Apa Respon Tepi Barat dan Gaza atas Pelucutan Senjata Hamas?
Di sebuah teras rumah batu kuno di kota Ramallah, suara lonceng masjid terdengar lembut di gemuruh sirene militer malam. Seorang ibu menatap anaknya yang baru pulang dari kamp pelatihan—matanya mencerminkan kecemasan dan penantian. “Mengapa ia masih harus belajar memegang senjata?” tanya sang ibu. “Bukankah kita ingin merdeka dalam damai?”
Anak itu hanya menunduk. Di dalam dadanya, pertanyaan itu bergemuruh.
Hari ini, sebuah survei terbaru dari Palestinian Center for Policy and Survey Research (PCPSR) mengungkap bahwa sekitar 70 % warga Palestina menolak pelucutan senjata Hamas — termasuk hampir 80 % warga di Tepi Barat dan 55 % di Gaza.
Apa yang tersembunyi di balik angka itu? Apakah ini sekadar ekspresi kemarahan dan keputusasaan? Atau sebuah sinyal yang lebih dalam: bahwa senjata, bagi sebagian besar rakyat Palestina, bukan hanya alat perang — tetapi simbol harapan yang tak boleh dilucuti?
---
1. Suara rakyat yang menolak penyerahan alat perjuangan
Sore itu, di Nablus, sekelompok pemuda duduk di halaman sekolah berhias grafiti “Kebebasan atau Mati”. Seorang di antaranya, Yusuf, memberanikan diri bertanya:
“Kenapa kita harus menyerahkan senjata ketika musuh tak pernah menyerah menembus rumah-rumah kita?”
Jawaban-jawaban dalam jajak pendapat menyiratkan jawaban yang sama: meskipun perang meletus dan korban berjatuhan, mayoritas warga percaya bahwa tanpa senjata, mereka akan kehilangan bargaining-power, akan kehilangan suara. PCPSR mencatat bahwa bahkan ketika disodorkan skenario damai dari rencana perdamaian Amerika Serikat, mayoritas tetap pesimis. Sekitar 62 % warga Palestina tidak yakin rencana tersebut akan mengakhiri perang selamanya.
Dalam dialog reflektif: senjata itu mungkin beban, tapi pula jaminan — jaminan bahwa suara mereka tak sepenuhnya diabaikan oleh dunia.
---
2. Kenapa Tepi Barat “tak bersenjata” dan apa hasilnya
“Tepi Barat”—wilayah yang diduduki sejak 1967, tetapi berbeda dari Gaza dalam satu hal mencolok: tidak punya sayap bersenjata yang diakui seperti Hamas di Gaza. Namun, apakah kondisi “tanpa senjata” berarti damai? Tidak.
Wilayah ini dipenuhi pemeriksaan, pemukiman, pembongkaran rumah, dan bentrokan harian. Meski tak berbunyi senapan propaganda yang sama, rakyat masih hidup di bawah bayang-bayang kekerasan. Jajak pendapat menunjukkan bahwa justru di Tepi Barat penolakan terhadap pelucutan senjata Hamas paling tinggi — sekitar 80 %.
Dialog pun muncul:
“Kami tak punya senjata besar,” kata seorang warga kamp pengungsi di Jenin. “Tapi kami punya batu, dan kami punya ingatan. Bila senjata di Gaza dilucuti tapi kami tetap di Tepi Barat yang terkepung, apa bedanya?”
Sang ibu menanggapi: “Kalau damai tanpa senjata, kenapa anak-anak kita masih menembus pos pemeriksaan setiap hari?”
Refleksi ini membuat kita melihat bahwa kenyamanan damai tanpa kekuatan minimal, untuk sebagian warga, terasa semu. Tanpa senjata atau alat pertahanan apapun, negeri pendudukan terasa lebih menekan — dan luka‐lukanya lebih dalam.
---
3. Pelajaran dari sejarah: apa yang terjadi dengan PLO dan pelucutan senjata
Untuk memahami penolakan ini, penting kita sejarahkan pelucutan senjata pada aktor sebelumnya: PLO. Pada era 1990-an, setelah First Intifada dan perjanjian Oslo, PLO mulai proses transformasi dari gerakan bersenjata ke aktor politik—dan sebagian “menyerahkan” peran militer.
