basmalah Pictures, Images and Photos
08/07/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Perjalanan Ruhani dari Satwa Kebun Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di pagi yang belum sepenuhnya terang, saat embun masih bergelayut ...

Perjalanan Ruhani dari Satwa Kebun

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di pagi yang belum sepenuhnya terang, saat embun masih bergelayut di ujung daun dan cahaya mentari masih malu-malu menyentuh bumi, kebun memulai hidupnya. Tapi tahukah kita, siapa yang lebih dulu terjaga dari tidur? Bukan manusia. Bukan pula mesin pemotong rumput. Tapi para makhluk mungil yang telah lebih dulu bersujud kepada tugasnya—menghidupi tanah, merawat tunas, menjaga bunga dari hama, bahkan membantu kelahiran buah yang manis.

Di bawah daun dan di antara batang, semesta kecil ini bergerak dalam harmoni. Sebuah simfoni kehidupan yang acap kali tak kita dengar, tapi bekerja tiada henti. Dan jika kita bersedia menundukkan pandangan, memelankan langkah, dan membuka batin, kita akan menemukan pelajaran spiritual dalam kehidupan mereka—dalam diam, dalam kecil, dan dalam keikhlasan yang tak pernah meminta tepuk tangan.

Laba-laba: Arsitek Kesabaran

Lihatlah laba-laba, hewan mungil dengan seni arsitektur paling anggun di dunia. Jaringnya bukan sekadar perangkap, tapi mahakarya yang dibangun dengan ketekunan dan presisi tinggi. Ia tak berteriak. Ia tak mengeluh. Ia hanya bekerja. Dalam ekosistem kebun, laba-laba adalah pengendali alami serangga perusak.

Dalam banyak tafsir, disebutkan bagaimana jaring laba-laba menjadi pelindung Rasulullah ﷺ saat hijrah ke Gua Tsur. Jaring yang tampak rapuh itu membuat musuh menyangka gua tak berpenghuni. Dari sini, kita belajar bahwa perlindungan Allah bisa hadir dari makhluk kecil dan tampak lemah. Bukankah ini pengingat agar tak meremehkan peran sekecil apapun dalam kehidupan?

Burung: Penabur Kehidupan dari Langit

Burung-burung yang terbang di langit membawa benih kehidupan. Mereka tak hanya bernyanyi di pagi hari, tapi juga menebar biji, memangsa hama, dan membantu penyerbukan. Burung dalam kebun adalah dzikir yang terbang. Seperti disebut dalam Surah Al-An’am ayat 38, bahwa burung adalah umat seperti kita.

Dalam kisah Al-Qur’an, burung Hud-hud menjadi pembawa berita bagi Nabi Sulaiman dari negeri Saba—sebuah negeri dengan dua kebun yang subur di kiri dan kanan. Negeri yang dahulu makmur karena bersyukur, tapi porak-poranda karena kufur. Kebun mereka pun dihancurkan banjir dan diganti dengan kebun yang pahit dan berduri.

Lebah: Sang Pekerja yang Diberi Wahyu

Surah An-Nahl (68–69) menempatkan lebah sebagai makhluk penerima wahyu. Ia diberi ilham untuk membangun sarangnya dan menghisap sari bunga. Dari perutnya keluar minuman (madu) yang menyembuhkan. Tapi lebih dari itu, lebah juga penyerbuk andalan bagi tanaman.

Di kebun, lebah adalah pekerja tanpa pamrih. Tanpa pestisida dan racun, lebah akan hadir. Maka kebun yang penuh lebah adalah kebun yang bebas dari kimia perusak. Bukankah ini menjadi parameter alami: jika satwa masih betah tinggal, berarti kebun itu sehat.

Jangkrik, Belalang, dan Ngengat: Nyanyian yang Menyeimbangkan

Saat malam turun, suara jangkrik mengisi keheningan. Mereka bukan hanya penyanyi malam, tapi juga pengurai dan pengontrol populasi tumbuhan liar. Belalang memakan rumput, mengurangi kepadatan tanaman liar. Ngengat, seperti kupu-kupu, ikut menyebarkan serbuk sari. Dalam sistem kehidupan, tak satu pun dari mereka hidup sia-sia.

Ulat dan Kupu-kupu: Metamorfosis Harapan

Ulat memang memakan daun. Ia tampak sebagai perusak. Tapi ia sedang menuju perubahan. Dari ulat menjadi kepompong, lalu terbang sebagai kupu-kupu yang indah dan berguna bagi penyerbukan. Bukankah itu cermin kehidupan kita juga?

Hidup tak selalu langsung indah. Kita perlu melewati fase-fase gelap, dibenci, dijauhi. Tapi jika sabar, Allah mengubah kita menjadi kupu-kupu kehidupan—terbang, lembut, dan memberi manfaat.

Bunglon: Sang Penyesuai Tanpa Menipu

Bunglon mengubah warna tubuhnya bukan karena tipu daya, tapi karena kepekaan. Ia membaca lingkungan, meresponnya, dan menyesuaikan diri. Ia bukan simbol kemunafikan, tapi simbol hikmah: tahu kapan harus berubah demi bertahan.

Di kebun, bunglon adalah pemangsa serangga pengganggu. Ia menjaga keseimbangan. Dalam kehidupan, kita pun perlu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.

Semut: Disiplin yang Tak Tersorot

Semut menggemburkan tanah, mengangkut biji, dan menciptakan pori-pori tanah yang sehat. Ia hidup dalam koloni yang rapi dan teratur. Nabi Sulaiman mendengar suara semut, bukan hanya sebagai mukjizat, tapi pelajaran bahwa semut pun punya peradaban.

Kebun yang sehat punya semut. Mereka adalah petani kecil yang bekerja dalam senyap. Tak minta imbalan, tapi hasil kerja mereka dirasakan oleh akar, batang, dan buah.

Kisah Kebun dalam Al-Qur’an: Taman Syukur dan Murka

Kebun adalah simbol berulang dalam Al-Qur’an. Kebun di negeri Saba adalah contoh kebun yang subur karena syukur, namun hancur karena kufur. Dalam surah Al-Qalam, diceritakan pemilik kebun yang enggan bersedekah, lalu Allah hancurkan kebunnya semalaman hingga menjadi hitam seperti malam.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 265–266, Allah menggambarkan perumpamaan amal orang yang berinfak karena mencari ridha Allah, diibaratkan seperti kebun di dataran tinggi yang diguyur hujan lebat, menghasilkan dua kali lipat buahnya.

Lalu, dalam Surah Ar-Rahman, Jannatān (dua kebun) menjadi gambaran kenikmatan surga yang penuh pohon, buah, dan mata air. Maka kebun tak hanya tempat bercocok tanam, tapi juga cerminan syurga dan hati.

Tanah yang Dihuni, Bukan Sekadar Ditanami

Kebun bukan sekadar tempat menanam. Ia rumah bersama. Jika tanah dibiarkan tanpa kehidupan—tanpa cacing, tanpa semut, tanpa burung—maka ia mati. Kehidupan makhluk kecil adalah bukti bahwa tanah itu masih hidup. Maka menghidupkan kebun berarti menghadirkan kehidupan selengkap-lengkapnya, tanpa racun, tanpa pengusiran terhadap makhluk lain.

Penutup: Sujud Sunyi di Kebun

Kebun adalah kitab terbuka. Daun-daunnya adalah ayat. Batangnya adalah kisah. Dan makhluk kecilnya adalah huruf-huruf yang menyusun makna kehidupan. Kita hanya perlu memelankan langkah, menundukkan hati, dan membaca dengan iman.

Jika Al-Qur’an menyuruh kita “berjalan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana Allah menciptakan makhluk-Nya,” maka kebun adalah tempat paling dekat untuk mengawali perjalanan itu.

Dan siapa tahu, dalam senyap suara lebah dan sayap kupu-kupu, kita menemukan kembali ruh yang hilang: ruh ketundukan kepada Sang Pencipta, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu, betapapun kecilnya, punya peran dalam simfoni kehidupan.



Air dari Langit: Bagai Wahyu dan Hadis bagi Nutrisi Kehidupan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Hujan adalah wahyu dalam bentuk air...

Air dari Langit: Bagai Wahyu dan Hadis bagi Nutrisi Kehidupan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Hujan adalah wahyu dalam bentuk air. Ia turun dari langit, menyentuh tanah, menghidupkan yang mati, dan menumbuhkan yang tersembunyi. Seperti itulah Al-Qur’an dan hadis: keduanya diturunkan untuk menyuburkan jiwa.

Saya masih ingat sore itu, saat langit menggantung mendung kelabu, angin menari ringan di antara daun-daun pisang di halaman pondok. Lalu hujan pun turun — tidak terburu-buru, tapi dengan tenang dan pasti, seolah hendak menyampaikan pesan yang dalam: “Aku datang dari langit, bukan hanya untuk membasahi tanah, tetapi untuk menghidupkan jiwa-jiwa yang lama diam.”


---

Hujan: Sabda Langit dalam Bahasa Air

Air hujan adalah tamu paling halus dari langit. Ia datang bukan dengan letupan, tetapi dengan ketukan lembut di atap rumah dan tanah yang berdebu. Ia mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam bumi dengan izin Tuhan.

Allah berfirman:

> “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi, lalu Kami tumbuhkan dengannya kebun-kebun dan biji-bijian yang dapat dipanen.”
— QS. Qaf: 9



Wahyu juga demikian. Ia turun tidak memaksa. Ia mengetuk hati manusia yang lembut, lalu mengalir, lalu tumbuh menjadi amal. Dalam tetes hujan ada energi dari langit; dalam ayat wahyu ada cahaya dari Tuhan.

Keduanya menyatu dalam satu misi: menghidupkan yang mati.


---

Air, Wahyu, dan Hadis: Satu Rantai Penghidupan

Jika Al-Qur’an adalah air hujan pertama yang turun, maka hadis adalah sungai yang mengalir darinya. Ia menuntun arah, membentuk muara, dan menyirami ladang peradaban manusia.

> “Sesungguhnya aku diutus bukan untuk melaknati, tetapi sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
— HR. Muslim



Rasulullah ﷺ adalah hujan kedua setelah wahyu pertama. Beliau mencontohkan bagaimana hujan bisa menjadi pelindung di gua, menjadi cahaya di malam, dan menjadi obat bagi luka jiwa. Bahkan ketika hujan turun, beliau membuka bajunya dan menyambut tetesnya dengan doa dan keharuan:

> “Ini baru saja datang dari Tuhannya.”
— HR. Muslim




---

Tanah yang Mengingat Air, Jiwa yang Mengingat Wahyu

Tidak semua tanah bisa menyerap air. Tidak semua hati mampu menerima wahyu. Tanah yang gembur — itulah yang menyimpan air dan menumbuhkan kehidupan. Dan hati yang lembut — itulah yang menyimpan hikmah dan melahirkan amal.

