basmalah Pictures, Images and Photos
Juli 2025 - Our Islamic Story

Choose your Language

Mengelola Informasi dan Intelijen di Era Rasulullah ﷺ Strategi Sunyi Sang Nabi dalam Perang dan Damai “Perang adalah tipu daya.”...


Mengelola Informasi dan Intelijen di Era Rasulullah ﷺ



Strategi Sunyi Sang Nabi dalam Perang dan Damai

“Perang adalah tipu daya.” – Nabi Muhammad ﷺ
(HR. Bukhari, Muslim)


1. Dasar Etika dan Tujuan Intelijen dalam Islam

Bagi Rasulullah ﷺ, informasi bukan sekadar alat untuk menang, melainkan sarana menjaga amanah, mencegah kebohongan, dan menyeimbangkan kekuatan. Strategi Nabi selalu dilandasi:

Keadilan: Tidak menggunakan informasi untuk menyebar fitnah.

Keamanan: Melindungi kaum Muslimin dari serangan mendadak.

Efektivitas Dakwah: Menghindari benturan sia-sia atau perang terbuka yang belum siap.



2. Bentuk dan Jenis Intelijen Rasulullah ﷺ

a. Pengintaian dan Pemantauan Musuh

Rasulullah ﷺ mengirim pengintai untuk mengamati pergerakan Quraisy, Bani Ghathafan, dan kabilah-kabilah Arab lainnya.

Dalam Perang Badar, beliau menugaskan Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam untuk mengumpulkan info lokasi logistik musuh.


b. Jaringan Informan dalam Kota

Di Madinah, ada jaringan mata-mata internal yang melaporkan gerakan Yahudi Bani Nadhir dan Bani Quraizhah yang berkhianat.

Sahabat seperti Hudzaifah ibn al-Yaman dijadikan mata-mata rahasia dalam situasi krusial seperti saat Perang Khandaq.


c. Disinformasi Taktis

Dalam ekspedisi Tabuk, Rasulullah menyebar informasi samar untuk menyulitkan musuh memprediksi tujuan perjalanan.

Dalam Fathu Makkah, Nabi ﷺ merahasiakan gerak pasukan hingga Quraisy tidak menyangka Makkah akan diserbu tanpa pertumpahan darah.



3. Keamanan Informasi dan Kerahasiaan Strategi

Rasulullah ﷺ sangat ketat dalam pengamanan informasi internal:

Contoh: Surat Rahasia dalam Perjalanan ke Makkah (Fathu Makkah)

Seorang sahabat, Hatib bin Abi Balta’ah, mengirim surat rahasia ke Quraisy untuk alasan pribadi. Surat itu dicegat atas wahyu Allah, dan Rasulullah ﷺ tidak langsung menghukumnya, tapi mengklarifikasi dan menjaga keadilan.

Ini menunjukkan betapa seriusnya kontrol informasi internal, sekaligus keadilan dalam menyikapi penyimpangan.



4. Peran Individu Kunci dalam Operasi Intelijen

Hudzaifah ibn al-Yaman
Dikenal sebagai “Pemegang Rahasia Rasulullah”.
Menyusup ke perkemahan Quraisy saat Perang Khandaq, menyaksikan rapat Abu Sufyan dan melaporkan kelemahan moril pasukan musuh.

Abdullah bin Jahsy
Ditugaskan untuk misi pengintaian awal terhadap Quraisy. Melakukan ekspedisi Nakhla, yang kemudian memicu insiden penting dalam babak awal konfrontasi.

Salman al-Farisi
Perannya dalam Perang Khandaq bukan hanya memberi ide penggalian parit, tapi juga sebagai konsultan strategis karena pengetahuannya terhadap taktik Persia.



5. Keunggulan Intelijen Rasulullah ﷺ Dibanding Musuh


Rasulullah saw
Strategi Tertutup, fleksibel, tidak terduga

Musuh
Kaku, terbuka

Rasulullah saw
Keamanan Informasi Sangat ketat, terkontrol

Musuh
Banyak kebocoran

Rasulullah saw
Moralitas Etis, tidak membunuh sipil

Musuh
Sering menyiksa mata-mata

Rasulullah saw
Kolaborasi Terorganisasi (Muhajirin-Anshar)

Musuh
Terpecah antar klan



Intelijen sebagai Bentuk Hikmah

Rasulullah ﷺ membuktikan bahwa pengelolaan informasi yang cerdas dan aman dapat menghindari banyak pertumpahan darah, mempercepat kemenangan, dan menjaga stabilitas umat.

Intelijen dalam Islam bukan jalan licik, tapi cara cerdas menjaga maslahat. Dalam sirah, kita tidak menemukan contoh Nabi membunuh tawanan untuk membungkam informasi, tapi justru memberi mereka peluang tobat dan dialog.



Penutup:

"Siapa yang menguasai informasi, dia menguasai peristiwa. Tapi siapa yang menguasai informasi dengan akhlak, dia menguasai masa depan."

Model intelijen Rasulullah ﷺ adalah kombinasi unik antara strategi, spiritualitas, dan etika—sesuatu yang jarang ditemukan dalam sejarah militer modern.

Pasukan Islam vs Pasukan Modern: Sebuah Perbandingan Sejarah dan Moralitas Tempur Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Kemenangan tidak h...

Pasukan Islam vs Pasukan Modern: Sebuah Perbandingan Sejarah dan Moralitas Tempur

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Kemenangan tidak hanya datang dari senjata, tapi dari hati yang yakin dan barisan yang kokoh."

Dalam lintasan sejarah, dunia telah menyaksikan berbagai model pasukan tempur: dari balatentara kaum Muslimin yang dibina Rasulullah ﷺ di padang pasir Arab, hingga pasukan berteknologi tinggi masa kini yang dikendalikan satelit dan AI. Namun, kemenangan tidak pernah hanya ditentukan oleh kelengkapan senjata, melainkan oleh kekuatan moral, kedisiplinan, dan kejelasan tujuan.



1. Asal dan Tujuan: Pasukan yang Digerakkan oleh Iman vs Kekuasaan

A. Pasukan Islam

Pasukan Islam pada masa Rasulullah ﷺ dan Khulafaur Rasyidin bukan sekadar tentara—mereka adalah umat yang bergerak dengan akidah. Mereka bukan dibayar, bukan dilatih karena ambisi dunia, melainkan karena keyakinan bahwa:

“Perang ini adalah jalan menuju ridha Allah.”

Tujuan utamanya bukan menjarah, tapi menegakkan keadilan, menghapus penindasan, dan menjaga amanah dakwah.


Seorang tentara Islam bahkan dilarang:

Membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua.

Merusak tanaman, rumah ibadah, atau membunuh hewan ternak tanpa alasan.

Disiplin moral mereka lahir dari iman, bukan sekadar hukum militer.

B. Pasukan Modern

Pasukan masa kini, terutama di negara-negara besar, lebih banyak digerakkan oleh:

Instruksi politik

Kepentingan ekonomi atau ideologi negara

Dalam banyak kasus—kontrak bayaran dan propaganda nasionalisme sempit

Akibatnya, tujuan mereka seringkali tidak transparan atau bahkan keliru secara moral, seperti:

Invasi Irak (2003) oleh AS berdasarkan informasi palsu.

Pemboman Gaza oleh IDF dengan dalih keamanan, tapi membunuh ribuan warga sipil.



2. Disiplin vs Dehumanisasi

A. Pasukan Islam

Disiplin ditegakkan lewat taqwa dan teladan.

Khalid bin Walid memimpin langsung di garis depan.

Umar bin Khattab melarang pasukannya menang dengan cara licik.

Disiplin mereka bukan kaku, tapi lahir dari rasa tanggung jawab kepada Allah.

B. Pasukan Modern

Disiplin bersifat mekanis, berdasarkan perintah dan hierarki.

Namun dalam praktik, sering muncul penyimpangan:

Pelecehan, penjarahan, pemerkosaan di medan perang.

Banyak tentara modern terjebak dehumanisasi musuh: membunuh karena musuh dianggap bukan manusia, tapi target.

Contoh tragis: pasukan AS di Vietnam atau Afghanistan yang mengalami trauma karena membunuh warga sipil—bukan karena kurang senjata, tapi karena tidak tahu lagi alasan mereka berperang.



3. Mental Tempur dan Ketahanan Jiwa

A. Pasukan Islam

Berperang dengan kesadaran spiritual tinggi.

Dalam Perang Badar, pasukan Muslim hanya 313 orang melawan 1.000 Quraisy.

Namun mereka menang karena keyakinan penuh bahwa “Allah bersama mereka.”

Setiap pertempuran menjadi ajang pembersihan jiwa dan ujian kesungguhan, bukan hanya perebutan wilayah.

B. Pasukan Modern

Banyak pasukan modern mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) setelah perang.

Kenapa? Karena mereka kehilangan makna dari kekerasan yang mereka lakukan.

IDF misalnya, kini menghadapi gelombang trauma, pembangkangan cadangan, dan keraguan internal—karena serangan terhadap Gaza dinilai brutal dan tidak bermoral oleh sebagian tentaranya sendiri.



4. Strategi yang Mengandung Akhlak

A. Pasukan Islam:

Bahkan dalam strategi militer, akhlak tetap dijaga.

Dalam Fathu Makkah, Rasulullah ﷺ masuk kota dengan tunduk, tanpa menumpahkan darah.

Dalam suratnya kepada tentara sebelum perang, Khalifah Abu Bakar memberi 10 larangan moral, termasuk: “Jangan membunuh pohon kurma, jangan merusak bangunan.”


B. Pasukan Modern:

Strategi militer modern sering tidak peduli pada akhlak:

Bom fosfor, drone tak berawak, hukuman kolektif.

Gaza dibombardir dengan alasan mencari Hamas, tapi yang hancur adalah rumah sakit, sekolah, dan keluarga sipil.

Akibatnya, musuh memang hancur, tapi legitimasi moral pasukan juga ikut gugur.



Siapa yang Sebenarnya Unggul?

Pasukan Islam menang bukan hanya di medan perang, tapi juga dalam nurani sejarah.
Sementara banyak pasukan modern menang secara teknologi, tapi kalah dalam hati nurani, legitimasi moral, dan kesatuan jiwa.

Peradaban masa kini bisa membangun tank canggih dan rudal pintar, tapi belum tentu bisa membangun tentara yang takut kepada Tuhan dan malu berbuat zalim. Itulah warisan besar yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ: bahwa perang tidak bisa dilepaskan dari akhlak, dan kemenangan sejati bukan hanya di bumi, tapi juga di langit.

Perang Tanpa Darah: Rasulullah dan Strategi Penghalauan Musuh Oleh: Nasrulloh Ketua IKADI Desa Sukmajaya Kec Tajurhalang  "...

Perang Tanpa Darah: Rasulullah dan Strategi Penghalauan Musuh

Oleh: Nasrulloh
Ketua IKADI Desa Sukmajaya Kec Tajurhalang 




"Kemenangan tak selalu diukir dengan pedang. Kadang, cukup dengan pikiran yang jernih, moral yang tinggi, dan strategi yang membuat musuh pulang tanpa sempat menyerang."

Dalam sejarah Rasulullah ﷺ, kita sering terpesona pada Badar yang gemilang, Khandaq yang bertahan, atau Khaibar yang ditaklukkan. Tapi ada bab penting yang kerap diabaikan: strategi tanpa pertumpahan darah. Rasulullah saw. bukan hanya panglima yang unggul dalam perang, tetapi juga ahli dalam mencegah perang—tanpa menyerah, tanpa tunduk, dan tanpa mundur dari prinsip.

Beliau mengajarkan bahwa menghindari darah tak berarti menghindari kemenangan. Bahkan, justru di situlah kemenangan tertinggi: menundukkan musuh tanpa menghancurkannya. Berikut adalah tiga contoh besar strategi penghalauan Rasulullah ﷺ yang tak kalah agung dari pertempuran berdarah.



Perang Tabuk: Mengusir Musuh dengan Bayang-Bayang Kekuatan

Konteks: Pasca Perang Mu’tah, kabar berkembang bahwa Romawi Timur (Byzantium) menyiapkan pasukan besar untuk menyerang Madinah. Rasulullah saw. tak menunggu serangan itu datang. Beliau bergerak lebih dulu, memobilisasi sekitar 30.000 pasukan dalam musim panas yang sangat berat.

Strategi:
Rasulullah saw. menyebarkan kabar keberangkatan secara terbuka, bukan sembunyi.nIni menciptakan efek psikologis: Romawi mengira kaum Muslimin sangat siap. Pasukan Muslim sampai di Tabuk, tanpa menemukan musuh.

Romawi mundur sendiri, tanpa satu pedang pun terhunus.


Pelajaran:
Kadang, kekuatan yang dipamerkan cukup untuk membatalkan niat lawan. Tabuk adalah kemenangan tanpa pertempuran, hasil dari mobilisasi moral dan logistik yang matang.




Perjanjian Hudaibiyah: Menunda Perang, Mempercepat Penaklukan

Konteks: Rasulullah saw. dan 1.400 sahabat berangkat ke Makkah untuk umrah. Tapi Quraisy menghadang. Situasi menegang: dua pasukan berhadapan di pinggir kota suci. Tapi Rasulullah saw. tidak memaksakan perang.

Strategi:
Beliau mengutus Utsman bin Affan sebagai negosiator. Terjadilah kesepakatan damai Hudaibiyah—yang secara kasat mata tampak merugikan kaum Muslimin.


Namun setelah perjanjian itu, dua tahun kemudian:

1. Jumlah Muslim berlipat ganda karena dakwah bisa dilakukan tanpa hambatan.
2. Quraisy justru melanggar perjanjian.
3. Rasulullah menaklukkan Makkah tanpa perlawanan, karena secara moral dan politik beliau sudah unggul total.


Pelajaran:
Menunda pertempuran bukan berarti kalah, tapi menunggu waktu terbaik untuk menang secara utuh.



Fathu Makkah: Menaklukkan Tanpa Membalas Luka Lama

Konteks: Setelah pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. memimpin 10.000 pasukan menuju Makkah. Kota yang dahulu mengusir, menyiksa, dan memerangi beliau kini berada di hadapan.

Strategi:
Rasulullah saw. membagi pasukan ke dalam beberapa rute, untuk mengepung Makkah secara psikologis dan menghindari bentrokan langsung. Beliau melarang pertumpahan darah, kecuali jika sangat terpaksa.

Kaum Quraisy memilih menyerah, melihat jumlah dan kedisiplinan pasukan Muslim.


Reaksi Rasulullah:

“Pergilah, kalian semua bebas.” (HR. Ibnu Ishaq)



Pelajaran:
Kemenangan sejati bukan sekadar menguasai kota, tetapi memaafkan musuh dan mengembalikan kehormatan yang pernah diinjak.



Strategi Penghalauan: Kemenangan Tanpa Kebencian

Apa benang merah dari semua peristiwa ini? Rasulullah ﷺ:

1. Menguasai situasi lebih dulu dari musuh.
2. Memakai kekuatan sebagai alat pengendali, bukan penghancur.
3. Mendahulukan dialog jika pintu masih terbuka.
4. Menghindari perang demi mencegah kerusakan yang lebih besar.


Ini bukan kelemahan, tapi kebijaksanaan. Rasulullah tahu: perang tidak hanya menguras fisik, tapi juga menghancurkan struktur sosial, menyisakan dendam, dan membakar generasi.



Refleksi Gaza: Dapatkah Strategi Ini Hidup Kembali?

Hari ini, Gaza adalah ladang pertempuran terbuka. Tapi pejuang Palestina juga kerap memakai strategi penghalauan:

1. Menggunakan efek kejut dan manuver terowongan untuk membuat Israel mundur.
2. Mengatur waktu serangan psikologis, bukan frontal.
3. Mendiamkan kampanye propaganda, tapi memukul dengan fakta lapangan.

Namun yang hilang dari dunia Muslim saat ini adalah kemampuan mengusir musuh tanpa perang terbuka. Bukan karena tidak bisa, tapi karena kita kehilangan kepemimpinan strategis seperti Rasulullah saw. yang memahami: kemenangan bukan tentang jumlah korban, tapi tentang perubahan tatanan.



Penutup: Membaca Medan, Menghalau Tanpa Luka

Rasulullah ﷺ mengajarkan kita bahwa kadang pedang disarungkan bukan untuk tunduk, tapi untuk menang lebih bersih. Perang tanpa darah adalah seni yang hanya dimiliki oleh mereka yang kuat secara lahir dan batin.

Di dunia yang gaduh oleh peluru dan drone, kita butuh kembali pada strategi yang pernah membuat musuh gemetar hanya dengan niat, bukan tembakan. Itulah perang yang dirancang oleh akal, dan dimenangkan oleh rahmat.


“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Al-Anfal: 61)

Bangsa yang Terganggu: Ketika Israel Fokus pada Perang, Negara-Negara Tetangganya Justru Maju dalam Perlombaan AI Oleh: Sulaiman...

Bangsa yang Terganggu: Ketika Israel Fokus pada Perang, Negara-Negara Tetangganya Justru Maju dalam Perlombaan AI


Oleh: Sulaiman Shoshanna

Israel, yang dikenal sebagai “Startup Nation”, mulai tertinggal dalam perlombaan global kecerdasan buatan (AI) akibat fokus berkepanjangan pada konflik militer, terutama dengan Hamas dan Iran. Sementara itu, negara-negara tetangganya seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi justru melesat dalam pengembangan infrastruktur AI, strategi nasional, dan aliansi teknologi.

Fakta Utama:

Nvidia, perusahaan chip terbesar dunia, berencana membangun kampus AI besar di Israel utara, menunjukkan kepercayaan terhadap talenta lokal, tetapi juga menggarisbawahi tekanan agar Israel tidak tertinggal.

UEA dan AS baru saja meresmikan kampus AI terbesar di luar AS di Abu Dhabi, bekerja sama dengan perusahaan top seperti OpenAI, Nvidia, Cisco, dan Oracle.

Israel absen dalam proyek strategis itu — yang menurut pakar merupakan “kesempatan yang terlewatkan” akibat Israel terlalu fokus pada perang Gaza dan Iran.

Arab Saudi dan UEA unggul dalam strategi pemerintahan dan infrastruktur, meski masih kalah dalam hal talenta dibanding Israel.

Israel memiliki sekitar 2.300 startup AI dan pusat R&D dari lebih 30 perusahaan chip global, namun minim strategi nasional dan investasi infrastruktur.


Kekhawatiran Para Pakar:

Israel turun peringkat dalam indeks global AI karena:

Kurangnya visi pemerintah.

Lambatnya implementasi Program Nasional AI 2021.

Teralihkan oleh krisis politik dan perang.


Uri Gabai (CEO RISE Israel) dan Prof. Eran Toch memperingatkan bahwa Israel bisa tertinggal jika tidak segera menyusun strategi komprehensif.


Data Penting:

Investasi AI global 2024:

AS: $109 miliar

China: $9,3 miliar

Inggris: $4,5 miliar


Indeks Global AI Tortoise (2024):

Israel turun dari peringkat 5 ke 9.

Singapura naik ke peringkat 3.

Arab Saudi dan UEA naik pesat, ungguli Israel dalam strategi dan lingkungan regulasi.


Perkembangan AI di UEA dan Arab Saudi

UEA:

Menunjuk menteri AI sejak 2017.

Meluncurkan strategi AI nasional.

Mendirikan Universitas Kecerdasan Buatan Mohamed bin Zayed pada 2019.

Dinilai oleh AS (Mei 2025) sebagai negara yang berada di jalur tepat untuk menjadi pusat AI global.


Arab Saudi:

Mendirikan perusahaan khusus AI pada Mei 2025.

Berencana membentuk dana investasi AI sebesar $40 miliar.

Bertujuan menjadi pemain utama AI dunia.



Kekhawatiran di Kalangan Akademisi Israel

Dr. Shimon Shahar (Universitas Tel Aviv) menyatakan frustrasi atas minimnya dukungan dana untuk riset AI.

Anggaran ideal: $10–20 juta per tahun.

Anggaran aktual: hanya sekitar $2–2,5 juta.

Hal ini membatasi daya saing dan kemampuan menarik talenta terbaik.


Kekurangan investasi di sektor pendidikan dan penelitian berisiko menyebabkan eksodus talenta startup ke luar negeri.


Upaya Terbaru Israel

Otoritas Inovasi Israel meluncurkan:

Superkomputer nasional hasil kerja sama dengan Nebius (kapasitas 4.000 GPU).

Rencana strategis: lembaga riset nasional, akses data, riset AI skala besar, dan pelatihan pakar AI.


Nvidia mengumumkan pembelian lahan untuk kampus R&D besar—dipandang sebagai sinyal positif dan kepercayaan jangka panjang pada ekosistem Israel.


Pandangan Pakar

Avi Hasson (CEO Startup Nation Central):

Mengakui Israel ketinggalan start: “Kita memulai 100 meter di belakang.”

Meski tidak diundang ke proyek regional, Nvidia menunjukkan Israel masih punya peran penting.

Namun, tanpa strategi nasional yang kuat, Israel berisiko tidak mencapai potensi maksimal di sektor AI.

Strategi Waktu dan Cuaca Rasulullah saw. dalam Perang Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik kejayaan Rasulullah ﷺ dalam banyak per...


Strategi Waktu dan Cuaca Rasulullah saw. dalam Perang

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di balik kejayaan Rasulullah ﷺ dalam banyak pertempuran, tersembunyi kecerdasan strategi yang kerap luput dari pembacaan awam: pengelolaan waktu dan pembacaan cuaca. Rasulullah tidak hanya membaca peta bumi, tetapi juga menafsirkan pergerakan langit. Dalam setiap perang, beliau tidak tergesa menyerang, tetapi mengukur waktu terbaik untuk bergerak, menunggu cuaca memihak, dan membiarkan musuh jatuh oleh kelelahannya sendiri.

Empat perang besar—Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar—menjadi contoh nyata bagaimana Rasulullah saw. bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga komandan waktu dan penakluk musim.



Perang Badar: Menunggu Hujan, Menang dengan Tenang

Konteks Waktu dan Cuaca:
Perang Badar terjadi pada 17 Ramadan tahun ke-2 Hijriah. Saat itu, pasukan Muslim lebih dahulu sampai di lokasi dan menghadapi malam penuh ketegangan. Namun, sebelum fajar, turun hujan yang deras.

Makna Strategis:

Hujan membersihkan debu hati dan medan yang akan dilalui kaum Muslimin.

Pasir tempat kaum Muslim berpijak menjadi padat, memudahkan gerak.

Sebaliknya, jalan Quraisy menjadi licin dan berat.


“Dan Allah menurunkan hujan dari langit kepadamu untuk membersihkan kamu, menghilangkan gangguan setan, dan memperkokoh hatimu.” (QS. Al-Anfal: 11)

Pengelolaan Waktu: Rasulullah saw. tidak tergesa menyerang. Beliau menunggu musuh datang, memosisikan pasukan dengan arah angin dan matahari di belakang mereka. Beliau memilih waktu pagi sebagai awal pertempuran, saat semangat masih tinggi dan fisik belum lelah.



Perang Uhud: Kemenangan yang Hilang karena Ketergesaan

Konteks Waktu dan Cuaca: Uhud terjadi pada pagi hari. Cuaca terang dan panas menjelang siang. Pasukan Muslim awalnya menguasai medan. Namun, saat pasukan Quraisy mundur, sebagian pemanah di Bukit Rumat turun, menyangka perang telah usai.

Makna Strategis:

Waktu serangan balik musuh terjadi saat pasukan Muslim mulai lengah.