Pada saat itu, banyak orang berharap bahwa “membawa senjata ke meja diplomasi” akan membuka pintu penyelesaian. Tapi kenyataannya: proses perdamaian tersendat, pemukiman terus bertambah, harapan merdeka bergeser. Sejarawan mencatat bahwa pelucutan senjata PLO terjadi ketika “kompromi tanpa kejelasan” muncul — dan rakyat mulai kehilangan kepercayaan.
Maka, penolakan terhadap pelucutan senjata Hamas bukan sekadar pilihan saat ini — ia juga dipengaruhi oleh ingatan kolektif bahwa pelucutan tanpa jaminan konkret berakhir dengan kerugian. Rakyat berkata: “Kami sudah menyerah senjata; kemudian apa? Kami masih di bawah blokade, tetap di bawah pendudukan.”
---
4. Krisis kepercayaan terhadap lembaga dan rencana perdamaian
Dialog berubah menjadi lirih di sudut kafe kecil di Ramallah. Seorang guru mengusap kopi hangat, lalu kata-kata keluar:
“Rencana perdamaian datang dan pergi. Kami sudah lelah mendengar janji tanpa implementasi.”
Survei PCPSR menunjukkan bahwa 67 % warga di Tepi Barat dan 54 % di Gaza tidak yakin rencana Trump akan mengakhiri perang selamanya. Mereka tak hanya skeptis soal persenjataan Hamas; mereka skeptis terhadap seluruh perangkat perdamaian yang dipromosikan dunia luar.
Rasa frustrasi terhadap Fatah dan Palestinian Authority (PA) semakin mendalam: hanya 23 % yang puas dengan kinerja Presiden Mahmoud Abbas. Sementara di tengah itu, dukungan terhadap Hamas meningkat — 35 % warga Palestina mendukung Hamas dan hanya 24 % mendukung Fatah.
Ketika institusi kepercayaan runtuh, senjata pun dipandang sebagai “jaminan minimal” — bukan karena orang ingin perang, tapi karena mereka merasa tak punya pilihan lain.
---
5. “Senjata” sebagai simbol dan bukan hanya alat
Dialog dengan seorang pemuda di Gaza memperjelas:
“Senjata kami bukan untuk menyerang dunia, tapi untuk bertahan. Bila kami dilucuti senjata dan dunia tetap diam ketika rumah-rumah kami diratakan, maka damai kami hanyalah delusi.”
Senjata dalam konteks ini bukan semata fisik — ia adalah simbol perlindungan, simbol keadilan yang tertunda, dan simbol keberadaan yang tak mau dihapuskan.
Ketika warga menolak disarmament Hamas, mereka menolak pula gagasan bahwa “akan aman” bila senjata mereka lepas; karena kenyataannya, sejak 1967 hingga kini, keamanan mereka tetap rapuh. Mereka telah melihat bagaimana upaya PLO tanpa senjata seringkali tak membawa perlawanan struktural terhadap pendudukan.
Seorang analis kolonialisme pemukiman menulis: “Ketika populasi asli kehilangan kemampuan mempertahankan diri—fisik atau sosial—maka kolonisasi tak hanya berupa pemukiman fisik, tapi pemukiman memori dan identitas.”
Jadi, senjata menjadi bagian dari identitas yang dipertahankan—meski sebagian besar masyarakat tetap berharap damai, mereka takut damai yang datang lewat menyerah.
---
6. Kenapa mayoritas bukan minoritas dalam konteks ini
Ketika kita melihat angka-angka: hampir tujuh dari sepuluh menolak pelucutan senjata, ini bukan suara minoritas yang keras. Ini cerminan suara rakyat yang luas — meski sering tak terdengar dalam konferensi diplomatik dan perjanjian internasional.
Dialog di sebuah kamp pengungsi menyatakan:
“Kami tak memilih perang. Tapi bila damai datang dengan syarat kami tak punya daya untuk mempertahankan hidup kami, maka damai itu bukan pilihan — tapi kekalahan.”
Rasa suara yang tak punya pilihan inilah yang mendorong penolakan. Meski Hamas pun banyak kritiknya, mayoritas menilainya sebagai aktor yang paling menggambarkan keberanian rakyat — dan paling dipercaya dibanding lembaga resmi yang dianggap lama “bernegosiasi tapi tak memukul mundur pendudukan”.
---
7. Refleksi: Apa arti damai tanpa perlindungan?
Mari kita renungkan:
Damai tanpa senjata — apa itu? Jika pihak pendudukan masih memiliki kontrol penuh, mobilitas dibatasi, pemukiman terus diperluas, dan check-point tetap berdiri, maka damai seperti apa yang diraih?
Seorang ibu di Tepi Barat berkata:
“Anak saya harus melewati pos pemeriksaan tiap hari untuk sekolah. Senjata dia tak pegang. Tapi apakah hidupnya lebih aman?”
Kondisi ini mendorong pertanyaan reflektif: Apakah “pelucutan senjata” adalah bentuk nyata perdamaian — atau justru tanda bahwa rakyat telah mengendurkan kekuatan tawarnya? Untuk banyak warga, penolakan terhadap pelucutan adalah panggilan: “Jangan harap kami pasrah.”
---
8. Mengaitkan dengan sejarah PLO: pelajaran yang terlupa
Seperti yang kita lihat dari perjalanan PLO, proses transisi dari senjata ke politik tanpa disertai perubahan struktural menghasilkan frustrasi. Dalam studi sejarah, pelucutan senjata mereka berlangsung ketika konsesi datang — tapi hak kembali tak nyata, pemukiman tak berhenti.
Maka, suara hari ini juga mengandung warisan sejarah: “Kami tak akan mengulangi kesalahan kami sebelumnya.” Senjata bukan sekadar alat kekerasan, tetapi juga penjaga harapan—meskipun harapan itu rapuh.
---
9. Jalan ke depan: antara rezim “tanpa senjata” dan hak untuk bertahan
Jika kita berbicara tentang jalan ke depan, maka dialog kita harus lebih dalam:
Apa makna penyerahan senjata dalam konteks pendudukan dan kolonialisme pemukiman?
Bagaimana damai bisa dibangun tanpa rasa aman minimal?
Apakah lembaga politik Palestina sekarang mampu menjamin keamanan dan keadilan jika senjata dilepas?
Bagaimana masyarakat mengartikulasikan rasa keadilan dan pertahanan mereka dalam realitas kekuasaan yang timpang?
Dalam dialog yang muncul di kafe kecil, seorang aktivis muda berkata:
“Damai yang dipaksakan tanpa struktur yang adil adalah medan perang lain.”
Refleksi ini mengajak kita memahami: damai, perlucutan senjata, dan normalisasi bukan proses teknis semata—bahkan mungkin lebih persoalan kepercayaan dan kekuatan tawar.
---
10. Penutup: Bisu-nya senjata dan bicara rakyat
Di malam yang sunyi, ketika suara lonceng kembali meredup dan lampu lampu jalan menyala perlahan di Ramallah, kita mendengar bisik-bisik rakyat:
“Kami menolak menyerah senjata bukan karena kami menginginkan perang. Kami menolak karena kami takut damai yang datang lewat menyerah justru menjadi penjajahan yang lebih lembut.”
Angka-angka survei itu — 70 % menolak pelucutan senjata, 80 % di Tepi Barat — bukan sekadar statistik. Ia adalah gema hati jutaan warga yang hidup di bawah pendudukan, yang sehari-hari menyaksikan bahwa senjata bukan sekadar konflik, tetapi kondisi ketidak-setaraan.
Dalam kisah ini, kita belajar bahwa ketika rakyat memilih mempertahankan senjata, mereka sedang memilih untuk mempertahankan hak untuk bicara, hak untuk hidup bebas dari bayang-bayang kekerasan struktural. Jika kita ingin memahami konflik ini secara utuh, maka kita harus ikut mendengar suara yang tak suka menyerah—bukan karena mencari perang, tetapi karena takut akan damai yang merampas kehormatan.
“Damai yang kita cari bukan hanya bebas dari bom, tetapi bebas dari rasa dilecehkan.”
Dan di situlah, senjata menjadi metafora—bukan hanya alat perang, tetapi surat tuntutan: “Kami ingin diakui, kami ingin dibela, kami ingin hidup sebagai manusia yang setara.”
Dalam dialog-dialog malam itu, nampak pesan yang sama:
Bila senjata itu dilepas tanpa keadilan, maka senjata tersebut akan digantikan oleh penjajahan yang lebih sunyi.
Dan mungkin, itulah alasan utama mengapa mayoritas warga Palestina menolak pelucutan senjata Hamas hari ini — bukan karena mereka haus darah, tetapi karena mereka belum menemukan damai yang mau mendengar jeritan mereka.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif