basmalah Pictures, Images and Photos
11/07/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Apa Respon Tepi Barat dan Gaza atas Pelucutan Senjata Hamas? Di sebuah teras rumah batu kuno di kota Ramallah, suara lonceng mas...


Apa Respon Tepi Barat dan Gaza atas Pelucutan Senjata Hamas?

Di sebuah teras rumah batu kuno di kota Ramallah, suara lonceng masjid terdengar lembut di gemuruh sirene militer malam. Seorang ibu menatap anaknya yang baru pulang dari kamp pelatihan—matanya mencerminkan kecemasan dan penantian. “Mengapa ia masih harus belajar memegang senjata?” tanya sang ibu. “Bukankah kita ingin merdeka dalam damai?”

Anak itu hanya menunduk. Di dalam dadanya, pertanyaan itu bergemuruh.
Hari ini, sebuah survei terbaru dari Palestinian Center for Policy and Survey Research (PCPSR) mengungkap bahwa sekitar 70 % warga Palestina menolak pelucutan senjata Hamas — termasuk hampir 80 % warga di Tepi Barat dan 55 % di Gaza. 

Apa yang tersembunyi di balik angka itu? Apakah ini sekadar ekspresi kemarahan dan keputusasaan? Atau sebuah sinyal yang lebih dalam: bahwa senjata, bagi sebagian besar rakyat Palestina, bukan hanya alat perang — tetapi simbol harapan yang tak boleh dilucuti?


---

1. Suara rakyat yang menolak penyerahan alat perjuangan

Sore itu, di Nablus, sekelompok pemuda duduk di halaman sekolah berhias grafiti “Kebebasan atau Mati”. Seorang di antaranya, Yusuf, memberanikan diri bertanya:

“Kenapa kita harus menyerahkan senjata ketika musuh tak pernah menyerah menembus rumah-rumah kita?”

Jawaban-jawaban dalam jajak pendapat menyiratkan jawaban yang sama: meskipun perang meletus dan korban berjatuhan, mayoritas warga percaya bahwa tanpa senjata, mereka akan kehilangan bargaining-power, akan kehilangan suara. PCPSR mencatat bahwa bahkan ketika disodorkan skenario damai dari rencana perdamaian Amerika Serikat, mayoritas tetap pesimis. Sekitar 62 % warga Palestina tidak yakin rencana tersebut akan mengakhiri perang selamanya. 

Dalam dialog reflektif: senjata itu mungkin beban, tapi pula jaminan — jaminan bahwa suara mereka tak sepenuhnya diabaikan oleh dunia.


---

2. Kenapa Tepi Barat “tak bersenjata” dan apa hasilnya

“Tepi Barat”—wilayah yang diduduki sejak 1967, tetapi berbeda dari Gaza dalam satu hal mencolok: tidak punya sayap bersenjata yang diakui seperti Hamas di Gaza. Namun, apakah kondisi “tanpa senjata” berarti damai? Tidak.

Wilayah ini dipenuhi pemeriksaan, pemukiman, pembongkaran rumah, dan bentrokan harian. Meski tak berbunyi senapan propaganda yang sama, rakyat masih hidup di bawah bayang-bayang kekerasan. Jajak pendapat menunjukkan bahwa justru di Tepi Barat penolakan terhadap pelucutan senjata Hamas paling tinggi — sekitar 80 %. 

Dialog pun muncul:

“Kami tak punya senjata besar,” kata seorang warga kamp pengungsi di Jenin. “Tapi kami punya batu, dan kami punya ingatan. Bila senjata di Gaza dilucuti tapi kami tetap di Tepi Barat yang terkepung, apa bedanya?”
Sang ibu menanggapi: “Kalau damai tanpa senjata, kenapa anak-anak kita masih menembus pos pemeriksaan setiap hari?”

Refleksi ini membuat kita melihat bahwa kenyamanan damai tanpa kekuatan minimal, untuk sebagian warga, terasa semu. Tanpa senjata atau alat pertahanan apapun, negeri pendudukan terasa lebih menekan — dan luka‐lukanya lebih dalam.


---

3. Pelajaran dari sejarah: apa yang terjadi dengan PLO dan pelucutan senjata

Untuk memahami penolakan ini, penting kita sejarahkan pelucutan senjata pada aktor sebelumnya: PLO. Pada era 1990-an, setelah First Intifada dan perjanjian Oslo, PLO mulai proses transformasi dari gerakan bersenjata ke aktor politik—dan sebagian “menyerahkan” peran militer. 

Pada saat itu, banyak orang berharap bahwa “membawa senjata ke meja diplomasi” akan membuka pintu penyelesaian. Tapi kenyataannya: proses perdamaian tersendat, pemukiman terus bertambah, harapan merdeka bergeser. Sejarawan mencatat bahwa pelucutan senjata PLO terjadi ketika “kompromi tanpa kejelasan” muncul — dan rakyat mulai kehilangan kepercayaan. 

Maka, penolakan terhadap pelucutan senjata Hamas bukan sekadar pilihan saat ini — ia juga dipengaruhi oleh ingatan kolektif bahwa pelucutan tanpa jaminan konkret berakhir dengan kerugian. Rakyat berkata: “Kami sudah menyerah senjata; kemudian apa? Kami masih di bawah blokade, tetap di bawah pendudukan.”


---

4. Krisis kepercayaan terhadap lembaga dan rencana perdamaian

Dialog berubah menjadi lirih di sudut kafe kecil di Ramallah. Seorang guru mengusap kopi hangat, lalu kata-kata keluar:

“Rencana perdamaian datang dan pergi. Kami sudah lelah mendengar janji tanpa implementasi.”

Survei PCPSR menunjukkan bahwa 67 % warga di Tepi Barat dan 54 % di Gaza tidak yakin rencana Trump akan mengakhiri perang selamanya.  Mereka tak hanya skeptis soal persenjataan Hamas; mereka skeptis terhadap seluruh perangkat perdamaian yang dipromosikan dunia luar.

Rasa frustrasi terhadap ‎Fatah dan ‎Palestinian Authority (PA) semakin mendalam: hanya 23 % yang puas dengan kinerja Presiden ‎Mahmoud Abbas. Sementara di tengah itu, dukungan terhadap Hamas meningkat — 35 % warga Palestina mendukung Hamas dan hanya 24 % mendukung Fatah. 

Ketika institusi kepercayaan runtuh, senjata pun dipandang sebagai “jaminan minimal” — bukan karena orang ingin perang, tapi karena mereka merasa tak punya pilihan lain.


---

5. “Senjata” sebagai simbol dan bukan hanya alat

Dialog dengan seorang pemuda di Gaza memperjelas:

 “Senjata kami bukan untuk menyerang dunia, tapi untuk bertahan. Bila kami dilucuti senjata dan dunia tetap diam ketika rumah-rumah kami diratakan, maka damai kami hanyalah delusi.”



Senjata dalam konteks ini bukan semata fisik — ia adalah simbol perlindungan, simbol keadilan yang tertunda, dan simbol keberadaan yang tak mau dihapuskan.

Ketika warga menolak disarmament Hamas, mereka menolak pula gagasan bahwa “akan aman” bila senjata mereka lepas; karena kenyataannya, sejak 1967 hingga kini, keamanan mereka tetap rapuh. Mereka telah melihat bagaimana upaya ‎PLO tanpa senjata seringkali tak membawa perlawanan struktural terhadap pendudukan.

Seorang analis kolonialisme pemukiman menulis: “Ketika populasi asli kehilangan kemampuan mempertahankan diri—fisik atau sosial—maka kolonisasi tak hanya berupa pemukiman fisik, tapi pemukiman memori dan identitas.” 

Jadi, senjata menjadi bagian dari identitas yang dipertahankan—meski sebagian besar masyarakat tetap berharap damai, mereka takut damai yang datang lewat menyerah.


---

6. Kenapa mayoritas bukan minoritas dalam konteks ini

Ketika kita melihat angka-angka: hampir tujuh dari sepuluh menolak pelucutan senjata, ini bukan suara minoritas yang keras. Ini cerminan suara rakyat yang luas — meski sering tak terdengar dalam konferensi diplomatik dan perjanjian internasional.

Dialog di sebuah kamp pengungsi menyatakan:

 “Kami tak memilih perang. Tapi bila damai datang dengan syarat kami tak punya daya untuk mempertahankan hidup kami, maka damai itu bukan pilihan — tapi kekalahan.”

Rasa suara yang tak punya pilihan inilah yang mendorong penolakan. Meski Hamas pun banyak kritiknya, mayoritas menilainya sebagai aktor yang paling menggambarkan keberanian rakyat — dan paling dipercaya dibanding lembaga resmi yang dianggap lama “bernegosiasi tapi tak memukul mundur pendudukan”.


---

7. Refleksi: Apa arti damai tanpa perlindungan?

Mari kita renungkan:
Damai tanpa senjata — apa itu? Jika pihak pendudukan masih memiliki kontrol penuh, mobilitas dibatasi, pemukiman terus diperluas, dan check-point tetap berdiri, maka damai seperti apa yang diraih?
Seorang ibu di Tepi Barat berkata:

“Anak saya harus melewati pos pemeriksaan tiap hari untuk sekolah. Senjata dia tak pegang. Tapi apakah hidupnya lebih aman?”

Kondisi ini mendorong pertanyaan reflektif: Apakah “pelucutan senjata” adalah bentuk nyata perdamaian — atau justru tanda bahwa rakyat telah mengendurkan kekuatan tawarnya? Untuk banyak warga, penolakan terhadap pelucutan adalah panggilan: “Jangan harap kami pasrah.”


---

8. Mengaitkan dengan sejarah PLO: pelajaran yang terlupa

Seperti yang kita lihat dari perjalanan PLO, proses transisi dari senjata ke politik tanpa disertai perubahan struktural menghasilkan frustrasi. Dalam studi sejarah, pelucutan senjata mereka berlangsung ketika konsesi datang — tapi hak kembali tak nyata, pemukiman tak berhenti. 

Maka, suara hari ini juga mengandung warisan sejarah: “Kami tak akan mengulangi kesalahan kami sebelumnya.” Senjata bukan sekadar alat kekerasan, tetapi juga penjaga harapan—meskipun harapan itu rapuh.


---

9. Jalan ke depan: antara rezim “tanpa senjata” dan hak untuk bertahan

Jika kita berbicara tentang jalan ke depan, maka dialog kita harus lebih dalam:

Apa makna penyerahan senjata dalam konteks pendudukan dan kolonialisme pemukiman?

Bagaimana damai bisa dibangun tanpa rasa aman minimal?

Apakah lembaga politik Palestina sekarang mampu menjamin keamanan dan keadilan jika senjata dilepas?

Bagaimana masyarakat mengartikulasikan rasa keadilan dan pertahanan mereka dalam realitas kekuasaan yang timpang?


Dalam dialog yang muncul di kafe kecil, seorang aktivis muda berkata:

“Damai yang dipaksakan tanpa struktur yang adil adalah medan perang lain.”

Refleksi ini mengajak kita memahami: damai, perlucutan senjata, dan normalisasi bukan proses teknis semata—bahkan mungkin lebih persoalan kepercayaan dan kekuatan tawar.


---

10. Penutup: Bisu-nya senjata dan bicara rakyat

Di malam yang sunyi, ketika suara lonceng kembali meredup dan lampu lampu jalan menyala perlahan di Ramallah, kita mendengar bisik-bisik rakyat:

“Kami menolak menyerah senjata bukan karena kami menginginkan perang. Kami menolak karena kami takut damai yang datang lewat menyerah justru menjadi penjajahan yang lebih lembut.”

Angka-angka survei itu — 70 % menolak pelucutan senjata, 80 % di Tepi Barat — bukan sekadar statistik. Ia adalah gema hati jutaan warga yang hidup di bawah pendudukan, yang sehari-hari menyaksikan bahwa senjata bukan sekadar konflik, tetapi kondisi ketidak-setaraan.

Dalam kisah ini, kita belajar bahwa ketika rakyat memilih mempertahankan senjata, mereka sedang memilih untuk mempertahankan hak untuk bicara, hak untuk hidup bebas dari bayang-bayang kekerasan struktural. Jika kita ingin memahami konflik ini secara utuh, maka kita harus ikut mendengar suara yang tak suka menyerah—bukan karena mencari perang, tetapi karena takut akan damai yang merampas kehormatan.

“Damai yang kita cari bukan hanya bebas dari bom, tetapi bebas dari rasa dilecehkan.”

Dan di situlah, senjata menjadi metafora—bukan hanya alat perang, tetapi surat tuntutan: “Kami ingin diakui, kami ingin dibela, kami ingin hidup sebagai manusia yang setara.”
Dalam dialog-dialog malam itu, nampak pesan yang sama:

Bila senjata itu dilepas tanpa keadilan, maka senjata tersebut akan digantikan oleh penjajahan yang lebih sunyi.

Dan mungkin, itulah alasan utama mengapa mayoritas warga Palestina menolak pelucutan senjata Hamas hari ini — bukan karena mereka haus darah, tetapi karena mereka belum menemukan damai yang mau mendengar jeritan mereka.

Makna Turki bagi Gaza dan  Makna Gaza bagi Turki I. Langit yang Retak di Atas Bosporus Sore itu, azan magrib menggema di atas Bo...



Makna Turki bagi Gaza dan  Makna Gaza bagi Turki


I. Langit yang Retak di Atas Bosporus

Sore itu, azan magrib menggema di atas Bosporus. Dari menara-menara masjid yang menatap laut Marmara, gema takbir terdengar seperti doa yang dikirimkan ke arah selatan — ke Gaza.
Sebuah negeri kecil yang kini menjadi nisan bagi puluhan ribu jiwa.

Di ruang kerjanya di Istana Dolmabahçe, Recep Tayyip Erdoğan menatap peta besar Timur Tengah. Di sana, Gaza bukan sekadar titik kecil di pinggir Laut Tengah. Ia adalah luka terbuka di tubuh umat Islam, sekaligus kesempatan strategis bagi Turki.

“Gaza bukan hanya Palestina,” katanya suatu kali. “Ia adalah ujian bagi dunia Islam, dan ujian bagi kami di Turki — apakah kami masih memiliki hati.”

Tapi bagi sebagian pengamat, terutama di Barat, kalimat itu terdengar seperti strategi geopolitik yang disamarkan dalam bahasa moral.

Zvi Bar’el, kolumnis senior Haaretz, menulis tajam:

“Jalan Turki menuju hegemoni Timur Tengah melewati Gaza.”