Tanah terbentuk dari air hujan. Lapisan humus yang subur, tempat tumbuhnya tanaman, tidak hadir sendiri. Ia lahir dari perjumpaan air, organisme mati, dan waktu. Sebagaimana hati yang lembut terbentuk dari perjumpaan ilmu, ujian, dan kesabaran.

Air dari langit menyatu dengan tanah, membentuk ruang kehidupan. Maka tak heran, Al-Qur’an juga menggambarkan wahyu sebagai air:

> “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
— QS. Al-Isra’: 82




---

Tanah Menyimpan Air, Hati Menyimpan Hikmah

Air hujan yang diserap oleh tanah akan mengalir ke sumur, ke akar-akar, bahkan menjadi sumber mata air yang memberi minum bagi seluruh makhluk. Begitu pula jiwa manusia yang menyimpan Al-Qur’an dan hadis. Ia menjadi telaga hikmah — tempat orang lain datang mencari kesejukan.

Seorang ulama berkata, “Orang yang menghafal Al-Qur’an ibarat tanah yang menyimpan air untuk musim kering.” Di saat gersang akhlak melanda, ia mengeluarkan tetes-tetes kesejukan dari dalam batinnya. Ia tak hanya selamat sendiri, tapi menyelamatkan.


---

Ketika Para Nabi Menemukan Hujan

Nabi Nuh ‘alaihissalam menyaksikan hujan sebagai bentuk penyucian global. Ia bukan hanya membasuh bumi, tapi juga menandai sebuah permulaan baru. Di atas banjir itu, bahtera menjadi tempat menumbuhkan kehidupan kedua.

Nabi Musa ‘alaihissalam, di tengah gersangnya padang pasir, mendapatkan air bukan dari langit, tetapi dari batu. Namun tetap saja: air itu datang sebagai bentuk wahyu yang dipukul dari bumi yang keras.

Dan Rasulullah ﷺ — saat bersembunyi di Gua Tsur — menyaksikan bagaimana hujan turun dan menghapus jejak kaki sahabat-sahabat beliau. Hujan itu menjadi penghapus bahaya, pembawa keselamatan. Seperti wahyu: ia tidak selalu menenangkan, tapi ia selalu menyelamatkan.


---

Ekosistem Cinta: Hujan, Cacing, Burung, dan Pohon

Setelah hujan turun, tanah menjadi lembab. Cacing-cacing muncul dari lubang-lubang kecil. Lalu datang burung-burung dari langit, mematuk cacing dan membawa pulang makanan untuk anak-anaknya.

Kotoran burung itu jatuh, menjadi pupuk. Lalu tumbuhan tumbuh, dan daunnya gugur, kembali ke tanah.

Begitulah sebuah ekosistem spiritual juga bekerja: wahyu turun, hati menyimpannya, amal tumbuh, lalu menghidupi manusia lain. Cinta berputar, manfaat bersirkulasi.

Al-Qur’an menyebut ini dengan kelembutan:

> “Kami tuangkan air dengan berlimpah, lalu Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di dalamnya, dan anggur serta sayur-sayuran, dan zaitun serta kurma.”
— QS. Abasa: 25–29




---

Hati yang Gersang Menunggu Hujan

Kadang jiwa kita menjadi kering, keras, dan dingin. Seperti tanah tandus di musim kemarau. Namun jangan salah — bukan berarti hujan tak akan turun. Ia hanya menunggu kesiapan tanah.

Allah menurunkan air pada waktu yang ditentukan. Wahyu juga demikian. Ia tidak turun karena keinginan, tetapi karena kesiapan. Maka tugas kita bukan meminta wahyu datang, tetapi menyiapkan diri untuk menerimanya.


---

Menjadi Tanah yang Baik

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus bersamaku adalah seperti hujan yang jatuh ke bumi…”
— HR. Bukhari & Muslim



Sebagian tanah menyerap dan menumbuhkan. Sebagian hanya menahan, tapi memberi minum. Sebagian menolak sama sekali. Maka kita harus memilih: ingin menjadi tanah yang mana?


---

Ketika Langit Turun ke Bumi

Hujan bukan hanya fenomena alam. Ia adalah tafsir dari rahmat. Ketika langit mengirimkan air, itu tanda bahwa bumi belum dilupakan. Dan ketika Allah menurunkan wahyu, itu tanda bahwa manusia belum ditinggalkan.

> “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”
— QS. Ali Imran: 190



Air hujan menetes. Wahyu juga menetes — dalam bentuk ayat, dalam bentuk hadis, dalam bentuk pengalaman batin.


---

Penutup: Menyambut Tetes Wahyu

Ketika hujan turun, Rasulullah ﷺ tidak hanya berteduh. Beliau membuka wajahnya. Menyambut tetes air dari langit seakan menyambut kabar dari Tuhan.

Maka kita pun, ketika wahyu datang — baik dalam bentuk ayat, hadis, atau peringatan hidup — belajarlah untuk menyambut. Bukan menolak. Bukan sekadar menghindar.

Bukalah wajah batinmu. Biarkan air dari langit — yang membawa rahmat, cinta, dan kehidupan — meresap perlahan, masuk ke dalam tanah hatimu. Biarkan tumbuh sebuah pohon: yang akarnya iman, batangnya amal, daunnya adab, dan buahnya manfaat bagi seluruh makhluk.

Karena pada akhirnya, hujan bukan sekadar air — dan wahyu bukan sekadar kata. Keduanya adalah kehidupan.


-

Kebijaksanaan Jiwa, Seperti Proses Kesuburan Tanah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Tanah tidak sekadar benda mati tempat berpijak. Ia...

Kebijaksanaan Jiwa, Seperti Proses Kesuburan Tanah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Tanah tidak sekadar benda mati tempat berpijak. Ia menyimpan jejak sejarah, memeluk bangkai masa lalu, dan menyuburkan kehidupan yang baru. Dalam tanah, terkandung rahasia besar: bahwa kehancuran bukan akhir, tapi awal bagi kehidupan yang lain. Seperti halnya jiwa manusia, yang bisa menjadi subur setelah luka, menjadi kuat setelah ujian.

Di sinilah kebijaksanaan itu tumbuh—dalam senyap, dalam gelap, dalam proses panjang yang tidak terlihat. Tanah tidak bicara, namun ia mengajarkan. Tanah tidak menuntut, namun ia memberi. Maka jiwa manusia pun bisa meneladani cara tanah menyuburkan kehidupan.

Tanah dan Sifat Memaafkan

Tanah menerima apa saja. Bangkai, kotoran, daun-daun kering, bahkan racun. Ia tidak menolak, tidak mencaci, tidak membalas. Ia hanya menerima. Kemudian mengolahnya dalam diam. Dalam keheningan, ia mengubah semua itu menjadi nutrisi. Menjadi sumber kehidupan bagi tumbuhan, hewan, dan manusia.

"Tanah adalah pengingat paling jujur bahwa segala sesuatu yang hancur tidak selamanya berakhir. Ia mungkin sedang berubah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat."

Ilmu pedologi mengajarkan bahwa unsur hara makro dan mikro banyak berasal dari pelapukan bahan organik: dedaunan rontok, bangkai, kotoran, sisa akar. Justru tanah yang paling subur adalah tanah yang paling banyak menerima kehancuran. Begitu pula jiwa. Ia yang paling matang adalah ia yang mampu memaafkan, memproses luka menjadi hikmah.

Jiwa yang Mengolah Luka

Sayyid Qutb menulis, “Kadang-kadang manusia tidak bisa tumbuh dalam keadaan lembut dan tenang. Mereka hanya bisa berkembang di bawah tekanan dan penderitaan.”

Lihatlah pohon yang kokoh, akarnya menembus tanah keras. Semakin dalam, semakin kuat. Demikian pula manusia. Jiwa yang subur bukan yang steril dari cobaan, tetapi yang mampu mengolahnya. Ujian bukan beban, tetapi nutrisi. Derita bukan kutukan, tetapi pupuk.

Ketika hati disakiti, ketika harapan runtuh, ketika fitnah datang bertubi-tubi—jiwa yang bijak tak melawan dengan kemarahan. Ia diam seperti tanah. Menyerap. Mengendapkan. Mengolah. Lalu perlahan-lahan, dari luka itu, tumbuh kesadaran baru. Dan dari reruntuhan itu, bangkit kekuatan yang lebih matang.

Ketabahan dalam Struktur Tanah

Pakar tanah, Dr. Rattan Lal, menyebutkan bahwa partikel keras seperti kerikil dan pasir memberi struktur yang mendukung akar. Tanah bukan hanya lembut. Ia juga keras. Dan justru kombinasi itulah yang memungkinkan tanaman tumbuh kuat.

Jiwa pun demikian. Tabah bukan berarti lembek. Tabah berarti mampu menahan, menampung, menopang. Tanah yang terlalu lunak longsor. Tanah yang terlalu keras tidak bisa ditanami. Jiwa yang terlalu lembut bisa patah. Jiwa yang terlalu kaku bisa retak. Maka diperlukan keseimbangan.

“Setiap tanah punya cara sendiri menopang kehidupan, tergantung bagaimana ia mengelola sampah dan kerasnya dunia bawah tanah.” — Rattan Lal

Tabah bukan berarti tidak merasa sakit. Tapi tetap bertahan meski sakit. Seperti tanah yang diinjak, dibajak, dibakar—namun tetap memberi hasil.

Kehidupan yang Sibuk di Dalam Diam

Satu sendok tanah mengandung miliaran mikroorganisme. Mereka bekerja tanpa suara. Menguraikan, memurnikan, memperkaya. Di permukaan, tanah tampak diam. Tapi di dalamnya, kehidupan berdenyut tanpa henti.

Begitu juga jiwa. Ia yang tampak tenang bisa jadi sedang sibuk memperjuangkan kedamaian batin. Ia sedang memurnikan niat, menyaring amarah, menumbuhkan cinta, dan menanam harapan. Jiwa yang paling dalam justru yang paling diam. Tapi dari keheningan itulah muncul kebijaksanaan.

“Allah menciptakan manusia dari tanah, dan mengembalikannya kepada tanah. Di antara dua peristiwa itu, manusia diajarkan untuk belajar dari tanah.”

Tanah sebagai Harta Karun Kehidupan

Tanah menyimpan rahasia peradaban. Dari tanah keluar emas, perak, logam langka, energi fosil. Dari tanah tumbuh makanan, pohon, dan kehidupan. Kristin Ohlson dalam The Soil Will Save Us menulis bahwa tanah menyimpan karbon, menyaring polusi, dan mengolah limbah. Ia adalah mesin kehidupan yang diam-diam menopang dunia.

