basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Palestina

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Palestina. Tampilkan semua postingan

Negara Kolonial yang Makan Bangkai Dirinya Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sebuah negara bisa bertahan dari serangan luar, ta...

Negara Kolonial yang Makan Bangkai Dirinya Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sebuah negara bisa bertahan dari serangan luar, tapi tidak akan selamat jika dirusak dari dalam. Begitulah nasib penjajah Israel hari ini: tampak kuat dari luar, tapi rapuh, keropos, dan berantakan di dalam. Negara ini ibarat tubuh besar yang digerogoti penyakit autoimun—setiap elemen saling memakan, saling mencurigai, dan siap meninggalkan kapal ketika mulai tenggelam.

Empat kelompok utama penyusun masyarakatnya justru menjadi penyebab utama keretakan itu. Masing-masing hidup dalam dunianya sendiri, dengan kepentingan sendiri, dan loyalitas yang—nyaris semuanya—bersyarat.



1. Yahudi Sekuler: Si Pembayar Pajak yang Frustrasi

Mereka adalah tulang punggung negara: membayar pajak, menyuplai tentara, dan membela sistem. Tapi kini, mereka mulai ragu:

Apakah ini negara milik mereka, atau milik kaum fanatik agama yang tak bekerja tapi berkuasa?



Ancaman demografis dari Haredim, krisis konstitusi, dan isolasi global membuat mereka ingin punya "jalan keluar"—dan banyak yang sudah menyiapkan paspor kedua.


---

2. Haredim: Menolak Negara, Tapi Hidup dari Negara

Haredim adalah paradoks terbesar Israel.

> Mereka menolak Zionisme, tapi hidup dari hasilnya.
Tak ikut militer, menolak modernitas, tapi menikmati anggaran negara, pendidikan gratis, dan infrastruktur. Mereka menentang demokrasi, tapi menentukan hasil pemilu lewat suara blok religius.



Sikap mereka jelas:

> Israel haram didirikan sebelum Mesias datang—tapi selama belum datang, kami terima subsidi dulu.




---

3. Arab Palestina: Warga Negara Kelas Dua yang Tak Pernah Dianggap

Dengan populasi 20%, warga Arab Israel secara hukum diakui, tapi secara praktik dimarginalkan. Tak punya pengaruh, tak dipercaya, dan selalu jadi sasaran kebijakan diskriminatif.

> Mereka adalah pemilik tanah yang dijadikan tamu dalam rumah sendiri.




---

4. Pemukim Radikal: Yahudi Fanatik yang Bahkan Menyerang Tentara Israel

Ini kelompok paling gila dalam struktur sosial Israel: Zionis religius radikal yang datang dari Amerika dan Eropa, tinggal di tanah rampasan, dan sering melawan tentara Israel sendiri.

> Mereka percaya tanah ini milik Tuhan, bukan negara. Jika hukum Israel menghalangi, hukum Tuhan-lah yang berlaku.



Mereka bukan sekutu IDF, mereka adalah virus tak terkendali yang siap menyeret Israel ke dalam perang saudara.


---

Paspor Ganda: Simbol Kesetiaan Palsu

Ketika Iran meluncurkan rudal, Israel menutup bandara. Tapi sebagian warganya tetap kabur lewat laut. Itulah Israel: negara dengan warga cadangan dan kesetiaan bersyarat. Paspor asing menjadi senjata terakhir:

> Jika negeri ini ambruk, kami sudah punya tempat pelarian.




---

Kesimpulan: Negara Tanpa Fondasi, Hidup dari Ketakutan

Israel tidak dibangun di atas kebersamaan, tapi di atas ketakutan bersama. Takut terhadap Arab. Takut terhadap Iran. Takut terhadap kehilangan eksistensi.

Tapi ketakutan bukan perekat sejati. Dan saat ketakutan itu berkurang, mereka akan saling menerkam.

> Inilah negara kolonial yang akan hancur bukan karena roket dari luar, tapi karena bom waktu dari dalam.

Perang Saudara Sunyi di Negeri Penjajah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel sedang berperang—bukan hanya dengan Gaza, bukan cuma d...

Perang Saudara Sunyi di Negeri Penjajah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Israel sedang berperang—bukan hanya dengan Gaza, bukan cuma dengan Hamas, bukan hanya dengan Iran. Tapi dengan dirinya sendiri. Bukan perang dengan senjata, tapi dengan kebencian kelas, konflik ideologi, dan penghianatan diam-diam.

Negara yang dibanggakan sebagai “tanah yang dijanjikan” itu kini jadi ladang pertikaian internal yang makin panas. Retakan di tubuhnya bukan hal baru—namun kini retakan itu menganga, siap menelan semuanya.



1. Yahudi Sekuler vs Haredim: Para Pembayar Pajak Lawan Pemakan Uang Negara

Yang satu kerja, bayar pajak, ikut militer. Yang satu belajar kitab, teriak di jalan, dan hidup dari subsidi.

Beginilah wajah konflik abadi antara Yahudi sekuler dan Haredim. Setiap kali isu wajib militer naik, Haredim turun ke jalan: bakar ban, lempari polisi, dan teriak “Zionisme haram!” Tapi ketika giliran tunjangan ditarik, mereka teriak lebih keras.

Seberapa sering? Hampir setiap tahun.

Akar masalah: Sekuler ingin negara modern, logis, dan adil. Haredim ingin negara tunduk pada kitab dan rabbi. Yang satu pegang komputer, yang lain pegang kitab suci.

Dampaknya: Kelas menengah sekuler frustrasi. Mereka mulai pindah ke luar negeri. Negara kehilangan loyalitas tulus dari warganya yang paling produktif.



2. Yahudi Sekuler vs Pemukim Ilegal: Zionis Modern Lawan Zionis Gila

Sekuler ingin hidup nyaman, pemukim ingin “Tanah Suci” versi mereka, walau harus membantai, melanggar hukum, bahkan menyerang tentara Israel sendiri.

Pemukim ilegal adalah wajah Zionisme paling brutal—datang dari AS dan Eropa, bawa senjata, rampas tanah, dan kadang menginjak hukum Israel itu sendiri.

Contoh konflik: Saat pemerintah (yang ditekan internasional) coba membongkar pos ilegal, pemukim melawan IDF. Bahkan menyerang tentara sendiri.

Akar masalah: Sekuler ingin stabilitas dan citra global. Pemukim ingin tanah suci, apapun risikonya.

Dampaknya: Citra Israel rusak di mata dunia. Hukum menjadi lelucon. Tentara dilecehkan oleh rakyatnya sendiri.



3. Yahudi Sekuler vs IDF: Tentara yang Tak Lagi Dihormati

Bukan Hamas yang bikin tentara Israel mundur. Tapi warganya sendiri—yang kini menolak dinas militer.

Saat perang Gaza pecah, banyak warga sekuler menolak ikut wajib militer. Ribuan tentara cadangan memboikot panggilan dinas. Pilot elite mogok terbang.

Seberapa sering? Sejak 2023, makin sering dan terbuka.

Akar masalah: Rasa keadilan hancur. Haredim bebas dari dinas. Tentara dipaksa jaga pemukim gila. Sekuler muak.

Dampaknya: IDF kehilangan wajahnya. Sekuler kehilangan kebanggaannya. Negara kehilangan alat tempurnya yang paling loyal.



4. Yahudi Sekuler vs Penguasa: Rezim Ultra-Ortodoks yang Membungkam Demokrasi

Ini bukan demokrasi, ini teokrasi diam-diam yang dikendalikan rabbi dan partai fanatik.

Pemerintahan Netanyahu, berkoalisi dengan partai ultra-Ortodoks, mulai membungkam Mahkamah Agung, mengendalikan parlemen, dan membentengi kekuasaan dengan ayat-ayat rabbi.

Contoh konflik: Gelombang protes 2023—jutaan turun ke jalan. Tentara, profesor, dokter, pelajar. Semua menolak “kudeta hukum.”

Akar masalah: Sekuler ingin demokrasi modern. Rezim ingin negara berdasarkan kitab Talmud dan suara blok religius.

Dampaknya: Israel jadi bahan tertawaan di dunia barat. Investor hengkang. Otak-otak terbaik kabur. Negara terancam jadi negara agama ekstrem.



5. Protes Perang Gaza: Warga Melawan Negara Pembunuh

Ketika rudal dijatuhkan atas nama negara, tapi rakyat sendiri menjerit “Hentikan pembantaian!”

Warga sipil, keluarga sandera, aktivis HAM, bahkan pensiunan tentara ikut turun ke jalan. Mereka tidak tahan melihat Gaza dibakar, anak-anak mati, dan dunia menjauh dari Israel.

Contoh protes: Setiap minggu. Di Tel Aviv, Haifa, Yerusalem. Bendera dibakar, seruan gencatan senjata, bahkan ajakan jatuhkan pemerintahan.

Akar masalah: Kehilangan nilai moral. Kehilangan arah. Perang tiada ujung. Sandera tak kembali, Gaza hancur, dunia muak.

Dampaknya: Citra Israel jatuh. Legitimasi moral ambruk. Dukungan publik menurun. Pemilu berikutnya bisa menjadi kiamat politik bagi penguasa.



Israel Tidak Dihancurkan oleh Hamas, Tapi oleh Dirinya Sendiri

Semua ini bukan dilema. Ini bom waktu. Masyarakat Israel bukan satu tubuh, tapi empat arah yang saling tarik dan saling sikat. Mereka bukan disatukan oleh visi—tapi oleh ketakutan. Dan ketakutan tidak bisa jadi fondasi negara.

Israel bukan sedang mempertahankan eksistensinya—tapi sedang menggali lubang kuburnya sendiri. Dengan tangan sendiri.

Konflik Internal dalam Masyarakat Israel: Retakan yang Kian Terbuka Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel adalah negara yang dibentu...

Konflik Internal dalam Masyarakat Israel: Retakan yang Kian Terbuka

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Israel adalah negara yang dibentuk oleh imigran Yahudi dari berbagai penjuru dunia—beragam dalam asal-usul, budaya, bahasa, dan terutama ideologi. Meskipun dari luar tampak bersatu menghadapi musuh bersama, realitas sosial internalnya penuh dengan konflik dan friksi antar kelompok.

Di tengah situasi politik, militer, dan sosial yang makin tegang, konflik internal antarkelompok Yahudi dan warga negara Israel sendiri justru memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi masyarakat mereka. Berikut lima jenis konflik utama yang memperlihatkan keretakan tersebut.


---

1. Konflik Yahudi Sekuler vs Haredim (Yahudi Ultra-Ortodoks)

Contoh Konflik:

Penolakan wajib militer oleh komunitas Haredim.

Demonstrasi besar menentang kurikulum sekolah nasional.

Blokade jalan oleh kelompok Haredi untuk menolak perintah pengadilan.


Seberapa Sering:

Rutin terjadi, terutama saat kebijakan militer atau pendidikan hendak diberlakukan secara menyeluruh.


