.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Dermawan Tanpa Jabatan

Abdurrahman bin Auf tidak pernah menjadi bendahara negara, tetapi ia adalah penopang besar kekuatan negara Islam.

Dalam Perang Tabuk, ia menyumbangkan 200 uqiyah emas.

Ia mendatangkan 700 ekor unta penuh muatan untuk logistik jihad dan menyedekahkan seluruhnya.

Ia ikut membiayai kaum muhajirin yang miskin setelah hijrah.

Ia menyumbang dengan diam-diam, tanpa ingin popularitas. Rasulullah ﷺ sampai bersabda:

“Tidak akan merugi harta Abdurrahman meski ia berinfak sebanyak apa pun di jalan Allah.”

Ia tidak mengambil dari kas negara, tapi justru memasukkan harta pribadinya ke dalamnya.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Kekuasaan, Menerima Tanggung Jawab

Abdurrahman bin Auf menolak menjadi khalifah saat umat Islam membentuk syura setelah wafatnya Umar bin Khattab. Namun ia menerima amanah untuk menjadi penentu akhir dalam pemilihan khalifah ketiga.

Ia tidak mengambil gaji, tidak minta imbalan, dan tidak memanfaatkan posisi strategis itu untuk kepentingan pribadi.

Ia hidup dari usahanya sendiri dan berkata:

 “Aku takut hartaku yang tidak jelas asalnya akan menjadi bara api di punggungku kelak di akhirat.”

Ia membuktikan bahwa pejabat tak harus bergaji besar, jika hatinya besar untuk Allah dan umat.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Semua Kembali untuk Allah dan Umat

Ketika wafat, Abdurrahman bin Auf meninggalkan kekayaan besar:

1.000 unta

100 kuda

3.000 kambing

Emas yang dibagikan warisannya saja membuat ahli waris sulit mengangkatnya

Namun yang lebih agung dari jumlahnya adalah cara ia mewasiatkannya:

Ia membebaskan 100 budak sebelum wafat.

Ia mewasiatkan 50.000 dinar (setara miliaran rupiah) untuk para veteran perang Badar.

Ia mewakafkan tanah-tanah subur miliknya untuk kaum miskin.

Ia wafat dalam keadaan telah memberi sebanyak mungkin, dan takut hartanya menjadi beban hisab.

Ia tak mati meninggalkan istana, tapi meninggalkan cahaya keteladanan dalam dunia bisnis, keluarga, dan pelayanan umat.



Penutup: Jadilah Kaya Seperti Abdurrahman bin Auf

Banyak orang ingin kaya seperti Qarun, tapi lupa bahwa Abdurrahman bin Auf jauh lebih mulia. Ia bukan hanya kaya, tapi suci, bersih, dan jujur.

Hartanya di tangan, bukan di hati.
Hartanya besar, tapi syukurnya lebih besar.
Hartanya banyak, tapi hisabnya ringan—karena sudah ditunaikan di dunia.

Itulah rahasia mengelola uang dalam Islam: bukan banyaknya, tapi bersihnya.

Thalhah bin Ubaidillah: Miliarder Surga yang Tidak Tertawan Dunia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Thalhah bin Ubaidillah ra. adalah s...

Thalhah bin Ubaidillah: Miliarder Surga yang Tidak Tertawan Dunia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Thalhah bin Ubaidillah ra. adalah satu dari sedikit orang yang dijamin surga oleh Rasulullah ﷺ semasa hidupnya. Ia dikenal sebagai sahabat yang sangat dermawan, sangat berjasa di medan perang, dan salah satu pebisnis paling sukses dalam sejarah sahabat.

Ketika kebanyakan orang diuji dengan kekurangan, Thalhah diuji dengan kelimpahan harta. Tapi ia berhasil melaluinya — bukan dengan menumpuk, tapi dengan membagi.

Berikut enam sisi keteladanannya dalam mengelola uang dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Penuh Cinta dan Tanggung Jawab

Thalhah bukan hanya pemberani di medan perang, tapi juga ayah dan suami yang penuh kasih sayang. Ia menafkahi keluarganya dengan baik dari kekayaan halal hasil perniagaan, kebun, dan investasi tanah.

Ia memperhatikan kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Mereka hidup dalam cukup, namun tidak berlebihan.

Ia tidak pelit kepada keluarga, tapi juga tidak memanjakan mereka dengan kemewahan dunia.

“Harta adalah amanah. Keluarga adalah tanggung jawab. Aku ingin anak-anakku besar dalam keberkahan, bukan hanya dalam limpahan.” – demikian semangat hidupnya.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur, Produktif, dan Visioner

Thalhah bin Ubaidillah adalah salah satu saudagar besar Madinah. Ia berdagang kain, ternak, dan tanah. Ia punya:

Perkebunan luas di Irak dan Madinah

Gudang dan jalur dagang lintas Hijaz

Properti yang terus berkembang


Namun kekayaannya tidak menjadikannya tamak. Ia terkenal jujur dalam transaksi, tidak mengambil keuntungan haram, dan selalu memperhatikan hak orang miskin.

Setiap kali memperoleh keuntungan besar, ia langsung membaginya:

Sebagian untuk keluarga

Sebagian untuk para sahabat miskin

Sebagian untuk zakat dan wakaf


Ia pernah menyumbangkan 700.000 dinar dalam sekali duduk! Dan berkata:

“Aku malu tidur malam, sementara hartaku masih tertahan di rumahku.”



3. Mengelola Uang Soal Utang: Amanah dan Bertanggung Jawab

Thalhah sangat berhati-hati dengan utang. Ia dikenal tidak banyak berutang, karena:

Sumber usahanya lancar

Perputaran bisnisnya sehat

Dan gaya hidupnya tetap sederhana


Namun bila ada yang berutang kepadanya, ia sangat pemaaf. Ia mudah menghapuskan utang orang miskin, bahkan terkadang memberikan lebih dari yang mereka pinjam.

