basmalah Pictures, Images and Photos
10/12/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Suara Seniman Dunia Untuk Solidaritas Gaza Ketika Politik Bungkam, Budaya Bicara Ada masa ketika politik gagal menjalankan nuran...


Suara Seniman Dunia Untuk Solidaritas Gaza

Ketika Politik Bungkam, Budaya Bicara

Ada masa ketika politik gagal menjalankan nuraninya. Lidah para pemimpin negara kelu, sibuk bernegosiasi dengan kepentingan, sementara ribuan nyawa melayang. Di saat seperti itu, ada satu kekuatan yang sering kali bangkit dari ruang yang tak disangka: budaya. Seniman—musisi, aktor, penulis, pekerja film—berdiri di panggung dan berkata lantang: “Hentikan genosida.”

Itulah yang kini terjadi dalam tragedi Gaza. Saat pemerintah dunia terbelah antara diam, mendukung Israel, atau sekadar mengeluarkan pernyataan simbolis, para seniman justru bergerak. Mereka menyanyi, menulis, menandatangani surat terbuka, menggalang dana, bahkan siap diboikot oleh industri mereka sendiri.

Fenomena ini bukan baru. Budaya pernah menjadi senjata moral ketika politik kehilangan hati nurani—pada perang Vietnam, pada era apartheid Afrika Selatan, bahkan pada masa kolonialisme. Kini, dalam abad ke-21, panggung musik, layar film, hingga halaman buku menjadi ruang perlawanan baru melawan kekejaman Israel di Gaza.


---

Gaza: Angka yang Membisu

Latar perlawanan budaya ini tragis. Sejak serangan Israel pada 2023 hingga kini, lebih dari 65.000 orang tewas di Gaza—termasuk 19.000 anak-anak. Lebih dari 165.000 orang terluka, mencakup 10 persen populasi Gaza. Rumah sakit hancur, sekolah rata, dan dunia menyaksikan tanpa daya.

Negara-negara Barat, termasuk Inggris, beberapa pekan lalu mengakui Palestina sebagai negara. Namun, pengakuan itu dianggap banyak pihak sebagai langkah simbolis, sekadar “menghidupkan kembali harapan dua negara” tanpa disertai keberanian nyata menghentikan aliran senjata ke Israel.

Di tengah lumpuhnya politik inilah, budaya masuk mengambil peran.


---

Konser Solidaritas: Musik yang Melawan Senjata

Musik kerap lahir dari luka. Itulah yang dibuktikan oleh Brian Eno, musisi legendaris asal Inggris, yang menggelar konser “Together for Palestine” di Wembley Arena. Ribuan orang hadir, menyaksikan panggung bukan sekadar hiburan, melainkan perlawanan.

Di sana hadir pula Richard Gere, Paul Weller, Damon Albarn, Portishead, dan Riz Ahmed. Mereka bernyanyi, berdialog, dan menggalang dana untuk membantu Palestina.

Eno sendiri menegaskan, “Saya percaya budaya lebih dulu daripada politik. Ia menciptakan ruang batin bagi manusia, yang kemudian memengaruhi tindakan politisi. Kadang berhasil, kadang tidak. Tapi kita harus mencoba.”

Di dunia musik, nama-nama besar lain juga terus bersuara. Roger Waters, eks Pink Floyd, bahkan sejak lama menyerukan boikot Israel. Annie Lennox, vokalis Eurythmics, ikut turun ke jalan. Para musisi tahu, suara mereka bisa menembus ruang yang tak lagi diisi pidato politik.


---

Aktor dan Layar yang Menjadi Panggung Gaza

Tidak hanya musisi, dunia perfilman pun bangkit. Tilda Swinton, aktris kawakan asal Inggris, termasuk salah satu suara paling awal yang menyerukan gencatan senjata. Ia menandatangani petisi, turun ke demonstrasi, bahkan berani menghadapi risiko blacklist dari Hollywood.

Di Amerika, Susan Sarandon, Mark Ruffalo, dan John Cusack menegaskan posisi mereka. Mereka hadir di unjuk rasa, memakai simbol Palestina, dan berbicara lantang di hadapan publik.

Keberanian ini bukan tanpa harga. Banyak aktor dan aktris menghadapi pembatalan kontrak, kehilangan peran, atau bahkan serangan media arus utama. Namun, bagi mereka, keberanian moral lebih penting daripada kenyamanan karier.


---

Surat Terbuka: Pena yang Menggugat

Selain konser dan aksi publik, solidaritas budaya terwujud dalam surat terbuka. Hingga kini, ada 11 surat terbuka yang ditandatangani lebih dari 16.000 seniman lintas industri.

Surat itu datang dari kelompok seperti Artists for Palestine UK, Artists4Ceasefire, Film Workers for Palestine, Musicians for Palestine, hingga Writers for Gaza.

Isi mereka jelas:

Hentikan genosida.

Buka akses kemanusiaan ke Gaza.

Hentikan suplai senjata ke Israel.

Patuhi keputusan ICJ untuk melindungi warga sipil.


Sebagian surat bahkan lebih keras. Kelompok pekerja film pro-Palestina, misalnya, berikrar untuk tidak bekerja sama dengan lembaga film Israel—sebuah bentuk boikot budaya yang mengingatkan kita pada gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan.


---

Angka Solidaritas: Musik, Film, dan Buku

Dari sisi jumlah, industri musik menyumbang suara paling banyak: 7.800 tanda tangan. Dunia film dan TV menyusul dengan 4.500 tanda tangan, sedangkan dunia literatur dan penerbitan menyumbang 2.900 tanda tangan.

Tokoh-tokoh paling konsisten antara lain Brian Eno dan Khalid Abdalla (aktor Inggris-Mesir), yang menandatangani hingga enam surat terbuka. Nama lain seperti Maxine Peake, Michael Malarkey, Lolly Adefope, dan Tracy Seaward menandatangani lima surat.

