basmalah Pictures, Images and Photos
06/30/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Zubair bin Awwam: Ksatria Surga, Dermawan Dunia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Zubair bin Awwam ra. bukan sekadar sahabat Nabi ï·º. Ia...

Zubair bin Awwam: Ksatria Surga, Dermawan Dunia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Zubair bin Awwam ra. bukan sekadar sahabat Nabi ï·º. Ia adalah sepupu Rasulullah, menantu Abu Bakar, dan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Ia terkenal dengan keberaniannya di medan perang, tapi di balik baju zirahnya, tersimpan keahlian luar biasa dalam mengelola harta.

Harta di tangan Zubair bukan sumber kemewahan, tapi sarana perjuangan. Ia wafat dalam keadaan tidak menyisakan utang yang menyulitkan, dan warisan yang ia tinggalkan dibagi secara adil, sesuai syariat.

Berikut enam sisi keteladanan Zubair dalam mengelola uang:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Bertanggung Jawab Tanpa Berlebihan

Zubair dikenal sebagai kepala keluarga yang berani, disiplin, dan adil. Ia mendidik anak-anaknya dengan ketegasan dan nilai keberanian, tapi juga memberi nafkah secara cukup dan halal.

Istrinya, Asma’ binti Abu Bakar, meriwayatkan bahwa ia pernah membantu memelihara kuda dan menggiling biji-bijian sendiri, karena kondisi ekonomi mereka masih sulit di awal pernikahan. Namun Zubair tidak pernah membebani istrinya secara berlebihan, dan tetap berusaha meningkatkan taraf hidupnya secara halal.

Ketika kekayaan datang, Zubair tetap mendidik anak-anaknya untuk tidak tergoda dunia. Ia mengajari mereka tanggung jawab dan warisan yang sesungguhnya: iman dan keberanian.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Aktif, Produktif, dan Terukur

Zubair adalah seorang sahabat yang sukses dalam bisnis properti dan investasi. Ia membeli tanah-tanah di berbagai kota seperti:

Madinah

Basrah

Kufah

Mesir


Ia menjadikan tanah tersebut produktif, baik sebagai lahan pertanian, perdagangan, maupun sewa. Ia membangun sistem pengelolaan dan pencatatan, serta menjauhi transaksi haram dan riba.

Namun bisnisnya tidak membuatnya lemah dalam jihad. Ia tetap ikut hampir seluruh peperangan di masa Nabi ï·º dan para khalifah sesudahnya. Harta tidak pernah mengalahkan semangat jihadnya.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Sangat Hati-Hati dan Terencana

Zubair bin Awwam sangat berhati-hati dalam masalah utang. Bahkan menjelang wafatnya, ia berkata kepada anaknya, Abdullah bin Zubair:

“Anakku, utangku banyak. Aku khawatir tidak bisa menunaikannya.”

Padahal ia tidak berutang dalam arti meminjam uang. Zubair justru sering menjadi penjamin orang lain, dan karena itu ia menganggapnya sebagai tanggung jawab penuh.

Ia meninggalkan wasiat untuk melunasi semua utangnya lebih dulu, sebelum warisan dibagikan. Ia berkata:

“Jika engkau tidak sanggup melunasi, mintalah pertolongan Allah.”

Hasilnya? Abdullah bin Zubair berhasil melunasi seluruh utang ayahnya dan masih menyisakan warisan yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa Zubair bukan hanya kaya, tapi tertib dan amanah.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tidak Pernah Mengambil Hak Umat

Zubair bin Awwam tidak pernah mengambil bagian dari kas negara untuk kepentingan pribadi. Ia hidup dari bisnis dan usahanya sendiri.

Ia tidak pernah korupsi, tidak memanfaatkan kedekatannya dengan Nabi ï·º atau para khalifah untuk memperkaya diri. Ia menolak fasilitas istimewa dan memilih hidup mandiri.

Bagi Zubair, uang negara adalah milik umat. Ia tidak pernah ingin mengotorinya dengan tangan sendiri.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Jabatan Demi Persatuan

Zubair bin Awwam tidak pernah menjabat posisi administratif dalam pemerintahan. Meski ia punya pengaruh dan kecakapan, ia lebih memilih berada di medan perang.

Namun ketika diminta bergabung dalam Dewan Syura setelah wafatnya Umar bin Khattab, ia menerimanya sebagai amanah, bukan jalan ke jabatan.

Ia menolak menjadi khalifah karena tidak ingin memecah belah umat. Ia lebih rela meninggalkan gaji dan kekuasaan, daripada menjadi penyebab perpecahan.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Jelas, Adil, dan Penuh Amanah

Menjelang wafat, Zubair berkata kepada anaknya:

 “Segala utang dan jaminanku anggaplah sebagai utang wajib. Lunasilah sebelum kamu membagi warisan.”

Ia mewasiatkan agar semua tanggung jawab keuangan diselesaikan dulu. Ia memberikan daftar utang dan aset secara rinci. Di antara harta warisannya:

Sebidang tanah yang luas di Ghabah (wilayah Madinah)

Tanah-tanah di Irak, Mesir, dan Syam

Rumah-rumah dan aset properti yang produktif


Setelah semua utangnya dilunasi, anak-anaknya menerima warisan yang luar biasa besar. Namun mereka juga mewarisi etika kehati-hatian dan amanah dalam harta.



Penutup: Ksatria Dunia, Ahli Akhirat

Zubair bin Awwam adalah pedang di medan perang, dan pena di dunia perencanaan harta. Ia membuktikan bahwa keberanian di medan jihad bisa berjalan seiring dengan ketertiban dan kehati-hatian dalam ekonomi.