“Aku lebih bahagia melihat orang terbebas dari utang, daripada melihat hartaku bertambah.” – ucapnya suatu hari.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tidak Mengambil Hak Umat

Walaupun kaya dan terpandang, Thalhah tidak pernah mengambil keuntungan dari kas negara. Ia membiayai jihad dan dakwah dari harta pribadinya, dan menolak bayaran dari baitul mal.

Ia tidak pernah menjabat posisi bendahara atau gubernur, karena lebih senang berdakwah dan berdagang. Namun kontribusinya kepada negara sangat besar, terutama:

Menyumbang logistik untuk pasukan Islam

Memberi modal kepada sahabat yang miskin

Menyediakan kebun dan rumah untuk tamu Nabi



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Tidak Tergiur Jabatan

Thalhah tidak tergiur jabatan meski punya pengaruh besar. Ia tidak pernah mengambil gaji dari negara. Dalam Perang Jamal, ia maju bukan karena ambisi kekuasaan, tapi karena keyakinan politik dan kecintaan pada umat.

Saat konflik pecah, Thalhah menyesal dan menarik diri dari pertempuran. Ia syahid sebagai penengah yang mengajak damai, bukan pemburu tahta.

Harta yang ia hasilkan tetap dari bisnisnya — bukan dari posisi atau fasilitas.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Membagi dengan Adil, Memberi Sebelum Ditanya

Menjelang wafat, Thalhah bin Ubaidillah meninggalkan harta yang sangat banyak. Namun ia telah menyiapkan pembagiannya dengan rinci:

Warisan untuk anak dan istri

Wakaf untuk umat

Pembebasan utang orang yang berutang padanya

Pemberian tetap untuk keluarga sahabat


Menurut riwayat, ia meninggalkan:

200.000 dinar tunai

200.000 dirham perak

Kebun-kebun di Madinah dan Irak

Rumah-rumah dan properti sewa


Namun seluruh kekayaan itu dikelola bukan dengan keserakahan, tapi dengan keikhlasan.

Ia tidak membawa hartanya ke kubur, tapi mengirimnya lebih dulu ke akhirat.



Penutup: Kaya Raya, Tapi Tidak Dimiliki Dunia

Thalhah bin Ubaidillah adalah simbol bahwa kekayaan dan surga bisa berjalan beriringan, jika hati tidak dikuasai dunia.

Ia memiliki banyak,
Memberi banyak,
Tapi mengambil sedikit.

Harta tidak membuatnya sombong. Jabatan tidak membuatnya rakus. Dan surga tidak membuatnya malas berbuat.

Ia bukan hanya pebisnis cerdas, tapi dermawan yang ikhlas.

Zubair bin Awwam: Ksatria Surga, Dermawan Dunia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Zubair bin Awwam ra. bukan sekadar sahabat Nabi ﷺ. Ia...

Zubair bin Awwam: Ksatria Surga, Dermawan Dunia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Zubair bin Awwam ra. bukan sekadar sahabat Nabi ﷺ. Ia adalah sepupu Rasulullah, menantu Abu Bakar, dan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Ia terkenal dengan keberaniannya di medan perang, tapi di balik baju zirahnya, tersimpan keahlian luar biasa dalam mengelola harta.

Harta di tangan Zubair bukan sumber kemewahan, tapi sarana perjuangan. Ia wafat dalam keadaan tidak menyisakan utang yang menyulitkan, dan warisan yang ia tinggalkan dibagi secara adil, sesuai syariat.

Berikut enam sisi keteladanan Zubair dalam mengelola uang:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Bertanggung Jawab Tanpa Berlebihan

Zubair dikenal sebagai kepala keluarga yang berani, disiplin, dan adil. Ia mendidik anak-anaknya dengan ketegasan dan nilai keberanian, tapi juga memberi nafkah secara cukup dan halal.

Istrinya, Asma’ binti Abu Bakar, meriwayatkan bahwa ia pernah membantu memelihara kuda dan menggiling biji-bijian sendiri, karena kondisi ekonomi mereka masih sulit di awal pernikahan. Namun Zubair tidak pernah membebani istrinya secara berlebihan, dan tetap berusaha meningkatkan taraf hidupnya secara halal.

Ketika kekayaan datang, Zubair tetap mendidik anak-anaknya untuk tidak tergoda dunia. Ia mengajari mereka tanggung jawab dan warisan yang sesungguhnya: iman dan keberanian.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Aktif, Produktif, dan Terukur

Zubair adalah seorang sahabat yang sukses dalam bisnis properti dan investasi. Ia membeli tanah-tanah di berbagai kota seperti:

Madinah

Basrah

Kufah

Mesir


Ia menjadikan tanah tersebut produktif, baik sebagai lahan pertanian, perdagangan, maupun sewa. Ia membangun sistem pengelolaan dan pencatatan, serta menjauhi transaksi haram dan riba.

Namun bisnisnya tidak membuatnya lemah dalam jihad. Ia tetap ikut hampir seluruh peperangan di masa Nabi ﷺ dan para khalifah sesudahnya. Harta tidak pernah mengalahkan semangat jihadnya.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Sangat Hati-Hati dan Terencana

Zubair bin Awwam sangat berhati-hati dalam masalah utang. Bahkan menjelang wafatnya, ia berkata kepada anaknya, Abdullah bin Zubair:

“Anakku, utangku banyak. Aku khawatir tidak bisa menunaikannya.”

Padahal ia tidak berutang dalam arti meminjam uang. Zubair justru sering menjadi penjamin orang lain, dan karena itu ia menganggapnya sebagai tanggung jawab penuh.

Ia meninggalkan wasiat untuk melunasi semua utangnya lebih dulu, sebelum warisan dibagikan. Ia berkata:

“Jika engkau tidak sanggup melunasi, mintalah pertolongan Allah.”

