Hamas dan PLO dalam Perjuangan Palestina: Bisakah Bersinergi?
> “Dan siapakah di antara kamu yang paling baik perkataannya, maka dia adalah orang yang tetap senantiasa bertaubat.”
(QS. Fushshilat: 33)
Dalam samudra derita Palestina, dua nama besar selalu berbicara: PLO dan Hamas. Keduanya lahir dari hati yang berdarah, dari tanah yang terus diinjak — meskipun dengan strategi yang berbeda. Tapi pertanyaan penting: setelah segala luka, konflik, dan perbedaan, apakah keduanya bisa menyatu? Bisakah mereka bersinergi untuk satu tujuan: Palestina yang merdeka dan bermartabat?
---
I. Asal-usul dan Waktu Berdirinya: Dua Lahir yang Berbeda
PLO (Palestine Liberation Organization) muncul di panggung sejarah pada tahun 1964, di Kairo, atas prakarsa Liga Arab. Ia dibuat sebagai payung bagi kelompok perjuangan Palestina yang tersebar — di Yordania, Lebanon, Tunisia. Di bawah pesaing politik dan perlawanan, PLO menjadi wakil bangsa dalam forum internasional, dengan tokoh yang paling dikenal adalah Yasser Arafat dari sayap Fatah. Dari awal, PLO memandang diplomasi dan gerakan internasional sebagai cara untuk memperjuangkan Palestina dari luar wilayah pendudukan.
Hamas, sebaliknya, lahir dalam pola yang berbeda: pada tahun 1987, saat Intifadhah Pertama merebak — rakyat Palestina di dalam wilayah pendudukan bangkit melawan penindasan. Pendiri utamanya, Syaikh Ahmad Yasin, adalah seorang ulama dan tokoh dakwah, yang menggabungkan keimanan dan jihad sebagai inti perlawanan. Ini bukan organisasi yang lahir karena perjanjian, tetapi karena kebutuhan rakyat yang hidup di bawah kekuasaan asing, blokade, dan penjajahan.
Kedua organisasi lahir dari luka, tetapi PLO lahir di pengasingan dan diplomasi, Hamas lahir di mendung pertumpahan darah dan kebutuhan langsung rakyat.
---
II. Basis Geografis: Pengasingan & Kedekatan
PLO sejak awal beroperasi mayoritas dari luar Palestina — markasnya berpindah beberapa kali (Yordania, Lebanon, Tunisia). Ini adalah organisasi pengasingan, bergerak dari kamp pengungsi, menyusun strategi diplomatik, gerilya di luar, lobi di meja konferensi.
Hamas berada di dalam negeri: di Gaza dan sebagian Tepi Barat. Banyak anggotanya hidup dan berjuang di antara rakyat, menghadapi blokade, serangan udara, kelaparan, listrik yang padam. Kehidupan sehari-hari mereka menjadi medan perlawanan. Karena itu, kedekatan Hamas dengan penderitaan Palestina lebih langsung.
Kedua basis itu memberi kelebihan dan kelemahan: pusat pengasingan bisa berbicara di dunia internasional, mendapat dukungan diplomatik; pusat dalam negeri bisa menggerakkan rakyat, tetapi juga paling terasa dampak agresi, serangan, kelaparan.
---
III. Ideologi dan Tujuan
PLO awalnya berideologi nasionalisme sekuler Arab — “Palestine for the Palestinians”. Ia memperjuangkan pembebasan seluruh wilayah Palestina dari sungai Yordan sampai Laut Tengah. Namun, sejak 1988, PLO mulai melakukan perubahan besar: mengakui keberadaan Israel dan mulai menerima solusi dua negara (two-state solution). Ini adalah manuver pragmatis: meskipun banyak yang menolak kompromi, perubahan ini mencerminkan realitas politik ketika diplomasi menjadi bagian dari strategi.
Hamas tetap pada landasan Islam. Dalam piagamnya, ia menyebut bahwa Palestina adalah tanah islami, jihad adalah kewajiban untuk membebaskan tanah suci dari penjajahan. Keadilan menurut Hamas adalah tidak hanya di akhiran perang atau perjanjian, tetapi keadilan dalam setiap detik kehidupan: dalam doa, dalam pelarangan ibadah yang dilarang, dalam solidaritas dengan rakyat yang kelaparan.
Tujuan Hamas tidak hanya negara Palestina, tetapi juga mempertahankan integrasi agama dan identitas Islam dalam perjuangan — sebuah dimensi spiritual yang tidak selalu terang bagi PLO yang lebih banyak mengedepankan nasionalisme.
---
IV. Strategi & Metode Perjuangan: Pena vs Pedang?
PLO memilih untuk bernegosiasi, dialog, diplomasi. Setelah peristiwa Oslo (1993), PLO membentuk Palestinian Authority (PA), menjalankan pemerintahan terbatas di Tepi Barat dan Gaza (sebelum perpecahan). Mereka berusaha menekan Israel melalui tekanan internasional, resolusi PBB, bantuan internasional, dukungan media, pengakuan negara asing.
Namun strategi ini juga membawa risiko: banyak warga Palestina merasa PLO terlalu kompromistis, terlalu lamban melawan pendudukan, tidak mampu menghentikan pembangunan permukiman Israel, atau melindungi rakyat dari agresi militer.
Hamas menggunakan metode perlawanan langsung: gerilya, roket, pertahanan militer, sekaligus pembangunan sosial (masjid, sekolah, layanan kesehatan). Dalam pandangan Hamas, perlawanan fisik adalah bagian dari jihad, bagian dari ibadah, terutama bila pendudukan dan ketidakadilan terus berlangsung.
Kedua metode ini sering kali bertabrakan: ketika PLO melakukan perundingan, Hamas menolak beberapa kesepakatan jika dianggap melemahkan klaim umat; ketika Hamas menyerang atau melakukan aksi militer, PLO khawatir terhadap konsekuensi diplomatik dan korban sipil.
---
V. Pemilu Palestina 2006: Momentum Besar & Titik Perpecahan
Satu contoh nyata sinergi dan juga gesekan adalah Pemilihan Umum Parlemen Palestina tahun 25 Januari 2006. Hamas turut mencalonkan diri, dan memenangkan kursi mayoritas dalam parlemen. Hasil ini mengejutkan dunia dan mengguncang dominasi Fatah (sayap utama PLO). ﹙ANTARA DW﹚
Tokoh PLO (Fatah) menghadapi dilema: menerima kekalahan demokratis atau menolak legitimasi Hamas. Dalam beberapa tempat, hasil pemilu memunculkan ketegangan, terutama ketika Hamas menolak tunduk pada beberapa kondisi yang dipatok oleh Israel dan oleh negara-negara donor yang menolak bekerjasama dengan mereka.
Pemilu 2006 menjadi saksi bahwa rakyat Palestina bisa memberi mandat kepada Hamas — bahwa mereka tidak hanya simbol militan, tapi juga wakil legislatif. Namun setelah itu, perpecahan internal memperuncing: Gaza dan Tepi Barat terpisah dalam kontrol administratif, militer, dan politik.
---
VI. Upaya Rekonsiliasi: Beijing Declaration
Berita terkini menunjukkan ada usaha nyata untuk bersinergi. Pada 23 Juli 2024, 14 faksi Palestina, termasuk Hamas dan Fatah (PLO), menandatangani Beijing Declaration di China. Mereka sepakat “Ending Division and Strengthening Palestinian National Unity”, dengan komitmen membentuk pemerintahan persatuan sementara dan rekonstruksi Gaza pasca perang.
Dalam pertemuan ini, para pemimpin menyebut pentingnya memasukkan semua faksi di bawah payung PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina. Persetujuan ini adalah sinyal bahwa kedua kubu menyadari bahwa persatuan adalah kebutuhan tidak hanya politis tetapi moral dan strategis.
---
VII. Kisah Nabi & Hikmah dalam Perjuangan
Dalam kisah nabi-nabi kita terdapat banyak pelajaran tentang ketika umat berbeda dan berpecah, tapi bisa disatukan dalam iman dan tujuan.
Nabi Yusuf a.s dilupakan oleh saudaranya, dijual, dan dipenjara — tetapi akhirnya ia keluar dengan kebijaksanaan dan taatnya kepada Allah, menjadi pemimpin di Mesir. Dari kisah Yusuf kita belajar bahwa pengasingan dan pengkhianatan bisa berubah menjadi kekuasaan yang menyelamatkan, bila iman dijaga.
Nabi Musa a.s memimpin Bani Israil keluar dari penindasan Fir’aun; mereka dipecah, dianiaya, bahkan hilang dalam padang pasir. Namun persatuan mereka, iman mereka, doa bersama mereka, membuat mereka tetap kuat meskipun jumlah kecil dan dengan senjata seadanya.
Hadits Nabi ï·º juga mengingatkan:
> “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang, rahmat, saling mencintai adalah seperti satu tubuh; jika satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh merasakan demam dan sulit tidur.”
(HR. Muslim, Bab Ukhuwah)
Bukankah ini relevan: jika satu bagian Palestina terluka — Gaza misalnya — seluruh Palestina merasa sakit; jika satu organisasi tertindas, organisasi yang lain juga merasakan kebinasaan moral?
---
VIII. Pandangan Pakar dan Sejarawan Islam
Rashid Khalidi, sejarawan Palestina-Amerika, sering menyebut bagaimana diplomasi PLO penting untuk mendapatkan pengakuan internasional, namun memperingatkan bahwa diplomasi tanpa kekuatan moral, akar rakyat, dan keteguhan iman mudah direduksi menjadi slogan.
Norman Finkelstein menyebut kemenangan Hamas di 2006 sebagai “tsunami politik”, yang membuktikan bahwa rakyat Palestina ingin representasi yang nyata, bukan hanya negosiasi yang sering kali tidak membuahkan hasil.
Di dunia Islam, cendekiawan seperti Said Nursi dan Ali Shariati menulis bahwa perjuangan yang paling benar adalah yang menggabungkan iman, keadilan, dan solidaritas — bukan kekuasaan belaka.
---
IX. Ayat Al-Qur’an & Nilai Keadilan
Al-Qur’an menaruh berat pada keadilan dan pengakuan atas penderitaan:
> “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, mungkar dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(QS. An-Nahl: 90)
Dan:
> “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”
(QS. Al-Hujurat: 9)
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa ketika ada konflik (antara faksi, organisasi, pihak), Islam memperintahkan upaya perdamaian, kesatuan, dan keadilan. Bukan kebencian yang dipelihara, tetapi dialog dan reconciliasi.
---
X. Bisakah Bersinergi? Harapan & Tantangan
Dari fakta-fakta di atas, syarat dan peluang bersinergi antara Hamas dan PLO terlihat nyata, tapi tidak mudah.
Peluang Bersinergi
1. Mandat Rakyat: Pemilu 2006 menunjukkan bahwa rakyat Palestina memberikan mandat kepada Hamas dalam sistem demokrasi. Ini memberi kesempatan PLO untuk mengakui realitas politik yang ada, dan menjadikan Hamas sebagai bagian dari pemerintahan nasional.
2. Deklarasi Persatuan: Beijing Declaration 2024 adalah langkah konstruktif. Kesepakatan menekankan rekonsiliasi, persatuan institusi, komitmen atas PLO sebagai representatif sah, dan persiapan pemilu nasional.
3. Nilai Bersama: Keduanya menginginkan kemerdekaan Palestina, menolak penjajahan, menuntut hak kembali (right of return), mendukung Yerusalem sebagai ibu kota negeri Palestina yang merdeka.
4. Tekanan Internasional & Dukungan Medan Politik Global: Banyak negara, termasuk Arab & Islam, serta komunitas internasional, mendesak agar Palestina bersatu agar tuntutan mereka lebih kuat di forum PBB & hukum internasional.
Tantangan yang Memisahkan
1. Ideologi & Tujuan Fundamental: Hamas masih menolak pengakuan atas Israel dan solusi dua negara. PLO telah menerima dua negara sebagai bagian dari strateginya diplomatik. Ini adalah perbedaan mendalam yang memengaruhi semua keputusan jangka panjang.
2. Kekuasaan & Legitimitas: Hamas menguasai Gaza sejak 2007, PLO (PA) menguasai Tepi Barat secara administratif tapi terbatas. Rivalitas politik, kontrol lembaga keamanan, sumber daya ekonomi, dan blokade membuat koordinasi sulit.
3. Pengaruh Eksternal: Negara-negara donor, negara-negara Islam, Israel sendiri, dan kekuatan global seperti AS, EU, China dan Timur Tengah lainnya memiliki kepentingan sendiri yang kadang memperburuk perpecahan.
4. Korupsi dan Kredibilitas: Banyak warga Palestina kecewa pada korupsi, ketidakadilan administratif PLO, dan kelemahan dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Hamas dipuji karena layanan sosialnya, tapi juga dikritik atas biaya korban sipil, pembatasan kebebasan, dan tak selalu transparan.
---
XI. Kesimpulan: Persatuan dalam Iman & Strategi
Kita kembali pada akar iman: bahwa keadilan, persatuan, dan persaudaraan adalah nilai Islam yang paling tinggi. Nabi Muhammad ï·º bersabda:
> “Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amalan kalian.”
(HR. Muslim)
Persatuan tidaklah berarti kehilangan identitas; melainkan menemukan makna bahwa perjuangan terbaik terjadi ketika kekuatan hati dikumpulkan, ketika diplomasi & perlawanan, pena & pedang, suara internasional & suara rakyat, berjalan dalam satu barisan.
Bersinergi antara Hamas dan PLO bukanlah utopia; Beijing Declaration adalah bukti bahwa ketika kepentingan rakyat dan iman sama-sama didengar, jalan keluar bisa mulai terbuka.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif