basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Palestina

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Palestina. Tampilkan semua postingan

Suara Seniman Dunia Untuk Solidaritas Gaza Ketika Politik Bungkam, Budaya Bicara Ada masa ketika politik gagal menjalankan nuran...


Suara Seniman Dunia Untuk Solidaritas Gaza

Ketika Politik Bungkam, Budaya Bicara

Ada masa ketika politik gagal menjalankan nuraninya. Lidah para pemimpin negara kelu, sibuk bernegosiasi dengan kepentingan, sementara ribuan nyawa melayang. Di saat seperti itu, ada satu kekuatan yang sering kali bangkit dari ruang yang tak disangka: budaya. Seniman—musisi, aktor, penulis, pekerja film—berdiri di panggung dan berkata lantang: “Hentikan genosida.”

Itulah yang kini terjadi dalam tragedi Gaza. Saat pemerintah dunia terbelah antara diam, mendukung Israel, atau sekadar mengeluarkan pernyataan simbolis, para seniman justru bergerak. Mereka menyanyi, menulis, menandatangani surat terbuka, menggalang dana, bahkan siap diboikot oleh industri mereka sendiri.

Fenomena ini bukan baru. Budaya pernah menjadi senjata moral ketika politik kehilangan hati nurani—pada perang Vietnam, pada era apartheid Afrika Selatan, bahkan pada masa kolonialisme. Kini, dalam abad ke-21, panggung musik, layar film, hingga halaman buku menjadi ruang perlawanan baru melawan kekejaman Israel di Gaza.


---

Gaza: Angka yang Membisu

Latar perlawanan budaya ini tragis. Sejak serangan Israel pada 2023 hingga kini, lebih dari 65.000 orang tewas di Gaza—termasuk 19.000 anak-anak. Lebih dari 165.000 orang terluka, mencakup 10 persen populasi Gaza. Rumah sakit hancur, sekolah rata, dan dunia menyaksikan tanpa daya.

Negara-negara Barat, termasuk Inggris, beberapa pekan lalu mengakui Palestina sebagai negara. Namun, pengakuan itu dianggap banyak pihak sebagai langkah simbolis, sekadar “menghidupkan kembali harapan dua negara” tanpa disertai keberanian nyata menghentikan aliran senjata ke Israel.

Di tengah lumpuhnya politik inilah, budaya masuk mengambil peran.


---

Konser Solidaritas: Musik yang Melawan Senjata

Musik kerap lahir dari luka. Itulah yang dibuktikan oleh Brian Eno, musisi legendaris asal Inggris, yang menggelar konser “Together for Palestine” di Wembley Arena. Ribuan orang hadir, menyaksikan panggung bukan sekadar hiburan, melainkan perlawanan.

Di sana hadir pula Richard Gere, Paul Weller, Damon Albarn, Portishead, dan Riz Ahmed. Mereka bernyanyi, berdialog, dan menggalang dana untuk membantu Palestina.

Eno sendiri menegaskan, “Saya percaya budaya lebih dulu daripada politik. Ia menciptakan ruang batin bagi manusia, yang kemudian memengaruhi tindakan politisi. Kadang berhasil, kadang tidak. Tapi kita harus mencoba.”

Di dunia musik, nama-nama besar lain juga terus bersuara. Roger Waters, eks Pink Floyd, bahkan sejak lama menyerukan boikot Israel. Annie Lennox, vokalis Eurythmics, ikut turun ke jalan. Para musisi tahu, suara mereka bisa menembus ruang yang tak lagi diisi pidato politik.


---

Aktor dan Layar yang Menjadi Panggung Gaza

Tidak hanya musisi, dunia perfilman pun bangkit. Tilda Swinton, aktris kawakan asal Inggris, termasuk salah satu suara paling awal yang menyerukan gencatan senjata. Ia menandatangani petisi, turun ke demonstrasi, bahkan berani menghadapi risiko blacklist dari Hollywood.

Di Amerika, Susan Sarandon, Mark Ruffalo, dan John Cusack menegaskan posisi mereka. Mereka hadir di unjuk rasa, memakai simbol Palestina, dan berbicara lantang di hadapan publik.

Keberanian ini bukan tanpa harga. Banyak aktor dan aktris menghadapi pembatalan kontrak, kehilangan peran, atau bahkan serangan media arus utama. Namun, bagi mereka, keberanian moral lebih penting daripada kenyamanan karier.


---

Surat Terbuka: Pena yang Menggugat

Selain konser dan aksi publik, solidaritas budaya terwujud dalam surat terbuka. Hingga kini, ada 11 surat terbuka yang ditandatangani lebih dari 16.000 seniman lintas industri.

Surat itu datang dari kelompok seperti Artists for Palestine UK, Artists4Ceasefire, Film Workers for Palestine, Musicians for Palestine, hingga Writers for Gaza.

Isi mereka jelas:

Hentikan genosida.

Buka akses kemanusiaan ke Gaza.

Hentikan suplai senjata ke Israel.

Patuhi keputusan ICJ untuk melindungi warga sipil.


Sebagian surat bahkan lebih keras. Kelompok pekerja film pro-Palestina, misalnya, berikrar untuk tidak bekerja sama dengan lembaga film Israel—sebuah bentuk boikot budaya yang mengingatkan kita pada gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan.


---

Angka Solidaritas: Musik, Film, dan Buku

Dari sisi jumlah, industri musik menyumbang suara paling banyak: 7.800 tanda tangan. Dunia film dan TV menyusul dengan 4.500 tanda tangan, sedangkan dunia literatur dan penerbitan menyumbang 2.900 tanda tangan.

Tokoh-tokoh paling konsisten antara lain Brian Eno dan Khalid Abdalla (aktor Inggris-Mesir), yang menandatangani hingga enam surat terbuka. Nama lain seperti Maxine Peake, Michael Malarkey, Lolly Adefope, dan Tracy Seaward menandatangani lima surat.

Artinya, budaya tidak hanya melahirkan suara sporadis, tetapi gerakan kolektif yang terorganisir.


---

Mengulang Sejarah: Dari Vietnam, Apartheid, hingga Gaza

Sejarah mencatat, suara seniman sering kali lebih berani daripada politisi.

Pada era Perang Vietnam, musisi seperti Bob Dylan dan Joan Baez mengubah konser menjadi protes anti-perang. Lagu-lagu mereka mengobarkan gerakan mahasiswa dan rakyat Amerika hingga akhirnya mengguncang kebijakan Washington.

Pada masa apartheid Afrika Selatan, boikot budaya internasional—termasuk konser besar “Artists Against Apartheid”—menjadi tekanan moral yang mempercepat runtuhnya rezim diskriminatif.


Kini, Gaza menghadirkan momen serupa. Bedanya, media sosial mempercepat gaung solidaritas itu, membuat suara seniman lebih cepat menyebar dan lebih sulit dibungkam.


---

Apakah Budaya Bisa Mengubah Politik?

Pertanyaan terbesar: apakah suara seniman cukup untuk menghentikan perang?

Jawabannya mungkin tidak langsung. Budaya jarang menghentikan peluru. Tetapi, budaya bisa menggerakkan hati rakyat, dan hati rakyat bisa menekan pemimpin. Inilah yang dimaksud Brian Eno: budaya adalah “arus hulu” politik.

Ketika publik Eropa dan Amerika mulai sadar, ketika konser berubah jadi aksi solidaritas, ketika film dan sastra menolak bekerja sama dengan Israel—maka tekanan moral akan semakin besar. Cepat atau lambat, politisi akan dipaksa mengikuti arus.


---

Refleksi: Suara yang Lebih Nyaring dari Bom

Kita hidup di zaman ketika bom terdengar setiap hari di Gaza, tetapi suara seniman menembus batas itu. Mereka tidak punya tank, tidak punya veto di PBB, tetapi mereka punya panggung, mikrofon, pena, dan layar.

Budaya memang tidak bisa menghentikan genosida sendirian. Namun, ia menjaga nurani dunia tetap hidup. Ia mencegah manusia lupa. Ia membisikkan bahwa di balik angka 65.000 korban, ada wajah, ada nama, ada cerita.

Dan mungkin, di masa depan, anak-anak Gaza akan mengenang bahwa di saat dunia politik bungkam, suara musik, film, dan buku justru menyanyikan nama mereka.


---

Epilog: Budaya sebagai Nafas Harapan

Gaza bukan sekadar perang. Ia adalah cermin kemanusiaan. Di satu sisi, ia menunjukkan betapa politik bisa kehilangan hati nurani. Di sisi lain, ia memperlihatkan bagaimana budaya bisa menjadi ruang terakhir bagi kebenaran untuk bernafas.

Dari konser Wembley hingga surat terbuka ribuan seniman, dunia mendengar sebuah pesan sederhana: kemanusiaan tidak boleh kalah.

Jika sejarah berulang, sebagaimana di Vietnam dan Afrika Selatan, maka suara budaya hari ini bisa menjadi gemuruh politik esok hari. Dan mungkin, Gaza akan tercatat bukan hanya sebagai luka, tetapi juga sebagai titik balik, ketika budaya kembali membuktikan dirinya sebagai senjata moral yang paling abadi.


Sumber:
https://www.aljazeera.com/news/longform/2025/9/25/who-are-the-artists-speaking-out-against-israels-war-on-gaza

Genosida Tak Membuat Menyerah: Mengapa Meluluhlantahkan Sipil Gaza Tak Bisa Mengalahkan Hamas?  Membedah Buku Bombing to Win ---...


Genosida Tak Membuat Menyerah: Mengapa Meluluhlantahkan Sipil Gaza Tak Bisa Mengalahkan Hamas?  Membedah Buku Bombing to Win


---

Pendahuluan: Langit yang Membawa Janji dan Mimpi Palsu

Sejak manusia pertama kali melihat pesawat terbang melintas di langit, lahirlah sebuah keyakinan baru: kekuasaan tidak lagi hanya ditentukan oleh pasukan di darat atau kapal di laut, melainkan juga oleh burung-burung besi yang mampu menghujani kota dari angkasa. Para jenderal menyebutnya revolusi militer, para politisi menyebutnya jalan pintas menuju kemenangan, sementara para akademisi meramalkannya sebagai wajah perang masa depan yang lebih cepat, lebih bersih, dan lebih murah.

Namun sejarah punya selera humor yang pahit. Dari Dresden hingga Hanoi, dari Baghdad hingga Gaza, langit memang dipenuhi ledakan, tetapi bumi tetap dipenuhi perlawanan. Gedung-gedung hancur, tapi tekad manusia bertahan. Tubuh-tubuh roboh, namun kehendak untuk melawan justru tumbuh.

Di tengah ironi itu, Robert A. Pape, profesor ilmu politik dari Universitas Chicago, menulis bukunya Bombing to Win: Air Power and Coercion in War (1996). Ia mengajukan pertanyaan yang sederhana namun mendasar: apakah benar serangan udara bisa memaksa musuh menyerah? Atau jangan-jangan, membunuh sipil dari langit hanyalah ilusi kemenangan yang terus dipelihara?


---

Mitos Kemenangan dari Udara

Mari kita mulai dari mitos yang paling tua: bahwa menghancurkan kota berarti menghancurkan semangat bangsa. Strategi ini dikenal dengan istilah punishment.

Bayangkan kota sebagai jantung. Jika jantung itu berhenti berdetak, tubuh pasti roboh. Demikianlah logika para perancang strategi udara. Karena itu, pada Perang Dunia II, sekutu menurunkan ratusan ribu ton bom ke kota-kota Jerman. Dresden terbakar, Hamburg luluh lantak, Berlin rata dengan tanah.

Di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki menjadi puncak teror sekaligus puncak teknologi. Dua bola api menghanguskan lebih dari seratus ribu jiwa hanya dalam hitungan detik. Dunia tercengang, seolah bukti mutlak bahwa udara memang bisa memutuskan perang.

Namun sejarah tidak sesederhana itu. Jerman tetap berperang sampai tentara Soviet menembus jantung Berlin. Jepang menyerah bukan semata karena bom atom, melainkan karena kombinasi blokade laut, serangan darat yang makin mendekat, dan terutama keputusan geopolitik Uni Soviet yang masuk ke medan Asia.

Apa artinya? Bahwa membunuh sipil dari udara bukanlah jalan cepat menuju kemenangan. Alih-alih membuat rakyat menekan pemimpinnya, justru seringkali menyalakan solidaritas baru. Luka kolektif berubah menjadi bahan bakar perlawanan.


---

Empat Jalan Udara

Pape lalu merinci empat strategi utama yang selama ini dijalankan kekuatan udara:

1. Punishment (Hukuman): menyerang sipil agar moral runtuh.


2. Risk (Risiko Bertahap): meningkatkan eskalasi sedikit demi sedikit agar musuh menyerah sebelum kehancuran total.


3. Denial (Penolakan): menghancurkan target militer dan logistik, sehingga lawan benar-benar tak mampu bertarung.


4. Decapitation (Pemenggalan): membunuh pemimpin atau menghancurkan pusat komando.



Dari keempatnya, Pape menemukan satu pola jelas: hanya denial yang punya peluang nyata. Punishment gagal, risk gagal, decapitation hampir selalu gagal. Menghancurkan kekuatan tempur lawan—itulah satu-satunya strategi udara yang kadang berhasil.


---

Jejak Sejarah: Dari Eropa hingga Teluk Persia

Sejarah modern adalah laboratorium terbuka untuk menilai efektivitas bom.

Perang Dunia II: Pemboman besar-besaran di Jerman gagal membuat rakyat menyerah. Jepang menyerah bukan karena sipilnya takut, melainkan karena kekuatan militer lumpuh dan geopolitik berubah.

Korea: AS membombardir Korea Utara, tetapi Pyongyang tetap berdiri berkat dukungan Cina.

Vietnam: Operasi Rolling Thunder menjadi pelajaran pahit. Infrastruktur Vietnam Utara hancur, tetapi kehendak Hanoi tak pernah patah.

Teluk 1991: contoh keberhasilan denial. Serangan udara AS menghancurkan sistem pertahanan Irak, membuka jalan bagi pasukan darat merebut Kuwait dengan cepat.

Bosnia 1995: NATO menarget pasukan Serbia di lapangan, bukan sipil. Hasilnya nyata: Serbia mundur.


Dari Eropa hingga Asia, dari Teluk Persia hingga Balkan, pola yang sama berulang: membunuh sipil tidak pernah efektif, melemahkan militer mungkin berhasil.


---

Mengapa Membunuh Sipil Gagal?

Pape memberi jawaban yang sekaligus logis dan manusiawi: karena warga sipil bukanlah aktor rasional yang bisa menekan pemerintah di tengah perang.

Justru dalam kondisi ancaman eksternal, rakyat cenderung semakin loyal kepada negara. Fenomena ini dikenal dengan istilah rally ’round the flag effect.

Blitz Jerman ke London pada 1940 adalah contoh klasik. Kota terbakar, ribuan tewas, tetapi bukannya menyerah, warga Inggris justru semakin mendukung Winston Churchill. Mereka merasa berjuang bukan hanya untuk pemerintah, tapi untuk martabat bangsa.

Demikian pula di Gaza hari ini. Ribuan rumah rata, ratusan ribu mengungsi, puluhan ribu tewas. Tetapi apakah rakyat Gaza meninggalkan Hamas? Tidak. Justru mereka semakin yakin bahwa mereka sedang dizalimi, dan karena itu, bertahan adalah satu-satunya pilihan yang bermartabat.


---

Teknologi dan Ilusi Kontrol

Politisi di Washington, London, atau Tel Aviv sering tergoda oleh janji teknologi. Bom pintar, drone tak berawak, rudal presisi—semuanya terdengar modern, efisien, dan “bersih.” Mereka membayangkan perang yang bisa dimenangkan dari layar komputer tanpa korban di pihak sendiri.

Namun teknologi hanyalah alat. Ia tidak bisa menggantikan strategi. Senjata paling canggih sekalipun, jika diarahkan ke target yang salah, akan sia-sia. Lebih buruk lagi, jika yang hancur justru rumah sakit, sekolah, atau masjid, maka efek politiknya meluas jauh melebihi efek militer.

Sejarah berulang kali membuktikan: tidak ada bom yang benar-benar “pintar” ketika diarahkan pada manusia yang sedang mempertahankan martabatnya.


---

Gaza: Cermin Tragis Teori Pape

Jika ada contoh mutakhir dari tesis Pape, Gaza adalah cerminnya.

Lebih dari ratusan ribu bom dijatuhkan. Infrastruktur runtuh, kamp pengungsi porak-poranda, rumah sakit tak lagi berdiri. Namun apakah Hamas runtuh? Tidak. Apakah semangat perlawanan hilang? Justru semakin kokoh.

Mungkin Hamas melemah secara militer, tetapi identitas perlawanan Palestina justru semakin mengakar dalam kesadaran kolektif. Setiap reruntuhan rumah adalah pengingat, setiap jenazah anak-anak adalah seruan moral, setiap malam tanpa listrik adalah pengajaran diam-diam: bahwa melawan adalah bagian dari hidup.

Persis seperti yang Pape tulis: menghukum sipil tidak pernah mengakhiri perang. Yang lahir hanyalah dendam yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


---

Ilusi Decapitation

Israel juga sering mengandalkan strategi decapitation: membunuh komandan, menghancurkan markas, bahkan menarget keluarga pemimpin Hamas. Tetapi sejarah menunjukkan: organisasi perlawanan selalu lebih kuat daripada individunya.

Pemimpin gugur, yang lain menggantikannya. Di Vietnam, di Irak, di Afghanistan, pola yang sama berulang. Pemenggalan justru sering membuat lawan semakin keras kepala. Kematian seorang pemimpin berubah menjadi bahan bakar narasi heroik.

Di Gaza, setiap pemimpin yang gugur justru diabadikan dalam mural, dalam doa, dalam nyanyian anak-anak pengungsi. Mereka tidak mati, mereka berubah menjadi simbol.


---

Refleksi: Apa yang Benar-Benar Mengakhiri Perang?

Pertanyaan yang tersisa kemudian: kalau bom tidak bisa, lalu apa yang bisa mengakhiri perang?

Jawaban Pape tegas: perang berakhir ketika kemampuan militer lawan benar-benar lumpuh, atau ketika ada jalan politik yang bisa diterima kedua belah pihak.

Artinya, kemenangan sejati bukan hanya menghancurkan, melainkan juga menawarkan masa depan. Tanpa solusi politik yang adil, bom hanyalah instrumen penundaan. Ia tidak menutup perang, hanya menggantinya dengan babak baru yang lebih getir.


---

Dimensi Moral: Antara Strategi dan Kemanusiaan

Di balik analisis yang dingin, buku Pape mengandung gema moral yang kuat. Ia mengingatkan bahwa menyerang sipil bukan hanya tidak efektif, tetapi juga tidak bermoral. Membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua atas nama strategi adalah kejahatan yang dibungkus ilusi.

Bom bisa meruntuhkan bangunan, tapi tidak bisa meruntuhkan gagasan. Ia bisa membunuh tubuh, tapi tidak bisa membunuh mimpi.

Sejarah membuktikan: kehendak untuk merdeka lebih keras daripada beton, lebih tahan lama daripada baja, dan lebih kuat daripada ledakan apapun.


---

Penutup: Gaza dan Langit yang Berdarah

Bombing to Win adalah buku tentang strategi, tetapi pada akhirnya juga tentang batas kekerasan manusia. Ia membongkar ilusi bahwa langit bisa memutuskan akhir perang.

Hari ini, Gaza berdiri sebagai bukti hidup. Langitnya gelap oleh bom, tanahnya merah oleh darah, tetapi semangatnya tetap menyala.

Maka mari kita tarik pelajaran:

Jangan tertipu oleh janji kemenangan instan dari udara.

Ingatlah bahwa teknologi tanpa strategi adalah kesia-siaan.

Sadari bahwa perang hanya berakhir dengan keadilan, bukan dengan pembantaian.


Langit Gaza boleh saja dikuasai Israel. Tapi bumi Gaza, dengan seluruh darah dan air matanya, telah membuktikan satu hal: membunuh sipil dari udara tidak pernah bisa mengalahkan Hamas, apalagi menghapus perlawanan Palestina.

Dan dalam kebenaran pahit itu, suara Robert Pape kembali bergema: bom tidak pernah bisa memenangkan perang yang sejatinya adalah perang tentang martabat manusia.

Gelombang Pembatalan Kontrak Bisnis Dimulai: Dunia Menutup Pintu bagi Israel? "Apakah pedang selalu lebih tajam daripada su...


Gelombang Pembatalan Kontrak Bisnis Dimulai: Dunia Menutup Pintu bagi Israel?

"Apakah pedang selalu lebih tajam daripada suara hati? Kadang tidak. Kadang, justru suara hati dunia yang berbalik menjadi palu godam, menghantam rezim yang selama ini merasa kebal."


---

1. Dari Gaza ke Bursa Senjata Dunia

Perang di Gaza sudah lama melewati batas tragedi. Ia menjelma menjadi luka global. Setiap bom yang jatuh, setiap rumah yang hancur, setiap bayi yang terbunuh, meninggalkan jejak bukan hanya di tanah Palestina, tapi juga di ruang-ruang rapat perusahaan, parlemen, dan bursa senjata dunia.

Israel, yang selama ini bangga menyebut dirinya sebagai Sparta modern—kecil tapi kuat karena senjata dan teknologinya—tiba-tiba harus menanggung akibat dari gelombang opini global. Spanyol menjadi negara pertama yang benar-benar memukul telak jantung ekonomi pertahanan Israel.

Tak main-main, Madrid membatalkan kontrak senilai $654 juta dengan perusahaan besar Israel:

Pod penargetan Litening 5 dari Rafael (senilai $218 juta).

Rudal anti-tank Spike (senilai $272 juta).

Sistem roket Puls dengan Elbit Systems (senilai $152 juta).

Plus sejumlah kontrak kecil amunisi.


Bagi Spanyol, ini bukan sekadar angka. Ini sebuah deklarasi moral: kami tidak akan jadi bagian dari mesin perang yang membantai Gaza.


---

2. Eropa yang Mulai Menjauh

Spanyol tidak sendirian. Gelombang ini bisa merambat. Italia misalnya, ikut mengambil sikap politik berani. Bersama Spanyol, mereka mengerahkan kapal perang untuk mengawal armada kemanusiaan “Sumud” menuju Gaza. Sebuah ironi pahit: kapal itu dilengkapi senjata Rafael, perusahaan yang kontraknya baru saja mereka batalkan.

Di balik layar, Prancis pun tak nyaman. Walau belum ada pembatalan resmi kontrak, tekanan publik terus meningkat. Demonstrasi di jalanan Paris dengan lautan bendera Palestina hampir saban pekan, memaksa politisi berhitung ulang.

Irlandia, Norwegia, dan Belgia bahkan sudah secara terbuka mengakui Palestina sebagai negara, sebuah langkah politik yang beresonansi dengan sikap embargo senjata. Belanda juga dipaksa pengadilan untuk menghentikan ekspor suku cadang jet tempur F-35 ke Israel karena risiko digunakan di Gaza.

Efek domino jelas terasa. Jika Jerman, motor ekonomi dan industri senjata Eropa, ikut melangkah, maka Israel akan menghadapi badai yang belum pernah mereka bayangkan.


---

3. Luka Reputasi: Dari Unit 8200 ke Microsoft

Isolasi Israel tidak berhenti di gudang senjata. Ia merambat ke ranah digital. Microsoft, raksasa teknologi dunia, akhirnya memutus akses Unit 8200—intelijen sinyal Israel—dari layanan cloud mereka.

Investigasi The Guardian dan +972 Magazine mengungkap bagaimana Unit 8200 menggunakan server Azure untuk menyimpan 8.000 terabyte data hasil penyadapan jutaan panggilan telepon warga Palestina.

Brad Smith, presiden Microsoft, tak bisa lagi menutup telinga. Protes karyawan memuncak. Maka, keputusan pun diambil: Israel tidak boleh lagi menggunakan teknologi mereka untuk mengintai rakyat sipil.

Langkah ini adalah tamparan. Dunia digital yang dulu menjadi salah satu senjata rahasia Israel kini berubah menjadi pintu isolasi baru.