Akar Masalah:

Haredim menolak Zionisme sekuler dan negara Israel dalam bentuk sekarang.

Mereka tidak bekerja secara formal, tidak ikut wajib militer, namun mendapatkan tunjangan besar dari negara.

Yahudi sekuler merasa tertindas secara ekonomi dan politik oleh dominasi suara religius di parlemen.


Dampaknya:

Meningkatnya polarisasi politik dan sosial.

Kemarahan masyarakat sekuler yang merasa dieksploitasi.

Ancaman disintegrasi sosial jangka panjang.



---

2. Konflik Yahudi Sekuler vs Pemukim Ilegal Yahudi

Contoh Konflik:

Bentrokan antara tentara IDF (yang sebagian besar dari kalangan sekuler) dan pemukim radikal saat pembongkaran pos ilegal (misalnya Amona 2017).

Pemukim menyerang warga Palestina, menyebabkan tekanan diplomatik internasional terhadap Israel.


Seberapa Sering:

Meningkat terutama di wilayah Tepi Barat dan saat ada desakan internasional untuk menertibkan permukiman ilegal.


Akar Masalah:

Pemukim sering mengabaikan hukum Israel sendiri dan lebih setia pada ideologi religius nasionalis.

Sekuler menilai tindakan mereka merusak citra internasional Israel dan memperburuk konflik.


Dampaknya:

Memburuknya citra Israel secara global.

Membelah masyarakat Yahudi antara kelompok legalis dan ekstremis religius.

Mengancam supremasi hukum negara itu sendiri.



---

3. Konflik Yahudi Sekuler vs IDF (Tentara Israel)

Contoh Konflik:

Aksi mogok ribuan tentara cadangan saat protes terhadap reformasi yudisial tahun 2023.

Penolakan beberapa warga untuk menjalani dinas militer karena kecewa terhadap arah politik negara.


Seberapa Sering:

Terjadi dalam situasi krisis politik, tetapi makin sering sejak 2023.


Akar Masalah:

Ketidakadilan sistem: Hanya kelompok sekuler yang diwajibkan militer, sementara Haredim dibebaskan.

Kekecewaan terhadap militer yang dianggap terlalu digunakan untuk menekan warga Palestina dan melayani kelompok pemukim ilegal.


Dampaknya:

Merosotnya moral militer.

Ancaman terhadap kesatuan IDF.

Kemungkinan munculnya gerakan pembangkangan sipil militer lebih luas.



---

4. Konflik Yahudi Sekuler vs Penguasa (Pemerintah/Koalisi Ultra-Ortodoks)

Contoh Konflik:

Demonstrasi berjilid-jilid menolak reformasi yudisial yang dianggap membungkam Mahkamah Agung.

Gerakan “Selamatkan Demokrasi Israel” yang didukung oleh jutaan warga, termasuk akademisi, perwira militer, hingga pengusaha teknologi.


Seberapa Sering:

Sangat sering dan intens sejak pemerintahan sayap kanan koalisi Netanyahu mendominasi sejak 2022.


Akar Masalah:

Kekecewaan warga sekuler terhadap pengaruh partai ultra-Ortodoks yang mengendalikan parlemen.

Ketakutan terhadap hilangnya sistem checks and balances di Israel.


Dampaknya:

Fragmentasi politik tajam.

Menurunnya kepercayaan terhadap sistem demokrasi Israel.

Gelombang emigrasi warga sekuler ke luar negeri.



---

5. Protes terhadap Perang di Gaza

Contoh Protes:

Demonstrasi menuntut gencatan senjata, terutama setelah meningkatnya korban sipil di Gaza.

Protes dari keluarga sandera yang meminta negosiasi, bukan pemboman terus-menerus.

Aksi diam dan pembakaran bendera sebagai simbol ketidaksetujuan terhadap cara perang dijalankan.


Seberapa Sering:

Semakin meningkat seiring lamanya perang Gaza sejak Oktober 2023 hingga 2025.

Protes muncul setiap minggu, terutama di Tel Aviv dan Yerusalem.


Akar Masalah:

Kematian warga sipil dan tentara dalam jumlah besar.

Ketidakjelasan tujuan akhir perang.

Rasa bersalah sebagian warga atas penderitaan rakyat Palestina.


Dampaknya:

Membuka jurang antara kalangan militeris dan aktivis perdamaian.

Munculnya tekanan domestik untuk mengakhiri operasi militer.

Menurunnya legitimasi moral Israel di mata warganya sendiri dan dunia internasional.



---

Penutup: Negara yang Satu Tubuh Tapi Banyak Jiwa

Israel bukanlah entitas homogen, melainkan tubuh yang dipenuhi konflik antara organ-organ yang saling tarik-menarik. Yahudi sekuler yang dulu menjadi penggerak utama negara kini merasa terpinggirkan, bahkan diperalat. Di sisi lain, kelompok religius dan pemukim ekstremis justru mendominasi ruang kekuasaan.

> Ketika masyarakat negara penjajah saling curiga, saling membenci, dan tidak punya ikatan ideologis bersama, kehancuran bukan tinggal menunggu musuh datang—tapi tinggal menunggu waktu dari dalam.

Runtuh dengan Sendirinya: Analisis Struktur Masyarakat Penjajah Israel yang Rapuh Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kekuatan sebuah neg...

Runtuh dengan Sendirinya: Analisis Struktur Masyarakat Penjajah Israel yang Rapuh

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Kekuatan sebuah negara dibangun dari kekokohan masyarakatnya. Sebaliknya, kehancuran muncul dari dalam: dari retakan sosial, konflik internal, dan rapuhnya ikatan kolektif. Al-Qur’an menunjukkan bagaimana Bani Israil runtuh bukan karena musuh luar semata, melainkan karena kerusakan internal mereka sendiri. Hukum ini tidak berubah; ia berlaku lintas zaman.

Bagaimana dengan Israel hari ini—negara kolonial yang berdiri di atas tanah pendudukan Palestina? Mari kita telaah struktur sosial masyarakatnya. Apakah mereka kokoh di dalam? Atau justru menyimpan bibit keruntuhan?



Empat Kelompok Utama dalam Masyarakat Israel

Struktur sosial Israel terdiri dari empat kelompok besar yang hidup berdampingan, namun tidak sepenuhnya bersatu. Hubungan masing-masing terhadap negara sangat beragam, bahkan kontradiktif.



1. Yahudi Sekuler dan Nasionalis (40–45%)

Kelompok ini, mayoritas berasal dari kalangan Ashkenazi (Eropa Timur), adalah pendiri dan pendukung utama proyek Zionisme sekuler. Mereka loyal terhadap negara, bangga terhadap militer (IDF), dan rela membayar pajak serta menyumbangkan anak-anaknya ke wajib militer.

Namun belakangan, mereka mulai pesimis terhadap masa depan Israel karena beberapa faktor:

Ancaman demografis dari komunitas Haredim yang berkembang cepat tapi tidak berkontribusi secara militer dan ekonomi.

Krisis legitimasi politik, terutama menyangkut Mahkamah Agung dan konflik eksekutif-yudikatif.

Perpecahan internal, polarisasi ideologis, dan isolasi diplomatik di mata dunia.



2. Yahudi Religius Ultra-Ortodoks (Haredim) (10–15%)

Kelompok ini memiliki ikatan ideologis yang lemah terhadap negara. Mereka tidak percaya pada Zionisme sekuler, dan bahkan sebagian besar menolak keberadaan negara Israel sebelum datangnya "Mesias".

Ciri khas mereka:

Tidak ikut wajib militer.

Hidup dari subsidi negara.

Sering melakukan demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.


Secara ideologis mereka menolak, tapi secara praktis mereka bergantung pada negara. Inilah yang membuat posisi mereka ambivalen: menolak dengan mulut, menerima dengan tangan.



3. Warga Arab Palestina (±20%)

Secara hukum mereka adalah warga negara Israel, namun secara nyata mereka mengalami diskriminasi sistemik:

Terpinggirkan dalam sektor pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan tanah.

Representasi politik terbatas dan sering dicurigai tidak loyal.


Meski demikian, sebagian dari mereka tetap berjuang memperjuangkan hak-hak secara legal dan sipil, serta mencoba hidup berdampingan secara damai.



4. Pemukim Yahudi Radikal (6–7%)

Banyak dari mereka merupakan imigran dari AS dan Eropa yang tinggal di wilayah pendudukan Tepi Barat. Mereka sangat fanatik terhadap ideologi Zionisme religius dan lebih loyal kepada tafsir agama daripada kepada hukum negara Israel.

Dalam praktiknya:

Sering bertindak brutal terhadap warga Palestina.

Kerap menolak perintah IDF, bahkan menyerang tentara Israel jika dianggap menghambat misi mereka.

Menjadi sumber ketegangan antara hukum negara dan gerakan kolonialisme religius.



Antara Retak Sosial dan Kesetiaan yang Bersyarat

Di antara keempat kelompok tersebut, tidak ada ikatan ideologis yang benar-benar menyatukan. Mereka datang dari berbagai latar belakang budaya, tradisi, bahkan bahasa yang berbeda. Ikatan kebangsaan bukan dibentuk dari cinta tanah air, melainkan dari satu faktor tunggal: ketakutan terhadap ancaman eksternal.

Konflik antara kelompok pun makin terang:

Yahudi Sekuler merasa dibebani oleh Haredim yang tidak bekerja namun menikmati subsidi dan bebas dari wajib militer.

Haredim merasa berhak atas kekuasaan politik dan anggaran negara karena pertumbuhan demografi dan dominasi di parlemen.

Warga Arab terus dipinggirkan dan diawasi dengan penuh kecurigaan.

Pemukim ilegal bertindak seolah-olah mereka memiliki hukum sendiri, sering berbenturan dengan militer Israel.



Fenomena Kewarganegaraan Ganda: Simbol Loyalitas Sementara

Fakta penting yang menunjukkan kerapuhan internal Israel adalah fenomena kewarganegaraan ganda, terutama di kalangan Yahudi Sekuler dan pemukim ilegal:

Banyak dari mereka tetap memegang paspor asing (AS, Kanada, Prancis, dll.) sebagai “asuransi geopolitik”.

Jika Israel goyah akibat perang, kekacauan politik, atau isolasi global, mereka sudah menyiapkan jalan keluar.

Hal ini terbukti saat serangan rudal dari Iran membuat bandara Israel ditutup, namun banyak warga tetap melarikan diri melalui laut, meski telah dilarang pemerintah.

Dengan kata lain, kesetiaan terhadap negara bersifat kondisional. Jika negara aman, mereka tinggal. Jika terancam, mereka pergi.



Negara yang Tergantung pada Ketakutan

Selama ini, yang menyatukan mereka hanyalah rasa takut. Ketika tekanan eksternal menurun, retakan internal makin terlihat. Sejak gelombang perlawanan Al-Aqsha, ketegangan antar kelompok meningkat drastis. Semakin banyak yang meninggalkan Israel, baik secara fisik maupun ideologis.