Cuaca panas memicu kelelahan, menurunkan kewaspadaan.

Khalid bin Walid (saat itu musuh) menyerang dari belakang ketika waktu dan kondisi berpihak padanya.


Pelajaran: Perang bisa dimenangkan oleh taktik. Tapi jika waktu tak dijaga—jika pasukan terburu menjemput rampasan—maka kemenangan berubah jadi kekalahan.



Perang Khandaq: Menanti dalam Dingin, Menang Tanpa Darah

Konteks Waktu dan Cuaca: Terjadi di musim dingin panjang. Pasukan Quraisy dan sekutunya mengepung Madinah selama hampir sebulan. Madinah saat itu dikelilingi angin gurun yang dingin dan menyakitkan.

Makna Strategis:

Rasulullah saw. tidak menyerang. Beliau bertahan, membiarkan waktu dan cuaca melemahkan musuh.

Angin kencang membuat tenda-tenda musuh rubuh, makanan rusak, semangat hancur.

Malam-malam yang beku menghantam mental para pengepung lebih keras dari tombak.


“Dan Allah mengirimkan angin dan pasukan-pasukan yang tidak kamu lihat.” (QS. Al-Ahzab: 9)

Pengelolaan Waktu: Menunda pertempuran, menunggu keletihan musuh. Waktu menjadi senjata, dan cuaca menjadi sekutu Allah yang memecah kekuatan tanpa pertempuran terbuka.



Perang Khaibar: Menyerang Saat Subuh, Menaklukkan dalam Sekejap

Konteks Waktu dan Cuaca: Perang Khaibar terjadi di pagi hari. Rasulullah saw. dan pasukannya datang diam-diam, lalu menyerang saat fajar ketika penduduk benteng keluar membuka ladang.

Makna Strategis:

Cuaca pagi di dataran tinggi Khaibar dingin dan berkabut.

Musuh tidak siap, kaget, dan tidak sempat kembali ke posisi bertahan.

“Kami mendatangi Khaibar di pagi hari. Penduduknya keluar membawa cangkul dan keranjang. Ketika melihat kami, mereka berteriak, ‘Muhammad dan pasukannya!’ lalu mereka melarikan diri ke dalam benteng.” (HR. Bukhari)

Pengelolaan Waktu: Rasulullah saw. memilih jam paling tenang, ketika musuh dalam keadaan paling santai. Waktu adalah alat kejutan yang lebih tajam dari senjata.



Waktu dan Cuaca Bukan Netral, Tapi Senjata

Rasulullah saw. mengajarkan bahwa waktu bukan angka, tapi keputusan. Dan cuaca bukan hambatan, tapi alat ilahi. Dari hujan di Badar, matahari Uhud, dingin Khandaq, hingga subuh Khaibar, semua menjadi bagian dari strategi kenabian.

Hari ini, pejuang Gaza membaca siang dan malam seperti Rasulullah membaca langit Madinah. Mereka menyerang saat musuh lelah, bersembunyi saat drone buta karena kabut, dan bertahan saat malam menutupi langkah mereka.

Karena langit selalu berpihak pada mereka yang membaca waktu dengan iman dan bertindak dengan hikmah.

Strategi Rasulullah dalam Dimensi Geospasial Sebelum Pertempuran  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di setiap medan perang, sebelum sen...

Strategi Rasulullah dalam Dimensi Geospasial Sebelum Pertempuran 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di setiap medan perang, sebelum senjata diangkat dan takbir dikumandangkan, Rasulullah ﷺ terlebih dahulu mengamati tanah, membaca arah angin, menghitung jarak, dan menakar langkah. Dalam sunyi malam atau terik siang, beliau tidak pernah mengandalkan keberanian saja—melainkan perhitungan matang terhadap ruang dan waktu.

Inilah sisi Rasulullah yang sering luput dari sorotan: beliau adalah pemimpin strategis yang menjadikan peta sebagai bagian dari iman. Badar dimenangkan bukan oleh jumlah, tapi oleh posisi. Uhud hampir diraih, tapi jatuh karena satu celah terbuka. Khandaq dipagari bukan oleh dinding, tapi oleh parit. Khaibar ditaklukkan bukan dengan frontal, tapi dengan pembacaan struktur benteng yang cermat.

Hari ini, kita menyaksikan Gaza—sebidang tanah kecil yang dikepung dari segala arah—berubah menjadi labirin perlawanan. Dunia bertanya: bagaimana mungkin pejuang tanpa angkatan udara, tanpa peluru pintar, dan tanpa negara, mampu memukul mundur pasukan yang digelari tak terkalahkan? Jawabannya sederhana: karena mereka membaca tanah sebagaimana Rasulullah ﷺ dahulu membaca medan.



Mengapa Pemetaan Wilayah Adalah Kunci Kemenangan?

Setiap perang adalah benturan kekuatan. Tapi kekuatan bukan semata jumlah pasukan atau senjata. Salah satu kunci kemenangan adalah pemahaman terhadap wilayah pertempuran.

Pemetaan wilayah berarti:

1. Mengetahui kontur tanah: datar, bukit, lembah, batu, atau rawa.
2. Mengenali jalur suplai dan air, tempat persembunyian, jalur pelarian.
3. Membedakan antara tempat bertahan dan tempat menyerang.

Dalam strategi Rasulullah saw., pemetaan wilayah selalu dilakukan sebelum pertempuran dimulai. Dan setelahnya, barulah:

1. Penempatan pasukan ditentukan secara taktis.

2. Pengelompokan pasukan berdasarkan fungsi: infanteri, pemanah, pasukan kavaleri.

3. Simulasi skenario pertempuran, termasuk rute mundur atau jebakan musuh.



Perang Badar: Menguasai Sumur, Mengunci Jalur

Medan:
Tanah lapang berpasir di Badar, dengan beberapa sumur air strategis.

Pemetaan:
Rasulullah saw. dan para sahabat awalnya berkemah di tempat yang tidak terlalu menguntungkan. Namun Hubab bin Mundzir mengajukan usulan:

"Wahai Rasulullah, jika ini bukan wahyu, melainkan strategi, maka izinkan aku menyarankan: kita tempati sumur paling dekat dari musuh, keringkan sumur lainnya, dan cegah mereka dari air."

Rasulullah menerima masukan itu dan memindahkan posisi pasukan.

Hasil:
Musuh kehausan, pasukan Muslim tetap bugar. Pemetaan air = pemetaan kemenangan.



Perang Uhud: Bukit yang Dikhianati

Medan:
Lembah luas di kaki Gunung Uhud, dengan jalur sempit di belakangnya.

Pemetaan:
Rasulullah saw. memetakan kemungkinan serangan kavaleri musuh. Maka beliau menempatkan 50 pemanah di atas Bukit Rumat, dengan pesan keras: "Jangan tinggalkan pos kalian meski kalian melihat kami menang atau kalah."

Krisis:
Sebagian pemanah turun lebih awal, celah terbuka, dan Khalid bin Walid (saat itu di pihak Quraisy) memutar dari belakang.

Pelajaran:
Pemetaan telah tepat, tapi disiplin menjaga posisi adalah ujian keimanan dalam strategi.



Perang Khandaq: Kota Dilindungi Parit

Medan:
Madinah dikepung bukit batu, tapi hanya sisi utara yang terbuka.

Pemetaan:
Atas saran Salman al-Farisi, parit digali sepanjang sisi utara, tempat yang terbuka untuk serangan. Wilayah barat dan timur sudah tertutup oleh kebun dan bangunan padat. Selatan terlindungi oleh pemukiman Bani Quraizhah (yang awalnya bersumpah setia).

Strategi:
Gali parit bukan untuk menyerang, tapi mengunci musuh. Pertahanan kota = pasukan tak perlu maju jauh.

Hasil:
Pasukan musyrik berbulan-bulan terjebak tanpa bisa masuk. Cuaca dan kebosanan memecah mereka sendiri.



Perang Khaibar: Mengurai Benteng, Menaklukkan Satu per Satu

Medan:
Wilayah pertanian dan perkebunan luas, dengan beberapa benteng kuat yang saling terpisah.

Pemetaan:
Alih-alih menyerang semua sekaligus, Rasulullah saw. mengelompokkan benteng dan menyerangnya satu demi satu:
Benteng Na’im, Benteng Qamus dan Benteng Al-Wathih.

Strategi:
Isolasi logistik tiap benteng, kejut psikologis, dan pengepungan rapi.

Taktik:
Gunakan kavaleri untuk menghalau pasukan bantuan. Serbu saat musuh kelelahan atau kehabisan stok makanan.



Dari Khaibar ke Gaza: Peta Adalah Senjata Baru

Hari ini, Gaza yang kecil dan terkepung adalah simbol kemenangan dari bawah. Tapi kemenangan mereka bukan tanpa ilmu.

Pejuang Gaza memetakan:

1. Jalur bawah tanah seperti saluran air dan gorong-gorong.
2. Jaringan komunikasi antar wilayah.
3. Rute penyergapan tank dan penembak jitu.
4. Wilayah padat penduduk sebagai tameng sipil, yang secara etika menjebak Israel pada dilema hukum internasional.

Mereka memetakan peta bawah tanah dan psikologi tentara Israel. Maka tank pun bisa dihancurkan oleh anak muda bersendal jepit, karena ia tahu celah tank—bukan hanya titik lemah mesinnya, tapi kelelahan mental pengendaranya.

Gaza adalah Badar yang lain. Tapi medan telah berubah dari pasir ke terowongan, dari sumur ke bunker, dari Jabal Rumat ke menara apartemen.



Peta Tak Pernah Netral

Pemetaan wilayah bukan hanya untuk militer. Ia adalah ilmu membaca ruang dan strategi membangun harapan. Rasulullah saw. memetakan tanah agar darah tak tumpah sia-sia. Pejuang Gaza memetakan reruntuhan untuk membangkitkan kehormatan.

Dan hari ini, pertanyaannya untuk kita:
Sudahkah kita memetakan wilayah perjuangan kita masing-masing? Atau kita masih bertempur dalam gelap, tanpa arah dan ilmu?

Mengapa Kekuasaan Besar Justru Runtuh dari Dalam? Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, ...

Mengapa Kekuasaan Besar Justru Runtuh dari Dalam?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, ketika melihat dirinya cukup.”
(QS. Al-‘Alaq: 6–7)

Kekuasaan tak runtuh karena musuh dari luar. Ia hancur karena penyakit dari dalam: kerakusan, kesombongan, dan obsesi untuk menghancurkan musuh tanpa sisa. Sepanjang sejarah, tirani tak pernah lama. Bukan karena lemahnya senjata, tapi karena terlalu percaya diri pada senjata itu sendiri.

Dua tokoh dalam sejarah dan masa kini bisa menjadi cermin: Firaun, penguasa Mesir kuno, dan Netanyahu, pemimpin Israel modern. Keduanya berdiri di puncak kuasa, mengendalikan kekuatan militer, ekonomi, dan media. Tapi keduanya juga memperlihatkan gejala klasik dari keruntuhan: menguatkan kendali, tapi kehilangan kepercayaan; memenjarakan perbedaan, tapi dibelah oleh retakan internal.



Kerakusan Melemahkan Kekuasaan

Firaun memonopoli sumber daya Mesir, dibantu Qarun, si penguasa harta. Tapi justru kerakusan ini menciptakan ketimpangan sosial, ketakutan struktural, dan kemarahan rakyat. Kekuasaan yang hanya mengalir ke atas akan membusuk di atas, lalu retak ke bawah.

Netanyahu juga dibekingi oleh para oligark Yahudi global, elite ekonomi, dan perusahaan pertahanan. Tapi Gaza yang diratakan hingga ke fondasinya justru membuat Israel kehilangan simpati dunia, menguras anggaran, dan melemahkan ekonomi domestik. Kekuasaan yang rakus membakar apa saja—termasuk fondasinya sendiri.