Hasilnya? Abdullah bin Zubair berhasil melunasi seluruh utang ayahnya dan masih menyisakan warisan yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa Zubair bukan hanya kaya, tapi tertib dan amanah.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tidak Pernah Mengambil Hak Umat

Zubair bin Awwam tidak pernah mengambil bagian dari kas negara untuk kepentingan pribadi. Ia hidup dari bisnis dan usahanya sendiri.

Ia tidak pernah korupsi, tidak memanfaatkan kedekatannya dengan Nabi ﷺ atau para khalifah untuk memperkaya diri. Ia menolak fasilitas istimewa dan memilih hidup mandiri.

Bagi Zubair, uang negara adalah milik umat. Ia tidak pernah ingin mengotorinya dengan tangan sendiri.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Jabatan Demi Persatuan

Zubair bin Awwam tidak pernah menjabat posisi administratif dalam pemerintahan. Meski ia punya pengaruh dan kecakapan, ia lebih memilih berada di medan perang.

Namun ketika diminta bergabung dalam Dewan Syura setelah wafatnya Umar bin Khattab, ia menerimanya sebagai amanah, bukan jalan ke jabatan.

Ia menolak menjadi khalifah karena tidak ingin memecah belah umat. Ia lebih rela meninggalkan gaji dan kekuasaan, daripada menjadi penyebab perpecahan.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Jelas, Adil, dan Penuh Amanah

Menjelang wafat, Zubair berkata kepada anaknya:

 “Segala utang dan jaminanku anggaplah sebagai utang wajib. Lunasilah sebelum kamu membagi warisan.”

Ia mewasiatkan agar semua tanggung jawab keuangan diselesaikan dulu. Ia memberikan daftar utang dan aset secara rinci. Di antara harta warisannya:

Sebidang tanah yang luas di Ghabah (wilayah Madinah)

Tanah-tanah di Irak, Mesir, dan Syam

Rumah-rumah dan aset properti yang produktif


Setelah semua utangnya dilunasi, anak-anaknya menerima warisan yang luar biasa besar. Namun mereka juga mewarisi etika kehati-hatian dan amanah dalam harta.



Penutup: Ksatria Dunia, Ahli Akhirat

Zubair bin Awwam adalah pedang di medan perang, dan pena di dunia perencanaan harta. Ia membuktikan bahwa keberanian di medan jihad bisa berjalan seiring dengan ketertiban dan kehati-hatian dalam ekonomi.

 Ia bukan hanya syahid dalam perang, tapi syahid dalam mengelola amanah harta.
Ia bukan hanya pemilik tanah di dunia, tapi juga pewaris surga di akhirat.

Zubair mengelola uang bukan dengan hawa nafsu, tapi dengan iman dan rasa takut kepada Allah. Itulah sebabnya hartanya barokah, dan namanya harum hingga hari ini.

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah: Amanah dalam Perang, Zuhud dalam Harta Oleh: Nasrulloh Baksolahar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra. adala...


Abu Ubaidah bin Al-Jarrah: Amanah dalam Perang, Zuhud dalam Harta

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra. adalah sahabat pilihan yang dijamin surga. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Setiap umat memiliki penjaga kepercayaannya, dan penjaga kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ia adalah panglima militer yang menaklukkan wilayah Syam, gubernur agung di masa Umar, dan pemimpin pasukan dalam banyak kemenangan. Namun di balik kepemimpinan besar itu, ia menjalani hidup yang sangat sederhana—seolah tak memiliki apa-apa.

Inilah teladan Abu Ubaidah dalam mengelola uang dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bertanggung Jawab

Meski menjabat sebagai gubernur Syam dan pemimpin pasukan Islam, Abu Ubaidah tetap hidup sangat sederhana. Ia menolak fasilitas mewah dari negara. Ketika Umar bin Khattab berkunjung ke rumahnya, ia hanya mendapati:

Sebuah tikar dari kulit

Sebuah kendi air

Sebilah pedang tergantung di dinding


Umar berkata sambil menangis:

“Semua ini sudah cukup bagimu, wahai Abu Ubaidah?”


Ia tetap mencukupi keluarganya, tetapi tidak berlebih dalam memberi. Ia ingin keluarganya merasakan keberkahan dari kesederhanaan dan tidak terlena oleh kekuasaan atau harta.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Tidak Banyak Berbisnis, Fokus pada Layanan Publik

Abu Ubaidah tidak dikenal sebagai pedagang atau pengusaha seperti sahabat lain (misalnya Abdurrahman bin Auf atau Utsman bin Affan). Fokus hidupnya adalah:

Jihad fi sabilillah

Mengatur wilayah Syam sebagai gubernur

Menjadi pemimpin militer yang bersih dan adil


Ia tidak menimbun kekayaan dari jabatannya. Meski berpeluang mengembangkan kekayaan dari berbagai penaklukan, ia menjauhi dunia.

Ketika Umar memintanya menyampaikan laporan keuangan, harta pribadinya nyaris tidak ada.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-Hati, Tidak Membebani

Abu Ubaidah dikenal tidak berutang, dan tidak berfoya-foya. Ia hidup dalam batas kebutuhan pokok.

Tidak ditemukan riwayat besar bahwa ia meninggal dalam keadaan punya utang. Sebaliknya, ia selalu berusaha mencukupi dirinya tanpa menyusahkan orang lain.

Jika ada utang untuk kebutuhan jihad atau rakyat, ia mencatatnya dengan disiplin dan bertanggung jawab. Tapi untuk pribadi, ia menghindari segala bentuk pemborosan.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Bersih, Amanah, dan Tegas

Abu Ubaidah adalah teladan utama dalam mengelola uang negara. Ketika Umar menunjuknya menjadi gubernur agung Syam, ia diberi wewenang penuh atas administrasi, militer, dan fiskal.

Namun Umar tetap mengawasi, karena takut Abu Ubaidah "terlalu jujur untuk menolak uang, tapi terlalu zuhud untuk mengatur kekayaan." Tapi Abu Ubaidah membuktikan, ia mampu menolak, dan mampu mengatur.