Artinya, budaya tidak hanya melahirkan suara sporadis, tetapi gerakan kolektif yang terorganisir.


---

Mengulang Sejarah: Dari Vietnam, Apartheid, hingga Gaza

Sejarah mencatat, suara seniman sering kali lebih berani daripada politisi.

Pada era Perang Vietnam, musisi seperti Bob Dylan dan Joan Baez mengubah konser menjadi protes anti-perang. Lagu-lagu mereka mengobarkan gerakan mahasiswa dan rakyat Amerika hingga akhirnya mengguncang kebijakan Washington.

Pada masa apartheid Afrika Selatan, boikot budaya internasional—termasuk konser besar “Artists Against Apartheid”—menjadi tekanan moral yang mempercepat runtuhnya rezim diskriminatif.


Kini, Gaza menghadirkan momen serupa. Bedanya, media sosial mempercepat gaung solidaritas itu, membuat suara seniman lebih cepat menyebar dan lebih sulit dibungkam.


---

Apakah Budaya Bisa Mengubah Politik?

Pertanyaan terbesar: apakah suara seniman cukup untuk menghentikan perang?

Jawabannya mungkin tidak langsung. Budaya jarang menghentikan peluru. Tetapi, budaya bisa menggerakkan hati rakyat, dan hati rakyat bisa menekan pemimpin. Inilah yang dimaksud Brian Eno: budaya adalah “arus hulu” politik.

Ketika publik Eropa dan Amerika mulai sadar, ketika konser berubah jadi aksi solidaritas, ketika film dan sastra menolak bekerja sama dengan Israel—maka tekanan moral akan semakin besar. Cepat atau lambat, politisi akan dipaksa mengikuti arus.


---

Refleksi: Suara yang Lebih Nyaring dari Bom

Kita hidup di zaman ketika bom terdengar setiap hari di Gaza, tetapi suara seniman menembus batas itu. Mereka tidak punya tank, tidak punya veto di PBB, tetapi mereka punya panggung, mikrofon, pena, dan layar.

Budaya memang tidak bisa menghentikan genosida sendirian. Namun, ia menjaga nurani dunia tetap hidup. Ia mencegah manusia lupa. Ia membisikkan bahwa di balik angka 65.000 korban, ada wajah, ada nama, ada cerita.

Dan mungkin, di masa depan, anak-anak Gaza akan mengenang bahwa di saat dunia politik bungkam, suara musik, film, dan buku justru menyanyikan nama mereka.


---

Epilog: Budaya sebagai Nafas Harapan

Gaza bukan sekadar perang. Ia adalah cermin kemanusiaan. Di satu sisi, ia menunjukkan betapa politik bisa kehilangan hati nurani. Di sisi lain, ia memperlihatkan bagaimana budaya bisa menjadi ruang terakhir bagi kebenaran untuk bernafas.

Dari konser Wembley hingga surat terbuka ribuan seniman, dunia mendengar sebuah pesan sederhana: kemanusiaan tidak boleh kalah.

Jika sejarah berulang, sebagaimana di Vietnam dan Afrika Selatan, maka suara budaya hari ini bisa menjadi gemuruh politik esok hari. Dan mungkin, Gaza akan tercatat bukan hanya sebagai luka, tetapi juga sebagai titik balik, ketika budaya kembali membuktikan dirinya sebagai senjata moral yang paling abadi.


Sumber:
https://www.aljazeera.com/news/longform/2025/9/25/who-are-the-artists-speaking-out-against-israels-war-on-gaza

Genosida Tak Membuat Menyerah: Mengapa Meluluhlantahkan Sipil Gaza Tak Bisa Mengalahkan Hamas?  Membedah Buku Bombing to Win ---...


Genosida Tak Membuat Menyerah: Mengapa Meluluhlantahkan Sipil Gaza Tak Bisa Mengalahkan Hamas?  Membedah Buku Bombing to Win


---

Pendahuluan: Langit yang Membawa Janji dan Mimpi Palsu

Sejak manusia pertama kali melihat pesawat terbang melintas di langit, lahirlah sebuah keyakinan baru: kekuasaan tidak lagi hanya ditentukan oleh pasukan di darat atau kapal di laut, melainkan juga oleh burung-burung besi yang mampu menghujani kota dari angkasa. Para jenderal menyebutnya revolusi militer, para politisi menyebutnya jalan pintas menuju kemenangan, sementara para akademisi meramalkannya sebagai wajah perang masa depan yang lebih cepat, lebih bersih, dan lebih murah.

Namun sejarah punya selera humor yang pahit. Dari Dresden hingga Hanoi, dari Baghdad hingga Gaza, langit memang dipenuhi ledakan, tetapi bumi tetap dipenuhi perlawanan. Gedung-gedung hancur, tapi tekad manusia bertahan. Tubuh-tubuh roboh, namun kehendak untuk melawan justru tumbuh.

Di tengah ironi itu, Robert A. Pape, profesor ilmu politik dari Universitas Chicago, menulis bukunya Bombing to Win: Air Power and Coercion in War (1996). Ia mengajukan pertanyaan yang sederhana namun mendasar: apakah benar serangan udara bisa memaksa musuh menyerah? Atau jangan-jangan, membunuh sipil dari langit hanyalah ilusi kemenangan yang terus dipelihara?


---

Mitos Kemenangan dari Udara

Mari kita mulai dari mitos yang paling tua: bahwa menghancurkan kota berarti menghancurkan semangat bangsa. Strategi ini dikenal dengan istilah punishment.

Bayangkan kota sebagai jantung. Jika jantung itu berhenti berdetak, tubuh pasti roboh. Demikianlah logika para perancang strategi udara. Karena itu, pada Perang Dunia II, sekutu menurunkan ratusan ribu ton bom ke kota-kota Jerman. Dresden terbakar, Hamburg luluh lantak, Berlin rata dengan tanah.

Di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki menjadi puncak teror sekaligus puncak teknologi. Dua bola api menghanguskan lebih dari seratus ribu jiwa hanya dalam hitungan detik. Dunia tercengang, seolah bukti mutlak bahwa udara memang bisa memutuskan perang.

Namun sejarah tidak sesederhana itu. Jerman tetap berperang sampai tentara Soviet menembus jantung Berlin. Jepang menyerah bukan semata karena bom atom, melainkan karena kombinasi blokade laut, serangan darat yang makin mendekat, dan terutama keputusan geopolitik Uni Soviet yang masuk ke medan Asia.

Apa artinya? Bahwa membunuh sipil dari udara bukanlah jalan cepat menuju kemenangan. Alih-alih membuat rakyat menekan pemimpinnya, justru seringkali menyalakan solidaritas baru. Luka kolektif berubah menjadi bahan bakar perlawanan.


---

Empat Jalan Udara

Pape lalu merinci empat strategi utama yang selama ini dijalankan kekuatan udara:

1. Punishment (Hukuman): menyerang sipil agar moral runtuh.


2. Risk (Risiko Bertahap): meningkatkan eskalasi sedikit demi sedikit agar musuh menyerah sebelum kehancuran total.


3. Denial (Penolakan): menghancurkan target militer dan logistik, sehingga lawan benar-benar tak mampu bertarung.


4. Decapitation (Pemenggalan): membunuh pemimpin atau menghancurkan pusat komando.



Dari keempatnya, Pape menemukan satu pola jelas: hanya denial yang punya peluang nyata. Punishment gagal, risk gagal, decapitation hampir selalu gagal. Menghancurkan kekuatan tempur lawan—itulah satu-satunya strategi udara yang kadang berhasil.


---

Jejak Sejarah: Dari Eropa hingga Teluk Persia

Sejarah modern adalah laboratorium terbuka untuk menilai efektivitas bom.

Perang Dunia II: Pemboman besar-besaran di Jerman gagal membuat rakyat menyerah. Jepang menyerah bukan karena sipilnya takut, melainkan karena kekuatan militer lumpuh dan geopolitik berubah.

Korea: AS membombardir Korea Utara, tetapi Pyongyang tetap berdiri berkat dukungan Cina.

Vietnam: Operasi Rolling Thunder menjadi pelajaran pahit. Infrastruktur Vietnam Utara hancur, tetapi kehendak Hanoi tak pernah patah.

Teluk 1991: contoh keberhasilan denial. Serangan udara AS menghancurkan sistem pertahanan Irak, membuka jalan bagi pasukan darat merebut Kuwait dengan cepat.

Bosnia 1995: NATO menarget pasukan Serbia di lapangan, bukan sipil. Hasilnya nyata: Serbia mundur.


Dari Eropa hingga Asia, dari Teluk Persia hingga Balkan, pola yang sama berulang: membunuh sipil tidak pernah efektif, melemahkan militer mungkin berhasil.


---

Mengapa Membunuh Sipil Gagal?

Pape memberi jawaban yang sekaligus logis dan manusiawi: karena warga sipil bukanlah aktor rasional yang bisa menekan pemerintah di tengah perang.

Justru dalam kondisi ancaman eksternal, rakyat cenderung semakin loyal kepada negara. Fenomena ini dikenal dengan istilah rally ’round the flag effect.

Blitz Jerman ke London pada 1940 adalah contoh klasik. Kota terbakar, ribuan tewas, tetapi bukannya menyerah, warga Inggris justru semakin mendukung Winston Churchill. Mereka merasa berjuang bukan hanya untuk pemerintah, tapi untuk martabat bangsa.

Demikian pula di Gaza hari ini. Ribuan rumah rata, ratusan ribu mengungsi, puluhan ribu tewas. Tetapi apakah rakyat Gaza meninggalkan Hamas? Tidak. Justru mereka semakin yakin bahwa mereka sedang dizalimi, dan karena itu, bertahan adalah satu-satunya pilihan yang bermartabat.


---

Teknologi dan Ilusi Kontrol

Politisi di Washington, London, atau Tel Aviv sering tergoda oleh janji teknologi. Bom pintar, drone tak berawak, rudal presisi—semuanya terdengar modern, efisien, dan “bersih.” Mereka membayangkan perang yang bisa dimenangkan dari layar komputer tanpa korban di pihak sendiri.

Namun teknologi hanyalah alat. Ia tidak bisa menggantikan strategi. Senjata paling canggih sekalipun, jika diarahkan ke target yang salah, akan sia-sia. Lebih buruk lagi, jika yang hancur justru rumah sakit, sekolah, atau masjid, maka efek politiknya meluas jauh melebihi efek militer.

Sejarah berulang kali membuktikan: tidak ada bom yang benar-benar “pintar” ketika diarahkan pada manusia yang sedang mempertahankan martabatnya.


---

Gaza: Cermin Tragis Teori Pape

Jika ada contoh mutakhir dari tesis Pape, Gaza adalah cerminnya.

Lebih dari ratusan ribu bom dijatuhkan. Infrastruktur runtuh, kamp pengungsi porak-poranda, rumah sakit tak lagi berdiri. Namun apakah Hamas runtuh? Tidak. Apakah semangat perlawanan hilang? Justru semakin kokoh.

Mungkin Hamas melemah secara militer, tetapi identitas perlawanan Palestina justru semakin mengakar dalam kesadaran kolektif. Setiap reruntuhan rumah adalah pengingat, setiap jenazah anak-anak adalah seruan moral, setiap malam tanpa listrik adalah pengajaran diam-diam: bahwa melawan adalah bagian dari hidup.

Persis seperti yang Pape tulis: menghukum sipil tidak pernah mengakhiri perang. Yang lahir hanyalah dendam yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


---

Ilusi Decapitation

Israel juga sering mengandalkan strategi decapitation: membunuh komandan, menghancurkan markas, bahkan menarget keluarga pemimpin Hamas. Tetapi sejarah menunjukkan: organisasi perlawanan selalu lebih kuat daripada individunya.

Pemimpin gugur, yang lain menggantikannya. Di Vietnam, di Irak, di Afghanistan, pola yang sama berulang. Pemenggalan justru sering membuat lawan semakin keras kepala. Kematian seorang pemimpin berubah menjadi bahan bakar narasi heroik.

Di Gaza, setiap pemimpin yang gugur justru diabadikan dalam mural, dalam doa, dalam nyanyian anak-anak pengungsi. Mereka tidak mati, mereka berubah menjadi simbol.


---

Refleksi: Apa yang Benar-Benar Mengakhiri Perang?

Pertanyaan yang tersisa kemudian: kalau bom tidak bisa, lalu apa yang bisa mengakhiri perang?

Jawaban Pape tegas: perang berakhir ketika kemampuan militer lawan benar-benar lumpuh, atau ketika ada jalan politik yang bisa diterima kedua belah pihak.

Artinya, kemenangan sejati bukan hanya menghancurkan, melainkan juga menawarkan masa depan. Tanpa solusi politik yang adil, bom hanyalah instrumen penundaan. Ia tidak menutup perang, hanya menggantinya dengan babak baru yang lebih getir.


---

Dimensi Moral: Antara Strategi dan Kemanusiaan

Di balik analisis yang dingin, buku Pape mengandung gema moral yang kuat. Ia mengingatkan bahwa menyerang sipil bukan hanya tidak efektif, tetapi juga tidak bermoral. Membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua atas nama strategi adalah kejahatan yang dibungkus ilusi.

Bom bisa meruntuhkan bangunan, tapi tidak bisa meruntuhkan gagasan. Ia bisa membunuh tubuh, tapi tidak bisa membunuh mimpi.

Sejarah membuktikan: kehendak untuk merdeka lebih keras daripada beton, lebih tahan lama daripada baja, dan lebih kuat daripada ledakan apapun.


---

Penutup: Gaza dan Langit yang Berdarah

Bombing to Win adalah buku tentang strategi, tetapi pada akhirnya juga tentang batas kekerasan manusia. Ia membongkar ilusi bahwa langit bisa memutuskan akhir perang.

Hari ini, Gaza berdiri sebagai bukti hidup. Langitnya gelap oleh bom, tanahnya merah oleh darah, tetapi semangatnya tetap menyala.

Maka mari kita tarik pelajaran:

Jangan tertipu oleh janji kemenangan instan dari udara.

Ingatlah bahwa teknologi tanpa strategi adalah kesia-siaan.

Sadari bahwa perang hanya berakhir dengan keadilan, bukan dengan pembantaian.


Langit Gaza boleh saja dikuasai Israel. Tapi bumi Gaza, dengan seluruh darah dan air matanya, telah membuktikan satu hal: membunuh sipil dari udara tidak pernah bisa mengalahkan Hamas, apalagi menghapus perlawanan Palestina.

Dan dalam kebenaran pahit itu, suara Robert Pape kembali bergema: bom tidak pernah bisa memenangkan perang yang sejatinya adalah perang tentang martabat manusia.

Gelombang Pembatalan Kontrak Bisnis Dimulai: Dunia Menutup Pintu bagi Israel? "Apakah pedang selalu lebih tajam daripada su...


Gelombang Pembatalan Kontrak Bisnis Dimulai: Dunia Menutup Pintu bagi Israel?

"Apakah pedang selalu lebih tajam daripada suara hati? Kadang tidak. Kadang, justru suara hati dunia yang berbalik menjadi palu godam, menghantam rezim yang selama ini merasa kebal."


---

1. Dari Gaza ke Bursa Senjata Dunia

Perang di Gaza sudah lama melewati batas tragedi. Ia menjelma menjadi luka global. Setiap bom yang jatuh, setiap rumah yang hancur, setiap bayi yang terbunuh, meninggalkan jejak bukan hanya di tanah Palestina, tapi juga di ruang-ruang rapat perusahaan, parlemen, dan bursa senjata dunia.

Israel, yang selama ini bangga menyebut dirinya sebagai Sparta modern—kecil tapi kuat karena senjata dan teknologinya—tiba-tiba harus menanggung akibat dari gelombang opini global. Spanyol menjadi negara pertama yang benar-benar memukul telak jantung ekonomi pertahanan Israel.

Tak main-main, Madrid membatalkan kontrak senilai $654 juta dengan perusahaan besar Israel:

Pod penargetan Litening 5 dari Rafael (senilai $218 juta).

Rudal anti-tank Spike (senilai $272 juta).

Sistem roket Puls dengan Elbit Systems (senilai $152 juta).

Plus sejumlah kontrak kecil amunisi.


Bagi Spanyol, ini bukan sekadar angka. Ini sebuah deklarasi moral: kami tidak akan jadi bagian dari mesin perang yang membantai Gaza.


---

2. Eropa yang Mulai Menjauh

Spanyol tidak sendirian. Gelombang ini bisa merambat. Italia misalnya, ikut mengambil sikap politik berani. Bersama Spanyol, mereka mengerahkan kapal perang untuk mengawal armada kemanusiaan “Sumud” menuju Gaza. Sebuah ironi pahit: kapal itu dilengkapi senjata Rafael, perusahaan yang kontraknya baru saja mereka batalkan.

Di balik layar, Prancis pun tak nyaman. Walau belum ada pembatalan resmi kontrak, tekanan publik terus meningkat. Demonstrasi di jalanan Paris dengan lautan bendera Palestina hampir saban pekan, memaksa politisi berhitung ulang.

Irlandia, Norwegia, dan Belgia bahkan sudah secara terbuka mengakui Palestina sebagai negara, sebuah langkah politik yang beresonansi dengan sikap embargo senjata. Belanda juga dipaksa pengadilan untuk menghentikan ekspor suku cadang jet tempur F-35 ke Israel karena risiko digunakan di Gaza.

Efek domino jelas terasa. Jika Jerman, motor ekonomi dan industri senjata Eropa, ikut melangkah, maka Israel akan menghadapi badai yang belum pernah mereka bayangkan.


---

3. Luka Reputasi: Dari Unit 8200 ke Microsoft

Isolasi Israel tidak berhenti di gudang senjata. Ia merambat ke ranah digital. Microsoft, raksasa teknologi dunia, akhirnya memutus akses Unit 8200—intelijen sinyal Israel—dari layanan cloud mereka.

Investigasi The Guardian dan +972 Magazine mengungkap bagaimana Unit 8200 menggunakan server Azure untuk menyimpan 8.000 terabyte data hasil penyadapan jutaan panggilan telepon warga Palestina.

Brad Smith, presiden Microsoft, tak bisa lagi menutup telinga. Protes karyawan memuncak. Maka, keputusan pun diambil: Israel tidak boleh lagi menggunakan teknologi mereka untuk mengintai rakyat sipil.

Langkah ini adalah tamparan. Dunia digital yang dulu menjadi salah satu senjata rahasia Israel kini berubah menjadi pintu isolasi baru.


---

4. Dari PBB ke Pasar Global

Perlu diingat: semua ini adalah efek lanjut dari kecaman global di PBB. Ketika Mahkamah Internasional menegaskan ada dasar tuduhan genosida yang masuk akal, reputasi Israel runtuh.

Apa artinya bagi perusahaan asing? Sangat jelas: berbisnis dengan Israel sama saja dengan menodai nama sendiri. “Siapa yang mau berteman dengan negara paria?” tanya seorang eksekutif Israel dengan getir.

Sejarah pernah menyaksikan hal serupa pada Afrika Selatan era apartheid. Embargo senjata dan boikot ekonomi dunia memaksa rezim itu akhirnya runtuh. Israel kini tampak berjalan ke arah yang sama, hanya dengan medan yang berbeda.


---

5. Ketakutan Industri Pertahanan Israel

Para pejabat industri Israel tahu betul bahaya yang mengintai. Tahun 2024, ekspor pertahanan mereka mencapai rekor $14,8 miliar, separuhnya ke Eropa. Tapi bila tren pembatalan meluas, maka tahun 2026–2027 bisa jadi titik gelap: kontrak baru mengering, pasar menutup pintu, dan reputasi senjata Israel tercoreng.

“Keunggulan teknologi kita jelas,” kata seorang eksekutif Rafael, “tapi klien lebih memilih menunggu sampai perang berakhir. Mereka tak mau terikat kontrak yang sensitif secara politik.”

Survei Asosiasi Produsen Israel menunjukkan:

50% eksportir sudah mengalami pembatalan kontrak.

70% pembatalan bersifat politis.

84% terjadi di Uni Eropa.

38% mengalami hambatan pengiriman.

29% menghadapi penundaan bea cukai global.


Dengan kata lain: “Brand Israel” sudah rusak.


---

6. Politik Jerman: Penentu Arah

Di tengah badai ini, semua mata kini tertuju ke Berlin. Menteri Ekonomi Israel, Nir Barkat, bahkan terbang khusus ke Jerman dalam “misi kilat” untuk melobi agar Uni Eropa tidak menangguhkan perjanjian perdagangan bebas dengan Israel.

Jerman adalah penentu. Jika Berlin mendukung pembatasan, maka barang-barang Israel akan dikenai tarif di Eropa. Itu artinya, bukan hanya senjata, bahkan buah, teknologi medis, dan chip digital Israel pun bisa kehilangan pasar utama.

Namun politik di Jerman rumit. Ada rasa bersalah sejarah pada Yahudi, tapi ada juga tekanan moral publik yang semakin muak dengan genosida di Gaza.


---

7. Dari Sparta ke Negara Paria

Israel selama ini memproyeksikan dirinya sebagai Sparta abad modern: kecil, tapi kuat dan ditakuti. Namun, seperti yang diakui seorang eksekutif senior: “Israel tidak bisa menjadi Sparta selamanya.”

Sebab Sparta kuno pun akhirnya hancur, bukan karena kalah di medan perang, tapi karena ditinggalkan sekutu, tercekik isolasi, dan tak mampu lagi menopang dirinya sendiri.


---

8. Refleksi: Apakah Gelombang Ini Akan Berlanjut?

Pertanyaannya kini: apakah gelombang pembatalan kontrak akan berlanjut?

Jawabannya: sangat mungkin. Ada tiga alasan besar:

1. Opini publik global terus menguat, terutama di Eropa.


2. Risiko politik domestik di negara pembeli senjata semakin tinggi.


3. Label genosida di PBB membuat semua kontrak dengan Israel otomatis sensitif.



Jika Israel terus melanjutkan perang Gaza, maka embargo senjata bisa berubah menjadi embargo perdagangan umum. Efeknya akan menghantam jantung ekonomi Israel, dari teknologi militer hingga pertanian.


---

9. Gaza: Kecil Tapi Mengguncang Dunia

Ada sebuah ironi besar: Gaza, wilayah kecil yang hancur oleh bom, ternyata berhasil mengguncang dunia dengan caranya sendiri. Bukan lewat rudal atau drone, tapi lewat gema moral yang membuat kontrak miliaran dolar ambruk satu demi satu.