---

4. Dari PBB ke Pasar Global

Perlu diingat: semua ini adalah efek lanjut dari kecaman global di PBB. Ketika Mahkamah Internasional menegaskan ada dasar tuduhan genosida yang masuk akal, reputasi Israel runtuh.

Apa artinya bagi perusahaan asing? Sangat jelas: berbisnis dengan Israel sama saja dengan menodai nama sendiri. “Siapa yang mau berteman dengan negara paria?” tanya seorang eksekutif Israel dengan getir.

Sejarah pernah menyaksikan hal serupa pada Afrika Selatan era apartheid. Embargo senjata dan boikot ekonomi dunia memaksa rezim itu akhirnya runtuh. Israel kini tampak berjalan ke arah yang sama, hanya dengan medan yang berbeda.


---

5. Ketakutan Industri Pertahanan Israel

Para pejabat industri Israel tahu betul bahaya yang mengintai. Tahun 2024, ekspor pertahanan mereka mencapai rekor $14,8 miliar, separuhnya ke Eropa. Tapi bila tren pembatalan meluas, maka tahun 2026–2027 bisa jadi titik gelap: kontrak baru mengering, pasar menutup pintu, dan reputasi senjata Israel tercoreng.

“Keunggulan teknologi kita jelas,” kata seorang eksekutif Rafael, “tapi klien lebih memilih menunggu sampai perang berakhir. Mereka tak mau terikat kontrak yang sensitif secara politik.”

Survei Asosiasi Produsen Israel menunjukkan:

50% eksportir sudah mengalami pembatalan kontrak.

70% pembatalan bersifat politis.

84% terjadi di Uni Eropa.

38% mengalami hambatan pengiriman.

29% menghadapi penundaan bea cukai global.


Dengan kata lain: “Brand Israel” sudah rusak.


---

6. Politik Jerman: Penentu Arah

Di tengah badai ini, semua mata kini tertuju ke Berlin. Menteri Ekonomi Israel, Nir Barkat, bahkan terbang khusus ke Jerman dalam “misi kilat” untuk melobi agar Uni Eropa tidak menangguhkan perjanjian perdagangan bebas dengan Israel.

Jerman adalah penentu. Jika Berlin mendukung pembatasan, maka barang-barang Israel akan dikenai tarif di Eropa. Itu artinya, bukan hanya senjata, bahkan buah, teknologi medis, dan chip digital Israel pun bisa kehilangan pasar utama.

Namun politik di Jerman rumit. Ada rasa bersalah sejarah pada Yahudi, tapi ada juga tekanan moral publik yang semakin muak dengan genosida di Gaza.


---

7. Dari Sparta ke Negara Paria

Israel selama ini memproyeksikan dirinya sebagai Sparta abad modern: kecil, tapi kuat dan ditakuti. Namun, seperti yang diakui seorang eksekutif senior: “Israel tidak bisa menjadi Sparta selamanya.”

Sebab Sparta kuno pun akhirnya hancur, bukan karena kalah di medan perang, tapi karena ditinggalkan sekutu, tercekik isolasi, dan tak mampu lagi menopang dirinya sendiri.


---

8. Refleksi: Apakah Gelombang Ini Akan Berlanjut?

Pertanyaannya kini: apakah gelombang pembatalan kontrak akan berlanjut?

Jawabannya: sangat mungkin. Ada tiga alasan besar:

1. Opini publik global terus menguat, terutama di Eropa.


2. Risiko politik domestik di negara pembeli senjata semakin tinggi.


3. Label genosida di PBB membuat semua kontrak dengan Israel otomatis sensitif.



Jika Israel terus melanjutkan perang Gaza, maka embargo senjata bisa berubah menjadi embargo perdagangan umum. Efeknya akan menghantam jantung ekonomi Israel, dari teknologi militer hingga pertanian.


---

9. Gaza: Kecil Tapi Mengguncang Dunia

Ada sebuah ironi besar: Gaza, wilayah kecil yang hancur oleh bom, ternyata berhasil mengguncang dunia dengan caranya sendiri. Bukan lewat rudal atau drone, tapi lewat gema moral yang membuat kontrak miliaran dolar ambruk satu demi satu.

Seperti David melawan Goliath, batu kecil yang dilemparkan Gaza kini mengenai dahi raksasa: reputasi dan ekonomi Israel.


---

10. Penutup: Sejarah yang Berulang

Sejarah punya caranya sendiri mengingatkan manusia: kezaliman tak pernah abadi. Dahulu Firaun tenggelam bersama tentaranya, Qarun tertimbun harta yang ia banggakan, dan rezim apartheid Afrika Selatan runtuh oleh boikot global.

Hari ini, Israel menghadapi bab yang sama. Dunia mulai menutup pintu, satu per satu.

Mungkin benar kata eksekutif Rafael: klien akan kembali setelah perang. Tapi ada juga kemungkinan lebih besar: dunia tidak lagi sama setelah Gaza.

Dan dalam sejarah, mereka yang menolak mendengar suara hati dunia, pada akhirnya akan kalah—bukan di medan perang, tapi di panggung peradaban.

Dari Diplomasi hingga Sepak Bola: Israel Mulai Menjadi Negara Paria Sebuah Negeri yang Kian Menyendiri Bayangkan sebuah negeri y...


Dari Diplomasi hingga Sepak Bola: Israel Mulai Menjadi Negara Paria


Sebuah Negeri yang Kian Menyendiri

Bayangkan sebuah negeri yang dahulu dielu-elukan sebagai benteng demokrasi di Timur Tengah, kini perlahan-lahan berdiri sendirian di panggung global. Suara musik yang dulu mengalun dari panggung Eurovision mulai ditingkahi nada sumbang boikot. Stadion-stadion yang dulu menyambut para pemain dengan sorak-sorai, kini mulai menutup pintunya. Ruang diplomasi yang biasanya penuh dengan sekutu, kini berubah menjadi ruang sepi yang penuh tatapan curiga.

Inilah Israel hari ini.

Perang yang digencarkan di Gaza, disertai derita kemanusiaan yang tak terperi, bukan hanya menumpahkan darah, melainkan juga meneteskan racun yang perlahan-lahan mengisolasi negara itu. Dari meja-meja perundingan PBB, hingga gelanggang olahraga dan festival budaya, nama Israel kini tak lagi disebut dengan hormat, melainkan dengan amarah, kecewa, bahkan jijik.

Al-Qur’an sudah sejak lama mengingatkan:

> “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya di negeri itu; padahal mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-An‘am: 123)



Tipu daya Israel—baik militer, politik, maupun propaganda—mulai berbalik menjerat dirinya sendiri.


---

Diplomasi yang Membeku

Di ruang-ruang kaca markas besar PBB di New York, suara kecaman terhadap Israel semakin nyaring. Bukan hanya dari negara-negara yang sejak lama bersuara kritis, melainkan juga dari mereka yang dulu berdiri di sisinya.

Uni Eropa—mitra dagang terbesar Israel—bahkan mengusulkan sanksi dengan menangguhkan sebagian perjanjian perdagangan bebas. Langkah ini, bila disetujui, bukan sekadar sinyal diplomasi, melainkan pukulan telak bagi ekonomi Israel.

Netanyahu mengaku getir: “Negeri ini menghadapi semacam isolasi yang dapat berlangsung lama.”

Kata-kata itu, bila direnungkan, seolah menggema dengan firman Allah:

> “Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, lalu datanglah azab Kami menimpa negeri itu di waktu malam, atau di kala mereka beristirahat di tengah hari.” (QS. Al-A‘raf: 4)



Isolasi adalah permulaan. Kehancuran biasanya datang setelahnya.


---

Ekonomi yang Terkikis

Dana kekayaan negara Norwegia—yang terbesar di dunia—melepaskan portofolio di Israel, bukan karena alasan bisnis, melainkan alasan moral. Gaza terlalu pekat dengan darah untuk bisa diabaikan.

Embargo senjata dari Prancis, Italia, Belanda, Spanyol, Inggris menutup jalur pasokan. Israel terpaksa bersandar pada industri persenjataan domestik. Netanyahu menyerukan “berdikari” di bidang militer, tapi itu lebih terdengar seperti teriakan seorang yang terjebak di ruang sempit.

Al-Qur’an menyinggung mereka yang merasa kokoh dengan kekayaan dan kekuasaan, padahal semuanya rapuh:

> “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami bukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An‘am: 44)



Israel pernah merasa pintunya terbuka lebar. Kini pintu-pintu itu satu per satu ditutup dunia.


---

Seni yang Menolak Diam

Musik dan seni rupa, yang biasanya berdiri di atas panggung universal, kini ikut bersuara. Festival musik di Belgia membatalkan konser konduktor Israel. Eurovision terancam boikot. Hollywood melahirkan gerakan baru—aktor dan sutradara dunia menolak bekerja sama dengan institusi Israel.

Bagaimana seni bisa netral ketika luka Gaza terpampang di layar ponsel dunia?

Sejarah mengajarkan bahwa seni sering kali menjadi suara hati nurani. Al-Qur’an menggambarkan penyair yang tersesat, tapi juga menyebut ada segolongan yang benar-benar membela kebenaran:

> “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan? Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh...” (QS. Asy-Syu‘ara: 224–227)



Seni memilih keberpihakan. Dan kali ini, keberpihakan itu bukan pada rezim yang menindas, melainkan pada rakyat yang tertindas.


---

Olahraga yang Memalingkan Wajah

Di Spanyol, jalan raya dilumpuhkan demonstran untuk menghentikan balapan La Vuelta karena partisipasi tim Israel. UEFA berhadapan dengan tekanan agar Israel dikeluarkan dari sepak bola Eropa.

Sejarah terasa berulang. Afrika Selatan apartheid dulu pun dipukul telak lewat boikot olahraga. Dunia tidak hanya memutus hubungan politik dan dagang, tetapi juga menutup lapangan pertandingan.

> “Dan betapa banyaknya negeri yang lebih kuat dari negerimu (wahai Muhammad) yang telah mengusirmu; Kami binasakan mereka, maka tidak ada seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. Muhammad: 13)



Kekuatan militer bukan jaminan kemenangan abadi. Ketika olahraga, seni, diplomasi, dan ekonomi menutup pintu, sebuah bangsa kehilangan oksigen moral.


---

Bayang-Bayang Afrika Selatan

Gerakan BDS yang lahir dari Palestina kini menggaung di seluruh dunia. Dulu ia berjalan sunyi, kini ia berderap dengan langkah besar.

Ilan Baruch, mantan duta besar Israel untuk Afrika Selatan, berkata: “Simbol lebih berpengaruh daripada angka.” Ia tahu, tekanan moral bisa lebih melumpuhkan daripada serangan rudal.

Inilah bayang-bayang apartheid yang kembali menghantui. Afrika Selatan pada akhirnya runtuh bukan karena kalah perang, tetapi karena dikucilkan dunia. Israel kini berdiri di jalan yang sama.


---

Ketakutan yang Mengendap

Netanyahu hidup dalam bayang-bayang surat perintah ICC. Ia terbang ke PBB pun harus memutar jalur, takut dicekal di langit Eropa.

Ironis, seorang pemimpin yang mengaku mewakili bangsa yang kuat, kini hidup dalam ketakutan diplomatik.

Al-Qur’an menyebutkan, inilah balasan bagi orang zalim:

> “Maka janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42)



Penundaan bukanlah pengampunan. Penundaan adalah jebakan.


---

Epilog: Ketika Dunia Memalingkan Wajah

Mungkin Israel masih punya Amerika Serikat, sekutu yang setia berdiri di sisinya. Tetapi sejarah membuktikan, sekutu pun bisa goyah.

Diplomasi retak. Ekonomi terkikis. Seni menjauh. Olahraga menutup pintu.

Dunia perlahan menulis kisah baru: tentang negeri yang dulunya dielu-elukan, kini dijauhi.

Al-Qur’an menutup dengan gambaran yang meneguhkan hati kaum tertindas:

> “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 139)



Gaza, dengan semua luka dan reruntuhannya, tetap tegak. Dan Israel, meski berderet senjata, perlahan menjadi negeri paria yang ditinggalkan dunia.

Sejarah sekali lagi menunjukkan: sebuah negara bisa bertahan dengan senjata, tetapi tidak bisa hidup sendirian di panggung dunia.