Ketika kekuasaan mengubah semua menjadi miliknya, ia tak menyisakan tempat untuk menopang dirinya.



Kesombongan Menjadi Lubang Pertama di Dinding Kekuasaan

Firaun berkata:

“Akulah tuhan kalian yang tertinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)

Ia percaya kekuasaannya tak terbatas. Tapi justru karena terlalu yakin bahwa tak ada yang bisa mengalahkannya, ia menolak semua kritik. Bahkan ketika pejabat istana sendiri mengingatkan, ia tetap mengejar Musa sampai ke laut.

Netanyahu berkata:

“Tidak akan ada kekuasaan Palestina di Gaza selama saya hidup.” (2024)

Ia menolak semua usulan pasca-perang, bahkan dari Menteri Pertahanannya. Ia mengecam jenderal-jenderalnya, membungkam peringatan para analis. Tapi dari dalam sistemnya sendiri, kabinet perang runtuh, IDF bersuara, rakyat muak. Kesombongan tidak membuat langit tunduk—ia hanya membuat lantai tempat kita berdiri retak pelan-pelan.

Kesombongan itu seperti membangun istana megah di atas pasir: megah, tapi tak bertahan.



Penghancuran Total Justru Memunculkan Kekuatan Baru

Firaun ingin menghancurkan Musa, bahkan membunuh seluruh bayi Bani Israil demi mematikan benih kenabian. Tapi yang ia basmi justru melahirkan gelombang keimanan. Tongkat Musa mengalahkan sihir. Laut pun memilih Musa.

Netanyahu ingin menghancurkan Hamas hingga ke akar. Tapi setelah berbulan-bulan menggempur, dukungan terhadap Hamas di Gaza meningkat, resistensi tak padam, dan generasi baru pejuang lahir di bawah reruntuhan. Upaya mematikan justru melahirkan keyakinan.

Mereka yang menindas kebenaran dengan kekerasan, justru memberi cahaya baru bagi kebenaran itu untuk bersinar.



Diktator Tidak Pernah Menguatkan Kekuasaan

Firaun bukan hanya penguasa; ia adalah diktator spiritual, politis, dan simbolik. Tapi kekuasaan yang berdiri tanpa koreksi tak akan lama. Bahkan sihir pun tak bisa menutupi ketelanjangan otoritas. Ketika para ahli sihir sujud kepada Musa, dunia tahu bahwa Firaun bukan siapa-siapa.

Netanyahu bukan diktator secara formal. Tapi dalam praktik, ia bertindak tanpa mendengar. Ia abaikan nasihat, usulan, bahkan kritik internal. Ia bertahan bukan karena visi, tapi karena kekacauan koalisinya lebih takut jika ia tumbang.

Seorang diktator tak pernah kuat karena sendirinya. Ia hanya terlihat kuat karena semua orang takut bicara.



Mengapa Kekuasaan Besar Justru Runtuh dari Dalam?

Karena kekuasaan adalah ujian, bukan hak milik.
Karena kekuasaan tanpa moral hanya menciptakan kehancuran yang angkuh.
Karena saat semua orang takut pada pemimpin, tak ada yang berani berkata: “Itu jalan yang salah.”

Firaun tenggelam bukan karena Musa lebih kuat, tapi karena ia menolak peringatan dari dalam.
Netanyahu sedang digiring oleh sejarah ke jalan yang sama: menolak kritik, menyalahkan bawahan, dan menutup diri dari solusi.

Jika sejarah berulang, bukan Hamas yang akan menjatuhkan Netanyahu. Melainkan Netanyahu sendiri, yang menolak mendengar suara nurani dari dalam sistemnya.

“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru ke neraka.” (QS. Al-Qashash: 41)





Firaun yang Kokoh Saja Tak Bisa,  Apalagi Netanyahu yang Hancur di Dalam? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kekuasaan bisa terlihat kok...

Firaun yang Kokoh Saja Tak Bisa,  Apalagi Netanyahu yang Hancur di Dalam?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Kekuasaan bisa terlihat kokoh dari luar—dikelilingi pasukan, dipuja para elite, dilindungi harta dan propaganda. Tapi sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan yang menolak kebenaran, berakhir dalam kehinaan. Firaun adalah lambang keangkuhan absolut. Ia bukan hanya raja Mesir, tapi simbol sistem penindasan yang sempurna—di mana militer, ekonomi, birokrasi, dan media tunduk pada satu kehendak: menolak wahyu.

Namun, bahkan kekuatan sebesar itu pun tak sanggup membungkam kebenaran yang dibawa Nabi Musa. Maka hari ini, ketika Benjamin Netanyahu berkuasa dengan militer tercanggih, dukungan dunia Barat, dan parlemen penuh loyalis, pertanyaannya sederhana: jika Firaun yang kokoh saja tak mampu mengalahkan Nabi Musa, bagaimana mungkin Netanyahu yang hancur di dalam bisa menghancurkan Gaza?



Kekuasaan Firaun: Oligarki yang Menjadi Mesin Penindasan

Firaun tak berdiri sendiri. Ia dikelilingi lingkaran oligarki:

Haman, sang teknokrat kekuasaan, mengendalikan proyek besar dan pengaruh struktural.

Qarun, elit ekonomi dan simbol kerakusan harta, menopang kekuasaan dengan kekayaan.

Ahli sihir, pengendali opini publik, mengubah kenyataan menjadi ilusi.

Pejabat istana, birokrat patuh yang lebih takut kehilangan jabatan daripada membela kebenaran.


Ketika Nabi Musa datang dengan risalah Tauhid dan pembebasan Bani Israil, seluruh sistem ini dikerahkan untuk menindasnya. Firaun menggiring rakyat dengan narasi manipulatif:

“Sesungguhnya dia (Musa) adalah penyihir ulung, yang ingin mengeluarkan kalian dari negeri ini dengan sihirnya. Maka apa yang kalian perintahkan?” (QS. Asy-Syu‘arā’: 35-36)

Satu narasi dibangun: Musa adalah ancaman bagi stabilitas, agama, dan bangsa.



Dakwah Musa di Tengah Istana Tirani

Musa berdakwah bukan di pinggir jalan, tapi di tengah istana. Ia menatap langsung ke mata penguasa dan berkata:

“Sampaikanlah kepada Firaun: Sesungguhnya aku adalah utusan Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 16)

Tapi bukan argumen yang dijawab Firaun—melainkan ancaman. Ketika tongkat Musa berubah menjadi ular besar, Firaun memanggil seluruh ahli sihir untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya.

Pertarungan itu terjadi di depan publik. Tapi ketika Musa mengalahkan mereka, para ahli sihir justru sujud:

“Kami beriman kepada Tuhan Musa dan Harun.” (QS. Thaha: 70)

Firaun pun murka. Kekalahan logika dan spiritual ini dibalas dengan kekerasan. Ia menyiksa mereka yang percaya. Tapi iman sudah menembus ilusi.



Suara Nurani dari Dalam Istana

Salah satu dari kalangan istana, yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “lelaki mukmin dari keluarga Firaun,” memberanikan diri memberi kritik:

“Apakah kamu akan membunuh seseorang hanya karena dia berkata ‘Tuhanku adalah Allah’? Jika ia berdusta, dosanya atasnya. Tapi jika ia benar, bukankah kita yang binasa?” (QS. Ghafir: 28)

Namun Firaun tuli terhadap kritik. Ia tetap mengejar Musa, hingga akhirnya ia sendiri—bukan utusannya—memimpin pengejaran ke Laut Merah. Dan di sanalah dia tenggelam.



Netanyahu: Kuat dari Luar, Retak dari Dalam

Netanyahu hari ini juga mengendalikan sistem kekuasaan:

IDF sebagai Haman: kekuatan militer supercanggih

Elite ekonomi dan miliarder Zionis sebagai Qarun

Media dan propaganda global sebagai ahli sihir modern

Koalisi sayap kanan dan ultra-Ortodoks sebagai pejabat istana


Tapi semua itu kini retak. Sejak 7 Oktober 2023, Netanyahu kehilangan kepercayaan para jenderalnya. Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengkritik keras kebijakan perang yang tak jelas. Kepala Staf IDF, Herzi Halevi, menyuarakan kegelisahan: tentara bertempur tanpa arah politik.

Gantz dan Eisenkot mundur dari kabinet perang. IDF kehilangan semangat. Anggaran runtuh. Moral menurun. Peperangan tanpa visi berubah menjadi konflik internal.



Jika  Firaun Saja Gagal, Bagaimana dengan Netanyahu?

Firaun gagal menghadapi Musa—bukan karena Musa punya kekuatan fisik yang lebih besar, tetapi karena Musa membawa kebenaran yang tak bisa dibungkam. Para ahli sihir, pejabat istana, bahkan sebagian rakyat Mesir, menyaksikan bahwa Musa tak bisa dikalahkan dengan narasi kebohongan.

Hari ini, Netanyahu pun dihadapkan pada kebenaran yang tak bisa dikalahkan: perlawanan Gaza bukan sekadar perang fisik, tapi perang moral. Ketika Netanyahu menyalahkan tentara, menolak kritik, dan terus memaksakan kehendaknya, ia sedang mengulangi tragedi Firaun: mengejar musuh sampai ke laut, padahal sudah diperingatkan oleh suara nurani dari dalam.



Penutup:

Kekuasaan Firaun runtuh bukan karena rakyat memberontak, tapi karena kebenaran yang ditekan terlalu lama akhirnya bangkit dari tempat yang tak disangka: dari istana, dari ahli sihir, dari laut.

Netanyahu pun mungkin akan tenggelam bukan karena roket dari Gaza, tapi karena ia menolak mendengar suara jenderalnya, menterinya, rakyatnya, bahkan sejarah.

“Maka pada hari itu, tak ada penolong bagi Firaun, dan ia termasuk orang-orang yang binasa.” (QS. Al-Qashash: 41)

Ketika Militer Israel Tak Lagi Patuh Buta Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Perang bukan hanya ujian kekuatan, tapi juga ujian kejujur...

Ketika Militer Israel Tak Lagi Patuh Buta

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Perang bukan hanya ujian kekuatan, tapi juga ujian kejujuran antar mereka yang memegang senjata dan mereka yang memberi perintah.”

Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, perang tak hanya berkecamuk di Gaza, tetapi juga di ruang-ruang tertutup kabinet Israel. Bukan ledakan roket atau peluncuran drone yang paling menentukan arah masa depan Israel, melainkan ledakan konflik internal—di antara Netanyahu, petinggi militer, dan Menteri Pertahanan. Dalam perang yang panjang, bukan hanya musuh eksternal yang menggerogoti stabilitas negara, tetapi juga krisis kepercayaan dari dalam.

Titik Ledak: Ketika Realitas Menghancurkan Retorika

Awalnya, Netanyahu tampak seperti pemimpin yang menemukan momentum untuk mempersatukan bangsa. Tapi cepat sekali realitas membalikkan narasi. Pihak militer—yang sejak awal menyadari beratnya medan Gaza—tidak diberi arah strategis yang jelas. Herzi Halevi, Kepala Staf IDF, menyampaikan bahwa pasukan mampu menghancurkan Hamas secara taktis, tetapi tak bisa bertahan tanpa visi politik jangka panjang.

Netanyahu, sebaliknya, menunda-nunda keputusan tentang "hari setelah" Hamas tumbang. Ia menolak setiap upaya membahas masa depan Gaza, dan itu memicu kekesalan terbuka dari Menhan Yoav Gallant.

“Tanpa strategi politik, kemenangan militer tidak akan berarti.” — Yoav Gallant, Maret 2024.

Kutipan itu bukan sekadar keluhan birokratis. Ia adalah peringatan dini atas kekacauan yang kini nyata: IDF kelelahan, target kabur, moral menurun, dan dunia internasional kian kritis.



Retakan Demi Retakan: Dari Kritik Hingga Pemutusan Dukungan

Kritik Gallant bukan hal baru. Pada 2023, ia pernah dipecat Netanyahu gara-gara menentang reformasi yudisial yang kontroversial. Kini, setelah tragedi 7 Oktober, Gallant kembali bersuara. Tapi kali ini, ia tidak sendiri.

Herzi Halevi memberi tekanan moral dari militer: tentara bukan pion politik, dan rakyat menuntut hasil, bukan propaganda.
Benny Gantz dan Gadi Eisenkot, dua mantan petinggi militer dalam kabinet perang, akhirnya mundur pada Juni 2024. Mereka kecewa: tidak ada strategi, tidak ada integritas.

Sementara itu, Netanyahu terus menjaga koalisinya dari keruntuhan—bukan dengan visi, tapi dengan kalkulasi: menjaga loyalitas ultra-Ortodoks, memanjakan sayap kanan ekstrem, dan menunda keputusan-keputusan strategis yang menentukan masa depan Gaza.



Politik vs Profesionalisme: Militer Menolak Jadi Kambing Hitam

Salah satu sumber utama konflik adalah upaya Netanyahu mengalihkan kesalahan awal perang ke IDF dan intelijen. Tapi tentara dan dinas keamanan tidak tinggal diam. Laporan demi laporan bocor ke media: betapa peringatan intelijen diabaikan, betapa Netanyahu sibuk dengan manuver politik internal saat bahaya sedang mengintai dari pagar Gaza.

IDF merasa dimanfaatkan—disuruh menang perang, tapi tanpa peta jalan. Disuruh bertempur, tapi tak diberi tahu untuk apa. Dan ketika tekanan internasional datang, justru mereka yang disalahkan atas kegagalan taktis dan “tindakan tidak proporsional”.



Ketegangan Memuncak: Kabinet Perang Ambruk

Puncaknya terjadi pada 9 Juni 2024, saat Gantz dan Eisenkot mundur dari kabinet perang. Keputusan ini mengirim pesan ke seluruh dunia: kabinet Netanyahu bukan tempat rasionalitas, melainkan arena penundaan dan pelarian tanggung jawab.

Herzi Halevi tetap bertahan, tapi dengan posisi kritis. Yoav Gallant masih Menhan, tapi sering mengabaikan garis perintah Netanyahu. Ini bukan lagi pemerintahan yang solid—ini adalah kapal yang para awaknya tak sepakat ke mana harus berlayar.



Mengapa Netanyahu Bertahan?

Karena politik.
Koalisi Netanyahu bergantung pada dukungan ultra-Ortodoks dan blok sayap kanan. Melepas Gaza ke otoritas Palestina akan memicu perpecahan koalisi. Memaksa anak-anak Haredi ikut wajib militer juga bisa menghancurkan pemerintahan.

Netanyahu memegang kekuasaan bukan karena stabilitas, tetapi karena keberaniannya menunda ledakan-ledakan politik. Ia bertahan, tapi tidak memimpin.



Bila Perang Berbalik ke Dalam

Konflik internal antara Netanyahu dan para petinggi pertahanan menunjukkan satu hal: militer tidak akan diam saat diseret dalam kebijakan buta. Dalam sejarah Israel, IDF selalu menjadi pilar kesatuan. Tapi kali ini, bahkan pilar itu mulai goyah.

Israel kini bukan hanya menghadapi Hamas. Ia menghadapi dilema moral, dilema strategis, dan dilema kepercayaan. Dan jika Netanyahu terus menolak mendengar suara dari mereka yang memahami perang lebih baik darinya—maka mungkin kekalahan Israel bukan datang dari Gaza, tapi dari kantor-kantor kekuasaan di Yerusalem sendiri.

Tentara yang Diperas oleh Negaranya Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Militer Israel (IDF) kerap dipuji sebagai pasukan paling...

Tentara yang Diperas oleh Negaranya Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Militer Israel (IDF) kerap dipuji sebagai pasukan paling terlatih dan tangguh di kawasan. Tapi sejak perang Gaza meletus pada Oktober 2023 dan berlarut hingga tahun 2025, institusi ini menghadapi tantangan internal yang tak kalah berat dari serangan eksternal: krisis moral, kelelahan massal, dan retaknya kepercayaan dari dalam.

Kebijakan darurat bernama Arahan 77, yang memperpanjang masa dinas tentara aktif, bukan hanya memperlihatkan krisis logistik tempur, tetapi juga menyingkap kenyataan pahit: tentara-tentara Israel kini diperas oleh negaranya sendiri, di tengah perang yang kian kehilangan arah dan makna.



Penyebab Kekurangan Tentara di Tubuh IDF

1. Perang di Banyak Front

IDF kini tak hanya menghadapi Hamas di Gaza, tapi juga serangan dari Hizbullah di utara, serta operasi keamanan di Tepi Barat.

Ketegangan dengan Iran dan proksi-proksinya menambah beban kesiapsiagaan militer secara nasional.


2. Perang Gaza yang Berkepanjangan

Sejak Oktober 2023, ribuan tentara dikerahkan ke Gaza dalam operasi darat yang berat dan terus menerus.

Banyak pasukan mengalami cedera fisik dan trauma psikologis karena intensitas pertempuran dan lingkungan urban yang mematikan.


3. Gelombang Cedera dan Gangguan Mental

Laporan internal menyebut ribuan tentara mengalami PTSD, kelelahan ekstrem, hingga bunuh diri.

Banyak dari mereka tidak layak tempur, tapi tetap dimobilisasi kembali karena kekosongan unit.


4. Eksodus Diam-diam ke Luar Negeri

Terdapat laporan bahwa sejumlah pemuda Israel memilih keluar negeri, menunda dinas, atau menetap di luar untuk menghindari panggilan wajib militer.



Arahan 77: Solusi Darurat yang Jadi Masalah Baru

Pada April 2024, militer Israel menerbitkan Arahan 77 (Hora’at 77)—sebuah kebijakan darurat yang:

Memperpanjang wajib militer prajurit tempur selama 4 bulan.

Berlaku bagi mereka yang sudah menjalani nyaris 3 tahun dinas aktif.

Dilakukan di bawah status Tzav 8 (mobilisasi darurat terbuka).

Tidak memiliki landasan undang-undang yang tegas, dan dikeluarkan sebagai instruksi administratif dari Direktorat Tenaga Kerja IDF.



Dampak Langsung Arahan 77

1. Terhadap Jiwa dan Moral Tentara

Banyak prajurit mengalami keletihan fisik dan mental ekstrem.

Ada laporan prajurit melukai diri sendiri demi cuti, atau menolak kembali dengan risiko penjara.

Rasa dikhianati dan kehilangan makna tugas mulai meluas di unit-unit lapangan.


2. Terhadap Keluarga Prajurit

Para ibu, ayah, istri, dan anak-anak hidup dalam ketidakpastian dan tekanan emosional tinggi.

Banyak keluarga mengalami ketidakstabilan ekonomi, karena anggota keluarganya tak kunjung pulang atau tidak mampu bekerja pasca tugas.

Organisasi Mother Awake melaporkan ratusan pengaduan dari keluarga prajurit yang kelelahan dan kehilangan hak mereka.


3. Terhadap Ketersediaan Tenaga Kerja Nasional

Penundaan pemulangan tentara menyebabkan terhambatnya masuk tenaga muda ke sektor sipil.

Generasi muda tak bisa melanjutkan kuliah, bekerja, atau membangun kehidupan setelah dinas.

Ini bisa mengganggu ekonomi jangka panjang, terutama dalam sektor teknologi dan pendidikan tinggi yang banyak digerakkan oleh lulusan IDF.



Dampak Terhadap Institusi IDF Sendiri

Moral pasukan menurun drastis, dengan banyak unit mulai retak dari dalam.

Kepercayaan terhadap pimpinan militer mengalami penurunan tajam, bahkan dari kalangan Zionis religius sayap kanan yang biasanya sangat loyal.

Rekrutmen jangka panjang terancam, karena semakin banyak pemuda Israel mulai enggan menjadi bagian dari IDF setelah melihat bagaimana para seniornya “diperas” tanpa jeda dan tanpa penghargaan.



Tentara Tak Lagi Dipimpin, Tapi Diperas

Arahan 77 adalah simbol dari negara yang kehabisan opsi, lalu memeras tentara sendiri. Dalam narasi nasionalis, ini dibungkus sebagai "pengabdian tak kenal lelah". Tapi bagi mereka yang hidup di dalamnya, ini adalah bentuk eksploitasi atas nama patriotisme.

Ketika negara menolak memberi ruang pemulihan bagi tentaranya, ketika keluarga tak tahu kapan anaknya pulang, dan ketika pemuda-pemudi mulai kehilangan keinginan untuk ikut membela negara—maka bukan hanya kelelahan yang melanda, tapi krisis kepercayaan yang mengakar.

Dan kepercayaan yang rusak, lebih sulit diperbaiki dibanding kota yang hancur akibat perang.

Tentara yang Pulang Tanpa Jiwa: Trauma Gaza dan Runtuhnya Nurani Militer Israel Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Perang bukan hanya t...


Tentara yang Pulang Tanpa Jiwa: Trauma Gaza dan Runtuhnya Nurani Militer Israel

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Perang bukan hanya tentang medan tempur, strategi militer, atau peta kemenangan. Ia juga adalah soal batin manusia—tentang bagaimana seorang prajurit memaknai senjata yang ia bawa, peluru yang ia lepaskan, dan tubuh-tubuh yang ia tinggalkan di belakang.

Selama hampir dua tahun agresi di Gaza, Israel mengklaim sedang “memerangi terorisme”. Namun apa jadinya jika dalam perang itu, yang paling hancur bukan hanya kota musuh, tapi juga jiwa tentara Israelnya sendiri?



Mereka Pulang, Tapi Tak Jadi Pahlawan

Dalam banyak konflik, prajurit yang pulang dari medan perang disambut sebagai pahlawan. Tapi tidak demikian halnya dengan sebagian tentara Israel yang kembali dari Gaza.

Alih-alih merasa menang, mereka pulang dengan beban. Bukan hanya luka fisik, tapi juga luka batin. Mereka membawa pulang bayangan tubuh anak-anak di bawah reruntuhan, suara tangisan ibu yang kehilangan, dan kesunyian kota yang diluluhlantakkan oleh perintah mereka sendiri.

Banyak dari mereka tak ingin disebut “pahlawan”. Sebab jauh di dalam diri, mereka tahu bahwa yang mereka lakukan bukan sepenuhnya pembelaan. Mereka mulai bertanya: apakah ini benar-benar perang melawan terorisme, atau sekadar penghancuran besar-besaran terhadap rakyat yang nyaris tak punya daya?



Enggan Kembali ke Medan Perang

Dalam laporan-laporan psikologis dan testimoni yang beredar, sejumlah prajurit menyatakan enggan kembali ke Gaza. Bukan karena takut akan peluru, tetapi karena tak ingin mengulang trauma yang sama.

Sebagian menderita PTSD. Sebagian mengalami mimpi buruk setiap malam. Sebagian lain menarik diri dari masyarakat, tak tahan menghadapi pertanyaan anak-anak mereka sendiri: "Ayah, apakah Ayah membunuh orang-orang di sana?"

Di sisi lain, dunia yang kian sadar akan tragedi kemanusiaan di Gaza mulai menciptakan tekanan sosial dan citra buruk terhadap para prajurit yang terlibat. Apa yang dulu dianggap sebagai tugas negara, kini dilihat oleh sebagian sebagai keterlibatan dalam operasi brutal terhadap warga sipil.



Protokol Hannibal: Doktrin Tanpa Nurani

Sebagian penyebab keretakan moral ini bisa dilacak dari kebijakan internal militer Israel yang dikenal sebagai Protokol Hannibal.

Protokol ini secara prinsip menyatakan: lebih baik seorang tentara mati dalam penculikan daripada hidup sebagai tawanan. Maka, jika seorang prajurit IDF diseret oleh musuh, pasukan di sekitarnya boleh menembak atau membom kendaraan atau lokasi penculikan, meskipun berisiko membunuh tentara itu sendiri—dan tentu saja siapa pun yang ada di sekitarnya.

