Takdir Umat Islam Menurut Umat Terdahulu: Pembebas Timur dan Barat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Pernahkah kita merenung sejenak, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad ﷼ lahir ke dunia, kabar tentang beliau dan umatnya telah disebut-sebut oleh para nabi terdahulu? Bahwa umat ini, umat Islam, adalah umat pilihan—pembebas dari gelapnya zaman, penakluk kekuatan batil, dan pelita dari Timur hingga ke Barat?
Bayangkan, seorang nabi besar seperti Musa tercengang. Bukan karena mukjizat laut terbelah atau tongkat yang berubah menjadi ular. Tapi karena satu hal yang menggetarkan jiwa: umat akhir zaman, yang amalnya tampak lebih ringan, justru diberi keutamaan luar biasa oleh Allah.
Ibnu al-Jauzi, dalam mahakaryanya al-Tabsirah (Juz 1), menuliskan sebuah percakapan penuh kekaguman:
> "Ya Tuhanku, aku melihat dalam catatan umat akhir zaman, mereka yang paling dahulu masuk surga meskipun amal mereka lebih sedikit. Mereka hafal kitab suci di dada-dada mereka, dan mereka melantunkannya di siang dan malam. Jadikanlah mereka umatku."
Lalu Allah menjawab:
> "Itu adalah umat Ahmad."
Betapa harunya hati seorang Nabi ketika menyaksikan keagungan umat yang akan datang setelahnya.
Dalam bagian lain kitab yang sama, Ibnu al-Jauzi meriwayatkan:
> "Aku mendapati dalam kitab Taurat, akan datang satu umat yang mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, dan berjihad di jalan Allah. Ya Allah, jadikanlah mereka umatku."
Lagi-lagi, jawabannya sama:
> "Mereka adalah umat Ahmad."
Ini bukan sekadar pujian. Ini adalah pernyataan langit. Sebuah isyarat bahwa umat Nabi Muhammad ﷼ bukan hanya besar dalam jumlah, tapi juga kuat dalam jiwa. Mampu mengalahkan musuh terbesar akhir zaman: Dajjal. Sementara nabi-nabi sebelumnya hanya mampu memperingatkan tentang bahayanya.
Lalu, apakah kekuatan ini murni berasal dari senjata dan jumlah? Tidak. Ia datang dari cahaya iman, kekuatan ibadah, dan keberanian spiritual yang tak tertandingi.
---
Mari menelusuri waktu. Sekitar dua abad sebelum kelahiran Rasulullah ﷼, seorang penguasa Syam bernama Nadhr bin Rabi‘ah mengalami sebuah mimpi. Mimpi yang begitu terang dan mengusik batinnya. Ia melihat cahaya besar muncul dari Makkah, menyinari seluruh Jazirah Arab hingga ke negeri Syam. Di atas Ka'bah, berdiri seorang laki-laki yang menyeru manusia untuk hanya menyembah Allah.
Terkejut dan penasaran, Nadhr mengumpulkan rahib dan ahli tafsir mimpi:
> "Aku bermimpi ada seseorang dari Makkah yang kelak akan mengguncang dunia ini. Apakah ini kabar tentang seorang nabi yang akan datang?"
Seorang rahib dari keturunan Nabi Isa menjawab tenang:
> "Ya, ini adalah cahaya kenabian terakhir. Ia akan lahir di tengah padang pasir, tetapi akan menyinari Syam dan seluruh dunia."
Lalu Nadhr menulis mimpinya, menyimpannya sebagai warisan, dan berpesan kepada keturunannya:
> "Jika mimpi ini benar, maka anak keturunanku kelak harus menjadi orang pertama yang beriman kepada nabi akhir zaman."
Tidakkah ini cukup menjadi saksi bahwa kelahiran Rasulullah ﷼ adalah janji lama yang ditunggu peradaban?
---
Kisah lain datang dari tanah suci. Dari seorang tua yang mulia: Abdul Muthalib. Suatu malam ia tertidur di al-Hijr, bagian Ka'bah yang penuh berkah. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya keluar dari tulang rusuknya. Cahaya itu menjulang ke langit, menembus gurun dan gunung, menyinari Timur dan Barat.
Dalam mimpi itu, terdengar suara berkata:
> "Dari keturunanmu akan lahir seorang pemimpin yang akan mengguncang zaman. Ia membawa kebenaran, dan namanya akan disebut di langit dan bumi."
Ketika ia bangun, tubuhnya menggigil. Ia segera mencari para rahib dari Yaman dan Syam. Salah satu dari mereka berkata:
> "Jika mimpimu benar, maka salah satu keturunanmu akan menjadi Nabi umat akhir zaman."
Sejak saat itu, Abdul Muthalib menjaga dan mencintai cucunya, Muhammad ﷼, dengan sepenuh hati. Karena ia tahu, cahaya yang dilihatnya telah mengambil wujud.
---
Buya Hamka, dalam Sejarah Umat Islam, menegaskan bahwa umat ini tidak pernah benar-benar hancur. Hanya jatuh, lalu bangkit kembali. Seperti ombak yang surut untuk kembali menggulung lebih besar.
Perang Salib yang mengerikan? Tartar yang membakar Baghdad? Semua akhirnya dikalahkan oleh umat Islam. Bahkan dari kehancuran, lahir pahlawan. Salahuddin al-Ayyubi, Baybars, Sultan Murad.
Konstantinopel yang dahulu benteng tak tertembus, akhirnya runtuh di tangan Muhammad al-Fatih.
Penjajahan Eropa yang menyayat tanah Muslim? Juga akhirnya tumbang. Umat ini memang diuji. Tapi tak pernah padam. Seperti bara yang tak mati. Ia hanya menunggu waktu untuk menyala kembali.
---
Namun, pertanyaan penting mengemuka: Mengapa masih ada rasa rendah diri di hadapan bangsa lain?
Padahal sebelum kita hadir, umat-umat terdahulu sudah mengakui keagungan umat ini.
> "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk (kebaikan) manusia, karena kalian menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110)
Umat ini bukan dipilih karena bangsanya. Bukan karena leluhurnya. Tapi karena amal dan peran: menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman dengan sepenuh keyakinan.
Inilah amanah besar. Inilah syahadah umat.
---
Kini, kita hidup di zaman yang penuh keraguan. Di mana kebanggaan sering kalah oleh kekaguman pada yang asing. Di mana banyak dari kita lupa siapa kita.
Padahal, setiap Nabi telah menyebut-nyebut kita.
Padahal, dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur—ada deskripsi tentang umat Muhammad ﷼: kuat dalam iman, teguh dalam amal, dan luas dalam pengaruh.
Tidakkah ini cukup untuk membuat kita bangga tanpa menjadi sombong? Kuat tanpa menjadi congkak?
Umat ini adalah lilin di tengah kegelapan. Cahaya di ujung malam. Umat yang disiapkan bukan hanya untuk satu tempat, tapi untuk dunia. Timur dan Barat.
Sebagaimana doa Abdul Muthalib, Sebagaimana mimpi Nadhr bin Rabi‘ah, Sebagaimana harapan Nabi Musa,
Kita adalah bagian dari janji besar itu.
Kini saatnya kita bukan hanya membaca kisah ini dengan mata. Tapi juga dengan jiwa.
Saatnya umat ini kembali mengambil peran.
Sebagai pelita. Sebagai pemimpin. Sebagai rahmat bagi semesta alam.
0 komentar: