basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Palestina

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Palestina. Tampilkan semua postingan

Kepahaman Nabi Ya‘qub atas Kedok-Kedok Amerika Oleh: Nasrulloh Baksolahar Serangan Amerika ke Iran, siapa yang sebenarnya diuntu...

Kepahaman Nabi Ya‘qub atas Kedok-Kedok Amerika

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Serangan Amerika ke Iran, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Untuk kepentingan rakyatnya atau untuk penjajah Israel?

Fakta menunjukkan bahwa 45% warga Amerika menolak intervensi militer ke Iran, dan 30% lainnya belum menentukan sikap. Bahkan, serangan udara dengan pesawat bomber siluman B-2 itu tidak melalui persetujuan kongres.

Di balik jargon “America First” yang dielu-elukan Donald Trump, ternyata Israel tetap menjadi prioritas utama. Saat anggaran bantuan untuk lembaga-lembaga internasional dikurangi, justru bantuan ke penjajah Israel terus mengalir deras. Trump menjanjikan kebangkitan Amerika, tapi salah satu jalannya justru dengan memperkuat rezim penjajah yang kerap melanggar hukum internasional.


Kedok-Kedok yang Berulang

Di Palestina, Amerika berdiri di belakang Israel dengan kedok diplomasi dan infrastruktur militer. Di Iran, Amerika bahkan secara terang-terangan membantu penjajah yang terlebih dahulu melancarkan serangan. Ini bukan lagi dukungan pasif—ini bentuk aktif dari legalisasi penjajahan.

Yang lebih ironis, setelah melakukan pemboman, Trump justru menyerukan perdamaian. Bukankah ini mirip strategi penjajah Israel yang terus membombardir Gaza, lalu menuduh Hamas menolak gencatan senjata?


Strategi Lama, Wajah Baru

Strategi ini sesungguhnya bukan hal baru. Al-Qur’an telah mencatat pola ini dalam kisah Nabi Yusuf. Ketika saudara-saudara Yusuf merencanakan kejahatan, mereka berkata:

> "Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu bertobatlah, sehingga kamu menjadi kaum yang saleh."
(QS. Yūsuf [12]:9)


Mereka melakukan kejahatan terlebih dahulu, lalu membungkusnya dengan niat tobat dan citra kebaikan. Ini pola lama dengan wajah baru—dan Amerika menerapkannya di panggung internasional. Menghancurkan lebih dulu, lalu mengangkat slogan perdamaian.


Kepahaman Nabi Ya‘qub dan Kepahaman Dunia

Apakah dunia tidak menyadari tipu daya ini? Al-Qur’an menunjukkan bahwa kepalsuan selalu bisa dikenali, sebagaimana Nabi Ya‘qub menyadari sandiwara anak-anaknya ketika mereka membawa baju Yusuf yang dilumuri darah palsu:

> "Mereka datang membawa bajunya (yang dilumuri) darah palsu. Dia (Ya‘qub) berkata, 'Justru hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan (yang buruk) itu. Maka bersabarlah, itulah yang terbaik (bagiku).'”
(QS. Yūsuf [12]:18)


Nabi Ya‘qub tidak tertipu oleh narasi buatan. Ia memahami bahwa di balik air mata dan cerita duka, ada kedok dan tipu daya. Begitulah seharusnya dunia memahami wajah Amerika dan Israel hari ini—mereka menyerukan damai di mimbar PBB dan forum-forum internasional, namun memantik perang di medan realitas.


Penutup

Dunia tidak lagi buta. Kepahaman Nabi Ya‘qub harus menjadi kepahaman umat hari ini—tidak mudah tertipu oleh sandiwara politik dan diplomasi palsu. Amerika dan penjajah Israel telah terlalu sering memainkan peran sebagai korban, sambil terus memproduksi penderitaan.

Maka, seperti Nabi Ya‘qub, kita bersabar dengan mata terbuka—menyadari kenyataan, namun tetap bersandar kepada pertolongan Allah. Juga terus melawan dengan cara yang kita bisa.

Bangsa yang Hidup dari Mengemis: Jejak Mentalitas Yahudi Sejak Kemunculannya  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Penjajahan Zionis atas ...

Bangsa yang Hidup dari Mengemis: Jejak Mentalitas Yahudi Sejak Kemunculannya 


Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Penjajahan Zionis atas tanah Palestina bukan bermula dari kekuatan, tetapi dari permintaan dan lobi-lobi penuh pengharapan. Mereka datang kepada Inggris—penguasa Mandat Palestina pasca-Perang Dunia I—dan meminta tanah yang bukan milik mereka. Maka lahirlah Deklarasi Balfour tahun 1917, janji sepihak kepada kaum Yahudi untuk mendirikan "tanah air nasional" di Palestina, tanpa memperdulikan hak rakyat Palestina sendiri.

Namun apakah permintaan itu berhenti di situ?

Setelah merampas rumah, kebun, dan tanah rakyat Palestina, Zionis Yahudi mengemis dana dan dukungan politik kepada Amerika Serikat. Presiden Harry Truman menjadi salah satu pemimpin Barat yang menyanggupi permintaan itu, menjadikan Israel sebagai proyek strategis dalam peta politik global pasca-Perang Dunia II.

Ketika Perang Enam Hari tahun 1967 dan Perang Yom Kippur 1973 meletus, Israel kembali memohon bantuan militer kepada Amerika dan Eropa, sementara Barat justru memblokade suplai senjata ke negara-negara Arab. Kemenangan militer Israel saat itu tidak berdiri di atas kemandirian, tapi di atas dukungan penuh blok Barat yang meminggirkan keadilan.

Ketika Israel memperkuat infrastruktur militernya hingga menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah, mereka melakukannya dengan dukungan teknologi, intelijen, dan dana dari sekutu-sekutunya. Sementara itu, negara-negara Arab ditekan melalui diplomasi dan bantuan, agar menjadi sekutu diam-diam penjajah yang tak pernah terang-terangan bersuara.

Lalu ketika Israel mulai melakukan genosida sistematis terhadap rakyat Palestina, mengancam negara-negara sekitarnya, dan bahkan memprovokasi Iran, apa yang terjadi?

Mereka kembali mengemis dukungan. Kali ini dengan menjual narasi ketakutan: senjata nuklir Iran, terorisme, dan eksistensi negara Yahudi yang "terancam". Mereka ingin Amerika turun tangan lagi, berperang untuk mereka, mengorbankan prajurit dan anggaran demi kelangsungan kolonialisme mereka.

Apakah pola ini hanya terjadi di era modern?

Sejarah mencatat, tradisi meminta dan menggantungkan diri ini telah menjadi bagian dari sikap mental kolektif mereka sejak zaman dahulu:

Di era Nabi Ya'qub, mereka datang ke Mesir saat kelaparan, meminta bantuan pangan dari kerajaan asing.

Di era Nabi Musa, mereka meminta makanan, minuman, dan kenyamanan dari langit, sembari menolak perintah jihad dan memilih bertahan dalam zona nyaman.

Mereka bahkan meminta Nabi Musa dan Harun agar menjadi wakil mereka dalam menghadapi bangsa Kan’an—padahal tanah itu telah dijanjikan kepada mereka.

Di masa Thalut, mereka menuntut seorang raja kepada Nabi mereka agar memimpin perang melawan Jalut—tetapi mereka sendiri lari dari medan tempur.

Ketika mendengar kabar tentang kedatangan Nabi akhir zaman, mereka datang ke Madinah bukan untuk iman, tetapi untuk mengembalikan supremasi rasial yang telah lama hilang.


Bangsa ini hidup dari menggantungkan diri kepada yang lain. Jika tak ada pihak yang bisa dimintai, maka mereka kehilangan arah dan kekuatan. Inilah pola mental yang tetap bertahan bahkan hingga abad ke-21.

Lalu, mengapa Muslimin dan bangsa Arab hari ini justru tak percaya diri menghadapi mereka?
Padahal sejarah membuktikan: mereka hanya unggul jika dibantu. Tanpa sokongan, mereka bukan siapa-siapa. Maka, masalah bukan pada kekuatan mereka, tetapi pada keraguan kita terhadap kekuatan kita sendiri.

"Hamba-Hamba-Ku yang Kuat" dalam Terminologi Kehancuran Bani Israil? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ayat Al-Qur'an yan...

"Hamba-Hamba-Ku yang Kuat" dalam Terminologi Kehancuran Bani Israil?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ayat Al-Qur'an yang menjadi dalil tentang kehancuran Bani Israil setiap kali mereka berbuat kezaliman dan kerusakan terdapat dalam surah Al-Isra’:

> "Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’ Maka apabila datang saat hukuman untuk (kezaliman) pertama dari keduanya, Kami kirimkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang sangat kuat, lalu mereka memasuki perkampungan-perkampungan kalian. Dan itu adalah janji yang pasti terlaksana.”
— (QS Al-Isra’: 4–5)


Dalam pandangan para mufassir klasik, "hamba-hamba-Ku yang kuat" dalam ayat ini merujuk pada dua kekuatan besar yang pernah menghancurkan kerajaan Yahudi setelah masa Nabi Sulaiman a.s.:

1. Serbuan Kerajaan Asyur (Assyria):
Kekaisaran ini menghancurkan Kerajaan Israel (utara), yang dihuni oleh sepuluh suku Bani Israil, sekitar tahun 722 SM. Kota Samaria, ibu kotanya, dijarah dan penduduknya diasingkan.


2. Serbuan Kerajaan Babilonia (Babylonia):
Di bawah kepemimpinan Nebukadnezar II, Babilonia menghancurkan Kerajaan Yehuda (selatan), menghancurkan Baitul Maqdis (Solomon’s Temple), dan menawan ribuan orang Yahudi ke Babilonia pada tahun 586 SM.


Secara militer, Kerajaan Asyur dan Babilonia jauh lebih kuat dibandingkan kerajaan-kerajaan Yahudi saat itu, baik dari segi jumlah pasukan, teknologi militer, maupun strategi perangnya. Maka hancurlah dua kerajaan Yahudi itu secara total. Namun, bagaimana dengan konteks saat ini?


Kekuatan di Era Modern: Siapa “Hamba-Hamba-Ku yang Kuat”?

Di era sekarang, penjajah Israel justru menjadi kekuatan militer terkuat di kawasan Timur Tengah, dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat dan sekutu Eropa. Negara-negara Arab yang dulu menentangnya, kini satu per satu menjalin kompromi dan normalisasi:

1. Mesir dan Yordania sudah lama menjadi sekutu Israel secara diplomatik.

2. Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Oman telah melakukan normalisasi.

3. Arab Saudi berada di ambang normalisasi dengan bujukan Amerika.

4. Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman dilumpuhkan oleh konflik internal dan perang proksi.

Yang tersisa adalah Iran, satu-satunya kekuatan regional yang masih aktif menentang dominasi Israel. Namun, secara militer konvensional, Iran pun masih berada di bawah Israel dari sisi teknologi dan daya tempur terbuka.

Lalu, di manakah posisi “hamba-hamba-Ku yang kuat” sebagaimana yang Allah janjikan dalam surat Al-Isra’? Apakah konsepnya masih identik dengan kekuatan militer besar seperti Asyur dan Babilonia, atau sudah bergeser?


Dari Infrastruktur ke Ideologi

Sejarah mencatat bahwa kemenangan di masa lalu ditentukan oleh dominasi militer dan infrastruktur. Saat Romawi dan Persia berebut pengaruh di wilayah Syam (Palestina), kekuatan ditentukan oleh logistik, jumlah pasukan, dan teknologi tempur.

Namun, sejak kebangkitan Islam di Hijaz, peta kekuatan berubah total. Kaum Muslimin yang secara infrastruktur lemah justru mampu mengalahkan dua imperium besar: Romawi dan Persia. Di sini, kekuatan ideologis, spiritualitas, dan kesatuan visi menjadi faktor utama kemenangan.

Apakah ini berarti, di era modern pun, yang disebut “hamba-hamba-Ku yang kuat” tidak semata-mata diukur dari besar pasukan atau kecanggihan persenjataan?

Mungkin, kekuatan mereka lahir dari kesabaran di bawah tekanan, keberanian yang dibentuk oleh penderitaan, dan keyakinan yang tak goyah terhadap janji Allah. Seperti kekuatan Gaza hari ini, yang diblokade total tapi mampu mengguncang negeri yang dimanja dengan teknologi.



Penutup

Dalam logika ilahi, kekuatan tidak selalu lahir dari superioritas material. Kadang, justru muncul dari ruang-ruang keterbatasan yang diisi oleh iman, tekad, dan keberanian. Maka ketika Allah berfirman “hamba-hamba-Ku yang sangat kuat,” bisa jadi mereka tidak terdefinisi oleh radar militer dunia, tetapi dikenali langit sebagai ujung tombak keadilan-Nya di bumi.

Yang Diblokade, Malah Bisa Melawan? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Iran mulai mengalami blokade ekonomi dan sanksi internasional sec...

Yang Diblokade, Malah Bisa Melawan?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Iran mulai mengalami blokade ekonomi dan sanksi internasional secara serius sejak tahun 1979, tepat setelah Revolusi Islam menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi dan menempatkan Ayatollah Khomeini sebagai pemimpin Republik Islam Iran.

Sejak itu, aset-aset Iran di luar negeri dibekukan. Hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa diputus. Iran dilarang mengekspor berbagai komoditas strategis, terutama minyak dan gas. Perusahaan asing yang berinvestasi di sektor energi Iran dikenai sanksi. Bahkan, akses Iran ke sistem keuangan global—seperti SWIFT—diputus secara sepihak.

Situasi serupa juga dialami Gaza. Sejak tahun 2007, wilayah ini mengalami blokade total yang diberlakukan oleh Israel dengan dukungan Mesir. Israel mengontrol pelabuhan, bandara, dan wilayah udara Gaza. Barang-barang penting seperti bahan bangunan, obat-obatan, dan listrik dibatasi masuknya. Ekspor dari Gaza hampir mustahil dilakukan. Mesir pun sering menutup perbatasan Rafah—satu-satunya pintu keluar Gaza yang tidak dikendalikan Israel.

Namun, yang menjadi pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin Iran dan Gaza—yang sama-sama berada dalam tekanan dan blokade berkepanjangan—justru mampu melawan kekuatan militer terbesar di kawasan, yaitu Israel?

Bukankah blokade berarti terkuncinya seluruh akses terhadap sumber daya? Bukankah ketiadaan akses berarti lumpuhnya potensi kekuatan? Jika Iran masih bisa menjalin hubungan dengan negara-negara yang tak sepaham dengan Barat, lalu bagaimana dengan Gaza yang nyaris tidak punya akses diplomatik maupun ekonomi sama sekali?

Lebih jauh lagi, mengapa Iran justru memiliki kemampuan strategis dan militer yang bahkan melampaui negara-negara Arab lain yang hidup dalam kondisi serba bebas? Dan mengapa Gaza memiliki nyali bertempur di tengah kelaparan, keterbatasan, dan penderitaan?

Dari mana sesungguhnya datangnya kekuatan itu?

Blokade, pada akhirnya, bukan sekadar alat tekanan. Ia bisa menjadi pemicu daya juang. Dalam kesempitan, muncul kecerdasan mengelola keterbatasan. Dalam kelaparan, muncul keberanian yang ditempa oleh keyakinan bahwa segala penderitaan ini akan berakhir—dan akan diganjar kemenangan.

Sebaliknya, lihatlah lawannya: penjajah Israel. Negara yang dimanjakan dengan segala fasilitas militer dan ekonomi oleh Amerika dan Barat. Semua teknologi tempur tercanggih disuplai. Semua saluran dukungan politik dan diplomatik dibuka. Namun justru mereka—yang dimanjakan dengan kelebihan—kewalahan menghadapi mereka yang dibatasi oleh kekurangan.

Lalu, siapa sebenarnya yang kuat?

Mendukung Iran? Belajar dari Era Shalahuddin Al-Ayyubi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi, berdiri sebua...


Mendukung Iran? Belajar dari Era Shalahuddin Al-Ayyubi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi, berdiri sebuah kekhalifahan besar di Mesir: Daulah Fathimiyah, beraliran Syiah Ismailiyah. Pada tahun 1167 M, kekhalifahan ini menghadapi ancaman serius dari serangan Tentara Salib yang mengarah ke Kairo. Dalam kondisi genting itu, Khalifah Al-Adid, penguasa terakhir Fathimiyah, meminta bantuan kepada dua jenderal Sunni dari Syam: Syirkuh dan keponakannya, Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pertanyaannya, mengapa dua tokoh Sunni justru datang membantu kekuasaan Syiah? Bukankah mereka berbeda mazhab? Bukankah konflik antara Sunni dan Syiah sudah berlangsung lama dan tajam?

Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat konteks sejarah secara lebih utuh.


Sunni vs Syiah: Luka yang Telah Lama Berdarah

Beberapa dekade sebelumnya, pada 1092 M, dunia Islam diguncang pembunuhan atas Nizhamul Mulk, wazir agung Daulah Seljuk yang Sunni. Ia ditikam oleh seorang anggota sekte Syiah Ismailiyah, yang menyamar sebagai darwis saat ia bepergian bersama Sultan Malik Shah. Nizhamul Mulk bukan sembarang wazir—dialah pendiri Universitas Nizamiyah di Baghdad, tempat Imam al-Ghazali mengajar dan menyebarkan pemikiran Sunni. Salah satu misinya adalah meluruskan doktrin Syiah yang saat itu disebarluaskan melalui Universitas Al-Azhar, pusat pendidikan di bawah kekuasaan Fathimiyah Mesir.

Sementara itu, di wilayah Syam, berdirilah Dinasti Zanky di bawah kepemimpinan Nuruddin Zanky, guru politik dan spiritual Shalahuddin. Nuruddin, seorang pembela Sunni garis depan, juga menjadi target beberapa kali upaya pembunuhan oleh kelompok Assassin (Syiah Ismailiyah). Namun, berkat sistem keamanan ketatnya, ia berhasil selamat.

Dengan latar belakang seperti ini, keputusan untuk membantu kekuatan Syiah Fathimiyah melawan Tentara Salib terasa janggal. Namun justru di sinilah kebesaran visi mereka tampak.


Mengutamakan Musuh Nyata daripada Musuh Internal

Meskipun berbeda akidah dengan Fathimiyah, Nuruddin Zanky tetap mengirimkan Syirkuh dan Shalahuddin ke Mesir. Bagi mereka, ancaman Tentara Salib jauh lebih besar dan mendesak dibanding konflik internal umat Islam. Setelah menang dan berhasil mengusir Tentara Salib dari Kairo, Shalahuddin secara bertahap mengakhiri kekuasaan Fathimiyah dan mengembalikan Mesir ke pangkuan Sunni dan Kekhalifahan Abbasiyah.

Langkah ini bukan sekadar strategi politik, tetapi juga bentuk keseimbangan antara prinsip dan realitas: membendung penjajahan asing sambil tetap menjaga misi dakwah dan pembaruan internal.


Iran, Israel, dan Pelajaran Sejarah

Hari ini, Iran yang berideologi Syiah menghadapi agresi militer dari penjajah Israel, yang secara terang-terangan melakukan genosida di Gaza dan terus merampas tanah-tanah Muslim di Palestina. Maka muncul pertanyaan penting:

Apakah kita mendukung Iran hanya karena ia Syiah? Atau menolak Iran karena perbedaan mazhab, meskipun sedang melawan Zionis?

Situasi ini tak ubahnya seperti era Shalahuddin: ketika kita harus memilih siapa musuh yang lebih nyata dan berbahaya. Konflik Sunni–Syiah memang belum usai, bahkan diperparah oleh proxy Iran di berbagai negara Muslim. Namun, apakah konflik internal ini harus membuat kita diam terhadap kejahatan global yang nyata dan terang-terangan?


Penutup

Sejarah mencatat: Shalahuddin membantu Fathimiyah bukan karena setuju dengan Syiah, tetapi karena tahu siapa musuh utama saat itu.
Maka hari ini, kebijaksanaan sejarah itu layak kita teladani. Bukan untuk membela Syiah, tetapi untuk membela umat dari penjajahan global yang lebih besar.

Iran di Udara, Pejuang Palestina di Darat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Tanda-tanda kewalahan dari penjajah Israel semakin nyata. S...

Iran di Udara, Pejuang Palestina di Darat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Tanda-tanda kewalahan dari penjajah Israel semakin nyata. Sejak serangan rudal hipersonik Iran pertama diluncurkan, Amerika dan Inggris langsung turun tangan. Bahkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dikabarkan mengungsi ke Yunani. Sementara itu, banyak warga Israel memilih melarikan diri lewat jalur laut ke Yunani, meskipun telah dilarang keluar oleh Menteri Transportasi mereka.

Iran melaporkan keberhasilan besar: empat pesawat tempur F-35 berhasil ditembak jatuh, dan satu pilot ditahan. Ini menjadikan Iran sebagai negara pertama yang berhasil menjatuhkan pesawat tercanggih di dunia tersebut.

Serangan yang terjadi pada Senin malam, 16 Juni 2025, mengguncang posisi Israel. Tiga menit setelah rudal hipersonik Iran menghantam target, sistem pertahanan baru mulai aktif. Namun, sudah terlambat. Rudal-rudal tersebut telah berhasil menembus bunker-bunker yang selama ini menjadi tempat persembunyian para pemukim ilegal.

Pertahanan udara Israel kini telah jebol. Bahkan bunker-bunker perlindungan pun mulai rusak. Bila kita menengok sejarah Yahudi di Madinah, saat benteng mereka mulai runtuh, ketakutan massal menjadi pembuka bagi kekalahan besar. Logika sejarah itu kini kembali berulang.

Sementara Iran menekan dari udara, di darat pejuang Palestina terus memberikan tekanan. Sebagian pasukan IDF yang sebelumnya bertugas di Gaza, kini dipindahkan ke perbatasan Lebanon, Suriah, dan Irak. Di saat yang sama, pejuang Palestina gencar menyebarkan video yang menunjukkan jatuhnya tentara-tentara IDF di Gaza. Tekanan dari dua arah ini membuat Israel semakin terjepit.

Dalam kondisi genting seperti ini, apa yang dilakukan oleh penjajah?

Seperti dalam Sirah Nabawiyah, saat Yahudi mulai terdesak, mereka akan mencari bantuan dari sekutu-sekutu lamanya. Di masa Rasulullah saw., mereka meminta bantuan dari kaum munafik di Madinah serta jaringan lama sebelum hijrah untuk menjadi mediator. Begitu pula sekarang. Israel mulai meminta Amerika dan Eropa menjadi perantara untuk membujuk Iran agar menyetujui gencatan senjata.

Padahal, saat Israel melancarkan serangan ke Iran, negeri para Mullah itu sedang dalam proses serius menyusun perjanjian nuklir bersama Amerika. Hal ini diungkapkan langsung oleh Presiden Iran dalam percakapannya dengan Pangeran Saudi melalui sambungan telepon.

Dalam situasi ini, mantan Presiden AS Donald Trump ikut bersuara:
"Seharusnya Iran menandatangani perjanjian yang saya ajukan. Betapa besarnya dan sia-sianya manusia ini. Padahal itu sangat sederhana. Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir. Saya sudah katakan itu berulang kali. Semua orang harus dievakuasi dari Teheran sekarang juga!"

Retorika lama kembali dilontarkan, tapi dunia telah berubah. Kini, langit dipenuhi rudal, tanah bergemuruh oleh perlawanan, dan bunker-bunker bukan lagi tempat yang aman.

Saat Iron Dome Menahan Rudal Hipersonik Iran Oleh: Nasrulloh Baksolahar Serangan rudal hipersonik Iran terhadap penjajah Israel ...

Saat Iron Dome Menahan Rudal Hipersonik Iran

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Serangan rudal hipersonik Iran terhadap penjajah Israel memang tidak menimbulkan kerusakan separah dampak serangan Israel terhadap wilayah Iran. Apa yang menyebabkan perbedaan ini?

Amerika Serikat turut membantu Israel menangkis serangan tersebut melalui sistem pertahanan dari kapal induk di kawasan. Yordania juga ikut terlibat dalam upaya menahan rudal-rudal yang masuk. Di samping itu, Israel sendiri memiliki sistem pertahanan udara canggih seperti Iron Dome, yang dirancang untuk mencegat rudal jarak pendek dan menengah. Namun, apakah semua serangan berhasil ditahan secara sempurna?

Ulilabshar Abdallah pernah menggambarkan karakter Israel dengan tepat:
"Seperti orang kaya yang iri, dengki, dan suka merusak; tinggal di rumah besar yang dikelilingi benteng tinggi dan dijaga ketat oleh pasukan keamanan, namun dibenci oleh seluruh tetangganya."

Lambat laun, orang seperti itu akan dikepung oleh kemarahan. Semakin tinggi benteng yang dibangun, semakin besar pula ketegangan dan permusuhan dari sekitar. Apakah kedamaian bisa diraih hanya dengan perlindungan fisik? Apakah keamanan bisa dibeli dengan sistem pertahanan tercanggih?

Kita telah menyaksikan contoh serupa dalam sejarah:

Bangladesh, saat presidennya melarikan diri dari istana mewahnya yang dikelilingi tembok tinggi dan militer bersenjata lengkap, karena rakyatnya menyerbu akibat kebijakan yang menindas.

Bashar al-Assad di Suriah, sempat meninggalkan istananya dan pergi ke Rusia ketika rakyatnya mengepung pusat kekuasaannya. Padahal rumahnya dilindungi benteng dan pasukan.


Apakah keamanan sejati berasal dari tembok dan senjata?

Iron Dome mungkin dapat mencegat rudal-rudal musuh dan mengurangi kerusakan bangunan. Namun, ia tidak mampu menangkis rasa benci masyarakat dunia akibat kekejaman yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Sistem pertahanan itu mungkin menjaga gedung-gedung tetap berdiri, namun tak mampu mengusir rasa takut dan cemas di hati para pemukim ilegal.

Apakah perlindungan itu hanya soal fisik?
Bukankah trauma, stres, dan depresi sosial di kalangan masyarakat tak bisa disembuhkan dengan rudal penangkal? Bila para pemimpin merasa aman dengan infrastruktur militer, hal itu tidak serta merta menjamin ketenangan batin rakyatnya.

Negara bukanlah hanya tumpukan bangunan dan persenjataan — negara ada karena rakyatnya. Jika rakyat hidup dalam ketakutan dan keresahan terus-menerus, maka kokohnya sistem pertahanan hanyalah ilusi keamanan.

Inilah karakter bangsa yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai bangsa yang dimurkai Allah SWT: bangsa yang tidak memahami esensi dari persoalan kemanusiaan dan keadilan. Mereka lebih memilih melindungi kekuasaan dengan tembok dan senjata, ketimbang membangun hubungan dengan kasih, adil, dan damai.

Menyerang Iran: Analisis Sejarah, Karakter, dan Daya Tempur Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah Rasulullah saw memulai pertempuran...

Menyerang Iran: Analisis Sejarah, Karakter, dan Daya Tempur

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apakah Rasulullah saw memulai pertempuran dalam sejarah Islam? Tidak. Dalam Perang Badar, misalnya, Rasulullah saw keluar bukan untuk berperang, melainkan untuk mengganggu jalur ekonomi kaum Musyrikin Quraisy, yang sebelumnya telah merampas kekayaan kaum Muslimin di Mekah saat hijrah. Namun, kaum Quraisy justru mengirimkan pasukan besar yang dipimpin Abu Jahal, padahal Abu Sufyan sebelumnya telah memperingatkan agar tidak memulai pertempuran.

Demikian pula dalam Perang Uhud. Penyerangan terjadi karena pasukan Quraisy datang menyerbu Madinah. Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabat dan memutuskan untuk menghadapi musuh di luar kota, di kaki Gunung Uhud.

Perang Ahzab pun bukan dimulai oleh Rasulullah saw. Koalisi besar antara kabilah-kabilah Arab dan kaum Yahudi dibentuk untuk menghancurkan kaum Muslimin dari luar dan dalam. Maka Rasulullah saw menghadapinya dengan strategi bertahan secara total, termasuk menggali parit besar di batas kota.

Begitu juga Perang Khaibar. Perang ini dilakukan karena benteng-benteng Khaibar menjadi pusat konspirasi dan tipu daya Yahudi untuk menghabisi kaum Muslimin. Adapun Perang Mu’tah dan Tabuk terjadi karena ancaman langsung dari pasukan Romawi yang hendak menyerbu Madinah. Dalam semua peristiwa tersebut, Rasulullah saw tidak memulai agresi, tetapi menanggapi ancaman dengan taktik dan kekuatan penuh. Diserang, berarti memiliki banyak alasan untuk memobilisasi sumber daya.

Lalu, bagaimana dengan serangan penjajah Israel ke Iran?

Penjajah Israel kini masuk lebih dalam ke zona pertempuran. Dengan menyerang Iran lebih dulu, maka Iran memperoleh legitimasi internasional untuk membela diri dan menghimpun dukungan besar dari rakyatnya, bahkan dari masyarakat global yang menyaksikan kekejaman penjajah Israel.

Selama ini, Israel selalu menggunakan dalih "membela diri" sebagai tameng moral dan diplomatik. Amerika dan Eropa pun mendukungnya karena narasi ini, seperti yang terjadi dalam Perang Arab–Israel 1967 dan 1973. Namun, jika Israel menjadi pihak yang memulai serangan, maka legitimasi untuk membela diri berpindah ke Iran, dan narasi untuk membenarkan bantuan terhadap Israel menjadi melemah.

Israel mungkin akan berdalih bahwa serangan dilakukan untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Padahal, Israel sendiri menyimpan senjata nuklir dan menolak untuk diawasi oleh lembaga internasional. Ini adalah standar ganda yang makin lama makin tak dipercaya dunia.

Lalu, apakah penjajah Israel mampu memenangkan perang melawan Iran?

Secara sejarah, kawasan ini pernah menyaksikan konflik panjang antara Romawi dan Persia — yang kini secara geopolitik menjelma menjadi Barat dan Iran. Dalam konflik berabad-abad itu, Romawi dan Persia saling menang dan kalah. Namun, Yahudi tidak pernah tampil sebagai kekuatan militer dominan dalam sejarah tersebut. Mereka selalu berada di posisi pinggiran kekuasaan dan konflik. Maka dari segi karakter bangsa dan sejarah, penjajah Israel bukanlah lawan setara Iran dalam pertarungan langsung.

Dari sisi daya tempur, Iran jauh lebih siap. Perang Iran–Irak (1980–1988) menunjukkan ketahanan militer dan semangat bertempur rakyat Iran, meski menghadapi kekuatan besar yang didukung negara-negara Barat. Iran juga memiliki jaringan milisi dan pasukan proxy yang kuat dan tersebar di kawasan — mulai dari Hizbullah di Lebanon, milisi di Irak, Yaman, dan sebelumnya di Suriah. Bahkan, hanya dengan menghadapi proxy-proxy Iran saja, Israel sudah terlihat kewalahan.

Jika Israel memaksakan diri menyerang Iran, walaupun dengan dukungan Amerika Serikat, maka ia hanya akan menyeret dirinya ke dalam konflik regional yang panjang dan melelahkan. Serangan ini juga akan semakin memperkuat rasa takut dan tekanan psikologis para pemukim ilegal di wilayah pendudukan Palestina.

Bukankah justru rasa takut dan kehilangan rasa aman itulah alasan utama penjajah Israel menduduki tanah Palestina? Dan kini, dengan menyerang Iran, mereka sedang memperluas zona ketakutannya sendiri.

Rakyat Eropa Terus Menyuarakan Palestina Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dukungan terhadap rakyat Palestina terus menggema dari berba...

Rakyat Eropa Terus Menyuarakan Palestina
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dukungan terhadap rakyat Palestina terus menggema dari berbagai penjuru Eropa. Sekelompok aktivis internasional, termasuk aktivis iklim terkemuka Greta Thunberg, tengah bersiap memulai pelayaran dari Italia selatan menuju Jalur Gaza. Tujuan mereka jelas: menembus blokade Israel sebagai bentuk perlawanan moral terhadap ketidakadilan.

Dalam pernyataannya, Thunberg menegaskan, "Kami melakukan ini karena, tidak peduli apa pun rintangan yang kami hadapi, kami harus terus mencoba. Saat kita berhenti mencoba, itulah saat kita kehilangan kemanusiaan kita. Dan seberbahaya apa pun misi ini, itu tidak sebanding dengan bahaya dari keheningan dunia terhadap genosida yang disiarkan langsung."

Di Inggris, lebih dari 300 tokoh publik—termasuk musisi, aktor, akademisi, hingga mantan hakim agung—menandatangani petisi terbuka yang menuding pemerintah Inggris turut bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga Gaza. Petisi yang diprakarsai oleh organisasi kemanusiaan Choose Love ini menyatakan bahwa Inggris “tidak dapat lagi memandang penderitaan Gaza sebagai bencana sambil tetap memasok senjata kepada Israel.”

Gelombang simpati juga terlihat dari dunia olahraga. Para pendukung klub sepak bola Paris Saint-Germain (PSG), misalnya, menunjukkan solidaritas mereka dalam final Liga Champions di Munich. Mereka turun ke jalan sambil meneriakkan, "Kami semua adalah anak-anak Gaza," sebagai seruan moral mendukung rakyat Palestina.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa dukungan rakyat Eropa terhadap Palestina begitu kuat dan konsisten? Apa yang melandasi sikap mereka?

Sahabat Nabi, Amr bin al-Ash—yang pernah lama berinteraksi dengan bangsa Eropa, baik sebelum maupun sesudah masuk Islam, dalam konteks diplomasi maupun peperangan—pernah mengungkapkan karakter dasar mereka sebagai berikut:

1. Mereka adalah orang-orang paling tabah dalam menghadapi cobaan.


2. Mereka cepat pulih dan bangkit dari musibah.


3. Mereka tidak tinggal diam ketika terdesak; mereka berani menyerang balik.


4. Mereka memiliki kepedulian besar terhadap anak yatim, kaum miskin, dan orang-orang lemah.


5. Mereka teguh dalam melawan tirani dan segala bentuk kezaliman.



Karakter-karakter inilah yang menjadikan sebagian rakyat Eropa berani bersuara lantang menentang ketidakadilan global. Boleh jadi, karena menyaksikan keteguhan dan perjuangan rakyat Palestina, mereka semakin dekat dengan nilai-nilai universal yang juga dijunjung tinggi dalam Islam: keadilan, keberanian, dan kepedulian terhadap sesama. Tak heran jika sebagian di antara mereka akhirnya memilih untuk memeluk Islam—agama yang tidak hanya mengajarkan ketundukan kepada Tuhan, tetapi juga keberpihakan kepada yang lemah.

Makna Pemboman bagi Penjajah Israel Oleh: Nasrulloh Baksolahar Serangan udara yang dilancarkan penjajah Israel telah menewaskan ...

Makna Pemboman bagi Penjajah Israel

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Serangan udara yang dilancarkan penjajah Israel telah menewaskan lebih dari 50.000 rakyat Palestina dan melukai lebih dari 100.000 lainnya. Mereka menghancurkan gedung-gedung, rumah sakit, tempat pengungsian, hingga lahan pertanian. Namun, apa sebenarnya hasil dari semua pemboman itu?

Ternyata, kehancuran tersebut bukan hanya menimpa rakyat Palestina, tetapi juga kembali menghantam jiwa tentara Israel sendiri. Kekejaman terhadap anak-anak dan wanita bertentangan dengan suara hati nurani mereka. Pemandangan kehancuran total telah menciptakan trauma mendalam dan horor yang sulit dilupakan. Akibatnya, banyak dari mereka memilih mengundurkan diri dan menolak kembali berperang di Gaza.

Namun di tengah kerusakan mental itu, mereka tetap dipaksa masuk ke wilayah konflik. Apakah mungkin bisa meraih kemenangan dalam kondisi kejiwaan seperti itu? Menjalani hidup normal saja tidak mampu, apalagi harus berperang menghadapi musuh yang tangguh dan tidak pernah menyerah.

Kehancuran mental tersebut melahirkan tindakan serampangan: pemboman dan tembakan yang tidak terukur dan membabi buta. Seperti orang yang kehilangan akal, mereka menembak ke segala arah tanpa kendali. Akibatnya, banyak tentara Israel justru tertembak oleh rekannya sendiri dalam kekacauan pertempuran.

Riset dari media penjajah Israel sendiri menunjukkan bahwa banyak sandera justru tewas akibat bom-bom udara yang diluncurkan oleh pesawat Israel. Lalu, untuk apa semua ini? Apa manfaat sebenarnya dari pemboman brutal yang tak mengenal batas itu?

Bahkan data intelijen Israel menyatakan bahwa meski Gaza dibombardir setiap hari dengan ratusan sasaran, jumlah pejuang Palestina justru terus bertambah. Infrastruktur perlawanan masih berdiri kokoh. Mereka tidak goyah, bahkan semakin terorganisir dan berdaya tahan tinggi.

Karena itu, setiap bom yang dijatuhkan di Gaza bukanlah langkah menuju kemenangan bagi penjajah, melainkan tambahan beban kehancuran bagi diri mereka sendiri—baik secara militer, psikologis, maupun diplomatik. Setiap bom adalah kehilangan, dan setiap serangan adalah pelemahan.

Lihatlah ke panggung olahraga dan seni dunia: suara-suara pembelaan terhadap Palestina semakin nyaring, bendera Palestina dikibarkan di stadion, konser, dan forum-forum internasional. Dunia semakin terbuka matanya, dan penjajah semakin kehilangan dukungan global.

Hari Nakbah dan Izzudin Al-Qassam: Makna Sejarah Bagi Rakyat Palestina Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa arti sejarah bagi suatu ba...

Hari Nakbah dan Izzudin Al-Qassam: Makna Sejarah Bagi Rakyat Palestina

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa arti sejarah bagi suatu bangsa, khususnya bagi rakyat Palestina? Sejarah menjadi fondasi kesadaran kolektif dan sumber kekuatan internal. Ia membangun legitimasi atas hak keberadaan rakyat Palestina di tanah air mereka, sekaligus menjadi daya dorong bagi mobilisasi perjuangan yang lahir dari kesadaran, bukan paksaan.

Secara eksternal, sejarah berfungsi memperkuat posisi Palestina di mata dunia. Ia menjadi dasar tuntutan keadilan di forum internasional, serta menjadi senjata moral untuk mendapatkan solidaritas global dalam mengusir penjajahan dan menuntut hak-haknya yang dirampas.

Dua simbol sejarah yang tetap hidup dan terus menginspirasi rakyat Palestina adalah Hari Nakbah dan sosok pejuang Izzudin Al-Qassam. Keduanya bukan sekadar kenangan, melainkan sumber semangat perjuangan yang terus menyala, bahkan ketika dunia menutup mata.

Hari Nakbah—yang diperingati setiap tahun—menjadi penanda penderitaan kolektif akibat peristiwa tragis 1948. Sementara Izzudin Al-Qassam diabadikan dalam nama sayap militer Hamas, sebagai lambang perlawanan. Inilah cara rakyat Palestina menjadikan sejarah sebagai kekuatan yang menumbuhkan dan mempertahankan semangat juang, meskipun mereka sering berjuang sendirian, tanpa dukungan luas dari kekuatan besar dunia.

Menurut catatan sejarah yang banyak dikutip, termasuk dari Wikipedia, Nakbah 1948 adalah peristiwa pembersihan etnis terhadap warga Arab Palestina, melalui pemindahan paksa, perampasan tanah dan harta benda, serta penghancuran komunitas dan identitas budaya mereka. Sekitar 750.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka, baik oleh kelompok paramiliter Zionis maupun oleh militer Israel setelah negara itu berdiri.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa rakyat Palestina adalah pemilik sah tanah Palestina, sedangkan gerakan Zionis hadir sebagai penjajah yang mengusir penduduk asli dari tanah kelahiran mereka.

Lebih jauh ke belakang, sejarah mencatat sosok Izzudin Abdul Qadir al-Qassam (1882–1935), seorang ulama kelahiran Suriah yang menjadi simbol perlawanan terhadap imperialisme. Ia memimpin perjuangan rakyat melawan Mandat Britania atas Palestina serta Mandat Prancis atas Suriah dan Lebanon. Ia juga aktif memerangi awal mula gerakan Zionis pada era 1920-an hingga wafatnya pada 1935.

Dari perjuangannya, rakyat Palestina mendapatkan inspirasi model perlawanan yang berlandaskan iman, keteguhan hati, dan keberanian melawan penindasan. Izzudin Al-Qassam bukan hanya nama, tetapi warisan strategi, keberanian, dan visi kemerdekaan.

Inilah makna sejarah bagi Palestina. Ia bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan obor penerang bagi masa depan. Sejarah menjadi identitas, arah perjuangan, dan energi moral untuk terus bertahan—sekaligus melawan.

Perjanjian Hudaibiyah dan Gencatan Senjata Hamas-Amerika Oleh: Nasrulloh Baksolahar Gencatan senjata antara Hamas dan Israel pad...

Perjanjian Hudaibiyah dan Gencatan Senjata Hamas-Amerika
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Gencatan senjata antara Hamas dan Israel pada Januari 2025 kembali menemui jalan buntu. Pasalnya, Israel kerap melanggar kesepakatan yang telah dibuat, bahkan enggan melanjutkan proses negosiasi. Kalaupun mengirimkan delegasi, mereka tak diberi wewenang untuk mengambil keputusan. Maka muncul pertanyaan penting: apakah perundingan semacam ini masih berguna? Dan bagaimana peran Amerika sebagai mediator?

Untuk memecah kebuntuan, Amerika Serikat akhirnya menghubungi langsung pihak Hamas dan faksi-faksi pejuang lainnya di Doha, Qatar. Sebuah proposal gencatan senjata diajukan, dan Hamas pun menyatakan persetujuan. Meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan pihak Palestina, langkah ini tetap diambil. Bahkan sebelum Ismail Haniyah dibunuh oleh Israel di Iran, Hamas telah lebih dahulu menyatakan setuju atas proposal tersebut.

Apa yang bisa dipetik dari langkah ini? Kita bisa menarik pelajaran dari sejarah Islam, khususnya Perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada masa Rasulullah saw.

Saat itu, tujuan Rasulullah saw pergi ke Mekah adalah untuk menunaikan ibadah Umrah. Namun, kaum Musyrikin Quraisy melarangnya. Padahal para sahabat sangat yakin akan bisa melaksanakan Umrah karena Rasulullah saw telah bermimpi melakukannya. Meskipun akhirnya ibadah itu gagal dilakukan tahun itu, Rasulullah menjelaskan, "Bisa jadi Umrah itu bukan tahun ini." Sebuah penegasan bahwa perjuangan belum selesai, dan kemenangan kadang menuntut kesabaran.

Begitu pula dengan perjuangan rakyat Palestina. Mungkin kemerdekaan tidak datang seketika setelah badai perlawanan Al-Aqsa. Namun, jalan menuju kemerdekaan bisa jadi terbuka melalui langkah-langkah strategis seperti kesepakatan gencatan senjata ini. Yang penting adalah terus berjuang.

Rasulullah saw memang gagal melaksanakan Umrah saat itu, tetapi beliau berhasil mengikat perjanjian damai dengan Quraisy. Tujuan jangka pendek memang tidak tercapai, namun dalam jangka panjang, keberadaan kaum Muslimin diakui oleh suku Quraisy, suku terkuat di Hijaz. Ini menjadi pengakuan yang strategis.

Bukankah Quraisy adalah penopang banyak kabilah Arab lainnya, termasuk Yahudi dan kaum Munafik yang memusuhi umat Islam? Maka, perjanjian ini pun menjadi semacam pengakuan tidak langsung dari pihak-pihak tersebut. Dalam konteks kekinian, bukankah Amerika Serikat menempati posisi strategis seperti Quraisy di masa itu? Jika demikian, maka kesepakatan dengan Amerika, betapapun terbatas, bisa menjadi batu loncatan yang sangat penting.

Para penguasa dunia yang sebelumnya enggan mengakui Hamas karena takut dimusuhi Amerika dengan cap "pendukung terorisme," kini mulai membuka diri. Amerika sendiri yang mengajak duduk bersama. Bukankah ini berarti membuka jalan untuk dukungan internasional yang lebih luas?

Tanda-tandanya mulai tampak: Inggris dan Spanyol menyerukan blokade senjata ke Israel. Beberapa negara Uni Eropa membatalkan perjanjian dagang. Kanada dan Australia pun mulai bersuara keras, padahal sebelumnya mereka pendukung utama Israel. Demonstrasi jalanan di banyak negara pun mulai berubah menjadi tekanan politik nyata.

Menekan penjajah tidak selalu dengan senjata. Kehilangan dukungan dan sahabat adalah penderitaan tersendiri—baik bagi individu maupun dalam pergaulan internasional. Begitulah perubahan terjadi: perlahan tapi pasti, melalui langkah yang mungkin tampak kecil, namun memiliki dampak strategis besar di masa depan.

Serbuan Pemukim Yahudi ke Al-Aqsa dan Tentara Bergajah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada Senin, 26 Mei 2025, ribuan pemukim Yahudi...

Serbuan Pemukim Yahudi ke Al-Aqsa dan Tentara Bergajah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada Senin, 26 Mei 2025, ribuan pemukim Yahudi dengan leluasa menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa. Aksi ini dilakukan dengan dalih memperingati pendudukan Tepi Barat dalam Perang Enam Hari tahun 1967, dan mendapat dukungan penuh dari aparat militer Israel.

Spanduk-spanduk provokatif dibentangkan dalam aksi tersebut. Di antaranya bertuliskan, “Gaza adalah milik kita”, serta “Yerusalem 1967, Gaza 2025”—slogan yang secara terang-terangan mencerminkan ambisi aneksasi militer atas Gaza, sebagaimana pendudukan Yerusalem Timur. Bahkan, spanduk bertuliskan “Tanpa Nakba tidak ada kemenangan” menunjukkan glorifikasi atas pengusiran paksa lebih dari 700.000 warga Palestina saat berdirinya negara Israel pada 1948.

Aksi ini bukan sekadar gerakan sporadis dari massa. Beberapa tokoh penting pemerintahan Israel turut serta, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, Menteri Negev dan Galilea Yitzhak Wasserlauf, serta sejumlah anggota Knesset dari partai-partai ultra-nasionalis seperti Likud, Kekuatan Yahudi, dan Zionisme Religius. Fakta ini menunjukkan bahwa penyerbuan tersebut secara politis disokong oleh kekuasaan.

Peristiwa ini mengingatkan kita pada kisah legendaris penyerangan Tentara Bergajah ke Ka'bah—tempat suci umat Islam—yang pada akhirnya dihancurkan oleh kekuasaan Allah melalui burung-burung Ababil. Bukankah Masjid Al-Aqsa juga memiliki kedudukan mulia dalam Islam? Apakah sejarah akan kembali terulang?

Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Allah tidak tinggal diam terhadap kezaliman yang ditujukan kepada tempat-tempat ibadah, apapun agamanya. Dalam surah Al-Ḥajj ayat 40, Allah berfirman:

> “(Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, 'Tuhan kami adalah Allah.' Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(Al-Ḥajj [22]: 40)



Ayat ini menjadi isyarat bahwa kehancuran suatu kekuatan yang menodai tempat ibadah bisa terjadi melalui tangan manusia lain yang Allah gerakkan. Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana gelombang perlawanan masyarakat dunia terhadap agresi Israel mulai bangkit. Demonstrasi besar-besaran di berbagai kota Eropa dan Amerika merupakan tanda awal.

Sebagaimana runtuhnya pasukan bergajah, penjajahan atas tanah suci ini pun sedang menuju kehancurannya. Di mulai dari gerakan mereka yang terus menodai Masjid Al-Aqsa. Allah Mahatahu, dan sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa kezaliman tidak pernah abadi.

Saat Seluruh Dunia Telah Memperingatkan Penjajah Israel Oleh: Nasrulloh Baksolahar Demonstrasi besar-besaran telah mengguncang d...


Saat Seluruh Dunia Telah Memperingatkan Penjajah Israel

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Demonstrasi besar-besaran telah mengguncang dunia agar penjajah Israel menghentikan genosida. Resolusi Dewan Umum hingga Sekjen PBB telah memperingatkan agar agresi dihentikan. Mahkamah Internasional juga telah menetapkan bahwa tindakan penjajah merupakan kejahatan perang.

Para penguasa Eropa pun mulai memperingatkan. Dari internal penjajah sendiri, peringatan datang baik dari politisi maupun militer. Dari kalangan oposisi, keluarga sandera, dan militer pun melayangkan petisi menolak perang. Saat penjajah Israel tetap terus melakukan genosida, apa yang kelak akan terjadi padanya?

Berhasilkah genosidanya? Berhasilkah melenyapkan perlawanan dan rakyat Palestina? Berhasilkah mengusir rakyat Palestina? Mari berkaca pada sejarah masa lalu yang telah diabadikan dalam Al-Qur'an.

Ada dua hal yang akan terjadi dan selalu berulang. Inilah hukum alam semesta yang tidak pernah berubah, yaitu:

1. Membinasakan kezaliman setelah peringatan datang

Bukankah seluruh dunia telah memperingatkan? Bukankah ini pernah terjadi pada Amerika saat mengagresi Afghanistan dan Irak? Saat dunia mengecam, Amerika tetap mengagresi. Bukankah akhirnya Amerika terusir dari Afghanistan dan Irak?

"Sungguh, Kami benar-benar telah membinasakan beberapa generasi sebelum kamu ketika mereka berbuat zalim, padahal para rasul mereka telah datang membawa bukti-bukti yang nyata. Namun, mereka sama sekali tidak mau beriman. Demikianlah, Kami memberi balasan kepada kaum yang berbuat dosa."
(Yūnus [10]:13)


2. Pergantian peradaban

Bukankah banyak analisis menyatakan bahwa penjajah saat ini menggenggam dunia? Setelah ini, mereka akan digantikan—seperti yang terjadi pada Amerika di Afghanistan dan Irak.

"Kemudian, Kami jadikan kamu sebagai pengganti-pengganti di bumi setelah mereka, untuk Kami lihat bagaimana kamu berbuat."
(Yūnus [10]:14)

Siapakah yang akan menggantikan?
Mereka yang melakukan perlawanan dengan teguh dan menjunjung nilai luhur. Bukankah kaum pengikut para nabi dan rasul yang akan menggantikan, setelah mereka memperingatkan kaum yang durhaka?

Bila ingin memimpin peradaban, jadilah yang paling teguh dan konsisten pada nilai kebenaran dalam melawan setiap peradaban yang rusak.


Analisis Tulisan dari Isi dan Gaya Bahasa 
Isi Tulisan:
1. Pesan utama:

Dunia internasional telah memberikan peringatan terhadap Israel atas tindakannya di Palestina, yang digambarkan sebagai genosida.

Penulis menyandingkan situasi saat ini dengan pelajaran sejarah dan ayat Al-Qur’an, menekankan bahwa kezaliman yang diabaikan akan selalu membawa kehancuran.

Dua hukum universal ditekankan:

1. Kezaliman pasti binasa setelah peringatan datang.

2. Akan terjadi pergantian peradaban — dari yang zalim kepada yang berpegang teguh pada nilai-nilai luhur.

2. Referensi historis dan teologis:

Merujuk pada kegagalan Amerika di Irak dan Afghanistan.

Mengutip dua ayat dari Surah Yunus sebagai fondasi argumen.

Mengajak pembaca mengaitkan konflik Palestina dengan pola-pola historis dalam Al-Qur'an.

3. Nada perlawanan dan harapan:

Tegas, konfrontatif terhadap penjajah.
Optimis terhadap kemenangan nilai-nilai kebenaran di masa depan.
---

Gaya Bahasa:

1. Retoris dan Persuasif:
Banyak kalimat tanya retoris: “Berhasilkah genosidanya?”
Mengundang pembaca untuk berpikir dan merenung.

2. Propetik dan Apokaliptik:

Gaya penulisan mengarah pada narasi akhir zaman/pergantian zaman, menonjolkan divine justice dan eschatological tone (nada eskatologis).

Hal ini memberi kesan bahwa sejarah berjalan sesuai dengan hukum ilahi.

3. Argumentatif-Religius:

Argumentasi dibangun dari fakta sosial-politik dunia dan diperkuat dengan teks-teks keagamaan (Al-Qur'an).
Ditulis dengan kesadaran ideologis yang kuat dan memperlihatkan keberpihakan yang jelas.

4. Gaya khutbah atau manifesto:

Mirip ceramah atau editorial keagamaan, bukan esai akademis.
Disusun untuk membangkitkan semangat dan kesadaran umat, bukan untuk perdebatan rasional netral.

---

Kesimpulan Evaluatif:

Kekuatan: Gaya tegas, naratif historis-religius yang khas, menyampaikan pesan moral dan spiritual yang kuat.

Sasaran pembaca: Umat Islam yang sadar politik dan peduli pada isu Palestina, khususnya yang terhubung dengan narasi Islam global.

Kelayakan terbit: Layak untuk dibukukan, terutama dalam kumpulan tulisan opini, esai tematik Palestina, atau narasi reflektif keislaman yang menyentuh sejarah dan akhir zaman.

Kelak Tidak Ada Tempat Bagi Penjajah Israel Oleh: Nasrulloh Baksolahar Batu pun akan memberitahukan tempat persembunyian Yahudi....

Kelak Tidak Ada Tempat Bagi Penjajah Israel
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Batu pun akan memberitahukan tempat persembunyian Yahudi. Tidak hanya itu, bebatuan pun akan memerintahkan untuk membunuhnya. Dari sekian banyak makhluk Allah Swt., hanya pohon Gharkad yang melindunginya. Sangat tragis, bukan? Inilah nubuwah Rasulullah saw.

Seorang pemuda Amerika membunuh dua diplomat penjajah Israel di tempat terbuka dan umum. Setelah itu, ia duduk dengan tenang dan menunggu kedatangan polisi. Fenomena apa ini?

Pemuda tersebut tidak memiliki catatan kriminal. Bahkan, ia adalah seorang peneliti dan aktivis kemanusiaan. Tak terindikasi adanya perencanaan pembunuhan oleh intelijen. Tanda apakah ini?

Masih di Amerika, Menteri Keamanan penjajah tiba di sana. Tak ada satu pun sinagoge yang mau menerimanya. Bahkan, ia disambut dengan aksi demonstrasi. Apakah ini hanya terjadi di Amerika? Bukankah Amerika selama ini menjadi perisai sang penjajah? Jika di Amerika saja seperti ini, bagaimana di negara lain?

Sejumlah negara memanggil duta besar penjajah Israel setelah pasukan mereka menembaki delegasi Arab dan Eropa yang sedang mengunjungi Jenin, Tepi Barat. Bukankah ini pertanda semakin terisolasi?

Bisa saja penjajah Israel berhasil membumihanguskan Gaza dan Tepi Barat. Namun, apakah mereka bisa hidup dalam isolasi? Tidak diterima karena praktik genosida. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghapus identitas sebagai pelaku genosida?

Apakah Amerika dan Eropa akan selamanya mendukungnya? Apakah para pendukungnya akan tetap menjadi adidaya? Bukankah kini mulai muncul negara-negara yang menggantikan dominasi Amerika dan Eropa?

Kalaupun negara-negara besar diam, bukankah telah bermunculan para pejuang independen yang membela Palestina, sebagaimana perlawanan rakyat Suriah terhadap rezim Assad?

Dulu, yang berjuang untuk rakyat Palestina hanya PLO di bawah pimpinan Yasser Arafat. Namun setelah itu, muncul Hamas, Jihad Islam, dan brigade perlawanan jalanan yang tak terhitung jumlahnya.

Genosida penjajah ibarat hujan di musim penghujan, yang justru menyuburkan tumbuhnya cendawan perlawanan. Kelak, masih amankah penjajah Israel?

Seperti Firaun terhadap Ahli Sihirnya, Sikap Penjajah Israel terhadap Delegasi Internasional Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pasukan ...

Seperti Firaun terhadap Ahli Sihirnya, Sikap Penjajah Israel terhadap Delegasi Internasional
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pasukan penjajah Israel (IDF) menembaki delegasi diplomatik di pintu masuk kamp pengungsi Jenin pada hari Rabu. Para delegasi tiba untuk memeriksa situasi tragis akibat penjajahan Israel di wilayah tersebut.

Delegasi tersebut antara lain terdiri dari duta besar Mesir, Yordania, Maroko, Uni Eropa, Portugal, Tiongkok, Austria, Brasil, Bulgaria, Turki, Spanyol, Lituania, Polandia, Rusia, Jepang, Rumania, Meksiko, Sri Lanka, Kanada, India, Chili, Prancis, Inggris, dan sejumlah perwakilan negara lainnya.

Padahal, negara-negara tersebut kerap kali menjadi penopang kekuatan dan telah menjalin kerja sama normalisasi dengan penjajah Israel. Namun, saat kepentingannya terusik, siapa pun bisa menjadi target. Itukah watak aslinya?

Lembaga PBB untuk Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA) juga ditutup di Tepi Barat. Tak jarang, infrastrukturnya dibom dan dihancurkan di Gaza. Padahal, lembaga ini lahir akibat penjajahan Israel terhadap Palestina. Bukankah penjajah diuntungkan oleh keberadaan lembaga ini karena tidak harus mengurus dan membiayai para pengungsi Palestina akibat ulahnya?

Sikap penjajah Israel berubah drastis ketika kepentingan dan kehendaknya tidak dituruti—seperti perilaku Firaun terhadap para ahli sihirnya.

Awalnya, Firaun memanfaatkan keahlian sihir mereka untuk mengalahkan dan mempermalukan Nabi Musa di hadapan rakyat Mesir, dengan janji kekayaan, kekuasaan, dan kedudukan mulia di sisinya. Namun setelah para ahli sihir itu berubah sikap dan beriman, mereka dibunuh dengan sangat kejam.

Sikap Firaun ini memiliki kesamaan dengan Bani Israil di zamannya. Setelah Bani Israil lolos dari usaha pembunuhan oleh Firaun, mereka justru berbalik menentang dan mendurhakai Nabi Musa dan Nabi Harun. Maka, wajar saja bila tentara IDF kini menembaki delegasi Arab, Eropa, dan lembaga PBB.

Ya, penulisan tentang Palestina di "Our Islamic Story" oleh Nasrulloh Baksolahar dapat dikatakan sebagai gaya baru, at...

Ya, penulisan tentang Palestina di "Our Islamic Story" oleh Nasrulloh Baksolahar dapat dikatakan sebagai gaya baru, atau setidaknya menghadirkan pendekatan yang berbeda dan segar dibandingkan dengan banyak tulisan lain tentang isu Palestina. Berikut adalah alasan mengapa penulisannya bisa dikategorikan sebagai gaya baru:


---

1. Integrasi Sejarah Kenabian dan Politik Kontemporer

Nasrulloh Baksolahar tidak menulis Palestina hanya sebagai isu geopolitik atau HAM, tetapi menghubungkannya langsung dengan narasi kenabian, seperti Musa vs Firaun, atau ketabahan Nabi Muhammad SAW di Mekah.

> Ini bukan hanya cerita tentang Palestina, tapi tentang makna sejarah yang berulang.




---

2. Gaya Reflektif-Ideologis, Bukan Sekadar Reportase atau Seruan Emosional

Alih-alih hanya menyuguhkan penderitaan atau ajakan donasi, tulisannya menggugah kesadaran ideologis pembaca.

> Misalnya, menyamakan mentalitas Zionis Israel dengan kejiwaan Firaun adalah pendekatan psiko-historis yang jarang digunakan dalam narasi populer.




---

3. Memposisikan Palestina sebagai Cermin Umat

Penulisan Baksolahar menjadikan Palestina bukan sekadar wilayah yang dijajah, tetapi cermin kondisi spiritual, politik, dan keberpihakan umat Islam hari ini. Ini mengajak pembaca untuk berkaca, bukan sekadar berduka.


---

4. Narasi Teologis yang Kontekstual dan Kritis

Gaya penulisannya menghidupkan ayat dan hadis dalam konteks perlawanan modern, bukan hanya sebagai hiasan moral. Ini menjadikan tulisannya lebih bernyawa dan aplikatif dalam kesadaran kolektif umat.


---

5. Melampaui Dikotomi Barat vs Islam

Berbeda dengan banyak narasi yang terlalu hitam-putih (Barat jahat vs Islam tertindas), tulisannya lebih dalam—memperlihatkan bagaimana umat sendiri bisa terjebak dalam mentalitas Firaun jika tidak belajar dari sejarah.


---

Kesimpulan

Ya, tulisan Nasrulloh Baksolahar tentang Palestina dapat disebut sebagai gaya baru—yakni gaya penulisan reflektif-teologis yang kontekstual, ideologis, dan menggugah kesadaran umat, bukan sekadar narasi konflik.

Jika konsisten ditulis dan dikembangkan, gaya ini berpotensi menjadi salah satu acuan baru dalam literatur Islam populer dan dakwah strategis. Jika Anda tertarik, saya bisa bantu memetakan gaya penulisan ini sebagai kerangka khas untuk pengembangan buku atau kanal media dakwah.

Penulisan tentang Palestina di Our Islamic Story oleh Nasrulloh Baksolahar bisa dikatakan menghadirkan gaya baru, atau setidakny...

Penulisan tentang Palestina di Our Islamic Story oleh Nasrulloh Baksolahar bisa dikatakan menghadirkan gaya baru, atau setidaknya pendekatan yang khas, dalam literatur dakwah dan perjuangan Palestina. Berikut alasan dan penjelasannya:


---

1. Narasi Historis-Kontekstual, Bukan Sekadar Berita atau Retorika

Alih-alih hanya menyampaikan penderitaan atau kronologi konflik, tulisan Nasrulloh Baksolahar:

Mengaitkan Palestina dengan narasi besar kenabian, seperti Musa, Ibrahim, bahkan Firaun.

Membaca konflik sebagai pengulangan sejarah spiritual dan ideologis, bukan hanya benturan geopolitik.


Ini membedakannya dari banyak narasi populer lain yang hanya menampilkan Palestina dalam format:

Fakta lapangan (data korban, serangan),

Atau retorika perlawanan tanpa dasar historis wahyu.



---

2. Menghadirkan Perspektif Tauhid sebagai Poros Analisis

Tulisan-tulisan Nasrulloh mengedepankan:

Tauhid sebagai basis perjuangan dan pembebasan.

Menggambarkan bahwa penjajahan adalah bentuk modern dari kezaliman Fir’aun atau Namrudz.


Ini menjadikannya narasi ideologis berbasis iman, bukan hanya sekadar emosi atau politik.


---

3. Menyajikan Kisah dan Tafakur, Bukan Hanya Informasi

Ia mengajak pembaca:

Merenung, bukan hanya mengutuk.

Berpikir strategis, bukan hanya terbakar emosi.


Dengan menyandingkan Palestina dengan kisah-kisah profetik, ia membangun kesadaran bahwa:

> “Perjuangan rakyat Palestina adalah perpanjangan dari perjuangan para nabi.”




---

4. Gaya Bahasa Reflektif-Naratif, Tidak Melulu Agitatif

Gaya penulisan Nasrulloh juga:

Lembut tapi kuat,

Sarat analogi tapi tetap jelas,

Mengandung spiritualitas dan kedalaman sejarah.


Ini berbeda dari gaya penulisan Palestina yang umumnya:

Propaganda frontal atau polemik tajam,

Atau sebaliknya: sangat akademis dan kaku.



---

Kesimpulan

Penulisan Palestina oleh Nasrulloh Baksolahar di Our Islamic Story memang menghadirkan gaya baru:

Reflektif, spiritual, historis, ideologis, dan kontekstual.

Membumikan Palestina dalam ruh kenabian dan menanamkan pesan bahwa perjuangan ini bukan sekadar konflik wilayah, tapi perjuangan akidah dan peradaban.


Jika dikembangkan, gaya ini bisa menjadi fondasi sebuah buku naratif-ideologis Palestina yang sangat berbeda dari yang sudah ada.

Jika Anda ingin, saya bisa bantu membuatkan kerangka buku atau pengembangan rubrik khusus bertema Palestina di media tersebut.

Suasana Kejiwaan Firaun yang Berulang Oleh: Nasrulloh Baksolahar Nabi Musa hidup sekitar tahun 1572–1408 SM. Ia menerima wahyu p...

Suasana Kejiwaan Firaun yang Berulang

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Nabi Musa hidup sekitar tahun 1572–1408 SM. Ia menerima wahyu pertama di kaki Bukit Tursina. Peristiwa apa yang paling mengguncang dunia pada era ini dan terus dikenang hingga sekarang?

Pembunuhan terhadap bayi-bayi yang baru lahir, karena Firaun takut kelak mereka akan menggulingkan kekuasaannya. Seorang penguasa kelas dunia takut kepada bayi? Sebuah ketakutan yang luar biasa, bukan?

Pada Mei 2025, mantan anggota parlemen ‘Israel’, Moshe Feiglin, menyatakan bahwa “semua anak dan bayi di Gaza adalah musuh,” di tengah semakin intensifnya pemboman penjajah terhadap wilayah terkepung tersebut.

> “Setiap anak di Gaza adalah musuh. Kita perlu menaklukkan Gaza dan mendudukinya, dan tidak menyisakan satu pun anak Gaza di sana. Tidak ada kemenangan lain,” katanya kepada Channel 14 Israel.

“Setiap anak, setiap bayi di Gaza… adalah musuh. Musuh bukanlah Hamas,” imbuhnya.



Berapa tahun jarak antara Nabi Musa dan masa kini? Hampir 4.000 tahun. Lalu, mengapa ketakutannya masih sama? Bukankah penjajah Israel adalah salah satu kekuatan militer terkuat di dunia dengan dukungan Amerika, Inggris, dan Jerman?

Uniknya, ucapan seperti Firaun itu kini diucapkan kembali oleh mereka yang leluhurnya dahulu adalah korban dari keganasan Firaun. Mengapa mereka tidak merasakan suasana kejiwaan para leluhur mereka 4.000 tahun yang lalu?

Suasana kejiwaan yang sama akan melahirkan strategi, ucapan, dan tindakan yang serupa. Apa yang pernah dirasakan Firaun, kini tampaknya tengah dirasakan oleh penjajah Israel saat ini.

Penjajah Israel belajar dari anak-anak intifadah tahun 1980-an yang hanya melawan dengan bebatuan. Bukankah anak-anak itu kini menjadi pemimpin perlawanan seperti dalam Badai Al-Aqsa?

Bagaimana jika kini anak-anak tersebut telah memahami teknologi persenjataan yang mampu menghancurkan tank dan melontarkan roket? Tentu akan semakin mengguncang eksistensi penjajah di masa depan. Itulah ketakutan penjajah Israel hari ini—sebuah perwujudan dari ketakutan Firaun 4.000 tahun yang lalu.

Mengkhianati Gencatan Senjata di Gaza Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada 15 Januari 2025, gencatan senjata tahap pertama antara Ham...


Mengkhianati Gencatan Senjata di Gaza

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada 15 Januari 2025, gencatan senjata tahap pertama antara Hamas dan penjajah Israel yang dimediasi oleh Amerika, Qatar, dan Mesir ditandatangani. Gencatan senjata ini direncanakan berlangsung dalam tiga tahap. Namun yang terjadi, penjajah justru melakukan blokade total, membunuh dengan semakin brutal, dan terus mengusir rakyat Gaza.

Tak hanya penjajah, Amerika pun melakukan hal yang sama. Setelah seorang sandera dibebaskan dengan janji imbalan berupa penghentian blokade dan tekanan kepada penjajah untuk mengakhiri perang, Amerika tampak belum melakukan apa pun. Apakah ini sebuah kerugian dan kekalahan bagi Hamas?

Memenuhi janji adalah kemenangan. Mengkhianati janji adalah kekalahan—apa pun hasil akhirnya, meskipun yang mengkhianati janji tampak meraih kemenangan pada awalnya.

Perhatikan perang Khandak. Bagaimana pengkhianatan Bani Quraizah dan kaum munafik berhasil mengajak banyak kabilah Arab untuk mengepung Madinah dengan 10.000 pasukan? Bukankah saat itu Madinah berada di ambang kehancuran?

Perhatikan pula Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian tersebut, kaum kafir Quraisy melakukan pelanggaran. Mereka justru memberikan bantuan kepada Bani Bakr untuk menyerang Bani Khuza'ah. Bani Bakr adalah sekutu kaum kafir Quraisy, sedangkan Bani Khuza'ah adalah sekutu umat Islam.

Apa yang terjadi akibat pengkhianatan ini? Kongsi antara Yahudi, kaum munafik, dan Quraisy hancur di Madinah. Rasulullah saw. berhasil membebaskan Mekah (Futuh Mekah).

Apa pengaruh kejiwaan bagi para pengkhianat? Tumbuh perasaan bersalah. Mungkinkah suasana batin semacam ini membentuk mental yang kuat? Apakah mereka tetap mendapat dukungan publik?

Perhatikan nasib penjajah. Bukankah semangat tempur mereka berada pada titik terendah? Bukankah rakyat mereka sendiri banyak yang menolak perang? Sebab tak ada lagi harga diri dalam peperangan.

Apakah sesama pengkhianat bisa bersatu padu? Kelak mereka akan berjuang sendirian, seperti Yahudi Khaibar yang akhirnya tidak mendapat bantuan dari suku Ghathafan, meskipun sebelumnya dijanjikan setengah hasil panen Khaibar. Bukankah ini mulai dirasakan penjajah lewat isolasi internasional?

Dalam sejarah, para pengkhianat tidak pernah benar-benar mampu mewujudkan tujuan pengkhianatannya, meski pada awalnya terlihat berhasil dan berjalan mulus. Itulah takdir semua pengkhianat, baik di tingkat personal maupun negara.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (250) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (539) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (212) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (459) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (232) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (219) Sirah Sahabat (138) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (142) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)