 Ia bukan hanya syahid dalam perang, tapi syahid dalam mengelola amanah harta.
Ia bukan hanya pemilik tanah di dunia, tapi juga pewaris surga di akhirat.

Zubair mengelola uang bukan dengan hawa nafsu, tapi dengan iman dan rasa takut kepada Allah. Itulah sebabnya hartanya barokah, dan namanya harum hingga hari ini.

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah: Amanah dalam Perang, Zuhud dalam Harta Oleh: Nasrulloh Baksolahar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra. adala...


Abu Ubaidah bin Al-Jarrah: Amanah dalam Perang, Zuhud dalam Harta

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra. adalah sahabat pilihan yang dijamin surga. Rasulullah ï·º pernah bersabda:

“Setiap umat memiliki penjaga kepercayaannya, dan penjaga kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ia adalah panglima militer yang menaklukkan wilayah Syam, gubernur agung di masa Umar, dan pemimpin pasukan dalam banyak kemenangan. Namun di balik kepemimpinan besar itu, ia menjalani hidup yang sangat sederhana—seolah tak memiliki apa-apa.

Inilah teladan Abu Ubaidah dalam mengelola uang dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bertanggung Jawab

Meski menjabat sebagai gubernur Syam dan pemimpin pasukan Islam, Abu Ubaidah tetap hidup sangat sederhana. Ia menolak fasilitas mewah dari negara. Ketika Umar bin Khattab berkunjung ke rumahnya, ia hanya mendapati:

Sebuah tikar dari kulit

Sebuah kendi air

Sebilah pedang tergantung di dinding


Umar berkata sambil menangis:

“Semua ini sudah cukup bagimu, wahai Abu Ubaidah?”


Ia tetap mencukupi keluarganya, tetapi tidak berlebih dalam memberi. Ia ingin keluarganya merasakan keberkahan dari kesederhanaan dan tidak terlena oleh kekuasaan atau harta.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Tidak Banyak Berbisnis, Fokus pada Layanan Publik

Abu Ubaidah tidak dikenal sebagai pedagang atau pengusaha seperti sahabat lain (misalnya Abdurrahman bin Auf atau Utsman bin Affan). Fokus hidupnya adalah:

Jihad fi sabilillah

Mengatur wilayah Syam sebagai gubernur

Menjadi pemimpin militer yang bersih dan adil


Ia tidak menimbun kekayaan dari jabatannya. Meski berpeluang mengembangkan kekayaan dari berbagai penaklukan, ia menjauhi dunia.

Ketika Umar memintanya menyampaikan laporan keuangan, harta pribadinya nyaris tidak ada.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-Hati, Tidak Membebani

Abu Ubaidah dikenal tidak berutang, dan tidak berfoya-foya. Ia hidup dalam batas kebutuhan pokok.

Tidak ditemukan riwayat besar bahwa ia meninggal dalam keadaan punya utang. Sebaliknya, ia selalu berusaha mencukupi dirinya tanpa menyusahkan orang lain.

Jika ada utang untuk kebutuhan jihad atau rakyat, ia mencatatnya dengan disiplin dan bertanggung jawab. Tapi untuk pribadi, ia menghindari segala bentuk pemborosan.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Bersih, Amanah, dan Tegas

Abu Ubaidah adalah teladan utama dalam mengelola uang negara. Ketika Umar menunjuknya menjadi gubernur agung Syam, ia diberi wewenang penuh atas administrasi, militer, dan fiskal.

Namun Umar tetap mengawasi, karena takut Abu Ubaidah "terlalu jujur untuk menolak uang, tapi terlalu zuhud untuk mengatur kekayaan." Tapi Abu Ubaidah membuktikan, ia mampu menolak, dan mampu mengatur.

Ia memastikan:

Tidak satu dirham pun dari kas negara digunakan untuk kepentingan pribadi

Pajak tidak memberatkan rakyat

Harta rampasan perang disalurkan secara adil

Dana publik disimpan dan digunakan dengan penuh tanggung jawab


Ia menolak hadiah pribadi dari bawahannya, karena khawatir itu menjadi sumber fitnah.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Cukupkan dengan yang Ada

Sebagai gubernur, Abu Ubaidah menerima tunjangan dari negara. Tapi ia selalu meminta jumlah minimal, hanya sekadar cukup untuk makan dan nafkah keluarga.

Ketika Umar hendak menambah tunjangan karena beratnya tugas Abu Ubaidah, ia menolak dengan berkata:

“Aku khawatir kenyamanan dunia ini melemahkan tekadku dalam jihad.”

Ia lebih memilih hidup apa adanya, bahkan kadang menyerahkan kembali gaji yang tidak ia gunakan ke kas negara.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Sedikit Harta, Banyak Doa

Abu Ubaidah wafat pada tahun 18 H karena wabah Tha’un ‘Amwas di Syam. Saat wafat, ia tidak meninggalkan banyak harta. Sebagian riwayat menyebutkan:

Ia hanya meninggalkan seekor unta

Sebilah pedang

Sebuah pelana tua


Namun yang ia wariskan adalah nama yang harum, reputasi yang bersih, dan semangat kepemimpinan yang adil.

Ia berpesan kepada rakyat Syam:

“Aku tinggalkan kalian dalam keadaan aku tidak mengambil apa pun dari harta kalian. Aku telah melayani, bukan mengambil. Jika kalian temukan diriku menyimpang, maafkan aku dan doakan aku.”

Dan rakyat pun menangis saat melepasnya. Bukan karena kehilangan uang, tapi karena kehilangan pemimpin yang jujur, tulus, dan suci hatinya.