Ia menuduh Ankara menggunakan penderitaan Gaza sebagai tangga untuk naik ke panggung besar politik regional. Namun bagi rakyat Turki, kalimat Bar’el justru dibaca terbalik:

“Jalan Gaza menuju kebebasan mungkin melewati Turki.”

Dan di antara dua tafsir itulah, sejarah kini menulis bab baru yang pelik — antara amanah dan ambisi, antara iman dan kepentingan, antara politik dan nurani.


---

II. Dari Damaskus ke Gaza: Bayang Ottoman yang Panjang

Sejak jatuhnya Kekhalifahan Ottoman tahun 1924, wilayah Palestina tak pernah lepas dari imaji sejarah Turki. Di masa Sultan Abdulhamid II, Palestina dijaga ketat agar tidak jatuh ke tangan kolonialis Zionis. Namun ketika kekaisaran runtuh, tanah itu lepas — dan luka itu diwariskan ke generasi berikutnya.

Kini, seratus tahun setelahnya, Turki di bawah ErdoÄŸan seperti ingin menegakkan kembali kehormatan yang hilang.
Ia berbicara dengan nada seorang khalifah yang belum diangkat secara resmi, tapi diakui secara batin oleh jutaan Muslim yang kehilangan arah kepemimpinan.

“Jika dunia Arab bungkam terhadap Gaza, maka Turki akan bersuara,” katanya di hadapan parlemen Ankara.
Dan ketika ia menuduh Israel sebagai “negara teroris” dan menyerukan pengadilan internasional, tepuk tangan menggema panjang — bukan hanya dari rakyatnya, tapi dari umat di berbagai negeri Muslim.

Namun di balik tepuk tangan itu, diplomasi Turki berjalan tenang dan terencana.
Ia berbicara langsung dengan Donald Trump, lalu dengan Qatar, Mesir, dan Iran. Ia meyakinkan Hamas untuk menerima draft gencatan senjata. Ia juga menawarkan pasukan penjaga perdamaian multinasional dengan partisipasi Turki.

Israel menolak mentah-mentah.
Tapi seperti yang dicatat Bar’el di Haaretz:

“Penolakan Israel belum tentu berarti apa-apa jika Washington setuju.”

Karena pada akhirnya, di Timur Tengah, yang mengendalikan pasca-perang bukanlah yang menang di medan tempur — melainkan yang menguasai meja rekonsiliasi.


---

III. Gaza sebagai Pintu ke Panggung Baru

Dalam pandangan banyak analis, Gaza adalah laboratorium geopolitik abad ke-21.
Bukan sekadar wilayah perang, tapi ruang kosong yang akan menentukan siapa yang berhak mendefinisikan “keamanan Timur Tengah”.

Turki melihat peluang besar di sini.
Sejak 2011, Ankara aktif di berbagai zona konflik:

Libya, dengan dukungan militer kepada pemerintah Tripoli.

Suriah, dengan operasi lintas perbatasan terhadap milisi Kurdi.

Azerbaijan, dengan dukungan penuh dalam perang Nagorno-Karabakh.

Somalia, dengan pelatihan militer dan investasi infrastruktur.


Kini, Gaza adalah bab berikutnya.
Kehadiran Turki di sana bukan hanya untuk “membantu Palestina”, tetapi untuk menjadi bagian dari arsitektur keamanan regional.

Profesor Galip Dalay dari Chatham House mengatakan,

 “Turki memahami bahwa pengaruh di Timur Tengah tidak hanya berasal dari kekuatan militer, tetapi dari siapa yang hadir ketika debu perang mereda.”

Dan di sinilah Turki ingin berada — di tengah reruntuhan Gaza, bukan sekadar membawa bantuan, tapi membawa legitimasi.


---

IV. Amerika, Israel, dan Dilema Teluk

Masalahnya, jalan ke Gaza tidak hanya melewati perbatasan Rafah, tapi juga koridor Washington.
Hubungan ErdoÄŸan dan Trump dikenal pribadi dan pragmatis. Trump menghormati ErdoÄŸan sebagai pemimpin “keras tapi efektif”. Dan di tengah isolasi internasional terhadap Israel akibat serangan brutalnya, Washington mungkin membutuhkan mediator yang masih bisa bicara dengan kedua belah pihak.

Namun Israel menolak keras.
Netanyahu mengatakan:

 “Kami mengendalikan keamanan kami, dan kami telah menjelaskan bahwa Israel tidak akan menerima pasukan internasional yang dipimpin oleh Turki.”

Pernyataan itu mencerminkan ketakutan lama: bahwa Turki bisa mengembalikan pengaruh Ottoman di jantung dunia Arab, memotong dominasi Israel, dan menggoyahkan keseimbangan yang dijaga Barat selama puluhan tahun.

Sementara itu, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab juga canggung.
Mereka melihat Turki bukan sebagai penyelamat Gaza, tapi sebagai rival ideologis yang ingin mengklaim kepemimpinan dunia Islam dari tangan Arab.

Maka, di balik derita Gaza, terselip persaingan sunyi antara tiga poros:

Israel dan Barat, penjaga status quo.

Turki dan Qatar, poros Islam populis yang pro-Palestina.

Saudi dan UEA, poros konservatif yang berhitung dingin atas setiap langkah.



---

V. Gaza: Simbol atau Strategi?

“Apakah Turki benar-benar tulus membela Gaza?”
Pertanyaan ini menggema di ruang-ruang analisis.

Sebagian menjawab ya:
Turki menampung ribuan pengungsi Palestina, mengirim bantuan medis dan logistik, dan menanggung biaya pendidikan bagi anak-anak Gaza. Lembaga seperti IHH, TIKA, dan Kızılay menjadi wajah kemanusiaan Turki yang paling konsisten.

Namun sebagian lainnya melihat niat politik di baliknya:
Gaza memberi Turki posisi moral yang kuat di dunia Muslim, sekaligus membuka jalan untuk memperluas pengaruh di Timur Tengah.

Profesor Ilan Pappé, sejarawan Israel di University of Exeter, menulis dalam sebuah wawancara:

“ErdoÄŸan memainkan dua peran sekaligus: khalifah moral bagi umat, dan negarawan realistis yang mencari pengaruh geopolitik. Keduanya tidak harus bertentangan, tapi batasnya sangat tipis.”

Di sini, moral dan strategi bertemu — atau berbenturan.
Dan Gaza menjadi panggung tempat keduanya diuji.


---

VI. Ketika Amanah Bertemu Ambisi

Dalam tradisi Islam, kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi amanah.
Namun sejarah Islam juga mencatat, dari Andalusia hingga Baghdad, bahwa amanah tanpa kekuatan hanya melahirkan tangisan, sementara kekuatan tanpa amanah melahirkan kezaliman.

Turki tampak berusaha menyeimbangkan keduanya.
Di satu sisi, ia berbicara tentang “umat” dan “martabat”.
Di sisi lain, ia menandatangani kontrak pembangunan pasca-perang yang bernilai miliaran dolar.

Apakah itu hipokrisi, atau justru realisme?
Seorang diplomat Turki yang tak ingin disebut namanya berkata kepada Middle East Eye:

> “Kami membantu Gaza karena itu benar, tapi kami juga tahu bahwa dunia hanya menghargai mereka yang kuat. Kami harus hadir di meja, bukan di pinggir.”

Kata-kata itu, sederhana tapi jujur, menggambarkan dilema Turki hari ini — mencoba menunaikan amanah tanpa kehilangan posisi strategis.


---

VII. Cermin di Reruntuhan Gaza

Setiap malam, berita dari Gaza memenuhi layar-layar di Istanbul. Gambar anak-anak di antara puing memicu air mata dan amarah. Tapi bagi sebagian warga Turki, gambar-gambar itu juga membangkitkan rasa tanggung jawab yang dalam: seolah Gaza adalah bagian dari rumah mereka sendiri.

“Gaza adalah ujian bagi jiwa kita,” kata seorang ulama Sufi di Bursa. “Jika kita diam ketika darah tertumpah di sana, maka seluruh ibadah kita kehilangan ruh.”

Namun, ujian yang sama juga berlaku bagi pemimpin.
Apakah mereka benar-benar menangis karena Gaza, atau karena kehilangan kesempatan politik di Gaza?

ErdoÄŸan sendiri tampak memahami ambiguitas itu. Dalam sebuah pidato di Konya ia berkata:

“Kami tidak akan menggunakan Gaza untuk membesarkan diri. Kami akan membesarkan diri agar bisa menolong Gaza.”

Kalimat itu terdengar seperti doa yang berusaha menyeimbangkan antara cinta dan kekuasaan.


---

VIII. Gaza, Turki, dan Takdir Sejarah

Dari semua negeri yang bersuara untuk Gaza, hanya Turki yang mampu berbicara keras tanpa sepenuhnya kehilangan akses diplomatik.
Qatar punya uang, tapi kecil dalam militer.
Iran punya milisi, tapi miskin legitimasi internasional.
Mesir punya perbatasan, tapi lemah secara politik.

Hanya Turki yang memiliki ketiganya:
kekuatan ekonomi, kekuatan militer, dan kredibilitas moral di mata rakyat Muslim.

Mungkin karena itu, sebagaimana disimpulkan Zvi Bar’el,

“Hegemoni Timur Tengah hari ini tidak lagi tentang siapa yang menaklukkan, tetapi siapa yang mampu hadir di Gaza.”

Bagi Turki, Gaza bukan sekadar titik di peta; ia adalah poros spiritual dan politik yang bisa menentukan arah baru dunia Islam setelah satu abad terpecah.


---

IX. Epilog: Doa yang Menjadi Strategi

Di malam yang dingin di Istanbul, ribuan orang berkumpul di depan Masjid Hagia Sophia. Mereka menyalakan lilin dan mengibarkan bendera Palestina. Di antara mereka, seorang anak kecil memegang papan bertuliskan:

“Dari Turki untuk Gaza — bukan karena politik, tapi karena iman.”

Mungkin di sanalah letak kebenaran yang tak bisa dijelaskan oleh teori geopolitik mana pun: bahwa di balik strategi, masih ada air mata; di balik diplomasi, masih ada doa; dan di balik ambisi, masih ada amanah.

Turki bagi Gaza bukan hanya tentang siapa yang akan membangun pelabuhan baru atau siapa yang mengatur gencatan senjata.
Turki bagi Gaza adalah pertanyaan tentang apa arti kekuasaan ketika dunia kehilangan nurani, dan apa arti iman ketika ia bertemu dengan strategi.


---

“Gaza tidak butuh penyelamat,” tulis seorang jurnalis muda di Istanbul.
“Ia butuh saudara yang kuat — dan semoga Turki benar-benar memilih menjadi itu.”

Al Jazeera: Madrasah Jihad Para Jurnalis “Kami bukan sekadar meliput perang. Kami hidup di dalamnya.” Kalimat itu diucapkan Anas...


Al Jazeera: Madrasah Jihad Para Jurnalis

“Kami bukan sekadar meliput perang. Kami hidup di dalamnya.”
Kalimat itu diucapkan Anas al-Sharif, jurnalis lapangan Al Jazeera, dalam sebuah wawancara terakhirnya sebelum tewas di Gaza pada Agustus 2025.
Beberapa jam setelah wawancara itu ditayangkan, drone Israel menghantam area tempat ia berdiri. Kamera yang sempat ia genggam ditemukan hancur, masih menampilkan gambar terakhir: langit Gaza yang kelabu, penuh debu dan nyala api.

Dari ruang redaksi Doha, berita kematiannya dibacakan dengan suara bergetar. Anas menjadi jurnalis kesepuluh Al Jazeera yang gugur di Gaza sejak perang dimulai pada Oktober 2023.
Namun bagi rekan-rekannya, kematian itu bukan akhir — melainkan kelanjutan dari sebuah tradisi panjang: jihad pena di tengah kehancuran dunia.


---

I. Madrasah yang Tidak Pernah Sepi dari Syahid

Sejak 7 Oktober 2023, Gaza berubah menjadi nisan terbuka bagi dunia media.
Menurut data Committee to Protect Journalists (CPJ), sedikitnya 237 jurnalis dan pekerja media telah tewas hingga pertengahan 2025, dan 197 di antaranya warga Palestina.
International Federation of Journalists (IFJ) mencatat, lebih dari separuh jurnalis yang tewas di seluruh dunia pada 2024 adalah dari Gaza.
Sebuah angka yang membuat perang ini menjadi pembantaian terbesar terhadap jurnalis dalam sejarah modern.

Dan di antara semua lembaga media internasional, Al Jazeera berdiri paling depan — bukan karena paling aman, tetapi karena paling berani.
Sepuluh wartawannya gugur, puluhan lainnya terluka, dan ratusan staf lokal bekerja di bawah ancaman pembunuhan, penggerebekan, dan penutupan kantor.
Namun liputan mereka tidak berhenti bahkan sedetik pun.

 “Kami tidak hanya kehilangan rekan kerja,” kata Wafaa al-Dud, produser senior Al Jazeera di Doha.
“Kami kehilangan saudara seiman, murabbi, dan pejuang yang meyakini bahwa kamera mereka adalah amanah.”


---

II. Dari Doha ke Gaza: Sekolah Jihad Informasi

Al Jazeera didirikan di Doha pada 1996 oleh Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani.
Namun sejak awal, stasiun ini tidak sekadar media — ia tumbuh sebagai madrasah jihad informasi: tempat di mana para wartawan dilatih untuk melawan dengan narasi, melawan dengan bukti, dan melawan dengan keberanian.

Dalam setiap liputan, mereka ditanamkan prinsip: “Lawan propaganda dengan kebenaran, meski nyawa taruhannya.”
Itulah sebabnya, sejak Perang Irak 2003, hingga Arab Spring, hingga perang di Suriah, dan kini Gaza, wartawan Al Jazeera selalu menjadi target — bukan karena mereka bersenjata, tapi karena mereka menembus kebohongan.

Wartawan senior Shireen Abu Akleh, yang ditembak mati oleh tentara Israel di Jenin pada Mei 2022, menjadi simbol paling awal dari madrasah itu.
Ia adalah alumni Universitas Yarmouk, jurnalis Katolik yang mengabdikan hidupnya di tengah masyarakat Muslim, dan tewas ketika mengenakan rompi bertuliskan “PRESS”.
Darahnya membuka bab pertama dari tragedi panjang yang kini disebut The Gaza Genocide oleh dunia akademik.

 “Mereka ingin membungkam Al Jazeera, tapi darah Shireen justru membuat dunia membuka mata,” tulis The Guardian dalam tajuk 2022.


