basmalah Pictures, Images and Photos
10/09/25 - Our Islamic Story

Choose your Language

Genosida dalam Hukum Internasional: Ketika Dunia Menutup Mata > “Barang siapa membunuh seorang manusia—bukan karena orang itu...


Genosida dalam Hukum Internasional: Ketika Dunia Menutup Mata

> “Barang siapa membunuh seorang manusia—bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi—maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia.”
(QS. Al-Ma’idah: 32)



Ada saat ketika kata-kata kehilangan maknanya, ketika “hukum internasional” terdengar seperti doa tanpa iman, dan “hak asasi manusia” berubah menjadi jargon tanpa nyawa. Gaza adalah saksi dari kematian makna itu. Di sana, manusia dihancurkan, hukum dibungkam, dan dunia memilih diam.

Dua tahun genosida di Gaza bukan sekadar perang. Ia adalah ujian moral terbesar peradaban modern — ujian bagi bangsa-bangsa yang mengaku beradab, bagi institusi hukum yang dibanggakan, dan bagi nurani manusia yang kini nyaris padam.


---

1. Ketika Definisi Menjadi Daging dan Darah

Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (1948) mendefinisikan genosida sebagai “tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama.”

Definisi itu, di atas kertas, terdengar dingin. Tetapi di Gaza, definisi itu menjadi hidup — dan berdarah.

> “Membunuh dan melukai anggota kelompok, mencegah kelahiran, serta menciptakan kondisi kehidupan yang dirancang untuk mengakibatkan kehancuran fisik kelompok itu.”
(Pasal II, Konvensi Genosida)



Semua tindakan itu kini terjadi di Gaza:

Lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, termasuk puluhan ribu anak-anak.

Hampir 170.000 orang terluka, banyak di antaranya kehilangan anggota tubuh.

Hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi, sebagian besar kehilangan rumah.

Blokade bantuan kemanusiaan membuat ratusan ribu orang kelaparan, sementara rumah sakit dikepung dan dihancurkan.

Kehidupan kolektif bangsa Palestina di Gaza diruntuhkan: pertanian, pendidikan, bahkan air bersih menjadi barang langka.


Inilah yang dimaksud Craig Mokhiber, mantan pejabat tinggi PBB, ketika ia berkata:

> “Genosida bukanlah angka. Ia adalah kehancuran atas kemampuan suatu bangsa untuk hidup, mencintai, dan mewariskan masa depan.”




---

2. Hukum yang Dibuat untuk Dilupakan

Kita sering memuja “hukum internasional” seolah ia adalah dewa penegak keadilan. Padahal, ia hanyalah perjanjian di atas kertas — tanpa roh, tanpa senjata, tanpa keberanian.

Konvensi Genosida 1948 memang mengikat 153 negara, termasuk Amerika Serikat, Israel, dan seluruh kekuatan Eropa. Namun pasal yang paling penting—“Setiap Negara Pihak wajib mencegah dan menghukum genosida”—hanya tinggal slogan.

ICJ (Mahkamah Internasional) di Den Haag telah memerintahkan Israel pada Januari 2024 untuk mencegah tindakan genosida, dan dua bulan kemudian agar membuka jalur bantuan tanpa hambatan. Tapi apa hasilnya?
Israel mengabaikan. Dunia membisu.
Tank terus bergerak, pesawat terus mengebom, dan anak-anak terus mati.

Hukum yang seharusnya menjadi pelindung manusia kini hanya menjadi saksi bisu pembantaiannya.

> “Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh api neraka.”
(QS. Hud: 113)




---

3. Ketika Dunia Menjadi Komplis

Ada perbedaan antara tidak tahu dan tidak peduli. Dunia tidak bisa berdalih tidak tahu. Setiap bom yang dijatuhkan Israel terekam satelit, setiap tangisan anak Gaza tersiarkan langsung ke layar ponsel dunia.

Namun diamnya negara-negara besar, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, menjadikan mereka bukan hanya penonton — tetapi komplices (penyerta kejahatan).

Susan Akram dari Universitas Boston menjelaskan:

> “Begitu tindakan diidentifikasi sebagai genosida, semua negara pihak konvensi wajib bertindak untuk menghentikannya. Diam berarti melanggar hukum internasional itu sendiri.”



Artinya, mereka yang mendiamkan atau tetap menyalurkan senjata kepada pelaku, sejatinya ikut serta dalam kejahatan itu.
Sebab dalam genosida, netralitas bukanlah kebaikan; ia adalah pengkhianatan.


---

4. Ketika Dunia Tak Lagi Punya Jiwa

Setiap generasi memiliki cermin untuk menguji kemanusiaannya. Bagi abad ke-20, itu adalah Holocaust dan Rwanda. Bagi abad ke-21, itu adalah Gaza.

Namun perbedaannya mencolok. Dahulu, dunia bersumpah “tidak akan pernah lagi.” Kini, dunia berkata “mungkin nanti saja.”
Dulu, genosida terjadi dalam bayangan. Kini, ia disiarkan langsung, dengan komentar dan grafik yang rapi.

Apakah ini peradaban?
Ketika dunia lebih sibuk memperdebatkan definisi daripada menghentikan darah?
Ketika manusia menonton kehancuran bangsa lain seperti menonton serial dokumenter?

Profesor Ernesto Verdeja mengingatkan:

> “Pencegahan genosida tidak boleh menunggu putusan hukum. Ia harus dimulai dari kesadaran moral, dari keberanian untuk menyebut kejahatan dengan namanya.”



Dan namanya di Gaza — adalah genosida.


---

5. Dunia yang Menutup Mata atas Dosa Sendiri

Ironinya, istilah “genosida” diciptakan oleh Raphael Lemkin, seorang pengacara Yahudi-Polandia yang kehilangan keluarganya dalam Holocaust. Ia bermimpi agar dunia tak lagi membiarkan kehancuran serupa.
Namun kini, bangsa yang lahir dari luka Holocaust justru menjadi pelaku kejahatan yang sama atas bangsa lain.

Di sinilah tragedi moral terbesar manusia modern:
ketika yang pernah tertindas berubah menjadi penindas,
ketika korban sejarah menjadi pelaku sejarah,
dan ketika rasa bersalah masa lalu digunakan untuk membenarkan kejahatan masa kini.

> “Apabila mereka berkuasa, mereka berbuat kerusakan di bumi dan menghancurkan tanam-tanaman dan ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.”
(QS. Al-Baqarah: 205)




---

6. Keadilan yang Tertunda, Tapi Tidak Hilang

Benar bahwa Mahkamah Internasional bergerak lamban. Benar bahwa Dewan Keamanan lumpuh oleh veto. Tapi sejarah tidak lupa.
Rezim yang membunuh akan tumbang — bukan hanya oleh hukum manusia, tapi oleh hukum alam dan hukum Allah.

Nelson Mandela pernah berkata:

> “Kebebasan kami tidak akan pernah lengkap sebelum Palestina merdeka.”



Kini, kebebasan dunia pun tak akan pernah lengkap sebelum keadilan ditegakkan di Gaza. Sebab genosida bukan hanya kejahatan terhadap satu bangsa, tapi terhadap seluruh hati manusia.


---

7. Dari Gaza, Dunia Belajar Arti Keadilan

Barangkali inilah paradoks yang Tuhan tunjukkan kepada dunia: bahwa bangsa yang paling hancur justru menjadi saksi paling kuat atas kehancuran moral dunia.

Dari reruntuhan Gaza, lahir pertanyaan yang mengguncang fondasi peradaban:

Apa arti hukum, jika ia tak melindungi yang tertindas?

Apa arti hak asasi, jika hanya berlaku bagi yang kuat?

Dan apa arti kemanusiaan, jika ia berhenti di perbatasan politik?


Gaza memaksa dunia bercermin — dan melihat wajahnya sendiri yang tak lagi manusiawi.


---

Epilog: Hukum Langit yang Tak Pernah Lalai

Dunia boleh menutup mata, tapi langit tidak.

> “Dan janganlah kamu sangka bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)



Genosida di Gaza mungkin belum berakhir, tetapi sejarah belum selesai menulis bab terakhirnya. Hukum manusia mungkin lumpuh, tapi hukum langit tetap tegak — dan setiap darah yang tumpah akan menjadi saksi di hari pembalasan.

Maka tanggung jawab itu kini berpindah:
dari ruang sidang Den Haag ke hati nurani setiap manusia.
Dari pasal-pasal konvensi ke doa-doa di sepertiga malam.
Dari retorika politik ke keberanian moral untuk berkata:

“Cukup. Gaza bukan medan perang. Gaza adalah ujian nurani dunia.”


Agresi Terhadap Bayi Gaza Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah engkau bisa tidur nyenyak malam ini, wahai dunia, ketika bayi-bayi d...

Agresi Terhadap Bayi Gaza

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Apakah engkau bisa tidur nyenyak malam ini, wahai dunia, ketika bayi-bayi di Gaza menangis hingga suara mereka lenyap dalam dingin, lapar, dan luka?

Hari ini kita menyaksikan pembunuhan terhadap bayi-bayi secara sistematis. Ini bukan ulah sekelompok kriminal jalanan. Ini dilakukan oleh sebuah negara. Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara yang disebut-sebut bagian dari tatanan internasional.

Lalu kita bertanya:
Mengapa lembaga yang mengklaim mewakili peradaban, memiliki anggota yang bertindak begitu biadab?


---

Pembantaian ini bukanlah insiden. Ia adalah kebijakan. Sebuah strategi negara. Penjajah Israel merancangnya dengan sadar dan dingin.

Pada 2 Maret 2025, secara resmi mereka menghentikan seluruh aliran bantuan ke Gaza—makanan, air, bahan bakar, bahkan listrik.

Langkah ini bukan karena krisis logistik. Tapi bagian dari tekanan politik, untuk menundukkan rakyat Gaza dalam negosiasi yang timpang. Bayi dijadikan sandera. Air susu mereka dijadikan kartu tawar-menawar.

UNICEF telah memperingatkan: bayi-bayi meninggal karena hipotermia. Karena tidak ada selimut, tidak ada pakaian hangat, tidak ada obat. Tapi suara lembaga internasional hanyalah angin lalu bagi penjajah. Mereka tetap menutup pintu-pintu kemanusiaan.

Bahkan kapal-kapal yang mencoba menembus blokade, satu per satu disergap. Bukan oleh bajak laut, tapi oleh militer negara yang mengklaim diri demokratis.


---

Serangan Drone di Perairan Internasional (Mei 2025)
Kapal bantuan “The Conscience” diserang oleh drone ketika berada di dekat perairan Malta. Kapal ini tak membawa senjata, hanya bantuan dan para aktivis. Tapi itu cukup bagi Israel untuk mematikannya di tengah laut.

Penangkapan Kapal “Madleen” (Juni 2025)
Pada 9 Juni 2025, kapal Madleen dicegat. Muatannya: makanan bayi, obat-obatan, dan suara nurani. Salah satu penumpangnya bahkan aktivis dunia Greta Thunberg. Tapi siapa pun penumpangnya, semua dianggap musuh bila menolong Gaza.

Penyergapan “Handala” (Juli 2025)
Kapal Handala disergap 64 km dari Gaza. Serangan berlangsung brutal. Kamera transmisi diputus, dan dunia dibungkam. Apa yang mereka sembunyikan?


---

Lalu kita bertanya kembali:
Mengapa dunia diam? Mengapa Israel bisa melakukan semuanya?

Karena mereka memiliki kekuasaan seperti Fir‘aun di Mesir. Karena mereka menindas seperti kaum kafir Quraisy di Mekah. Karena mereka meyakini ideologi ekstrem seperti penguasa zalim di Yaman.

“Sesungguhnya Fir‘aun telah berlaku sewenang-wenang di muka bumi. Dia menjadikan penduduknya berpecah-belah, menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sungguh, dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Al-Qashash: 4)

Fir‘aun membunuh demi kekuasaan.
Kaum Quraisy mengubur bayi demi kehormatan suku.
Penguasa di Yaman membakar orang-orang beriman karena perbedaan keyakinan.
Lalu apa alasan penjajah Israel?

Semua.
Kekuasaan.
Hina dan dendam.
Ideologi.

Zionisme menganggap bangsa lain rendah. Mereka ingin dunia tunduk atau binasa. Gaza adalah perlawanan terhadap itu semua—maka harus dimusnahkan. Anak-anak dibunuh karena mereka adalah harapan masa depan. Karena dalam tangisan mereka, ada gema keberanian yang ditakuti penjajah.


---

"Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya: karena dosa apakah dia dibunuh?"
(At-Takwir: 8–9)

"...Dan mereka menyiksa orang-orang beriman hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji."
(Al-Buruj: 8)

Mereka membunuh karena iman. Karena keberanian. Karena Gaza tak tunduk. Karena bayi-bayi itu bisa tumbuh menjadi batu karang yang tak bisa dikalahkan.

Dan dunia...
Dunia memilih menjadi penonton yang baik. Duduk di kursi empuk diplomasi, menyaksikan bayi-bayi Gaza dikubur dalam reruntuhan.


---

Namun sejarah selalu berpihak pada yang tertindas. Seperti Fir‘aun yang tenggelam. Seperti Quraisy yang kalah. Seperti penguasa Yaman yang dibinasakan. Maka bersabarlah, wahai Gaza, karena darah bayi-bayi itu tak akan sia-sia.

Dunia boleh membungkam suara.
Tapi langit tak akan membungkam doa.
Dan langit—selalu berpihak pada yang tertindas.


---

“Kejahatan bisa menang dalam satu babak. Tapi kebenaran menulis akhir kisah.”

Propaganda Hoax Israel 7 Oktober Berlanjut Setelah Dua Tahun Genosida Orang mungkin bertanya mengapa Israel, beserta agen-agen b...


Propaganda Hoax Israel 7 Oktober Berlanjut Setelah Dua Tahun Genosida



Orang mungkin bertanya mengapa Israel, beserta agen-agen bayarannya di media korporat dan pemerintahan Barat, terus menyebutkan berita bohong 7 Oktober yang sudah terbantahkan ketika membahas perang di Gaza.
Sudah dua tahun berlalu sejak genosida Gaza, di mana Israel diperkirakan telah membantai antara 67.000 hingga ratusan ribu warga Palestina. Meskipun dunia menyaksikan genosida ini melalui siaran langsung, setiap hari, para penyangkal dan simpatisan Holocaust Gaza terus bersembunyi di balik propaganda "7 Oktober" untuk membenarkan pembantaian tersebut.

Dari pemenggalan bayi hingga kampanye pemerkosaan massal yang sistematis, dan segala macam kebohongan yang disebarkan oleh para pembela genosida sangat beragam. Yang lebih memalukan lagi adalah kebohongan baru terus diciptakan, seolah-olah setiap beberapa bulan.

Perlu dipahami bahwa siapa pun yang menyebarkan propaganda kekejaman terkait peristiwa 7 Oktober 2023 sedang berupaya mencari pembenaran atas genosida dan pembersihan etnis terhadap rakyat Gaza. Faktanya, hoaks 7 Oktober sendiri pada dasarnya bersifat rasis dan memanfaatkan mitos orientalis tentang orang Arab, serupa dengan bagaimana masyarakat adat di Amerika Utara, Australia, dan di tempat lain digambarkan sebagai "buas" untuk membenarkan pengusiran dan penghapusan mereka.

Bayi yang Dipenggal
Pada 10 Oktober 2024, seorang reporter Israel untuk I24 News, Nicole Zedek, melaporkan langsung dari Kibbutz Kafr Azza bahwa tentara melaporkan kepadanya tentang 40 bayi yang dipenggal. Tak lama kemudian, media penyiaran dan surat kabar besar mulai memuat berita utama tentang dugaan "40 bayi yang dipenggal". Di Inggris, banyak surat kabar nasional besar bahkan memuat klaim tersebut di halaman depan mereka, dengan pesan yang menakutkan.

Fox News kemudian mempromosikan berita tersebut, bahkan CNN mengklaim telah "mengonfirmasi" berita tersebut secara langsung, sebelum akhirnya menariknya kembali. Media Inggris seperti The Times, Metro, Daily Express, The Scotsman, Financial Times, dan banyak lainnya, juga menyajikannya sebagai fakta.

Ternyata, tidak pernah ada "40 bayi yang dipenggal", bahkan, tidak ada satu pun bayi Israel yang dipenggal oleh warga Palestina. Grayzone saat itu melacak klaim ini hingga ke tentara yang memberi tahu I24 News tentang berita tersebut, dan menyebut pencetus hoaks tersebut adalah David Ben-Zion, seorang pemimpin gerakan permukiman ilegal yang fanatik.

Media korporat Barat riuh tentang pemenggalan bayi-bayi Israel, namun tak terhitung banyaknya bayi Palestina yang dipenggal di Gaza, tak satu pun dari mereka menjadi berita utama. Tak ada kecaman emosional di media siaran, air mata dari presenter, atau bahkan momen-momen dramatis konfirmasi, nama mereka bahkan tak disebut-sebut.

Sejak kebohongan itu terbantahkan, ini mungkin menjadi klaim propaganda yang paling tabu untuk diulang-ulang, namun hal itu tidak menghentikan kebohongan lain tentang bayi yang disebarkan oleh politisi Barat, pembawa acara TV, dan orang Israel sendiri.

Kebohongan-kebohongan ini disebarkan oleh tentara Israel dan tim penyelamat seperti organisasi ZAKA yang terkenal kejam, termasuk klaim tentang bayi-bayi yang digantung di jemuran, dipanggang dalam oven, dan dibakar hidup-hidup, bahkan tentang janin yang dikeluarkan dari rahim seorang perempuan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mengulangi kebohongan bahwa Hamas "membakar bayi hidup-hidup" dalam pidatonya di hadapan Kongres pada bulan Juli 2024, di mana ia menerima tepuk tangan meriah yang memecahkan rekor dari para politisi bayaran AIPAC. 

Kenyataannya, hanya satu bayi Israel yang tewas pada 7 Oktober, di tengah baku tembak antara Hamas dan Israel. Meskipun ini sudah menjadi fakta yang mapan, banyak sekali kebohongan tentang kematian bayi masih disebarkan setiap hari. Contohnya, mantan calon presiden dari Partai Demokrat, Pete Buttigieg, yang baru-baru ini mengklaim bahwa Hamas telah memasukkan bayi ke dalam oven, sebuah klaim yang tidak terbantahkan ketika ia sampaikan. 



Bunuh Orang-Orang Liar

Orang mungkin bertanya mengapa Israel, beserta agen-agen bayarannya di media korporat dan pemerintahan Barat, terus-menerus menyebutkan hoaks 7 Oktober yang telah dibantah ketika membahas perang di Gaza. Hal ini karena kebenaran yang sebenarnya terjadi pada hari itu mencerminkan peristiwa yang sama sekali berbeda dari peristiwa yang perlu direkayasa Israel untuk membenarkan genosida yang sedang berlangsung.

Jangan salah, 7 Oktober memang meninggalkan luka yang tak terobati bagi Israel dan merupakan pukulan telak dalam segala hal. Namun, Israel tidak bisa begitu saja mengatakan kebenaran tentang apa yang terjadi hari itu, karena jika mereka mau jujur, mereka tidak akan lagi memiliki sedikit pun pembenaran atas apa yang mereka lakukan hari ini.

Lihat, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah secara terbuka melabeli penduduk Gaza sebagai orang Amalek; dengan kata lain, ia memandang mereka sebagai sekelompok orang yang harus dibasmi hingga anak terakhir yang masih hidup. Agar dunia menerima posisi ini, dibutuhkan pendekatan yang berbeda dari pendekatan yang diambil terhadap audiens domestik Netanyahu, yang sudah memandang orang Palestina sebagai "manusia buas".

Di sinilah kebohongan dan pernyataan berlebihan muncul. Dalam benak para pemimpin Israel, mereka berusaha meyakinkan rakyat akan pandangan rasis mereka; oleh karena itu, 7 Oktober harus diubah menjadi peristiwa mistis yang nyaris tidak menyerupai kenyataan. 

Agar strategi semacam itu dapat dijalankan secara efektif, Hamas harus diubah menjadi kelompok yang paling tidak rasional, tidak dapat dipertahankan, dan menjijikkan di dunia, yang hanya memiliki perbedaan hitam dan putih. Setiap upaya untuk menjelaskan tindakan mereka secara objektif akan diredam oleh kemarahan dan disensor.

Sangat sedikit ruang di media arus utama Barat yang menyajikan pandangan pro-Palestina yang autentik, apalagi dari warga Palestina sendiri, yang mewakili konsensus di antara rakyat mereka sendiri. Bahkan di tempat-tempat terbatas di mana suara warga Palestina didengar, mereka masih dibatasi oleh batasan yang dirancang dengan cermat untuk percakapan yang mereka ikuti, seperti yang terjadi di acara-acara yang dipandu oleh orang-orang seperti Piers Morgan.

Ini hanya berlaku untuk kebohongan media korporat tentang pemenggalan bayi, kebohongan Netanyahu tentang dua anak berambut merah yang bersembunyi di loteng, dan kebohongan mantan Presiden Joe Biden bahwa "Saya tidak pernah benar-benar berpikir akan melihat dan mengonfirmasi foto-foto teroris yang memenggal kepala anak-anak". Atau, klaim bahwa anggota Hamas adalah pemerkosa massal, sekelompok orang biadab haus darah yang terobsesi dengan kepolosan perempuan Yahudi. 

Di sinilah peran miliarder seperti Sheryl Sandberg, dengan film propagandanya yang mempromosikan narasi tentang apa yang disebut kampanye pemerkosaan massal terencana yang dikoordinasikan oleh Hamas pada 7 Oktober. Film Sandberg, 'Screams Before Silence', menggunakan video interogasi yang direkam oleh Shin Bet. Semua investigasi dan laporan serius telah membuang "pengakuan" yang direkam ini, karena diperoleh melalui penyiksaan, sementara beberapa pihak membantah bahwa orang-orang dalam video tersebut benar-benar anggota Hamas.