Pemilih Muda Yahudi Tak Setia Lagi pada Calon Pro-Israel yang Kental di Pemilihan Wali Kota New York Gaza yang Mengetuk Jendela ...


Pemilih Muda Yahudi Tak Setia Lagi pada Calon Pro-Israel yang Kental di Pemilihan Wali Kota New York


Gaza yang Mengetuk Jendela Manhattan

Apakah mungkin sebuah kota megah seperti New York—dengan lampu Times Square, deretan gedung pencakar langit, dan denyut bisnis Wall Street—ditentukan masa depannya oleh perang di Gaza, ribuan kilometer jauhnya?
Pertanyaan itu terdengar ganjil, tapi kenyataannya hari ini jawabannya: ya.

Ketika bom meledak di Rafah, ketika rumah-rumah Gaza hancur menjadi debu, getarannya terasa sampai ke jantung Manhattan. Tidak lagi sebagai berita luar negeri yang jauh, melainkan sebagai cermin moral bagi warga New York: apakah mereka masih bisa mendukung politisi yang membisu, atau bahkan membela, penindasan itu?

Di panggung inilah tiga tokoh tampil: Eric Adams, wali kota petahana yang tersungkur sebelum bertarung; Andrew Cuomo, mantan gubernur yang mencoba bangkit dari kubangan skandal; dan Zohran Mamdani, politisi muda progresif yang membawa suara Gaza ke jantung Bronx.

Ironi sejarah pun lahir: Gaza yang porak-poranda justru memiliki gema di kota paling berkuasa di Amerika.


---

Eric Adams: Sang Petahana yang Tersungkur

Eric Adams pernah dipandang sebagai wajah baru New York: polisi kulit hitam yang berhasil menurunkan angka kriminalitas, menggerakkan ekonomi pasca-pandemi, dan membangun jembatan dengan komunitas Yahudi. Ia bahkan hadir di sinagoga, memimpin doa, dan bersua dengan Netanyahu di sela Sidang Umum PBB.

“Terima kasih telah membela dunia Barat dan cara hidup kami,” ucapnya kepada Netanyahu.

Kata-kata itu, yang dulunya mungkin dianggap aman secara politik, kini menjadi bumerang. Publik muda New York—khususnya generasi milenial dan Gen-Z—tak lagi memandang Israel sebagai “benteng demokrasi.” Sebaliknya, mereka melihat gambar anak-anak Gaza yang terbaring tanpa rumah, lalu bertanya: mengapa wali kota mereka begitu akrab dengan seorang pemimpin yang dituduh melakukan genosida?

Profesor David Remnick dari Columbia University menulis:

> “Di New York, menjadi pro-Israel dulunya aman secara politik. Kini, itu bisa menjadi liabilitas, terutama bagi kandidat yang ingin memenangkan hati generasi muda.”



Adams memang tersandung kasus korupsi, tapi yang lebih menghantam citranya adalah sikapnya yang seolah menutup mata dari penderitaan Palestina. Ia tumbang bukan hanya karena hukum, tapi juga karena moralitas politik yang berubah di mata generasi baru.


---

Andrew Cuomo: Kebangkitan Sang Moderat

Di sisi lain, muncullah Andrew Cuomo. Politisi kawakan ini pernah menjadi bintang Demokrat, bahkan disebut-sebut sebagai calon presiden. Namun ia tumbang akibat tuduhan pelecehan seksual. Kini, ia kembali mencoba peruntungan.

Cuomo tidak sefanatik Adams dalam membela Israel. Ia mengambil posisi moderat: tetap pro-Israel, tapi sesekali mengkritik Netanyahu. “New York menghadapi kekuatan ekstremis yang ingin menghancurkan kota kita,” katanya, menyindir Mamdani.

Bagi komunitas Yahudi konservatif, Cuomo adalah pilihan aman. Ia tidak sepenuh hati mendukung Gaza, tapi juga tidak sekeras Adams yang menempel ke Netanyahu. Ruth Wisse, pakar Yahudi-Amerika, menyebut strategi semacam ini sebagai politik sandaran:

> “Ketika tokoh pro-Israel kehilangan legitimasi, komunitas Yahudi akan mencari figur moderat, yang setidaknya bisa menjamin keamanan mereka.”



Cuomo menawarkan stabilitas, bukan perubahan. Ia tampil seperti jembatan tua: tidak indah, tidak kokoh seperti dulu, tapi masih bisa dilalui oleh mereka yang takut pada arus deras perubahan.


---

Zohran Mamdani: Suara Gaza di Bronx

Lalu muncullah Zohran Mamdani. Politisi muda keturunan India-Uganda ini adalah sosok yang memecah pakem. Ia berbicara lantang:

“Netanyahu adalah seorang pelaku genosida. Jika ia datang ke New York, saya akan menangkapnya.”

Tentu, ia tahu wali kota tidak memiliki kewenangan semacam itu. Tapi kalimat itu lebih dari sekadar retorika: ia adalah deklarasi moral. Kata-katanya menggema di Brooklyn, Queens, dan Bronx—wilayah yang dipenuhi mahasiswa, pekerja imigran, dan komunitas muda Yahudi progresif yang sudah lama muak pada politik lama.

Profesor Noura Erakat, pakar hukum internasional, menyebut fenomena Mamdani sebagai radikalisasi moral:

> “Ketika institusi gagal menegakkan keadilan bagi Palestina, lahirlah politisi muda yang menjadikan Gaza bukan isu luar negeri, tapi isu moral kota mereka sendiri.”



Mamdani bukan hanya politisi. Ia adalah simbol generasi baru yang berani mengatakan: “cukup sudah.”


---

Komunitas Yahudi: Di Persimpangan Jalan

New York adalah rumah bagi komunitas Yahudi terbesar di dunia di luar Israel. Dari Wall Street hingga Broadway, pengaruh mereka begitu kuat. Tak heran bila sikap terhadap Israel selalu menjadi barometer politik kota ini.

Namun kini, peta berubah. Adams dicintai komunitas Yahudi konservatif, tapi generasi mudanya justru mendukung Mamdani. Survei menunjukkan paradoks: 37% Yahudi mendukung Mamdani, meski lebih dari separuh menyebutnya “antisemit.”

Bagaimana mungkin?

Sosiolog Jonathan Sarna dari Brandeis University menjelaskan:

> “Komunitas Yahudi bukan monolit. Generasi muda Yahudi Amerika semakin kritis terhadap Israel. Mereka tumbuh dengan nilai keadilan sosial, sehingga sulit menerima kebijakan Netanyahu. Dukungan mereka pada Mamdani adalah cermin perpecahan internal Yahudi sendiri.”



Di sinagoga-sinagoga progresif Brooklyn, doa bagi Yerusalem kini dibacakan dengan air mata untuk Gaza. Di ruang-ruang kelas Columbia dan NYU, mahasiswa Yahudi bergabung dengan Muslim dan Kristen dalam aksi solidaritas. Inilah wajah baru diaspora Yahudi: tidak lagi bersatu dalam pro-Israelisme, tapi terpecah oleh pertanyaan moral.


---

Dari Gaza ke New York: Cermin Dunia

Mari kita berhenti sejenak.
Bagaimana mungkin sebuah kota sebesar New York—dengan semua masalah lokalnya: kejahatan, perumahan, transportasi—terbelah oleh perang di tanah jauh bernama Gaza?

Jawabannya sederhana: karena dunia kini saling terhubung. Setiap bom di Rafah bergema di Manhattan. Setiap pidato Netanyahu di PBB menjadi perdebatan di kafe-kafe Brooklyn. Setiap video anak Palestina yang menangis, viral di TikTok dan Instagram anak muda Yahudi Amerika.

Profesor Noam Chomsky pernah mengingatkan:

> “Kebenaran tentang Palestina akan terus ditekan. Tapi di era digital, kebenaran itu menembus batas, bahkan ke ruang-ruang yang paling keras menolak mendengarnya.”



New York pun menjadi cermin dunia: sebuah kota di mana pertempuran moral global hadir di ballot box pemilihan lokal.


---

Epilog: Siapa yang Akan Menang?

Apakah Mamdani, dengan idealisme tajamnya, mampu benar-benar menaklukkan kursi wali kota?
Apakah Cuomo, dengan pengalamannya, bisa menjadi penengah?
Ataukah bayangan Adams masih akan menghantui, meski ia telah tersungkur?

Jawaban itu belum terungkap. Tapi satu hal pasti: Pemilihan Wali Kota New York 2025 bukan lagi sekadar soal tata kota, kriminalitas, atau ekonomi. Ia adalah bab kecil dari kisah besar: pertarungan moral antara kebenaran dan kekuasaan, antara Gaza dan Tel Aviv, yang kini menembus jantung Manhattan.

Dan di tengah hiruk pikuk Broadway, di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, gema Gaza seakan berbisik:
“Dunia tidak lagi bisa menutup mata. Bahkan di jantung Amerika, kebenaran dan ketidakadilan tetap berduel.”

Genosida dalam Hukum Internasional: Ketika Dunia Menutup Mata > “Barang siapa membunuh seorang manusia—bukan karena orang itu...


Genosida dalam Hukum Internasional: Ketika Dunia Menutup Mata

> “Barang siapa membunuh seorang manusia—bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi—maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia.”
(QS. Al-Ma’idah: 32)



Ada saat ketika kata-kata kehilangan maknanya, ketika “hukum internasional” terdengar seperti doa tanpa iman, dan “hak asasi manusia” berubah menjadi jargon tanpa nyawa. Gaza adalah saksi dari kematian makna itu. Di sana, manusia dihancurkan, hukum dibungkam, dan dunia memilih diam.

Dua tahun genosida di Gaza bukan sekadar perang. Ia adalah ujian moral terbesar peradaban modern — ujian bagi bangsa-bangsa yang mengaku beradab, bagi institusi hukum yang dibanggakan, dan bagi nurani manusia yang kini nyaris padam.


---

1. Ketika Definisi Menjadi Daging dan Darah

Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (1948) mendefinisikan genosida sebagai “tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama.”

Definisi itu, di atas kertas, terdengar dingin. Tetapi di Gaza, definisi itu menjadi hidup — dan berdarah.

> “Membunuh dan melukai anggota kelompok, mencegah kelahiran, serta menciptakan kondisi kehidupan yang dirancang untuk mengakibatkan kehancuran fisik kelompok itu.”
(Pasal II, Konvensi Genosida)



Semua tindakan itu kini terjadi di Gaza:

Lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, termasuk puluhan ribu anak-anak.

Hampir 170.000 orang terluka, banyak di antaranya kehilangan anggota tubuh.

Hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi, sebagian besar kehilangan rumah.

Blokade bantuan kemanusiaan membuat ratusan ribu orang kelaparan, sementara rumah sakit dikepung dan dihancurkan.

Kehidupan kolektif bangsa Palestina di Gaza diruntuhkan: pertanian, pendidikan, bahkan air bersih menjadi barang langka.


Inilah yang dimaksud Craig Mokhiber, mantan pejabat tinggi PBB, ketika ia berkata:

> “Genosida bukanlah angka. Ia adalah kehancuran atas kemampuan suatu bangsa untuk hidup, mencintai, dan mewariskan masa depan.”




---

2. Hukum yang Dibuat untuk Dilupakan

Kita sering memuja “hukum internasional” seolah ia adalah dewa penegak keadilan. Padahal, ia hanyalah perjanjian di atas kertas — tanpa roh, tanpa senjata, tanpa keberanian.

Konvensi Genosida 1948 memang mengikat 153 negara, termasuk Amerika Serikat, Israel, dan seluruh kekuatan Eropa. Namun pasal yang paling penting—“Setiap Negara Pihak wajib mencegah dan menghukum genosida”—hanya tinggal slogan.

ICJ (Mahkamah Internasional) di Den Haag telah memerintahkan Israel pada Januari 2024 untuk mencegah tindakan genosida, dan dua bulan kemudian agar membuka jalur bantuan tanpa hambatan. Tapi apa hasilnya?
Israel mengabaikan. Dunia membisu.
Tank terus bergerak, pesawat terus mengebom, dan anak-anak terus mati.

Hukum yang seharusnya menjadi pelindung manusia kini hanya menjadi saksi bisu pembantaiannya.

> “Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh api neraka.”
(QS. Hud: 113)




---

3. Ketika Dunia Menjadi Komplis

Ada perbedaan antara tidak tahu dan tidak peduli. Dunia tidak bisa berdalih tidak tahu. Setiap bom yang dijatuhkan Israel terekam satelit, setiap tangisan anak Gaza tersiarkan langsung ke layar ponsel dunia.

Namun diamnya negara-negara besar, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, menjadikan mereka bukan hanya penonton — tetapi komplices (penyerta kejahatan).

Susan Akram dari Universitas Boston menjelaskan:

> “Begitu tindakan diidentifikasi sebagai genosida, semua negara pihak konvensi wajib bertindak untuk menghentikannya. Diam berarti melanggar hukum internasional itu sendiri.”



Artinya, mereka yang mendiamkan atau tetap menyalurkan senjata kepada pelaku, sejatinya ikut serta dalam kejahatan itu.
Sebab dalam genosida, netralitas bukanlah kebaikan; ia adalah pengkhianatan.


---

4. Ketika Dunia Tak Lagi Punya Jiwa

Setiap generasi memiliki cermin untuk menguji kemanusiaannya. Bagi abad ke-20, itu adalah Holocaust dan Rwanda. Bagi abad ke-21, itu adalah Gaza.

Namun perbedaannya mencolok. Dahulu, dunia bersumpah “tidak akan pernah lagi.” Kini, dunia berkata “mungkin nanti saja.”
Dulu, genosida terjadi dalam bayangan. Kini, ia disiarkan langsung, dengan komentar dan grafik yang rapi.

Apakah ini peradaban?
Ketika dunia lebih sibuk memperdebatkan definisi daripada menghentikan darah?
Ketika manusia menonton kehancuran bangsa lain seperti menonton serial dokumenter?

Profesor Ernesto Verdeja mengingatkan:

> “Pencegahan genosida tidak boleh menunggu putusan hukum. Ia harus dimulai dari kesadaran moral, dari keberanian untuk menyebut kejahatan dengan namanya.”



Dan namanya di Gaza — adalah genosida.


---

5. Dunia yang Menutup Mata atas Dosa Sendiri

Ironinya, istilah “genosida” diciptakan oleh Raphael Lemkin, seorang pengacara Yahudi-Polandia yang kehilangan keluarganya dalam Holocaust. Ia bermimpi agar dunia tak lagi membiarkan kehancuran serupa.
Namun kini, bangsa yang lahir dari luka Holocaust justru menjadi pelaku kejahatan yang sama atas bangsa lain.

Di sinilah tragedi moral terbesar manusia modern:
ketika yang pernah tertindas berubah menjadi penindas,
ketika korban sejarah menjadi pelaku sejarah,
dan ketika rasa bersalah masa lalu digunakan untuk membenarkan kejahatan masa kini.

> “Apabila mereka berkuasa, mereka berbuat kerusakan di bumi dan menghancurkan tanam-tanaman dan ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.”
(QS. Al-Baqarah: 205)




---

6. Keadilan yang Tertunda, Tapi Tidak Hilang

Benar bahwa Mahkamah Internasional bergerak lamban. Benar bahwa Dewan Keamanan lumpuh oleh veto. Tapi sejarah tidak lupa.
Rezim yang membunuh akan tumbang — bukan hanya oleh hukum manusia, tapi oleh hukum alam dan hukum Allah.

Nelson Mandela pernah berkata:

> “Kebebasan kami tidak akan pernah lengkap sebelum Palestina merdeka.”



Kini, kebebasan dunia pun tak akan pernah lengkap sebelum keadilan ditegakkan di Gaza. Sebab genosida bukan hanya kejahatan terhadap satu bangsa, tapi terhadap seluruh hati manusia.


---

7. Dari Gaza, Dunia Belajar Arti Keadilan

Barangkali inilah paradoks yang Tuhan tunjukkan kepada dunia: bahwa bangsa yang paling hancur justru menjadi saksi paling kuat atas kehancuran moral dunia.

Dari reruntuhan Gaza, lahir pertanyaan yang mengguncang fondasi peradaban:

Apa arti hukum, jika ia tak melindungi yang tertindas?

Apa arti hak asasi, jika hanya berlaku bagi yang kuat?

Dan apa arti kemanusiaan, jika ia berhenti di perbatasan politik?


Gaza memaksa dunia bercermin — dan melihat wajahnya sendiri yang tak lagi manusiawi.


---

Epilog: Hukum Langit yang Tak Pernah Lalai

Dunia boleh menutup mata, tapi langit tidak.

> “Dan janganlah kamu sangka bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)



Genosida di Gaza mungkin belum berakhir, tetapi sejarah belum selesai menulis bab terakhirnya. Hukum manusia mungkin lumpuh, tapi hukum langit tetap tegak — dan setiap darah yang tumpah akan menjadi saksi di hari pembalasan.

Maka tanggung jawab itu kini berpindah:
dari ruang sidang Den Haag ke hati nurani setiap manusia.
Dari pasal-pasal konvensi ke doa-doa di sepertiga malam.
Dari retorika politik ke keberanian moral untuk berkata:

“Cukup. Gaza bukan medan perang. Gaza adalah ujian nurani dunia.”


Agresi Terhadap Bayi Gaza Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah engkau bisa tidur nyenyak malam ini, wahai dunia, ketika bayi-bayi d...

Agresi Terhadap Bayi Gaza

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Apakah engkau bisa tidur nyenyak malam ini, wahai dunia, ketika bayi-bayi di Gaza menangis hingga suara mereka lenyap dalam dingin, lapar, dan luka?

Hari ini kita menyaksikan pembunuhan terhadap bayi-bayi secara sistematis. Ini bukan ulah sekelompok kriminal jalanan. Ini dilakukan oleh sebuah negara. Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara yang disebut-sebut bagian dari tatanan internasional.

Lalu kita bertanya:
Mengapa lembaga yang mengklaim mewakili peradaban, memiliki anggota yang bertindak begitu biadab?


---

Pembantaian ini bukanlah insiden. Ia adalah kebijakan. Sebuah strategi negara. Penjajah Israel merancangnya dengan sadar dan dingin.

Pada 2 Maret 2025, secara resmi mereka menghentikan seluruh aliran bantuan ke Gaza—makanan, air, bahan bakar, bahkan listrik.

Langkah ini bukan karena krisis logistik. Tapi bagian dari tekanan politik, untuk menundukkan rakyat Gaza dalam negosiasi yang timpang. Bayi dijadikan sandera. Air susu mereka dijadikan kartu tawar-menawar.

UNICEF telah memperingatkan: bayi-bayi meninggal karena hipotermia. Karena tidak ada selimut, tidak ada pakaian hangat, tidak ada obat. Tapi suara lembaga internasional hanyalah angin lalu bagi penjajah. Mereka tetap menutup pintu-pintu kemanusiaan.

Bahkan kapal-kapal yang mencoba menembus blokade, satu per satu disergap. Bukan oleh bajak laut, tapi oleh militer negara yang mengklaim diri demokratis.


---

Serangan Drone di Perairan Internasional (Mei 2025)
Kapal bantuan “The Conscience” diserang oleh drone ketika berada di dekat perairan Malta. Kapal ini tak membawa senjata, hanya bantuan dan para aktivis. Tapi itu cukup bagi Israel untuk mematikannya di tengah laut.

Penangkapan Kapal “Madleen” (Juni 2025)
Pada 9 Juni 2025, kapal Madleen dicegat. Muatannya: makanan bayi, obat-obatan, dan suara nurani. Salah satu penumpangnya bahkan aktivis dunia Greta Thunberg. Tapi siapa pun penumpangnya, semua dianggap musuh bila menolong Gaza.

Penyergapan “Handala” (Juli 2025)
Kapal Handala disergap 64 km dari Gaza. Serangan berlangsung brutal. Kamera transmisi diputus, dan dunia dibungkam. Apa yang mereka sembunyikan?


---

Lalu kita bertanya kembali:
Mengapa dunia diam? Mengapa Israel bisa melakukan semuanya?

Karena mereka memiliki kekuasaan seperti Fir‘aun di Mesir. Karena mereka menindas seperti kaum kafir Quraisy di Mekah. Karena mereka meyakini ideologi ekstrem seperti penguasa zalim di Yaman.

“Sesungguhnya Fir‘aun telah berlaku sewenang-wenang di muka bumi. Dia menjadikan penduduknya berpecah-belah, menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sungguh, dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Al-Qashash: 4)

Fir‘aun membunuh demi kekuasaan.
Kaum Quraisy mengubur bayi demi kehormatan suku.
Penguasa di Yaman membakar orang-orang beriman karena perbedaan keyakinan.
Lalu apa alasan penjajah Israel?

Semua.
Kekuasaan.
Hina dan dendam.
Ideologi.

Zionisme menganggap bangsa lain rendah. Mereka ingin dunia tunduk atau binasa. Gaza adalah perlawanan terhadap itu semua—maka harus dimusnahkan. Anak-anak dibunuh karena mereka adalah harapan masa depan. Karena dalam tangisan mereka, ada gema keberanian yang ditakuti penjajah.


---

"Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya: karena dosa apakah dia dibunuh?"
(At-Takwir: 8–9)

"...Dan mereka menyiksa orang-orang beriman hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji."
(Al-Buruj: 8)

Mereka membunuh karena iman. Karena keberanian. Karena Gaza tak tunduk. Karena bayi-bayi itu bisa tumbuh menjadi batu karang yang tak bisa dikalahkan.

Dan dunia...
Dunia memilih menjadi penonton yang baik. Duduk di kursi empuk diplomasi, menyaksikan bayi-bayi Gaza dikubur dalam reruntuhan.


---

Namun sejarah selalu berpihak pada yang tertindas. Seperti Fir‘aun yang tenggelam. Seperti Quraisy yang kalah. Seperti penguasa Yaman yang dibinasakan. Maka bersabarlah, wahai Gaza, karena darah bayi-bayi itu tak akan sia-sia.

Dunia boleh membungkam suara.
Tapi langit tak akan membungkam doa.
Dan langit—selalu berpihak pada yang tertindas.


---

“Kejahatan bisa menang dalam satu babak. Tapi kebenaran menulis akhir kisah.”

Propaganda Hoax Israel 7 Oktober Berlanjut Setelah Dua Tahun Genosida Orang mungkin bertanya mengapa Israel, beserta agen-agen b...


Propaganda Hoax Israel 7 Oktober Berlanjut Setelah Dua Tahun Genosida



Orang mungkin bertanya mengapa Israel, beserta agen-agen bayarannya di media korporat dan pemerintahan Barat, terus menyebutkan berita bohong 7 Oktober yang sudah terbantahkan ketika membahas perang di Gaza.
Sudah dua tahun berlalu sejak genosida Gaza, di mana Israel diperkirakan telah membantai antara 67.000 hingga ratusan ribu warga Palestina. Meskipun dunia menyaksikan genosida ini melalui siaran langsung, setiap hari, para penyangkal dan simpatisan Holocaust Gaza terus bersembunyi di balik propaganda "7 Oktober" untuk membenarkan pembantaian tersebut.

Dari pemenggalan bayi hingga kampanye pemerkosaan massal yang sistematis, dan segala macam kebohongan yang disebarkan oleh para pembela genosida sangat beragam. Yang lebih memalukan lagi adalah kebohongan baru terus diciptakan, seolah-olah setiap beberapa bulan.

Perlu dipahami bahwa siapa pun yang menyebarkan propaganda kekejaman terkait peristiwa 7 Oktober 2023 sedang berupaya mencari pembenaran atas genosida dan pembersihan etnis terhadap rakyat Gaza. Faktanya, hoaks 7 Oktober sendiri pada dasarnya bersifat rasis dan memanfaatkan mitos orientalis tentang orang Arab, serupa dengan bagaimana masyarakat adat di Amerika Utara, Australia, dan di tempat lain digambarkan sebagai "buas" untuk membenarkan pengusiran dan penghapusan mereka.

Bayi yang Dipenggal
Pada 10 Oktober 2024, seorang reporter Israel untuk I24 News, Nicole Zedek, melaporkan langsung dari Kibbutz Kafr Azza bahwa tentara melaporkan kepadanya tentang 40 bayi yang dipenggal. Tak lama kemudian, media penyiaran dan surat kabar besar mulai memuat berita utama tentang dugaan "40 bayi yang dipenggal". Di Inggris, banyak surat kabar nasional besar bahkan memuat klaim tersebut di halaman depan mereka, dengan pesan yang menakutkan.