Ia memastikan:

Tidak satu dirham pun dari kas negara digunakan untuk kepentingan pribadi

Pajak tidak memberatkan rakyat

Harta rampasan perang disalurkan secara adil

Dana publik disimpan dan digunakan dengan penuh tanggung jawab


Ia menolak hadiah pribadi dari bawahannya, karena khawatir itu menjadi sumber fitnah.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Cukupkan dengan yang Ada

Sebagai gubernur, Abu Ubaidah menerima tunjangan dari negara. Tapi ia selalu meminta jumlah minimal, hanya sekadar cukup untuk makan dan nafkah keluarga.

Ketika Umar hendak menambah tunjangan karena beratnya tugas Abu Ubaidah, ia menolak dengan berkata:

“Aku khawatir kenyamanan dunia ini melemahkan tekadku dalam jihad.”

Ia lebih memilih hidup apa adanya, bahkan kadang menyerahkan kembali gaji yang tidak ia gunakan ke kas negara.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Sedikit Harta, Banyak Doa

Abu Ubaidah wafat pada tahun 18 H karena wabah Tha’un ‘Amwas di Syam. Saat wafat, ia tidak meninggalkan banyak harta. Sebagian riwayat menyebutkan:

Ia hanya meninggalkan seekor unta

Sebilah pedang

Sebuah pelana tua


Namun yang ia wariskan adalah nama yang harum, reputasi yang bersih, dan semangat kepemimpinan yang adil.

Ia berpesan kepada rakyat Syam:

“Aku tinggalkan kalian dalam keadaan aku tidak mengambil apa pun dari harta kalian. Aku telah melayani, bukan mengambil. Jika kalian temukan diriku menyimpang, maafkan aku dan doakan aku.”

Dan rakyat pun menangis saat melepasnya. Bukan karena kehilangan uang, tapi karena kehilangan pemimpin yang jujur, tulus, dan suci hatinya.



 Penutup: Amanah yang Menjadi Warisan

Abu Ubaidah adalah contoh sempurna bahwa jabatan dan harta tidak harus mengotori jiwa. Ia memimpin tanpa korupsi, memberi tanpa menuntut kembali.

Ia tidak kaya harta, tapi kaya kehormatan.
Ia tidak meninggalkan warisan dunia, tapi meninggalkan jejak surgawi.

Dunia Islam hari ini sangat butuh sosok seperti Abu Ubaidah: tegas, bersih, dan zuhud. Karena dari tangannya, negara bisa maju—dan dari ketulusannya, umat bisa hidup damai.

Sa‘id bin Zaid: Kaya Dalam Zuhud, Lurus Dalam Amanah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sa‘id bin Zaid ra. adalah sahabat Nabi ﷺ yang te...

Sa‘id bin Zaid: Kaya Dalam Zuhud, Lurus Dalam Amanah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sa‘id bin Zaid ra. adalah sahabat Nabi ﷺ yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga dalam satu majelis. Ia menantu Umar bin Khattab, dan berasal dari keluarga yang sejak awal sudah mengenal tauhid murni — ayahnya, Zaid bin Amr, adalah pencari kebenaran sebelum Islam datang.

Meski tidak sepopuler Umar atau Abdurrahman bin Auf, Sa‘id adalah pejuang yang setia dalam setiap medan perang dan pendukung Rasulullah ﷺ sejak awal dakwah. Ia bukan hanya pejuang, tapi juga pengelola harta pribadi dan amanah publik dengan penuh ketakwaan.

Berikut enam sisi teladan Sa‘id bin Zaid dalam urusan keuangan dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Penuh Tanggung Jawab dan Kesederhanaan

Sa‘id hidup sebagai kepala keluarga yang penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Ia menjaga keluarganya dari kemiskinan, namun tidak pernah menjerumuskan mereka dalam cinta dunia.

Istrinya, Fatimah binti Khattab (adik Umar bin Khattab), dikenal sebagai wanita kuat dan cerdas. Keduanya hidup sederhana, bahkan ketika harta dan kekuasaan Islam melimpah. Mereka membesarkan keluarga dalam semangat tauhid dan akhlak.

Sa‘id tidak membanjiri rumahnya dengan emas dan perak, tapi dengan rasa syukur dan iman.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Terlibat, Tapi Tidak Tamak

Sa‘id bukan pedagang besar seperti Abdurrahman bin Auf, namun ia tetap mandiri secara ekonomi. Ia memiliki beberapa kebun dan properti di Madinah dan sekitarnya, yang menghasilkan cukup untuk keluarganya.

Ia tidak menimbun kekayaan dan lebih memilih untuk menyumbangkan hartanya saat dibutuhkan umat. Dalam beberapa riwayat, Sa‘id dikenal suka mendermakan kebun atau sebagian hasil panennya untuk kaum miskin.

Ia menjadikan harta sebagai alat untuk ibadah, bukan tujuan hidup.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Waspada dan Tidak Memberatkan

Tidak ada riwayat yang menyebut Sa‘id bin Zaid meninggal dalam keadaan memiliki utang. Ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berhati-hati dalam bertransaksi, dan tidak hidup di atas kemampuan.

Ia tidak terbiasa berutang, dan jika berutang, ia berusaha melunasi dengan segera. Sebaliknya, ketika orang lain berutang kepadanya, ia ringan memaafkan jika benar-benar tidak sanggup membayar.

Ia takut utang menjadi penghalang amal dan kedamaian kuburnya.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Jujur dan Tidak Serakah

Sa‘id bin Zaid pernah menjabat sebagai penyelia tanah atau administrasi saat penaklukan wilayah Irak. Umar bin Khattab mempercayainya karena sifatnya yang lurus, tidak rakus, dan tidak silau dunia.

Ia mengelola wilayah dan distribusi tanah rampasan perang dengan adil dan jujur. Tidak ada laporan bahwa ia mengambil keuntungan pribadi dari posisi itu.

Ia sangat takut jika harta negara tercampur dengan hartanya. Karena itu, ia sering menolak hadiah, dan bersikap keras terhadap praktik korupsi.