 Penutup: Amanah yang Menjadi Warisan

Abu Ubaidah adalah contoh sempurna bahwa jabatan dan harta tidak harus mengotori jiwa. Ia memimpin tanpa korupsi, memberi tanpa menuntut kembali.

Ia tidak kaya harta, tapi kaya kehormatan.
Ia tidak meninggalkan warisan dunia, tapi meninggalkan jejak surgawi.

Dunia Islam hari ini sangat butuh sosok seperti Abu Ubaidah: tegas, bersih, dan zuhud. Karena dari tangannya, negara bisa maju—dan dari ketulusannya, umat bisa hidup damai.

Sa‘id bin Zaid: Kaya Dalam Zuhud, Lurus Dalam Amanah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sa‘id bin Zaid ra. adalah sahabat Nabi ï·º yang te...

Sa‘id bin Zaid: Kaya Dalam Zuhud, Lurus Dalam Amanah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sa‘id bin Zaid ra. adalah sahabat Nabi ï·º yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga dalam satu majelis. Ia menantu Umar bin Khattab, dan berasal dari keluarga yang sejak awal sudah mengenal tauhid murni — ayahnya, Zaid bin Amr, adalah pencari kebenaran sebelum Islam datang.

Meski tidak sepopuler Umar atau Abdurrahman bin Auf, Sa‘id adalah pejuang yang setia dalam setiap medan perang dan pendukung Rasulullah ï·º sejak awal dakwah. Ia bukan hanya pejuang, tapi juga pengelola harta pribadi dan amanah publik dengan penuh ketakwaan.

Berikut enam sisi teladan Sa‘id bin Zaid dalam urusan keuangan dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Penuh Tanggung Jawab dan Kesederhanaan

Sa‘id hidup sebagai kepala keluarga yang penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Ia menjaga keluarganya dari kemiskinan, namun tidak pernah menjerumuskan mereka dalam cinta dunia.

Istrinya, Fatimah binti Khattab (adik Umar bin Khattab), dikenal sebagai wanita kuat dan cerdas. Keduanya hidup sederhana, bahkan ketika harta dan kekuasaan Islam melimpah. Mereka membesarkan keluarga dalam semangat tauhid dan akhlak.

Sa‘id tidak membanjiri rumahnya dengan emas dan perak, tapi dengan rasa syukur dan iman.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Terlibat, Tapi Tidak Tamak

Sa‘id bukan pedagang besar seperti Abdurrahman bin Auf, namun ia tetap mandiri secara ekonomi. Ia memiliki beberapa kebun dan properti di Madinah dan sekitarnya, yang menghasilkan cukup untuk keluarganya.

Ia tidak menimbun kekayaan dan lebih memilih untuk menyumbangkan hartanya saat dibutuhkan umat. Dalam beberapa riwayat, Sa‘id dikenal suka mendermakan kebun atau sebagian hasil panennya untuk kaum miskin.

Ia menjadikan harta sebagai alat untuk ibadah, bukan tujuan hidup.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Waspada dan Tidak Memberatkan

Tidak ada riwayat yang menyebut Sa‘id bin Zaid meninggal dalam keadaan memiliki utang. Ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berhati-hati dalam bertransaksi, dan tidak hidup di atas kemampuan.

Ia tidak terbiasa berutang, dan jika berutang, ia berusaha melunasi dengan segera. Sebaliknya, ketika orang lain berutang kepadanya, ia ringan memaafkan jika benar-benar tidak sanggup membayar.

Ia takut utang menjadi penghalang amal dan kedamaian kuburnya.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Jujur dan Tidak Serakah

Sa‘id bin Zaid pernah menjabat sebagai penyelia tanah atau administrasi saat penaklukan wilayah Irak. Umar bin Khattab mempercayainya karena sifatnya yang lurus, tidak rakus, dan tidak silau dunia.

Ia mengelola wilayah dan distribusi tanah rampasan perang dengan adil dan jujur. Tidak ada laporan bahwa ia mengambil keuntungan pribadi dari posisi itu.

Ia sangat takut jika harta negara tercampur dengan hartanya. Karena itu, ia sering menolak hadiah, dan bersikap keras terhadap praktik korupsi.

Dalam diamnya, Sa‘id adalah pejuang transparansi.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Kehormatan Dunia

Sebagai salah satu sahabat senior dan panglima perang, Sa‘id sebenarnya berhak atas gaji dan bagian rampasan perang. Namun, ia tidak pernah tamak. Bahkan dalam banyak riwayat, ia lebih suka diberi bagian paling akhir, dan banyak dari bagiannya diinfakkan kembali.

Ia tidak pernah mengejar posisi atau kekuasaan. Dalam Dewan Syura untuk memilih khalifah setelah Umar, Sa‘id berkata:

“Aku tidak pantas menjadi khalifah, tapi aku tidak akan menyalahi urusan umat ini.”

Sikap ini menunjukkan bahwa ia lebih memilih ketenangan akhirat daripada gemerlap jabatan dan fasilitasnya.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Sedikit Harta, Banyak Amal

Ketika Sa‘id bin Zaid wafat pada tahun 50 H, ia tidak meninggalkan warisan yang besar. Namun ia mewariskan:

Beberapa kebun yang ia wakafkan untuk kaum miskin

Rumah-rumah sederhana yang dibagikan adil kepada keluarganya

Nama baik dan reputasi suci dalam sejarah Islam


Ia tidak memikirkan pembagian harta secara rumit, karena hartanya memang tidak banyak. Namun ia meninggalkan wasiat agar:

Utang (jika ada) dilunasi dahulu

Wakaf tidak diubah fungsinya

Anak-anaknya tetap hidup sederhana dan bertakwa


Ia tidak meninggalkan kemewahan, tapi meninggalkan keteladanan.




 Penutup: Diamnya Emas, Zuhudnya Mulia

Sa‘id bin Zaid bukan sosok yang banyak bicara, bukan pula yang berlomba dalam kekayaan. Tapi justru dalam kesunyiannya, ia menjaga akhlak, harta, dan umat dari keculasan.

Ia menjaga diri dari kerakusan,
Menjaga keluarganya dari dunia,
Menjaga hartanya dari korupsi,
Dan menjaga warisannya dari pertikaian.

Ia memang tidak terlihat di panggung sejarah ekonomi, tapi ia adalah teladan abadi dalam kejujuran dan tanggung jawab terhadap harta.

Sa‘d bin Abi Waqqash: Panglima Dermawan, Penjaga Amanah Umat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sa‘d bin Abi Waqqash ra. adalah pemanah ...

Sa‘d bin Abi Waqqash: Panglima Dermawan, Penjaga Amanah Umat

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sa‘d bin Abi Waqqash ra. adalah pemanah jitu, panglima besar, dan sahabat yang doanya tak pernah ditolak. Ia dikenal tegas dalam jihad, lembut dalam keluarga, dan cermat dalam mengelola harta.

Kekayaannya bertambah seiring kejayaan Islam, tapi hatinya tak pernah terikat dunia. Ia tetap zuhud, dermawan, dan penuh tanggung jawab. Inilah enam kisah utama manajemen harta ala Sa‘d:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Seimbang dan Penuh Kasih

Sa‘d bin Abi Waqqash membesarkan keluarga dalam suasana tanggung jawab dan kecukupan. Ia memastikan kebutuhan istri dan anak-anaknya terpenuhi dari sumber halal dan bersih. Tapi ia juga menanamkan sikap tidak bergantung pada dunia.

Putranya, Umar bin Sa‘d, dididik dalam kedisiplinan, ilmu, dan akhlak, meskipun kelak sejarah mencatat jalan hidupnya berbalik arah. Sa‘d tetap bertanggung jawab dan tidak menurunkan gaya hidup mewah meski sebagai pahlawan dan gubernur.

“Kekayaan bukan untuk memanjakan keluarga, tapi untuk menjaga kehormatan dan memberi keteladanan.”



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Mandiri dan Amanah

Sebelum Islam, Sa‘d sudah bekerja sebagai pengrajin busur dan pedagang kecil. Setelah Islam menyebar dan Sa‘d ikut dalam penaklukan Persia, ia mendapat bagian ghanimah (harta rampasan perang) yang besar.

Namun ia tetap berusaha dan tidak hanya bergantung pada rampasan atau gaji. Ia memiliki ladang, kebun, dan ternak. Dalam riwayat disebutkan, tanahnya di luar Madinah menghasilkan panen yang melimpah, dan ia menjadikan sebagian besar hasilnya untuk:

Nafkah keluarga

Membantu kerabat miskin

Wakaf dan infak jihad


“Harta adalah karunia, bukan tujuan. Maka harus dikelola, bukan disembah.”



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-Hati dan Penuh Tanggung Jawab

Sa‘d dikenal sangat berhati-hati dengan utang. Ia takut mati membawa beban dunia. Tidak ada riwayat bahwa ia meninggal dalam keadaan terlilit utang.

Jika ada orang berutang kepadanya, dan benar-benar tidak sanggup membayar, Sa‘d sering memaafkan dan mengikhlaskan. Ia takut kezaliman karena menagih secara kasar.

Rasulullah ï·º bersabda bahwa orang yang memudahkan orang berutang, Allah akan memudahkannya. Dan Sa‘d mengamalkannya.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tegas dan Amanah

Sa‘d bin Abi Waqqash pernah menjadi gubernur Kufah di era Umar bin Khattab. Di masa itu, ia mengelola keuangan negara dan pajak wilayah Irak yang sangat kaya.

Namun, ia dituduh oleh sebagian rakyat Kufah berlaku tidak adil. Ketika Umar menyelidiki, tidak ditemukan penyimpangan. Tapi Sa‘d tetap dilepas dari jabatannya karena Umar ingin menjaga kepercayaan publik.

Sa‘d menerima keputusan itu tanpa dendam. Ia berkata:

“Demi Allah, aku tidak menyelewengkan sebiji pun dari harta umat.”

Itulah integritasnya.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Tidak Serakah

Sebagai panglima Perang Qadisiyah – pertempuran besar yang menaklukkan Persia – Sa‘d mendapatkan bagian besar dari harta rampasan. Namun ia tidak mengambil gaji tambahan atau kompensasi berlebihan dari negara.

Gajinya sebagai gubernur digunakan secukupnya, dan sisanya dikembalikan ke baitul mal atau disedekahkan. Ia ingin menunjukkan bahwa jabatan bukan jalan memperkaya diri.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Membagi dengan Adil dan Bijak

Saat Sa‘d menjelang wafat pada tahun 55 H di daerah ‘Aqiq (dekat Madinah), ia dikenal sebagai salah satu sahabat terkaya yang masih hidup. Tapi sebelum wafat, ia mewakafkan sebagian besar kekayaannya.

Dalam wasiatnya:

Ia membebaskan hamba sahaya

Menetapkan wakaf untuk madrasah dan masjid

Memastikan anak-anaknya diberi sesuai syariat, tanpa memanjakan

Ia juga meminta maaf jika pernah mengambil harta tanpa hak, meski tidak ada yang menuntut.

 “Aku tidak ingin menghadap Rabb-ku dengan satu dinar pun yang bukan milikku.”



Penutup: Panglima Agung, Hamba yang Rendah Hati

Sa‘d bin Abi Waqqash adalah sahabat yang kaya tanpa cinta dunia, berkuasa tanpa tamak, dan terkenal tanpa mencari pujian.

Ia menjadikan dunia sebagai titipan,
Jabatan sebagai amanah,
Harta sebagai ladang amal,
Dan warisan sebagai cahaya di kubur.

Negara Kolonial yang Makan Bangkai Dirinya Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sebuah negara bisa bertahan dari serangan luar, ta...

Negara Kolonial yang Makan Bangkai Dirinya Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sebuah negara bisa bertahan dari serangan luar, tapi tidak akan selamat jika dirusak dari dalam. Begitulah nasib penjajah Israel hari ini: tampak kuat dari luar, tapi rapuh, keropos, dan berantakan di dalam. Negara ini ibarat tubuh besar yang digerogoti penyakit autoimun—setiap elemen saling memakan, saling mencurigai, dan siap meninggalkan kapal ketika mulai tenggelam.

Empat kelompok utama penyusun masyarakatnya justru menjadi penyebab utama keretakan itu. Masing-masing hidup dalam dunianya sendiri, dengan kepentingan sendiri, dan loyalitas yang—nyaris semuanya—bersyarat.



1. Yahudi Sekuler: Si Pembayar Pajak yang Frustrasi

Mereka adalah tulang punggung negara: membayar pajak, menyuplai tentara, dan membela sistem. Tapi kini, mereka mulai ragu:

Apakah ini negara milik mereka, atau milik kaum fanatik agama yang tak bekerja tapi berkuasa?



Ancaman demografis dari Haredim, krisis konstitusi, dan isolasi global membuat mereka ingin punya "jalan keluar"—dan banyak yang sudah menyiapkan paspor kedua.


---

2. Haredim: Menolak Negara, Tapi Hidup dari Negara

Haredim adalah paradoks terbesar Israel.

> Mereka menolak Zionisme, tapi hidup dari hasilnya.
Tak ikut militer, menolak modernitas, tapi menikmati anggaran negara, pendidikan gratis, dan infrastruktur. Mereka menentang demokrasi, tapi menentukan hasil pemilu lewat suara blok religius.



Sikap mereka jelas:

> Israel haram didirikan sebelum Mesias datang—tapi selama belum datang, kami terima subsidi dulu.




---

3. Arab Palestina: Warga Negara Kelas Dua yang Tak Pernah Dianggap

Dengan populasi 20%, warga Arab Israel secara hukum diakui, tapi secara praktik dimarginalkan. Tak punya pengaruh, tak dipercaya, dan selalu jadi sasaran kebijakan diskriminatif.

> Mereka adalah pemilik tanah yang dijadikan tamu dalam rumah sendiri.




---

4. Pemukim Radikal: Yahudi Fanatik yang Bahkan Menyerang Tentara Israel

Ini kelompok paling gila dalam struktur sosial Israel: Zionis religius radikal yang datang dari Amerika dan Eropa, tinggal di tanah rampasan, dan sering melawan tentara Israel sendiri.

> Mereka percaya tanah ini milik Tuhan, bukan negara. Jika hukum Israel menghalangi, hukum Tuhan-lah yang berlaku.



Mereka bukan sekutu IDF, mereka adalah virus tak terkendali yang siap menyeret Israel ke dalam perang saudara.


---

Paspor Ganda: Simbol Kesetiaan Palsu

Ketika Iran meluncurkan rudal, Israel menutup bandara. Tapi sebagian warganya tetap kabur lewat laut. Itulah Israel: negara dengan warga cadangan dan kesetiaan bersyarat. Paspor asing menjadi senjata terakhir:

> Jika negeri ini ambruk, kami sudah punya tempat pelarian.




---

Kesimpulan: Negara Tanpa Fondasi, Hidup dari Ketakutan

Israel tidak dibangun di atas kebersamaan, tapi di atas ketakutan bersama. Takut terhadap Arab. Takut terhadap Iran. Takut terhadap kehilangan eksistensi.

Tapi ketakutan bukan perekat sejati. Dan saat ketakutan itu berkurang, mereka akan saling menerkam.

> Inilah negara kolonial yang akan hancur bukan karena roket dari luar, tapi karena bom waktu dari dalam.

Perang Saudara Sunyi di Negeri Penjajah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel sedang berperang—bukan hanya dengan Gaza, bukan cuma d...

Perang Saudara Sunyi di Negeri Penjajah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Israel sedang berperang—bukan hanya dengan Gaza, bukan cuma dengan Hamas, bukan hanya dengan Iran. Tapi dengan dirinya sendiri. Bukan perang dengan senjata, tapi dengan kebencian kelas, konflik ideologi, dan penghianatan diam-diam.

Negara yang dibanggakan sebagai “tanah yang dijanjikan” itu kini jadi ladang pertikaian internal yang makin panas. Retakan di tubuhnya bukan hal baru—namun kini retakan itu menganga, siap menelan semuanya.



1. Yahudi Sekuler vs Haredim: Para Pembayar Pajak Lawan Pemakan Uang Negara

Yang satu kerja, bayar pajak, ikut militer. Yang satu belajar kitab, teriak di jalan, dan hidup dari subsidi.

Beginilah wajah konflik abadi antara Yahudi sekuler dan Haredim. Setiap kali isu wajib militer naik, Haredim turun ke jalan: bakar ban, lempari polisi, dan teriak “Zionisme haram!” Tapi ketika giliran tunjangan ditarik, mereka teriak lebih keras.

Seberapa sering? Hampir setiap tahun.

Akar masalah: Sekuler ingin negara modern, logis, dan adil. Haredim ingin negara tunduk pada kitab dan rabbi. Yang satu pegang komputer, yang lain pegang kitab suci.