Masyarakat yang berdiri di atas dominasi, ketimpangan, dan loyalitas semu—hanya menunggu waktu untuk runtuh dari dalam.

Penjajah Israel Menciptakan Monster: Pemukim Ilegal Yahudi Kini Berani Menyerang Tentara Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar Penj...


Penjajah Israel Menciptakan Monster: Pemukim Ilegal Yahudi Kini Berani Menyerang Tentara Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Penjajahan Bukan Lagi oleh Tentara, Tapi oleh Warga Bersenjata

Israel tidak lagi mengandalkan tentara resmi untuk menjajah Palestina. Mereka menggunakan warga sipil bersenjata—pemukim Yahudi ilegal—yang ditempatkan secara sistematis di tanah Palestina. Mereka bukan sekadar pendatang. Mereka adalah pasukan penjajah yang berpakaian sipil, tapi dilatih dan dipersenjatai negara.

Dengan kedok “kembali ke tanah nenek moyang”, para pemukim ini menyerang, mengintimidasi, membakar rumah dan ladang rakyat Palestina, bahkan membunuh anak-anak, lalu berlindung di balik IDF.



Negara Israel Mendistribusikan Senjata ke Pemukim Fanatik

Di bawah Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, Israel mendistribusikan ribuan senjata otomatis ke pemukim di Tepi Barat. Mereka dilatih secara resmi, dan disebut sebagai “Pasukan Sipil”.

Ini bukan pertahanan diri. Ini adalah proyek kolonial bersenjata yang dilegalkan oleh undang-undang.

Mereka punya misi tunggal: mengosongkan tanah Palestina dengan paksa dan teror, satu desa demi satu desa.



IDF: Tentara yang Diam, Bahkan Berpihak

Ketika pemukim menyerang warga Palestina, IDF justru melindungi mereka. Warga Palestina yang membela diri sering ditangkap, dipukuli, bahkan dibunuh. Para pemukim nyaris tak tersentuh hukum.

Israel menciptakan rezim dua hukum: satu untuk Yahudi penjajah, satu untuk rakyat Palestina yang dijajah.



Pemukim Yahudi Kini Menyerang IDF

Ironis dan brutal: ketika IDF mencoba membongkar pos pemukiman liar—yang ilegal menurut hukum Israel sendiri—para pemukim melawan. Bahkan menembak tentara Israel!

Insiden di Homesh dan Evyatar adalah buktinya:

1. Tentara dilempar batu dan molotov.
2. Kendaraan militer dirusak.
3. Prajurit IDF ditembak oleh pemukim fanatik.


Israel kini dipukul oleh monster yang mereka ciptakan sendiri: fanatisme bersenjata atas nama Zionisme.



Pejabat Israel Malah Membela Monster Ini

Alih-alih mengecam, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich justru membela pemukim. Ia menyalahkan tentara. Ia menyebut pemukim sebagai “patriot”, dan mendorong penguatan pemukiman ilegal lewat anggaran negara.

Ini bukan lagi ekstremisme individu. Ini ekstremisme yang dilembagakan.



Penjajahan yang Membusuk dari Dalam

Pemukim Yahudi ilegal kini bukan hanya mengusir warga Palestina, mereka juga mengancam negara Israel sendiri. Mereka melawan tentara, menolak hukum, dan membentuk negara dalam negara.

Israel tidak sedang memperkuat wilayahnya. Ia sedang menggali kuburnya sendiri.

Fanatisme tak mengenal loyalitas. Mereka hanya tunduk pada ideologi, bukan hukum. Dan kini, proyek penjajahan itu mulai memakan tuannya sendiri.

Evolusi Pemukim Ilegal Yahudi: Dari Alat Penjajahan hingga Memusuhi IDF Oleh: Nasrulloh Baksolahar Rakyat Palestina bukan hanya ...

Evolusi Pemukim Ilegal Yahudi: Dari Alat Penjajahan hingga Memusuhi IDF

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Rakyat Palestina bukan hanya menghadapi kekerasan dari militer Israel (IDF), tetapi juga dari pemukim ilegal Yahudi yang dikirim secara sistematis untuk merampas tanah, membakar rumah, dan mengusir warga dari kampung halaman mereka. Mereka bukan sekadar warga biasa—tetapi bagian dari strategi penjajahan terstruktur yang kini mulai berbalik arah, bahkan menyerang militer Israel sendiri. Bagaimana proses ini terjadi?



1. Penjajahan Gaya Baru: Pemukim sebagai Alat Pengusiran

Penjajahan modern tidak selalu hadir lewat tank dan senapan serbu. Di Palestina, wajah penjajahan justru tampil dengan pakaian sipil: pemukim Yahudi ilegal yang ditempatkan oleh pemerintah Israel di wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Dengan dalih klaim historis dan agama, mereka hadir bukan untuk hidup berdampingan, tetapi untuk mengusir warga Palestina, menghancurkan ladang zaitun, membakar rumah-rumah, dan menciptakan ketakutan. Aksi-aksi mereka sering dilakukan di bawah perlindungan langsung atau diam-diam dari tentara Israel.

"Penjajahan kini berpakaian sipil, memegang senjata, dan mengaku warga biasa."



2. Pemukim Yahudi Dipersenjatai secara Resmi oleh Negara

Sejak 2023, Israel mempercepat distribusi senjata ke kalangan sipil Yahudi, terutama pemukim ilegal. Menteri Keamanan Nasional sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, bahkan membentuk “Pasukan Sipil” dari kalangan pemukim, lengkap dengan pelatihan militer oleh IDF.

Fakta-fakta mencengangkan:

1. Ribuan senapan otomatis dibagikan ke pemukim.

2. Pelatihan militer diberikan secara resmi.

3. Pos-pos pemukim berubah menjadi barak-barak bersenjata.


Senjata-senjata ini bukan untuk membela diri dari kriminalitas, melainkan untuk mengintimidasi dan mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri.

“Pemukim kini bersenjata, dilegalkan negara, dan didiamkan dunia internasional.”



3. IDF: Pelindung Hukum yang Diam atau Berpihak

Secara resmi, IDF (Israel Defense Forces) bertugas menjaga ketertiban hukum. Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Dalam banyak serangan pemukim terhadap desa-desa Palestina, IDF tidak mencegah, bahkan sering melindungi pelaku dan menahan warga Palestina yang membela diri.

Realitas di lapangan:

1. Serangan pemukim hanya berujung penahanan singkat, tanpa dakwaan.

2. Korban Palestina justru dipenjara atau dibunuh.

3. Perintah evakuasi pemukiman liar sering tidak dijalankan karena tekanan politik.


IDF bukan lagi pelindung hukum, tetapi penonton pasif atau bahkan pelaku kedua dalam penjajahan.



4. Bentrokan Pemukim dan IDF: Ketika Monster Menyerang Penciptanya

Ironisnya, pemukim bersenjata kini juga menyerang IDF ketika kepentingannya terganggu. Ketika tentara Israel mencoba menertibkan atau membongkar pos pemukiman ilegal, bentrokan pun pecah.

Insiden serius:

1. Pemukim menyerang IDF saat pembongkaran pos liar.

2. Mereka melempar batu, molotov, bahkan menembaki tentara yang hendak mengamankan lokasi.


Israel kini menghadapi konsekuensi dari ideologi ekstrem yang mereka pelihara sendiri—pemukim yang merasa lebih berhak dari negara, dan kini menolak dikendalikan oleh hukum manapun.



5. Menteri Keuangan Membela Pemukim dan Menyalahkan IDF

Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan Israel dan tokoh penting dalam ekspansi pemukiman, secara terbuka membela pemukim bersenjata, bahkan saat mereka bentrok dengan IDF.

Pernyataan kontroversialnya:

“IDF seharusnya mendukung, bukan melawan para patriot Yahudi.”

Menuduh tentara “terlalu lembek” pada warga Palestina dan “terlalu keras” pada pemukim.

Menolak pembongkaran pos liar meski dinyatakan ilegal secara hukum Israel sendiri.


Smotrich bahkan mendorong penambahan anggaran negara untuk memperkuat pemukiman Yahudi, menjadikannya proyek penjajahan yang disokong penuh oleh dana publik dan aparat resmi.



Penjajahan yang Kini Berbalik Menghantam Dirinya Sendiri

Kita sedang menyaksikan penjajahan yang tidak hanya brutal terhadap yang dijajah, tetapi juga berbalik menghantam institusi yang menciptakannya. Pemukim Yahudi bukan lagi hanya alat, melainkan aktor utama dalam konflik:

1. Mereka menyerang warga Palestina dengan impunitas.

2. Mereka dipersenjatai dan dilegalkan oleh negara.

3.Mereka melawan tentara sendiri demi ideologi.

4. Dan mereka dibela oleh elit politik, meski telah melanggar hukum.


Para pemukim Yahudi telah berevolusi dan akan terus berevolusi. Seperti kaum Bani Israil yang dibebaskan oleh Nabi Musa, lalu mendurhakai Nabi Musa sendiri. Kelak, mereka akan membangkang kepada penguasa penjajah Israel sendiri. Seperti penolakan kaum Haredim yang menolak untuk wajib militer.

Sultan Abdul Hamid II: Membayar Utang Rakyat Palestina Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada akhir abad ke-19, saat Palestina masih be...

Sultan Abdul Hamid II: Membayar Utang Rakyat Palestina

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Pada akhir abad ke-19, saat Palestina masih berada di bawah kekuasaan Kekhilafahan Utsmani, rakyatnya dilanda krisis ekonomi. Gagal panen, pajak yang berat, serta ekspansi rentenir Yahudi yang disokong organisasi Zionis internasional membuat banyak petani terjerat utang.

Tanah-tanah warisan pun mulai jatuh ke tangan asing karena tak sanggup membayar. Kehormatan umat terancam.



Strategi Zionis: Menguasai Tanah Lewat Jerat Utang

Gerakan Zionis yang dipimpin Theodor Herzl berupaya membeli tanah-tanah strategis di Palestina. Namun mereka tidak hanya datang dengan uang. Mereka menggunakan strategi yang lebih licik: menciptakan krisis dan menjerat rakyat dengan utang, lalu menyita tanah mereka saat tak mampu membayar.

Rakyat Palestina yang miskin tak mampu menebus tanahnya sendiri. Banyak keluarga menghadapi ancaman kehilangan rumah dan kampung halaman mereka.



Utusan Palestina Menghadap Sultan

Melihat ancaman itu, para ulama, tokoh adat, dan petani Palestina mengutus seorang alim bernama Syaikh Yusuf Asy-Syaqiri, dari wilayah Al-Quds, untuk menghadap Sultan Abdul Hamid II di Istanbul.

Di hadapan Khalifah, Syaikh Yusuf mengadu:

“Wahai Khalifah, tanah Palestina sedang dikepung oleh utang dan tipu daya. Rakyatmu terancam kehilangan kehormatan dan rumah mereka.”


Sultan Abdul Hamid terdiam lama, lalu menjawab tegas:

“Jika mereka datang membawa air mata, maka aku akan menjawabnya dengan harta. Tidak akan aku biarkan tanah suci itu jatuh ke tangan musuh karena utang!”



Langkah Nyata Sang Sultan

Sultan Abdul Hamid segera memerintahkan:

Utang rakyat di Al-Quds, Nablus, dan Haifa agar dilunasi secara diam-diam dari kas kekhalifahan.

Register tanah wakaf dibentuk, agar tanah umat tidak bisa dijual seenaknya, terutama kepada Zionis.

Dana pribadi kesultanan digunakan untuk menebus kembali tanah-tanah strategis yang telah berpindah tangan.

Larangan hukum resmi dikeluarkan: tanah Palestina tak boleh dijual kepada orang asing, apalagi Zionis.


Ia juga mengirim surat kepada para gubernur di wilayah Syam:

“Jika rakyatku tidak mampu membayar utangnya kepada rentenir, maka bayarkan diam-diam dari dana kekhalifahan. Jangan biarkan mereka kehilangan tanah karena kemiskinan.”

Bagi sang Sultan, utang rakyat bukan sekadar masalah ekonomi, tapi persoalan kehormatan umat Islam.



Penolakan Terhadap Theodor Herzl

Pada 1901, Theodor Herzl secara langsung datang ke Istanbul dan menawarkan pelunasan seluruh utang negara Utsmani. Sebagai imbalan, ia meminta izin membeli tanah di Palestina dan membuka pintu migrasi Yahudi ke sana.

Sultan Abdul Hamid menjawab dengan sikap tegas dan bersejarah:

“Aku tidak akan menjual satu jengkal pun dari tanah Palestina. Tanah itu bukan milikku, tetapi milik umat. Jika kekhalifahan ini hancur sekalipun, biarlah ia hancur. Tapi tanah itu tetap tanah Islam.”



Perjuangan Diteruskan oleh Syaikh Izzudin Al-Qassam

Setelah Kekhilafahan Utsmani runtuh, dan Palestina jatuh ke tangan Inggris (1917–1948), penderitaan rakyat kian menjadi. Tapi perlawanan belum padam.

Muncullah Syaikh Izzudin Al-Qassam (1882–1935), ulama asal Suriah yang menetap di Haifa, Palestina. Ia menyaksikan sendiri akibat jeratan utang dan tipu daya kolonial Yahudi-Inggris terhadap rakyat Palestina.

Al-Qassam bangkit. Ia menyatukan rakyat miskin, buruh, dan petani, membentuk sel-sel perlawanan bersenjata. Ia bukan hanya dai, tapi juga mujahid.

Dalam khutbahnya, ia pernah berkata:

“Barang siapa menjual tanahnya kepada Yahudi, maka ia telah menjual agamanya dan kehormatannya.”

Syaikh Al-Qassam akhirnya gugur dalam pertempuran melawan Inggris, tetapi semangatnya terus hidup—menjadi inspirasi utama berdirinya Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas hari ini.

Tank Canggih Israel Dikejar Bocah Palestina: Lalu Siapa yang Sebenarnya Kuat? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Perang Iran-Israel hany...

Tank Canggih Israel Dikejar Bocah Palestina: Lalu Siapa yang Sebenarnya Kuat?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Perang Iran-Israel hanya 12 hari. Perang Hizbullah-Israel cuma dua bulan. Tapi Gaza? Sudah berbulan-bulan dibombardir, namun tak kunjung selesai. Kenapa?

Karena di Gaza, Israel tidak berhadapan dengan rudal canggih atau drone seribu unit. Tapi dengan jiwa tak gentar dan iman tak tergoyahkan. Di Gaza, bukan alat berat yang bicara—tapi keyakinan bahwa hidup mati ditentukan oleh Allah, bukan oleh tank Merkava buatan AS.

Ingat peristiwa yang terekam jelas di media penjajah sendiri:
Seorang pejuang Palestina berlari ke arah tank Israel dan meledakkannya dengan bom rakitan.
Tank yang katanya tak bisa dihancurkan, hancur berantakan.
Tujuh tentara di dalamnya mati.

Lalu di hari lain, seorang anak muda Palestina—hanya bersenjatakan senapan sederhana—mengejar tank Israel yang justru lari terbirit-birit.

Siapa sebenarnya yang harusnya takut?



Amerika Tak Butuh Gencatan Senjata, Mereka Butuh Israel Menang

Dalam perang Iran dan Hizbullah, ketika Israel mulai terdesak, Amerika langsung turun tangan. Pesawat, rudal, logistik dikirimkan. Dunia tahu siapa sebenarnya "sutradara" konflik ini.

Tapi kenapa di Gaza, gencatan senjata gagal terus?

Karena Amerika sedang menunggu dan mengulur waktu—mereka berharap Israel segera menang dan menghapus Gaza dari peta. Tapi yang terjadi sebaliknya: semakin lama perang, semakin hancur moral dan militer Israel.

Avi Ashkenazi, jurnalis senior Ma'ariv, terang-terangan mengatakan:
“Tentara Israel berada di ambang kehancuran. Ini perang tak masuk akal!”



Gaza: Bukan Sekadar Wilayah, Tapi Neraka Bagi Penjajah

Israel terus menggempur Gaza dengan jet tempur dan bom vakum. Tapi satu hal yang tidak bisa mereka bom adalah: semangat hidup orang-orang Gaza.

> Rumah mereka hancur. Anak mereka mati. Tapi tekad mereka justru bertambah kuat.
Satu anak syahid, sepuluh pemuda bangkit.
Satu masjid roboh, seribu suara takbir menggema.

Di Gaza, batu melawan tank, bom rakitan melawan pesawat F-35, doa melawan propaganda dunia.

Dan dunia menyaksikan, bagaimana sebuah bangsa kecil yang diblokade, dijajah, dan dikubur hidup-hidup justru mengguncang sendi-sendi moral penjajah.



 Israel Akan Kalah, Tapi Dunia Harus Tahu Bagaimana Mereka Jatuh

Perang Gaza belum berakhir karena kebenaran sedang berjalan perlahan namun pasti.

Israel akan kalah—tapi bukan karena kehabisan bom. Mereka akan kalah karena kehabisan harga diri, semangat, dan legitimasi moral.

Mereka kalah karena takut pada bocah Gaza yang siap mati demi kebebasan.
Mereka kalah karena dunia akhirnya sadar: yang dijajah bukan teroris, tapi manusia yang membela tanahnya.

Dan sampai tubuh raksasa Zionis itu tenggelam dalam lumpur yang mereka gali sendiri, Gaza akan terus bertahan.
Bukan karena senjata,
Tapi karena Tuhan mereka tidak tidur.

Mengapa Perang Gaza Tak Kunjung Berakhir? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Perang antara Iran dan Israel hanya berlangsung 12 hari—dar...

Mengapa Perang Gaza Tak Kunjung Berakhir?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Perang antara Iran dan Israel hanya berlangsung 12 hari—dari 13 hingga 25 Juni 2025. Perang antara Israel dan Hizbullah di Lebanon pun relatif singkat, dimulai pada 1 Oktober 2024 dan berakhir dengan gencatan senjata pada 27 November 2024. Tetapi sangat berbeda halnya dengan Gaza: perang di sana berlangsung terus tanpa ujung, walau berbagai upaya gencatan senjata terus digelar. Mengapa perang Gaza justru menjadi yang paling lama dan tak kunjung selesai?

Dalam perang melawan Iran, kita menyaksikan pertempuran antara dua kekuatan yang relatif seimbang secara militer: rudal melawan pesawat tempur. Dalam perang melawan Hizbullah, pasukan darat Israel menghadapi infrastruktur perlawanan yang solid, lengkap dengan rudal dan drone. Kedua pihak memiliki kekuatan tempur yang setara dalam aspek-aspek teknis.

Namun Gaza berbeda. Perang di sana sangat tidak berimbang. Pasukan penjajah Israel memiliki persenjataan tercanggih di dunia, sedangkan pejuang Palestina bersenjata sederhana dan terbatas. Tetapi justru karena ketimpangan inilah, wajah asli konflik Gaza terlihat jelas: ini bukan sekadar perang antar militer, melainkan ujian sejarah antara penjajahan dan perlawanan, antara imperialisme dan keberanian rakyat.

Dalam perang melawan Iran dan Hizbullah, Israel sempat terdesak. Dunia menyaksikan bagaimana Amerika Serikat langsung turun tangan untuk menyelamatkan sekutunya. Kedok perlindungan buta AS terhadap Israel pun semakin terbuka. Tetapi di Gaza, meskipun pasukan Israel menggempur habis-habisan, mereka belum juga mencapai kemenangan. Amerika pun memilih menunggu dan mengulur waktu, berharap perang segera dimenangkan oleh Israel—yang sampai hari ini belum terjadi.

Di tengah ketimpangan ini, Allah SWT menampakkan kebenaran firman-Nya. Karakter pengecut yang mendarah daging di dalam jiwa Yahudi ditampakkan di medan perang. Benteng pertahanan mereka tak menyelamatkan. Rumah-rumah yang mereka bangun hancur oleh tangan mereka sendiri.

Bagaimana mungkin satu orang pejuang Palestina bisa membunuh tujuh tentara Israel yang berlindung dalam tank tercanggih di dunia? Tapi ini benar-benar terjadi. Kita telah berkali-kali menyaksikan video seorang pejuang Palestina keluar dari persembunyiannya, mendekati tank, lalu meledakkannya dengan bom. Bahkan, ada adegan di mana seorang pejuang dengan senapan biasa mengejar tank Israel yang lari terbirit-birit.

Fenomena ini memalukan bagi militer Israel, dan menjadi bahan kritik tajam di media penjajah. Beberapa komentator berdalih bahwa tank-tank tersebut tidak memenuhi standar militer karena tidak dilengkapi kamera 360 derajat. Namun, yang terlihat nyata justru keberanian pejuang Palestina dibanding ketakutan tentara penjajah.

Avi Ashkenazi, koresponden militer surat kabar Ma'ariv, mengakui bahwa tentara Israel kini berada di ambang kehancuran di Gaza. Ia menyebut bahwa kelanjutan perang ini tidak masuk akal lagi dan menyerukan untuk segera mengakhirinya sebelum Israel menanggung kerugian yang lebih besar.

Meski demikian, Israel tetap akan terus membumihanguskan Gaza. Tak ada yang benar-benar mampu menghentikannya—tidak PBB, tidak AS, tidak negara Arab sekalipun. Namun Allah SWT sedang bekerja membongkar kebusukan mereka dari dalam. Ketika sendi-sendi kekuatan itu runtuh, tubuh raksasa penjajah itu akan terseret ke dalam lumpur kehancuran yang mereka gali sendiri.

Inilah sebabnya mengapa perang Gaza tak pernah benar-benar berakhir.
Karena Gaza bukan sekadar wilayah—ia adalah medan ujian sejarah dan iman.

Gencatan Senjata Iran-Israel: Apa Pengaruhnya Bagi Gaza? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Iran tidak berperang demi membela Palestina....

Gencatan Senjata Iran-Israel: Apa Pengaruhnya Bagi Gaza?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Iran tidak berperang demi membela Palestina. Iran berperang karena wilayahnya diserang langsung oleh Israel. Dalam kacamata hukum internasional, respons Iran adalah bentuk pembelaan diri yang sah. Ini bukan soal solidaritas, ini soal kedaulatan yang dilanggar.

Dalam konflik ini, Israel tampil dengan superioritas teknologinya—pesawat tempur canggih dan sistem pertahanan udara tercanggih di dunia. Sementara Iran, yang selama bertahun-tahun diblokade, tidak memiliki armada udara modern. Tapi Iran menjawab serangan itu dengan hujan rudal yang menembus hingga jantung Tel Aviv, menghancurkan instalasi militer, ekonomi, hingga infrastruktur energi.

Hasilnya? Israel terpojok. Donald Trump, sekutu kuat Israel, segera menyatakan gencatan senjata sepihak. Banyak analis militer menyebut bahwa Israel mengalami kekalahan besar, bahkan memalukan. Iran pun merayakan kemenangan itu dengan lantang.

Tapi apa dampaknya bagi Gaza?


Gaza dan Perlawanan yang Tak Bergantung Negara

Perlawanan Gaza bukan dimotori negara, tetapi oleh gerakan rakyat yang terorganisasi. Ini mengingatkan kita pada sejarah Nuruddin Zanky dan Shalahuddin Al-Ayyubi—mereka bukan pemimpin kerajaan besar saat memulai perjuangan, tapi mampu mengubah perlawanan menjadi kekuatan negara. Dari kekuatan akar rumput lahirlah Dinasti Zanky dan Ayyubi.

Seperti itulah semangat Gaza: tak bergantung pada kekuatan resmi negara, tapi bertahan dengan tekad dan pengorbanan.


Kekalahan Israel di Udara: Efek Domino untuk Gaza

Kekalahan pasukan udara Israel dari Iran adalah pukulan besar terhadap mitos dominasi militernya. Selama ini, Israel membanggakan superioritas udaranya, terutama saat pasukan daratnya terpukul oleh pejuang Gaza.

Kini, kebanggaan itu hancur.

Bagaimana bisa pasukan udara terbaik yang mereka agung-agungkan justru dikalahkan oleh negara yang diblokade?

Jika Iran yang dibatasi teknologinya bisa menembus pertahanan Israel, maka Gaza yang terkepung pun punya harapan besar. Harapan bahwa pertahanan Israel bukan tak tertembus. Bahwa tentara Israel bukan tak terkalahkan. Bahwa penjajah bisa digoyahkan, bahkan oleh mereka yang terjepit.


Moril Penjajah yang Terus Runtuh

Kekalahan udara Israel berdampak langsung ke pasukannya di Gaza. Selama ini, tentara darat Israel bisa mengandalkan "pasukan udara" sebagai penopang semangat. Kini, penopang itu runtuh.

Kalau pasukan elit mereka bisa dihancurkan, pasukan darat apa lagi yang bisa dibanggakan?

Data menunjukkan, tentara Israel terus berguguran di Gaza. Moral mereka anjlok. Sementara itu, para pejuang Gaza—yang terkurung dan diblokade—masih bertahan dengan keyakinan.


Gaza Mendapatkan Kabar Gembira

Gencatan senjata antara Iran dan Israel bukan akhir dari peperangan, tapi sebuah babak baru. Gaza mendapatkan kabar gembira: bahwa kemenangan itu mungkin, bahwa mitos kekuatan Israel telah retak, dan bahwa perlawanan bisa berhasil bahkan tanpa kekuatan negara.

Dalam 12 hari, Iran membuat Israel kewalahan di udara.
Dalam berbulan-bulan, Gaza membuat Israel kehabisan akal di darat.
Sejarah sedang menulis ulang siapa yang sebenarnya kuat dan siapa yang tinggal menunggu waktu.

Saat Langit Iran Menembus Dinding Mitologi Israel Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel selama ini dikenal dengan reputasi militerny...

Saat Langit Iran Menembus Dinding Mitologi Israel

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Israel selama ini dikenal dengan reputasi militernya: pasukan udara tercanggih, sistem pertahanan paling mutakhir, dan teknologi perang hasil dukungan tak terbatas dari Barat. Namun, semua mitos itu hancur dalam hitungan hari ketika Iran—negara yang diblokade puluhan tahun—melawan dan menghantam jantung pertahanan mereka.

Israel menyerang wilayah Iran. Iran membalas, bukan atas nama Palestina, tapi karena kedaulatannya diinjak-injak. Ini bukan sekadar konflik, ini pembalasan atas arogansi.

Di hadapan pesawat-pesawat siluman dan pertahanan udara buatan Amerika, Iran hanya bersenjatakan rudal dan keberanian. Tapi rudal-rudal itu menembus Tel Aviv. Menghancurkan infrastruktur militer dan ekonomi. Dunia terkejut: negara yang dikucilkan dunia justru membuat Israel tersungkur dalam perang udara tercepat dan paling memalukan.


Ketika Israel Meminta Gencatan, Iran Mengangkat Tangan Kemenangan

Gencatan senjata diumumkan sepihak oleh sekutu utama Israel. Dunia militer tahu: gencatan itu adalah pengakuan diam-diam atas kekalahan. Iran tak perlu menguasai wilayah, cukup membuat Israel menyadari bahwa mereka bukan dewa perang. Mereka rapuh, dan kini seluruh dunia tahu.


Gaza Tidak Butuh Pesawat, Cukup Keberanian

Apa hubungannya dengan Gaza? Segalanya. Selama ini, Israel membantai warga Gaza dari udara—karena pasukan darat mereka selalu terpukul. Mereka selalu menyombongkan "kami punya angkatan udara," untuk menutupi lumpuhnya pasukan darat mereka di jalur Gaza.

Kini, kebanggaan itu runtuh. Iran mempermalukan pasukan udara mereka. Gaza pun tahu: singa yang menakutkan itu ternyata hanya boneka besi yang mudah terbakar.


Sejarah Kembali Mengulang: Dari Rakyat Tertindas Lahir Dinasti Pejuang

Gaza bukan negara. Tapi begitu pula dulu Shalahuddin Al-Ayyubi dan Nuruddin Zanky. Mereka bukan sultan besar saat memulai perlawanan. Tapi mereka punya semangat, strategi, dan visi. Maka dari tangan mereka lahirlah kejayaan.

Kini Gaza berdiri di jalan yang sama. Dan kemenangan Iran menjadi bukti bahwa penjajah bisa dikalahkan bahkan dari keterbatasan.


Saat Prajurit Terbaik Tersungkur, Apa Lagi yang Bisa Diandalkan?

Pasukan Israel di Gaza kini kehilangan satu-satunya tumpuan moral: angkatan udara. Selama ini, saat pasukan darat mereka terbantai, mereka berkata, "tenang, udara masih milik kita."

Tapi bagaimana kalau langit pun tak lagi aman?

Saat angkatan udara—prajurit terpilih mereka—dikalahkan oleh negara yang diblokade, pasukan apa lagi yang masih bisa mereka banggakan?

Data menunjukkan, jumlah tentara Israel yang gugur di Gaza terus bertambah. Kini mereka dipukul dari darat oleh Gaza, dan dari langit oleh Iran.


Tembok Mitologi Itu Sudah Retak

Israel bukan dewa perang. Bukan mitos yang tak bisa disentuh. Ia hanya aktor militer yang dilindungi propaganda dan teknologi impor. Tapi ketika rudal Iran menghantam Tel Aviv, seluruh dunia tahu: kebohongan tentang keperkasaan Israel kini mulai runtuh.

Gaza tersenyum. Dunia Arab bergelora. Dan penjajah mulai ketakutan.

 Langit sudah berubah. Gaza melihat harapan. Dan Israel tak lagi bisa menipu dunia dengan tameng teknologinya.

Kepahaman Nabi Ya‘qub atas Kedok-Kedok Amerika Oleh: Nasrulloh Baksolahar Serangan Amerika ke Iran, siapa yang sebenarnya diuntu...

Kepahaman Nabi Ya‘qub atas Kedok-Kedok Amerika

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Serangan Amerika ke Iran, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Untuk kepentingan rakyatnya atau untuk penjajah Israel?

Fakta menunjukkan bahwa 45% warga Amerika menolak intervensi militer ke Iran, dan 30% lainnya belum menentukan sikap. Bahkan, serangan udara dengan pesawat bomber siluman B-2 itu tidak melalui persetujuan kongres.

Di balik jargon “America First” yang dielu-elukan Donald Trump, ternyata Israel tetap menjadi prioritas utama. Saat anggaran bantuan untuk lembaga-lembaga internasional dikurangi, justru bantuan ke penjajah Israel terus mengalir deras. Trump menjanjikan kebangkitan Amerika, tapi salah satu jalannya justru dengan memperkuat rezim penjajah yang kerap melanggar hukum internasional.


Kedok-Kedok yang Berulang

Di Palestina, Amerika berdiri di belakang Israel dengan kedok diplomasi dan infrastruktur militer. Di Iran, Amerika bahkan secara terang-terangan membantu penjajah yang terlebih dahulu melancarkan serangan. Ini bukan lagi dukungan pasif—ini bentuk aktif dari legalisasi penjajahan.

Yang lebih ironis, setelah melakukan pemboman, Trump justru menyerukan perdamaian. Bukankah ini mirip strategi penjajah Israel yang terus membombardir Gaza, lalu menuduh Hamas menolak gencatan senjata?


Strategi Lama, Wajah Baru

Strategi ini sesungguhnya bukan hal baru. Al-Qur’an telah mencatat pola ini dalam kisah Nabi Yusuf. Ketika saudara-saudara Yusuf merencanakan kejahatan, mereka berkata:

> "Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu bertobatlah, sehingga kamu menjadi kaum yang saleh."
(QS. Yūsuf [12]:9)


Mereka melakukan kejahatan terlebih dahulu, lalu membungkusnya dengan niat tobat dan citra kebaikan. Ini pola lama dengan wajah baru—dan Amerika menerapkannya di panggung internasional. Menghancurkan lebih dulu, lalu mengangkat slogan perdamaian.


Kepahaman Nabi Ya‘qub dan Kepahaman Dunia

Apakah dunia tidak menyadari tipu daya ini? Al-Qur’an menunjukkan bahwa kepalsuan selalu bisa dikenali, sebagaimana Nabi Ya‘qub menyadari sandiwara anak-anaknya ketika mereka membawa baju Yusuf yang dilumuri darah palsu:

> "Mereka datang membawa bajunya (yang dilumuri) darah palsu. Dia (Ya‘qub) berkata, 'Justru hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan (yang buruk) itu. Maka bersabarlah, itulah yang terbaik (bagiku).'”
(QS. Yūsuf [12]:18)


Nabi Ya‘qub tidak tertipu oleh narasi buatan. Ia memahami bahwa di balik air mata dan cerita duka, ada kedok dan tipu daya. Begitulah seharusnya dunia memahami wajah Amerika dan Israel hari ini—mereka menyerukan damai di mimbar PBB dan forum-forum internasional, namun memantik perang di medan realitas.


Penutup

Dunia tidak lagi buta. Kepahaman Nabi Ya‘qub harus menjadi kepahaman umat hari ini—tidak mudah tertipu oleh sandiwara politik dan diplomasi palsu. Amerika dan penjajah Israel telah terlalu sering memainkan peran sebagai korban, sambil terus memproduksi penderitaan.

Maka, seperti Nabi Ya‘qub, kita bersabar dengan mata terbuka—menyadari kenyataan, namun tetap bersandar kepada pertolongan Allah. Juga terus melawan dengan cara yang kita bisa.

Bangsa yang Hidup dari Mengemis: Jejak Mentalitas Yahudi Sejak Kemunculannya  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Penjajahan Zionis atas ...

Bangsa yang Hidup dari Mengemis: Jejak Mentalitas Yahudi Sejak Kemunculannya 


Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Penjajahan Zionis atas tanah Palestina bukan bermula dari kekuatan, tetapi dari permintaan dan lobi-lobi penuh pengharapan. Mereka datang kepada Inggris—penguasa Mandat Palestina pasca-Perang Dunia I—dan meminta tanah yang bukan milik mereka. Maka lahirlah Deklarasi Balfour tahun 1917, janji sepihak kepada kaum Yahudi untuk mendirikan "tanah air nasional" di Palestina, tanpa memperdulikan hak rakyat Palestina sendiri.

Namun apakah permintaan itu berhenti di situ?

Setelah merampas rumah, kebun, dan tanah rakyat Palestina, Zionis Yahudi mengemis dana dan dukungan politik kepada Amerika Serikat. Presiden Harry Truman menjadi salah satu pemimpin Barat yang menyanggupi permintaan itu, menjadikan Israel sebagai proyek strategis dalam peta politik global pasca-Perang Dunia II.

Ketika Perang Enam Hari tahun 1967 dan Perang Yom Kippur 1973 meletus, Israel kembali memohon bantuan militer kepada Amerika dan Eropa, sementara Barat justru memblokade suplai senjata ke negara-negara Arab. Kemenangan militer Israel saat itu tidak berdiri di atas kemandirian, tapi di atas dukungan penuh blok Barat yang meminggirkan keadilan.

Ketika Israel memperkuat infrastruktur militernya hingga menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah, mereka melakukannya dengan dukungan teknologi, intelijen, dan dana dari sekutu-sekutunya. Sementara itu, negara-negara Arab ditekan melalui diplomasi dan bantuan, agar menjadi sekutu diam-diam penjajah yang tak pernah terang-terangan bersuara.

Lalu ketika Israel mulai melakukan genosida sistematis terhadap rakyat Palestina, mengancam negara-negara sekitarnya, dan bahkan memprovokasi Iran, apa yang terjadi?

Mereka kembali mengemis dukungan. Kali ini dengan menjual narasi ketakutan: senjata nuklir Iran, terorisme, dan eksistensi negara Yahudi yang "terancam". Mereka ingin Amerika turun tangan lagi, berperang untuk mereka, mengorbankan prajurit dan anggaran demi kelangsungan kolonialisme mereka.

Apakah pola ini hanya terjadi di era modern?

Sejarah mencatat, tradisi meminta dan menggantungkan diri ini telah menjadi bagian dari sikap mental kolektif mereka sejak zaman dahulu:

Di era Nabi Ya'qub, mereka datang ke Mesir saat kelaparan, meminta bantuan pangan dari kerajaan asing.

Di era Nabi Musa, mereka meminta makanan, minuman, dan kenyamanan dari langit, sembari menolak perintah jihad dan memilih bertahan dalam zona nyaman.

Mereka bahkan meminta Nabi Musa dan Harun agar menjadi wakil mereka dalam menghadapi bangsa Kan’an—padahal tanah itu telah dijanjikan kepada mereka.

Di masa Thalut, mereka menuntut seorang raja kepada Nabi mereka agar memimpin perang melawan Jalut—tetapi mereka sendiri lari dari medan tempur.

Ketika mendengar kabar tentang kedatangan Nabi akhir zaman, mereka datang ke Madinah bukan untuk iman, tetapi untuk mengembalikan supremasi rasial yang telah lama hilang.


Bangsa ini hidup dari menggantungkan diri kepada yang lain. Jika tak ada pihak yang bisa dimintai, maka mereka kehilangan arah dan kekuatan. Inilah pola mental yang tetap bertahan bahkan hingga abad ke-21.

Lalu, mengapa Muslimin dan bangsa Arab hari ini justru tak percaya diri menghadapi mereka?
Padahal sejarah membuktikan: mereka hanya unggul jika dibantu. Tanpa sokongan, mereka bukan siapa-siapa. Maka, masalah bukan pada kekuatan mereka, tetapi pada keraguan kita terhadap kekuatan kita sendiri.

"Hamba-Hamba-Ku yang Kuat" dalam Terminologi Kehancuran Bani Israil? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ayat Al-Qur'an yan...

"Hamba-Hamba-Ku yang Kuat" dalam Terminologi Kehancuran Bani Israil?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ayat Al-Qur'an yang menjadi dalil tentang kehancuran Bani Israil setiap kali mereka berbuat kezaliman dan kerusakan terdapat dalam surah Al-Isra’:

> "Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’ Maka apabila datang saat hukuman untuk (kezaliman) pertama dari keduanya, Kami kirimkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang sangat kuat, lalu mereka memasuki perkampungan-perkampungan kalian. Dan itu adalah janji yang pasti terlaksana.”
— (QS Al-Isra’: 4–5)


Dalam pandangan para mufassir klasik, "hamba-hamba-Ku yang kuat" dalam ayat ini merujuk pada dua kekuatan besar yang pernah menghancurkan kerajaan Yahudi setelah masa Nabi Sulaiman a.s.:

1. Serbuan Kerajaan Asyur (Assyria):
Kekaisaran ini menghancurkan Kerajaan Israel (utara), yang dihuni oleh sepuluh suku Bani Israil, sekitar tahun 722 SM. Kota Samaria, ibu kotanya, dijarah dan penduduknya diasingkan.


2. Serbuan Kerajaan Babilonia (Babylonia):
Di bawah kepemimpinan Nebukadnezar II, Babilonia menghancurkan Kerajaan Yehuda (selatan), menghancurkan Baitul Maqdis (Solomon’s Temple), dan menawan ribuan orang Yahudi ke Babilonia pada tahun 586 SM.


Secara militer, Kerajaan Asyur dan Babilonia jauh lebih kuat dibandingkan kerajaan-kerajaan Yahudi saat itu, baik dari segi jumlah pasukan, teknologi militer, maupun strategi perangnya. Maka hancurlah dua kerajaan Yahudi itu secara total. Namun, bagaimana dengan konteks saat ini?


Kekuatan di Era Modern: Siapa “Hamba-Hamba-Ku yang Kuat”?

Di era sekarang, penjajah Israel justru menjadi kekuatan militer terkuat di kawasan Timur Tengah, dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat dan sekutu Eropa. Negara-negara Arab yang dulu menentangnya, kini satu per satu menjalin kompromi dan normalisasi:

1. Mesir dan Yordania sudah lama menjadi sekutu Israel secara diplomatik.

2. Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Oman telah melakukan normalisasi.

3. Arab Saudi berada di ambang normalisasi dengan bujukan Amerika.

4. Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman dilumpuhkan oleh konflik internal dan perang proksi.

Yang tersisa adalah Iran, satu-satunya kekuatan regional yang masih aktif menentang dominasi Israel. Namun, secara militer konvensional, Iran pun masih berada di bawah Israel dari sisi teknologi dan daya tempur terbuka.

Lalu, di manakah posisi “hamba-hamba-Ku yang kuat” sebagaimana yang Allah janjikan dalam surat Al-Isra’? Apakah konsepnya masih identik dengan kekuatan militer besar seperti Asyur dan Babilonia, atau sudah bergeser?


Dari Infrastruktur ke Ideologi

Sejarah mencatat bahwa kemenangan di masa lalu ditentukan oleh dominasi militer dan infrastruktur. Saat Romawi dan Persia berebut pengaruh di wilayah Syam (Palestina), kekuatan ditentukan oleh logistik, jumlah pasukan, dan teknologi tempur.

Namun, sejak kebangkitan Islam di Hijaz, peta kekuatan berubah total. Kaum Muslimin yang secara infrastruktur lemah justru mampu mengalahkan dua imperium besar: Romawi dan Persia. Di sini, kekuatan ideologis, spiritualitas, dan kesatuan visi menjadi faktor utama kemenangan.

Apakah ini berarti, di era modern pun, yang disebut “hamba-hamba-Ku yang kuat” tidak semata-mata diukur dari besar pasukan atau kecanggihan persenjataan?

Mungkin, kekuatan mereka lahir dari kesabaran di bawah tekanan, keberanian yang dibentuk oleh penderitaan, dan keyakinan yang tak goyah terhadap janji Allah. Seperti kekuatan Gaza hari ini, yang diblokade total tapi mampu mengguncang negeri yang dimanja dengan teknologi.



Penutup

Dalam logika ilahi, kekuatan tidak selalu lahir dari superioritas material. Kadang, justru muncul dari ruang-ruang keterbatasan yang diisi oleh iman, tekad, dan keberanian. Maka ketika Allah berfirman “hamba-hamba-Ku yang sangat kuat,” bisa jadi mereka tidak terdefinisi oleh radar militer dunia, tetapi dikenali langit sebagai ujung tombak keadilan-Nya di bumi.

Yang Diblokade, Malah Bisa Melawan? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Iran mulai mengalami blokade ekonomi dan sanksi internasional sec...

Yang Diblokade, Malah Bisa Melawan?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Iran mulai mengalami blokade ekonomi dan sanksi internasional secara serius sejak tahun 1979, tepat setelah Revolusi Islam menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi dan menempatkan Ayatollah Khomeini sebagai pemimpin Republik Islam Iran.

Sejak itu, aset-aset Iran di luar negeri dibekukan. Hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa diputus. Iran dilarang mengekspor berbagai komoditas strategis, terutama minyak dan gas. Perusahaan asing yang berinvestasi di sektor energi Iran dikenai sanksi. Bahkan, akses Iran ke sistem keuangan global—seperti SWIFT—diputus secara sepihak.

Situasi serupa juga dialami Gaza. Sejak tahun 2007, wilayah ini mengalami blokade total yang diberlakukan oleh Israel dengan dukungan Mesir. Israel mengontrol pelabuhan, bandara, dan wilayah udara Gaza. Barang-barang penting seperti bahan bangunan, obat-obatan, dan listrik dibatasi masuknya. Ekspor dari Gaza hampir mustahil dilakukan. Mesir pun sering menutup perbatasan Rafah—satu-satunya pintu keluar Gaza yang tidak dikendalikan Israel.

Namun, yang menjadi pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin Iran dan Gaza—yang sama-sama berada dalam tekanan dan blokade berkepanjangan—justru mampu melawan kekuatan militer terbesar di kawasan, yaitu Israel?

Bukankah blokade berarti terkuncinya seluruh akses terhadap sumber daya? Bukankah ketiadaan akses berarti lumpuhnya potensi kekuatan? Jika Iran masih bisa menjalin hubungan dengan negara-negara yang tak sepaham dengan Barat, lalu bagaimana dengan Gaza yang nyaris tidak punya akses diplomatik maupun ekonomi sama sekali?

Lebih jauh lagi, mengapa Iran justru memiliki kemampuan strategis dan militer yang bahkan melampaui negara-negara Arab lain yang hidup dalam kondisi serba bebas? Dan mengapa Gaza memiliki nyali bertempur di tengah kelaparan, keterbatasan, dan penderitaan?

Dari mana sesungguhnya datangnya kekuatan itu?

Blokade, pada akhirnya, bukan sekadar alat tekanan. Ia bisa menjadi pemicu daya juang. Dalam kesempitan, muncul kecerdasan mengelola keterbatasan. Dalam kelaparan, muncul keberanian yang ditempa oleh keyakinan bahwa segala penderitaan ini akan berakhir—dan akan diganjar kemenangan.

Sebaliknya, lihatlah lawannya: penjajah Israel. Negara yang dimanjakan dengan segala fasilitas militer dan ekonomi oleh Amerika dan Barat. Semua teknologi tempur tercanggih disuplai. Semua saluran dukungan politik dan diplomatik dibuka. Namun justru mereka—yang dimanjakan dengan kelebihan—kewalahan menghadapi mereka yang dibatasi oleh kekurangan.

Lalu, siapa sebenarnya yang kuat?

Mendukung Iran? Belajar dari Era Shalahuddin Al-Ayyubi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi, berdiri sebua...


Mendukung Iran? Belajar dari Era Shalahuddin Al-Ayyubi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi, berdiri sebuah kekhalifahan besar di Mesir: Daulah Fathimiyah, beraliran Syiah Ismailiyah. Pada tahun 1167 M, kekhalifahan ini menghadapi ancaman serius dari serangan Tentara Salib yang mengarah ke Kairo. Dalam kondisi genting itu, Khalifah Al-Adid, penguasa terakhir Fathimiyah, meminta bantuan kepada dua jenderal Sunni dari Syam: Syirkuh dan keponakannya, Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pertanyaannya, mengapa dua tokoh Sunni justru datang membantu kekuasaan Syiah? Bukankah mereka berbeda mazhab? Bukankah konflik antara Sunni dan Syiah sudah berlangsung lama dan tajam?

Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat konteks sejarah secara lebih utuh.


Sunni vs Syiah: Luka yang Telah Lama Berdarah

Beberapa dekade sebelumnya, pada 1092 M, dunia Islam diguncang pembunuhan atas Nizhamul Mulk, wazir agung Daulah Seljuk yang Sunni. Ia ditikam oleh seorang anggota sekte Syiah Ismailiyah, yang menyamar sebagai darwis saat ia bepergian bersama Sultan Malik Shah. Nizhamul Mulk bukan sembarang wazir—dialah pendiri Universitas Nizamiyah di Baghdad, tempat Imam al-Ghazali mengajar dan menyebarkan pemikiran Sunni. Salah satu misinya adalah meluruskan doktrin Syiah yang saat itu disebarluaskan melalui Universitas Al-Azhar, pusat pendidikan di bawah kekuasaan Fathimiyah Mesir.

Sementara itu, di wilayah Syam, berdirilah Dinasti Zanky di bawah kepemimpinan Nuruddin Zanky, guru politik dan spiritual Shalahuddin. Nuruddin, seorang pembela Sunni garis depan, juga menjadi target beberapa kali upaya pembunuhan oleh kelompok Assassin (Syiah Ismailiyah). Namun, berkat sistem keamanan ketatnya, ia berhasil selamat.

Dengan latar belakang seperti ini, keputusan untuk membantu kekuatan Syiah Fathimiyah melawan Tentara Salib terasa janggal. Namun justru di sinilah kebesaran visi mereka tampak.


Mengutamakan Musuh Nyata daripada Musuh Internal

Meskipun berbeda akidah dengan Fathimiyah, Nuruddin Zanky tetap mengirimkan Syirkuh dan Shalahuddin ke Mesir. Bagi mereka, ancaman Tentara Salib jauh lebih besar dan mendesak dibanding konflik internal umat Islam. Setelah menang dan berhasil mengusir Tentara Salib dari Kairo, Shalahuddin secara bertahap mengakhiri kekuasaan Fathimiyah dan mengembalikan Mesir ke pangkuan Sunni dan Kekhalifahan Abbasiyah.

Langkah ini bukan sekadar strategi politik, tetapi juga bentuk keseimbangan antara prinsip dan realitas: membendung penjajahan asing sambil tetap menjaga misi dakwah dan pembaruan internal.


Iran, Israel, dan Pelajaran Sejarah

Hari ini, Iran yang berideologi Syiah menghadapi agresi militer dari penjajah Israel, yang secara terang-terangan melakukan genosida di Gaza dan terus merampas tanah-tanah Muslim di Palestina. Maka muncul pertanyaan penting:

Apakah kita mendukung Iran hanya karena ia Syiah? Atau menolak Iran karena perbedaan mazhab, meskipun sedang melawan Zionis?

Situasi ini tak ubahnya seperti era Shalahuddin: ketika kita harus memilih siapa musuh yang lebih nyata dan berbahaya. Konflik Sunni–Syiah memang belum usai, bahkan diperparah oleh proxy Iran di berbagai negara Muslim. Namun, apakah konflik internal ini harus membuat kita diam terhadap kejahatan global yang nyata dan terang-terangan?


Penutup

Sejarah mencatat: Shalahuddin membantu Fathimiyah bukan karena setuju dengan Syiah, tetapi karena tahu siapa musuh utama saat itu.
Maka hari ini, kebijaksanaan sejarah itu layak kita teladani. Bukan untuk membela Syiah, tetapi untuk membela umat dari penjajahan global yang lebih besar.

Iran di Udara, Pejuang Palestina di Darat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Tanda-tanda kewalahan dari penjajah Israel semakin nyata. S...

Iran di Udara, Pejuang Palestina di Darat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Tanda-tanda kewalahan dari penjajah Israel semakin nyata. Sejak serangan rudal hipersonik Iran pertama diluncurkan, Amerika dan Inggris langsung turun tangan. Bahkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dikabarkan mengungsi ke Yunani. Sementara itu, banyak warga Israel memilih melarikan diri lewat jalur laut ke Yunani, meskipun telah dilarang keluar oleh Menteri Transportasi mereka.

Iran melaporkan keberhasilan besar: empat pesawat tempur F-35 berhasil ditembak jatuh, dan satu pilot ditahan. Ini menjadikan Iran sebagai negara pertama yang berhasil menjatuhkan pesawat tercanggih di dunia tersebut.

Serangan yang terjadi pada Senin malam, 16 Juni 2025, mengguncang posisi Israel. Tiga menit setelah rudal hipersonik Iran menghantam target, sistem pertahanan baru mulai aktif. Namun, sudah terlambat. Rudal-rudal tersebut telah berhasil menembus bunker-bunker yang selama ini menjadi tempat persembunyian para pemukim ilegal.

Pertahanan udara Israel kini telah jebol. Bahkan bunker-bunker perlindungan pun mulai rusak. Bila kita menengok sejarah Yahudi di Madinah, saat benteng mereka mulai runtuh, ketakutan massal menjadi pembuka bagi kekalahan besar. Logika sejarah itu kini kembali berulang.

Sementara Iran menekan dari udara, di darat pejuang Palestina terus memberikan tekanan. Sebagian pasukan IDF yang sebelumnya bertugas di Gaza, kini dipindahkan ke perbatasan Lebanon, Suriah, dan Irak. Di saat yang sama, pejuang Palestina gencar menyebarkan video yang menunjukkan jatuhnya tentara-tentara IDF di Gaza. Tekanan dari dua arah ini membuat Israel semakin terjepit.

Dalam kondisi genting seperti ini, apa yang dilakukan oleh penjajah?

Seperti dalam Sirah Nabawiyah, saat Yahudi mulai terdesak, mereka akan mencari bantuan dari sekutu-sekutu lamanya. Di masa Rasulullah saw., mereka meminta bantuan dari kaum munafik di Madinah serta jaringan lama sebelum hijrah untuk menjadi mediator. Begitu pula sekarang. Israel mulai meminta Amerika dan Eropa menjadi perantara untuk membujuk Iran agar menyetujui gencatan senjata.

Padahal, saat Israel melancarkan serangan ke Iran, negeri para Mullah itu sedang dalam proses serius menyusun perjanjian nuklir bersama Amerika. Hal ini diungkapkan langsung oleh Presiden Iran dalam percakapannya dengan Pangeran Saudi melalui sambungan telepon.

Dalam situasi ini, mantan Presiden AS Donald Trump ikut bersuara:
"Seharusnya Iran menandatangani perjanjian yang saya ajukan. Betapa besarnya dan sia-sianya manusia ini. Padahal itu sangat sederhana. Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir. Saya sudah katakan itu berulang kali. Semua orang harus dievakuasi dari Teheran sekarang juga!"

Retorika lama kembali dilontarkan, tapi dunia telah berubah. Kini, langit dipenuhi rudal, tanah bergemuruh oleh perlawanan, dan bunker-bunker bukan lagi tempat yang aman.

Saat Iron Dome Menahan Rudal Hipersonik Iran Oleh: Nasrulloh Baksolahar Serangan rudal hipersonik Iran terhadap penjajah Israel ...

Saat Iron Dome Menahan Rudal Hipersonik Iran

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Serangan rudal hipersonik Iran terhadap penjajah Israel memang tidak menimbulkan kerusakan separah dampak serangan Israel terhadap wilayah Iran. Apa yang menyebabkan perbedaan ini?

Amerika Serikat turut membantu Israel menangkis serangan tersebut melalui sistem pertahanan dari kapal induk di kawasan. Yordania juga ikut terlibat dalam upaya menahan rudal-rudal yang masuk. Di samping itu, Israel sendiri memiliki sistem pertahanan udara canggih seperti Iron Dome, yang dirancang untuk mencegat rudal jarak pendek dan menengah. Namun, apakah semua serangan berhasil ditahan secara sempurna?

Ulilabshar Abdallah pernah menggambarkan karakter Israel dengan tepat:
"Seperti orang kaya yang iri, dengki, dan suka merusak; tinggal di rumah besar yang dikelilingi benteng tinggi dan dijaga ketat oleh pasukan keamanan, namun dibenci oleh seluruh tetangganya."

Lambat laun, orang seperti itu akan dikepung oleh kemarahan. Semakin tinggi benteng yang dibangun, semakin besar pula ketegangan dan permusuhan dari sekitar. Apakah kedamaian bisa diraih hanya dengan perlindungan fisik? Apakah keamanan bisa dibeli dengan sistem pertahanan tercanggih?

Kita telah menyaksikan contoh serupa dalam sejarah:

Bangladesh, saat presidennya melarikan diri dari istana mewahnya yang dikelilingi tembok tinggi dan militer bersenjata lengkap, karena rakyatnya menyerbu akibat kebijakan yang menindas.

Bashar al-Assad di Suriah, sempat meninggalkan istananya dan pergi ke Rusia ketika rakyatnya mengepung pusat kekuasaannya. Padahal rumahnya dilindungi benteng dan pasukan.


Apakah keamanan sejati berasal dari tembok dan senjata?

Iron Dome mungkin dapat mencegat rudal-rudal musuh dan mengurangi kerusakan bangunan. Namun, ia tidak mampu menangkis rasa benci masyarakat dunia akibat kekejaman yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Sistem pertahanan itu mungkin menjaga gedung-gedung tetap berdiri, namun tak mampu mengusir rasa takut dan cemas di hati para pemukim ilegal.

Apakah perlindungan itu hanya soal fisik?
Bukankah trauma, stres, dan depresi sosial di kalangan masyarakat tak bisa disembuhkan dengan rudal penangkal? Bila para pemimpin merasa aman dengan infrastruktur militer, hal itu tidak serta merta menjamin ketenangan batin rakyatnya.

Negara bukanlah hanya tumpukan bangunan dan persenjataan — negara ada karena rakyatnya. Jika rakyat hidup dalam ketakutan dan keresahan terus-menerus, maka kokohnya sistem pertahanan hanyalah ilusi keamanan.

Inilah karakter bangsa yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai bangsa yang dimurkai Allah SWT: bangsa yang tidak memahami esensi dari persoalan kemanusiaan dan keadilan. Mereka lebih memilih melindungi kekuasaan dengan tembok dan senjata, ketimbang membangun hubungan dengan kasih, adil, dan damai.

Menyerang Iran: Analisis Sejarah, Karakter, dan Daya Tempur Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah Rasulullah saw memulai pertempuran...

Menyerang Iran: Analisis Sejarah, Karakter, dan Daya Tempur

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apakah Rasulullah saw memulai pertempuran dalam sejarah Islam? Tidak. Dalam Perang Badar, misalnya, Rasulullah saw keluar bukan untuk berperang, melainkan untuk mengganggu jalur ekonomi kaum Musyrikin Quraisy, yang sebelumnya telah merampas kekayaan kaum Muslimin di Mekah saat hijrah. Namun, kaum Quraisy justru mengirimkan pasukan besar yang dipimpin Abu Jahal, padahal Abu Sufyan sebelumnya telah memperingatkan agar tidak memulai pertempuran.

Demikian pula dalam Perang Uhud. Penyerangan terjadi karena pasukan Quraisy datang menyerbu Madinah. Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabat dan memutuskan untuk menghadapi musuh di luar kota, di kaki Gunung Uhud.

Perang Ahzab pun bukan dimulai oleh Rasulullah saw. Koalisi besar antara kabilah-kabilah Arab dan kaum Yahudi dibentuk untuk menghancurkan kaum Muslimin dari luar dan dalam. Maka Rasulullah saw menghadapinya dengan strategi bertahan secara total, termasuk menggali parit besar di batas kota.

Begitu juga Perang Khaibar. Perang ini dilakukan karena benteng-benteng Khaibar menjadi pusat konspirasi dan tipu daya Yahudi untuk menghabisi kaum Muslimin. Adapun Perang Mu’tah dan Tabuk terjadi karena ancaman langsung dari pasukan Romawi yang hendak menyerbu Madinah. Dalam semua peristiwa tersebut, Rasulullah saw tidak memulai agresi, tetapi menanggapi ancaman dengan taktik dan kekuatan penuh. Diserang, berarti memiliki banyak alasan untuk memobilisasi sumber daya.

Lalu, bagaimana dengan serangan penjajah Israel ke Iran?

Penjajah Israel kini masuk lebih dalam ke zona pertempuran. Dengan menyerang Iran lebih dulu, maka Iran memperoleh legitimasi internasional untuk membela diri dan menghimpun dukungan besar dari rakyatnya, bahkan dari masyarakat global yang menyaksikan kekejaman penjajah Israel.

Selama ini, Israel selalu menggunakan dalih "membela diri" sebagai tameng moral dan diplomatik. Amerika dan Eropa pun mendukungnya karena narasi ini, seperti yang terjadi dalam Perang Arab–Israel 1967 dan 1973. Namun, jika Israel menjadi pihak yang memulai serangan, maka legitimasi untuk membela diri berpindah ke Iran, dan narasi untuk membenarkan bantuan terhadap Israel menjadi melemah.

Israel mungkin akan berdalih bahwa serangan dilakukan untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Padahal, Israel sendiri menyimpan senjata nuklir dan menolak untuk diawasi oleh lembaga internasional. Ini adalah standar ganda yang makin lama makin tak dipercaya dunia.

Lalu, apakah penjajah Israel mampu memenangkan perang melawan Iran?

Secara sejarah, kawasan ini pernah menyaksikan konflik panjang antara Romawi dan Persia — yang kini secara geopolitik menjelma menjadi Barat dan Iran. Dalam konflik berabad-abad itu, Romawi dan Persia saling menang dan kalah. Namun, Yahudi tidak pernah tampil sebagai kekuatan militer dominan dalam sejarah tersebut. Mereka selalu berada di posisi pinggiran kekuasaan dan konflik. Maka dari segi karakter bangsa dan sejarah, penjajah Israel bukanlah lawan setara Iran dalam pertarungan langsung.

Dari sisi daya tempur, Iran jauh lebih siap. Perang Iran–Irak (1980–1988) menunjukkan ketahanan militer dan semangat bertempur rakyat Iran, meski menghadapi kekuatan besar yang didukung negara-negara Barat. Iran juga memiliki jaringan milisi dan pasukan proxy yang kuat dan tersebar di kawasan — mulai dari Hizbullah di Lebanon, milisi di Irak, Yaman, dan sebelumnya di Suriah. Bahkan, hanya dengan menghadapi proxy-proxy Iran saja, Israel sudah terlihat kewalahan.

Jika Israel memaksakan diri menyerang Iran, walaupun dengan dukungan Amerika Serikat, maka ia hanya akan menyeret dirinya ke dalam konflik regional yang panjang dan melelahkan. Serangan ini juga akan semakin memperkuat rasa takut dan tekanan psikologis para pemukim ilegal di wilayah pendudukan Palestina.

Bukankah justru rasa takut dan kehilangan rasa aman itulah alasan utama penjajah Israel menduduki tanah Palestina? Dan kini, dengan menyerang Iran, mereka sedang memperluas zona ketakutannya sendiri.

Rakyat Eropa Terus Menyuarakan Palestina Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dukungan terhadap rakyat Palestina terus menggema dari berba...

Rakyat Eropa Terus Menyuarakan Palestina
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dukungan terhadap rakyat Palestina terus menggema dari berbagai penjuru Eropa. Sekelompok aktivis internasional, termasuk aktivis iklim terkemuka Greta Thunberg, tengah bersiap memulai pelayaran dari Italia selatan menuju Jalur Gaza. Tujuan mereka jelas: menembus blokade Israel sebagai bentuk perlawanan moral terhadap ketidakadilan.

Dalam pernyataannya, Thunberg menegaskan, "Kami melakukan ini karena, tidak peduli apa pun rintangan yang kami hadapi, kami harus terus mencoba. Saat kita berhenti mencoba, itulah saat kita kehilangan kemanusiaan kita. Dan seberbahaya apa pun misi ini, itu tidak sebanding dengan bahaya dari keheningan dunia terhadap genosida yang disiarkan langsung."

Di Inggris, lebih dari 300 tokoh publik—termasuk musisi, aktor, akademisi, hingga mantan hakim agung—menandatangani petisi terbuka yang menuding pemerintah Inggris turut bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga Gaza. Petisi yang diprakarsai oleh organisasi kemanusiaan Choose Love ini menyatakan bahwa Inggris “tidak dapat lagi memandang penderitaan Gaza sebagai bencana sambil tetap memasok senjata kepada Israel.”

Gelombang simpati juga terlihat dari dunia olahraga. Para pendukung klub sepak bola Paris Saint-Germain (PSG), misalnya, menunjukkan solidaritas mereka dalam final Liga Champions di Munich. Mereka turun ke jalan sambil meneriakkan, "Kami semua adalah anak-anak Gaza," sebagai seruan moral mendukung rakyat Palestina.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa dukungan rakyat Eropa terhadap Palestina begitu kuat dan konsisten? Apa yang melandasi sikap mereka?

Sahabat Nabi, Amr bin al-Ash—yang pernah lama berinteraksi dengan bangsa Eropa, baik sebelum maupun sesudah masuk Islam, dalam konteks diplomasi maupun peperangan—pernah mengungkapkan karakter dasar mereka sebagai berikut:

1. Mereka adalah orang-orang paling tabah dalam menghadapi cobaan.


2. Mereka cepat pulih dan bangkit dari musibah.


3. Mereka tidak tinggal diam ketika terdesak; mereka berani menyerang balik.


4. Mereka memiliki kepedulian besar terhadap anak yatim, kaum miskin, dan orang-orang lemah.


5. Mereka teguh dalam melawan tirani dan segala bentuk kezaliman.



Karakter-karakter inilah yang menjadikan sebagian rakyat Eropa berani bersuara lantang menentang ketidakadilan global. Boleh jadi, karena menyaksikan keteguhan dan perjuangan rakyat Palestina, mereka semakin dekat dengan nilai-nilai universal yang juga dijunjung tinggi dalam Islam: keadilan, keberanian, dan kepedulian terhadap sesama. Tak heran jika sebagian di antara mereka akhirnya memilih untuk memeluk Islam—agama yang tidak hanya mengajarkan ketundukan kepada Tuhan, tetapi juga keberpihakan kepada yang lemah.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (224) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (470) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (148) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)