Dalam praktiknya, protokol ini sering kali menyebabkan serangan brutal terhadap kawasan sipil, karena diduga menyembunyikan atau menjadi jalur evakuasi tawanan. Sebuah operasi militer bisa berubah menjadi hujan bom yang menyapu anak-anak, perempuan, hingga warga sipil yang tak tahu-menahu.



Dampak Psikologis: Ketika Tentara Kehilangan Hati

Apa yang terjadi jika seseorang diperintahkan membunuh tanpa sempat menilai siapa yang benar-benar bersalah? Apa akibatnya bagi otak, jiwa, dan nurani ketika seorang prajurit menyadari bahwa pelurunya menghancurkan keluarga, bukan kombatan?

Secara ilmiah, pengalaman seperti itu meninggalkan luka biologis dalam sistem saraf. Studi tentang prajurit yang terlibat dalam tindakan tak bermoral menunjukkan kerusakan pada area otak yang berkaitan dengan empati, pengendalian emosi, dan keseimbangan psikologis.

Banyak dari mereka mengalami:
1. Rasa bersalah kronis.
2. Delusi dan mimpi buruk berulang.
3. Ketidakmampuan menjalin hubungan sosial setelah perang.


Dalam jangka panjang, kondisi ini bukan hanya merusak individu, tapi juga menurunkan daya tempur secara keseluruhan. Prajurit yang hancur mentalnya tidak lagi bisa berpikir jernih, mudah panik, dan rentan dalam situasi tempur yang menuntut ketenangan sehingga mudah terjebak dan dijebak.



Terjebak di Gaza, Tewas oleh Diri Sendiri

Prajurit yang kehilangan nurani bukan menjadi lebih kuat, melainkan lebih rapuh. Dalam perang darat di Gaza, tentara IDF menghadapi perlawanan sengit dari kelompok yang secara perlengkapan jauh lebih lemah. Namun jumlah korban tewas dari pihak Israel terus bertambah.

Mengapa?

Karena prajurit yang kehilangan arah moral, tak punya kekuatan batin untuk bertahan dalam situasi sulit. Mereka menjadi mesin tanpa tujuan, bertindak reaktif, dan mudah terjebak dalam manuver musuh.

Di sinilah kemenangan justru berbalik menjadi kehancuran: ketika kekuatan militer yang besar tidak lagi dibarengi dengan ketahanan mental dan legitimasi moral.



Krisis Militer yang Tak Terlihat di Layar

Gempuran udara, serangan artileri, dan invasi darat mungkin bisa ditonton lewat siaran langsung. Tapi ada perang lain yang tak tampak: perang di dalam diri para prajurit. Perang melawan rasa bersalah, hancurnya kepercayaan diri, dan kehampaan makna dari sebuah kemenangan.

Dan ketika prajurit tidak lagi percaya pada tujuan perang, ketika senjata mereka berat bukan karena logamnya tapi karena beban jiwanya—maka sejatinya, sebuah negara tengah kehilangan kekuatan tempurnya dari dalam.

Yang tersisa hanyalah tubuh-tubuh berseragam yang tak tahu lagi apa yang mereka pertahankan.

Simfoni yang Retak: Strategi Hamas Meretas Struktur Tempur IDF Oleh: Nasrulloh Baksolahar  “Perang kota adalah simfoni mekanik d...

Simfoni yang Retak: Strategi Hamas Meretas Struktur Tempur IDF

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


“Perang kota adalah simfoni mekanik dan manusia—pasukan teknik membuka jalan, infanteri bergerak, tank memberi penekanan, penyelamat mengumpulkan yang terluka, dan helikopter menyelamatkan yang kritis. Semua harus selaras, atau semuanya bisa berantakan.”

Perang kota bukan hanya tentang peluru dan bangunan runtuh. Ia adalah ruang paling sunyi dari keputusan taktis yang berisiko tinggi, di mana satu kesalahan bisa merenggut nyawa sepasukan, dan satu koordinasi yang tepat bisa menyelamatkan seluruh front.

Gaza hari ini adalah cermin dari medan tempur paling kompleks di era modern. Tak ada garis depan yang jelas, tak ada punggung yang benar-benar aman, dan musuh bisa muncul dari bawah tanah, dari atas atap, atau dari balik dinding yang runtuh. Dalam kondisi seperti ini, militer tidak lagi hanya berbicara soal kekuatan api, tetapi juga presisi teknik, kecepatan evakuasi, dan akurasi koordinasi.

Tulisan ini menyajikan anatomi struktur pertempuran kota ala IDF—bukan untuk mengagumi kekuatan militer, tetapi untuk memahami bagaimana sebuah mesin perang bergerak dalam lanskap urban yang dipenuhi jebakan psikologis, teknis, dan moral. Dengan menyorot keterkaitan pasukan teknik, infanteri, tank, tim penyelamat, hingga helikopter medivac, kita bisa melihat bahwa di balik setiap langkah tentara, ada struktur yang rumit dan nyawa yang digadaikan.

Dan di balik struktur itu, selalu ada satu pertanyaan:
Sejauh mana kekuatan militer bisa mengatasi medan yang dibangun dengan kehendak bertahan hidup dan harga diri?


1. Pasukan Teknik (Combat Engineering Corps & Unit Yahalom)

Fungsi utama: membuka jalur aman; menjinakkan ranjau dan IED; menghancurkan terowongan; membersihkan reruntuhan.

Unit elit: Yahalom—ahli penghancuran presisi, CBRNE, dan operasi bawah tanah.

Mereka paling awal masuk ke jalur tembusan yang dibuat untuk infanteri dan kendaraan.



2. Pasukan Infanteri (Givati, Golani, Kfir, Paratroopers)

Tugas: masuk setelah jalan dibuka untuk mensterilisasi gedung, menetralkan sisa keberadaan musuh, dan mengamankan area.

Bekerja dalam formasi kecil, sering bergerak di lorong sempit, terowongan dan bangunan.



3. Pasukan Tank & APC (Merkava LIC, Namer CEV)

Peran: menyediakan dukungan tembakan dari jarak jauh, menjebol wilayah kuat, dan melindungi infanteri serta teknik.

Tank seperti Merkava LIC dirancang untuk operasi urban, lengkap dengan sistem pertahanan Trophy untuk menangkis roket dan RPG.



4. Pasukan Medis & Penyelamat (Unit 669 & Tankbulance)

Unit 669: tim SAR Lapis Baja yang memasuki zona lompat untuk evakuasi luka kritis.

Tankbulance: varian Merkava untuk evakuasi medis di jalur terowongan atau booby-trapped.



5. Helikopter Medivac (CH-53 Sparrow, Black Hawk)

Digunakan untuk evakuasi kasus kritis yang tidak bisa ditangani di darat.

Membawa luka berat langsung ke rumah sakit militer untuk penanganan lanjutan.



6. Alur Koordinasi dan Taktik Sinergi

1. Intel awal
Unit intelijen dan drone memetakan medan, mendeteksi ranjau dan terowongan jebakan.

2. Pembukaan jalur
Teknik dengan D9 bulldozer membuka pintu masuk, menyingkir reruntuhan.

3. Penjinakan dan clearing
Yahalom masuk untuk menjinakkan ranjau, memblokir tunnel, memastikan jalan aman.

4. Infanteri maju
Bergerak masuk ke area yang telah dibersihkan, membersihkan gedung dan sekitarnya.

5. Tank & APC mendukung
Memberi cover tembakan dan perlindungan jika terjadi penyergapan.

6. Evakuasi luka
Unit 669 dan tankbulance mengambil prajurit terluka dan memindahkannya via darat.

7. Evakuasi kritis lewat udara
Helikopter medis datang bila korban memerlukan perawatan intensif atau harus segera diselamatkan.



7. Peran Spesifik dan Tantangan di Gaza

Variabel terowongan: terowongan memaksa teknik dan intel bekerja sangat rapat; kesalahan satu detik bisa fatal.

Kepadatan bangunan: membuat tank sulit bermanuver; jelas butuh dukungan teknik untuk membuka jalan.

Ancaman Persembunyian: Hamas menanam ranjau dan jebakan di setiap sisi lorong—ini menjadikan keeratan koordinasi teknik dan infanteri sebagai kunci.



8. Pelajaran dari Pakar Militer

Pakar mengatakan kunci sukses pertempuran urban IDF adalah tempo gerak yang cepat, kelincahan unit teknik, dan koordinasi real-time dengan artileri/drone.

Double envelopment: pasukan teknik membuka dua jalur, infanteri menyisir, dan tank mengunci dari belakang.

Lapis ganda evakuasi: darat dan udara harus siap, agar luka tidak mengubah moral unit menjadi porak-poranda.


9. Strategi Perlawanan Hamas: Menyobek Simfoni IDF

Jika IDF bergerak dengan simfoni taktis dan struktur militer modern, maka Hamas melawannya dengan logika perang asimetris: membelokkan kekuatan lawan agar menjadi kelemahannya sendiri. Dalam lanskap perang kota Gaza, Hamas tidak hanya bertahan—mereka beradaptasi, menyerang titik-titik tumpu IDF, dan mengacaukan koordinasi antar unit.

1. Perang Terowongan: Menarik Infanteri ke Bawah Tanah
Terowongan—yang disebut “metro bawah Gaza”—menjadi arena perang yang dikuasai penuh oleh Hamas. Di sanalah pasukan teknik IDF harus masuk duluan, sebelum infanteri bisa maju. Tapi ini juga tempat paling berbahaya: sempit, gelap, dan penuh jebakan. Hamas menanam IED, ranjau kabel, dan bahkan melakukan serangan langsung dari celah-celah tak terduga.

2. Penjebakan Jalur Evakuasi dan Medis
Sadar bahwa evakuasi luka adalah bagian dari moral pasukan, Hamas sering menargetkan jalur evakuasi. Unit 669 dan Tankbulance pernah menjadi sasaran. Bahkan, dalam beberapa kasus, Hamas sengaja “membiarkan” serangan kecil untuk memancing penyelamatan, lalu menyerang tim medis atau helikopter yang datang.

3. Disorientasi Taktik dan Gangguan Psikologis
Dengan mengenakan pakaian sipil, berpindah lewat terowongan, atau menyerang dari balik reruntuhan, Hamas menciptakan suasana tempur yang tidak pasti bagi pasukan IDF. Ini menyebabkan tekanan mental tinggi, terutama bagi pasukan teknik dan infanteri yang harus masuk lebih dulu ke area rawan. Tidak sedikit kasus pasukan teknik mengalami trauma berat, karena kehilangan rekannya di ruang sempit dan gelap tanpa bisa berbuat banyak.

4. Targetkan Teknik, Lumpuhkan Struktur
Hamas menyadari bahwa pasukan teknik adalah kunci dari pergerakan seluruh struktur tempur IDF. Tanpa teknik, infanteri tidak bisa maju. Tanpa jalur bersih, tank tidak bisa bermanuver. Maka tak heran, data dari berbagai laporan menunjukkan bahwa proporsi korban tewas dari kalangan pasukan teknik IDF di Gaza tergolong tinggi. Serangan ke pasukan teknik adalah upaya melumpuhkan seluruh gerak IDF dari akarnya.

5. Perang Moril: Simbol Ketahanan vs Mesin Militer
Di balik semua ini, Hamas memahami bahwa mereka tidak sedang melawan tank atau helikopter, melainkan moral dan opini publik. Setiap keberhasilan kecil melukai struktur IDF akan disorot sebagai bukti bahwa semangat bisa menyaingi teknologi. Dan itu menjadi bahan bakar moral perlawanan—bahwa yang tertindas pun bisa mengimbangi yang perkasa.



Penutup

Perang kota adalah tarian rumit yang memerlukan harmoni penuh:

Teknik membuka—infanteri maju—tank mengunci—penyelamat mengumpulkan—helikopter mengevakuasi.

Di Gaza, medan tak segan menyobek kesalahan: satu celah sensor, satu jebakan yang tak terdeteksi, bisa berarti tewasnya satu skuad—atau lebih.

Itulah kenapa struktur dan koordinasi yang solid antara unit-unit ini bukan sekadar doktrin—tetapi soal keselamatan dan efektivitas operasional.

Pasukan Teknik IDF di Gaza: Ujung Tombak yang Terluka Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mereka yang Membuka Jalan, Tapi Juga Jadi Sasar...

Pasukan Teknik IDF di Gaza: Ujung Tombak yang Terluka

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Mereka yang Membuka Jalan, Tapi Juga Jadi Sasaran

Dalam setiap peperangan, ada pasukan yang diam-diam menjadi penentu arah, tapi jarang terlihat dalam sorotan. Di medan tempur Gaza yang padat, penuh reruntuhan, ranjau, dan terowongan, pasukan teknik (combat engineering corps) menjadi garda paling awal dan paling berisiko dari setiap operasi militer Israel.

Merekalah yang membuka jalan, menerobos bangunan, menjinakkan jebakan, menutup lubang terowongan, dan membersihkan medan sebelum infanteri bergerak masuk. Tapi justru karena itulah mereka menjadi sasaran utama serangan Hamas.



1. Fungsi Vital di Perang Kota: Kombinasi Teknik dan Taktik

Dalam konteks perang kota seperti di Gaza, fungsi pasukan teknik sangat krusial:

1. Membuka jalur aman bagi pasukan infanteri dengan membersihkan ranjau darat, IED (improvised explosive device), dan jebakan terowongan.

2. Menghancurkan bangunan yang dianggap menjadi pusat pertahanan musuh.

3. Menutup dan menghancurkan jaringan terowongan bawah tanah milik Hamas, yang dikenal luas sebagai “metro Gaza”.

4. Memetakan struktur wilayah, mengidentifikasi titik serangan, dan menyediakan jalur evakuasi atau mobilisasi tank dan pasukan.


Kerja mereka tak pernah berdiri sendiri. Pasukan infanteri sangat bergantung pada jalur yang dibuka oleh tim teknik. Tanpa mereka, infanteri bisa masuk ke zona kematian.



2. Pelatihan dan Kemampuan: Di Antara Teknik, Taktik, dan Trauma

Pasukan teknik IDF menerima pelatihan multidisiplin:

1.Penjinakan ranjau dan bahan peledak (EOD),

2. Demolisi struktural dan pembongkaran darurat,

3. Navigasi bawah tanah dan tempur ruang sempit,

4. Operasi kendaraan berat dalam zona musuh,

5. Simulasi serangan terkoordinasi dengan infanteri dan lapis baja.


Unit elit dari pasukan ini adalah Yahalom, bagian dari Combat Engineering Corps, yang diberi tugas-tugas tersulit: menyusup ke sistem terowongan, menetralisir bahan peledak, dan mendukung unit-unit khusus dalam pertempuran taktis urban.



3. Kendaraan dan Peralatan: Besar, Berat, dan Tetap Rentan

Peralatan tempur mereka adalah mesin-mesin besar:

1. Bulldozer D9 lapis baja: digunakan untuk membuka jalan dan menghancurkan struktur.

2. Excavator tempur dan alat gali: digunakan untuk mendeteksi dan membongkar terowongan.

3. Robot penjinak bom dan sensor bawah tanah: untuk mendeteksi jebakan dan ranjau.

4. Drone pengintai kecil: dipakai dalam misi jarak dekat untuk menjelajah reruntuhan.


Namun, sekuat apapun mesin mereka, medan Gaza membuat mereka tetap rentan. Mesin-mesin itu lambat, besar, dan mudah menjadi target.



4. Perbedaan Gaza dan Medan Lain: Kompleksitas dan Ketidakterdugaan

Di Gaza, tidak ada medan terbuka atau bentang alam netral. Semuanya adalah jebakan.

Berbeda dengan medan di Lebanon atau padang terbuka di Suriah, di Gaza:

Setiap bangunan bisa dipasangi IED.

Setiap terowongan bisa jadi jalan masuk Hamas ke belakang garis musuh.

Setiap langkah bisa memicu ledakan atau ambush.


Inilah yang membedakan medan Gaza dengan konflik lain. Di sini, pasukan teknik bukan sekadar pendukung—mereka adalah penentu kelangsungan operasi.



5. Mengapa Hamas Fokus Menargetkan Pasukan Teknik?

Karena secara strategis, menghancurkan atau melumpuhkan pasukan teknik sama dengan mematikan mesin tempur IDF.

Jika pasukan teknik gagal membuka jalur, maka infanteri dan tank tertahan.

Jika pasukan teknik kehilangan kendali atas jalur atau terowongan, maka serangan Hamas bisa terjadi dari bawah tanah, sewaktu-waktu.

Jika pasukan teknik diserang lebih dahulu, moral pasukan lain ikut terguncang.


Efek psikologisnya besar: pasukan lain merasa jalan yang dilalui tidak aman. Kewaspadaan meningkat, kecepatan operasi menurun, dan keraguan muncul di tengah pasukan.



6. Strategi Hamas Melawan Pasukan Teknik: Diam-diam dan Mematikan

Hamas bukan hanya bergerilya. Mereka mempelajari pola, kebiasaan, dan rute kendaraan teknik:

1. Menanam IED di jalur yang biasa dilalui buldoser dan excavator.

2. Menyergap operator teknik dari balik reruntuhan.

3. Menyerang melalui terowongan saat pasukan teknik sedang sibuk membuka jalur.

4. Menggunakan ATGM (rudal anti-tank) untuk menghancurkan kendaraan besar.


Serangan yang dilakukan Hamas bukan hanya untuk menghentikan laju teknik, tapi untuk menghantam moral, meretakkan rasa aman, dan membuat IDF seperti terperangkap di labirin penuh jebakan.



7. Korban dan Tekanan Psikologis: Luka Fisik dan Luka Batin

Dalam invasi ke Gaza sejak Oktober 2023:

Total korban IDF dilaporkan lebih dari 430 tentara gugur.

Dari jumlah itu, sekitar 10–15% adalah pasukan teknik, baik dari unit reguler maupun Yahalom.


Selain korban jiwa, banyak yang mengalami luka berat, terutama akibat ledakan ranjau dan runtuhnya struktur saat menjalankan misi pembongkaran.

Namun yang paling mengerikan adalah kerusakan psikologis:

Banyak tentara teknik mengalami tekanan batin berat setelah menghancurkan rumah-rumah sipil yang tidak tahu-menahu.

Sebagian merasa menjadi “alat penghapus”, bukan lagi prajurit pelindung.

Dalam laporan internal IDF, lebih dari 30% pasukan teknik mengalami stres tingkat tinggi dan 15% menunjukkan gejala PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).



Mereka yang Membuka Jalan, Tapi Makin Banyak yang Tak Pulang

Pasukan teknik IDF di Gaza bukan sekadar pekerja keras militer. Mereka adalah penjaga rute, pemecah reruntuhan, dan pengambil risiko pertama. Namun dalam setiap pembukaan jalan, mereka juga membuka luka—di tubuh mereka sendiri, dan di hati mereka.

Hamas memahami pentingnya peran ini, dan menyerang mereka dengan cerdas.

Dan Gaza, kota yang runtuh oleh bom, diam-diam juga meruntuhkan kepercayaan diri para prajurit teknik yang dulu dilatih untuk membangun, tapi kini diperintah untuk menghancurkan.

Di medan Gaza, bukan hanya tembok yang roboh—tapi juga ketahanan batin mereka yang menggenggam palu perang.

Sejarah Kamp Konsentrasi: Penjajah Israel Ingin Membuatnya Lagi di Depan Kamera Dunia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ketika Menteri ...

Sejarah Kamp Konsentrasi: Penjajah Israel Ingin Membuatnya Lagi di Depan Kamera Dunia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Ketika Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengumumkan rencana pembangunan "kota kemanusiaan" di Rafah—zona yang dipagari kawat berduri, dijaga militer, dan menampung lebih dari dua juta warga Palestina—banyak ahli hukum, sejarawan, dan pegiat kemanusiaan langsung mengenalinya dengan satu istilah yang telah lama dikutuk dunia: kamp konsentrasi.

Apakah Israel telah mewujudkannya? Secara formal, kamp itu belum berdiri secara utuh. Namun semua elemen dasarnya sudah ada:

1. Ratusan ribu warga Palestina telah dipaksa pindah dari utara ke selatan Gaza, ke daerah sempit seperti al-Mawasi dan Rafah;

2. Wilayah tersebut dikontrol ketat oleh militer, dengan pembatasan gerak dan perimeter bersenjata;

3. Distribusi bantuan dan pemantauan dikendalikan sepihak;

4. Dan yang paling berbahaya: munculnya narasi tentang "pemindahan sukarela ke luar negeri", eufemisme lama dari pembersihan etnis yang dibungkus janji kemanusiaan.

Dengan demikian, Israel sedang membangun kamp konsentrasi modern—bukan di gurun yang terpencil, tetapi di bawah sorotan kamera dunia, dengan jargon diplomasi dan klaim "hak membela diri."



Nazi, Libya, dan Aljazair: Tiga Cermin Luka

1. Nazi Jerman: Ketika Keteraturan Menjadi Mesin Kematian

Di bawah Adolf Hitler (1933–1945), kamp konsentrasi menjadi lambang genosida sistematis. Awalnya dibangun untuk menahan lawan politik, kamp-kamp itu berubah menjadi mesin pembunuh massal:

1. Orang Yahudi, Roma, komunis, hingga penyandang disabilitas ditahan, dipaksa bekerja, disiksa, lalu dibunuh.

2. Auschwitz-Birkenau menjadi ikon horor dunia: lebih dari 1 juta jiwa melayang di dalamnya.

3. Kamp seperti Dachau, Treblinka, dan Sobibor menunjukkan bahwa wajah keteraturan bisa menyembunyikan kekejaman yang rapi.

Kamp konsentrasi Nazi bukan hanya soal angka, tapi tentang bagaimana sebuah sistem politik membunuh dengan justifikasi hukum dan logistik.



2. Italia di Libya: Penjajahan yang Mengeringkan Kehidupan

Pada 1920-an dan 1930-an, fasis Italia di bawah Benito Mussolini membangun kamp konsentrasi di Cyrenaica untuk membungkam perlawanan rakyat Libya yang dipimpin Umar Mukhtar.

Lebih dari 100.000 warga sipil dikumpulkan ke kamp-kamp di gurun.

Mereka dijauhkan dari mata dunia, disiksa kelaparan, dan dibunuh secara perlahan.

Sekitar 50.000 jiwa—kebanyakan wanita dan anak-anak—tewas di dalamnya.

Tujuan utamanya jelas: mengosongkan tanah Libya dari rakyatnya, lalu menggantinya dengan pemukim Italia.



3. Prancis di Aljazair: Kamp Konsolidasi yang Merenggut Martabat

Selama Perang Kemerdekaan Aljazair (1954–1962), kolonial Prancis menggunakan taktik baru: kamp konsentrasi tanpa gas, tapi tetap mematikan.

Lebih dari 2,5 juta warga Aljazair dipaksa pindah ke camps de regroupement (kamp konsolidasi). Mereka diisolasi dari para pejuang, dipantau, dan dikontrol. Di balik dalih "pengamanan", kamp-kamp ini memutus nadi kehidupan sosial rakyat Aljazair.

Kamp ini tidak menggunakan kamar gas, tetapi tetap menyekap harapan dan martabat jutaan manusia.



Israel dan Pola Lama yang Diulang

Hari ini, taktik serupa sedang dijalankan dengan label yang lebih modern:

1. Pemindahan paksa disebut evakuasi;
2. Kamp pengurungan disebut zona kemanusiaan;
3. Penghapusan identitas dan hak bergerak disebut prosedur keamanan.

Yang berubah hanya istilah. Yang tetap sama adalah esensinya: penahanan massal, penghapusan ruang hidup, dan pembersihan politik.

Sejarah mengajarkan bahwa kamp konsentrasi tidak pernah dimulai dengan kamar gas. Ia selalu dimulai dengan:

1. Pembatasan gerak;
2. Pengumpulan paksa;
3. Deradikalisasi paksa;
4. Dan penghapusan bertahap terhadap eksistensi suatu kelompok.



Rafah: Kamp Konsentrasi yang Tidak Tersembunyi

Jika Nazi melakukannya dalam diam, Israel melakukannya dalam terang. Dunia tahu. Kamera menyala. Jurnalis mencatat. Akademisi mengkritik.
Tapi tindakan tegas tetap nihil.

Dunia kini menyaksikan kejahatan yang dulu dikutuk, diulang dengan narasi baru—dan diam yang memekakkan.



Saat Kata “Kemanusiaan” Dipakai untuk Menyembunyikan Kekejaman

Israel menyebutnya “zona kemanusiaan”. Tapi sejarah tahu, itu hanya topeng. Nama sejatinya tetap sama:
kamp konsentrasi.

Maka pertanyaan kita hari ini bukan sekadar:
“Apakah Israel telah membangun kamp konsentrasi di Gaza?”
Melainkan:
“Beranikah dunia menyebutnya apa adanya—dan menghentikannya sebelum terlambat?”

“Yang tidak belajar dari sejarah akan mengulanginya. Tapi yang mempelajari sejarah dan tetap diam—merekalah yang lebih bersalah.”

Studi Singkat: Konflik Internal Quraisy Menghadapi Kebenaran Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Sejarah bukan hanya catatan peristiwa, ...

Studi Singkat: Konflik Internal Quraisy Menghadapi Kebenaran

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Sejarah bukan hanya catatan peristiwa, tapi juga cermin jiwa manusia saat dihadapkan pada kebenaran. Dalam perjalanan dakwah Rasulullah Muhammad saw, yang paling berat bukanlah perlawanan dari luar, melainkan perlawanan dari dalam: dari mereka yang hatinya tahu tapi enggan tunduk, dari mereka yang pikirannya paham tapi tertawan gengsi, dari mereka yang tahu itu cahaya tapi memilih tetap dalam gelap.

Inilah kisah tentang Quraisy—kaum yang menyaksikan langsung akhlak Nabi, mendengar sendiri ayat-ayat suci diturunkan, namun justru menjadi benteng pertama penolakan. Bukan karena mereka tak paham, tapi karena mereka takut: takut kehilangan kekuasaan, takut tergusur dari pusat kendali sosial dan ekonomi, dan takut rakyatnya berpaling kepada kebenaran yang menumbangkan berhala.

Namun sejarah membuktikan, bukan kebenaran yang kalah dalam makar, melainkan para pembuat makar yang kalah oleh kebenaran. Mereka membangun rencana dengan kecerdikan dunia, tapi dilumpuhkan oleh satu hal yang tak mereka miliki: keberanian untuk tunduk pada kebenaran.

Tulisan ini mencoba menelusuri  sejarah konflik internal Quraisy, yang mencerminkan betapa beratnya ego manusia saat berhadapan dengan cahaya Tuhan.



1. Ketika Kekuasaan Guncang oleh Cahaya Kebenaran

Saat risalah tauhid mulai bergema dari bibir Muhammad saw di Makkah, para pemuka Quraisy menghadapi badai dalam batin dan rapat-rapat mereka. Mereka tidak kompak. Mereka goyah. Mereka tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Abu Jahal, pemimpin faksi radikal, memilih represi dan penindasan. Baginya, Islam harus dibungkam dengan kekerasan.

Walid bin Mughirah, tokoh tua yang bijak duniawi, mengusulkan kompromi: ditawarkanlah harta, kekuasaan, hingga pernikahan. Asal Muhammad saw berhenti mencela berhala mereka.

Utbah bin Rabi’ah, lebih halus, mencoba menjembatani—tapi tetap menolak kebenaran risalah yang dibawa.

Abu Thalib, pelindung Rasulullah saw dari Bani Hasyim, menjadi penghalang besar bagi semua makar mereka. Selama ia hidup, mereka tidak bisa menyentuh Nabi saw secara langsung.

Mereka berbeda dalam strategi, tetapi satu dalam ketakutan: jika Islam dibiarkan tumbuh, maka seluruh bangunan sosial, ekonomi, dan religius mereka akan runtuh.



2. Ketika Fitnah Dijadikan Alat Politik

Gagal membungkam Nabi saw, mereka beralih ke strategi delegitimasi. Dalam forum Darun Nadwah, muncul pertanyaan: "Apa yang harus kita katakan tentang Muhammad?"

Ada yang menyebut beliau penyair—tapi bait-bait Al-Qur’an bukan puisi biasa.

Ada yang menyebut beliau gila—tapi akhlak dan tutur katanya membantah semua tuduhan itu.

Ada yang menyebut beliau tukang sihir—karena ajarannya memecah belah keluarga.

Akhirnya, mereka sepakat: Muhammad adalah tukang sihir! Bukan karena mereka percaya, tapi karena itu tuduhan yang paling bisa diterima oleh publik.

"Sesungguhnya mereka bukan mendustakanmu (Muhammad), tetapi orang-orang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah." (QS. Al-An’am: 33)



3. Ketika Makar Menjadi Musyawarah

Setelah Bai’at Aqabah Kedua dan sinyal kuat bahwa Madinah siap menjadi benteng Islam, Quraisy panik. Mereka tahu, jika Muhammad saw lolos ke Madinah, mereka akan kehilangan kendali selamanya.

Diadakanlah rapat darurat di Darun Nadwah.

Abu Jahal mengusulkan siasat jahat: setiap kabilah mengutus satu pemuda terbaik, lalu bersama-sama menikam Muhammad hingga mati. Dengan cara ini, darah akan ditanggung bersama, dan Bani Hasyim takkan bisa membalas.

Mereka sepakat. Tapi mereka lupa satu hal: Allah turut hadir dalam setiap makar itu.

Rasulullah saw hijrah, tepat sebelum para algojo Quraisy menerobos rumahnya. Rencana besar itu hancur oleh bisikan wahyu dan jejak hijrah yang sunyi.

"Dan mereka membuat makar, dan Allah pun membalas makar mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas makar." (QS. Al-Anfal: 30)



4. Ketika Ego Menyeret ke Medan Badar

Nabi saw tidak keluar untuk berperang. Tujuannya hanya mencegat kafilah dagang Quraisy yang membawa hasil rampasan dari Makkah.

Namun Quraisy melihatnya sebagai tantangan. Abu Sufyan, pemimpin kafilah, berhasil menghindar. Tapi ego kolektif Quraisy, terutama Abu Jahal, menolak mundur.

“Kita akan ke Badar. Kita minum khamar, menyembelih unta, didengar seluruh Arab!” seru Abu Jahal.

Beberapa, seperti Akhmas bin Syuraiq, ingin pulang. Tapi ditertawakan.

Akhirnya, Badar menjadi panggung kehancuran mereka: tiga puluh satu pemuka Quraisy tewas. Mereka tak hanya kalah di medan perang, tapi kehilangan para perancang makar di meja rapat.



5.  Ketika Balas Dendam Jadi Nafsu: Konflik Quraisy di Perang Uhud

Setelah kekalahan telak di Badar, luka batin Quraisy belum sembuh. Mereka dilanda krisis moral dan kehilangan banyak pemimpin utama. Maka Perang Uhud dirancang bukan semata strategi militer, tapi ritual balas dendam.

Namun dalam rapat strategi mereka, muncul dua arus:

Satu pihak menginginkan gencatan dan pemulihan ekonomi,

Faksi keras, seperti Hindun binti Utbah dan Abu Sufyan, mendorong balas dendam meski harus berdarah-darah.

Konflik internal ini terselubung di balik gemerlap senjata.

Setelah kemenangan semu di Uhud, Quraisy justru terjebak dalam keangkuhan. Mereka gagal menghancurkan Islam, dan balas dendam mereka tak mampu meruntuhkan keimanan satu pun sahabat Nabi.



6. Ketika Ketakutan Jadi Benteng: Perang Khandaq dan Retaknya Barisan Quraisy

Saat pasukan koalisi Arab (Ahzab) berkumpul di luar Madinah, Quraisy tidak lagi sendiri. Tapi justru di sinilah perpecahan makin tampak.

Sebagian ingin menyerbu cepat,

Sebagian lainnya takut pada strategi parit yang tak mereka kenal.


Kondisi musim dingin, logistik minim, dan demoralisasi pasukan membuat mereka saling menyalahkan. Bahkan beberapa pimpinan Quraisy mulai meragukan kelayakan Abu Sufyan sebagai pemimpin koalisi.

Alih-alih menjadi pertempuran, Khandaq justru menjadi perang batin dan keraguan di tubuh pasukan musyrik.

Mereka datang dengan 10.000 pasukan, tapi pulang dengan hati yang lebih beku dari malam Madinah. Kemenangan kembali berpihak pada yang bersabar.



7. Ketika Ibadah Dianggap Ancaman: Hudaibiyah

Tahun ke-6 Hijriah, Rasulullah saw bersama 1.400 sahabat datang ke Makkah bukan untuk perang, tapi untuk umrah.

Quraisy gamang.

Jika mereka membiarkan Muhammad masuk, itu dianggap kekalahan simbolik.

Jika mereka melarang, dunia akan melihat mereka sebagai penjaga Ka’bah yang kejam.


Sebagian ingin mengusir dengan senjata. Sebagian sadar: menyerang jamaah yang tidak bersenjata akan mencoreng kehormatan Quraisy.

Akhirnya mereka memilih bernegosiasi. Lahirlah Perjanjian Hudaibiyah, yang tampaknya menguntungkan Quraisy—padahal dalam dua tahun, Makkah jatuh ke tangan Nabi saw tanpa perlawanan.



8. Ketika Kesombongan Runtuh Diam-diam: Fathu Makkah dan Menyerahnya Ego

Tahun ke-8 Hijriah. Islam telah menyebar ke seluruh jazirah. Perjanjian Hudaibiyah yang dahulu mereka rasa menguntungkan, justru menjadi jalan dakwah terbuka. Quraisy tak mampu lagi membendung laju kebenaran.

Setelah mereka melanggar perjanjian, Rasulullah saw bergerak menuju Makkah dengan 10.000 pasukan. Tanpa darah. Tanpa perlawanan. Tanpa pertempuran.

Tapi sebelum pasukan Islam masuk kota, konflik meletus lagi di kalangan Quraisy:

Sebagian mengusulkan menyerah diam-diam,

Sebagian ingin melawan habis-habisan untuk mempertahankan kehormatan.


Namun kehormatan tanpa iman tak bisa bertahan lama. Akhirnya, mayoritas Quraisy memilih tunduk.

Bahkan Abu Sufyan pun masuk Islam. Makkah jatuh bukan oleh pedang, tapi oleh keteguhan dan ampunan Rasulullah saw.



Kekalahannya dari Hati Mereka Sendiri

Konflik internal Quraisy sejak awal bukan sekadar tentang Muhammad saw, tapi tentang ketakutan menghadapi kebenaran. Tentang ego yang enggan tunduk pada wahyu. Tentang kekuasaan yang merasa terancam oleh keadilan.

Mereka berdiskusi, bermufakat, membuat makar. Tapi setiap kali, langit lebih dulu membatalkan skenario mereka.

Mereka gagal bukan karena taktik mereka buruk,
Tapi karena kebenaran tak bisa dikalahkan oleh musyawarah gelap.
Islam menang bukan karena kekuatan pasukan,
Tapi karena pasrah pada ketetapan Tuhan.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (497) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (239) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)