“Di bawah telapak kaki kita, terdapat laboratorium kehidupan yang paling tua dan paling jenius di bumi.” — William Bryant Logan

Jiwa pun demikian. Jika dijaga dan diolah, ia bisa melahirkan kebijaksanaan, kreativitas, dan keberanian. Tapi jika diabaikan, ia bisa menjadi tempat tumbuhnya penyakit hati. Maka tanamlah dalam jiwa nilai-nilai luhur seperti menanam benih di tanah subur.

Pemimpin Seperti Tanah

Pemimpin yang baik seperti tanah. Ia menyerap kritik, menampung luka, menyuburkan lingkungan. Ia tidak membalas cercaan dengan kemarahan. Ia mengolahnya menjadi kebijakan. Ia memaafkan, tapi tidak melupakan. Ia memproses, lalu menumbuhkan perubahan.

Hasan Al-Banna berkata, “Jadilah seperti tanah yang diinjak, tetapi darinya tumbuh kebaikan bagi semua makhluk.”

Dakwah pun serupa. Jiwa manusia tidak bisa ditanami langsung. Ia harus digemburkan. Disirami kesabaran. Dipupuk dengan cinta. Bukan dengan kemarahan dan paksaan. Tanah yang keras perlu diolah. Begitu juga hati manusia.

Tanah dan Ketaatan

Dalam QS. Fussilat: 11, langit dan bumi diperintahkan oleh Allah untuk datang: “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku.” Dan keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh.”

Tanah adalah makhluk yang taat. Ia menerima takdir tanpa mengeluh. Ketika dibakar, dibajak, ditaburi racun—ia tetap memberi. Ia tetap menumbuhkan. Ia tetap melayani. Tanah tidak memilih siapa yang berpijak di atasnya. Ia tidak menolak siapa yang mencangkulnya. Ia tidak marah meski dijadikan kuburan.

Tidakkah kita malu kepada tanah?

Tanah, Cermin Jiwa yang Matang

Akhirnya, kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Tapi sebelum kembali, mari belajar darinya. Belajar untuk diam tapi memberi. Diam tapi menyaring. Diam tapi menyuburkan.

Tanah tidak menuntut dipuji. Tidak meminta balas jasa. Ia hanya terus memberi. Karena memberi adalah bentuk tertinggi dari eksistensi.

Begitu pula jiwa. Yang matang adalah yang tidak sibuk membalas. Tapi sibuk menyuburkan. Yang matang bukan yang banyak bicara, tapi yang memberi manfaat. Bukan yang menonjolkan diri, tapi yang menjadi penopang diam-diam.

Tanah menyubur setelah mengelola kehancuran. Jiwa pun menjadi bijak setelah melewati penderitaan. Maka jangan takut jatuh. Jangan takut luka. Karena dari situ, kebijaksanaan bisa tumbuh.

Penutup

Proses tanah menjadi subur adalah gambaran sempurna dari jiwa yang matang. Ia menerima luka, mengendapkannya, memprosesnya, lalu memberikannya kembali dalam bentuk kebaikan. Jika tanah bisa, mengapa jiwa manusia tidak? Bukankah manusia berasal dari tanah?

Jika engkau merasa hancur, ingatlah: mungkin saat ini Allah sedang menjadikanmu lebih subur.


---

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan ...

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan kejayaan dari nol. Sebab jalan itu sudah pernah dilalui, meski kini tertutup debu zaman. Rasulullah Muhammad ﷵ، telah memberikan gambaran indah tentang posisinya dalam sejarah kenabian:

> "Perumpamaan antara aku dan para nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membangun sebuah rumah, lalu ia menyempurnakan dan memperindahnya, kecuali satu tempat bata di pojokan. Maka orang-orang mengelilingi rumah itu dan mereka kagum seraya berkata, 'Mengapa tidak diletakkan satu bata di sini?' Maka akulah bata itu, dan akulah penutup para nabi." (HR. Bukhari no. 3535 dan Muslim no. 2286)



Bata itu telah ditaruh. Rumah itu telah lengkap. Kini, tugas generasi umat adalah menjaga, memperkuat, dan memperluas peradaban yang telah Rasulullah wariskan.

Allah mengingatkan kita melalui kisah para nabi, bukan sebagai cerita nostalgia, melainkan sebagai panduan praktis bagi setiap generasi:

> "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Ia bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS. Yusuf: 111)

Itulah cara membangun  kembali ruh yang lemah dan menyegarkan strategi yang beku.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur'an menyatakan:

> "Kisah-kisah dalam Al-Qur'an bukanlah cerita khayal atau khazanah sejarah yang mati. Ia adalah pancaran kehidupan dan pelajaran nyata bagi gerakan dakwah di setiap masa."



Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, menambahkan:

> "Sesungguhnya kisah para nabi adalah kurikulum Allah untuk mencetak rijal dakwah. Dengannya terbentuk keberanian, kejernihan visi, dan kematangan ruhani."



Bagi Al-Banna, pemimpin dakwah tidak cukup hanya cerdas dan fasih. Ia harus berjiwa nabi: berpandangan jauh seperti Nuh, bijaksana seperti Yusuf, tegas seperti Musa, dan lembut seperti Isa. Karakter itu dibentuk dengan menyerap ruh kisah-kisah kenabian.

Sebagaimana Allah mampu menciptakan manusia dari tanah, tentu lebih mudah bagi-Nya untuk menghidupkannya kembali. Maka membangkitkan peradaban Islam bukan mustahil—asal jalan itu ditempuh dengan sungguh.

Ulama salaf berkata: "Tidak mungkin membangun kejayaan Islam tanpa menempuh jalan para pendahulu." Jalan kejayaan itu tetap sama: semangatnya, obsesinya, dan jiwanya. Yang berubah hanyalah strateginya.

Namun mengapa terasa begitu sulit membangun kembali kejayaan umat?

Kadang masalahnya bukan pada strategi. Ruh, obsesi, dan keikhlasan telah melemah. Strategi boleh canggih, namun tanpa jiwa, ia tak akan bergerak. Hasan al-Banna memperingatkan:

> "Melepas jihad dari Islam sama halnya dengan mencabut ruh dari jasadnya." (Majmu' Rasail)



Sayyid Qutb dalam Ma'alim fi al-Thariq menegaskan:

> "Jihad bukanlah fase sementara, tetapi sebuah perang abadi ... hingga kekuatan setan ditundukkan dan agama hanya untuk Allah secara menyeluruh."



Di sisi lain, ada pula yang memiliki semangat membara, namun memakai strategi usang yang tidak relevan dengan zaman. Maka perjuangan itu pun kehilangan daya dorong sosial. Strategi yang tak kontekstual hanya membangun nostalgia, bukan transformasi.

Sayyid Qutb mengkritik kebekuan umat:

> "Sesungguhnya Islam datang untuk membebaskan akal manusia dari setiap bentuk tekanan dan belenggu, baik yang berasal dari mitos, tradisi, atau tirani penguasa. Maka, kebekuan berpikir dan kepasrahan terhadap warisan lama tanpa kritik adalah pengkhianatan terhadap pesan Islam yang hidup dan bergerak."



> "Umat ini telah kehilangan pengaruh karena mereka tidak lagi menjadikan Islam sebagai gerakan yang membentuk realitas, melainkan hanya menjadi simbol yang beku, dibicarakan tetapi tidak dijalani."



Hasan al-Banna pun memperingatkan:

> "Hendaknya kita keluar dari jumud dan taqlid buta kepada masa lalu. Kita harus membangkitkan ruh baru dalam memahami Islam sebagai sistem hidup yang sempurna, menyatu antara ibadah, jihad, politik, dan sosial."



> "Kita bukanlah kaum yang hidup dengan mimpi masa lalu. Kita adalah pewaris risalah yang harus bergerak. Janganlah kita tertidur dalam pujian terhadap sejarah, sementara ruh dan semangat para pendahulu telah hilang dari kita."



Sejarah membuktikan: ruh yang sama, jika dikawinkan dengan strategi baru, akan membangkitkan kejayaan.

Umar bin Khattab dan Abu Bakar tidak memimpin dengan cara yang sama. Utsman bin Affan membangun armada laut, sesuatu yang tak dilakukan sebelumnya. Ali bin Abi Thalib menyelesaikan konflik internal dengan kebijaksanaan tersendiri.

Lihat juga Umar bin Abdul Aziz. Dengan ruh khilafah yang bersih, ia mengembalikan keadilan sosial dalam waktu singkat. Lihat Shalahuddin Al-Ayyubi. Ia menyatukan kembali negeri-negeri Islam yang tercerai dan menaklukkan Al-Quds. Lihat Muhammad Al-Fatih. Ia menaklukkan Konstantinopel dengan teknologi meriam dan strategi pengepungan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Mereka semua punya ruh yang sama, tetapi strategi yang kontekstual. Inilah pelajaran penting bagi kita: kejayaan Islam tidak akan terulang hanya dengan mengutip masa lalu, tetapi dengan menjiwai ruhnya dan menyesuaikan caranya.

Sekarang, hidupkan ruh itu. Juga bangun tubuhnya. Tubuh berupa strategi. Tubuh berupa gerakan. Tubuh berupa pemimpin dan umat yang bersatu.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya, adalah tanggung jawab generasi ini.

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Rasulullah ﷺ baru saja melepas pas...

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Rasulullah ﷺ baru saja melepas pasukan Usamah bin Zaid menuju Syam. Tapi belum sempat menyaksikan hasil perjalanannya, beliau dipanggil oleh Allah. Di ujung kehidupan beliau yang mulia, masih ada tugas yang belum selesai: pembebasan negeri-negeri besar yang menjadi pusat kekuatan dunia saat itu.

Syam adalah jantung kekaisaran Bizantium. Di sanalah jejak darah para syuhada Muslim mengering: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur dalam Perang Mu’tah. Maka, ketika Rasulullah ﷺ menunjuk Usamah bin Zaid—seorang pemuda—untuk memimpin ekspedisi ke Syam, itu adalah pesan penting: misi ini belum selesai, tapi harus terus berjalan.

> "Siapkanlah pasukan Usamah! Semoga Allah memberkahi pasukan itu."
(HR. Ahmad)



Belum sempat menanti kabar kemenangan, Rasulullah ﷺ wafat. Maka siapakah yang melanjutkan misi ini?

Abu Bakar Ash-Shiddiq: Menyambung Benang yang Terputus

Abu Bakar di tengah  menyelesaikan badai dahsyat: kemurtadan dan nabi-nabi palsu. Beliau mengutus pasukan Usamah seperti yang diwasiatkan Rasulullah ﷺ. Meski ditentang oleh beberapa sahabat, Abu Bakar tegas:

> "Demi Allah, aku tidak akan membatalkan pasukan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ."



Begitulah Abu Bakar menjaga warisan Nabi. Tapi waktu tidak memberinya banyak ruang. Beliau pun wafat, dan sekali lagi, benang sejarah itu belum selesai dirajut.

Umar bin Khattab: Mematahkan Kisra dan Kaisar

Umar bin Khattab tampil menggenapi nubuwah Nabi. Di masanya, Persia runtuh. Kaisarnya tumbang. Syam dan Mesir ditaklukkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika Kisra bin Hurmuz binasa, maka tidak akan ada Kisra setelahnya. Jika Kaisar binasa, maka tidak akan ada Kaisar setelahnya..."
(HR. Bukhari no. 3593)



Nubuwah ini nyata. Persia hancur. Romawi kehilangan tanah jajahan penting. Tapi Umar pun gugur. Dan misi itu belum selesai. Masih ada negeri-negeri di seberang lautan.

Utsman bin Affan: Membuka Lintasan Lautan

Utsman meletakkan fondasi armada laut pertama umat Islam. Beliau membuka pintu ke arah lautan: ke Siprus, Tunisia, dan wilayah Mediterania. Ekspedisi-ekspedisi maritim diluncurkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Pasukan pertama dari umatku yang berlayar di lautan, wajib baginya surga."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Utsman membuktikan sabda itu. Ia menapak jejak kemenangan Rasul di medan air. Namun badai fitnah membunuhnya. Dan sekali lagi, sejarah tergantung di udara.

Ali bin Abi Thalib: Meredam Fitnah, Menjaga Umat

Ali tidak mendapat kemewahan memperluas wilayah. Ia tidak membangun ekspedisi. Ia menjaga nyawa umat dari saling tikam.

Perang Jamal. Perang Shiffin. Fitnah internal. Ali memikul beban sejarah paling berat: menjaga rumah umat dari kehancuran.

Namun, sekeras apa pun usahanya, Ali pun dibunuh. Dan sejarah kembali meminta pewaris.

Hasan bin Ali: Damai Lebih Tinggi dari Tahta

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin. Semoga Allah mendamaikan dengan perantaraannya dua kelompok besar dari kaum Muslimin."
(HR. Bukhari no. 2704)



Hasan bin Ali tidak bertempur. Ia melepaskan kekuasaan demi kedamaian. Langkahnya bukan kelemahan, tapi nubuwah.

Kini, para khalifah setelahnya menyambung kembali benang yang lama terputus. Siapkah membebaskan Konstantinopel dan Roma?



Muawiyah bin Abu Sufyan: Ekspedisi ke Konstantinopel

Muawiyah memulai jihad maritim besar. Antara tahun 49–55 H, ia meluncurkan ekspedisi darat dan laut menuju Konstantinopel. Medan yang sangat sulit:

Kota dengan perlindungan benteng berlapis.

Dijaga laut dan armada tangguh.

Jauh dari pusat kekuasaan Islam (Damaskus).


Tapi Muawiyah tidak mundur. Ia kirim sahabat-sahabat utama. Jalan menuju penaklukan Konstantinopel dibuka.

Harun ar-Rasyid: Membuat Bizantium Tunduk

Harun ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah melanjutkan jihad ini. Ia mengirim jenderal Humayd bin Ma’yuf al-Hajbi memimpin ekspedisi besar. Kaisar Nikephoros sempat menghinakan Islam. Tapi Harun membalas:

> "Dari Harun, Amirul Mukminin, kepada kaisar Romawi. Telah engkau baca suratmu, dan jawabannya akan kau lihat, bukan kau dengar."



Pasukannya menghantam jantung Bizantium. Kaisar tunduk dan membayar upeti. Namun dua kekhalifahan yang telah berdiri tidak juga membebaskan Konstantinopel, siapakah yang akan melanjutkan?

Muhammad Al-Fatih: Menggenapi Penaklukan

Saat Abbasiyah runtuh, Khilafah Utsmaniyah muncul. Muhammad Al-Fatih menuntaskan nubuwah Rasulullah ﷺ:

> "Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya."
(HR. Ahmad)



Konstantinopel jatuh. Tapi Al-Fatih belum puas. Ia siapkan pasukan ke Italia untuk membebaskan Roma. Namun di tengah perjalanan:

> Sejarah mencatat: Muhammad Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Dalam perjalanan menuju Italia, beliau wafat sebelum mencapai Roma.



Mengapa Al-Fatih tak berhasil menaklukkan Roma? Karena Allah masih menyisakan tugas untuk generasi selanjutnya.

Sejarah Tak Pernah Selesai

Seakan-akan, Allah menulis sejarah ini secara bersambung. Agar setiap generasi punya bagian. Agar kita tidak hanya menjadi pembaca sejarah, tapi pelanjut.

Hari ini, nubuwah Rasul belum tuntas:

Roma belum dibebaskan.

Sistem keadilan ekonomi belum ditegakkan.

Dunia masih dikuasai oleh 1% elite ekonomi.


Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Akan datang suatu masa di mana seorang manusia berkeliling membawa zakat, namun tidak seorang pun yang membutuhkan."
(HR. Ahmad dan al-Hakim)



Maka ini bukan nostalgia. Ini kewajiban. Para sahabat gelisah bila nubuwah belum terwujud. Mereka merasa bersalah jika belum menuntaskan tugas Rasul.

Apakah kita memiliki kegelisahan yang sama?

Sekarang Giliran Kita

Kita tidak hidup di zaman penaklukan kota, tapi kita masih memikul penaklukan ide. Penaklukan ketimpangan. Penaklukan kemiskinan. Penaklukan kebodohan.

Kita tidak mengangkat pedang, tapi kita membawa pena, ilmu, teknologi, dan kekuatan moral.

Mari naikkan level kegelisahan kita. Bukan dalam skala pribadi. Tapi dalam skala umat.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya adalah tanggung jawab generasi ini.

Nubuwah Perguliran Peradaban  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- "Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. ...

Nubuwah Perguliran Peradaban 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

"Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Setelah itu akan ada kekhilafahan di atas manhaj kenabian, lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Kemudian akan datang masa kerajaan menggigit (mulkan ‘aḍdan), lalu Allah mengangkatnya bila Dia menghendaki. Lalu datang masa kerajaan diktator (mulkan jabriyyan), kemudian Allah angkat bila Dia menghendaki. Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."

(HR. Ahmad)


---

Dalam sunyi malam dan renung sejarah, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan peta besar peradaban umat ini. Bukan sekadar nubuwah, melainkan peta spiritual tentang pergiliran zaman. Sebuah siklus yang bukan hanya menandai naik turunnya kekuasaan, tetapi juga mengukur kualitas ruhani umat.

Dari kenabian menuju kekhalifahan, dari kekhalifahan menuju kerajaan, dari kerajaan ke otoritarianisme, lalu kembali lagi pada khilafah yang bersandar pada manhaj kenabian. Ini bukan sekadar urutan waktu, ini adalah pusaran peradaban.

Awal yang Agung: Khilafah Rasyidah

Masa setelah wafatnya Nabi ﷺ️ menyisakan pertanyaan terbesar: siapa yang akan melanjutkan tongkat estafet kenabian? Meski tak menunjuk secara eksplisit dalam bentuk teks pewarisan, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan simbol dalam tindakan. Dalam pembangunan Masjid Nabawi, beliau meminta Abu Bakar, Umar, dan Utsman masing-masing meletakkan batu di sisinya. Sebuah penataan yang tidak hanya bersifat arsitektural, tapi isyarat kenabian.

Dan sejarah pun menjawabnya: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali tampil sebagai empat mata rantai pertama dari kekhilafahan di atas manhaj kenabian. Mereka memimpin bukan hanya dengan kekuasaan, tetapi dengan jiwa kenabian yang diwariskan.

Bergulir ke Dinasti: Kerajaan Menggigit

Namun kekuasaan adalah amanah yang berat. Ia melelahkan, dan sejarah menunjukkan bahwa idealisme awal umat mulai bergeser. Setelah Hasan bin Ali — sang pemersatu dua kelompok besar umat — menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, babak baru dimulai.

> “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin (sayyid), dan semoga Allah memperbaiki dengan sebab dia antara dua kelompok besar dari kaum Muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 2704)



Muawiyah memulai era baru yang dikenal sebagai mulk ‘aḍdan, kerajaan menggigit. Kekuasaan mulai diwariskan secara turun-temurun. Meski tetap dalam bingkai Islam, coraknya berbeda. Politik mulai mengambil bentuk dinasti. Bani Umayyah berkuasa. Kemudian datang Bani Abbas.

Isyarat Kenabian: Umayyah dan Abbasiyah

Rasulullah ﷺ️ telah memberikan isyarat:

> "Jika kekuasaan keturunan Muawiyah hanya sehari, maka kekuasaan keturunan Abbas akan dua kali lipat dari itu." (HR. Thabrani dan lainnya)



Ini bukan soal durasi waktu, tetapi soal skala dan pengaruh. Dan itu terbukti: Umayyah memerintah dari Damaskus, meluas sampai Andalusia. Abbasiyah tampil sebagai pusat intelektual dunia dari Baghdad.

Namun tetap, keduanya berada dalam siklus kerajaan menggigit: mewariskan, mempertahankan, terkadang dengan tangan besi.

Turki Utsmani: Penerus Tanpa Teks

Setelah Baghdad hancur, khilafah nyaris padam. Tapi takdir Allah membalikkan keadaan. Bangsa yang dulu dikenal sebagai pelindung Abbasiyah, yakni bangsa Turki, tampil menjadi pemimpin dunia Islam.

Turki Utsmani bukan hanya meneruskan kekuasaan, tetapi menunaikan nubuwah:

> “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad dan Hakim)



Muhammad Al-Fatih bukan hanya penakluk kota, tetapi penjaga nubuwah. Dan Utsmani berdiri sebagai puncak terakhir sebelum fase mulk jabriyyan mengambil alih.

Mulk Jabriyyan: Era Diktator dan Kegelapan

Zaman modern menyaksikan fase ini. Kekuasaan berpindah ke tangan-tangan besi. Sekularisme, kolonialisme, nasionalisme sempit, dan pemujaan pada militer menjadi wajah dominan dunia Islam. Khilafah dihapus secara resmi tahun 1924. Umat tercerai-berai menjadi negara-negara kecil yang terkungkung batas-batas buatan.

Di sinilah fase mulk jabriyyan mencapai puncaknya. Dan justru dalam kegelapan seperti ini, nubuwah bersinar lagi:

> "Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."



Nubuwah Persia dan Romawi: Keruntuhan Kekuasaan Dunia

Rasulullah ﷺ️ telah menubuatkan:

> "Kalian akan memerangi Jazirah Arab hingga Allah menangkan kalian, lalu Persia hingga Allah menangkan kalian, lalu Romawi (Rum) hingga Allah menangkan kalian, setelah itu Dajjal hingga Allah menangkan kalian." (HR. Muslim 5161)



Dan benar adanya.

> “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya. Dan jika Qaisar binasa, maka tidak ada Qaisar setelahnya...” (HR. Bukhari dan Muslim)



Imam Nawawi menegaskan bahwa maksudnya adalah, sistem imperium mereka tidak akan kembali. Mereka akan lenyap sebagai kekuatan hegemonik.

Ibnu Hajar menyatakan, ini adalah nubuwah yang telah nyata: Persia runtuh di masa Umar. Romawi Timur kehilangan jantungnya saat Konstantinopel ditaklukkan.

Roma sendiri masih menanti.

Menuju Roma: Nubuwah yang Belum Tuntas

Rasulullah ﷺ️ menyebut dua kota: Konstantinopel dan Roma. Yang pertama sudah ditaklukkan. Yang kedua, masih dalam janji.

Imam As-Suyuthi dalam al-Kashf ‘an Mujawazah Hadzihil Ummah al-Alf menyebut:

> "Roma akan ditaklukkan setelah Konstantinopel. Jika belum terjadi, maka itu tanda janji Allah belum tuntas, dan akan terjadi menjelang akhir zaman."



Ibn Katsir dalam An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim juga menyatakan:

> "Penaklukan Roma adalah bagian dari kemenangan akhir zaman, beriringan dengan bangkitnya Islam sebagai kekuatan dunia."



Renungan Akhir: Apa Peran Kita?

Perguliran kekuasaan bukan sekadar narasi sejarah. Ia adalah undangan kontemplatif: di fase manakah kita hidup sekarang? Dan di mana posisi kita dalam nubuwah itu?

Hari ini, dunia Islam tak lagi bersatu di bawah satu payung. Namun janji Rasulullah ﷺ️ bukan isapan jempol. Ia pasti terjadi. Akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian.

Bukan untuk memaksakan mimpi sejarah, tetapi untuk membangkitkan jiwa. Untuk mempersiapkan hati. Agar saat fajar itu menyingsing, kita termasuk yang menyalakan pelita.

Bukan sebagai pengamat sejarah. Tetapi sebagai bagian darinya.


---

"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka ahli waris (bumi)." (QS. Al-Qashash: 5)

Bertindak dengan Efektivitas Tinggi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada saatnya kemenangan besar justru muncul dari tindakan kecil. B...

Bertindak dengan Efektivitas Tinggi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ada saatnya kemenangan besar justru muncul dari tindakan kecil. Bukan dari kekuatan yang meledak-ledak, tapi dari langkah yang tepat sasaran. Inilah seni strategi ilahiah: memukul di tempat yang benar, meski dengan tenaga terbatas.

Allah menunjukkan kepada manusia, dari zaman Nabi Nuh hingga Khalid bin Walid, bahwa kemenangan tidak diukur dari seberapa banyak kita bergerak, tapi dari seberapa jitu kita melangkah.


---

Kapal di Tengah Banjir Besar

Mari kita mulai dari kisah Nuh 'alaihis salam. Saat dunia dilanda banjir besar, perintah Allah kepada beliau tidaklah rumit:

> "Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan wahyu dari Kami..."
(QS. Hud: 37)



Hanya sebuah kapal. Satu benda, satu alat. Tapi ia menjadi garis pemisah antara keselamatan dan kebinasaan. Allah tidak meminta Nabi Nuh menahan banjir, atau memindahkan gunung, hanya: bangunlah kapal. Titik.

Efektivitas tinggi. Minimum upaya, maksimum hasil. Itulah pola kemenangan para nabi.


---

Sasaran Jelas dalam Perang

Dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan tentang strategi yang sangat spesifik:

> "Pukullah bagian leher mereka dan potonglah tiap-tiap ujung jari mereka."
(QS. Al-Anfal: 12)



Leher: pusat kehidupan. Jari: pusat kontrol dan mobilisasi kekuatan. Bukan tubuh secara keseluruhan yang disasar, tapi titik-titik vital. Ini bukan sekadar perintah perang, tapi pelajaran strategi: pukul titik pusat, bukan seluruh permukaan.


---

 Parit yang Menghentikan Ribuan Pasukan

Dalam Perang Ahzab, Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak membuat benteng besar atau menyiapkan pasukan tambahan. Cukup menggali parit—sebuah strategi yang belum dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya.

Salman Al-Farisi yang mengusulkan ide ini, dan Rasulullah ﷺ langsung menerimanya. Parit itulah yang menjadi tameng tak terlihat:

> "Ketika pasukan Quraisy datang dan melihat parit itu, mereka terkejut dan berkata: 'Ini adalah tipu daya yang tidak pernah dikenal bangsa Arab sebelumnya.'"
(Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir)



> "Kuda-kuda mereka tidak sanggup melompatinya. Mereka kebingungan."
(Sirah Ibnu Hisyam)



Efeknya sangat besar: pasukan koalisi yang kuat dan bersatu menjadi stagnan, frustasi, dan akhirnya bubar karena kelelahan dan terpaan badai. Parit itu bukan hanya penghalang fisik, tapi juga pemutus psikologis.

Allah pun berfirman:

> "Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika datang pasukan-pasukan (Ahzab) kepadamu, lalu Kami kirim kepada mereka angin dan pasukan-pasukan yang tidak terlihat olehmu..."
(QS. Al-Ahzab: 9)




---

Strategi Ilusi di Perang Mu’tah

Perang Mu’tah adalah saksi bagaimana 3.000 pasukan Muslim menghadapi lebih dari 100.000 pasukan Romawi. Bukan kemenangan total secara fisik, tapi kemenangan strategi dan kelangsungan dakwah.

Setelah tiga panglima utama syahid, panji dipegang oleh Khalid bin Walid. Beliau tidak menerjang membabi buta, tapi merancang strategi cerdik:

1. Reorganisasi formasi: barisan depan ditukar dengan belakang, sayap kanan menjadi kiri, dan sebaliknya.


2. Debu ditabur: pasukan berjalan membentuk debu besar agar musuh mengira bala bantuan dari Madinah telah datang.


3. Mundur teratur: bukan lari panik, tapi penarikan pasukan yang sistematis.



Ibnu Katsir menulis:

> "Allah menyelamatkan pasukan Muslim melalui tangan Khalid bin al-Walid."
(Al-Bidayah wan-Nihayah)



Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan:

> "Khalid menyusun siasat mundur taktis yang membuat musuh merasa dikepung kekuatan baru. Padahal itu hanya pergantian posisi dan formasi."



Ilusi menjadi strategi, strategi menjadi penyelamat.


---
 Menundukkan Gajah, Bukan Menumbangkannya

Di medan perang melawan Persia, gajah-gajah besar menjadi senjata intimidasi. Tapi pasukan Muslim tak menanggapi dengan kepanikan. Mereka tidak sibuk menumbangkan tubuh besar itu satu-satu. Mereka fokus ke titik lemahnya: mata.

Begitu gajah buta, ia kehilangan arah. Dan saat gajah panik, seluruh formasi musuh menjadi kacau.


---

Efektivitas Itu Tajam, Bukan Ramai

Semua kisah ini menyiratkan satu pesan: jangan remehkan langkah kecil yang terarah. Dalam strategi Allah, yang kecil bisa mengalahkan yang besar, asal tepat.

Efektivitas bukan tentang kuantitas, tapi tentang presisi. Bukan tentang jumlah pasukan, tapi ketepatan langkah. Bukan tentang banyaknya senjata, tapi tentang arah pukulan.

Rasulullah ﷺ tidak pernah berpikir linear. Beliau tidak sibuk mengumpulkan jumlah terbanyak, tapi menata kekuatan terbaik. Tidak asal bergerak, tapi membaca celah dan mengatur nafas.


---

Kemenangan adalah Ilmu dan Keikhlasan

Lihatlah: Nabi Nuh dengan kapal. Rasulullah ﷺ dengan parit. Khalid bin Walid dengan formasi. Pasukan Muslim dengan panah ke mata gajah. Semua bukan tentang kekuatan raksasa, tapi kejelian menangkap titik penting.

Allah mengajarkan kita bahwa kemenangan bukan hasil dari ledakan energi, tapi dari ketundukan pada hikmah dan ilmu-Nya.

> "Sesungguhnya kemenangan itu hanya datang dari sisi Allah."
(QS. Al-Anfal: 10)



Jadi, ketika engkau merasa kecil, tidak berdaya, dan tak punya banyak sumber daya, jangan takut. Cukup temukan titik lemah musuhmu. Lalu pukul di sana—dengan iman, dengan ilmu, dan dengan doa.

Itulah kemenangan sejati: sedikit bergerak, besar hasilnya.

Pertolongan Allah Itu Tak Terasa Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Kadang kita membayangkan pertolongan Allah itu datang dalam bent...

Pertolongan Allah Itu Tak Terasa
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Kadang kita membayangkan pertolongan Allah itu datang dalam bentuk luar biasa: mukjizat langit, ledakan kekuatan, atau hancurnya musuh dalam sekejap. Tapi sejarah, dan lebih dalam lagi: wahyu, justru mengajarkan sebaliknya. Bahwa pertolongan Allah sering kali tidak terasa. Ia hadir dengan cara yang lembut, tenang, kadang tampak biasa. Tapi di situlah kemenangannya tersembunyi.

> "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)."
(QS. Ath-Thalaq: 2–3)



Takdir kemenangan pertama kaum Muslimin di Perang Badar memperlihatkan itu dengan sangat jelas. Langit tidak menurunkan petir api untuk membakar musuh. Tidak juga menurunkan gempa untuk merobohkan kemah Quraisy. Tapi yang turun... adalah hujan. Hujan malam sebelum perang. Hujan biasa, tapi bermakna luar biasa.

Hujan itu membersihkan tubuh para pejuang yang kelelahan, menyegarkan fisik yang akan bertempur. Lebih dari itu, ia menjadi air penyucian batin. Menghilangkan was-was setan. Membasuh keraguan. Membangunkan semangat.

> “Dan Allah menurunkan hujan kepadamu dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu, dan menghilangkan gangguan syaitan dari kamu, dan untuk menguatkan hatimu serta meneguhkan dengannya telapak kaki (mu).”
(QS. Al-Anfal: 11)



Namun, perhatikan lebih dalam: hujan itu tidak turun merata. Di sisi kaum Muslimin, ia turun lembut. Tanah menjadi padat, nyaman untuk pijakan. Di sisi musyrikin Quraisy, hujan lebih deras. Tanah becek dan licin. Bukankah ini cara langit mengintervensi geospasial dengan penuh kelembutan?

Lihat pula strategi posisi. Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat telah lebih dulu tiba di sumur Badar. Mereka menguasai sumber air. Rasulullah menempatkan markas di dataran yang lebih tinggi. Sementara Quraisy datang dari arah berpasir yang rendah. Tanah mereka becek oleh hujan. Gerakan mereka berat.

Semua tampak biasa. Tapi bukankah di balik semua itu ada tangan langit yang mengatur?

Bahkan pandangan pun dijaga oleh Allah. Allah memperlihatkan jumlah musuh sebagai sedikit di mata kaum Muslimin, agar mereka tidak gentar. Allah juga membuat pasukan musuh melihat kaum Muslimin seakan banyak dan kuat. Bahkan muncul pasukan misterius berkuda berbaju putih dari sisi langit. Malaikat?

> “Ingatlah ketika Allah memperlihatkan mereka (musuh-musuhmu) kepadamu dalam mimpimu (sebagai) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepadamu (dalam jumlah) banyak, niscaya kamu akan menjadi gentar dan kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu. Tetapi Allah telah menyelamatkan kamu.”
(QS. Al-Anfal: 43)



> “Dan (ingatlah) ketika Allah menampakkan mereka kepadamu ketika kamu berjumpa mereka (di medan perang), sebagai jumlah yang sedikit di matamu, dan kamu pun dijadikan sedikit dalam pandangan mereka, agar Allah melaksanakan suatu urusan yang sudah ditetapkan.”
(QS. Al-Anfal: 44)



Pertolongan itu pun turun lewat kantuk.

> “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu ketenteraman dari-Nya...”
(QS. Al-Anfal: 11)



Bayangkan, menjelang perang hidup dan mati, Allah justru membuat mereka tertidur sejenak. Tapi bukan tidur karena lelah. Ini adalah ‘na’as’—kantuk ilahiah. Penyegaran batin. Penyeimbang emosi. Penenang jiwa. Pertolongan langit yang tak terlihat, tapi terasa di dalam hati.


---

Kita pun menyaksikan pola yang sama dalam sejarah tanah air.

Saat Jenderal Sudirman memimpin gerilya dan dikepung Belanda, hujan deras turun. Petir menggelegar. Tentara Belanda kehilangan arah. Sudirman lolos. Atau saat markas Letkol Soeharto hendak disergap musuh, tiba-tiba listrik padam. Gelap total. Belanda kehilangan sasaran. Mereka membatalkan penyergapan.

Itu bukan kebetulan. Itu pola langit yang sama: pertolongan Allah itu tak terasa.


---

Dalam Perang Uhud, situasi nyaris berbalik tragis. Rasulullah صلى الله عليه وسلم terluka. Gigi beliau patah. Darah mengalir dari wajahnya. Musuh menyerang dari belakang setelah para pemanah lalai.

Namun, Allah menyelamatkan Rasulullah melalui sebuah celah kecil di kaki Gunung Uhud. Dikenal sebagai “Syib Rasul”—Celah Rasulullah. Di situ beliau terjatuh dan para sahabat membentuk perisai hidup: Abu Dujanah, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan lainnya.

> "Rasulullah berlindung di celah bukit, sementara para sahabat menjaga beliau dari semua sisi."



Gunung itu bukan sekadar batu. Ia menjadi tameng. Rasulullah bersabda:

> “Uhud adalah gunung yang mencintai kami, dan kami mencintainya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)



Ketika tidak ada lagi benteng, Allah jadikan celah kecil di gunung sebagai istana perlindungan. Ketika tidak ada lagi pasukan, Allah jadikan tubuh sahabat sebagai perisai hidup. Ketika dunia memusuhi, langit menutupi.


---

Itulah rahasia pertolongan Allah: lembut tapi menguatkan. Diam tapi menentukan. Tak terasa, tapi menyelamatkan.

Allah tidak butuh teriakan. Ia tidak butuh demonstrasi kekuatan. Cukup hujan. Cukup gelap. Cukup kantuk. Cukup celah sempit di batu. Dan kemenangan pun datang.

Jika hari ini engkau sedang berjuang, dan merasa sendiri... Jika engkau tak melihat keajaiban besar... Jika engkau hanya melihat hujan, rasa lelah, gelap, dan sepi...

Jangan takut. Mungkin itulah pertolongan Allah sedang bekerja. Pelan-pelan. Diam-diam. Tanpa terasa. Tapi nyata.

> "Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

Takdir Umat Islam Menurut Umat Terdahulu: Pembebas Timur dan Barat Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Pernahkah kita merenung sejena...

Takdir Umat Islam Menurut Umat Terdahulu: Pembebas Timur dan Barat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Pernahkah kita merenung sejenak, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad ﷼ lahir ke dunia, kabar tentang beliau dan umatnya telah disebut-sebut oleh para nabi terdahulu? Bahwa umat ini, umat Islam, adalah umat pilihan—pembebas dari gelapnya zaman, penakluk kekuatan batil, dan pelita dari Timur hingga ke Barat?

Bayangkan, seorang nabi besar seperti Musa tercengang. Bukan karena mukjizat laut terbelah atau tongkat yang berubah menjadi ular. Tapi karena satu hal yang menggetarkan jiwa: umat akhir zaman, yang amalnya tampak lebih ringan, justru diberi keutamaan luar biasa oleh Allah.

Ibnu al-Jauzi, dalam mahakaryanya al-Tabsirah (Juz 1), menuliskan sebuah percakapan penuh kekaguman:

> "Ya Tuhanku, aku melihat dalam catatan umat akhir zaman, mereka yang paling dahulu masuk surga meskipun amal mereka lebih sedikit. Mereka hafal kitab suci di dada-dada mereka, dan mereka melantunkannya di siang dan malam. Jadikanlah mereka umatku."



Lalu Allah menjawab:

> "Itu adalah umat Ahmad."



Betapa harunya hati seorang Nabi ketika menyaksikan keagungan umat yang akan datang setelahnya.

Dalam bagian lain kitab yang sama, Ibnu al-Jauzi meriwayatkan:

> "Aku mendapati dalam kitab Taurat, akan datang satu umat yang mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, dan berjihad di jalan Allah. Ya Allah, jadikanlah mereka umatku."



Lagi-lagi, jawabannya sama:

> "Mereka adalah umat Ahmad."



Ini bukan sekadar pujian. Ini adalah pernyataan langit. Sebuah isyarat bahwa umat Nabi Muhammad ﷼ bukan hanya besar dalam jumlah, tapi juga kuat dalam jiwa. Mampu mengalahkan musuh terbesar akhir zaman: Dajjal. Sementara nabi-nabi sebelumnya hanya mampu memperingatkan tentang bahayanya.

Lalu, apakah kekuatan ini murni berasal dari senjata dan jumlah? Tidak. Ia datang dari cahaya iman, kekuatan ibadah, dan keberanian spiritual yang tak tertandingi.


---

Mari menelusuri waktu. Sekitar dua abad sebelum kelahiran Rasulullah ﷼, seorang penguasa Syam bernama Nadhr bin Rabi‘ah mengalami sebuah mimpi. Mimpi yang begitu terang dan mengusik batinnya. Ia melihat cahaya besar muncul dari Makkah, menyinari seluruh Jazirah Arab hingga ke negeri Syam. Di atas Ka'bah, berdiri seorang laki-laki yang menyeru manusia untuk hanya menyembah Allah.

Terkejut dan penasaran, Nadhr mengumpulkan rahib dan ahli tafsir mimpi:

> "Aku bermimpi ada seseorang dari Makkah yang kelak akan mengguncang dunia ini. Apakah ini kabar tentang seorang nabi yang akan datang?"



Seorang rahib dari keturunan Nabi Isa menjawab tenang:

> "Ya, ini adalah cahaya kenabian terakhir. Ia akan lahir di tengah padang pasir, tetapi akan menyinari Syam dan seluruh dunia."



Lalu Nadhr menulis mimpinya, menyimpannya sebagai warisan, dan berpesan kepada keturunannya:

> "Jika mimpi ini benar, maka anak keturunanku kelak harus menjadi orang pertama yang beriman kepada nabi akhir zaman."



Tidakkah ini cukup menjadi saksi bahwa kelahiran Rasulullah ﷼ adalah janji lama yang ditunggu peradaban?


---

Kisah lain datang dari tanah suci. Dari seorang tua yang mulia: Abdul Muthalib. Suatu malam ia tertidur di al-Hijr, bagian Ka'bah yang penuh berkah. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya keluar dari tulang rusuknya. Cahaya itu menjulang ke langit, menembus gurun dan gunung, menyinari Timur dan Barat.

Dalam mimpi itu, terdengar suara berkata:

> "Dari keturunanmu akan lahir seorang pemimpin yang akan mengguncang zaman. Ia membawa kebenaran, dan namanya akan disebut di langit dan bumi."



Ketika ia bangun, tubuhnya menggigil. Ia segera mencari para rahib dari Yaman dan Syam. Salah satu dari mereka berkata:

> "Jika mimpimu benar, maka salah satu keturunanmu akan menjadi Nabi umat akhir zaman."



Sejak saat itu, Abdul Muthalib menjaga dan mencintai cucunya, Muhammad ﷼, dengan sepenuh hati. Karena ia tahu, cahaya yang dilihatnya telah mengambil wujud.


---

Buya Hamka, dalam Sejarah Umat Islam, menegaskan bahwa umat ini tidak pernah benar-benar hancur. Hanya jatuh, lalu bangkit kembali. Seperti ombak yang surut untuk kembali menggulung lebih besar.

Perang Salib yang mengerikan? Tartar yang membakar Baghdad? Semua akhirnya dikalahkan oleh umat Islam. Bahkan dari kehancuran, lahir pahlawan. Salahuddin al-Ayyubi, Baybars, Sultan Murad.

Konstantinopel yang dahulu benteng tak tertembus, akhirnya runtuh di tangan Muhammad al-Fatih.

Penjajahan Eropa yang menyayat tanah Muslim? Juga akhirnya tumbang. Umat ini memang diuji. Tapi tak pernah padam. Seperti bara yang tak mati. Ia hanya menunggu waktu untuk menyala kembali.


---

Namun, pertanyaan penting mengemuka: Mengapa masih ada rasa rendah diri di hadapan bangsa lain?

Padahal sebelum kita hadir, umat-umat terdahulu sudah mengakui keagungan umat ini.

> "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk (kebaikan) manusia, karena kalian menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110)



Umat ini bukan dipilih karena bangsanya. Bukan karena leluhurnya. Tapi karena amal dan peran: menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman dengan sepenuh keyakinan.

Inilah amanah besar. Inilah syahadah umat.


---

Kini, kita hidup di zaman yang penuh keraguan. Di mana kebanggaan sering kalah oleh kekaguman pada yang asing. Di mana banyak dari kita lupa siapa kita.

Padahal, setiap Nabi telah menyebut-nyebut kita.

Padahal, dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur—ada deskripsi tentang umat Muhammad ﷼: kuat dalam iman, teguh dalam amal, dan luas dalam pengaruh.

Tidakkah ini cukup untuk membuat kita bangga tanpa menjadi sombong? Kuat tanpa menjadi congkak?

Umat ini adalah lilin di tengah kegelapan. Cahaya di ujung malam. Umat yang disiapkan bukan hanya untuk satu tempat, tapi untuk dunia. Timur dan Barat.

Sebagaimana doa Abdul Muthalib, Sebagaimana mimpi Nadhr bin Rabi‘ah, Sebagaimana harapan Nabi Musa,

Kita adalah bagian dari janji besar itu.

Kini saatnya kita bukan hanya membaca kisah ini dengan mata. Tapi juga dengan jiwa.

Saatnya umat ini kembali mengambil peran.

Sebagai pelita. Sebagai pemimpin. Sebagai rahmat bagi semesta alam.

Malaikat Pun Berkisah Tentang Abu Bakar Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- 1. Ketika Langit Menyebut Namanya Andai ada penduduk bumi...

Malaikat Pun Berkisah Tentang Abu Bakar
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

1. Ketika Langit Menyebut Namanya

Andai ada penduduk bumi yang menjadi perbincangan di langit, maka Abu Bakar adalah salah satunya. Ia bukan hanya disebut oleh manusia karena jasanya, tetapi juga oleh para malaikat karena keyakinannya. Namanya harum di langit sebelum diagungkan di bumi.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ﷺ diliputi keresahan setelah peristiwa Isra dan Mi'raj. Betapa luar biasa pengalaman itu, namun beliau tahu bahwa kisah semacam itu akan sulit dipercaya oleh kaumnya. Rasulullah ﷺ bertanya-tanya: siapa yang akan mempercayai cerita ini?

Jibril datang menenangkannya:

> "Abu Bakar percaya kepada apa yang engkau ceritakan. Dia adalah Ash-Shiddiq."



Keyakinan Abu Bakar adalah cahaya. Kepercayaannya adalah pondasi yang tak tergoyahkan. Ia percaya, bahkan sebelum mata bisa menyaksikan. Ia menerima, bahkan ketika logika manusia meragukan.

Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, pun pernah bersaksi dari atas mimbar:

> "Sesungguhnya Allah menamakan Abu Bakar dengan sebutan Ash-Shiddiq melalui lisan Nabi-Nya."




---

2. Bersamanya dalam Kritisnya Sejarah

Nama Abu Bakar selalu hadir di titik-titik paling kritis dalam sejarah dakwah Rasulullah ﷺ. Dalam malam hijrah, ketika nyawa Rasulullah ﷺ terancam, ia lah yang menyertai di dalam gua. Ia menangis bukan karena takut akan dirinya, tetapi karena khawatir jika musuh menemui Rasulullah ﷺ.

> "Jika salah seorang dari mereka melihat ke arah kakinya, niscaya mereka akan melihat kita," kata Abu Bakar.



Dan Rasulullah ﷺ menenangkannya:

> "Wahai Abu Bakar, apa pendapatmu tentang dua orang, yang Allah adalah yang ketiga di antara mereka?"
(QS At-Taubah: 40)



Dalam Perang Badar, ketika pasukan kaum Muslimin sangat sedikit, para malaikat membicarakan Abu Bakar:

> "Tidakkah kalian melihat Ash-Shiddiq bersama Rasulullah ﷺ di bangsal tempat berteduh?"



Abu Bakar tak hanya berdiri, tetapi memayungi doa dan harapan Rasulullah ﷺ. Ia bukan pelengkap sejarah, ia porosnya.


---

3. Pengorbanan yang Tak Tertandingi

Pada suatu hari, Ibnu Umar menyaksikan Abu Bakar datang kepada Rasulullah ﷺ dengan pakaian yang lusuh dan berlubang. Hanya sehelai jubah sederhana yang menutupi tubuhnya.

Jibril turun, bertanya kepada Rasulullah ﷺ:

> "Wahai Muhammad, mengapa aku melihat Abu Bakar memakai jubah yang berlubang di bagian dadanya?"



Rasulullah ﷺ menjawab:

> "Dia telah menginfakkan seluruh hartanya untukku, sebelum penaklukan kota Makkah."



Jibril menyampaikan pesan langit:

> "Katakan padanya: Apakah kau rela dengan kefakiranmu, ataukah tidak menyukainya?"



Abu Bakar menjawab penuh keyakinan:

> "Apakah saya tidak rela terhadap Tuhanku? Saya rela."




---

4. Saat Dunia Guncang, Ia Tegak

Ketika Rasulullah ﷺ wafat, dunia para sahabat seolah runtuh. Umar bin Khattab bahkan mengancam siapa saja yang mengatakan Rasulullah ﷺ telah meninggal. Saat itu, Abu Bakar berdiri, naik ke mimbar dan berkata:

> "Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tidak akan mati."



Lalu ia membacakan ayat:

> "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?"
(QS Ali Imran: 144)



Kekokohan Abu Bakar bukan hanya menyelamatkan umat dari kejatuhan emosional, tetapi menegakkan kembali misi risalah.


---

5. Keputusan-keputusan Besar Seorang Sahabat

Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar dihadapkan pada ujian demi ujian. Banyak kabilah yang murtad, enggan membayar zakat, dan muncul gelombang pembangkangan dari dalam umat.

Abu Bakar berkata tegas:

> "Demi Allah, andai mereka menolak membayar tali unta yang dahulu mereka bayarkan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya aku akan memerangi mereka."



Para sahabat sempat ragu. Tapi Umar bin Khattab pun akhirnya berkata:

> "Demi Allah, setelah Allah lapangkan dada Abu Bakar, aku pun tahu bahwa ia benar."



Ia juga mengirim pasukan Usamah bin Zaid, sebagaimana perintah terakhir Rasulullah ﷺ. Meski banyak yang menyarankan untuk menundanya karena gentingnya kondisi, Abu Bakar tetap melaksanakannya:

> "Tidak mungkin aku membatalkan keputusan Rasulullah ﷺ."




---

6. Malaikat Bicara Tentangnya

Suatu ketika, Rasulullah ﷺ bertanya kepada Jibril tentang keutamaan Umar bin Khattab. Jibril menjawab:

> "Seandainya aku menyebut keutamaannya sepanjang umur Nabi Nuh, tidak akan habis keutamaan itu dibicarakan. Dan sesungguhnya, Umar hanyalah satu dari sekian banyak kebaikan Abu Bakar."



Ketika Abu Bakar membaca ayat:

> "Yā ayyatuha an-nafs al-muṭma’innah..."
(QS Al-Fajr: 27)



Ia berkata:

> "Wahai Rasulullah, ini ayat yang sangat indah."



Rasulullah ﷺ menjawab:

> "Ketahuilah wahai Abu Bakar, kelak malaikat akan mengucapkan ayat ini saat menjelang kematianmu."



Dan saat ajal menjemput, ruhnya dipanggil dengan kelembutan langit:

> "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai."




---

7. Dua Wazir dari Langit dan Bumi

Di akhir hayat Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Tidaklah seorang nabi pun melainkan memiliki dua wazir—satu di langit, dan satu di bumi. Wazirku di langit adalah Jibril dan Mikail. Wazirku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar."



Mereka adalah penopang, kekuatan, dan saksi dalam perjalanan risalah.


---

8. Abu Bakar: Di Antara Langit dan Bumi

Abu Bakar bukan hanya dicintai penduduk bumi, tapi juga dimuliakan oleh para penghuni langit. Namanya disebut oleh malaikat bukan karena pangkat, bukan karena keturunan, bukan pula karena kekuatan.

Tetapi karena keimanan yang jernih, keyakinan yang utuh, pengorbanan yang total, dan kesetiaan yang tanpa batas.

Ia adalah Ash-Shiddiq. Peneguh ketika yang lain ragu. Penyejuk ketika yang lain gelisah. Penyangga risalah saat dunia berguncang.

Dan langit pun bercerita tentangnya.


---

Wallahu a'lam.

Pergesekan Internal, Tumbuhkan Ukhuwah dan Khazanah Peradaban   Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah bukanlah catatan kering yang ...

Pergesekan Internal, Tumbuhkan Ukhuwah dan Khazanah Peradaban 

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sejarah bukanlah catatan kering yang beku di rak-rak perpustakaan. Ia adalah cermin panjang tempat umat manusia mematut diri. Di balik riwayat kejayaan dan kehancuran, selalu ada denyut emosi, tarikan cinta, luka-luka kecil—dan seringkali, pergesekan.

Tapi dari pergesekan itu pula, lahir kematangan.

Bahkan para tokoh yang paling suci, manusia-manusia pilihan, tidak lepas dari gesekan—bukan karena lemahnya akhlak, tetapi karena kekayaan rasa dan tugas besar yang mereka emban. Di sanalah ruh ukhuwah diuji dan dimurnikan.

1. Dari Kecemburuan, Tumbuh Peradaban

Siti Hajar dan Siti Sarah—dua perempuan mulia dalam rumah tangga Nabi Ibrahim—pernah terlibat kecemburuan. Kisah ini bukan untuk mencela, tetapi menunjukkan bahwa bahkan para istri nabi pun manusia biasa.

Apa hasil dari perasaan yang rapuh ini?

Lihatlah: Siti Hajar akhirnya harus tinggal di sebuah lembah tandus bersama putranya, Ismail. Di sana, ia berlari-lari di antara dua bukit. Lalu Zamzam memancar, dan peradaban Mekah pun tumbuh. Semua bermula dari luka kecil, yang disirami iman dan kesabaran.

> "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di sebuah lembah yang tidak memiliki tanaman, di dekat rumah-Mu yang dihormati..." (QS. Ibrahim: 37)



2. Musa dan Harun: Teguran Sangat Manusiawi

Ketika Musa kembali dari munajatnya di gunung, ia terperanjat. Kaumnya menyembah patung anak sapi. Marah, ia menarik janggut saudaranya, Harun.

Namun Harun tidak membalas keras dengan keras. Ia menjawab lembut:

> "Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku... Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata: 'Engkau telah memecah belah Bani Israil..." (QS. Thaha: 94)



Apakah ini pertikaian? Bukan. Ini adalah ruang klarifikasi, tempat ukhuwah justru dipertegas oleh kejujuran dan saling menahan diri.

3. Yusuf dan Saudara-saudaranya: Luka yang Disembuhkan oleh Takdir

Saudara-saudara Yusuf pernah melemparkannya ke dalam sumur karena iri. Konflik keluarga nabi. Lagi-lagi, ini bukan cela. Ini adalah cara Allah mengajar umat bahwa pengkhianatan bisa menjadi awal keagungan jika disikapi dengan iman.

Apa akhir dari kisah ini? Yusuf berdiri sebagai penguasa Mesir. Saudara-saudaranya bersimpuh, bukan karena kalah, tapi karena mereka akhirnya memahami rencana Allah yang agung.