---

III. Kamera yang Tak Mati di Reruntuhan

Nama-nama seperti Anas al-Sharif, Wael Dahdouh, Ismail al-Ghoul, dan Hani Mahmoud menjadi saksi bahwa berita di Gaza tidak ditulis dengan tinta, tapi dengan darah.
Wael Dahdouh, kepala biro Al Jazeera Gaza, kehilangan istri, anak, dan cucu dalam satu serangan udara.
Namun keesokan harinya, ia tetap melaporkan dari lokasi yang sama — masih dengan mikrofon di tangan dan wajah berdebu.

 “Saya tidak akan meninggalkan Gaza,” katanya dalam siaran langsung,
“karena setiap rumah di sini adalah kantor berita kami.”

CNN menulis:

“Wael Dahdouh adalah wajah baru dari jurnalisme keberanian di abad ke-21.”

Sementara Reuters menyebut:

“Tidak ada media lain yang meliput perang Gaza sedekat Al Jazeera, dan tidak ada media lain yang membayar harga semahal mereka.”

Bahkan BBC mengakui bahwa ketika jaringan komunikasi putus total pada November 2023, satu-satunya sumber visual yang tersisa dari Gaza adalah dari Al Jazeera Arabic.


---

IV. Gaza, Kuburan dan Kelas Pelatihan Sekaligus

Bagi jurnalis Palestina, setiap tugas lapangan adalah kuliah terbuka tentang kesyahidan.
Mereka belajar mengedit di bawah sirene, menulis berita di tengah reruntuhan, dan menyiarkan laporan ketika listrik hanya bertahan dua jam.
Banyak dari mereka bukan wartawan profesional, tapi relawan, fotografer, dan guru sekolah yang memegang kamera demi menyelamatkan kebenaran.

CPJ melaporkan bahwa lebih dari 80% jurnalis yang tewas tidak sedang menyiarkan langsung, tapi sedang berusaha menolong korban atau mengarsipkan data kemanusiaan.
Namun Israel menuding mereka “agen propaganda Hamas”.
Ironisnya, tidak satu pun bukti yang pernah diberikan secara terbuka.

Sementara Amnesty International dan Human Rights Watch menyebut bahwa serangan Israel terhadap jurnalis adalah sistematis dan terencana.

“Pembunuhan terhadap jurnalis bukan kecelakaan perang,” tulis HRW Report on Gaza 2024,
“melainkan bagian dari strategi penghapusan saksi.”


---

V. Dunia Melihat, Tapi Dunia Diam

Dalam forum PBB pada Juni 2024, Duta Besar Qatar, Majed Al-Ansari, menyampaikan pernyataan keras:

“Setiap jurnalis Al Jazeera yang dibunuh, adalah peluru terhadap kebebasan pers global.”

Namun Dewan Keamanan tidak menghasilkan keputusan apa pun.
Israel tetap menolak investigasi independen, dan menyebut kematian para wartawan sebagai “konsekuensi tragis dari perang.”

Sementara itu, The Washington Post mencatat bahwa serangan terhadap media justru meningkat setelah Qatar menolak menutup Al Jazeera.
Pada Desember 2024, tentara Israel membom kantor media di Khan Younis dan menuduh Al Jazeera “memfasilitasi komunikasi militan.”

Tapi seperti dikatakan kolumnis Haaretz, Zvi Bar’el,

“Setiap kali Israel membungkam satu kamera, sepuluh kamera lain muncul.
Mereka tidak bisa membunuh narasi yang sudah hidup di hati rakyat.”


---

VI. Pakar dan Para Saksi

Profesor Marc Owen Jones, pakar media dan disinformasi di Universitas Hamad bin Khalifa, Qatar, mengatakan dalam wawancara dengan Middle East Eye:

“Al Jazeera adalah kekuatan kontra-hegemonik yang langka.
Ia menantang monopoli narasi Barat tentang perang, dan itu membuatnya menjadi ancaman bagi kekuatan kolonial informasi.”

Sementara James Rodgers, mantan koresponden BBC yang kini mengajar di City University of London, menulis:

“Gaza telah menjadi medan uji terakhir bagi integritas jurnalisme.
Mereka yang tetap meliput di sana, terutama dari Al Jazeera, layak disebut mujahid pena.”

Dan Tamer al-Mishal, pembawa acara investigatif Ma Khafiya A’zhom, menegaskan dalam salah satu siaran:

“Kami tidak mencari kematian, tapi kami juga tidak takut padanya.
Kami hanya takut pada dua hal — dusta dan diam.”


---

VII. Al Jazeera dan Diplomasi Qatar

Qatar menyadari bahwa jurnalisme bisa lebih kuat daripada pasukan militer.
Melalui Al Jazeera, Doha membangun soft power yang menembus batas ideologi dan sekat diplomatik.
Bahkan Amerika Serikat, meski beberapa kali mengecam liputan Al Jazeera, tidak bisa menyingkirkannya dari peta geopolitik.

Ketika perang Gaza mencapai puncaknya pada 2024, Qatar menjadi mediator utama antara Hamas dan Israel — dan Al Jazeera menjadi alat penghubung narasi antara diplomasi dan opini publik.
Setiap tayangan Al Jazeera dari Gaza menjadi tekanan moral bagi dunia untuk menuntut gencatan senjata.

 “Dalam perang ini, kamera Al Jazeera lebih ditakuti daripada rudal Hamas,”
tulis Foreign Policy Magazine pada Januari 2025.

Turki, Malaysia, dan Indonesia pun secara terbuka menyebut liputan Al Jazeera sebagai “sumber utama kebenaran di lapangan”.
Sementara di dunia Arab, generasi muda menjadikan jurnalis Al Jazeera sebagai ikon baru — bukan hanya reporter, tetapi pejuang keadilan.


---

VIII. Di Antara Kamera dan Doa

Mereka yang bertahan di Gaza kini bekerja tanpa gaji pasti, tanpa listrik, dan tanpa jaminan hidup.
Namun setiap malam, mereka menyalakan kamera dan berdoa:

 “Ya Allah, jadikan lensa ini saksi atas kebenaran-Mu.”

Anas al-Sharif pernah menulis dalam catatan pribadinya:

“Kami mungkin tidak akan hidup untuk melihat kemerdekaan Palestina,
tapi kami akan mati agar dunia tidak bisa berpura-pura tidak tahu.”

Dan begitulah Al Jazeera berdiri — bukan hanya sebagai kantor berita,
tapi sebagai madrasah jihad informasi: tempat di mana setiap liputan adalah doa, setiap berita adalah bentuk ibadah, dan setiap syahid adalah guru.


---

IX. Epilog: Pena yang Lebih Tajam dari Rudal

Di antara reruntuhan Gaza, anak-anak masih memungut sisa kamera dan mikrofon yang hancur.
Mereka tidak tahu apa itu “press freedom”, tapi mereka tahu bahwa ada orang-orang yang mati karena ingin dunia melihat kebenaran.

Sejarah mungkin akan mencatat:
Israel memenangkan perang militer, tapi kehilangan perang moral.
Dan kemenangan moral itu, sebagian besar, ditulis oleh tangan-tangan wartawan Al Jazeera yang tak gentar menghadapi maut.

 “Setiap kali satu wartawan gugur,” tulis seorang kolumnis muda Haaretz,
“dunia kehilangan saksi, tapi langit menambah satu pengingat bahwa kebenaran tidak bisa dibunuh.”