Seperti David melawan Goliath, batu kecil yang dilemparkan Gaza kini mengenai dahi raksasa: reputasi dan ekonomi Israel.


---

10. Penutup: Sejarah yang Berulang

Sejarah punya caranya sendiri mengingatkan manusia: kezaliman tak pernah abadi. Dahulu Firaun tenggelam bersama tentaranya, Qarun tertimbun harta yang ia banggakan, dan rezim apartheid Afrika Selatan runtuh oleh boikot global.

Hari ini, Israel menghadapi bab yang sama. Dunia mulai menutup pintu, satu per satu.

Mungkin benar kata eksekutif Rafael: klien akan kembali setelah perang. Tapi ada juga kemungkinan lebih besar: dunia tidak lagi sama setelah Gaza.

Dan dalam sejarah, mereka yang menolak mendengar suara hati dunia, pada akhirnya akan kalah—bukan di medan perang, tapi di panggung peradaban.

Dari Diplomasi hingga Sepak Bola: Israel Mulai Menjadi Negara Paria Sebuah Negeri yang Kian Menyendiri Bayangkan sebuah negeri y...


Dari Diplomasi hingga Sepak Bola: Israel Mulai Menjadi Negara Paria


Sebuah Negeri yang Kian Menyendiri

Bayangkan sebuah negeri yang dahulu dielu-elukan sebagai benteng demokrasi di Timur Tengah, kini perlahan-lahan berdiri sendirian di panggung global. Suara musik yang dulu mengalun dari panggung Eurovision mulai ditingkahi nada sumbang boikot. Stadion-stadion yang dulu menyambut para pemain dengan sorak-sorai, kini mulai menutup pintunya. Ruang diplomasi yang biasanya penuh dengan sekutu, kini berubah menjadi ruang sepi yang penuh tatapan curiga.

Inilah Israel hari ini.

Perang yang digencarkan di Gaza, disertai derita kemanusiaan yang tak terperi, bukan hanya menumpahkan darah, melainkan juga meneteskan racun yang perlahan-lahan mengisolasi negara itu. Dari meja-meja perundingan PBB, hingga gelanggang olahraga dan festival budaya, nama Israel kini tak lagi disebut dengan hormat, melainkan dengan amarah, kecewa, bahkan jijik.

Al-Qur’an sudah sejak lama mengingatkan:

> “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya di negeri itu; padahal mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-An‘am: 123)



Tipu daya Israel—baik militer, politik, maupun propaganda—mulai berbalik menjerat dirinya sendiri.


---

Diplomasi yang Membeku

Di ruang-ruang kaca markas besar PBB di New York, suara kecaman terhadap Israel semakin nyaring. Bukan hanya dari negara-negara yang sejak lama bersuara kritis, melainkan juga dari mereka yang dulu berdiri di sisinya.

Uni Eropa—mitra dagang terbesar Israel—bahkan mengusulkan sanksi dengan menangguhkan sebagian perjanjian perdagangan bebas. Langkah ini, bila disetujui, bukan sekadar sinyal diplomasi, melainkan pukulan telak bagi ekonomi Israel.

Netanyahu mengaku getir: “Negeri ini menghadapi semacam isolasi yang dapat berlangsung lama.”

Kata-kata itu, bila direnungkan, seolah menggema dengan firman Allah:

> “Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, lalu datanglah azab Kami menimpa negeri itu di waktu malam, atau di kala mereka beristirahat di tengah hari.” (QS. Al-A‘raf: 4)



Isolasi adalah permulaan. Kehancuran biasanya datang setelahnya.


---

Ekonomi yang Terkikis

Dana kekayaan negara Norwegia—yang terbesar di dunia—melepaskan portofolio di Israel, bukan karena alasan bisnis, melainkan alasan moral. Gaza terlalu pekat dengan darah untuk bisa diabaikan.

Embargo senjata dari Prancis, Italia, Belanda, Spanyol, Inggris menutup jalur pasokan. Israel terpaksa bersandar pada industri persenjataan domestik. Netanyahu menyerukan “berdikari” di bidang militer, tapi itu lebih terdengar seperti teriakan seorang yang terjebak di ruang sempit.

Al-Qur’an menyinggung mereka yang merasa kokoh dengan kekayaan dan kekuasaan, padahal semuanya rapuh:

> “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami bukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An‘am: 44)



Israel pernah merasa pintunya terbuka lebar. Kini pintu-pintu itu satu per satu ditutup dunia.


---

Seni yang Menolak Diam

Musik dan seni rupa, yang biasanya berdiri di atas panggung universal, kini ikut bersuara. Festival musik di Belgia membatalkan konser konduktor Israel. Eurovision terancam boikot. Hollywood melahirkan gerakan baru—aktor dan sutradara dunia menolak bekerja sama dengan institusi Israel.

Bagaimana seni bisa netral ketika luka Gaza terpampang di layar ponsel dunia?

Sejarah mengajarkan bahwa seni sering kali menjadi suara hati nurani. Al-Qur’an menggambarkan penyair yang tersesat, tapi juga menyebut ada segolongan yang benar-benar membela kebenaran:

> “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan? Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh...” (QS. Asy-Syu‘ara: 224–227)



Seni memilih keberpihakan. Dan kali ini, keberpihakan itu bukan pada rezim yang menindas, melainkan pada rakyat yang tertindas.


---

Olahraga yang Memalingkan Wajah

Di Spanyol, jalan raya dilumpuhkan demonstran untuk menghentikan balapan La Vuelta karena partisipasi tim Israel. UEFA berhadapan dengan tekanan agar Israel dikeluarkan dari sepak bola Eropa.

Sejarah terasa berulang. Afrika Selatan apartheid dulu pun dipukul telak lewat boikot olahraga. Dunia tidak hanya memutus hubungan politik dan dagang, tetapi juga menutup lapangan pertandingan.

> “Dan betapa banyaknya negeri yang lebih kuat dari negerimu (wahai Muhammad) yang telah mengusirmu; Kami binasakan mereka, maka tidak ada seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. Muhammad: 13)



Kekuatan militer bukan jaminan kemenangan abadi. Ketika olahraga, seni, diplomasi, dan ekonomi menutup pintu, sebuah bangsa kehilangan oksigen moral.


---

Bayang-Bayang Afrika Selatan

Gerakan BDS yang lahir dari Palestina kini menggaung di seluruh dunia. Dulu ia berjalan sunyi, kini ia berderap dengan langkah besar.

Ilan Baruch, mantan duta besar Israel untuk Afrika Selatan, berkata: “Simbol lebih berpengaruh daripada angka.” Ia tahu, tekanan moral bisa lebih melumpuhkan daripada serangan rudal.

Inilah bayang-bayang apartheid yang kembali menghantui. Afrika Selatan pada akhirnya runtuh bukan karena kalah perang, tetapi karena dikucilkan dunia. Israel kini berdiri di jalan yang sama.


---

Ketakutan yang Mengendap

Netanyahu hidup dalam bayang-bayang surat perintah ICC. Ia terbang ke PBB pun harus memutar jalur, takut dicekal di langit Eropa.

Ironis, seorang pemimpin yang mengaku mewakili bangsa yang kuat, kini hidup dalam ketakutan diplomatik.

Al-Qur’an menyebutkan, inilah balasan bagi orang zalim:

> “Maka janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42)



Penundaan bukanlah pengampunan. Penundaan adalah jebakan.


---

Epilog: Ketika Dunia Memalingkan Wajah

Mungkin Israel masih punya Amerika Serikat, sekutu yang setia berdiri di sisinya. Tetapi sejarah membuktikan, sekutu pun bisa goyah.

Diplomasi retak. Ekonomi terkikis. Seni menjauh. Olahraga menutup pintu.

Dunia perlahan menulis kisah baru: tentang negeri yang dulunya dielu-elukan, kini dijauhi.

Al-Qur’an menutup dengan gambaran yang meneguhkan hati kaum tertindas:

> “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 139)



Gaza, dengan semua luka dan reruntuhannya, tetap tegak. Dan Israel, meski berderet senjata, perlahan menjadi negeri paria yang ditinggalkan dunia.

Sejarah sekali lagi menunjukkan: sebuah negara bisa bertahan dengan senjata, tetapi tidak bisa hidup sendirian di panggung dunia.

Pemilih Muda Yahudi Tak Setia Lagi pada Calon Pro-Israel yang Kental di Pemilihan Wali Kota New York Gaza yang Mengetuk Jendela ...


Pemilih Muda Yahudi Tak Setia Lagi pada Calon Pro-Israel yang Kental di Pemilihan Wali Kota New York


Gaza yang Mengetuk Jendela Manhattan

Apakah mungkin sebuah kota megah seperti New York—dengan lampu Times Square, deretan gedung pencakar langit, dan denyut bisnis Wall Street—ditentukan masa depannya oleh perang di Gaza, ribuan kilometer jauhnya?
Pertanyaan itu terdengar ganjil, tapi kenyataannya hari ini jawabannya: ya.

Ketika bom meledak di Rafah, ketika rumah-rumah Gaza hancur menjadi debu, getarannya terasa sampai ke jantung Manhattan. Tidak lagi sebagai berita luar negeri yang jauh, melainkan sebagai cermin moral bagi warga New York: apakah mereka masih bisa mendukung politisi yang membisu, atau bahkan membela, penindasan itu?

Di panggung inilah tiga tokoh tampil: Eric Adams, wali kota petahana yang tersungkur sebelum bertarung; Andrew Cuomo, mantan gubernur yang mencoba bangkit dari kubangan skandal; dan Zohran Mamdani, politisi muda progresif yang membawa suara Gaza ke jantung Bronx.

Ironi sejarah pun lahir: Gaza yang porak-poranda justru memiliki gema di kota paling berkuasa di Amerika.


---

Eric Adams: Sang Petahana yang Tersungkur

Eric Adams pernah dipandang sebagai wajah baru New York: polisi kulit hitam yang berhasil menurunkan angka kriminalitas, menggerakkan ekonomi pasca-pandemi, dan membangun jembatan dengan komunitas Yahudi. Ia bahkan hadir di sinagoga, memimpin doa, dan bersua dengan Netanyahu di sela Sidang Umum PBB.

“Terima kasih telah membela dunia Barat dan cara hidup kami,” ucapnya kepada Netanyahu.

Kata-kata itu, yang dulunya mungkin dianggap aman secara politik, kini menjadi bumerang. Publik muda New York—khususnya generasi milenial dan Gen-Z—tak lagi memandang Israel sebagai “benteng demokrasi.” Sebaliknya, mereka melihat gambar anak-anak Gaza yang terbaring tanpa rumah, lalu bertanya: mengapa wali kota mereka begitu akrab dengan seorang pemimpin yang dituduh melakukan genosida?

Profesor David Remnick dari Columbia University menulis:

> “Di New York, menjadi pro-Israel dulunya aman secara politik. Kini, itu bisa menjadi liabilitas, terutama bagi kandidat yang ingin memenangkan hati generasi muda.”



Adams memang tersandung kasus korupsi, tapi yang lebih menghantam citranya adalah sikapnya yang seolah menutup mata dari penderitaan Palestina. Ia tumbang bukan hanya karena hukum, tapi juga karena moralitas politik yang berubah di mata generasi baru.


---

Andrew Cuomo: Kebangkitan Sang Moderat

Di sisi lain, muncullah Andrew Cuomo. Politisi kawakan ini pernah menjadi bintang Demokrat, bahkan disebut-sebut sebagai calon presiden. Namun ia tumbang akibat tuduhan pelecehan seksual. Kini, ia kembali mencoba peruntungan.

Cuomo tidak sefanatik Adams dalam membela Israel. Ia mengambil posisi moderat: tetap pro-Israel, tapi sesekali mengkritik Netanyahu. “New York menghadapi kekuatan ekstremis yang ingin menghancurkan kota kita,” katanya, menyindir Mamdani.

Bagi komunitas Yahudi konservatif, Cuomo adalah pilihan aman. Ia tidak sepenuh hati mendukung Gaza, tapi juga tidak sekeras Adams yang menempel ke Netanyahu. Ruth Wisse, pakar Yahudi-Amerika, menyebut strategi semacam ini sebagai politik sandaran:

> “Ketika tokoh pro-Israel kehilangan legitimasi, komunitas Yahudi akan mencari figur moderat, yang setidaknya bisa menjamin keamanan mereka.”



Cuomo menawarkan stabilitas, bukan perubahan. Ia tampil seperti jembatan tua: tidak indah, tidak kokoh seperti dulu, tapi masih bisa dilalui oleh mereka yang takut pada arus deras perubahan.


---

Zohran Mamdani: Suara Gaza di Bronx

Lalu muncullah Zohran Mamdani. Politisi muda keturunan India-Uganda ini adalah sosok yang memecah pakem. Ia berbicara lantang:

“Netanyahu adalah seorang pelaku genosida. Jika ia datang ke New York, saya akan menangkapnya.”

Tentu, ia tahu wali kota tidak memiliki kewenangan semacam itu. Tapi kalimat itu lebih dari sekadar retorika: ia adalah deklarasi moral. Kata-katanya menggema di Brooklyn, Queens, dan Bronx—wilayah yang dipenuhi mahasiswa, pekerja imigran, dan komunitas muda Yahudi progresif yang sudah lama muak pada politik lama.

Profesor Noura Erakat, pakar hukum internasional, menyebut fenomena Mamdani sebagai radikalisasi moral:

> “Ketika institusi gagal menegakkan keadilan bagi Palestina, lahirlah politisi muda yang menjadikan Gaza bukan isu luar negeri, tapi isu moral kota mereka sendiri.”



Mamdani bukan hanya politisi. Ia adalah simbol generasi baru yang berani mengatakan: “cukup sudah.”


---

Komunitas Yahudi: Di Persimpangan Jalan

New York adalah rumah bagi komunitas Yahudi terbesar di dunia di luar Israel. Dari Wall Street hingga Broadway, pengaruh mereka begitu kuat. Tak heran bila sikap terhadap Israel selalu menjadi barometer politik kota ini.

Namun kini, peta berubah. Adams dicintai komunitas Yahudi konservatif, tapi generasi mudanya justru mendukung Mamdani. Survei menunjukkan paradoks: 37% Yahudi mendukung Mamdani, meski lebih dari separuh menyebutnya “antisemit.”

Bagaimana mungkin?

Sosiolog Jonathan Sarna dari Brandeis University menjelaskan:

> “Komunitas Yahudi bukan monolit. Generasi muda Yahudi Amerika semakin kritis terhadap Israel. Mereka tumbuh dengan nilai keadilan sosial, sehingga sulit menerima kebijakan Netanyahu. Dukungan mereka pada Mamdani adalah cermin perpecahan internal Yahudi sendiri.”



Di sinagoga-sinagoga progresif Brooklyn, doa bagi Yerusalem kini dibacakan dengan air mata untuk Gaza. Di ruang-ruang kelas Columbia dan NYU, mahasiswa Yahudi bergabung dengan Muslim dan Kristen dalam aksi solidaritas. Inilah wajah baru diaspora Yahudi: tidak lagi bersatu dalam pro-Israelisme, tapi terpecah oleh pertanyaan moral.


---

Dari Gaza ke New York: Cermin Dunia

Mari kita berhenti sejenak.
Bagaimana mungkin sebuah kota sebesar New York—dengan semua masalah lokalnya: kejahatan, perumahan, transportasi—terbelah oleh perang di tanah jauh bernama Gaza?

Jawabannya sederhana: karena dunia kini saling terhubung. Setiap bom di Rafah bergema di Manhattan. Setiap pidato Netanyahu di PBB menjadi perdebatan di kafe-kafe Brooklyn. Setiap video anak Palestina yang menangis, viral di TikTok dan Instagram anak muda Yahudi Amerika.

Profesor Noam Chomsky pernah mengingatkan:

> “Kebenaran tentang Palestina akan terus ditekan. Tapi di era digital, kebenaran itu menembus batas, bahkan ke ruang-ruang yang paling keras menolak mendengarnya.”



New York pun menjadi cermin dunia: sebuah kota di mana pertempuran moral global hadir di ballot box pemilihan lokal.


---

Epilog: Siapa yang Akan Menang?

Apakah Mamdani, dengan idealisme tajamnya, mampu benar-benar menaklukkan kursi wali kota?
Apakah Cuomo, dengan pengalamannya, bisa menjadi penengah?
Ataukah bayangan Adams masih akan menghantui, meski ia telah tersungkur?

Jawaban itu belum terungkap. Tapi satu hal pasti: Pemilihan Wali Kota New York 2025 bukan lagi sekadar soal tata kota, kriminalitas, atau ekonomi. Ia adalah bab kecil dari kisah besar: pertarungan moral antara kebenaran dan kekuasaan, antara Gaza dan Tel Aviv, yang kini menembus jantung Manhattan.

Dan di tengah hiruk pikuk Broadway, di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, gema Gaza seakan berbisik:
“Dunia tidak lagi bisa menutup mata. Bahkan di jantung Amerika, kebenaran dan ketidakadilan tetap berduel.”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (239) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)