basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Sirah Ulama

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Sirah Ulama. Tampilkan semua postingan

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di t...

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di tepi kota Mansuriyah. Angin gurun bertiup pelan, membawa debu-debu kecemasan yang tak kunjung reda. Langit malam seperti berat menanggung beban bumi. Di satu sisi, tentara Salib yang dipimpin Raja Louis IX mengepung Mesir. Di sisi lain, umat Islam berdiri pada satu titik paling genting dalam sejarah perlawanan mereka.

Itulah masa akhir dinasti Ayyubiyah. Dimyath sudah jatuh. Kini, Mansuriyah menjadi benteng terakhir. Sultan, ulama, dan rakyat bahu membahu mempertahankan satu-satunya harapan itu. Dalam pekatnya malam dan panasnya siang, darah dan doa bertemu di satu titik.

Namun di tengah hiruk-pikuk dan ancaman senjata, ada satu pemandangan yang mencengangkan. Para ulama tak hanya menghunus doa, tapi juga membuka lembaran-lembaran kitab. Di perkemahan, di sela gemuruh perang, mereka membaca Ar-Risalah al-Qusyairiyah. Kitab sufi yang dalam dan luhur itu menjadi pelita di tengah gelapnya kekacauan.

Di antara mereka ada Syeikh Izzuddin Abdussalam, sang "sultan para ulama", dan yang paling menonjol: Syekh Hasan Asy-Syadzali. Seorang yang tua renta, matanya sudah buta, tapi hatinya terang benderang. Di kemahnya, ia merebahkan tubuh letihnya, bukan karena takut, tapi karena beban cinta pada umat yang begitu berat dipikul sendiri.

Malam itu, ia tertidur. Tapi tidurnya bukan tidur biasa. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya. Sebuah tenda. Tinggi menjulang ke langit. Cahayanya menyinari bumi. Para malaikat, manusia, dan ruh-ruh suci berdesakan ingin memasukinya.

"Tenda siapa ini?" tanya beliau.

"Tenda Rasulullah SAW," jawab suara itu.

Maka Syekh Hasan bergegas. Di pintu tenda itu, ia bertemu 70 orang ulama dan orang-orang shalih. Di antara mereka, ia mengenali wajah Syeikh Izzuddin Abdussalam.

Dengan rendah hati, ia berkata, "Tak layak aku masuk sebelum yang paling alim dari kita melangkah lebih dahulu." Maka mereka pun masuk. Dan Rasulullah SAW menyambut mereka dengan penuh kasih. Tangannya menunjuk ke kanan dan kiri, meminta mereka duduk di sekelilingnya.

Air mata Syekh Hasan tumpah. Bukan karena takut. Tapi karena haru. Karena kecintaan. Karena beban umat yang ia pikul di jiwanya. Dalam bisik tangis itu, ia menyampaikan gundahnya kepada Rasulullah SAW. Tentang umat, tentang perang, tentang harapan yang nyaris padam.

Rasulullah SAW menggenggam tangannya dan berkata:

"Jangan khawatir. Jika umat ini dipimpin oleh orang yang zalim, maka lihatlah apa yang terjadi..."

Beliau menggenggam jari-jarinya kuat-kuat, lalu melepaskannya pelan-pelan, seperti menunjukkan kejatuhan yang lambat tapi pasti.

"Namun jika pemimpinnya orang bertakwa, maka Allah-lah penjaga mereka."

Beliau membukakan kedua telapak tangannya. Lalu membaca firman Allah:

> "Barangsiapa yang membela Allah, Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, maka panji Allah-lah yang akan menang." (QS. Al-Ma'idah: 56)



Dan kepada Sultan, Rasulullah SAW menitipkan pesan:

> "Tangan Allah akan selalu terbuka bagi pemimpin yang adil. Yang mengayomi umat. Yang menasihati mereka agar taat kepada Allah. Maka nasehatilah dia, tulislah surat, dan sampaikan padanya bahwa orang zalim adalah musuh Allah."



Kemudian beliau membacakan ayat lain:

> "Maka bersabarlah engkau (Muhammad), sungguh janji Allah itu benar. Dan jangan sampai orang-orang yang tidak meyakini kebenaran itu membuatmu gelisah." (QS. Ar-Rum: 60)



Syekh Hasan pun terbangun. Matanya tak melihat, tapi hatinya telah melihat lebih terang dari matahari. Ia bangkit. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tahu ini bukan semata perang pedang, tapi perang jiwa.

Sejarawan besar, Dr. Muhammad Ash-Shalabi, mencatat betapa pengaruh Syekh Hasan Asy-Syadzali sangat besar. Ia menyuntikkan harapan kepada Sultan Najmuddin Ayyub. Ia menggerakkan rakyat. Ia mengerahkan murid-muridnya. Tapi bukan dengan senjata, melainkan dengan kalimat suci. Dengan tasbih, dengan doa, dengan dzikir yang tak putus.

Di malam-malam penuh kegelisahan, murid-muridnya membaca Hizib Nashr dan hizib untuk membutakan mata musuh. Mereka berdiri tegak dalam sujud panjang, sementara langit turun membawa rahmat.

Akhirnya kemenangan pun datang. Tentara Salib porak-poranda. Raja Louis IX tertangkap. Sebuah kemenangan yang bukan hanya karena strategi, tapi karena doa. Karena kehadiran orang-orang pilihan di barisan umat.

Syekh Hasan Asy-Syadzali pun kembali ke Iskandariah. Mengajar. Membina. Mendidik. Dan tarekat Syadziliyah pun menyebar hingga ke pelosok dunia Islam. Bahkan jauh di masa kemudian, KH Hasyim Asy'ari pun mengajarkan hizib-hizib beliau kepada para santri dan pejuang di masa penjajahan Belanda.

Konon, Ki Haji Nur Ali dari Bekasi—seorang pejuang dan ulama besar—di masa rezim represif pun mengajarkan wirid-wirid ini kepada para santrinya.

Syekh Hasan Asy-Syadzali mengajarkan bahwa kemenangan bukan semata kerja strategi, tapi buah dari kedekatan jiwa kepada Allah. Jiwa yang hening, hati yang tunduk, lisan yang basah oleh nama-Nya.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari hari ini?

Bahwa di tengah kekacauan zaman, di tengah kepungan berbagai krisis, umat ini tetap memiliki tenda besar: Tenda Rasulullah SAW. Tenda itu tegak dengan dzikir, dengan ilmu, dengan ketundukan, dengan cinta yang tak terbagi.

Selama masih ada ulama yang jujur, murid yang tekun, umat yang sabar, dan pemimpin yang bertakwa—maka janji Allah tetap berlaku: "Panji Allah-lah yang akan menang."

Dan jika tak ada lagi kekuatan fisik yang bisa dibanggakan, maka masih ada tasbih. Masih ada air mata. Masih ada harapan yang tak pernah mati di dada orang-orang shalih.

Tenda itu masih ada. Tinggi menjulang. Menunggu siapa pun yang ingin datang, dengan jiwa yang bersih dan niat yang lurus.

Seperti kata Syekh Hasan Asy-Syadzali:

> "Segala kemenangan berasal dari pertolongan Allah. Dan jiwa yang dekat dengan Allah-lah yang paling pantas memikul panji kemenangan itu."



Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin.

Mempelajari Perselisihan dalam Sejarah Islam dengan Rambu Ahlussunnah Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Sejarah Islam bukanlah cata...

Mempelajari Perselisihan dalam Sejarah Islam dengan Rambu Ahlussunnah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Sejarah Islam bukanlah catatan hitam-putih yang kaku, tapi lautan hikmah yang bergelombang. Dalam sejarahnya, umat Islam pernah berselisih, bukan karena mereka benci atau saling membenci, tapi karena masing-masing ingin menjaga kebenaran sebagaimana mereka pahami.

Kita melihat bagaimana Umar bin Khattab berselisih pendapat dengan Khalid bin Walid. Kita juga menyaksikan Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Siti Aisyah dalam Perang Jamal, dan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan dalam Perang Shiffin. Namun, di balik konflik itu, terdapat akhlak mulia dan penghormatan yang luar biasa antara mereka. Inilah yang membedakan para sahabat dengan generasi sesudahnya. Mereka tetap saling memuliakan meski berbeda jalan.


---

Bentuk Penghormatan Ali kepada Siti Aisyah

1. Menghentikan Perang Begitu Tahu Aisyah Terlibat

Ali RA tidak pernah berniat memerangi Ummul Mukminin. Saat mengetahui bahwa Aisyah termasuk dalam rombongan yang datang ke Basrah, ia segera berupaya menghindari peperangan. Utusan demi utusan dikirim, dialog dibuka, kata-kata disampaikan dengan harapan damai bisa dicapai. Namun fitnah sudah menyelinap. Provokator menyusup dan menyalakan api di tengah kamp. Perang pun pecah.

Ali tidak pernah melihat Aisyah sebagai musuh. Dalam hatinya, beliau tetap istri Nabi, ibu orang-orang beriman.

> ⚠️ Perang terjadi bukan karena perintah dari Ali maupun Aisyah, tapi ulah kelompok pemberontak yang menyelinap untuk memperluas fitnah dalam tubuh umat Islam.



2. Mengawal Aisyah RA dengan Penghormatan Tinggi

Usai perang mereda, Ali mendatangi Aisyah dengan penuh penghormatan. Ia menenangkan Ummul Mukminin yang berada dalam tandu, dan memuliakan beliau sebagaimana seorang anak memuliakan ibunya.

Ali mengutus saudaranya, Muhammad bin Abi Bakar, untuk mendampingi Aisyah kembali ke Madinah. Rombongan wanita-wanita mulia dari Basrah dikirim sebagai pengawal.

> Ibnu Katsir mencatat dalam Al-Bidāyah wan Nihāyah: “Ali memuliakan Aisyah dan mengirimkan rombongan perempuan Muslimah serta saudaranya untuk mengantarnya pulang ke Madinah dengan perlindungan penuh.”



3. Menjaga Nama Baik Aisyah di Hadapan Umat

Ali melarang pasukannya mencela Aisyah. Baginya, kehormatan istri Nabi ﷺ adalah kehormatan umat. Ia berkata:

> “Dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan akhirat. Namun, Allah menguji kita dengannya dan mengujinya dengan kita.”



(Sumber: Tarikh al-Tabari)


---

Bentuk Sikap Hormat Siti Aisyah kepada Ali bin Abi Thalib

1. Pengakuan atas Keutamaannya

Setelah kembali ke Madinah, Aisyah tak menutup mata terhadap keutamaan Ali. Ia berkata:

> “Tiada seorang pun yang lebih aku cintai untuk memerintah selain Ali.”



Pengakuan ini datang dari hati yang jujur dan bening. Dari seorang wanita agung yang tidak terhalang oleh ego dalam mengakui kebaikan lawan politiknya.

2. Penyesalan dan Refleksi

Aisyah menyesali keterlibatannya dalam perang. Ia pernah berkata:

> “Seandainya aku tahu apa yang akan terjadi, niscaya aku akan diam di rumahku, sebagaimana Allah memerintahkanku.”



Ini bukan pengakuan lemah, tapi kekuatan batin seorang mukminah yang mampu menundukkan nafsunya demi kebenaran.

3. Tidak Menyebarkan Kebencian

Sepanjang hidupnya setelah peristiwa Jamal, Aisyah tidak pernah memprovokasi umat untuk memusuhi Ali. Ia menjaga lisannya, menahan amarahnya, dan menebarkan keteladanan. Ketika ada yang mencelanya, beliau tidak membalas.


---

Sikap Hormat Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan

1. Tidak Mengkafirkan atau Memvonis Fasiq

Meski berbeda tajam dalam politik, Ali tak pernah mengkafirkan Muawiyah. Ia memandang bahwa Muawiyah dan pengikutnya tengah melakukan ijtihad. Maka ia berkata:

> “Mereka adalah saudara kita yang memberontak terhadap kita.”



(Sumber: Ibnul Arabi, al-‘Awasim min al-Qawasim)

2. Dialog Sebelum Perang

Ali berkali-kali mengirim surat dan utusan untuk berdamai. Ia tahu bahwa darah Muslim adalah suci, dan perang bukan solusi pertama. Ia ingin Muawiyah kembali kepada jamaah kaum Muslimin. Tapi fitnah tetap berkobar.

3. Melarang Tentara Mencaci

Ketika para pengikut Ali mulai mencela Muawiyah, beliau menegur:

> “Aku tidak suka kalian menjadi orang-orang yang suka mencela.”



(Sumber: Nahjul Balaghah, Khutbah 206)

4. Menghormati Sebagai Lawan yang Mulia

Dalam surat-suratnya kepada Muawiyah, Ali tetap menggunakan bahasa yang sopan. Ia memisahkan antara kritik terhadap tindakan politik dan penghinaan pribadi. Bahkan ia mengakui kecerdasan Muawiyah dalam urusan pemerintahan.

5. Tidak Menyerang Pribadi

Ali membatasi kritiknya hanya pada masalah kebijakan. Ia tidak pernah menyerang pribadi Muawiyah. Baginya, kehormatan seorang Muslim tetap harus dijaga.

6. Menjaga Ukhuwah Setelah Perang

Setelah perang usai, Ali tidak memburu lawan-lawan politiknya. Thalhah dan Zubair tetap dishalatkan, didoakan, dan dikenang dengan hormat. Ia tidak menyimpan dendam kepada siapa pun.


---

Bentuk Penghormatan Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib

1. Mengakui Keutamaan Ali

Muawiyah tidak pernah mengingkari kemuliaan Ali. Saat sebagian sahabatnya hendak mencela Ali di mimbar, ia menolak. Ia berkata:

> “Demi Allah, aku tidak akan membiarkan Ali dicela di hadapanku. Aku tahu betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah.”



(Sumber: Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abi al-Hadid)

2. Menahan Diri dari Penghinaan Pribadi

Ketika ada yang mencela Ali di hadapannya, Muawiyah menjawab:

> “Jangan kalian menyebutkan keburukan Ali. Demi Allah, aku lebih takut kepada Ali daripada kepada siapa pun.”



Ini bukan ketakutan duniawi, tapi rasa hormat terhadap seseorang yang sangat dekat dengan Rasulullah ﷺ.

3. Setelah Wafatnya Ali

Setelah Ali wafat, Muawiyah menghentikan kampanye celaan secara terbuka. Ia memahami bahwa Ali adalah simbol kebaikan dan kekuatan moral umat Islam.

4. Pengakuan Para Ulama

Para ulama besar seperti Imam al-Dzahabi dan Ibn Katsir mencatat bahwa Muawiyah tetap menjaga adab dan etika dalam menyebut nama Ali.


---

Hikmah dan Kaidah Ahlussunnah dalam Mempelajari Sejarah

Apa pelajaran dari semua ini? Bahwa para sahabat saling memuliakan, meski berbeda pandangan. Bahwa mereka tetap dalam lingkaran iman, dan tidak keluar dari Islam meski berselisih.

Ali memuliakan Aisyah. Aisyah mencintai Ali. Muawiyah menghormati Ali. Khalid bin Walid tunduk pada keputusan Umar. Mereka semua tunduk pada sabda Rasulullah ﷺ:

> “Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku.”



Dan sabda lainnya:

> “Melaknat seorang mukmin sama seperti membunuhnya.”



Mereka adalah generasi yang dadanya bersih dari dendam. Perselisihan tidak membuat mereka saling menjatuhkan. Politik tidak menjadikan mereka saling menuduh. Hati mereka lembut—tidak seperti sebagian umat yang sekarang mudah mencela tanpa ilmu.

Ibnu Taimiyah berkata:

> “Apabila perselisihan itu dilakukan atas dasar ijtihad dan penakwilan, dan belum jelas baginya bahwa tindakannya termasuk pemberontakan—bahkan ia meyakini dirinya berada di atas kebenaran—maka apabila ia bersalah dalam ijtihadnya, maka hal ini tidak menyebabkan dosa.”



(Ucapan ini dinukil dalam berbagai karya Ahlussunnah wal Jamaah.)


---

Penutup: Kacamata yang Tepat

Mempelajari sejarah Islam bukan dengan kaca mata sekuler, tapi dengan panduan wahyu. Jangan menilai sahabat dengan standar dunia akademik yang kering dari cahaya iman. Lihatlah mereka dengan cermin Al-Qur’an dan hadits.

Para sahabat Nabi adalah pelita umat. Merekalah teladan. Dan kesalahan mereka—jika ada—adalah bagian dari ujian Allah untuk menampakkan siapa yang mengikuti petunjuk.

Sejarah bukan untuk membuka luka, tapi mengambil pelajaran. Agar kita menjadi umat yang bijak: menjaga ukhuwah, menjunjung adab, dan tidak mudah memvonis.

Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada seluruh sahabat Rasulullah ﷺ dan mempersatukan hati kita sebagaimana Dia telah mempersatukan hati mereka dalam kebenaran.

Jawaban Tanda Bukti Pembelian Rumah di Surga Muncul di Batu Nisannya Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin musim panas menyapa pelan ...

Jawaban Tanda Bukti Pembelian Rumah di Surga Muncul di Batu Nisannya

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Angin musim panas menyapa pelan tanah Basrah. Langit cerah, namun udara terasa berat—seolah menahan ribuan kisah yang belum selesai. Di antara desir angin itu, seorang lelaki asing melangkah perlahan, matanya menyimpan harapan yang telah ia bawa jauh dari negeri Khurasan.

Ia datang bukan sebagai musafir biasa. Lelaki ini telah menjual seluruh hartanya. Tanah, rumah, ladang, dan kenangan. Ia tinggalkan segalanya demi satu keinginan yang sederhana namun dalam: membeli rumah untuk keluarganya. Tak banyak yang ia bawa, hanya 10.000 dirham, secarik harapan, dan seorang istri yang setia berjalan di sisinya.

Sesampainya di Basrah, niat hati mereka langsung terarah ke Mekkah. Haji menjadi panggilan spiritual yang tak bisa ditunda. Sebelum berangkat, lelaki itu menitipkan seluruh uangnya kepada seseorang yang ia percaya: Habib Abu Muhammad, seorang lelaki saleh yang dikenal karena ketakwaannya.

> “Aku dan istriku akan menunaikan haji,” ujarnya dengan suara penuh kejujuran.
> "Aku ingin membeli rumah di Basrah seharga 10.000 dirham. Jika engkau menemukan rumah seharga itu, maka belilah rumah itu untukku.”



Habib memandang mata lelaki itu. Ada keikhlasan di sana. Ada ketundukan seorang hamba yang tidak melekat pada dunia, melainkan menjadikannya tangga menuju akhirat. Habib mengangguk, menerima amanah itu dengan niat suci.

**

Hari-hari berlalu. Langit Basrah yang semula cerah mendadak murung. Musim paceklik datang tak diundang. Lumbung-lumbung kosong. Pasar sunyi. Anak-anak menangis kelaparan. Orang-orang berbaring lemas menanti harapan yang tak kunjung datang.

Habib melihat semuanya dengan mata berkaca-kaca. Ia gelisah. Di satu sisi ia memegang amanah yang besar, di sisi lain ia melihat manusia sekarat, tangisan ibu-ibu yang kehilangan susu untuk bayinya, dan bapak-bapak yang kehilangan harapan pada siang hari yang panas membakar.

Ia mengumpulkan sahabat-sahabatnya, duduk di bawah cahaya remang, memohon petunjuk.

> “Bagaimana jika uang 10.000 dirham ini kita sedekahkan kepada mereka yang kelaparan?”
> "Aku akan membelikan rumah untuknya—bukan di Basrah, tapi di Surga. Dan jika ia menolak, aku yang akan mengganti uang itu.”



Para sahabat terdiam. Keheningan adalah tanda bahwa kata-kata telah mencapai kedalaman jiwa mereka. Akhirnya mereka mengangguk.

Dengan hati bergetar, Habib membeli tepung. Tepung itu diolah menjadi roti. Roti itu dibagikan—dengan tangan gemetar, dengan mata basah. Setiap suapan menjadi kehidupan. Setiap gigitan menjadi saksi amal yang diam. Habib tidak membeli rumah dari batu dan kayu, ia membeli tempat di Surga dengan harapan dan doa orang-orang lapar.

**

Beberapa minggu kemudian, lelaki dari Khurasan kembali dari Mekkah. Wajahnya bersinar dengan cahaya ibadah. Ia menemui Habib, suaranya tetap hangat dan bersahaja.

> “Aku pemilik uang 10.000 dirham. Aku tak tahu, apakah engkau telah membelikan rumah untukku, atau engkau akan mengembalikan uang itu agar aku belikan sendiri.”



Habib menatapnya lama. Lalu dengan tenang ia menjawab,

> “Aku telah membelikan rumah untukmu. Yang di dalamnya terdapat istana, taman-taman, pohon buah-buahan, dan sungai yang mengalir jernih di surga.”



Lelaki itu terdiam. Sejenak hening menggantung. Ia mengangguk perlahan, lalu pulang ke rumahnya untuk menyampaikan kabar itu kepada istrinya.

Di rumah, sang istri mendengarkan dengan cermat. Lalu ia berkata,

> “Mintalah tanda bukti jual beli itu.”



Wanita itu bukan ragu, ia hanya ingin menjaga hak suaminya dan menjaga kepercayaan. Maka, lelaki itu kembali menemui Habib.

> “Kami menerima transaksimu dengan Allah. Tulislah untuk kami tanda buktinya.”



Habib terharu. Ia memanggil seorang penulis, lalu dicatatlah surat perjanjian itu di atas kertas.

> “Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah tanda bukti bahwa Habib Abu Muhammad telah membeli dari Tuhannya, untuk sahabatnya dari Khurasan, sebuah rumah di Surga—lengkap dengan istana, sungai yang mengalir, dan pepohonan yang rindang. Dengan harga 10.000 dirham. Tuhan yang Maha Tinggi akan menyerahkan rumah itu kepada sahabat dari Khurasan dan membebaskan Habib dari segala tuntutan.”



Lelaki itu membaca tulisan itu perlahan, lalu membawanya pulang dan menyerahkannya pada istrinya. Tidak ada emas atau bangunan yang ia bawa dari Mekkah, tetapi ada secarik kertas yang lebih berat dari dunia dan isinya.

**

Empat puluh hari kemudian, lelaki itu wafat. Ia meninggalkan dunia dengan tenang, setelah menitipkan wasiat pada istrinya: agar surat pembelian rumah di surga itu ditempelkan di kain kafannya.

Jenazahnya dimandikan. Dikafani. Dan surat itu diselipkan, sebagaimana ia minta.

Tiga hari berlalu setelah pemakamannya. Masyarakat Basrah diguncang peristiwa aneh yang belum pernah mereka saksikan. Di atas makamnya, tampak selembar kulit tipis, seperti diturunkan dari langit. Di atasnya tertulis kalimat:

> “Habib Abu Muhammad telah membeli rumah di surga untuk sahabatnya dari Khurasan. Tuhan telah menyerahkan rumah itu sesuai syarat yang telah ditetapkan. Dan Habib dibebaskan dari segala tuntutan.”



Wajah-wajah takjub memandang langit. Ada yang menangis. Ada yang bersujud. Ada yang menggenggam tanah makam dengan erat, berharap semoga akhir hidup mereka pun ditulis dalam tinta langit.

Tulisan itu dibawa kepada Habib. Ia menerimanya dengan tangan gemetar. Bibirnya bergetar membaca kata demi kata. Kemudian ia mencium tulisan itu, memeluknya, lalu berkata kepada sahabat-sahabatnya dengan suara tercekik haru,

> “Ini... ini jaminan kebebasan dari Tuhanku.”



**

Kisah ini bukan sekadar tentang uang dan rumah. Ini adalah kisah tentang iman yang dibenamkan ke dalam amal. Tentang sebuah transaksi yang tidak tercatat dalam pasar dunia, tetapi terpatri dalam catatan langit. Tentang keikhlasan yang tidak mencari imbalan, dan ketulusan yang menghapuskan hak demi memberi hidup kepada orang lain.

Transaksi yang tidak ada notaris dunia, tetapi disahkan oleh Rabb semesta alam.

Lelaki Khurasan itu membeli rumah bukan dengan uangnya—tetapi dengan kepercayaannya kepada orang saleh dan kepada Tuhan. Dan Habib membayar rumah itu bukan dengan bangunan, tetapi dengan keyakinan bahwa setiap sedekah tidak pernah sia-sia.

**

Hari ini, kisah itu tetap hidup. Ia berjalan dari mimbar ke mimbar. Dari buku ke buku. Dari hati ke hati.

Dan siapa pun yang membacanya, akan bertanya dalam hatinya sendiri:

> Sudahkah aku membeli rumah di surga?
> Ataukah aku masih membangun istana di dunia yang akan hancur?


Sumber:
Mahmud Mustafa Saad, Golden Stories, Pustaka Al-Kautsar 
---

Belaian Ibu, Bagai Ampunan dari Allah SWT Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di sebuah gang sempit di jantung kota Mesir, seorang lelaki...

Belaian Ibu, Bagai Ampunan dari Allah SWT

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di sebuah gang sempit di jantung kota Mesir, seorang lelaki tua berjalan pelan, matanya kosong menatap ke depan, namun hatinya tampak berkabut. Ia bukan orang sembarangan. Ia adalah sahabat Dzun Nun al-Misri, seorang sufi yang dalam ilmunya, lembut jiwanya, dan telah lama menyelami samudra makrifat.

Tapi hari-hari terakhirnya tampak berbeda. Ia sering terlihat mondar-mandir menyusuri jalan-jalan kota, menggumam sendiri dengan suara pelan:

> "Di mana hatiku…?"
> "Siapa yang mengambil hatiku?"
> "Siapa yang menemukannya untukku…?"



Anak-anak kecil, seperti biasa, tak memahami kesedihan yang diam. Mereka mengejek, melemparinya dengan kerikil kecil, menirukan ucapannya seperti lelucon. Namun lelaki tua itu tidak marah. Ia tidak membalas. Ia hanya terus berjalan… mencari sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.


---

Sebuah Gang Sunyi, dan Tangisan yang Menggetarkan

Suatu hari, untuk menghindari gangguan anak-anak itu, ia masuk ke sebuah gang kecil. Gang itu sunyi, sempit, berdebu. Ia duduk bersandar di dinding, menarik napas panjang, seolah berkata dalam diam, "Mungkin di sini aku bisa diam. Mungkin di sini aku akan menemukan hatiku kembali."

Tapi baru saja ia mencoba memejamkan mata, sebuah suara meledak dari balik salah satu pintu rumah:

> "Berapa kali harus ibu bilang padamu! Jangan membantah!"
> "Keluar sana! Jangan masuk ke rumah ini sebelum kau sadar!"



Terdengar suara tamparan. Lalu suara tangisan anak kecil. Pintu rumah terbuka. Seorang anak dilempar keluar rumah oleh ibunya. Pintu ditutup kembali dengan keras.

Anak itu berdiri di depan pintu, tubuhnya kecil, napasnya tersengal. Ia menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak ada siapa-siapa. Lalu dengan langkah gontai, ia duduk di depan pintu rumahnya, menyandarkan kepala mungilnya ke kusen kayu yang dingin, dan tertidur… masih sambil menangis.

Beberapa saat berlalu. Malam mulai turun. Angin mengendap dari balik tembok. Anak itu terbangun dan kembali menangis. Tapi kini tak ada kemarahan, hanya kerinduan.

> "Ibu…"
> "Jika engkau menutup pintu ini untukku…"
> "Siapa lagi yang akan membukakannya?"
> "Siapa yang akan mendekatkanku kepadamu, jika engkau sendiri yang menjauhkan aku?"
> "Siapa yang akan menyayangiku jika engkau membenciku?"



Tangisan itu bukan sekadar suara. Ia adalah suara jiwa yang mengetuk kasih, mengetuk ampunan.


---

Ketika Ibu Turun dari Takhta Marahnya

Dari balik pintu, sang ibu mendengar. Mungkin amarahnya belum reda. Tapi batin seorang ibu, betapapun marahnya, akan luluh jika yang mengetuk adalah tangis tulus anaknya.

Ia mengintip dari celah. Dan tampaklah anaknya: kecil, kotor, tubuhnya gemetar, wajahnya lelah, matanya sembab, namun mulutnya masih menyebut: “Ibu…”

Tak lama, pintu itu terbuka.

Sang ibu berlari. Ia rangkul anaknya. Ia peluk tubuh mungil itu ke dalam dadanya. Ia ciumi pipinya. Ia usap air matanya. Ia letakkan kepala anaknya di pangkuannya.

> "Sayang..."
> "Engkaulah yang membuat ibu marah seperti tadi."
> "Engkaulah yang menyebabkan semua ini terjadi."
> "Tapi kalau saja engkau patuh dari awal, niscaya engkau tak akan di luar pintu seperti ini..."



Namun saat kata-kata itu diucapkan, nada marahnya telah hilang. Ia hanya berkata begitu untuk menegaskan cinta. Cinta yang tetap ada meski sebelumnya ditutupi awan kemarahan.

Sang anak diam. Ia tidak menjawab. Ia hanya menangis dalam pelukan ibunya. Karena ia tahu: ia telah kembali.


---

"Saya Telah Menemukan Kembali Hati Saya"

Sahabat Dzun Nun, yang sejak tadi menyaksikan dari kejauhan, terpaku. Tangannya gemetar. Matanya basah. Jiwanya seperti disambar oleh sesuatu yang sudah lama ia cari.

Lalu ia berdiri. Dan menjerit.

> “Saya telah menemukannya!”
> “Saya telah menemukan hati saya!”



Orang-orang pun berdatangan. Mereka menyangka ia gila. Tapi kali ini, sorot matanya tajam. Ada kehadiran dalam dirinya yang sebelumnya hilang.

> “Apa yang terjadi denganmu?” tanya mereka.
> “Di mana kau menemukannya?”



Dan ia menjawab dengan suara pelan tapi dalam:

> “Di gang ini… di depan pintu rumah itu… saat seorang ibu membuka kembali pelukannya kepada anaknya…”
> “Di sanalah… aku menemukan hatiku kembali.”



Ia pun mencari Dzun Nun Al-Misri. Ia ceritakan semuanya. Dan sejak saat itu, setiap kali ia merasa sedih, takut kepada Allah, atau kehilangan arah… ia mengulang-ulang kata-kata itu:

> “Saya telah menemukan kembali hati saya… di depan pintu kasih seorang ibu.”




---

Sebuah Cermin dari Langit

Saudaraku…

Bukankah itu juga kisah kita dengan Allah?

Kita sering nakal. Kita sering menentang. Kita lupa. Kita enggan taat. Kita memunggungi perintah. Hingga suatu saat, musibah datang. Kehidupan menolak kita. Rezeki seolah tertutup. Ketentraman menghilang.

Dan kita pun merasa seperti anak kecil yang diusir ibunya: sendiri, bingung, tak tahu harus kemana.

Tapi sebagaimana si anak kecil tadi, kita pun bisa mengetuk kembali pintu itu. Kita sandarkan kepala kita di ambangnya. Kita menangis:

> “Ya Allah…
Jika Engkau menutup pintu-Mu… siapa lagi yang akan membukanya untukku?”
> "Jika Engkau menjauh… siapa lagi yang akan mendekatkanku?”
> "Jika Engkau marah… siapa lagi yang akan menyayangi?”



Dan ketika suara itu keluar dari dada yang benar-benar merindu…

Pintu itu akan terbuka.
Pelukan itu akan kembali.
Dan hati kita… akan kembali kepada pemiliknya.


---

Ampunan Allah Tak Pernah Pergi, Kita Saja yang Menjauh

Jika cinta ibu saja sanggup menghapus marah karena satu kalimat rindu, maka bagaimana dengan cinta Allah?

Allah tidak menciptakan kita untuk membenci.
Allah tidak membuka pintu-Nya untuk kemudian menutupnya selamanya.
Ampunan-Nya lebih besar dari murka-Nya.
Kasih-Nya lebih dalam dari lautan.

Kita hanya perlu belajar menangis seperti anak kecil itu.
Dan berkata jujur dari hati seperti sahabat Dzun Nun itu.

> “Wahai Tuhan… aku kembali.
> Jangan biarkan aku di luar pintu-Mu.”


Sumber:
Ibnu Jauzi, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar 

--

Pesan Imam Az-Zuhri Soal Madu bagi Santri Agar Kuat Hafalan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin malam dari jazirah bertiup lembut, ...

Pesan Imam Az-Zuhri Soal Madu bagi Santri Agar Kuat Hafalan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin malam dari jazirah bertiup lembut, membawa semilir kisah para tokoh agung dari generasi tabi'in. Di antara mereka, ada satu nama yang harum dikenang bukan hanya karena ketakwaannya, tapi juga karena kejernihan akalnya dan ketajaman hafalannya: Imam Az-Zuhri.

Ia bukan sekadar penghafal hadist. Ia adalah peletak dasar ilmu hadist, sosok pertama yang diperintahkan langsung oleh Umar bin Abdul Aziz untuk membukukan hadist secara sistematis. Dua tokoh inilah—Umar bin Abdul Aziz dan Imam Az-Zuhri—yang menjadi dua sayap burung Bani Umayyah untuk terbang menuju era keemasan yang bersih dan bercahaya, seperti era Khulafaur Rasyidin.

Di balik keilmuan dan ketekunannya, tersimpan rahasia sederhana namun dalam: makanan dan minuman yang menyehatkan pikiran dan menguatkan ingatan.

Anggur Kering dan Hafalan Hadist

Dalam satu riwayat yang disampaikan oleh Ismail Al-Makki, Imam Az-Zuhri pernah berpesan kepada para muridnya, “Barangsiapa yang senang menghafal hadist, maka hendaklah dia banyak makan anggur kering.” Sebuah kalimat yang mungkin terdengar sepele bagi telinga modern, tapi penuh makna jika direnungi.

Mengapa anggur kering?

Al-Hakim menjelaskan, “Karakter anggur kering itu panas, lembut, dan kering. Ia menghilangkan lendir yang menjadi penghalang kejernihan pikiran.” Dalam tradisi kedokteran Islam, lendir berlebihan bisa mengganggu kerja otak, membuat tubuh berat dan pikiran lemah. Maka, pengaturan pola makan bukan hanya soal kenyang, tapi soal kejernihan jiwa dan daya ingat yang tajam.

Malam dan Madu

Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi kesetiaan Imam Az-Zuhri terhadap ilmu. Malam-malamnya bukan diisi dengan mimpi, melainkan dengan tadabbur dan munajat. Ibnu Syihab menuturkan, “Dia sering begadang malam dengan madu sebagai hidangannya. Sebagaimana ahli minum, minuman untuk berbicara—dia pun minum madu sambil berdiskusi.”

Imam Az-Zuhri berkata suatu malam, “Tuangkanlah untuk kami dan bicaralah.” Kalimat itu sederhana, tapi sarat makna. Minum madu bukan untuk menikmati kemewahan, melainkan untuk membuka tabir ilmu. Bicaralah, karena dalam diskusi, ilmu bertambah dan akal menjadi tajam.

Hindari Apel, Pilih yang Menguatkan

Menariknya, Imam Az-Zuhri juga dikenal menghindari buah apel. Bukan karena tidak menyukainya, tapi karena ia menyadari efek dari makanan terhadap daya ingat. Apel, dalam beberapa literatur klasik, dikenal bersifat dingin dan lembab, yang bisa memperlambat fungsi otak bagi sebagian orang.

Sementara itu, madu dan anggur kering bersifat hangat, membersihkan, dan menajamkan. Maka tidak heran, keponakan Imam Az-Zuhri menyaksikan langsung keajaiban hafalannya. “Imam Az-Zuhri menghafal Al-Qur’an hanya dalam 80 malam,” katanya. Bahkan, beliau pernah berkata, “Aku belum pernah mengulangi sebuah hadist. Dan tidak ragu dalam menghafalnya, kecuali satu kali saja. Ketika kutanyakan pada temanku, ternyata tepat seperti yang aku hafal.”

Antara Ingatan dan Kesucian

Di balik kekuatan hafalan, ada kesucian jiwa. Imam Az-Zuhri bukan sekadar menjaga makanan, tetapi juga menjaga lisan, pandangan, dan waktunya. Hafalan tidak tumbuh dalam jiwa yang penuh dosa dan lalai. Ia tumbuh dalam hati yang bersih, lingkungan yang teduh, dan pola makan yang bijak.

Angin sepoi kembali menyapa. Dalam diam malam, seperti ada pesan yang berbisik dari langit: “Wahai para penuntut ilmu, bukan hanya kitab yang kau baca, tapi perhatikan pula apa yang masuk ke dalam tubuhmu. Karena dari situlah cahaya ilmu akan tumbuh atau padam.”

Hari ini, ketika santri menghadapi tantangan gadget, informasi instan, dan makanan instan yang miskin gizi dan makna, pesan Imam Az-Zuhri kembali relevan. Hafalan bukan sekadar soal niat, tapi soal strategi ruhani dan jasmani. Jika ingin hafalan kuat, jaga pola makan. Jika ingin ilmu kokoh, bersihkan jiwa.

Sebuah Warisan yang Layak Diwarisi

Di tengah dunia yang serba cepat dan tergesa-gesa, warisan Imam Az-Zuhri ini mengajarkan kita untuk pelan-pelan kembali pada hal-hal yang alami dan mendalam. Hafalan bukan keajaiban semata, tapi buah dari kedisiplinan dan kearifan.

Bagi para santri, guru, dan siapa saja yang ingin menghidupkan ilmu dalam dada—ingatlah, terkadang yang kecil dan sederhana, seperti anggur kering dan madu, bisa menjadi kunci untuk menghafal ribuan hadist dan membangun peradaban.

Langit malam tetap tenang. Bintang-bintang masih bersinar. Dan dalam keheningan itu, pesan Imam Az-Zuhri seolah terus hidup dan berkata: “Makanlah yang menyehatkan, minumlah yang mencerahkan. Karena hafalan yang tajam lahir dari jiwa yang bersih dan tubuh yang terjaga.”

Sumber:
Syeikh Ahmad Farid, 60 Kisah Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar

Tunggulah! Dengarkan Jawaban dari Allah SWT Oleh: Nasrulloh Baksolahar Suatu senja yang tenang di Kufah. Langit mengguratkan war...

Tunggulah! Dengarkan Jawaban dari Allah SWT

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Suatu senja yang tenang di Kufah. Langit mengguratkan warna keemasannya, dan angin padang pasir menyusup pelan melalui sela-sela rumah-rumah para tabi’in.

Di dalam sebuah masjid yang sederhana, seorang ulama besar berdiri menjadi imam. Namanya terukir dalam sejarah keilmuan Islam: Sufyan Ats-Tsauri.

Malam itu, ia mengimami shalat Maghrib. Para murid berdiri khusyuk di belakangnya. Saat ia membaca surat pembuka Kitabullah, terdengar suaranya menggetarkan:

"Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in…”
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan…”

Lalu… suara itu terhenti.

Tidak karena lupa. Bukan karena sakit.

Tetapi karena tangis.
Tangis seorang yang tahu betapa beratnya janji dalam ayat itu.
Tangis seorang yang takut bahwa ibadahnya mungkin belum tulus.
Tangis seorang alim yang merasa kecil di hadapan Tuhan yang Mahabesar.

Ia diam cukup lama. Lalu perlahan mengulang kembali dari awal:
"Bismillahirrahmanirrahim… Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin…”

Dan lagi-lagi, saat sampai di ayat kelima, tubuhnya terguncang. Air matanya menetes. Ia tak sanggup melewati barisan ayat itu dengan ringan.

Karena di sanalah puncak dari semua kejujuran hati:
Kita sembah Engkau. Kita mohon hanya kepada-Mu.

Seseorang dari barisan jamaah bertanya setelah shalat, “Wahai Imam, mengapa engkau menangis terus setiap membaca Al-Fatihah?”

Sufyan menjawab pelan, “…Aku takut.”
“Aku takut… jika aku termasuk orang yang tidak beruntung.”
“Aku takut… ayat-ayat Al-Fatihah itu tidak berlaku padaku.”
“Aku takut menjadi pendusta dalam ibadah yang seolah kusampaikan.”


---

Tangisan Seorang Alim, Bukan Karena Dunia

Atha’ Al-Khuffaf, salah seorang tabi’in, pernah bersaksi, “Aku tak pernah melihat Sufyan kecuali dalam keadaan menangis.”

“Kenapa engkau selalu menangis, wahai Sufyan?” tanyanya suatu hari.

Dan Sufyan menjawab dengan suara bergetar, “Karena aku membaca surat yang menjadi Ummul Kitab… dan aku belum yakin apakah aku benar-benar termasuk dalam kandungannya…”

Ia menyebut surat Al-Fatihah.
Surat yang dibaca berkali-kali dalam sehari.
Surat yang mungkin dilafalkan lidah, tapi tidak masuk ke dalam dada.

Sufyan menangis bukan karena ia tak bisa membaca.
Bukan karena ia lupa ayat.
Tapi karena ia takut berbohong kepada Allah saat berkata “Iyyaka na’budu.”


---

Berhenti di Setiap Ayat, Menikmati Jawaban Allah

Adab ini juga diwariskan oleh seorang pemimpin agung: Umar bin Abdul Aziz.

Khalifah yang zuhud itu dikenal membaca Al-Fatihah dengan lambat. Tidak tergesa. Dan ada jeda di antara ayat.

Saat ditanya, “Mengapa engkau diam di antara ayat, wahai Amirul Mukminin?”

Ia menjawab lembut, “Karena aku sedang menunggu jawaban Allah.”

Ya. Menunggu jawaban Allah.

Sebab, dalam riwayat sahih, Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Aku telah membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Maka jika ia berkata: ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’
Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’.
Jika ia berkata: ‘Ar-Rahmanir Rahim’
Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’.
Dan seterusnya…”



Surat ini bukan monolog.
Ia dialog.
Surat ini bukan sekadar bacaan.
Ia perjumpaan.


---

Mengapa Kita Terburu-buru Membaca Doa yang Sedekat Itu?

Surat Al-Fatihah bukan sembarang surat. Ia adalah panggilan dari langit yang turun langsung ke dalam dada manusia. Ia adalah satu-satunya surat yang wajib dibaca dalam setiap rakaat.

Namun mengapa kita sering membacanya seperti mengejar waktu?
Mengapa lidah lebih cepat dari hati?
Mengapa ayat tentang penghambaan dan permohonan kita lafalkan dengan tergesa?

Apakah kita benar-benar sedang berbicara dengan Tuhan, atau hanya sekadar mengucapkan rutinitas?

Wahab bin Munabbih—seorang alim dari generasi tabi’in—menafsirkan kalimat “Amin” sebagai sebuah harapan yang gemetar:

> “Amin itu maknanya: Ya Allah, janganlah Engkau kecewakan harapan kami.”



Bayangkan, setelah membaca permohonan dalam ayat-ayat Al-Fatihah, kita menutupnya dengan sebuah seruan: "Jangan kecewakan kami, ya Allah…"


---

Jika Surat Ini Adalah Doa, Maka Bacalah dengan Cinta

Bayangkan engkau sedang berbicara langsung dengan Tuhan.
Bayangkan engkau berdiri di hadapan-Nya, membawa beban dosa dan kerinduan yang dalam.
Lalu engkau katakan:

> “Engkaulah yang kami sembah…”
“Engkaulah tempat kami bergantung…”
“Tunjukilah kami jalan yang lurus…”



Apakah engkau akan mengucapkannya dengan cepat?
Ataukah dengan segenap cinta dan pengharapan?

Al-Fatihah adalah tangga.
Dan setiap anak tangganya mengangkatmu lebih dekat ke hadirat Ilahi.
Jika engkau terburu, mungkin kau jatuh. Tapi jika engkau pelan, engkau naik dengan selamat.


---

Bukan Soal Tajwid Saja, Tapi Rasa Takut dan Cinta

Hari ini, banyak orang belajar tajwid. Belajar makhraj dan mad. Itu penting.

Tapi pernahkah kita belajar bagaimana menangis ketika membaca Al-Fatihah?
Pernahkah kita belajar takut menjadi pembohong dalam ibadah?
Pernahkah kita belajar bagaimana diam sejenak untuk mendengar jawaban Tuhan?

Bacaan Sufyan Ats-Tsauri bukan hanya benar secara kaidah, tapi juga benar secara jiwa.

Ia menangis… karena sadar bahwa Allah sedang menyimak.

Umar bin Abdul Aziz diam… karena sadar bahwa Allah sedang menjawab.


---

Penutup: Mulailah dengan Satu Ayat Saja… Tapi Masuklah Sepenuh Jiwa

Jika engkau ingin memperbaiki shalatmu, mulailah dari surat ini.

Bacalah Al-Fatihah bukan hanya dengan lidah, tapi dengan dada.
Bacalah bukan hanya dengan hafalan, tapi dengan keinsafan.
Dan setiap kali kau ucapkan “Amin”… biarlah itu keluar sebagai harapan terakhir dari jiwa yang sangat ingin dipeluk oleh Rahmat-Nya.

Al-Fatihah bukan hanya pembuka shalat.

Ia adalah pembuka hati.
Pembuka jalan.
Dan pembuka pertemuan antara hamba dan Tuhannya.

Maka berhentilah sejenak… dan dengarkan jawaban Allah…


Sumber: 
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar 
Amru Khalid, Khowathir Qur’aniyah, Al-Itishom
Abdurrahman Asy-Syafii, Amalul Kubro, Sahara Publisher

Mengintip Abdullah Ibnu Mubarak dari Balik Malam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Malam itu, angin gurun berembus lembut menyusuri din...

Mengintip Abdullah Ibnu Mubarak dari Balik Malam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Malam itu, angin gurun berembus lembut menyusuri dinding-dinding rumah penginapan di Syam. Rombongan kami singgah untuk beristirahat setelah perjalanan panjang. Gelap menyelimuti ruangan karena tidak ada lampu menyala. Beberapa dari kami keluar mencari cahaya. Aku memilih diam.

Di tengah keheningan itu, aku termenung. Pertanyaan demi pertanyaan bergema di benakku. Apa yang membuat Abdullah Ibnu Mubarak begitu dimuliakan?

Ia shalat, kami pun shalat. Ia berpuasa, kami juga. Ia berjihad, kami ikut. Ia menunaikan haji, kami bersamanya. Tapi mengapa derajatnya begitu tinggi? Apa rahasianya?

Tiba-tiba, seberkas cahaya menembus ruang yang gelap. Bukan dari pelita, tapi dari seseorang yang baru datang membawa lampu. Dalam cahaya itu, aku melihat wajah Ibnu Mubarak. Jenggotnya basah. Bukan oleh air wudhu, tapi air mata.

Ia duduk diam. Hatinya jelas tidak di bumi. Suara isak yang pelan terdengar. Matanya menatap ke arah yang tak kasat mata. Tubuhnya seolah hadir di hadapan kami, tapi jiwanya sedang berdiri di hadapan Tuhan-Nya.

Aku berkata dalam hati, “Dengan ini dia menjadi mulia.” Saat semua lampu padam, dia justru menyalakan cahaya jiwa.

Seorang ulama, Al-Marwazi, pernah bertanya pada Imam Ahmad bin Hambal tentang rahasia kemuliaan Ibnu Mubarak.

Imam Ahmad menjawab, "Dia tidak diangkat derajatnya oleh Allah, kecuali karena banyak kebaikan yang tidak diketahui orang lain."

Air mataku mengalir. Ternyata rahasia kemuliaan bukan pada apa yang tampak, tapi yang disembunyikan. Bukan pada pujian manusia, tapi pandangan Allah di keheningan malam.

Ibnu Mubarak bukan hanya ulama. Ia juga dermawan yang menyembunyikan tangannya. Diceritakan, dalam rombongan haji yang ia biayai, tak satu pun jamaah tahu bahwa sang penyandang dana adalah dia sendiri. Ia berjalan bersama mereka, makan bersama mereka, tidur bersama mereka. Tanpa keistimewaan. Tanpa pengumuman.

Ada pula kisah tentang muridnya yang menanggung hutang besar. Hingga tak sanggup lagi belajar. Suatu hari, hutangnya lunas. Ketika ia bercerita kepada gurunya, Ibnu Mubarak hanya mendengarkan, tersenyum tipis. Ia tidak mengaku bahwa ialah pelunasinya.

Beginilah para kekasih Allah menyembunyikan kebaikan mereka seperti menyembunyikan aib. Mereka beramal bukan untuk panggung manusia, tapi untuk disaksikan oleh langit.

Di tengah dunia yang riuh mengejar pengakuan, Ibnu Mubarak diam di malam yang sunyi, menangis mengingat Hari Kiamat. Saat kita sibuk membuat konten, ia sibuk mengisi catatan malaikat yang tak pernah dipublikasikan.

Ia hidup dalam cahaya yang tak tampak, tapi sinarnya abadi.
Ia berbicara dalam diam, dan diamnya lebih keras dari ribuan khutbah.

Barangkali malam itu, Allah sedang menyampaikan pesan padaku—bahwa kemuliaan bukanlah soal seberapa banyak yang kita kerjakan, tapi seberapa jujur hati kita saat mengerjakannya. Dan seberapa sanggup kita menyembunyikannya dari riya’.

Ketika dunia mencari sorotan, Abdullah Ibnu Mubarak memilih sudut gelap malam.
Dan dari sanalah ia bersinar paling terang.


Sumber:
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar

Ketajaman Firasat: Melampaui Akal, Ilmu dan Analisis Big Data Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Berhati-hatilah terhadap firasat seora...

Ketajaman Firasat: Melampaui Akal, Ilmu dan Analisis Big Data

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

“Berhati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin,” sabda Rasulullah ﷺ, “karena ia melihat dengan cahaya Allah.”
Kalimat ini singkat, tapi dalamnya menusuk hingga ke lubuk kalbu. Ia mengajak kita merenung, bahwa ada mata lain yang digunakan oleh orang beriman. Bukan mata kepala. Bukan pula semata akal dan ilmu. Tapi mata batin—yang peka, yang bening, yang terang oleh cahaya-Nya.

Firasat.
Satu kata yang sering terdengar samar, seakan bagian dari dunia sufi, mistik, atau bahkan klenik. Tapi sesungguhnya, ia adalah bagian dari warisan kenabian. Ia bukan sekadar perasaan. Ia adalah intuisi ruhani yang muncul dari kebeningan hati, dari kebersihan jiwa, dari hubungan yang intens dengan Allah.

Dalam kehidupan, kita sering berada di persimpangan. Dua jalan membentang, dan tak satu pun memiliki papan petunjuk. Ilmu tak cukup. Statistik membisu. Akal pun ragu. Maka yang bicara adalah nurani—yang terang karena iman, yang tajam karena takwa.

Dan di sanalah firasat berperan.
Ia tak berbicara dengan logika. Tapi ia menunjukkan arah dengan rasa. Seakan ada suara lembut berbisik dari langit, “Pergilah ke sana.” Dan ketika kita ikuti, ternyata benar: di sanalah keselamatan.


---

Firasat Para Kekasih Allah

Sejarah mencatat bahwa para ulama dan orang-orang shalih—yang hatinya bersih dan hidup dalam kedekatan kepada Allah—sering diberi isyarat-isyarat gaib. Bukan karena mereka sakti, tapi karena mereka dijaga. Allah, dalam kemahakuasaan-Nya, memberi mereka petunjuk-petunjuk yang tak tertangkap oleh radar akal biasa.

Seorang tabi’in pernah menyampaikan firasatnya: bahwa kota agung Konstantinopel akan ditaklukkan oleh seorang khalifah yang namanya berasal dari nama seorang nabi. Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah masa itu, merasa bahwa nubuat itu merujuk padanya. Ia segera mengerahkan pasukan, menyusun strategi, membakar semangat jihad. Tapi sejarah mencatat hal berbeda: penaklukan agung itu terjadi ratusan tahun kemudian, oleh seorang pemuda bernama Muhammad—Muhammad Al-Fatih. Dialah yang memenuhi sabda Rasulullah ﷺ.

Apakah ini berarti firasat tabi’in itu salah? Tidak. Ia benar. Hanya saja, waktu Allah belum tiba.

Kemenangan itu pun bukan sekadar urusan tentara dan senjata. Di balik kemenangan itu, ada dua sosok penting: Syekh Aq Syamsuddin dan Imam Qurani. Dua ulama yang membimbing Muhammad muda dengan cahaya ilmu dan firasat. Mereka tak hanya mengajarkan strategi, tetapi juga membersihkan jiwanya, menyiapkan batinnya, menanamkan visi kenabian.

Ketika Muhammad Al-Fatih mulai ragu, Syekh Aq Syamsuddin menulis surat:
"Kita telah berserah diri kepada Allah, dan kita membaca Al-Qur’an. Maka semua ini seperti rasa kantuk dalam tidur setelahnya. Sesungguhnya, telah terjadi kelembutan kekuasaan Allah dan muncullah hal-hal yang menggembirakan yang belum pernah terjadi sebelumnya."

Itu bukan motivasi biasa. Itu adalah sinar keyakinan yang datang dari hati yang menyatu dengan kehendak langit.


---

Firasat, Cahaya dalam Dada

Imam Al-Ghazali menyebut firasat sebagai kasyf, pembukaan tabir antara manusia dan Allah. Bukan ramalan, bukan bisikan jin. Tapi nur yang ditanamkan dalam dada. Sebuah kepekaan terhadap tanda-tanda. Sebuah kemampuan membaca isyarat halus dari semesta, yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang hening.

Imam Qusyairi menukil dalam Risalah Qusyairiyah:
"Firasat adalah suara batin yang masuk ke dalam hati. Ia seperti cahaya yang memancar, membawa berbagai rahasia dari alam gaib, hingga seseorang bisa melihat dengan cara pandang Allah."

Dan memang, orang-orang yang hidup dalam ketakwaan memiliki cara pandang yang unik. Mereka melihat sesuatu yang tak terlihat. Mereka membaca keadaan tanpa data. Mereka tahu arah, bahkan ketika tidak ada kompas.

Bukankah Imam Malik pernah berkata kepada Imam Syafi’i kecil:
"Kelak engkau akan menjadi orang besar. Maka jangan padamkan cahayamu dengan maksiat."

Bagaimana Imam Malik bisa tahu? Apakah karena kecerdasan Syafi’i? Mungkin. Tapi lebih dari itu, karena beliau melihat dengan firasat.


---

Mimpi yang Jernih, Firasat dalam Tidur

Firasat juga sering datang dalam bentuk mimpi. Tidak semua mimpi itu benar, tentu. Tapi mimpi orang mukmin bisa menjadi bagian dari nubuat. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa mimpi yang benar adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.

Abbas Asisi pernah meriwayatkan kisah tentang seorang tahanan politik, Najib Abdul Aziz, yang bermimpi bahwa Gamal Abdul Nasser—penguasa Mesir—akan sekarat pada hari tertentu. Mimpi itu terdengar hingga ke telinga intelijen. Dan benar, ajal pun tiba di hari itu. Mimpi bukan sekadar bunga tidur, jika tidur itu didahului oleh doa, wudhu, dan hati yang bersih.


---

Firasat dalam Sejarah Indonesia

Apakah proklamasi 17 Agustus 1945 juga hasil firasat? Sejumlah ulama menyatakan demikian. KH. Abdul Moekti, seorang tokoh Muhammadiyah, menyarankan agar proklamasi dilakukan pada tanggal itu. KH. Hasyim Asy’ari pun dikisahkan ikut bermusyawarah dan beristikharah, hingga jatuh pilihan pada 17 Agustus, bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 H.

Mengapa tanggal itu penting? Karena saat itu Jepang sudah menyerah, dan Belanda belum datang. Ada celah waktu. Sebuah momen yang hanya bisa ditangkap oleh yang peka. Mereka membaca keadaan dengan mata hati, bukan sekadar politik.


---

Menajamkan Firasat: Jalan Riyadhah

Lalu, bagaimana agar kita bisa memiliki firasat yang tajam?
Syekh Al-Kirmani memberi resepnya:

> “Barangsiapa menundukkan pandangan dari yang haram, menahan diri dari syahwat, menjaga batinnya dengan rasa diawasi Allah, meneguhkan zahirnya dengan sunnah Rasulullah ﷺ, dan membiasakan diri makan yang halal, maka firasatnya tak akan meleset.”



Firasat bukan hadiah tiba-tiba. Ia buah dari latihan panjang. Riyadhah. Mujahadah. Menahan diri. Meninggalkan yang syubhat. Menyucikan hati dari dengki, sombong, dan riya. Memelihara pandangan. Memperbanyak dzikir. Dan memutus ketergantungan pada makhluk.

Karena semakin bening hati, semakin terang cahaya Allah di dalamnya. Dan ketika cahaya itu menyala, seseorang bisa melihat dengan mata yang tidak terlihat.


---

Melampaui Akal dan Ilmu

Akal punya batas. Ilmu punya wilayah. Tapi kehidupan sering mengantar kita pada situasi-situasi yang belum dikenal. Sesuatu yang tak tercantum dalam buku teks. Suatu kejadian tiba-tiba, di luar rumus dan pola.

Apa yang harus dilakukan?

Di sinilah letak nilai firasat.
Akal hanya mengenang masa lalu. Ilmu merumuskan kebiasaan. Tapi firasat membuka pintu masa depan. Ia meraba yang belum terjadi, dan mempersiapkan diri sebelum semuanya terlambat.

Firasat bukan untuk menebak. Tapi untuk membaca tanda-tanda. Ia lebih seperti radar: tidak memprediksi, tapi mendeteksi. Dan yang paling tajam radarnya adalah mereka yang bersih dari kepentingan duniawi.


---

Pemimpin dan Firasat

Dalam dunia kepemimpinan, firasat adalah senjata utama. Seorang pemimpin tak cukup hanya mengandalkan penasihat, survei, atau strategi. Ia perlu ketajaman rasa. Karena keputusan besar sering harus diambil dalam keadaan sunyi, sepi, dan penuh risiko.

Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang memimpin dengan firasat. Bukan berdasarkan reaksi publik, tetapi berdasarkan keyakinan ruhani. Karena di atas pertimbangan politik dan ekonomi, ada satu bisikan suci: “Inilah jalan Allah.”

Para penasihat boleh berbicara dengan logika dan data. Tapi sang pemimpin... ia harus menafsirkan zaman dengan firasat. Seperti Izzuddin Abdus Salam, ulama besar di masa Mongol, yang menunjukkan kapan waktu menyerang, dan bagaimana caranya. Para sultan bertanya, dan para wali menjawab.


---

Penutup: Jadilah Mukmin yang Melihat dengan Cahaya Allah

Firasat bukan milik para nabi saja. Ia warisan yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang membersihkan diri. Tidak perlu menjadi wali besar, cukup menjadi mukmin sejati yang menata hati, memperbanyak takwa, dan berjalan dalam cahaya Al-Qur’an.

Jika dunia hari ini terasa gelap, mungkin bukan karena cahaya hilang—tetapi karena kita kehilangan ketajaman batin.

Maka, mari kita hidupkan kembali tradisi membaca tanda-tanda. Bukan dengan rasa takut, tapi dengan kepekaan spiritual. Bukan dengan firasat sembarangan, tapi dengan latihan dan penjagaan hati.

Dan jika cahaya itu mulai menyala dalam dada—dengan dzikir, dengan tangisan di malam hari, dengan menjaga pandangan, dan menahan syahwat—maka percayalah: Allah akan membisikkan sesuatu yang tak dibisikkan pada yang lain.

Karena benar sabda Nabi:

> “Orang mukmin itu melihat dengan cahaya Allah.”

Dosa Kaum Khusus, Derita Kaum Awam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin dingin gurun menyapu jalur tua menuju perbatasan Romawi. Di ...

Dosa Kaum Khusus, Derita Kaum Awam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Angin dingin gurun menyapu jalur tua menuju perbatasan Romawi. Di atas pelana unta yang berderak perlahan, aku duduk di samping seorang lelaki berwajah teduh dan bercahaya: Abdurrahman bin Mubarak Ash-Shuri. Perjalanan panjang itu bukan sekadar tentang arah, tapi juga makna. Dan hari itu, ia membisikkan kebenaran yang mengguncang nuraniku.

"Wahai Musayyib," katanya seraya menatap cakrawala yang memerah, "tahukah engkau, kehancuran masyarakat umum... bukan karena mereka bodoh atau jahat, tapi karena kelompok khusus dalam umat ini telah rusak."

Aku menoleh padanya. "Kelompok khusus? Apa maksudmu, Abdurrahman? Jelaskanlah kepadaku. Semoga Allah merahmatimu."

Ia menarik napas panjang. Angin berhembus, seolah menunggu kelanjutan ucapannya.

"Umat Nabi Muhammad ﷺ," katanya lirih namun tegas, "dibangun atas lima pilar masyarakat. Bila satu pilar hancur, getarannya terasa. Bila semuanya runtuh... maka umat ini akan terseret ke jurang yang dalam."

Aku diam menyimak. Dan ia pun melanjutkan.

"Pertama," katanya, "adalah kaum ulama dan ilmuwan.
Mereka adalah pewaris para nabi. Lentera di kegelapan. Tetapi ketika ulama sudah rakus pada dunia, memburu kemewahan, menjual fatwa demi kekuasaan, siapa lagi yang akan dijadikan panutan oleh awam yang buta ilmu? Jika pelita itu padam, siapa yang akan menerangi malam panjang umat ini?"

Aku menunduk. Seperti ada beban menyesakkan dada.

"Kedua, adalah kaum zuhud dan ahli ibadah."
Mereka raja tanpa takhta, yang hatinya bersandar hanya pada langit. Tapi jika mereka mulai terpikat dunia, kehilangan khusyuk dan ketenangan, siapa lagi yang akan membimbing jiwa-jiwa yang ingin bertobat? Bila yang seharusnya menjadi telaga malah berubah menjadi fatamorgana, kemana para pendosa harus menengadah?"

Suara Abdurrahman makin dalam. Ada luka di nadanya.

"Ketiga, adalah pasukan dan para pejuang."
Mereka tentara Allah di muka bumi. Namun, bila mereka berperang demi nama, demi pujian, dan bukan karena Allah, kapan lagi kemenangan itu akan turun dari langit? Bila pedang digenggam dengan riya, bukan ikhlas, maka musuh akan datang bukan dari luar, tapi dari dalam dada mereka sendiri."

Aku menggenggam tali kekang unta lebih erat.

"Keempat, adalah para saudagar dan hartawan."
Mereka adalah penjaga amanah dan penyambung rezeki. Tapi bila mereka mulai menipu, khianat, dan memutar harta demi kerakusan, siapa lagi yang akan dipercaya oleh masyarakat yang lapar dan berharap? Bila lumbung berubah jadi jebakan, maka rakyat hanya akan panen kehancuran."

Dan Abdurrahman menatapku lebih dalam, seakan kalimat terakhirnya menyimpan luka paling dalam.

"Kelima, adalah para penguasa dan pemimpin."
Mereka adalah pelindung, pengayom, dan penentu arah umat. Tapi ketika seorang pemimpin telah menjelma serigala, memangsa rakyatnya sendiri, maka siapa lagi yang akan menjaga umat dari kekacauan? Bila pagar justru menjadi pencuri, maka rumah umat ini akan dirampok dari dalam."

Kami terdiam lama. Langit mulai gelap, tapi kalimat-kalimat Abdurrahman menyala di dadaku, seperti api kecil yang membakar rasa aman palsu dalam kebiasaan.

Aku sadar, umat ini bukan runtuh karena kebodohan massal, tapi karena kerusakan moral para pemegang kunci—ulama, zahid, mujahid, saudagar, dan penguasa. Bila yang khusus rusak, maka yang umum akan ikut hancur. Bila puncak bukit roboh, lembah pun akan tertimbun.

Dalam diam, aku berdoa,
“Ya Allah, selamatkan umat ini dengan memperbaiki yang terdepan… agar yang di belakang tidak tersesat dan tertindas.”

Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Kedermawanan yang Sempurna dari Bani Hasyim Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di bawah cahaya rembulan yang menyentuh ubin halaman, dua...

Kedermawanan yang Sempurna dari Bani Hasyim

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di bawah cahaya rembulan yang menyentuh ubin halaman, dua budak duduk berhadapan. Mata mereka bersinar oleh bara kesetiaan, tapi juga oleh rasa ingin membuktikan kemuliaan tuan masing-masing.

"Aku yakin," ujar budak dari Bani Hasyim, "tuan-tuan kami lebih mulia dan dermawan."

Budak dari Bani Umayyah tersenyum miring. "Kita lihat saja. Kita buktikan. Kau ke keluargamu, aku ke keluargaku. Lalu kita hitung, siapa yang benar-benar dermawan."

Keesokan harinya, budak dari Bani Umayyah mulai berkeliling. Ia ketuk pintu satu per satu dari sepuluh orang tuan dalam kabilahnya. Dengan wajah memelas dan suara lirih, ia ceritakan penderitaan dan kemiskinannya.

"Berikanlah padaku," katanya.
"Ambillah ini," kata mereka.

Seratus ribu dirham ia kumpulkan. Jumlah yang tidak kecil. Ia kembali dengan dada membusung. "Sekarang giliranmu."

Budak dari Bani Hasyim tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan ke rumah pertama—rumah Husain bin Ali.

Di hadapan cucu Rasulullah ﷺ itu, ia membuka kisah kemiskinan dan luka hidupnya. Husain menatapnya sejenak, lalu tersenyum lembut. Tanpa tanya, tanpa syarat, Husain menyerahkan 100.000 dirham.

Belum puas, ia berjalan ke rumah Abdullah bin Ja'far. Lelaki saleh itu mendengarkan, lalu mengulurkan jumlah yang sama—100.000 dirham.

Lalu, ia melangkah ke rumah terakhir: Abdullah bin Rabiah. Dan, untuk ketiga kalinya, 100.000 dirham ia terima.

Ia kembali ke pertemuan mereka. Wajah budak dari Bani Umayyah mendadak berubah. Matanya menatap tiga kantong berat di tangan lawannya.

"Dari tiga orang saja kau dapat tiga kali lipat?!" tanyanya tak percaya.

"Ya. Dan masih ada satu ujian lagi untuk benar-benar mengetahui siapa yang dermawan."

"Apa itu?"

"Kita kembalikan semuanya. Lihat apakah mereka rela menerima kembali apa yang telah mereka berikan."



Budak dari Bani Umayyah kembali ke sepuluh tuannya. Dengan suara tenang ia berkata, "Aku tak lagi membutuhkannya. Allah telah membukakan jalan. Aku ingin mengembalikannya."

Satu per satu menerima kembali uang yang pernah diberikan. Tak seorang pun menolak.

Sementara itu, budak dari Bani Hasyim kembali ke tiga rumah yang pernah ia datangi. Kepada mereka ia berkata dengan penuh hormat, "Aku sudah tidak membutuhkannya. Allah telah mencukupkan aku. Maukah kalian menerimanya kembali?"

Husain menatapnya penuh kasih. "Kami tak mengambil kembali apa yang telah kami berikan karena Allah."

Abdullah bin Ja'far berkata, "Kami tidak menarik pemberian yang telah bercampur dengan hakmu."

Dan Abdullah bin Rabiah menyempurnakan: "Apa yang telah kami hibahkan, biarlah menjadi milikmu. Jangan kau kembalikan sesuatu yang telah ditulis untukmu."



Di bawah pohon kurma, kedua budak itu kembali duduk. Satu dengan tangan kosong, satu lagi dengan harta utuh yang tak berkurang sedikit pun.

Lalu, sunyi menyelimuti malam. Tapi dari kesunyian itu, suara hati berbicara lebih lantang daripada segala kebanggaan:

"Kedermawanan bukan hanya soal memberi, tapi tentang jiwa yang tidak pernah meminta kembali."

Dan pada malam itu, sejarah menuliskan satu pelajaran:

Bani Umayyah bisa memberi. Tapi Bani Hasyim… memberi tanpa mengambil kembali.



Sumber:
Al-Ghazali, Adab Berpolitik, Qaf Publishing.

Tabib Mengugat Kumbang, Ternyata Sembuh dengan Kumbang Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ia adalah seorang filsuf besar. Seorang tabib ...

Tabib Mengugat Kumbang, Ternyata Sembuh dengan Kumbang

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Ia adalah seorang filsuf besar. Seorang tabib kenamaan. Ilmunya luas laksana samudra, keangkuhannya pun kadang menyaingi cakrawala. Namanya Galen. Ia dihormati oleh murid dan raja, karena kepakarannya yang nyaris tak tertandingi dalam dunia pengobatan dan filsafat.

Namun pada suatu hari, dalam diam dan duduknya yang panjang, ia berbicara pada dirinya sendiri:

"Aku tidak paham... mengapa Allah menciptakan serangga yang menjijikkan itu... kumbang?
Apakah manfaatnya?
Apa hikmah dari makhluk kecil yang tampaknya tak berguna?
Bukankah lebih baik jika ciptaan-Nya hanya yang bermanfaat bagi manusia?"

Suara hati itu lirih, tetapi mengandung kesombongan yang tak kasat mata. Sebuah pengingkaran kecil terhadap kebijaksanaan ilahi. Ia, sang cendekiawan, baru saja menggugat salah satu ciptaan Tuhan—dengan ukuran rasionalitasnya sendiri.



Hari berganti. Dalam takdir yang tak pernah salah arah, Galen tiba-tiba terserang penyakit mata. Pedihnya menusuk. Kaburnya pandangan menggelisahkan. Semua ramuan yang ia ketahui, semua metode yang ia pelajari, tak mampu menyembuhkan rasa sakit itu.

Para dokter terbaik yang ia kenal pun tak mampu mengubah nasibnya.

Ia mulai gelisah. Ia mulai bertanya-tanya. Ia mulai merasa kecil.

Sampai suatu pagi, datanglah seorang perempuan tua. Penampilannya sederhana. Namun matanya memancarkan keyakinan.

Dengan suara tenang ia berkata,

"Wahai Tuan Galen, aku memiliki puyer sederhana... insya Allah bisa menyembuhkan sakit matamu."

Galen memandangnya. Separuh ragu, separuh berharap.

"Apakah kau yakin?" tanyanya, dengan nada pelan.

"Bismillah, yakin. Cobalah."

Dengan perlahan, sang perempuan menaburkan puyer itu ke kedua mata Galen. Sejuk. Reda. Lalu... sembuh.

Galen terpaku. Seolah tak percaya.

"Siapa kau, wahai Ibu?
Apa isi puyer ini?
Dari mana engkau mendapatkannya?"

Perempuan tua itu tersenyum. Matanya bening menatap langit.

"Aku membuatnya dari kumbang...
Aku menjemurnya, lalu menumbuknya hingga halus."

Seketika itu, Galen terdiam. Dadanya bergetar. Wajahnya pucat.

Serangga yang dulu ia cemooh...
Makhluk yang ia anggap sia-sia...
Kini justru menjadi sebab kesembuhannya.

Ia menunduk dalam. Dalam jiwanya terdengar gema ayat yang seakan baru ia pahami:

> رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا ۖ سُبْحَانَكَ
"Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau..."
— (QS. Ali 'Imran: 191)

Air matanya menitik. Keangkuhan ilmunya runtuh di hadapan hikmah seekor kumbang.

Hari itu, Galen tak hanya sembuh dari sakit mata,
tapi juga sembuh dari penyakit hati—
yang buta terhadap makna ciptaan Allah yang tersembunyi.


Sumber:
Fuad Abdurahman, The Golden Stories, Tinta Medina

Peti Dinar yang Menjadi Belenggu di Akhirat  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin senja berembus pelan di halaman rumah Hasan Al-Bas...

Peti Dinar yang Menjadi Belenggu di Akhirat 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin senja berembus pelan di halaman rumah Hasan Al-Bashri. Seorang lelaki datang dengan wajah letih, duduk di antara para hadirin. Nafasnya terengah, seakan membawa kabar yang berat dari perjalanan jiwa.

“Wahai Hasan,” katanya lirih. “Baru saja kami menjenguk Abdullah bin al-Ahtam.”

Hasan menoleh dengan tenang. Para hadirin pun diam. Lelaki itu melanjutkan,

“Keadaannya… sangat lemah. Tubuhnya lunglai di atas ranjang. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Kami kira ajal sudah dekat.”

Hasan menyimak tanpa menyela.

Lelaki itu menceritakan kembali percakapannya, “Kami bertanya padanya, ‘Wahai Abu Ma’mar, bagaimana keadaanmu?’”

Ia menjawab lemah, “Demi Allah… aku sakit…”

Namun tiba-tiba, ia menunjuk ke arah peti di sudut rumahnya. “Di situ ada seratus ribu dinar. Belum aku keluarkan zakatnya… Belum juga kugunakan untuk sanak kerabatku…”

Hening.

“Wahai Abu Ma’mar,” kami bertanya, “untuk apa engkau mengumpulkan semua itu?”

Dengan suara berat, ia menjawab, “Aku kumpulkan sebagai antisipasi… untuk menghadapi zaman yang penuh bencana. Untuk menjaga diri dari kesewenangan penguasa… dan, ya… untuk kebanggaan diri…”


Mendengar cerita itu, Hasan Al-Bashri menarik nafas dalam. Pandangannya tajam namun getir.

"Celaka..." bisiknya lirih, lalu suaranya meninggi pelan-pelan, "Celaka orang yang diperdaya oleh setan—dengan ketakutan palsu tentang masa depan. Ketakutan akan lapar, akan penguasa, akan kehilangan… Hingga lupa pada amanah Allah dan kesempatan hidup yang telah diberikan padanya."

Hasan menunduk. Suasana jadi sendu. Lalu ia berkata lagi dengan suara bergetar:

“Sungguh… ia pergi dari dunia ini sebagai orang yang terampas. Pergi dengan hati yang gundah, hina, dan penuh cela.”


Kemudian, dengan tatapan tajam kepada para muridnya, ia berseru,

“Wahai para pewaris! Jangan tertipu sebagaimana sahabat kalian tertipu!”

Beberapa kepala menunduk. Ada yang memejamkan mata. Kata-kata Hasan menusuk ke dalam dada.

“Harta datang kepadamu secara halal. Maka jangan sampai ia berubah menjadi malapetaka.”

Hasan berjalan beberapa langkah, lalu berhenti, seolah menimbang sesuatu di dadanya. Kemudian ia melanjutkan:

“Lihatlah orang yang mengumpulkannya! Ia kerja keras siang dan malam, menempuh gurun dan rimba, melewati dataran tandus dan tanah asing… Ia genggam hartanya erat-erat, mengikatnya rapat dalam peti. Tapi ia lupa—lupa pada zakat, lupa pada fakir miskin, lupa pada kerabatnya sendiri.”


Lalu Hasan terdiam.

Diam yang menggantung di langit-langit ruangan. Para muridnya menahan nafas, menunggu kata selanjutnya.

Dengan suara pelan, nyaris berbisik, Hasan berkata:

“Sesungguhnya… hari kiamat adalah hari penyesalan. Dan penyesalan yang paling besar… adalah ketika seseorang melihat hartanya berada di timbangan amal orang lain…”

Seseorang terperanjat. Yang lain menoleh penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin?

Hasan menjelaskan,

“Ya… dia diberi harta oleh Allah. Disuruh menginfakkan, tapi ia kikir. Takut miskin. Maka harta itu jatuh ke tangan ahli warisnya. Lalu ahli warisnya gunakan… dan amalnya tercatat di timbangan orang lain…”

Ia menatap satu per satu wajah di sekelilingnya. Kemudian ia menutup:

“Sebuah kesalahan yang tak termaafkan… dan pertaubatan yang tidak teraih.”


Malam pun turun pelan. Tapi kata-kata Hasan tak tenggelam. Ia menetap seperti api yang membakar kesadaran:
Bahwa harta bisa menjadi ujian paling halus yang meninabobokan iman,
dan peti dinar yang tidak terbuka di dunia,
bisa menjadi belenggu di akhirat.

"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih."
(QS. At-Taubah: 34)

"Kita bukan pemilik harta, hanya pemikul amanah yang akan ditanya satu per satu."



Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin  Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Kisah Imam Mazhab dalam Berinteraksi dengan Hutang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Berikut adalah kisah-kisah...

Kisah Imam Mazhab dalam Berinteraksi dengan Hutang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Berikut adalah kisah-kisah para imam mazhab fiqih (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) yang menunjukkan betapa besar perhatian mereka terhadap utang sebagai bagian dari akhlak Islam yang luhur:


1. Imam Abu Hanifah (w. 150 H): Tidak Pernah Lalai Melunasi Utang

Imam Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain yang jujur dan sangat berhati-hati dalam muamalah.

Suatu ketika, ia membeli kain dari seorang mitra dagang, namun kain itu ada cacatnya. Ia sudah mengingatkan si penjual, dan berniat menjualnya dengan memberitahu kecacatannya. Tapi karena lupa memberi tahu pembeli berikutnya, ia merasa bertanggung jawab.

Maka Imam Abu Hanifah mengembalikan seluruh keuntungan dari kain tersebut dan bahkan mengganti kerugian pembeli dari hartanya sendiri, walau pembeli tak menuntut. Ia menganggap itu sebagai “utang moral” yang harus dibayar.

Pelajaran: Imam Abu Hanifah menganggap kesalahan yang tidak disengaja pun perlu ditebus, karena bisa menjadi tanggungan di akhirat.


2. Imam Malik bin Anas (w. 179 H): Tidak Ingin Wafat dalam Keadaan Berutang

Imam Malik sangat menjaga kehormatan dirinya. Dalam riwayat, ia sangat berhati-hati agar tidak berutang, dan bila terpaksa meminjam, ia segera melunasinya.

Suatu ketika menjelang wafat, ia memanggil kerabatnya dan berkata:

“Periksalah apakah aku punya utang kepada seseorang.”
Jika ada, ia meminta agar segera dibayar, karena ia tidak ingin meninggal dunia dengan membawa beban utang, walau hanya satu dinar.

Pelajaran: Imam Malik sadar bahwa utang bisa menahan ruh seseorang dari kenikmatan akhirat, dan ia ingin menghadap Allah dengan dada lapang dan bersih.


3. Imam Syafi‘i (w. 204 H): Sabar Melunasi Utang Meski dalam Ujian Berat

Dalam pengembaraannya mencari ilmu, Imam Syafi‘i pernah mengalami kesulitan ekonomi dan berutang kepada seorang temannya. Ia merasa sangat berat hingga berkata:

 “Aku tidak khawatir dengan kemiskinan, tapi aku takut utang yang membuatku tak tenang dalam beribadah.”

Setelah mendapatkan sedikit harta, hal pertama yang ia lakukan adalah melunasi utangnya, meskipun ia masih dalam keadaan sempit. Ia menolak membeli makanan lebih baik sebelum membayar utangnya.

Pelajaran: Imam Syafi‘i menunjukkan bahwa kemuliaan akhlak lebih penting daripada kenyamanan pribadi.


4. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H): Memilih Hidup Sederhana Agar Tak Berutang

Imam Ahmad dikenal sangat zuhud dan tidak suka meminta, apalagi berutang.

Suatu hari anaknya berkata:

“Wahai Ayah, kita kekurangan makanan. Mengapa tidak berutang saja dahulu?”

Imam Ahmad menjawab:

“Aku lebih memilih kelaparan daripada berutang lalu tidak bisa melunasinya. Aku tidak ingin menghadap Allah dengan membawa beban orang lain.”

Namun jika benar-benar terpaksa berutang, ia langsung mencatat dan menjadikannya prioritas utama untuk dilunasi, walau harus mengorbankan kebutuhannya sendiri.

Pelajaran: Imam Ahmad mendidik keluarganya dengan akhlak qana‘ah dan tanggung jawab dalam utang.



Kesimpulan:

Keempat imam mazhab memiliki sikap yang sama dalam urusan utang:

Tidak menganggap enteng utang, walau sedikit

Berusaha keras melunasi dengan segera

Takut utang menjadi beban di akhirat

Menjaga nama baik dan tanggung jawab pribadi


 "Utang adalah janji dan amanah. Orang berilmu dan bertakwa tak akan main-main dengan janji, apalagi yang menyangkut hak orang lain." — (Hikmah dari para imam)

Kisah Tabiin Melunasi Hutang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT Berikut adalah kisah-kisah para tâbi‘in (gener...


Kisah Tabiin Melunasi Hutang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT

Berikut adalah kisah-kisah para tâbi‘in (generasi setelah sahabat) yang bersegera melunasi utang, menunjukkan warisan akhlak luhur dari para sahabat dan Rasulullah ﷺ dalam hal amanah dan tanggung jawab keuangan:

1. Abu Hazim Salamah bin Dinar: Lebih Memilih Mati daripada Menunda Utang

Abu Hazim adalah seorang tâbi‘in dan ahli zuhud terkenal di Madinah. Ia dikenal sangat hati-hati dalam urusan utang.

Suatu ketika ada yang bertanya kepadanya:

"Wahai Abu Hazim, mengapa engkau tidak pernah berutang, padahal hidupmu sederhana dan penuh kebutuhan?"

Ia menjawab:

"Aku takut kepada firman Allah:
'Sesungguhnya utang itu akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban.'
Maka aku lebih memilih makan sedikit dan tidur di tanah, daripada kelak di akhirat aku datang dengan dosa utang yang belum terbayar."

Meski hidup miskin, Abu Hazim tidak pernah berutang kecuali sangat darurat, dan bila berutang, ia segera melunasinya.

> Pelajaran: Kesadaran spiritual tentang bahaya utang di akhirat membuat para tâbi‘in sangat berhati-hati dan cepat menyelesaikannya bila terpaksa berutang.

2. Muhammad bin Sirin: Melunasi Utang Besar dalam Keadaan Bangkrut

Muhammad bin Sirin adalah tâbi‘in besar dan ahli tafsir mimpi terkenal. Suatu masa, ia mengalami kebangkrutan dalam bisnis dan memiliki utang hingga 30.000 dirham, jumlah yang sangat besar kala itu.

Meskipun jatuh miskin, ia tidak kabur dari kewajiban. Ia tetap berada di kota dan berkata:

“Aku tidak akan meninggalkan kota ini sebelum aku melunasi seluruh utangku.”

Ia bekerja keras, meminta penangguhan yang baik, dan satu per satu ia lunasi semua utangnya sampai tuntas, tanpa menyisakan satu dirham pun.

Pelajaran: Muhammad bin Sirin menunjukkan tanggung jawab luar biasa walau dalam keadaan sulit, dan tetap menjaga nama baik serta kepercayaan orang lain.

3. Al-Hasan Al-Bashri: Tidak Tidur Nyenyak Bila Masih Berutang

Al-Hasan Al-Bashri, seorang tâbi‘in besar yang dihormati karena ilmunya dan kezuhudannya, dikenal tidak pernah membiarkan utang menumpuk.

Pernah suatu malam ia tampak gelisah dan tidak bisa tidur. Ketika ditanya, ia berkata:

“Aku belum membayar utang kepada fulan. Bagaimana aku bisa tidur tenang, sedangkan Rasulullah ﷺ bersabda bahwa ruh seorang mukmin tergantung karena utangnya?”

Keesokan harinya, ia langsung melunasi utangnya dan baru tampak tenang.

> Pelajaran: Rasa takut kepada Allah dan sabda Nabi ﷺ menjadikan hati mereka tidak tenang sebelum melunasi utang. Ini adalah tanda keimanan yang hidup.

4. Thawus bin Kaisan: Tidak Mau Salat Berjamaah Bila Punya Utang

Thawus bin Kaisan, tâbi‘in dari Yaman yang sangat mencintai ibadah, pernah tidak ikut salat berjamaah padahal sangat rajin melakukannya.

Ketika ditanya, ia berkata:

“Aku punya utang dan belum lunas. Aku khawatir ibadahku tidak diterima selagi aku menunda-nunda pembayaran utang padahal aku mampu.”

Ia segera melunasi utangnya, dan baru kembali ke masjid dengan wajah lega.

Pelajaran: Para tâbi‘in menganggap utang bukan hanya urusan ekonomi, tapi juga mempengaruhi kualitas ibadah mereka.

Penutup:

Para tâbi‘in mewarisi semangat para sahabat:

Tidak menunda utang walau dalam kesulitan

Menjadikan utang sebagai amanah akhirat

Menjaga kehormatan dan kepercayaan masyarakat

Takut jika ibadah mereka terhalang oleh beban utang

Menyimpulkan 4.000 Hadist dalam 4 Hal Salah seorang tokoh tasawuf yang masyhur dalam sejarah Islam adalah Imam Syaqiq al-Balkhi....

Menyimpulkan 4.000 Hadist dalam 4 Hal


Salah seorang tokoh tasawuf yang masyhur dalam sejarah Islam adalah Imam Syaqiq al-Balkhi. Secara nasab, sufi tersebut sesungguhnya adalah anak seorang hartawan. Alih-alih terjun dalam kesibukan berdagang dan meraih keuntungan materi, ia pada masa dewasanya memilih jalan salik.

Kecenderungannya pada tasawuf bermula dari ekspedisi niaga yang ditempuhnya. Saat masih berusia muda, Syaqiq al-Balkhi melakukan perjalanan menuju ke Anatolia (Turki). Sebelum sampai ke kota tujuan berbisnis, ia terlebih dahulu singgah di sebuah daerah di Syam.

Syaqiq lalu menghampiri seorang dari mereka dan berkata, "Untuk apa kamu bersujud di berhala? Padahal, semua manusia diciptakan oleh Zat Yang Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa."

Melihat si pendeta hanya diam, Syaqiq melanjutkan perkataannya.

"Sembahlah Allah. Jangan menyembah patung-patung yang tidak memberikan manfaat ataupun mudarat padamu!"

Akhirnya, si pendeta menjawabnya dengan tenang, "Kalau benar bahwa Tuhan yang engkau sebut itu Mahakuasa, memberikan rezeki dan sebagainya kepadamu, mengapa engkau ada di negeri kami sekarang? Apakah Tuhanmu tidak menjamin rezeki bagimu di negerimu sendiri?"

Mendengar jawaban itu, Syaqiq terkejut. Saat melangkah keluar dari kuil tersebut, jantungnya seperti terguncang.

Baru kali ini ia menyadari, bahwa dirinya terlalu mengejar dunia. Lalai dari mengingat Allah.

Sejak saat itu, Syaqiq berupaya zuhud terhadap dunia. Ia mulai menyelami dunia tasawuf seutuhnya.

Syaqiq Al-Balkhi juga mengarungi dunia hadist. Dia mempelajari 4.000 hadist. Dari 4.000 hadist dia pilih 400 hadist, lalu dipilih 40 hadist, lalu disimpulkan 4 masalah, yaitu:

1. Jangan mengikatkan hati kepada perempuan. Karena hari ini untukmu dan esok hari untuk orang lain. Apabila patuh pada perempuan maka ia akan memasukkan ke neraka.

2. Jangan mengikatkan hati pada harta. Niscaya, akan menghalangi untuk menunaikan kewajiban kepada Allah swt, takut miskin dan menuruti setan.

3. Tinggalkan apa yang ragu dalam hati, karena hati yang beriman akan merasa bimbang dalam hal yang syubhat, lari dari yang haram dan tenang dalam hal yang halal

4. Jangan berbuat sesuatu, sebelum mengerti benar bagaimana menjawabnya jika kelak ditanya oleh Allah swt.


Sumber:

https://khazanah.republika.co.id/berita/sp6j9h458/perjalanan-sufi-syaqiq-albalkhi-part2

Al-Faqih Abul Laits As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, Pustaka Amani

Kisah Anak dan Bapaknya Dikisah Abu Hafsh Al-Yaskandi, seorang ulama Samarkand, kedatangan seseorang yang mengadu telah dipukuli...

Kisah Anak dan Bapaknya


Dikisah Abu Hafsh Al-Yaskandi, seorang ulama Samarkand, kedatangan seseorang yang mengadu telah dipukuli dan disakiti anaknya. Lalu, Abu Hafsh berkata, "Maha Suci Allah, apakah ada anak yang berani memukul anaknya?"

"Ada, dia telah memukul dan menyakiti saya." Jawab orang itu.

"Apakah kamu mengajarkan kesopanan dan ilmu pada anakmu?" Abu Hafsh bertanya.

"Tidak." Ia menjawab.

"Apakah kamu mengajarkan Al-Qur'an kepada anakmu?" Abu Hafsh bertanya.

"Tidak." Ia menjawab.

"Lalu, apa yang biasa dilakukan anakmu?" Abu Hafsh bertanya.

"Bertani." Ia menjawab.

"Tahukah kamu mengapa iya memukulmu?" Abu Hafsh bertanya.

"Tidak." Ia menjawab.

"Barangkali sewaktu ia pergi ke ladang dengan mengendarai keledai yang di kanan dan kirinya ada kerbau dan dibelakangnya ada anjing sambil bernyanyi karena tidak biasa membaca Al-Qur'an, ia menyangka bahwa kamu seekor lembu yang menganggunya, maka bersyukurlah kepada Allah swt karena ia tidak memukul kepalamu." Kata Abu Hafsh.

Tsabit Al-Bannani berkisah, bahwa ada seseorang yang sering memukul ayahnya, kemudian ditanyakan kepada ayahnya, "Mengapa bisa begitu?"

"Pantas jika anakku seperti itu, karena aku dulu sering memukul ayahku. Jadi, ini balasan atas perbuatanku dan aku tidak menyalahkan anakku." Jawab ayahnya.

Khalaf bin Ayyub berkisah, ada seorang yang shaleh, apabila ia memerlukan sesuatu, ia tidak menyuruh anaknya, akan tetapi menyuruh orang lain. Ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya, dia menjawab;

"Bila aku menyuruh anakku, aku khawatir dia tidak bisa mengerjakannya, sehingga dia durhaka kepadaku yang bisa menyebabkannya masuk neraka."

Sumber:

Al-Faqih Abdul Laits As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, Pustaka Amani

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (238) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)