4. Sahabat dan Rasulullah: Beda Pendapat, Bukan Pecah

Dalam Perang Badar dan Hunain, para sahabat berselisih soal ghanimah (harta rampasan). Ketegangan muncul. Tapi Allah langsung turun tangan lewat wahyu. Dan Rasulullah ﷺ membimbing mereka dengan kelembutan.

Bahkan dalam Perang Hunain, kaum Anshar sempat merasa tersisih ketika Rasul membagikan harta kepada para mualaf.

Rasul pun bersabda:

> “Seandainya manusia menempuh satu lembah dan kaum Anshar menempuh lembah lain, maka aku akan menempuh lembah kaum Anshar...” (HR. Bukhari dan Muslim)



Kata-kata itu bukan basa-basi. Ia adalah pernyataan cinta, yang meredakan perbedaan dan menyiram ukhuwah yang sempat mengering.

5. Hudaibiyah: Musyawarah dan Keikhlasan

Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu titik penting dalam sejarah umat Islam. Tapi juga salah satu titik paling emosional.

Umar bin Khattab marah. Ia bertanya kepada Abu Bakar:

> “Bukankah dia Rasulullah?”



> “Benar.”



> “Bukankah kita di atas kebenaran?”



> “Benar.”



> “Mengapa kita harus menerima kerendahan ini?”



Abu Bakar menjawab dengan tegas:

> “Sesungguhnya dia adalah Rasulullah. Dia tidak akan menyalahi perintah Rabb-nya. Maka tetaplah engkau berada di sisinya!”



Ali bin Abi Thalib, saat diminta menghapus gelar "Rasulullah" dalam naskah perjanjian, menjawab:

> “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya.”



Namun Nabi ﷺ sendiri yang akhirnya menghapus tulisan itu, meski beliau buta huruf. Itulah bentuk keikhlasan tertinggi dalam ukhuwah dan strategi.

Bahkan ketika sahabat enggan menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut setelah perjanjian, Ummu Salamah memberi saran bijak:

> “Wahai Rasulullah, jika engkau ingin mereka taat, lakukanlah lebih dulu tanpa berkata-kata.”



Dan benar. Setelah Nabi mencontohkan, para sahabat segera mengikuti. Kadang, pergesekan hanya perlu ditenangkan dengan keteladanan.

6. Bani Quraizah dan Ijtihad yang Dihargai

Setelah Perang Khandaq, Nabi ﷺ bersabda:

> “Janganlah salah seorang dari kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizah.” (HR. Bukhari dan Muslim)



Waktu hampir habis. Sebagian sahabat shalat di perjalanan. Sebagian lagi menundanya hingga tiba. Dan Rasulullah tidak menyalahkan keduanya.

Ibn Hajar berkata:

> “Rasulullah tidak mencela salah satu dari dua kelompok tersebut.” (Fath al-Bari)



Imam Nawawi menambahkan:

> “Ini dalil bahwa perbedaan ijtihad itu bisa diterima, dan semua mendapatkan pahala selama niatnya benar.”



Inilah pelajaran paling mendalam dari ukhuwah: bukan menuntut keseragaman mutlak, tetapi menerima perbedaan dalam bingkai kejujuran.

7. Mengapa Allah Hadirkan Gesekan?

Agar kita paham: ukhuwah bukanlah kondisi steril tanpa masalah. Justru, ukhuwah sejati lahir dari badai. Dari peluh dan luka. Dari beda pendapat dan keberanian untuk saling memahami.

Jika para nabi pernah berdebat, Jika para sahabat pernah berbeda pandangan, Jika keluarga para nabi pernah diguncang rasa cemburu dan iri,

...lalu mengapa kita harus takut dengan konflik kecil di antara kita?

Jangan remehkan pergesekan. Jangan takut berselisih. Yang penting adalah adab setelahnya: apakah kita saling memaafkan, saling memahami, dan tetap menempuh jalan ukhuwah?

Pergesekan itu seperti api—ia bisa membakar, tapi bisa juga menghangatkan, jika dikawal oleh iman dan kejujuran.

Maka nikmatilah pergesekan. Peluk ia dengan rendah hati. Karena darinya, ukhuwah tumbuh.

Dan dari ukhuwah, Allah menurunkan keberkahan.

Berkah Musyawarah pada Prosesnya Bukan Hasilnya Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Ada kalanya keputusan benar tidak membawa kemenan...

Berkah Musyawarah pada Prosesnya Bukan Hasilnya

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Ada kalanya keputusan benar tidak membawa kemenangan, dan kesalahan tidak selalu berakhir kehancuran. Namun musyawarah—meski hasilnya benar atau salah—tetap menyimpan keberkahan. Sebab, Allah tidak hanya menilai hasil akhir, tapi juga proses yang dilalui dengan adab, keikhlasan, dan kebersamaan.

Mari kita simak bagaimana para Nabi, para pemimpin pilihan Allah, menjadikan musyawarah sebagai pelita dalam gelapnya zaman, petunjuk di tengah ujian yang mengguncang jiwa.


---

1. Dialog Langit: Musa dan Harun

Nabi Musa adalah sosok pemimpin tangguh, yang tahu bahwa beratnya amanah kenabian tak bisa dipikul seorang diri. Dalam doanya, ia mengajukan permintaan:

> "Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.”
(QS. Thaha: 25–32)



Musa tidak meminta pasukan. Ia tidak meminta kekayaan. Ia meminta sahabat sejati. Seorang pendamping dalam memikul amanah.

Namun sejarah juga mencatat: ada momen saat Harun gagal membendung Bani Israil dari menyembah patung anak sapi. Ketika Musa kembali, ia marah, mengguncang kepala saudaranya.

> “Wahai Harun, apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat? ... Apakah engkau telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”
(QS. Thaha: 92–93)



Harun tak membalas dengan amarah. Ia menjawab lirih, dengan hati yang lapang:

> “Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku dan kepalaku. Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah Bani Israil...’”
(QS. Thaha: 94)



Di sinilah makna musyawarah menemukan bentuk terdalamnya: mendengar, menegur, dan menjelaskan. Bahkan antara dua nabi.


---

2. Hikmah Dua Raja: Daud dan Sulaiman

Dua pemimpin, dua pandangan, satu tujuan. Ketika seekor kambing merusak ladang, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman memutuskan hukumnya. Allah mengabadikan peristiwa ini:

> “Dan Kami memberikan pengertian tentang hukum itu kepada Sulaiman; dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu...”
(QS. Al-Anbiya: 79)



Satu pendapat lebih tepat. Tapi keduanya tetap diberi hikmah. Karena dalam ruang musyawarah, setiap suara yang jujur adalah langkah menuju kebijaksanaan.


---

3. Ayah dan Anak: Ibrahim dan Ismail

Bayangkan seorang ayah berkata kepada anaknya:

> “Wahai anakku! Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)



Apakah Ibrahim butuh restu dari Ismail? Tidak. Ia seorang nabi. Tapi ia tetap mengajak bicara. Karena musyawarah bukan sekadar soal teknis, melainkan penyelarasan hati.

Dan Ismail menjawab:

> “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”



Beginilah cinta dan ketaatan bertemu dalam satu ruang. Musyawarah menjadi jembatan antara wahyu dan ketundukan.


---

4. Rasulullah dan Musyawarah Strategis

Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah berjalan sendiri. Dalam setiap keputusan besar, beliau bermusyawarah. Termasuk saat kondisi paling genting sekalipun.

Perang Khandaq: Ketika Madinah dikepung oleh 10.000 pasukan, Salman al-Farisi mengusulkan strategi asing: menggali parit. Rasulullah menerimanya. Strategi itu menyelamatkan umat.


> "Ide menggali parit tidak dikenal dalam perang Arab sebelumnya..."
—Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah



Perang Badar: Salah satu sahabat mengusulkan perpindahan posisi agar bisa menguasai sumber air. Nabi mengikuti. Hasilnya: kemenangan telak.


> “Wahai Rasulullah, andai engkau menempuh lautan, kami akan menempuhnya bersamamu!”
—Sa'ad bin Mu'adz



Perang Uhud: Rasul ingin bertahan dalam kota. Tapi mayoritas sahabat ingin keluar. Rasul mengikuti pendapat mereka. Hasilnya: kekalahan pahit.


Namun di situ pula, keberkahan musyawarah hadir:

> “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka... kemudian bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Ali Imran: 159)




---

5. Luka yang Mendidik: Pelajaran dari Uhud

Apakah Rasulullah menyalahkan sahabatnya? Tidak. Justru Allah menurunkan ayat yang menguatkan hati mereka.

> “Kekalahan itu bukan karena lemahnya Rasul, tapi karena Allah sedang mengasah para pejuang Islam dengan luka dan darah.”
—Ibnul Qayyim, Zad al-Ma’ad



Kadang kita kalah, bukan karena salah strategi. Tapi karena Allah sedang menumbuhkan kekuatan baru dari dalam dada yang luka.


---

6. Shalahuddin dan Akka: Keteguhan dalam Kesalahan

Saat pasukan Salib menyerbu Syam, Shalahuddin Al-Ayyubi ingin mencegat mereka di jalan. Tapi hasil musyawarah menyarankan bertahan di kota Akka. Dua tahun pengepungan, dan kota itu jatuh ke tangan musuh.

Banyak yang menilai keputusan itu salah. Tapi Shalahuddin tidak menyalahkan siapapun. Ia jalankan hasil musyawarah dengan sabar dan adab.

> “Akka adalah kota yang tangguh. Shalahuddin tahu bahwa menjaganya berarti menjaga seluruh pesisir Syam.”
—Ibn al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh



Dan dari situlah keberkahan muncul. Pasukan Salib mengalami kehancuran moral. Lebih dari 50.000 tewas. Mereka mundur. Umat Islam bangkit kembali.


---

7. Musyawarah: Jalan Rahmat, Bukan Hanya Hasil

Musyawarah bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah. Ia adalah ruang pembelajaran rohani:

Untuk belajar mendengar.

Untuk belajar menahan ego.

Untuk membuka pintu hikmah yang mungkin tidak lahir dari satu kepala.


Rasulullah ﷺ tidak butuh saran. Tapi beliau mendidik umat dengan bermusyawarah. Para Nabi tidak perlu bertanya. Tapi mereka tetap bertanya, karena cinta selalu melibatkan lawan bicara.


---

Penutup: Nikmati Prosesnya

Musyawarah itu ibadah, bukan sekadar metode. Ia adalah jalan untuk menjemput berkah—bahkan bila hasilnya tidak sesuai harapan.

> “Musyawarah adalah tempat Allah menyemai rahmat dan menumbuhkan kekuatan umat.”



Maka, mari kita menikmati prosesnya. Baik salah maupun benar, dalam musyawarah yang tulus, selalu ada cahaya Ilahi yang turun menyinari langkah-langkah kita.


---

Allah memberkahi proses, bukan hanya kemenangan.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (570) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (254) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (236) Sirah Sahabat (153) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (153) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)