Dan di antara awan debu Gaza, suara mereka masih bergema:

“Kami bukan sekadar meliput perang. Kami hidup — dan mati — di dalamnya.”

Shah Rukh Khan: Apa Artinya Menjadi Miliarder di Tengah Genosida? Pada suatu masa, di dunia yang retak antara sorak dan tangis, ...


Shah Rukh Khan: Apa Artinya Menjadi Miliarder di Tengah Genosida?

Pada suatu masa, di dunia yang retak antara sorak dan tangis, lahirlah sebuah paradoks: seorang aktor Muslim paling dicintai di India merayakan miliarnya, sementara di Gaza, ribuan Muslim dikubur di bawah reruntuhan.
Dunia bersorak, dunia berduka. Di antara keduanya—Shah Rukh Khan berdiri diam.


---

Raja yang Menjadi Cermin Dunia

Ketika Shah Rukh Khan meniup lilin ulang tahunnya yang ke-60, India bergetar dengan kebanggaan. “Raja Bollywood kini miliarder,” tulis India Today dengan kagum. The Economic Times memujinya sebagai bukti bahwa “kerja keras, investasi cerdas, dan warisan budaya bisa mengalahkan batas”.

Tapi di balik kemilau itu, pertanyaan kecil muncul, getir dan sunyi:

Apa artinya menjadi miliarder di tahun 2025—di India yang kian timpang, di dunia yang tengah terbakar, di Gaza yang dilumat bom, di Kashmir yang sunyi di bawah bayonet?

Menurut Daftar Orang Kaya India Harun, Khan kini termasuk dalam 0,00004 persen manusia di bumi—klub kecil para pemilik dunia. Namun kekayaannya tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh bersama sejarah ekonomi dan politik India pasca-Perang Dingin, ketika nasionalisme Hindu menjelma menjadi agama pasar, dan Bollywood menjadi liturgi baru bagi kapitalisme yang berselimutkan patriotisme.

Dalam kisah besar itu, Shah Rukh Khan tampil bukan hanya sebagai aktor—tapi simbol: seorang Muslim yang menenangkan mayoritas Hindu bahwa Islam bisa jinak, bisa tersenyum, bisa menjual mimpi tanpa menantang kekuasaan. Ia adalah jembatan antara tradisi dan globalisasi, antara spiritualitas dan merek dagang, antara cinta dan kepatuhan.

Ia menawan dunia, tapi dunia juga menawannya.


---

Dari Raj Hingga Rahul: Mitos yang Menidurkan Nurani

Sejak 1990-an, setiap film Shah Rukh Khan adalah dongeng yang menenangkan hati bangsa yang guncang. Ia menjadi Raj yang romantis, Rahul yang manis, Veer yang heroik—nama-nama yang menutupi luka lama: kasta, kolonialisme, ketidakadilan. Ia meyakinkan rakyat bahwa kesuksesan adalah urusan individu, bukan struktur. Bahwa cinta bisa mengatasi diskriminasi, bahwa keberhasilan menunggu siapa pun yang bekerja keras.

“Dia membuat kami percaya bahwa siapa pun bisa jadi orang India sejati,” tulis seorang kolumnis hiburan.

Namun di balik layar, India berubah. Kesenjangan tumbuh, politik identitas mengeras, dan nasionalisme Hindu merasuki segala lini kehidupan. Ketika Modi naik ke tampuk kekuasaan, Hindutva bukan lagi ideologi; ia menjadi atmosfer.

Dan Khan? Ia memilih diam.

Ketika intoleransi meningkat, ketika warga Muslim dihakimi di jalan, ketika universitas dibungkam dan Kashmir dijerat, ia hanya berbisik pelan tentang “kekhawatiran terhadap intoleransi”—lalu segera menarik kembali ucapannya. Dunia mengingat: sang raja ternyata tahu batas wilayah istana.


---

Keheningan yang Mahal Harganya

Setelah tahun 2015, kebisuannya menjadi mata uang. Setiap diam, ada dividen. Setiap senyum netral, ada kontrak baru.
Perusahaan produksinya, Red Chillies Entertainment, berkembang pesat. Tim kriketnya, Kolkata Knight Riders, terus mencetak keuntungan. Istrinya, Gauri Khan, memperluas kerajaan bisnis dari properti hingga kafe artisanal.

Rumah tangga Khan menjadi ekosistem kapitalisme yang sempurna—dari KidZania hingga Oyo, dari Chupps hingga Subko Coffee. Ia tak hanya menjual wajahnya di layar, tapi juga kesetiaan pada sistem yang melahirkannya.

Bahkan produk-produk yang ia wakili menghubungkannya dengan kekuasaan yang lebih gelap. Ia menjadi duta untuk perusahaan yang memiliki hubungan dengan kompleks industri-militer Israel—dari Tata dan Reliance hingga Hyundai dan Castrol Oil milik BP, yang tahun ini mendapat izin dari Israel untuk mengeksplorasi gas di Mediterania.

Di satu sisi dunia, mesin yang ia iklankan menghancurkan rumah-rumah Palestina. Di sisi lain, wajahnya tersenyum di papan iklan Mumbai: Be a better person.

Ironi itu bahkan terlalu pahit untuk disebut satire.


---

Ketika Kekayaan Menjadi Benteng

Dalam diamnya, Khan menemukan stabilitas yang tak bisa dibeli dengan keberanian. Di negeri di mana Muslim semakin kehilangan ruang, ia menemukan tempat aman dalam ketidakberpihakan. Ia menjadi warga kehormatan dari dua dunia: dunia mayoritas yang memaafkannya karena patuh, dan dunia liberal yang memujanya karena “toleran”.

Namun di bawah permukaan, terjadi barter diam-diam antara iman dan kenyamanan. Keberhasilannya menjadi bukti bahwa seorang Muslim bisa diterima—asal tidak berbicara. Bahwa seseorang bisa memeluk ketenaran—asal tidak memeluk kebenaran.

Sebuah transaksi yang, bagi banyak orang, tampak seperti kemenangan.
Tapi bagi sebagian lain, seperti kehilangan jiwa.


---

 Ketika Dunia Terbakar

Saat Gaza terbakar, ketika anak-anak mati kelaparan dan jurnalis dibunuh di depan kamera, dunia seni bersuara: mahasiswa di New York, sutradara di Paris, musisi di London, bahkan influencer di Jakarta.

Tapi di Mumbai, sang raja memilih diam.

Sementara di India, umat Muslim yang berani berbicara untuk Palestina dipukuli, ditangkap, dibungkam. Para aktivis ditahan, pengunjuk rasa diusir dari kampus, dan bendera Palestina dianggap provokasi.

Di tengah itu semua, Shah Rukh Khan muncul di Met Gala—berbalut mantel hitam rancangan Sabyasachi, dilapisi perhiasan berkilau di leher.
Di luar gedung, demonstran berteriak memprotes genosida Gaza.
Di dalam, ia berpose di bawah lampu.

Dan dunia kembali bertepuk tangan.
Tak satu pun media besar India menyinggung konteksnya—semuanya sibuk menulis tentang “penampilan bersejarah”.


---

Antara Kekuasaan dan Kekosongan

Kebisuannya bukan sekadar sikap, melainkan strategi bertahan. Di negeri yang kini mengagungkan Modi seperti nabi baru, Khan bahkan ikut memberi selamat pada ulang tahun ke-75 sang perdana menteri.

 “Perjalanan Anda dari kota kecil ke panggung dunia sangat menginspirasi,” tulisnya di X.
“Energi Anda di usia 75 tahun bahkan mengalahkan anak muda seperti kami.”

Ucapan itu viral, bukan karena hangat, tapi karena dinginnya terasa menusuk.
Mungkin ia tulus, mungkin juga sekadar wajib sosial bagi mereka yang hidup dari kamera dan kapital. Tapi di mata mereka yang kehilangan rumah di Gujarat, Kashmir, dan Gaza—kalimat itu terdengar seperti jarak yang tak bisa dijembatani lagi.

Dan ketika gencatan senjata palsu diumumkan di Gaza pada Oktober, Shah Rukh Khan muncul bersama dua “Khan” lainnya—Aamir dan Salman—di Joy Festival di Arab Saudi.
Tiga raja Bollywood, tersenyum di hadapan para bangsawan dan investor.
Di luar istana, dunia masih menangis.


---

Di Antara Dua Dunia: Seni, Kekuasaan, dan Hati Nurani

Mungkin seseorang bisa berargumen bahwa aktor bukan nabi, dan selebritas tidak wajib menyelamatkan dunia. Tapi seni sejati—yang lahir dari nurani—selalu punya sisi moral. Film-film Khan dulu memuja cinta dan kemanusiaan, tapi kini cinta itu terkurung dalam bingkai layar, tak lagi hidup dalam tindakannya.

Ada dialog tak terucap antara dunia dan dirinya:

Dunia: “Engkau membangkitkan air mata kami di layar, tapi di luar layar engkau menutup mata.”
Shah Rukh: “Aku hanya aktor, bukan politikus.”
Dunia: “Tapi bukankah diam juga pilihan politik?”

Ketenaran adalah kekuasaan, dan kekuasaan selalu menuntut tanggung jawab.
Namun bagi banyak bintang besar dunia modern, diam lebih aman daripada jujur. Karena di dunia yang diatur oleh pasar, keberanian bisa menurunkan nilai saham.


---

 Refleksi: Di Antara Doa dan Debu

Mungkin Shah Rukh Khan tidak jahat. Mungkin ia hanya takut.
Takut kehilangan segalanya yang telah ia bangun dengan keras—film, bisnis, pengaruh, keluarga.
Tapi di dunia di mana keadilan sedang direnggut, ketakutan para berkuasa adalah bahan bakar bagi kejahatan.

Kita hidup di zaman ketika diam dianggap netral, padahal diam sering kali berpihak pada yang kuat. Ketika selebritas yang bersuara dicap “terlalu politis”, padahal yang tak bersuara ikut melanggengkan status quo.

Dan pada akhirnya, inilah ironi paling tragis dari abad ini:

Orang yang paling dicintai oleh rakyat jelata kini berdiri paling jauh dari penderitaan mereka.

Kekayaannya menjadi cermin yang memantulkan wajah zaman—zaman di mana hati bisa dibeli, dan keheningan bisa dihargai lebih mahal dari kejujuran.


---

Penutup: Antara Cahaya dan Bayangan

Ketika malam tiba di Mumbai dan suara sorak dari pesta ulang tahunnya perlahan meredup, mungkin Shah Rukh Khan duduk sendirian di balkon rumah mewahnya di Mannat, menatap laut hitam yang sama yang dulu ia tatap saat masih muda dan miskin.

Mungkin ia bertanya dalam hati:

 “Apakah ini arti kemenangan?”
“Apakah ini harga dari menjadi legenda?”

Di luar sana, laut yang sama membawa gelombang ke Gaza—membelai pantai yang kini berwarna abu.
Di sana, seorang ayah menggali dengan tangan kosong, mencari anaknya di bawah reruntuhan.
Di sini, seorang bintang menatap cermin, melihat dirinya yang dulu dan kini—dan mungkin, untuk sesaat, sadar bahwa semua kilau di dunia tak bisa menutupi bayangan dari hati yang diam terlalu lama.


---

“Seorang aktor bisa membuat jutaan orang menangis,” tulis seorang penyair,
“tapi hanya manusia yang berani yang bisa membuat dunia menangis karena kebenaran.”

Mungkin Shah Rukh Khan lupa baris itu.
Atau mungkin, ia sedang berlatih mengucapkannya di film berikutnya.
Hanya saja kali ini—penontonnya bukan bangsa India, tapi nuraninya sendiri.

Bosaso, Emas Darfur, Tentara Bayaran Kolombia dan Ambisi UEA di Sudan Pendahuluan: Suara Pesawat di Bosaso Di pelabuhan udara Bo...



Bosaso, Emas Darfur, Tentara Bayaran Kolombia dan Ambisi UEA di Sudan


Pendahuluan: Suara Pesawat di Bosaso

Di pelabuhan udara Bosaso, pinggir laut Teluk Aden, suara gemuruh pesawat angkut berat menggema menjelang senja: sebuah Ilyushin-76 putih mendarat perlahan, bergerak ke hangar yang tampak memperlihatkan bayangan operasi besar.

Penduduk setempat, yang dua tahun lalu jarang melihat kegiatan seperti ini, kini menyaksikan pendaratan rutin, bongkar muat kontainer bertanda “berbahaya”, dan pengamanan ketat yang membuat mereka mengernyit — apa yang tengah terjadi di Bosaso?

Menurut komandan senior Pasukan Polisi Maritim Puntland (PMPF) yang berbicara dengan kondisi anonim, “logistik segera dipindahkan ke pesawat lain yang siap terbang menuju Sudan dan RSF.”Sumber ini memberi tahu bahwa asal pesawat dan muatannya jelas: UEA.

Operasi ini bukan hanya pengiriman barang—melainkan sebuah urat nadi logistik militer yang menghubungkan tiga wilayah: Horn of Africa, Sudan, dan Teluk Arab.


Jejak Pengiriman Rahasia: Logistik, Radar, Kontainer

Investigasi berbasis pelacakan penerbangan, citra satelit, dan sumber diplomatik regional mengungkap pola yang sistematis. Beberapa fakta kunci:

Data lalu lintas udara menunjukkan peningkatan signifikan pendaratan pesawat kargo besar di Bosaso sejak awal 2024, sebagian besar menggunakan rute UEA → Puntland → Sudan.

Citra satelit (5 Maret 2025) memperlihatkan radar buatan Israel—sistem ELM-2084 3D AESA—terpasang dekat landasan utama Bosaso Airport. Radar ini dikenal sebagai elemen pertahanan udara canggih. 

Kontainer yang dibongkar ditandai “berbahaya”, tanpa rincian resmi, dan segera dilewati ke transportasi udara menuju Sudan. Seorang manajer senior pelabuhan menyebutkan “lebih dari 500.000 kontainer” dilintaskan melalui Bosaso dalam dua tahun terakhir.

Sumber Somali menyebut setidak-nya satu kamp militer para tentara bayaran Kolombia berdiri di dekat Bosaso, digunakan sebagai transit sebelum dikirim ke Sudan. 

Dengan demikian, Bosaso tampak bukan hanya sebagai pelabuhan pelindung anti-pembajakan atau pintu masuk bantuan kemanusiaan seperti yang dinyatakan secara publik. Ia telah berubah menjadi hub logistik militer tak resmi, memperkuat RSF di Sudan.


Tentara Bayaran Kolombia: Dari Bogotá ke Darfur

Skenario ini menjadi lebih nyata ketika laporan dari Sudan, Kolombia, dan Somalia menemukan bahwa ratusan mantan tentara Kolombia—dengan kontrak yang menjanjikan “keamanan dan perlindungan” di kawasan Teluk—malah dikirim ke Sudan untuk berperang bersama RSF.
Seorang mantan prajurit Kolombia yang diwawancarai secara anonim mengatakan:

 “Saya pikir saya akan menjaga ladang atau proyek di Teluk. Tidak pernah diberitahu bahwa saya akan mendarat di Bosaso, kemudian Nyala di Darfur, berhadapan dengan rudal dan pembantaian.”
Laporan resmi Sudan kepada PBB menyebut UEA mendukung perekrutan “Desert Wolves” Kolombia untuk RSF. 



Bongkar muat logistik, pesawat IL-76, kontainer “berbahaya”, dan prajurit bayaran—tapak-tapak ini membentuk mosaik yang menegaskan bahwa Bosaso menjadi transit penting. Apalagi ketika radar dan fasilitas bawah-radar lainnya menunjukkan bahwa UEA bukan hanya memfasilitasi muatan, tapi juga membangun infrastruktur pertahanan di sana. 


Politik Regional: Puntland, Mogadishu, dan Kedaulatan yang Dikecilkan

Wilayah Puntland secara resmi adalah bagian dari Somalia, namun hubungan langsungnya dengan UEA memunculkan masalah kedaulatan. Sumber resmi Puntland dan nasional mengaku tidak terlibat dalam persetujuan formal aktivitas militer UEA di Bosaso. Seorang mantan Menteri Luar Negeri Somalia, Abdisalan Muse Ali, berkata:

“Kalau bandara kami digunakan untuk penerbangan senjata menuju Sudan tanpa persetujuan Mogadishu, maka kami bisa menjadi bagian dari pelanggaran hukum internasional.” 

Presiden Puntland, Said Abdullahi Deni, dianggap sebagai sekutu dekat UEA, meski banyak aktivitas berlangsung tanpa persetujuan parlemen regional maupun pemerintah federal Somalia. 
Hal ini menimbulkan dilema: sementara Somalia membutuhkan dukungan luar untuk keamanan dan melawan al-Shabaab, kerja sama semacam ini justru meruntuhkan prinsip kedaulatan dan membuat Somalia sebagai arena proxy konflik regional.


Kepentingan Emas Darfur dan Jalur Laut Merah

Mengapa UEA melakukan semua ini? Di balik operasi logistik ada campuran motif ekonomi dan geopolitik. Darfur dan wilayah Sudan bagian barat kaya akan emas dan logam langka. RSF—yang awalnya bagian dari Janjaweed—mengendalikan sebagian besar tambang emas ilegal selama konflik Sudan. 
UEA melalui Dubai dianggap sebagai salah satu destinasi ekspor emas dari Sudan—sering kali tanpa transparansi. Dengan memastikan RSF tetap kuat, UEA menjaga aliran emas, sambil memperkuat posisinya di sepanjang jalur strategis Teluk Aden dan Laut Merah. 

Bosaso sebagai hub sangat ideal: dekat dengan Semenanjung Arab, relatif jauh dari kontrol reguler Mogadishu, dan sudah memiliki kehadiran militer UEA sejak lama (untuk pelatihan anti-pembajakan). Dengan tambahan radar dan fasilitas logistik, transport senjata dan personel melalui Bosaso menjadi lebih mudah dan tertutup.


Dampak Humaniter: Darfur, RSF, dan Runtuhnya Nurani

Sementara logistik dan strategi berjalan, di Darfur, korban berguguran. RSF yang diperkuat armada, bayaran, drone, dan logistik (sebagian dari rute Bosaso) telah dituduh melakukan eksekusi massal, pembantaian warga sipil, dan memblokir bantuan kemanusiaan. Laporan PBB dan kelompok HAM menyebut ada “alasan yang masuk akal untuk meyakini” kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi. 

Operasi logistik melalui Bosaso bukan hanya soal senjata—ia adalah jaringan yang memungkinkan kekerasan terstruktur. Ketika kontainer tanpa penjelasan dibongkar dan pesawat angkut tak diberi waktu untuk pendaratan pengintaian, angka korban meningkat—rumah sakit di el-Fasher dipenuhi korban, banyak di antaranya terekam dieksekusi oleh RSF.


Mekanisme Kelangsungan Perang: Mengapa “Bumi Hangus” Tak Pernah Berhenti

Konsep kita di sini mirip dengan strategi “bumi hangus” yang digunakan dalam sejarah: menghancurkan agar lawan tidak pernah bangkit. Namun adaptasi modern berbeda: bukan kota yang dibakar, melainkan fasilitas logistik, jaringan finansial, dan hukum internasional yang dipinggirkan.
Dengan hub seperti Bosaso, UEA dan RSF menciptakan mekanisme perang berkelanjutan:

Personel dibawa dari Kolombia,

Senjata diterbangkan melalui Somalia ke Sudan,

Kemenangan RSF di Darfur memperkuat posisi mereka,

Teluk Aden dan Laut Merah menjadi koridor senjata dan emas.


Dengan demikian, konflik bukan sekadar pertempuran di lapangan — ia menjadi ekonomi tertutup yang bergantung pada keberlanjutan mesin perang.


Kontradiksi Kekuatan: Ketahanan yang Melelahkan

Namun seperti strategi bumi hangus yang akhirnya gagal karena tidak meninggalkan fondasi peradaban, aliansi ini juga punya retakan. UEA bisa memasok senjata, tapi membiayai keberlanjutan konflik berarti beban diplomatik dan moral.

Somalia menghadapi risiko kedaulatan; Sudan mengalami penderitaan berkepanjangan; dunia Islam melihat bagaimana wilayah Afrika menjadi papan catur kekuatan besar.

Seperti yang ditulis sejarawan Arnold Toynbee:

“Peradaban tidak mati karena dibunuh; ia mati karena bunuh diri moral.”

Aliansi yang bergantung pada ekstaksi emas, senjata, dan bayaran tentara bayaran akhirnya membayar sendiri. UEA bisa tinggal jauh dari medan perang, tetapi nama-baiknya terancam—sedangkan RSF bisa menang tempur, tetapi kehilangan legitimasi.


Refleksi Akhir: Urusan Nurani dan Uranus Global

Operasi Bosaso adalah sebuah pentas kecil dari geopolitik besar: ketika sebuah bandara di Somalia digunakan sebagai pangkalan senjata ke Sudan, maka dunia melihat benang penghubung antara kekuasaan, sumber daya, dan kerusakan kemanusiaan.

Penutup ini mengajak kita bertanya: siapa yang menanggung biaya perang? Jawabannya: bukan hanya korban di Darfur, tetapi masyarakat global yang kehilangan norma, kedaulatan lokal yang dikorbankan, dan generasi yang mati tanpa kesempatan.

Kita diundang untuk menyaksikan bukan hanya statistik, tetapi hati nurani yang dipertaruhkan. Karena ketika operasi rahasia berhasil dalam gelap, ia tetap membiarkan cahaya nurani manusia bertanya—dan sejarah mendengarkan.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (1) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (567) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (258) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (1) Sirah Penguasa (243) Sirah Sahabat (156) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (13) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)