Fox News kemudian mempromosikan berita tersebut, bahkan CNN mengklaim telah "mengonfirmasi" berita tersebut secara langsung, sebelum akhirnya menariknya kembali. Media Inggris seperti The Times, Metro, Daily Express, The Scotsman, Financial Times, dan banyak lainnya, juga menyajikannya sebagai fakta.

Ternyata, tidak pernah ada "40 bayi yang dipenggal", bahkan, tidak ada satu pun bayi Israel yang dipenggal oleh warga Palestina. Grayzone saat itu melacak klaim ini hingga ke tentara yang memberi tahu I24 News tentang berita tersebut, dan menyebut pencetus hoaks tersebut adalah David Ben-Zion, seorang pemimpin gerakan permukiman ilegal yang fanatik.

Media korporat Barat riuh tentang pemenggalan bayi-bayi Israel, namun tak terhitung banyaknya bayi Palestina yang dipenggal di Gaza, tak satu pun dari mereka menjadi berita utama. Tak ada kecaman emosional di media siaran, air mata dari presenter, atau bahkan momen-momen dramatis konfirmasi, nama mereka bahkan tak disebut-sebut.

Sejak kebohongan itu terbantahkan, ini mungkin menjadi klaim propaganda yang paling tabu untuk diulang-ulang, namun hal itu tidak menghentikan kebohongan lain tentang bayi yang disebarkan oleh politisi Barat, pembawa acara TV, dan orang Israel sendiri.

Kebohongan-kebohongan ini disebarkan oleh tentara Israel dan tim penyelamat seperti organisasi ZAKA yang terkenal kejam, termasuk klaim tentang bayi-bayi yang digantung di jemuran, dipanggang dalam oven, dan dibakar hidup-hidup, bahkan tentang janin yang dikeluarkan dari rahim seorang perempuan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mengulangi kebohongan bahwa Hamas "membakar bayi hidup-hidup" dalam pidatonya di hadapan Kongres pada bulan Juli 2024, di mana ia menerima tepuk tangan meriah yang memecahkan rekor dari para politisi bayaran AIPAC. 

Kenyataannya, hanya satu bayi Israel yang tewas pada 7 Oktober, di tengah baku tembak antara Hamas dan Israel. Meskipun ini sudah menjadi fakta yang mapan, banyak sekali kebohongan tentang kematian bayi masih disebarkan setiap hari. Contohnya, mantan calon presiden dari Partai Demokrat, Pete Buttigieg, yang baru-baru ini mengklaim bahwa Hamas telah memasukkan bayi ke dalam oven, sebuah klaim yang tidak terbantahkan ketika ia sampaikan. 



Bunuh Orang-Orang Liar

Orang mungkin bertanya mengapa Israel, beserta agen-agen bayarannya di media korporat dan pemerintahan Barat, terus-menerus menyebutkan hoaks 7 Oktober yang telah dibantah ketika membahas perang di Gaza. Hal ini karena kebenaran yang sebenarnya terjadi pada hari itu mencerminkan peristiwa yang sama sekali berbeda dari peristiwa yang perlu direkayasa Israel untuk membenarkan genosida yang sedang berlangsung.

Jangan salah, 7 Oktober memang meninggalkan luka yang tak terobati bagi Israel dan merupakan pukulan telak dalam segala hal. Namun, Israel tidak bisa begitu saja mengatakan kebenaran tentang apa yang terjadi hari itu, karena jika mereka mau jujur, mereka tidak akan lagi memiliki sedikit pun pembenaran atas apa yang mereka lakukan hari ini.

Lihat, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah secara terbuka melabeli penduduk Gaza sebagai orang Amalek; dengan kata lain, ia memandang mereka sebagai sekelompok orang yang harus dibasmi hingga anak terakhir yang masih hidup. Agar dunia menerima posisi ini, dibutuhkan pendekatan yang berbeda dari pendekatan yang diambil terhadap audiens domestik Netanyahu, yang sudah memandang orang Palestina sebagai "manusia buas".

Di sinilah kebohongan dan pernyataan berlebihan muncul. Dalam benak para pemimpin Israel, mereka berusaha meyakinkan rakyat akan pandangan rasis mereka; oleh karena itu, 7 Oktober harus diubah menjadi peristiwa mistis yang nyaris tidak menyerupai kenyataan. 

Agar strategi semacam itu dapat dijalankan secara efektif, Hamas harus diubah menjadi kelompok yang paling tidak rasional, tidak dapat dipertahankan, dan menjijikkan di dunia, yang hanya memiliki perbedaan hitam dan putih. Setiap upaya untuk menjelaskan tindakan mereka secara objektif akan diredam oleh kemarahan dan disensor.

Sangat sedikit ruang di media arus utama Barat yang menyajikan pandangan pro-Palestina yang autentik, apalagi dari warga Palestina sendiri, yang mewakili konsensus di antara rakyat mereka sendiri. Bahkan di tempat-tempat terbatas di mana suara warga Palestina didengar, mereka masih dibatasi oleh batasan yang dirancang dengan cermat untuk percakapan yang mereka ikuti, seperti yang terjadi di acara-acara yang dipandu oleh orang-orang seperti Piers Morgan.

Ini hanya berlaku untuk kebohongan media korporat tentang pemenggalan bayi, kebohongan Netanyahu tentang dua anak berambut merah yang bersembunyi di loteng, dan kebohongan mantan Presiden Joe Biden bahwa "Saya tidak pernah benar-benar berpikir akan melihat dan mengonfirmasi foto-foto teroris yang memenggal kepala anak-anak". Atau, klaim bahwa anggota Hamas adalah pemerkosa massal, sekelompok orang biadab haus darah yang terobsesi dengan kepolosan perempuan Yahudi. 

Di sinilah peran miliarder seperti Sheryl Sandberg, dengan film propagandanya yang mempromosikan narasi tentang apa yang disebut kampanye pemerkosaan massal terencana yang dikoordinasikan oleh Hamas pada 7 Oktober. Film Sandberg, 'Screams Before Silence', menggunakan video interogasi yang direkam oleh Shin Bet. Semua investigasi dan laporan serius telah membuang "pengakuan" yang direkam ini, karena diperoleh melalui penyiksaan, sementara beberapa pihak membantah bahwa orang-orang dalam video tersebut benar-benar anggota Hamas.

Investigasi terbesar yang disebut-sebut terkait kasus pemerkosaan massal ini dilakukan oleh New York Times, yang akhirnya berubah menjadi skandal besar. Keluarga seorang perempuan Israel, yang coba ditampilkan oleh NYT sebagai korban pemerkosaan utama mereka, maju dan membantah tuduhan tersebut.

Ada pula kampanye yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Hillary Clinton, yang mengklaim membela korban pemerkosaan Israel dan menggunakan retorika "percayalah pada perempuan Israel". Seorang pengacara Israel, Cochav Elkayam-Levy, kemudian membentuk apa yang disebutnya "komisi sipil" untuk menyelidiki kampanye pemerkosaan Hamas. 

Meskipun Haaretz News dan media korporat Barat menampilkan Elkayam-Levy sebagai pahlawan kebenaran yang memperjuangkan para korban dugaan pemerkosaan, ia kemudian terbongkar karena menyebarkan banyak cerita pemerkosaan palsu, sambil meminta komisi jutaan dolar, yang hanya ia sendiri yang menjadi anggotanya. Akhirnya, para pejabat pemerintah Israel menjauhkan diri darinya, sebelum media Israel mengejarnya atas dugaan korupsi dan seluruh inisiatif tersebut runtuh.

Mungkin laporan yang paling sering disalahartikan dan dikutip secara keliru adalah laporan misi pengumpulan fakta PBB. Perwakilan Khusus PBB, Pramila Patten, memimpin misi delapan hari atas permintaan Israel untuk mengumpulkan bukti kekerasan seksual yang diduga terjadi pada 7 Oktober. 

Sembilan pakar PBB yang datang ke Israel untuk laporan tersebut tidak diberi mandat investigasi, namun mereka tetap berhasil menemukan beberapa temuan yang sangat memberatkan. Dua kasus spesifik yang diajukan Israel sebagai bukti pemerkosaan ternyata "tidak berdasar". Dalam salah satu kasus tersebut, terungkap bahwa regu penjinak bom Israel telah mengubah TKP dan "memindahkan" jenazah agar seolah-olah sang ibu dipisahkan dari keluarganya dan celananya diturunkan.

Laporan itu sendiri memang menyatakan adanya bukti berbagai tindak kekerasan seksual terkait konflik, tetapi tidak memberikan kesimpulan apa pun, dengan alasan tidak adanya mandat investigasi. Hal ini tidak menghentikan para propagandis Israel untuk menjadikan laporan tersebut sebagai "bukti" atas klaim mereka, mengutipnya secara selektif, dan menarik kesimpulan drastis dari apa yang dicatat sebagai bukti. Israel belum mengizinkan penyelidikan investigatif atas masalah ini.

Setelah dua tahun, masih belum ada bukti forensik, niat yang terdokumentasi, korban yang teridentifikasi, atau saksi kredibel yang mendukung klaim kampanye pemerkosaan massal. Tidak hanya tidak ada bukti yang mendukung hoaks kampanye pemerkosaan massal tersebut, tetapi juga masih belum ada bukti bahwa seorang pejuang Hamas telah memperkosa seorang warga Israel. Siapa pun yang mengatakan sebaliknya telah salah informasi atau berbohong. 

Namun, hal ini tidak menghentikan orang Israel untuk terus menyebarkan omong kosong mereka, karena kita masih mendengar klaim—yang seringkali tidak terbantahkan—di media penyiaran korporat tentang kisah-kisah aneh yang melibatkan militan Hamas yang mengiris dan mempermainkan alat kelamin perempuan Yahudi. Beberapa podcaster dan pakar media pro-Israel bahkan masih mengklaim dengan wajah datar bahwa ada video kejahatan mengerikan semacam itu, padahal sebenarnya tidak ada.

Bahkan jumlah korban tewas pada 7 Oktober masih sering dibohongi, yang juga memerlukan analisis lebih lanjut.

Awalnya, Israel mengklaim jumlah korban tewas sekitar 1.400 orang Israel, yang akhirnya dikurangi menjadi 1.200. Statistik inilah yang masih sering dikutip sebagai jumlah korban tewas, yang juga tidak akurat. Jumlah korban tewas resmi, menurut data Israel sendiri, adalah 1.139. Jadi, jika dibulatkan, angkanya akan menjadi 1.100. Perhitungannya tidak berubah secara tiba-tiba karena korbannya adalah orang Israel.


Tentang 'Penutupan dan Kelangsungan' – Refleksi 7 Oktober

Dari jumlah tersebut, 695 warga sipil Israel tewas, bersama dengan 373 kombatan Israel, di samping 71 warga asing. Sementara itu, jumlah korban tewas warga Palestina di Gaza pada hari itu tercatat 413 (mayoritas warga sipil), sementara Israel mengklaim telah menewaskan sekitar 1.609 militan yang terlibat dalam serangan tersebut.

Hal lain yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa Israel telah memicu perintah Hannibal yang terkenal pada hari itu, sesuatu yang kemudian diakui secara terbuka oleh tentara Israel. Namun, Israel menolak untuk merilis perkiraan yang jujur ​​tentang berapa banyak warga sipil Israel yang mereka bunuh hari itu.

Beberapa komentator memperkirakan Israel bahkan mungkin telah membunuh sebagian besar dari 1.139 orang pada hari itu, sementara yang lain mengklaim setengahnya. Namun, penilaian yang jujur ​​adalah bahwa, tanpa bukti yang kuat, tuduhan tersebut sama sekali tidak berdasar. Kita sama sekali tidak tahu berapa banyak orang Israel yang terbunuh oleh perintah Hannibal.

Di sinilah investigasi yang lebih mendalam terhadap peristiwa hari itu dibutuhkan. Pihak berwenang di Tel Aviv tidak akan mengizinkannya, bahkan sampai menyembunyikan bukti, sehingga kebenaran yang sesungguhnya mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk terungkap. 