Dampaknya: Kelas menengah sekuler frustrasi. Mereka mulai pindah ke luar negeri. Negara kehilangan loyalitas tulus dari warganya yang paling produktif.



2. Yahudi Sekuler vs Pemukim Ilegal: Zionis Modern Lawan Zionis Gila

Sekuler ingin hidup nyaman, pemukim ingin “Tanah Suci” versi mereka, walau harus membantai, melanggar hukum, bahkan menyerang tentara Israel sendiri.

Pemukim ilegal adalah wajah Zionisme paling brutal—datang dari AS dan Eropa, bawa senjata, rampas tanah, dan kadang menginjak hukum Israel itu sendiri.

Contoh konflik: Saat pemerintah (yang ditekan internasional) coba membongkar pos ilegal, pemukim melawan IDF. Bahkan menyerang tentara sendiri.

Akar masalah: Sekuler ingin stabilitas dan citra global. Pemukim ingin tanah suci, apapun risikonya.

Dampaknya: Citra Israel rusak di mata dunia. Hukum menjadi lelucon. Tentara dilecehkan oleh rakyatnya sendiri.



3. Yahudi Sekuler vs IDF: Tentara yang Tak Lagi Dihormati

Bukan Hamas yang bikin tentara Israel mundur. Tapi warganya sendiri—yang kini menolak dinas militer.

Saat perang Gaza pecah, banyak warga sekuler menolak ikut wajib militer. Ribuan tentara cadangan memboikot panggilan dinas. Pilot elite mogok terbang.

Seberapa sering? Sejak 2023, makin sering dan terbuka.

Akar masalah: Rasa keadilan hancur. Haredim bebas dari dinas. Tentara dipaksa jaga pemukim gila. Sekuler muak.

Dampaknya: IDF kehilangan wajahnya. Sekuler kehilangan kebanggaannya. Negara kehilangan alat tempurnya yang paling loyal.



4. Yahudi Sekuler vs Penguasa: Rezim Ultra-Ortodoks yang Membungkam Demokrasi

Ini bukan demokrasi, ini teokrasi diam-diam yang dikendalikan rabbi dan partai fanatik.

Pemerintahan Netanyahu, berkoalisi dengan partai ultra-Ortodoks, mulai membungkam Mahkamah Agung, mengendalikan parlemen, dan membentengi kekuasaan dengan ayat-ayat rabbi.

Contoh konflik: Gelombang protes 2023—jutaan turun ke jalan. Tentara, profesor, dokter, pelajar. Semua menolak “kudeta hukum.”

Akar masalah: Sekuler ingin demokrasi modern. Rezim ingin negara berdasarkan kitab Talmud dan suara blok religius.

Dampaknya: Israel jadi bahan tertawaan di dunia barat. Investor hengkang. Otak-otak terbaik kabur. Negara terancam jadi negara agama ekstrem.



5. Protes Perang Gaza: Warga Melawan Negara Pembunuh

Ketika rudal dijatuhkan atas nama negara, tapi rakyat sendiri menjerit “Hentikan pembantaian!”

Warga sipil, keluarga sandera, aktivis HAM, bahkan pensiunan tentara ikut turun ke jalan. Mereka tidak tahan melihat Gaza dibakar, anak-anak mati, dan dunia menjauh dari Israel.

Contoh protes: Setiap minggu. Di Tel Aviv, Haifa, Yerusalem. Bendera dibakar, seruan gencatan senjata, bahkan ajakan jatuhkan pemerintahan.

Akar masalah: Kehilangan nilai moral. Kehilangan arah. Perang tiada ujung. Sandera tak kembali, Gaza hancur, dunia muak.

Dampaknya: Citra Israel jatuh. Legitimasi moral ambruk. Dukungan publik menurun. Pemilu berikutnya bisa menjadi kiamat politik bagi penguasa.



Israel Tidak Dihancurkan oleh Hamas, Tapi oleh Dirinya Sendiri

Semua ini bukan dilema. Ini bom waktu. Masyarakat Israel bukan satu tubuh, tapi empat arah yang saling tarik dan saling sikat. Mereka bukan disatukan oleh visi—tapi oleh ketakutan. Dan ketakutan tidak bisa jadi fondasi negara.

Israel bukan sedang mempertahankan eksistensinya—tapi sedang menggali lubang kuburnya sendiri. Dengan tangan sendiri.

Konflik Internal dalam Masyarakat Israel: Retakan yang Kian Terbuka Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel adalah negara yang dibentu...

Konflik Internal dalam Masyarakat Israel: Retakan yang Kian Terbuka

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Israel adalah negara yang dibentuk oleh imigran Yahudi dari berbagai penjuru dunia—beragam dalam asal-usul, budaya, bahasa, dan terutama ideologi. Meskipun dari luar tampak bersatu menghadapi musuh bersama, realitas sosial internalnya penuh dengan konflik dan friksi antar kelompok.

Di tengah situasi politik, militer, dan sosial yang makin tegang, konflik internal antarkelompok Yahudi dan warga negara Israel sendiri justru memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi masyarakat mereka. Berikut lima jenis konflik utama yang memperlihatkan keretakan tersebut.


---

1. Konflik Yahudi Sekuler vs Haredim (Yahudi Ultra-Ortodoks)

Contoh Konflik:

Penolakan wajib militer oleh komunitas Haredim.

Demonstrasi besar menentang kurikulum sekolah nasional.

Blokade jalan oleh kelompok Haredi untuk menolak perintah pengadilan.


Seberapa Sering:

Rutin terjadi, terutama saat kebijakan militer atau pendidikan hendak diberlakukan secara menyeluruh.


Akar Masalah:

Haredim menolak Zionisme sekuler dan negara Israel dalam bentuk sekarang.

Mereka tidak bekerja secara formal, tidak ikut wajib militer, namun mendapatkan tunjangan besar dari negara.

Yahudi sekuler merasa tertindas secara ekonomi dan politik oleh dominasi suara religius di parlemen.


Dampaknya:

Meningkatnya polarisasi politik dan sosial.

Kemarahan masyarakat sekuler yang merasa dieksploitasi.

Ancaman disintegrasi sosial jangka panjang.



---

2. Konflik Yahudi Sekuler vs Pemukim Ilegal Yahudi

Contoh Konflik:

Bentrokan antara tentara IDF (yang sebagian besar dari kalangan sekuler) dan pemukim radikal saat pembongkaran pos ilegal (misalnya Amona 2017).

Pemukim menyerang warga Palestina, menyebabkan tekanan diplomatik internasional terhadap Israel.


Seberapa Sering:

Meningkat terutama di wilayah Tepi Barat dan saat ada desakan internasional untuk menertibkan permukiman ilegal.


Akar Masalah:

Pemukim sering mengabaikan hukum Israel sendiri dan lebih setia pada ideologi religius nasionalis.

Sekuler menilai tindakan mereka merusak citra internasional Israel dan memperburuk konflik.


Dampaknya:

Memburuknya citra Israel secara global.

Membelah masyarakat Yahudi antara kelompok legalis dan ekstremis religius.

Mengancam supremasi hukum negara itu sendiri.



---

3. Konflik Yahudi Sekuler vs IDF (Tentara Israel)

Contoh Konflik:

Aksi mogok ribuan tentara cadangan saat protes terhadap reformasi yudisial tahun 2023.

Penolakan beberapa warga untuk menjalani dinas militer karena kecewa terhadap arah politik negara.


Seberapa Sering:

Terjadi dalam situasi krisis politik, tetapi makin sering sejak 2023.


Akar Masalah:

Ketidakadilan sistem: Hanya kelompok sekuler yang diwajibkan militer, sementara Haredim dibebaskan.

Kekecewaan terhadap militer yang dianggap terlalu digunakan untuk menekan warga Palestina dan melayani kelompok pemukim ilegal.


Dampaknya:

Merosotnya moral militer.

Ancaman terhadap kesatuan IDF.

Kemungkinan munculnya gerakan pembangkangan sipil militer lebih luas.



---

4. Konflik Yahudi Sekuler vs Penguasa (Pemerintah/Koalisi Ultra-Ortodoks)

Contoh Konflik:

Demonstrasi berjilid-jilid menolak reformasi yudisial yang dianggap membungkam Mahkamah Agung.

Gerakan “Selamatkan Demokrasi Israel” yang didukung oleh jutaan warga, termasuk akademisi, perwira militer, hingga pengusaha teknologi.


Seberapa Sering:

Sangat sering dan intens sejak pemerintahan sayap kanan koalisi Netanyahu mendominasi sejak 2022.


Akar Masalah:

Kekecewaan warga sekuler terhadap pengaruh partai ultra-Ortodoks yang mengendalikan parlemen.

Ketakutan terhadap hilangnya sistem checks and balances di Israel.


Dampaknya:

Fragmentasi politik tajam.

Menurunnya kepercayaan terhadap sistem demokrasi Israel.

Gelombang emigrasi warga sekuler ke luar negeri.



---

5. Protes terhadap Perang di Gaza

Contoh Protes:

Demonstrasi menuntut gencatan senjata, terutama setelah meningkatnya korban sipil di Gaza.

Protes dari keluarga sandera yang meminta negosiasi, bukan pemboman terus-menerus.

Aksi diam dan pembakaran bendera sebagai simbol ketidaksetujuan terhadap cara perang dijalankan.


Seberapa Sering:

Semakin meningkat seiring lamanya perang Gaza sejak Oktober 2023 hingga 2025.

Protes muncul setiap minggu, terutama di Tel Aviv dan Yerusalem.


Akar Masalah:

Kematian warga sipil dan tentara dalam jumlah besar.

Ketidakjelasan tujuan akhir perang.

Rasa bersalah sebagian warga atas penderitaan rakyat Palestina.


Dampaknya:

Membuka jurang antara kalangan militeris dan aktivis perdamaian.

Munculnya tekanan domestik untuk mengakhiri operasi militer.

Menurunnya legitimasi moral Israel di mata warganya sendiri dan dunia internasional.



---

Penutup: Negara yang Satu Tubuh Tapi Banyak Jiwa

Israel bukanlah entitas homogen, melainkan tubuh yang dipenuhi konflik antara organ-organ yang saling tarik-menarik. Yahudi sekuler yang dulu menjadi penggerak utama negara kini merasa terpinggirkan, bahkan diperalat. Di sisi lain, kelompok religius dan pemukim ekstremis justru mendominasi ruang kekuasaan.

> Ketika masyarakat negara penjajah saling curiga, saling membenci, dan tidak punya ikatan ideologis bersama, kehancuran bukan tinggal menunggu musuh datang—tapi tinggal menunggu waktu dari dalam.

Runtuh dengan Sendirinya: Analisis Struktur Masyarakat Penjajah Israel yang Rapuh Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kekuatan sebuah neg...

Runtuh dengan Sendirinya: Analisis Struktur Masyarakat Penjajah Israel yang Rapuh

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Kekuatan sebuah negara dibangun dari kekokohan masyarakatnya. Sebaliknya, kehancuran muncul dari dalam: dari retakan sosial, konflik internal, dan rapuhnya ikatan kolektif. Al-Qur’an menunjukkan bagaimana Bani Israil runtuh bukan karena musuh luar semata, melainkan karena kerusakan internal mereka sendiri. Hukum ini tidak berubah; ia berlaku lintas zaman.