Dalam diamnya, Sa‘id adalah pejuang transparansi.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Kehormatan Dunia

Sebagai salah satu sahabat senior dan panglima perang, Sa‘id sebenarnya berhak atas gaji dan bagian rampasan perang. Namun, ia tidak pernah tamak. Bahkan dalam banyak riwayat, ia lebih suka diberi bagian paling akhir, dan banyak dari bagiannya diinfakkan kembali.

Ia tidak pernah mengejar posisi atau kekuasaan. Dalam Dewan Syura untuk memilih khalifah setelah Umar, Sa‘id berkata:

“Aku tidak pantas menjadi khalifah, tapi aku tidak akan menyalahi urusan umat ini.”

Sikap ini menunjukkan bahwa ia lebih memilih ketenangan akhirat daripada gemerlap jabatan dan fasilitasnya.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Sedikit Harta, Banyak Amal

Ketika Sa‘id bin Zaid wafat pada tahun 50 H, ia tidak meninggalkan warisan yang besar. Namun ia mewariskan:

Beberapa kebun yang ia wakafkan untuk kaum miskin

Rumah-rumah sederhana yang dibagikan adil kepada keluarganya

Nama baik dan reputasi suci dalam sejarah Islam


Ia tidak memikirkan pembagian harta secara rumit, karena hartanya memang tidak banyak. Namun ia meninggalkan wasiat agar:

Utang (jika ada) dilunasi dahulu

Wakaf tidak diubah fungsinya

Anak-anaknya tetap hidup sederhana dan bertakwa


Ia tidak meninggalkan kemewahan, tapi meninggalkan keteladanan.




 Penutup: Diamnya Emas, Zuhudnya Mulia

Sa‘id bin Zaid bukan sosok yang banyak bicara, bukan pula yang berlomba dalam kekayaan. Tapi justru dalam kesunyiannya, ia menjaga akhlak, harta, dan umat dari keculasan.

Ia menjaga diri dari kerakusan,
Menjaga keluarganya dari dunia,
Menjaga hartanya dari korupsi,
Dan menjaga warisannya dari pertikaian.

Ia memang tidak terlihat di panggung sejarah ekonomi, tapi ia adalah teladan abadi dalam kejujuran dan tanggung jawab terhadap harta.

Sa‘d bin Abi Waqqash: Panglima Dermawan, Penjaga Amanah Umat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sa‘d bin Abi Waqqash ra. adalah pemanah ...

Sa‘d bin Abi Waqqash: Panglima Dermawan, Penjaga Amanah Umat

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sa‘d bin Abi Waqqash ra. adalah pemanah jitu, panglima besar, dan sahabat yang doanya tak pernah ditolak. Ia dikenal tegas dalam jihad, lembut dalam keluarga, dan cermat dalam mengelola harta.

Kekayaannya bertambah seiring kejayaan Islam, tapi hatinya tak pernah terikat dunia. Ia tetap zuhud, dermawan, dan penuh tanggung jawab. Inilah enam kisah utama manajemen harta ala Sa‘d:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Seimbang dan Penuh Kasih

Sa‘d bin Abi Waqqash membesarkan keluarga dalam suasana tanggung jawab dan kecukupan. Ia memastikan kebutuhan istri dan anak-anaknya terpenuhi dari sumber halal dan bersih. Tapi ia juga menanamkan sikap tidak bergantung pada dunia.

Putranya, Umar bin Sa‘d, dididik dalam kedisiplinan, ilmu, dan akhlak, meskipun kelak sejarah mencatat jalan hidupnya berbalik arah. Sa‘d tetap bertanggung jawab dan tidak menurunkan gaya hidup mewah meski sebagai pahlawan dan gubernur.

“Kekayaan bukan untuk memanjakan keluarga, tapi untuk menjaga kehormatan dan memberi keteladanan.”



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Mandiri dan Amanah

Sebelum Islam, Sa‘d sudah bekerja sebagai pengrajin busur dan pedagang kecil. Setelah Islam menyebar dan Sa‘d ikut dalam penaklukan Persia, ia mendapat bagian ghanimah (harta rampasan perang) yang besar.

Namun ia tetap berusaha dan tidak hanya bergantung pada rampasan atau gaji. Ia memiliki ladang, kebun, dan ternak. Dalam riwayat disebutkan, tanahnya di luar Madinah menghasilkan panen yang melimpah, dan ia menjadikan sebagian besar hasilnya untuk:

Nafkah keluarga

Membantu kerabat miskin

Wakaf dan infak jihad


“Harta adalah karunia, bukan tujuan. Maka harus dikelola, bukan disembah.”



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-Hati dan Penuh Tanggung Jawab

Sa‘d dikenal sangat berhati-hati dengan utang. Ia takut mati membawa beban dunia. Tidak ada riwayat bahwa ia meninggal dalam keadaan terlilit utang.

Jika ada orang berutang kepadanya, dan benar-benar tidak sanggup membayar, Sa‘d sering memaafkan dan mengikhlaskan. Ia takut kezaliman karena menagih secara kasar.

Rasulullah ﷺ bersabda bahwa orang yang memudahkan orang berutang, Allah akan memudahkannya. Dan Sa‘d mengamalkannya.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tegas dan Amanah

Sa‘d bin Abi Waqqash pernah menjadi gubernur Kufah di era Umar bin Khattab. Di masa itu, ia mengelola keuangan negara dan pajak wilayah Irak yang sangat kaya.

Namun, ia dituduh oleh sebagian rakyat Kufah berlaku tidak adil. Ketika Umar menyelidiki, tidak ditemukan penyimpangan. Tapi Sa‘d tetap dilepas dari jabatannya karena Umar ingin menjaga kepercayaan publik.

Sa‘d menerima keputusan itu tanpa dendam. Ia berkata:

“Demi Allah, aku tidak menyelewengkan sebiji pun dari harta umat.”

Itulah integritasnya.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Tidak Serakah

Sebagai panglima Perang Qadisiyah – pertempuran besar yang menaklukkan Persia – Sa‘d mendapatkan bagian besar dari harta rampasan. Namun ia tidak mengambil gaji tambahan atau kompensasi berlebihan dari negara.

Gajinya sebagai gubernur digunakan secukupnya, dan sisanya dikembalikan ke baitul mal atau disedekahkan. Ia ingin menunjukkan bahwa jabatan bukan jalan memperkaya diri.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Membagi dengan Adil dan Bijak

Saat Sa‘d menjelang wafat pada tahun 55 H di daerah ‘Aqiq (dekat Madinah), ia dikenal sebagai salah satu sahabat terkaya yang masih hidup. Tapi sebelum wafat, ia mewakafkan sebagian besar kekayaannya.

Dalam wasiatnya:

Ia membebaskan hamba sahaya

Menetapkan wakaf untuk madrasah dan masjid

Memastikan anak-anaknya diberi sesuai syariat, tanpa memanjakan

Ia juga meminta maaf jika pernah mengambil harta tanpa hak, meski tidak ada yang menuntut.

 “Aku tidak ingin menghadap Rabb-ku dengan satu dinar pun yang bukan milikku.”



Penutup: Panglima Agung, Hamba yang Rendah Hati

Sa‘d bin Abi Waqqash adalah sahabat yang kaya tanpa cinta dunia, berkuasa tanpa tamak, dan terkenal tanpa mencari pujian.

Ia menjadikan dunia sebagai titipan,
Jabatan sebagai amanah,
Harta sebagai ladang amal,
Dan warisan sebagai cahaya di kubur.

Hasan bin Ali dalam Mengelola Harta dan Amanah Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT 1. Mengelola Keuangan Keluarga:...

Hasan bin Ali dalam Mengelola Harta dan Amanah

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT


1. Mengelola Keuangan Keluarga: Qana’ah dan Kedermawanan

Hasan bin Ali tumbuh dalam rumah yang penuh kesucian dan kesederhanaan. Ia mewarisi sifat dermawan dari kakeknya (Rasulullah ﷺ) dan ayahnya (Ali bin Abi Thalib).

Diriwayatkan bahwa:

Hasan bin Ali pernah membagikan seluruh hartanya kepada fakir miskin sebanyak dua kali dalam hidupnya, dan pernah membagi hartanya menjadi dua, lalu memberikan separuhnya sebanyak tiga kali.

Namun, ia tetap memenuhi kebutuhan keluarga dengan tanggung jawab dan penuh kasih. Meski hidup sederhana, ia menjaga izzah (kehormatan) keluarga, tanpa meminta-minta dan tanpa membiarkan mereka kelaparan.

Prinsip utama Hasan: Harta adalah titipan, dan keluarga tidak boleh menjadi alasan untuk mencintai dunia secara berlebihan.



2. Mengelola Kas Negara: Menjaga Amanah Umat

Ketika menjabat sebagai khalifah, Hasan bin Ali hanya memerintah selama beberapa bulan sebelum menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah demi mencegah pertumpahan darah (peristiwa ini dikenal sebagai “Tahun Jamaah”).

Selama kepemimpinannya yang singkat, Hasan bin Ali dikenal tidak mengambil sepeser pun dari kas negara untuk kepentingan pribadi.

Ia memisahkan dengan tegas antara harta umat (baitul mal) dan harta pribadinya. Ia menolak menggunakan harta negara, kecuali untuk urusan umat dan kebutuhan mendesak.

Hasan bin Ali adalah teladan pemimpin yang memandang kekuasaan bukan hak, tapi amanah berat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.



3. Mengelola Gaji sebagai Khalifah: Menolak Kemewahan

Ketika diangkat menjadi khalifah, Hasan menolak fasilitas mewah. Ia memilih tinggal di rumah biasa dan hidup dari usaha pribadi dan sedekah yang halal, tanpa membebani umat.

Diceritakan bahwa beliau lebih banyak mendermakan hartanya daripada menyimpannya. Bahkan jika diberi harta oleh seseorang, ia segera membaginya kepada yang lebih membutuhkan.

Suatu hari, ia ditanya, “Mengapa engkau banyak bersedekah?”
Ia menjawab: “Aku malu kepada Allah bila aku menerima nikmat-Nya, tapi aku enggan memberi kepada hamba-Nya.”



4. Melunasi Utang: Segera dan Diam-diam

Hasan bin Ali sangat menjaga kehormatan diri dan keluarga dalam soal utang. Ia tidak membiarkan utang menumpuk, dan jika berutang, maka ia akan berusaha melunasi secepat mungkin.

Salah satu teladan luar biasa adalah sikapnya terhadap utang orang lain.

Ia pernah mendengar seorang lelaki dari kalangan sahabat ayahnya terjerat utang. Ia lalu diam-diam menyuruh seseorang membayar seluruh utangnya tanpa memberitahukan sang lelaki.

Bagi Hasan bin Ali, utang bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kemuliaan jiwa dan kepercayaan sosial.



5. Wasiat Soal Hutang saat Wafat: Tidak Mau Membawa Utang ke Alam Kubur

Menjelang wafatnya, Hasan bin Ali berwasiat kepada saudaranya, Husain, agar melunasi utang-utang pribadinya jika belum sempat terbayar.

"Wahai saudaraku Husain, bila aku wafat dan masih punya utang, maka lunasilah. Aku tidak ingin menghadap Allah dengan membawa hak manusia yang belum ditunaikan."



Wasiat ini menunjukkan betapa beratnya tanggung jawab soal utang dalam pandangan beliau, dan betapa tingginya kehati-hatian Hasan bin Ali terhadap hak-hak orang lain.



Penutup: Hasan bin Ali, Pewaris Akhlak Kenabian

Hasan bin Ali bukan hanya pemimpin yang bijak, tapi juga contoh nyata bagaimana seorang Muslim mulia memperlakukan uang:

Tidak bergantung padanya,

Tidak rakus terhadapnya,

Dan tidak membiarkan dirinya diperbudak oleh dunia.


“Dunia hanya tempat kita memberi, bukan tempat kita menggenggam.”
— Hasan bin Ali

Ali bin Abi Thalib: Kaya Hikmah, Bersih Harta Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra...

Ali bin Abi Thalib: Kaya Hikmah, Bersih Harta

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. adalah pintu ilmu, menantu Rasulullah ﷺ, dan khalifah keempat yang hidup dalam gejolak fitnah besar. Namun di tengah konflik politik, beliau tetap menjaga satu hal dengan sangat serius: harta.

Di tangannya, uang tidak berkuasa. Ia tidak menjadi hamba harta, justru menjadikan harta alat untuk menguatkan keadilan dan menjaga harga diri umat.

Inilah enam cara Sayyidina Ali mengelola uang dalam berbagai sisi kehidupannya.



1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bersahaja

Ali hidup dengan Fatimah az-Zahra dalam kesederhanaan luar biasa. Mereka pernah hidup hanya dengan satu tikar kulit dan satu penggiling tangan dari batu.

Suatu hari, Fatimah mengeluh karena tangannya kasar akibat menggiling sendiri gandum. Ia minta pembantu. Tapi Ali berkata:

“Wahai Fatimah, maukah kau kuajari sesuatu yang lebih baik daripada pembantu?”

Lalu ia ajarkan tasbih, tahmid, dan takbir sebagai kekuatan spiritual menggantikan keluhan duniawi.

Ali memberi nafkah seadanya. Ketika uang cukup, mereka makan. Ketika tidak, mereka bersabar. Tapi kehormatan rumah tangga mereka tak pernah dijual demi dunia.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Mandiri dan Produktif

Ali bukan pedagang besar seperti Abu Bakar atau Utsman, tapi ia bekerja keras sebagai buruh, petani, dan penggali sumur. Ia membuka banyak lahan di Madinah dan sekitarnya, menggali sumur dengan tangan sendiri.

Hasil dari pertanian dan airnya diwakafkan. Ia berkata:

“Bekerja dengan tangan sendiri adalah kemuliaan, dan berbagi dengan ikhlas adalah kebebasan.”

Ia menjadikan bisnis sebagai jalan kemandirian, bukan jalan menjadi kaya raya. Tidak bergantung, tidak meminta.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-hati dan Bertanggung Jawab

Ali sangat hati-hati dengan utang. Ia berkata:

“Utang adalah kehinaan di siang hari, dan kegelisahan di malam hari.”

Ia tidak suka berutang, dan tidak suka rakyatnya terlilit utang karena ketidakadilan. Bila seseorang berutang karena kebutuhan mendesak, ia bantu. Tapi bila karena malas, ia ingatkan.

Ia juga tidak meninggalkan utang saat wafat, dan mewasiatkan untuk melunasi semua hak orang sebelum jasadnya ditanam.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Sangat Tegas, Sangat Bersih

Saat menjabat khalifah, Ali ra. memimpin negara dalam kondisi yang kacau: fitnah, pemberontakan, dan perpecahan. Tapi ia tetap memisahkan mutlak antara harta negara dan kepentingan pribadi.

Ia berkata:

“Demi Allah, andai aku kelaparan dan kas negara ada madu dan gandum, aku tidak akan menyentuhnya tanpa hak.”

Ia membakar surat-surat permintaan dari kerabatnya yang meminta jatah. Ia menolak anak-anak Bani Hasyim yang meminta keistimewaan.

Pernah seseorang memberi madu sebagai hadiah, lalu Ali bertanya, “Apakah ini hadiah atau zakat?” Ketika dijawab “zakat,” ia menolak dan berkata:

“Zakat tidak halal bagi keluarga Nabi.”



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Cukup untuk Hidup, Tak Lebih

Ali menerima gaji sebagai khalifah, tapi sangat minimal. Ia hanya mengambil kebutuhan pokok, dan bila berlebih ia kembalikan ke Baitul Mal.

Ia memakai pakaian biasa, makan roti kering dan garam, dan tidak pernah duduk di meja makanan mewah. Bila ada undangan jamuan yang mewah, ia lebih memilih absen.

Ia pernah berkata:

“Apakah pantas aku makan enak, sementara rakyatku lapar?”

Dalam suatu khutbah, ia menangis dan berkata:

 “Bisa jadi di pelosok negeri ini ada orang lapar yang tak aku ketahui. Bagaimana aku akan menjawabnya kelak di hadapan Allah?”



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Semua untuk Allah, Jangan Tinggalkan Beban

Sebelum wafat akibat tusukan Ibnu Muljam, Ali menulis wasiat:

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan harta. Jangan kalian wariskan utang. Tunaikan hak orang sebelum kalian ditanya oleh Allah.”

Ia mewasiatkan tanah, sumur, dan kebun miliknya untuk dijadikan wakaf. Anak-anaknya tidak diwarisi tanah kekuasaan, tapi warisan kehormatan dan ilmu.

Ia wafat dalam keadaan sederhana. Tak ada kekayaan besar. Tak ada istana. Tapi jiwanya telah kaya sejak dulu: kaya dalam takut kepada Allah.



Penutup: Zuhud Bukan Menolak Uang, Tapi Menundukkan Hati dari Dunia

Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa zuhud bukan berarti anti-harta, melainkan menguasai harta, bukan dikuasai olehnya.

Ia menanam dengan tangan sendiri, tapi hasilnya untuk umat.
Ia menjabat khalifah, tapi tak ambil fasilitas.
Ia bisa kaya, tapi memilih mulia.

Kalau para pemimpin dan kepala keluarga meneladani Ali, negeri ini akan penuh amanah, dan harta akan menjadi jalan ke surga, bukan ke neraka.

Utsman bin Affan: Saudagar Dermawan, Khalifah Zuhud Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Utsman bin Affan ra., kha...

Utsman bin Affan: Saudagar Dermawan, Khalifah Zuhud

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Utsman bin Affan ra., khalifah ketiga Islam, adalah sahabat Nabi ﷺ yang diberi dua cahaya—menikahi dua putri Rasulullah secara bergantian. Ia adalah pemalu di depan manusia, tapi berani memberi besar-besaran di jalan Allah.

Ia kaya raya, tapi hatinya tak pernah terpaut pada harta. Uang baginya bukan simbol kekuasaan, tapi alat untuk menyelamatkan umat dan membeli ridha Allah.

Inilah cara Utsman bin Affan mengelola harta dalam berbagai peran hidupnya:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Lembut, Adil, dan Penuh Tanggung Jawab

Utsman berasal dari keluarga Quraisy terpandang, dan ia salah satu saudagar sukses di Makkah. Namun kekayaan itu tidak membuatnya pelit atau arogan.

Ia dikenal sangat penyayang terhadap istri-istrinya, termasuk saat mendampingi Ruqayyah dan kemudian Ummu Kultsum (putri Rasulullah ﷺ). Ia menafkahi mereka dengan layak, bahkan sering memberikan hadiah atau pakaian mewah sebagai bentuk cinta—tanpa berlebihan.

Tapi di balik kelembutan itu, Utsman tetap menjaga prinsip syariat: tidak boros, tidak riya, dan tidak melampaui batas kemampuan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Profesional, Jujur, dan Berkah

Utsman adalah pedagang yang sangat sukses. Ia berdagang kain, rempah, dan barang kebutuhan pokok hingga memiliki armada dagang sendiri.

Namun prinsipnya dalam berdagang sangat kuat:

Tidak pernah menipu timbangan

Tidak memonopoli

Tidak menimbun barang saat harga naik

Selalu membayar utang dagang tepat waktu

Tidak mengambil keuntungan dari musibah orang lain


Ia pernah berkata:

“Harta ini hanya amanah. Jika Allah mengambilnya kembali, aku rela. Jika Allah memintanya untuk agama-Nya, aku beri.”


Itulah sebabnya, walau hartanya banyak, Utsman tidak pernah tertawa keras di hadapan orang miskin.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Jangan Biarkan Jadi Beban Akhirat

Utsman sangat berhati-hati dalam berutang. Ia tidak berutang untuk spekulasi bisnis, dan lebih memilih memperluas modal dari hasil keuntungan dagang.

Tapi bila orang lain berutang padanya, ia gampang memaafkan. Bahkan ia pernah membebaskan utang seorang sahabat yang tidak mampu bayar, dengan berkata:

“Aku berharap Allah membebaskanku dari utang di akhirat, sebagaimana aku membebaskanmu di dunia.”


Utsman mengajarkan bahwa harta bisa jadi penyelamat, jika digunakan untuk meringankan beban orang lain.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Pisahkan Harta Pribadi dan Publik

Ketika menjadi khalifah, Utsman tetap memisahkan jelas antara harta pribadinya yang melimpah dan kas negara yang harus dijaga.

Ia bahkan tidak mengambil gaji dari Baitul Mal di masa awal pemerintahannya. Ia hidup dari hasil usahanya sendiri. Jika menggunakan fasilitas negara, ia catat dan bayar.

Ia juga memperbaiki administrasi fiskal, mencatat aset negara, dan membentuk unit akuntansi. Ia adalah pemimpin yang menerapkan prinsip audit dan pelaporan kekayaan.

Namun karena ia memberi banyak subsidi dan bantuan, muncul tuduhan nepotisme dari sebagian pihak—yang kelak dimanfaatkan untuk menggulingkannya. Padahal, ia membagikan bantuan bukan karena hubungan darah, tapi karena tanggung jawab sosial.



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Menolak Gaji, Hidup dari Usaha Sendiri

Ketika ditawari gaji sebagai khalifah, Utsman menolak. Ia berkata:

“Aku tidak butuh dari Baitul Mal. Allah telah mencukupiku dari hasil perniagaanku.”


Ia mencontoh Abu Bakar dan Umar, tapi bahkan lebih ketat dalam hal ini.

Ia hidup dari ladang kurma, kebun, dan bisnis kafilah dagangnya yang masih terus berjalan, meski ia memimpin negara besar.

Ia hanya memakai gaji negara jika benar-benar darurat, dan selalu mencatat setiap pengeluaran negara yang ia gunakan.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Kembali kepada Umat, Beli Surga dengan Sedekah

Saat wafat dalam keadaan dizalimi oleh para pemberontak, Utsman tidak meninggalkan utang, tidak meninggalkan kekayaan yang belum dibagi, dan tidak menguasai harta umat.

Ia justru meninggalkan jejak sedekah besar:

Sumur Raumah yang ia beli dan hibahkan untuk rakyat Madinah

Biaya besar untuk perang Tabuk (menyumbang 1.000 unta lengkap dengan peralatannya)

Rumah dan lahan yang ia wakafkan untuk masjid Nabawi

Harta pribadinya yang ia wasiatkan sebagian untuk anak yatim dan fakir miskin


“Jika surga bisa dibeli dengan harta, aku akan membelinya berkali-kali,” demikian prinsip hidupnya.

Ia mati dalam keadaan puasa, membaca Al-Qur'an, dan darahnya menodai mushaf saat ia dibunuh. Dunia mencelakainya, tapi ia sudah membeli akhirat dengan seluruh hartanya.



Penutup: Kaya Tak Harus Rakus

Utsman bin Affan membuktikan bahwa menjadi kaya itu tidak haram, asal:

Jujur dalam mencari

Bersih dalam menggunakan

Banyak dalam memberi

Kecil dalam mengambil

Besar dalam hisab

 Ia adalah simbol kedermawanan tak bersyarat, pemilik harta yang tidak dikuasai dunia, dan pemimpin yang wafat dengan kehormatan dan Al-Qur’an di dadanya.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (259) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (239) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)