Penjelasan sederhana tentang apa yang terjadi seringkali dijadikan senjata untuk berbagai agenda, yang paling kuat adalah pembenaran Israel atas genosida mereka. Namun, gagasan bahwa Israel tidak merespons serangan tersebut setidaknya selama 6 jam jelas keliru, meskipun mereka jelas-jelas kebingungan dan tidak mampu memberikan respons yang memadai terhadap dahsyatnya serangan yang mereka hadapi. 

Alasan Israel sendiri memilih untuk tidak menentang narasi ini secara tegas adalah karena pesawat tanpa awak, helikopter serang, tank, dan tentara mereka sendiri terlibat dalam penembakan membabi buta di antara warga sipil dan pasukan mereka sendiri, termasuk di sekitar area festival musik Nova. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan mengebom tawanan mereka sendiri saat mereka ditangkap dan diangkut ke Gaza.

Poin penting lainnya di sini adalah bahwa Hamas bukanlah satu-satunya kelompok yang terlibat dalam serangan itu, yang juga membuat atribusi semua kematian warga sipil Israel kepada mereka menjadi keliru. Puluhan kelompok bersenjata Palestina, beberapa di antaranya memiliki keyakinan yang lebih radikal atau kurang terkoordinasi dengan baik dibandingkan Hamas, ikut serta dalam pertempuran tersebut. Bahkan warga sipil dan militan yang bukan dari kelompok bersenjata, melintasi pagar pemisah.

Bahkan dalam hal penangkapan tawanan, kelompok bersenjata yang dikenal sebagai Brigade Mujahidin bertanggung jawab atas penangkapan keluarga Bibas, misalnya, termasuk seorang bayi. Mereka kemudian menjadi sasaran serangan udara Israel dan terbunuh. Ada juga kasus-kasus di mana warga Israel dibebaskan oleh pejuang Hamas, saat mereka diculik ke Gaza, seperti yang terjadi pada seorang perempuan Israel dan anaknya.

Apa yang jelas dimaksudkan sebagai operasi militer, yang dirancang untuk memberikan pukulan telak bagi Komando Selatan Angkatan Darat Israel dan menangkap tawanan untuk ditukar dengan tahanan Palestina, berubah menjadi peristiwa yang sangat kacau. Hal ini terjadi karena kelemahan dan kurangnya persiapan militer Israel yang tak terduga.

Berdasarkan pengakuan pejabat Hamas, operasi itu tidak diharapkan sesukses yang terlihat dan tampaknya hal ini menyebabkan gambaran yang rumit dan berdarah yang terungkap pada hari itu.  

Bukti konklusif yang ada hanyalah penembakan dan pelemparan granat ke daerah-daerah yang dipenuhi warga Israel tak bersenjata, yang menurut standar apa pun dianggap sebagai kejahatan perang. Namun, fakta-fakta ini tidak pernah menggambarkan serangan tersebut, juga tidak pernah disebutkan adanya serangan yang terorganisir dengan baik terhadap tentara Israel pada hari itu, yang terbukti sangat efektif secara militer.

Jika faktanya diungkap, serangan 7 Oktober, yang dijuluki Operasi Banjir Al-Aqsa oleh Hamas dan Ruang Gabungan Faksi Perlawanan Palestina, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sejarah panjang pembantaian Israel terhadap rakyat Gaza. Peristiwa ini belum pernah terjadi sebelumnya bagi Israel, tetapi tidak bagi Palestina.

Memahami konteks di balik apa yang memicu serangan itu, bertahun-tahun pengeboman teror dan pembantaian massal, pencurian tanah, provokasi di Tempat Suci, perluasan pemukiman, kondisi apartheid dan banyak lagi, juga membantu menjelaskan mengapa orang-orang bersenjata Palestina mampu melakukan apa yang mereka lakukan hari itu. 

‘Titik Balik Perjuangan Kita’ – Kelompok Perlawanan Memperingati Satu Tahun 7 Oktober 


Ketika Anda juga memahami keberhasilan militer, Anda akan menyadari mengapa serangan itu juga dirayakan secara luas di kalangan warga Palestina. Tentu saja ada sesuatu yang bisa dikatakan tentang kekuatan dalam gambar-gambar warga Palestina yang menarik tentara Israel yang berlumuran darah keluar dari tank mereka, sambil menerobos tembok pemisah yang ilegal. 

Ketika orang-orang melihat video dan foto-foto itu, mereka sempat percaya bahwa kebebasan mungkin bisa diraih, bahwa perjuangan militer dapat memberi mereka hak untuk kembali ke tanah yang dirampas Israel pada tahun 1948. Mereka tidak merayakan kemenangan karena mereka "biadab", mereka justru bersorak mendukung sekelompok pejuang yang berhasil keluar dari kamp konsentrasi dan melancarkan serangan terhadap penjajah.

Dalam pidato Majelis Umum PBB baru-baru ini, Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa 90% warga Palestina di seluruh wilayah pendudukan merayakan serangan 7 Oktober 2023 sebagai pembenaran kebijakan penindasan Israel terhadap mereka. Untuk membuat audiens Barat setuju dengannya bahwa warga Palestina adalah binatang buas yang pantas menderita dan berada di bawah kekuasaan mereka, ia ingin Anda mempercayai kebohongannya, tidak hanya tentang 7 Oktober, tetapi juga tentang mengapa serangan itu terjadi.

Bahkan jika Anda mempercayai semua kebohongan Israel tentang hal itu, ketika orang bertanya "bagaimana dengan 7 Oktober" hari ini, tanggapan yang sah hanyalah menjawab dengan mengatakan "tepatnya, bagaimana dengan 7 Oktober?". 

Sekalipun Hamas bertanggung jawab atas setiap kematian warga sipil, Arahan Hannibal tidak pernah diberlakukan, 40 bayi dipenggal, dan terjadi kampanye pemerkosaan massal, bagaimana mungkin kebrutalan seperti itu membenarkan genosida selama dua tahun? Bagaimana itu membenarkan kelaparan yang dialami penduduk Gaza? Bagaimana itu membenarkan perampasan tanah dan pembantaian warga sipil di Tepi Barat? Tidak ada alasan untuk genosida.

Satu-satunya alasan seseorang mengangkat isu 7 Oktober sebagai alat untuk membela tindakan Israel adalah karena mereka rasis dan percaya bahwa nyawa orang Yahudi Israel jauh lebih berharga daripada nyawa orang Palestina. Peristiwa itu terjadi dua tahun lalu. Setiap hari sejak saat itu, Israel telah membantai warga sipil di Gaza, dan saat ini, Hamas telah membunuh lebih banyak tentara Israel daripada warga sipil.

(The Palestine Chronicle)


– Robert Inlakesh adalah seorang jurnalis, penulis, dan pembuat film dokumenter. Ia berfokus pada Timur Tengah, khususnya Palestina. Ia berkontribusi pada artikel ini di The Palestine Chronicle.

Paradoks Palestina: Dari Perang Salib hingga Pasca Genosida, Antara Eropa dan Penguasa Arab Sejarah Palestina adalah cermin perg...


Paradoks Palestina: Dari Perang Salib hingga Pasca Genosida, Antara Eropa dan Penguasa Arab



Sejarah Palestina adalah cermin pergulatan panjang antara penindasan dan perlawanan, antara kolonialisme dan kemerdekaan. Dalam lebih dari seribu tahun terakhir, tanah ini menjadi pusat perebutan kekuasaan dan makna: dari Perang Salib abad pertengahan hingga genosida modern di Gaza. Namun, paradoks terbesar justru terlihat hari ini: Palestina semakin menang di hati rakyat dunia, tetapi masih terhalang di meja politik internasional. Artikel ini akan menelusuri dinamika tersebut, dari era Perang Salib hingga pasca-genosida, dengan pandangan sejarawan, sosiolog, dan pakar geopolitik.


---

Palestina dalam Bayang-Bayang Perang Salib

Eropa sebagai Penjajah

Ketika Paus Urbanus II menyerukan Perang Salib pertama pada 1095, Eropa bersatu atas nama agama untuk merebut Yerusalem dari tangan Muslim. Narasi yang dipakai kala itu mirip dengan yang terus berulang: bahwa Eropa datang sebagai “pembebas” dan “pelindung”. Perang Salib menjadi simbol kolonialisme dini, di mana agama dijadikan legitimasi penaklukan.

Sejarawan Karen Armstrong menulis bahwa Perang Salib membentuk imajinasi kolektif Barat: Palestina bukan sekadar tanah, tetapi simbol keabadian identitas Kristen Eropa. Narasi ini bertahan hingga era modern dan memengaruhi sikap Eropa terhadap pembentukan Israel.

Dunia Islam dan Dunia Arab

Sementara itu, dunia Islam mengalami kebangkitan solidaritas melawan pasukan Salib. Tokoh seperti Salahuddin al-Ayyubi bukan hanya panglima militer, tetapi juga simbol persatuan. Solidaritas Arab-Muslim kala itu lahir dari perpaduan identitas agama dan kesadaran geopolitik: mempertahankan jantung dunia Islam dari penjajahan asing.


---

Dari Kolonialisme Modern hingga 1948

Mandat Inggris dan Penjajahan Baru

Setelah Perang Dunia I, Palestina jatuh ke tangan Inggris melalui sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa. Inilah fase kolonialisme modern. Inggris menjadi mediator proyek Zionis, sementara rakyat Palestina kehilangan tanahnya secara perlahan. Deklarasi Balfour 1917 memperkuat legitimasi Israel, dan imajinasi Perang Salib kembali hidup dalam bentuk baru: Eropa sebagai penjamin “tanah janji” bagi orang Yahudi.

Dunia Arab dan Palestina

Pada periode ini, masyarakat Arab sudah bangkit dalam gelombang nasionalisme. Mereka mendukung Palestina, tetapi kepentingan negara masing-masing sering memecah. Perpecahan politik Arab membuat proyek Zionis melaju cepat.


---

1948: Nakba dan Awal Paradoks

Pada 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaan, sementara lebih dari 700.000 rakyat Palestina terusir dari tanah mereka. Peristiwa ini disebut Nakba — malapetaka nasional.

Masyarakat Arab: turun ke jalan mendukung Palestina. Solidaritas rakyat menguat, tetapi kekalahan militer negara Arab dalam perang 1948 memperlihatkan lemahnya koordinasi politik.

Masyarakat Eropa: masih larut dalam rasa bersalah Holocaust, sehingga dukungan pada Israel sangat kuat. Pemerintah Eropa menyuplai senjata, sementara suara pro-Palestina dianggap ekstrem.


Sejarawan Rashid Khalidi menilai sejak awal ada jurang antara rakyat dan negara. Rakyat Arab membela Palestina, negara Arab sibuk dengan stabilitas internal. Rakyat Eropa terbelah, tetapi negara Eropa mendukung Israel sepenuhnya.


---

Perang Dingin: Palestina sebagai Simbol Global

Dalam Perang Dingin, Palestina menjadi simbol pertarungan ideologi.

Uni Soviet dan blok Timur mendukung perlawanan Palestina.

AS dan Eropa Barat menjadi sponsor utama Israel.


Namun, paradoks tetap sama: masyarakat dunia bersimpati pada penderitaan Palestina, tetapi politik negara besar menutup ruang kemerdekaan. Demonstrasi mahasiswa, aktivis gereja, dan gerakan kiri di Eropa mulai menyuarakan Palestina, namun tak cukup mengubah kebijakan negara.


---

Intifada dan Perubahan Narasi

Intifada Pertama (1987–1993)

Gambar anak-anak melawan tank dengan batu mengubah persepsi dunia. Solidaritas rakyat Eropa mulai bergeser: Palestina dilihat bukan sekadar isu Arab, tetapi isu kemanusiaan.

Intifada Kedua (2000–2005)

Kekerasan Israel yang masif membuat simpati makin besar. Namun, pasca-9/11, narasi “terorisme” kembali dipakai untuk mendeligitimasi perlawanan Palestina.


---

Genosida Gaza dan Titik Balik Opini Publik

Masyarakat Eropa

Genosida Gaza membuka mata publik Eropa. Ratusan ribu orang turun ke jalan di London, Paris, Berlin, hingga Roma. Media sosial memperlihatkan realitas tanpa sensor.

Sosiolog Manuel Castells menyebut fenomena ini sebagai politik jaringan: solidaritas transnasional lahir dari konektivitas digital, melawan narasi resmi negara.

Negara Eropa

Beberapa negara mulai berubah: Spanyol, Irlandia, Norwegia, dan Slovenia mengakui Palestina. Tekanan publik membuat isu ini tak bisa lagi diabaikan. Namun, ikatan strategis dengan AS tetap menahan mayoritas pemerintah Eropa dari perubahan besar.

Masyarakat Arab

Rakyat Arab makin vokal, protes di Kairo, Rabat, dan Amman menunjukkan bahwa Palestina tetap pusat identitas politik kawasan. Namun, negara Arab cenderung pasif:

Teluk mempertahankan normalisasi demi ekonomi.

Mesir dan Yordania membatasi peran karena takut destabilisasi domestik.


Geopolitikus Abdel Bari Atwan menilai: “Rakyat Arab lebih maju satu langkah daripada pemerintahannya. Jalanan Arab mendukung perlawanan, tapi rezim Arab masih terkunci pada kompromi.”


---

Paradoks Politik: Eropa Bergerak, Arab Membeku

Pasca-genosida, terlihat paradoks yang jelas:

Eropa, yang dahulu benteng narasi pro-Israel, mulai terbelah. Rakyat mendorong pengakuan Palestina, sebagian pemerintah mengikuti.

Arab, yang dulu pusat dukungan resmi, kini stagnan di level negara meski rakyat tetap vokal.


Dengan kata lain, Eropa berubah dari bawah (grassroots ke negara), sementara Arab stagnan di atas (negara tidak mengikuti rakyatnya).


---

Analisis Akademik

Perspektif Sosiologi

Di Eropa, solidaritas Palestina kini berakar pada nilai kemanusiaan universal, bukan lagi pada identitas agama. Di Arab, dukungan rakyat tetap kuat secara emosional, namun oligarki politik membatasi dampaknya.

Perspektif Sejarah

Memori kolektif bergeser. Holocaust yang dulu jadi alasan absolut untuk membenarkan Israel kini tidak lagi menghapus fakta genosida baru terhadap Palestina.

Perspektif Geopolitik

Palestina kini berada di persimpangan:

Eropa mulai sadar, tetapi masih terkunci pada Washington.

Arab tetap terjebak kompromi rezim.

Rakyat global menjadikan Palestina simbol keadilan transnasional.



---

Kesimpulan Reflektif

Sejak Perang Salib hingga genosida modern, Palestina selalu menjadi cermin paradoks global.

Dulu Eropa datang sebagai penjajah, kini rakyat Eropa berdiri membela Palestina.

Dulu Arab bersatu melawan Salib, kini negara-negara Arab lebih sibuk dengan kompromi, sementara rakyat mereka tetap berteriak untuk Palestina.


Paradoks itu dapat diringkas: Palestina semakin menang di hati rakyat dunia, tetapi masih terhalang di meja politik internasional.

Dengan demikian, sejarah Palestina bukan sekadar sejarah sebuah bangsa, tetapi sejarah dunia: bagaimana kekuatan, ideologi, dan moralitas saling bertarung di atas tanah yang kecil namun bermakna besar bagi seluruh umat manusia.

Godfrey de Bouillon Sang Panglima Salib, dan Jejak Belgia dalam Pengakuan Palestina Bayangan Masa Lalu di Baitul Maqdis “Sejarah...


Godfrey de Bouillon Sang Panglima Salib, dan Jejak Belgia dalam Pengakuan Palestina

Bayangan Masa Lalu di Baitul Maqdis

“Sejarah adalah cermin yang retak,” kata seorang sejarawan, “tetapi di dalam retakannya, kita melihat wajah kita sendiri.” Begitulah Palestina: tanah yang tidak pernah sepi dari klaim, darah, dan doa.

Di abad ke-11, tanah itu direbut oleh pasukan Salib Eropa di bawah kepemimpinan Godfrey de Bouillon, seorang bangsawan dari Lorraine yang wilayahnya kini masuk ke Belgia. Bersamanya ada sang adik, Baldwin I, yang kelak menjadi raja Yerusalem pertama. Nama keduanya masih bergema dalam catatan perang dan dalam ingatan sejarah Kristen Eropa.

Namun delapan abad kemudian, negeri kecil yang lahir di jantung Eropa modern itu—Belgia—justru menjadi bagian dari percaturan diplomasi yang berusaha memberi ruang hidup bagi bangsa Palestina. Seolah sejarah bergerak dalam lingkaran: dari penaklukan, menuju penyesalan, hingga pada akhirnya pencarian keadilan.

Al-Qur’an telah mengingatkan:

> “Dan mereka (Bani Israil) berkata: ‘Neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari yang dapat dihitung.’ Katakanlah: ‘Apakah kamu telah menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya? Ataukah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?’”
(QS. Al-Baqarah [2]: 80).



Ayat ini menggema bukan hanya untuk Bani Israil, tetapi juga untuk siapa saja yang merasa memiliki hak kekal atas tanah suci. Sejarah membuktikan, siapa pun yang datang dengan kesombongan kekuasaan, akhirnya akan digulung oleh pergantian zaman.


---

1. Godfrey de Bouillon dan Baldwin I: Jejak Salib dari Tanah Belgia

Ketika Paus Urbanus II pada tahun 1095 menyerukan Perang Salib Pertama, Eropa terpecah antara kerinduan religius, kerakusan politik, dan kebutuhan ekonomi. Dari wilayah Lorraine—yang meliputi sebagian besar Belgia sekarang—lahir seorang tokoh yang kemudian disebut sejarawan sebagai “the most pious crusader”: Godfrey de Bouillon.

Menurut Jonathan Riley-Smith, sejarawan otoritatif Perang Salib, Godfrey dipandang sebagai figur yang menggabungkan kesalehan pribadi dengan ambisi politik. Ia menolak menyebut dirinya raja Yerusalem setelah penaklukan 1099, memilih gelar Advocatus Sancti Sepulchri—“Pelindung Makam Kudus.” Namun, sejarawan lain, seperti Steven Runciman, menilai sikap ini lebih sebagai strategi politik untuk menghindari kecemburuan Paus dan kaisar Eropa.

Sementara itu, adiknya, Baldwin I, berbeda jalan. Setelah Godfrey wafat pada 1100, Baldwin naik takhta sebagai Raja Yerusalem pertama. Ia memperluas kekuasaan Latin di Palestina, mengonsolidasikan kota-kota pesisir, dan menjadikan kerajaan Salib sebagai entitas politik yang kokoh selama beberapa dekade. Runciman menulis:

> “Without Baldwin I, the Kingdom of Jerusalem would have collapsed in its infancy; with him, it gained a spine and a crown.”



Artinya, dari rahim Belgia (dalam arti genealogis-politik), lahir dua figur pendiri kerajaan Kristen Latin di tanah Palestina. Mereka menorehkan jejak yang hingga kini menempel pada identitas Belgia, meski tak selalu disadari oleh warganya.

Namun, sejarah juga mencatat: penaklukan Yerusalem oleh Godfrey dan pasukannya dipenuhi darah. Menurut kronik Fulcher dari Chartres, ribuan Muslim dan Yahudi dibantai. Adegan itu meninggalkan luka sejarah yang dalam, bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi relasi Timur dan Barat.


---

2. Belgia Modern dan Mandat Palestina

Melompat ke abad ke-20, peta dunia berubah. Kesultanan Utsmaniyah runtuh pada 1918. Palestina jatuh ke tangan Inggris melalui Mandat Liga Bangsa-Bangsa. Belgia, meski tidak memegang mandat, ikut serta dalam perundingan-perundingan pasca-Perang Dunia I.

Sebagai negeri kecil dengan koloni besar di Afrika (Kongo, Rwanda, Burundi), Belgia memahami arti strategi kolonial. Ia tidak bisa absen dari pembahasan Timur Tengah, sebab posisi Arab berhubungan dengan jalur perdagangan global.

Di forum internasional, Belgia lebih sering menjadi pendukung suara Eropa kolektif ketimbang pemain independen. Namun sikapnya terhadap Palestina selalu terikat pada dilema moral: antara solidaritas Eropa dengan Israel, dan kesadaran historis bahwa tanah itu pernah direbut bangsawan mereka sendiri dengan pedang Salib.


---

3. Belgia dan PLO: Dari Keraguan ke Pengakuan Diplomatik

Ketika Palestine Liberation Organization (PLO) lahir tahun 1964, Belgia awalnya ragu. AS dan sekutu Eropa Barat menganggap PLO organisasi radikal. Tetapi realitas berubah pasca-Pertempuran Karameh (1968), ketika PLO di bawah Yasser Arafat menunjukkan daya juang.

Pada 1975, PBB mengakui PLO sebagai wakil sah bangsa Palestina. Belgia mengikuti garis Uni Eropa: memberi legitimasi politik, meski belum setingkat negara penuh.

Titik penting datang pada Deklarasi Venesia (1980). Uni Eropa—dengan Belgia sebagai salah satu penandatangan—menegaskan bahwa bangsa Palestina berhak menentukan nasib sendiri, dan PLO harus dilibatkan dalam proses damai.

Sejarawan Eropa mencatat, inilah saat ketika Barat untuk pertama kalinya secara kolektif mengakui Palestina sebagai aktor sah, bukan sekadar pengungsi atau masalah kemanusiaan. Bagi Belgia, ini juga berarti mengambil jarak dari sejarah kelam Perang Salib—dari bangsa yang dulu merebut Yerusalem dengan pedang, kini memberi ruang bagi Palestina di meja diplomasi.


---

4. Belgia dan Pengakuan Palestina: Hati-hati tapi Konsisten

Memasuki abad ke-21, isu pengakuan negara Palestina kembali menguat. Pada 2014, parlemen Belgia mengeluarkan resolusi yang mendesak pemerintah untuk mengakui Palestina sebagai negara. Langkah ini selaras dengan gelombang pengakuan di Eropa—Swedia bahkan sudah melakukannya secara resmi.

Namun pemerintah Belgia memilih berhati-hati. Alasannya jelas: Belgia tidak ingin sendirian, melainkan bergerak bersama Uni Eropa. Meskipun demikian, Belgia tetap konsisten pada solusi dua negara, mengecam perluasan pemukiman ilegal Israel, dan menyalurkan bantuan besar melalui UNRWA.

Kini, di awal 2020-an, Belgia berada di garis depan Eropa dalam mendukung Palestina secara diplomatik dan kemanusiaan, meski belum sampai pada pengakuan unilateral penuh.


---

5. Refleksi Ideologis: Dari Salib ke Solidaritas

Jika ditarik garis panjang:

Abad ke-11: bangsawan Belgia merebut Palestina, membentuk kerajaan Latin di atas darah dan api.

Abad ke-20–21: Belgia menjadi negara kecil yang mendukung hak bangsa Palestina di forum internasional.


Perjalanan ini menunjukkan paradoks sejarah. Belgia yang dulu ikut merampas, kini ikut memperjuangkan pengakuan.

Sejarawan Arab kontemporer, Ilan Pappé, menulis bahwa Eropa “tidak bisa melepaskan diri dari beban sejarahnya di Palestina—mulai dari Perang Salib, kolonialisme, hingga lahirnya Israel.” Belgia termasuk dalam lingkaran ini: ia punya utang moral.

Al-Qur’an mengingatkan dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13:

> “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”



Ayat ini menegaskan: sejarah bukan sekadar perebutan tanah, tetapi ujian moral untuk belajar saling mengenal dan menegakkan keadilan.


---

Epilog: Bayangan Godfrey di Brussels

Bayangkan jika arwah Godfrey de Bouillon berjalan di jalanan Brussels hari ini. Ia mungkin akan terkejut mendengar parlemen Belgia mendesak pengakuan Palestina. Ia yang dulu menumpahkan darah demi menguasai Yerusalem, kini melihat keturunannya menyerukan perdamaian di tanah yang sama.

Sejarah memang tidak berulang persis, tetapi ia sering berirama. Dari pedang ke diplomasi, dari penaklukan ke pengakuan. Dan di tengah semua itu, Palestina tetap menjadi cermin bagi bangsa-bangsa—apakah mereka memilih jalan kesombongan, atau jalan keadilan.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (262) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (257) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (242) Sirah Sahabat (156) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)