Bagaimana dengan Israel hari ini—negara kolonial yang berdiri di atas tanah pendudukan Palestina? Mari kita telaah struktur sosial masyarakatnya. Apakah mereka kokoh di dalam? Atau justru menyimpan bibit keruntuhan?



Empat Kelompok Utama dalam Masyarakat Israel

Struktur sosial Israel terdiri dari empat kelompok besar yang hidup berdampingan, namun tidak sepenuhnya bersatu. Hubungan masing-masing terhadap negara sangat beragam, bahkan kontradiktif.



1. Yahudi Sekuler dan Nasionalis (40–45%)

Kelompok ini, mayoritas berasal dari kalangan Ashkenazi (Eropa Timur), adalah pendiri dan pendukung utama proyek Zionisme sekuler. Mereka loyal terhadap negara, bangga terhadap militer (IDF), dan rela membayar pajak serta menyumbangkan anak-anaknya ke wajib militer.

Namun belakangan, mereka mulai pesimis terhadap masa depan Israel karena beberapa faktor:

Ancaman demografis dari komunitas Haredim yang berkembang cepat tapi tidak berkontribusi secara militer dan ekonomi.

Krisis legitimasi politik, terutama menyangkut Mahkamah Agung dan konflik eksekutif-yudikatif.

Perpecahan internal, polarisasi ideologis, dan isolasi diplomatik di mata dunia.



2. Yahudi Religius Ultra-Ortodoks (Haredim) (10–15%)

Kelompok ini memiliki ikatan ideologis yang lemah terhadap negara. Mereka tidak percaya pada Zionisme sekuler, dan bahkan sebagian besar menolak keberadaan negara Israel sebelum datangnya "Mesias".

Ciri khas mereka:

Tidak ikut wajib militer.

Hidup dari subsidi negara.

Sering melakukan demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.


Secara ideologis mereka menolak, tapi secara praktis mereka bergantung pada negara. Inilah yang membuat posisi mereka ambivalen: menolak dengan mulut, menerima dengan tangan.



3. Warga Arab Palestina (±20%)

Secara hukum mereka adalah warga negara Israel, namun secara nyata mereka mengalami diskriminasi sistemik:

Terpinggirkan dalam sektor pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan tanah.

Representasi politik terbatas dan sering dicurigai tidak loyal.


Meski demikian, sebagian dari mereka tetap berjuang memperjuangkan hak-hak secara legal dan sipil, serta mencoba hidup berdampingan secara damai.



4. Pemukim Yahudi Radikal (6–7%)

Banyak dari mereka merupakan imigran dari AS dan Eropa yang tinggal di wilayah pendudukan Tepi Barat. Mereka sangat fanatik terhadap ideologi Zionisme religius dan lebih loyal kepada tafsir agama daripada kepada hukum negara Israel.

Dalam praktiknya:

Sering bertindak brutal terhadap warga Palestina.

Kerap menolak perintah IDF, bahkan menyerang tentara Israel jika dianggap menghambat misi mereka.

Menjadi sumber ketegangan antara hukum negara dan gerakan kolonialisme religius.



Antara Retak Sosial dan Kesetiaan yang Bersyarat

Di antara keempat kelompok tersebut, tidak ada ikatan ideologis yang benar-benar menyatukan. Mereka datang dari berbagai latar belakang budaya, tradisi, bahkan bahasa yang berbeda. Ikatan kebangsaan bukan dibentuk dari cinta tanah air, melainkan dari satu faktor tunggal: ketakutan terhadap ancaman eksternal.

Konflik antara kelompok pun makin terang:

Yahudi Sekuler merasa dibebani oleh Haredim yang tidak bekerja namun menikmati subsidi dan bebas dari wajib militer.

Haredim merasa berhak atas kekuasaan politik dan anggaran negara karena pertumbuhan demografi dan dominasi di parlemen.

Warga Arab terus dipinggirkan dan diawasi dengan penuh kecurigaan.

Pemukim ilegal bertindak seolah-olah mereka memiliki hukum sendiri, sering berbenturan dengan militer Israel.



Fenomena Kewarganegaraan Ganda: Simbol Loyalitas Sementara

Fakta penting yang menunjukkan kerapuhan internal Israel adalah fenomena kewarganegaraan ganda, terutama di kalangan Yahudi Sekuler dan pemukim ilegal:

Banyak dari mereka tetap memegang paspor asing (AS, Kanada, Prancis, dll.) sebagai “asuransi geopolitik”.

Jika Israel goyah akibat perang, kekacauan politik, atau isolasi global, mereka sudah menyiapkan jalan keluar.

Hal ini terbukti saat serangan rudal dari Iran membuat bandara Israel ditutup, namun banyak warga tetap melarikan diri melalui laut, meski telah dilarang pemerintah.

Dengan kata lain, kesetiaan terhadap negara bersifat kondisional. Jika negara aman, mereka tinggal. Jika terancam, mereka pergi.



Negara yang Tergantung pada Ketakutan

Selama ini, yang menyatukan mereka hanyalah rasa takut. Ketika tekanan eksternal menurun, retakan internal makin terlihat. Sejak gelombang perlawanan Al-Aqsha, ketegangan antar kelompok meningkat drastis. Semakin banyak yang meninggalkan Israel, baik secara fisik maupun ideologis.

Masyarakat yang berdiri di atas dominasi, ketimpangan, dan loyalitas semu—hanya menunggu waktu untuk runtuh dari dalam.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (224) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (470) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (148) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)