Investigasi terbesar yang disebut-sebut terkait kasus pemerkosaan massal ini dilakukan oleh New York Times, yang akhirnya berubah menjadi skandal besar. Keluarga seorang perempuan Israel, yang coba ditampilkan oleh NYT sebagai korban pemerkosaan utama mereka, maju dan membantah tuduhan tersebut.

Ada pula kampanye yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Hillary Clinton, yang mengklaim membela korban pemerkosaan Israel dan menggunakan retorika "percayalah pada perempuan Israel". Seorang pengacara Israel, Cochav Elkayam-Levy, kemudian membentuk apa yang disebutnya "komisi sipil" untuk menyelidiki kampanye pemerkosaan Hamas. 

Meskipun Haaretz News dan media korporat Barat menampilkan Elkayam-Levy sebagai pahlawan kebenaran yang memperjuangkan para korban dugaan pemerkosaan, ia kemudian terbongkar karena menyebarkan banyak cerita pemerkosaan palsu, sambil meminta komisi jutaan dolar, yang hanya ia sendiri yang menjadi anggotanya. Akhirnya, para pejabat pemerintah Israel menjauhkan diri darinya, sebelum media Israel mengejarnya atas dugaan korupsi dan seluruh inisiatif tersebut runtuh.

Mungkin laporan yang paling sering disalahartikan dan dikutip secara keliru adalah laporan misi pengumpulan fakta PBB. Perwakilan Khusus PBB, Pramila Patten, memimpin misi delapan hari atas permintaan Israel untuk mengumpulkan bukti kekerasan seksual yang diduga terjadi pada 7 Oktober. 

Sembilan pakar PBB yang datang ke Israel untuk laporan tersebut tidak diberi mandat investigasi, namun mereka tetap berhasil menemukan beberapa temuan yang sangat memberatkan. Dua kasus spesifik yang diajukan Israel sebagai bukti pemerkosaan ternyata "tidak berdasar". Dalam salah satu kasus tersebut, terungkap bahwa regu penjinak bom Israel telah mengubah TKP dan "memindahkan" jenazah agar seolah-olah sang ibu dipisahkan dari keluarganya dan celananya diturunkan.

Laporan itu sendiri memang menyatakan adanya bukti berbagai tindak kekerasan seksual terkait konflik, tetapi tidak memberikan kesimpulan apa pun, dengan alasan tidak adanya mandat investigasi. Hal ini tidak menghentikan para propagandis Israel untuk menjadikan laporan tersebut sebagai "bukti" atas klaim mereka, mengutipnya secara selektif, dan menarik kesimpulan drastis dari apa yang dicatat sebagai bukti. Israel belum mengizinkan penyelidikan investigatif atas masalah ini.

Setelah dua tahun, masih belum ada bukti forensik, niat yang terdokumentasi, korban yang teridentifikasi, atau saksi kredibel yang mendukung klaim kampanye pemerkosaan massal. Tidak hanya tidak ada bukti yang mendukung hoaks kampanye pemerkosaan massal tersebut, tetapi juga masih belum ada bukti bahwa seorang pejuang Hamas telah memperkosa seorang warga Israel. Siapa pun yang mengatakan sebaliknya telah salah informasi atau berbohong. 

Namun, hal ini tidak menghentikan orang Israel untuk terus menyebarkan omong kosong mereka, karena kita masih mendengar klaim—yang seringkali tidak terbantahkan—di media penyiaran korporat tentang kisah-kisah aneh yang melibatkan militan Hamas yang mengiris dan mempermainkan alat kelamin perempuan Yahudi. Beberapa podcaster dan pakar media pro-Israel bahkan masih mengklaim dengan wajah datar bahwa ada video kejahatan mengerikan semacam itu, padahal sebenarnya tidak ada.

Bahkan jumlah korban tewas pada 7 Oktober masih sering dibohongi, yang juga memerlukan analisis lebih lanjut.

Awalnya, Israel mengklaim jumlah korban tewas sekitar 1.400 orang Israel, yang akhirnya dikurangi menjadi 1.200. Statistik inilah yang masih sering dikutip sebagai jumlah korban tewas, yang juga tidak akurat. Jumlah korban tewas resmi, menurut data Israel sendiri, adalah 1.139. Jadi, jika dibulatkan, angkanya akan menjadi 1.100. Perhitungannya tidak berubah secara tiba-tiba karena korbannya adalah orang Israel.


Tentang 'Penutupan dan Kelangsungan' – Refleksi 7 Oktober

Dari jumlah tersebut, 695 warga sipil Israel tewas, bersama dengan 373 kombatan Israel, di samping 71 warga asing. Sementara itu, jumlah korban tewas warga Palestina di Gaza pada hari itu tercatat 413 (mayoritas warga sipil), sementara Israel mengklaim telah menewaskan sekitar 1.609 militan yang terlibat dalam serangan tersebut.

Hal lain yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa Israel telah memicu perintah Hannibal yang terkenal pada hari itu, sesuatu yang kemudian diakui secara terbuka oleh tentara Israel. Namun, Israel menolak untuk merilis perkiraan yang jujur ​​tentang berapa banyak warga sipil Israel yang mereka bunuh hari itu.

Beberapa komentator memperkirakan Israel bahkan mungkin telah membunuh sebagian besar dari 1.139 orang pada hari itu, sementara yang lain mengklaim setengahnya. Namun, penilaian yang jujur ​​adalah bahwa, tanpa bukti yang kuat, tuduhan tersebut sama sekali tidak berdasar. Kita sama sekali tidak tahu berapa banyak orang Israel yang terbunuh oleh perintah Hannibal.

Di sinilah investigasi yang lebih mendalam terhadap peristiwa hari itu dibutuhkan. Pihak berwenang di Tel Aviv tidak akan mengizinkannya, bahkan sampai menyembunyikan bukti, sehingga kebenaran yang sesungguhnya mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk terungkap. 

Penjelasan sederhana tentang apa yang terjadi seringkali dijadikan senjata untuk berbagai agenda, yang paling kuat adalah pembenaran Israel atas genosida mereka. Namun, gagasan bahwa Israel tidak merespons serangan tersebut setidaknya selama 6 jam jelas keliru, meskipun mereka jelas-jelas kebingungan dan tidak mampu memberikan respons yang memadai terhadap dahsyatnya serangan yang mereka hadapi. 

Alasan Israel sendiri memilih untuk tidak menentang narasi ini secara tegas adalah karena pesawat tanpa awak, helikopter serang, tank, dan tentara mereka sendiri terlibat dalam penembakan membabi buta di antara warga sipil dan pasukan mereka sendiri, termasuk di sekitar area festival musik Nova. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan mengebom tawanan mereka sendiri saat mereka ditangkap dan diangkut ke Gaza.

Poin penting lainnya di sini adalah bahwa Hamas bukanlah satu-satunya kelompok yang terlibat dalam serangan itu, yang juga membuat atribusi semua kematian warga sipil Israel kepada mereka menjadi keliru. Puluhan kelompok bersenjata Palestina, beberapa di antaranya memiliki keyakinan yang lebih radikal atau kurang terkoordinasi dengan baik dibandingkan Hamas, ikut serta dalam pertempuran tersebut. Bahkan warga sipil dan militan yang bukan dari kelompok bersenjata, melintasi pagar pemisah.

Bahkan dalam hal penangkapan tawanan, kelompok bersenjata yang dikenal sebagai Brigade Mujahidin bertanggung jawab atas penangkapan keluarga Bibas, misalnya, termasuk seorang bayi. Mereka kemudian menjadi sasaran serangan udara Israel dan terbunuh. Ada juga kasus-kasus di mana warga Israel dibebaskan oleh pejuang Hamas, saat mereka diculik ke Gaza, seperti yang terjadi pada seorang perempuan Israel dan anaknya.

Apa yang jelas dimaksudkan sebagai operasi militer, yang dirancang untuk memberikan pukulan telak bagi Komando Selatan Angkatan Darat Israel dan menangkap tawanan untuk ditukar dengan tahanan Palestina, berubah menjadi peristiwa yang sangat kacau. Hal ini terjadi karena kelemahan dan kurangnya persiapan militer Israel yang tak terduga.

Berdasarkan pengakuan pejabat Hamas, operasi itu tidak diharapkan sesukses yang terlihat dan tampaknya hal ini menyebabkan gambaran yang rumit dan berdarah yang terungkap pada hari itu.  

Bukti konklusif yang ada hanyalah penembakan dan pelemparan granat ke daerah-daerah yang dipenuhi warga Israel tak bersenjata, yang menurut standar apa pun dianggap sebagai kejahatan perang. Namun, fakta-fakta ini tidak pernah menggambarkan serangan tersebut, juga tidak pernah disebutkan adanya serangan yang terorganisir dengan baik terhadap tentara Israel pada hari itu, yang terbukti sangat efektif secara militer.

Jika faktanya diungkap, serangan 7 Oktober, yang dijuluki Operasi Banjir Al-Aqsa oleh Hamas dan Ruang Gabungan Faksi Perlawanan Palestina, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sejarah panjang pembantaian Israel terhadap rakyat Gaza. Peristiwa ini belum pernah terjadi sebelumnya bagi Israel, tetapi tidak bagi Palestina.

Memahami konteks di balik apa yang memicu serangan itu, bertahun-tahun pengeboman teror dan pembantaian massal, pencurian tanah, provokasi di Tempat Suci, perluasan pemukiman, kondisi apartheid dan banyak lagi, juga membantu menjelaskan mengapa orang-orang bersenjata Palestina mampu melakukan apa yang mereka lakukan hari itu. 

‘Titik Balik Perjuangan Kita’ – Kelompok Perlawanan Memperingati Satu Tahun 7 Oktober 


Ketika Anda juga memahami keberhasilan militer, Anda akan menyadari mengapa serangan itu juga dirayakan secara luas di kalangan warga Palestina. Tentu saja ada sesuatu yang bisa dikatakan tentang kekuatan dalam gambar-gambar warga Palestina yang menarik tentara Israel yang berlumuran darah keluar dari tank mereka, sambil menerobos tembok pemisah yang ilegal. 

Ketika orang-orang melihat video dan foto-foto itu, mereka sempat percaya bahwa kebebasan mungkin bisa diraih, bahwa perjuangan militer dapat memberi mereka hak untuk kembali ke tanah yang dirampas Israel pada tahun 1948. Mereka tidak merayakan kemenangan karena mereka "biadab", mereka justru bersorak mendukung sekelompok pejuang yang berhasil keluar dari kamp konsentrasi dan melancarkan serangan terhadap penjajah.

Dalam pidato Majelis Umum PBB baru-baru ini, Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa 90% warga Palestina di seluruh wilayah pendudukan merayakan serangan 7 Oktober 2023 sebagai pembenaran kebijakan penindasan Israel terhadap mereka. Untuk membuat audiens Barat setuju dengannya bahwa warga Palestina adalah binatang buas yang pantas menderita dan berada di bawah kekuasaan mereka, ia ingin Anda mempercayai kebohongannya, tidak hanya tentang 7 Oktober, tetapi juga tentang mengapa serangan itu terjadi.

Bahkan jika Anda mempercayai semua kebohongan Israel tentang hal itu, ketika orang bertanya "bagaimana dengan 7 Oktober" hari ini, tanggapan yang sah hanyalah menjawab dengan mengatakan "tepatnya, bagaimana dengan 7 Oktober?". 

Sekalipun Hamas bertanggung jawab atas setiap kematian warga sipil, Arahan Hannibal tidak pernah diberlakukan, 40 bayi dipenggal, dan terjadi kampanye pemerkosaan massal, bagaimana mungkin kebrutalan seperti itu membenarkan genosida selama dua tahun? Bagaimana itu membenarkan kelaparan yang dialami penduduk Gaza? Bagaimana itu membenarkan perampasan tanah dan pembantaian warga sipil di Tepi Barat? Tidak ada alasan untuk genosida.

Satu-satunya alasan seseorang mengangkat isu 7 Oktober sebagai alat untuk membela tindakan Israel adalah karena mereka rasis dan percaya bahwa nyawa orang Yahudi Israel jauh lebih berharga daripada nyawa orang Palestina. Peristiwa itu terjadi dua tahun lalu. Setiap hari sejak saat itu, Israel telah membantai warga sipil di Gaza, dan saat ini, Hamas telah membunuh lebih banyak tentara Israel daripada warga sipil.

(The Palestine Chronicle)


– Robert Inlakesh adalah seorang jurnalis, penulis, dan pembuat film dokumenter. Ia berfokus pada Timur Tengah, khususnya Palestina. Ia berkontribusi pada artikel ini di The Palestine Chronicle.

Paradoks Palestina: Dari Perang Salib hingga Pasca Genosida, Antara Eropa dan Penguasa Arab Sejarah Palestina adalah cermin perg...


Paradoks Palestina: Dari Perang Salib hingga Pasca Genosida, Antara Eropa dan Penguasa Arab



Sejarah Palestina adalah cermin pergulatan panjang antara penindasan dan perlawanan, antara kolonialisme dan kemerdekaan. Dalam lebih dari seribu tahun terakhir, tanah ini menjadi pusat perebutan kekuasaan dan makna: dari Perang Salib abad pertengahan hingga genosida modern di Gaza. Namun, paradoks terbesar justru terlihat hari ini: Palestina semakin menang di hati rakyat dunia, tetapi masih terhalang di meja politik internasional. Artikel ini akan menelusuri dinamika tersebut, dari era Perang Salib hingga pasca-genosida, dengan pandangan sejarawan, sosiolog, dan pakar geopolitik.


---

Palestina dalam Bayang-Bayang Perang Salib

Eropa sebagai Penjajah

Ketika Paus Urbanus II menyerukan Perang Salib pertama pada 1095, Eropa bersatu atas nama agama untuk merebut Yerusalem dari tangan Muslim. Narasi yang dipakai kala itu mirip dengan yang terus berulang: bahwa Eropa datang sebagai “pembebas” dan “pelindung”. Perang Salib menjadi simbol kolonialisme dini, di mana agama dijadikan legitimasi penaklukan.

Sejarawan Karen Armstrong menulis bahwa Perang Salib membentuk imajinasi kolektif Barat: Palestina bukan sekadar tanah, tetapi simbol keabadian identitas Kristen Eropa. Narasi ini bertahan hingga era modern dan memengaruhi sikap Eropa terhadap pembentukan Israel.

Dunia Islam dan Dunia Arab

Sementara itu, dunia Islam mengalami kebangkitan solidaritas melawan pasukan Salib. Tokoh seperti Salahuddin al-Ayyubi bukan hanya panglima militer, tetapi juga simbol persatuan. Solidaritas Arab-Muslim kala itu lahir dari perpaduan identitas agama dan kesadaran geopolitik: mempertahankan jantung dunia Islam dari penjajahan asing.


---

Dari Kolonialisme Modern hingga 1948

Mandat Inggris dan Penjajahan Baru

Setelah Perang Dunia I, Palestina jatuh ke tangan Inggris melalui sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa. Inilah fase kolonialisme modern. Inggris menjadi mediator proyek Zionis, sementara rakyat Palestina kehilangan tanahnya secara perlahan. Deklarasi Balfour 1917 memperkuat legitimasi Israel, dan imajinasi Perang Salib kembali hidup dalam bentuk baru: Eropa sebagai penjamin “tanah janji” bagi orang Yahudi.

Dunia Arab dan Palestina

Pada periode ini, masyarakat Arab sudah bangkit dalam gelombang nasionalisme. Mereka mendukung Palestina, tetapi kepentingan negara masing-masing sering memecah. Perpecahan politik Arab membuat proyek Zionis melaju cepat.


---

1948: Nakba dan Awal Paradoks

Pada 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaan, sementara lebih dari 700.000 rakyat Palestina terusir dari tanah mereka. Peristiwa ini disebut Nakba — malapetaka nasional.

Masyarakat Arab: turun ke jalan mendukung Palestina. Solidaritas rakyat menguat, tetapi kekalahan militer negara Arab dalam perang 1948 memperlihatkan lemahnya koordinasi politik.

Masyarakat Eropa: masih larut dalam rasa bersalah Holocaust, sehingga dukungan pada Israel sangat kuat. Pemerintah Eropa menyuplai senjata, sementara suara pro-Palestina dianggap ekstrem.


Sejarawan Rashid Khalidi menilai sejak awal ada jurang antara rakyat dan negara. Rakyat Arab membela Palestina, negara Arab sibuk dengan stabilitas internal. Rakyat Eropa terbelah, tetapi negara Eropa mendukung Israel sepenuhnya.


---

Perang Dingin: Palestina sebagai Simbol Global

Dalam Perang Dingin, Palestina menjadi simbol pertarungan ideologi.

Uni Soviet dan blok Timur mendukung perlawanan Palestina.

AS dan Eropa Barat menjadi sponsor utama Israel.


Namun, paradoks tetap sama: masyarakat dunia bersimpati pada penderitaan Palestina, tetapi politik negara besar menutup ruang kemerdekaan. Demonstrasi mahasiswa, aktivis gereja, dan gerakan kiri di Eropa mulai menyuarakan Palestina, namun tak cukup mengubah kebijakan negara.


---

Intifada dan Perubahan Narasi

Intifada Pertama (1987–1993)

Gambar anak-anak melawan tank dengan batu mengubah persepsi dunia. Solidaritas rakyat Eropa mulai bergeser: Palestina dilihat bukan sekadar isu Arab, tetapi isu kemanusiaan.

Intifada Kedua (2000–2005)

Kekerasan Israel yang masif membuat simpati makin besar. Namun, pasca-9/11, narasi “terorisme” kembali dipakai untuk mendeligitimasi perlawanan Palestina.


---

Genosida Gaza dan Titik Balik Opini Publik

Masyarakat Eropa

Genosida Gaza membuka mata publik Eropa. Ratusan ribu orang turun ke jalan di London, Paris, Berlin, hingga Roma. Media sosial memperlihatkan realitas tanpa sensor.

Sosiolog Manuel Castells menyebut fenomena ini sebagai politik jaringan: solidaritas transnasional lahir dari konektivitas digital, melawan narasi resmi negara.

Negara Eropa

Beberapa negara mulai berubah: Spanyol, Irlandia, Norwegia, dan Slovenia mengakui Palestina. Tekanan publik membuat isu ini tak bisa lagi diabaikan. Namun, ikatan strategis dengan AS tetap menahan mayoritas pemerintah Eropa dari perubahan besar.

Masyarakat Arab

Rakyat Arab makin vokal, protes di Kairo, Rabat, dan Amman menunjukkan bahwa Palestina tetap pusat identitas politik kawasan. Namun, negara Arab cenderung pasif:

Teluk mempertahankan normalisasi demi ekonomi.

Mesir dan Yordania membatasi peran karena takut destabilisasi domestik.


Geopolitikus Abdel Bari Atwan menilai: “Rakyat Arab lebih maju satu langkah daripada pemerintahannya. Jalanan Arab mendukung perlawanan, tapi rezim Arab masih terkunci pada kompromi.”


---

Paradoks Politik: Eropa Bergerak, Arab Membeku

Pasca-genosida, terlihat paradoks yang jelas:

Eropa, yang dahulu benteng narasi pro-Israel, mulai terbelah. Rakyat mendorong pengakuan Palestina, sebagian pemerintah mengikuti.

Arab, yang dulu pusat dukungan resmi, kini stagnan di level negara meski rakyat tetap vokal.


Dengan kata lain, Eropa berubah dari bawah (grassroots ke negara), sementara Arab stagnan di atas (negara tidak mengikuti rakyatnya).


---

Analisis Akademik

Perspektif Sosiologi

Di Eropa, solidaritas Palestina kini berakar pada nilai kemanusiaan universal, bukan lagi pada identitas agama. Di Arab, dukungan rakyat tetap kuat secara emosional, namun oligarki politik membatasi dampaknya.

Perspektif Sejarah

Memori kolektif bergeser. Holocaust yang dulu jadi alasan absolut untuk membenarkan Israel kini tidak lagi menghapus fakta genosida baru terhadap Palestina.

Perspektif Geopolitik

Palestina kini berada di persimpangan:

Eropa mulai sadar, tetapi masih terkunci pada Washington.

Arab tetap terjebak kompromi rezim.

Rakyat global menjadikan Palestina simbol keadilan transnasional.



---

Kesimpulan Reflektif

Sejak Perang Salib hingga genosida modern, Palestina selalu menjadi cermin paradoks global.

Dulu Eropa datang sebagai penjajah, kini rakyat Eropa berdiri membela Palestina.

Dulu Arab bersatu melawan Salib, kini negara-negara Arab lebih sibuk dengan kompromi, sementara rakyat mereka tetap berteriak untuk Palestina.


Paradoks itu dapat diringkas: Palestina semakin menang di hati rakyat dunia, tetapi masih terhalang di meja politik internasional.

Dengan demikian, sejarah Palestina bukan sekadar sejarah sebuah bangsa, tetapi sejarah dunia: bagaimana kekuatan, ideologi, dan moralitas saling bertarung di atas tanah yang kecil namun bermakna besar bagi seluruh umat manusia.

Godfrey de Bouillon Sang Panglima Salib, dan Jejak Belgia dalam Pengakuan Palestina Bayangan Masa Lalu di Baitul Maqdis “Sejarah...


Godfrey de Bouillon Sang Panglima Salib, dan Jejak Belgia dalam Pengakuan Palestina

Bayangan Masa Lalu di Baitul Maqdis

“Sejarah adalah cermin yang retak,” kata seorang sejarawan, “tetapi di dalam retakannya, kita melihat wajah kita sendiri.” Begitulah Palestina: tanah yang tidak pernah sepi dari klaim, darah, dan doa.

Di abad ke-11, tanah itu direbut oleh pasukan Salib Eropa di bawah kepemimpinan Godfrey de Bouillon, seorang bangsawan dari Lorraine yang wilayahnya kini masuk ke Belgia. Bersamanya ada sang adik, Baldwin I, yang kelak menjadi raja Yerusalem pertama. Nama keduanya masih bergema dalam catatan perang dan dalam ingatan sejarah Kristen Eropa.

Namun delapan abad kemudian, negeri kecil yang lahir di jantung Eropa modern itu—Belgia—justru menjadi bagian dari percaturan diplomasi yang berusaha memberi ruang hidup bagi bangsa Palestina. Seolah sejarah bergerak dalam lingkaran: dari penaklukan, menuju penyesalan, hingga pada akhirnya pencarian keadilan.

Al-Qur’an telah mengingatkan:

> “Dan mereka (Bani Israil) berkata: ‘Neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari yang dapat dihitung.’ Katakanlah: ‘Apakah kamu telah menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya? Ataukah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?’”
(QS. Al-Baqarah [2]: 80).



Ayat ini menggema bukan hanya untuk Bani Israil, tetapi juga untuk siapa saja yang merasa memiliki hak kekal atas tanah suci. Sejarah membuktikan, siapa pun yang datang dengan kesombongan kekuasaan, akhirnya akan digulung oleh pergantian zaman.


---

1. Godfrey de Bouillon dan Baldwin I: Jejak Salib dari Tanah Belgia

Ketika Paus Urbanus II pada tahun 1095 menyerukan Perang Salib Pertama, Eropa terpecah antara kerinduan religius, kerakusan politik, dan kebutuhan ekonomi. Dari wilayah Lorraine—yang meliputi sebagian besar Belgia sekarang—lahir seorang tokoh yang kemudian disebut sejarawan sebagai “the most pious crusader”: Godfrey de Bouillon.

Menurut Jonathan Riley-Smith, sejarawan otoritatif Perang Salib, Godfrey dipandang sebagai figur yang menggabungkan kesalehan pribadi dengan ambisi politik. Ia menolak menyebut dirinya raja Yerusalem setelah penaklukan 1099, memilih gelar Advocatus Sancti Sepulchri—“Pelindung Makam Kudus.” Namun, sejarawan lain, seperti Steven Runciman, menilai sikap ini lebih sebagai strategi politik untuk menghindari kecemburuan Paus dan kaisar Eropa.

Sementara itu, adiknya, Baldwin I, berbeda jalan. Setelah Godfrey wafat pada 1100, Baldwin naik takhta sebagai Raja Yerusalem pertama. Ia memperluas kekuasaan Latin di Palestina, mengonsolidasikan kota-kota pesisir, dan menjadikan kerajaan Salib sebagai entitas politik yang kokoh selama beberapa dekade. Runciman menulis:

> “Without Baldwin I, the Kingdom of Jerusalem would have collapsed in its infancy; with him, it gained a spine and a crown.”



Artinya, dari rahim Belgia (dalam arti genealogis-politik), lahir dua figur pendiri kerajaan Kristen Latin di tanah Palestina. Mereka menorehkan jejak yang hingga kini menempel pada identitas Belgia, meski tak selalu disadari oleh warganya.

Namun, sejarah juga mencatat: penaklukan Yerusalem oleh Godfrey dan pasukannya dipenuhi darah. Menurut kronik Fulcher dari Chartres, ribuan Muslim dan Yahudi dibantai. Adegan itu meninggalkan luka sejarah yang dalam, bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi relasi Timur dan Barat.


---

2. Belgia Modern dan Mandat Palestina

Melompat ke abad ke-20, peta dunia berubah. Kesultanan Utsmaniyah runtuh pada 1918. Palestina jatuh ke tangan Inggris melalui Mandat Liga Bangsa-Bangsa. Belgia, meski tidak memegang mandat, ikut serta dalam perundingan-perundingan pasca-Perang Dunia I.

Sebagai negeri kecil dengan koloni besar di Afrika (Kongo, Rwanda, Burundi), Belgia memahami arti strategi kolonial. Ia tidak bisa absen dari pembahasan Timur Tengah, sebab posisi Arab berhubungan dengan jalur perdagangan global.

Di forum internasional, Belgia lebih sering menjadi pendukung suara Eropa kolektif ketimbang pemain independen. Namun sikapnya terhadap Palestina selalu terikat pada dilema moral: antara solidaritas Eropa dengan Israel, dan kesadaran historis bahwa tanah itu pernah direbut bangsawan mereka sendiri dengan pedang Salib.


---

3. Belgia dan PLO: Dari Keraguan ke Pengakuan Diplomatik

Ketika Palestine Liberation Organization (PLO) lahir tahun 1964, Belgia awalnya ragu. AS dan sekutu Eropa Barat menganggap PLO organisasi radikal. Tetapi realitas berubah pasca-Pertempuran Karameh (1968), ketika PLO di bawah Yasser Arafat menunjukkan daya juang.

Pada 1975, PBB mengakui PLO sebagai wakil sah bangsa Palestina. Belgia mengikuti garis Uni Eropa: memberi legitimasi politik, meski belum setingkat negara penuh.

Titik penting datang pada Deklarasi Venesia (1980). Uni Eropa—dengan Belgia sebagai salah satu penandatangan—menegaskan bahwa bangsa Palestina berhak menentukan nasib sendiri, dan PLO harus dilibatkan dalam proses damai.

Sejarawan Eropa mencatat, inilah saat ketika Barat untuk pertama kalinya secara kolektif mengakui Palestina sebagai aktor sah, bukan sekadar pengungsi atau masalah kemanusiaan. Bagi Belgia, ini juga berarti mengambil jarak dari sejarah kelam Perang Salib—dari bangsa yang dulu merebut Yerusalem dengan pedang, kini memberi ruang bagi Palestina di meja diplomasi.


---

4. Belgia dan Pengakuan Palestina: Hati-hati tapi Konsisten

Memasuki abad ke-21, isu pengakuan negara Palestina kembali menguat. Pada 2014, parlemen Belgia mengeluarkan resolusi yang mendesak pemerintah untuk mengakui Palestina sebagai negara. Langkah ini selaras dengan gelombang pengakuan di Eropa—Swedia bahkan sudah melakukannya secara resmi.

Namun pemerintah Belgia memilih berhati-hati. Alasannya jelas: Belgia tidak ingin sendirian, melainkan bergerak bersama Uni Eropa. Meskipun demikian, Belgia tetap konsisten pada solusi dua negara, mengecam perluasan pemukiman ilegal Israel, dan menyalurkan bantuan besar melalui UNRWA.

Kini, di awal 2020-an, Belgia berada di garis depan Eropa dalam mendukung Palestina secara diplomatik dan kemanusiaan, meski belum sampai pada pengakuan unilateral penuh.


---

5. Refleksi Ideologis: Dari Salib ke Solidaritas

Jika ditarik garis panjang:

Abad ke-11: bangsawan Belgia merebut Palestina, membentuk kerajaan Latin di atas darah dan api.

Abad ke-20–21: Belgia menjadi negara kecil yang mendukung hak bangsa Palestina di forum internasional.


Perjalanan ini menunjukkan paradoks sejarah. Belgia yang dulu ikut merampas, kini ikut memperjuangkan pengakuan.

Sejarawan Arab kontemporer, Ilan Pappé, menulis bahwa Eropa “tidak bisa melepaskan diri dari beban sejarahnya di Palestina—mulai dari Perang Salib, kolonialisme, hingga lahirnya Israel.” Belgia termasuk dalam lingkaran ini: ia punya utang moral.

Al-Qur’an mengingatkan dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13:

> “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”



Ayat ini menegaskan: sejarah bukan sekadar perebutan tanah, tetapi ujian moral untuk belajar saling mengenal dan menegakkan keadilan.


---

Epilog: Bayangan Godfrey di Brussels

Bayangkan jika arwah Godfrey de Bouillon berjalan di jalanan Brussels hari ini. Ia mungkin akan terkejut mendengar parlemen Belgia mendesak pengakuan Palestina. Ia yang dulu menumpahkan darah demi menguasai Yerusalem, kini melihat keturunannya menyerukan perdamaian di tanah yang sama.

Sejarah memang tidak berulang persis, tetapi ia sering berirama. Dari pedang ke diplomasi, dari penaklukan ke pengakuan. Dan di tengah semua itu, Palestina tetap menjadi cermin bagi bangsa-bangsa—apakah mereka memilih jalan kesombongan, atau jalan keadilan.

Membuat Perjanjian, Namun Memiliki Kekuatan untuk Menekan, Itukah Strategi Suriah terhadap Israel? Dari Madinah ke New York Di s...


Membuat Perjanjian, Namun Memiliki Kekuatan untuk Menekan, Itukah Strategi Suriah terhadap Israel?

Dari Madinah ke New York

Di sebuah hotel mewah di jantung Manhattan, bendera Suriah berkibar berdampingan dengan bendera Amerika. Kamera wartawan menyorot langkah Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa yang baru saja tiba untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Di sisinya, berdiri Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio. Seakan dunia sedang menyaksikan halaman baru dari sejarah Timur Tengah—halaman yang ditulis dengan tinta diplomasi, tetapi juga dengan bayangan perang yang masih basah.

Sharaa berbicara dengan nada hati-hati, kadang tegas, kadang ragu. Ia menyebut “kedaulatan Suriah” sebagai garis merah, tetapi juga membuka pintu bagi kesepakatan keamanan dengan Israel. Ucapan itu terdengar seperti gema dari lembaran lama sejarah: Rasulullah ï·º di Madinah, duduk bersama para pemuka Yahudi, menandatangani Piagam Madinah. Perjanjian ditulis, pena digores, dan kesepakatan tercatat.

Pertanyaannya kini: apakah strategi Rasulullah ï·º itu bisa menjadi cermin bagi Suriah hari ini?


---

Sejarah Rasulullah ï·º dan Perjanjian dengan Yahudi

Mari kita kembali ke Madinah abad ke-7. Rasulullah ï·º baru saja hijrah dari Mekah, membawa kaum Muhajirin yang terusir dari rumah dan harta. Di Madinah, beliau menemukan kaum Anshar yang setia menyambut. Namun, ada juga komunitas Yahudi—Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzhah—yang telah lama menetap di sana.

Beliau tidak memilih jalan konfrontasi langsung. Rasulullah ï·º menandatangani Piagam Madinah, sebuah dokumen yang disebut oleh sebagian sejarawan sebagai “konstitusi tertulis pertama di dunia.”

Intinya jelas:

Kaum Muslim dan Yahudi hidup berdampingan.

Masing-masing bebas menjalankan agamanya.

Jika Madinah diserang, semua wajib membela bersama.

Tidak boleh ada pengkhianatan atau aliansi sepihak dengan musuh.


Namun, sejarah membuktikan: tidak semua Yahudi menepati perjanjian itu.

Bani Qaynuqa’ mengkhianati kesepakatan dengan melecehkan seorang perempuan Muslimah. Mereka pun diusir dari Madinah.

Bani Nadhir merencanakan pembunuhan Rasulullah ï·º. Mereka pun diusir.

Bani Qurayzhah, dalam Perang Khandaq, bersekutu dengan Quraisy dan berkhianat di saat paling genting. Akhirnya mereka ditumpas habis.


Di sinilah letak strategi Rasulullah ï·º:
Beliau tidak menolak perjanjian. Beliau bahkan memulai dengan diplomasi. Tetapi beliau juga tidak pernah membiarkan perjanjian jadi tameng pengkhianatan. Ada garis batas: hidup bersama boleh, tetapi begitu dikhianati, tindakan tegas diambil.


---

Suriah di Bawah Bayang-Bayang Israel

Kini, mari kita kembali ke abad ke-21. Suriah dan Israel secara formal masih dalam keadaan perang. Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel sejak 1967, masih menjadi luka menganga.

Sharaa berkata di New York:

> “Saya berharap akan tercapai kesepakatan yang menjaga kedaulatan Suriah dan mengatasi kekhawatiran keamanan Israel. Tetapi pertanyaan besarnya: apakah Israel benar-benar peduli pada keamanan, ataukah mereka punya rencana ekspansionis?”



Kata-kata itu ibarat gema dari sejarah panjang pengkhianatan. Suriah tahu, Israel telah menandatangani perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, tetapi berkali-kali melanggarnya lewat invasi militer dan ekspansi pemukiman.

Lebih dari 1.000 kali, pesawat tempur Israel menghujani bom ke tanah Suriah. Infrastruktur militer dihancurkan, bahkan kamp pengungsi tak luput dari serangan. Kini, Suriah mencoba jalur baru: meja perundingan. Tetapi bisakah perjanjian dengan Israel dipandang sebagai jalan keluar, atau justru jebakan?


---

Membaca Strategi — Antara Sirah dan Realpolitik

Mari kita bayangkan: jika Rasulullah ï·º berada di meja itu, apa yang akan beliau lakukan?

Pertama, beliau akan menandatangani perjanjian jika itu bisa memberi ruang bernapas bagi umat. Piagam Madinah adalah contohnya. Bagi Rasulullah ï·º, diplomasi bukan tanda kelemahan, tetapi strategi untuk mengatur tempo perlawanan.

Kedua, beliau tidak akan menyerahkan kedaulatan. Perjanjian boleh dibuat, tetapi garis merah tetap jelas: tidak ada kompromi pada wilayah kaum Muslimin. Ketika Yahudi berkhianat, Rasulullah ï·º tidak segan mengambil langkah keras.

Ketiga, beliau selalu memadukan diplomasi dengan kekuatan real. Piagam Madinah berhasil bukan hanya karena ada tinta di atas kertas, tetapi karena Rasulullah ï·º memiliki kekuatan militer dan persatuan umat yang bisa menekan pihak Yahudi untuk menghormati perjanjian.


Pertanyaan reflektif untuk Suriah kini: apakah Suriah memiliki daya tekan yang cukup untuk menegakkan perjanjian dengan Israel? Tanpa kekuatan, perjanjian hanya akan jadi selembar kertas kosong.


---

Suriah Pasca-Assad — Harapan atau Jebakan?

Sharaa adalah wajah baru Suriah. Ia lahir dari medan perang, mantan komandan jihad yang menggulingkan Bashar al-Assad. Kini ia berdiri di panggung dunia, berbicara dengan bahasa diplomasi. Dunia menyambutnya dengan tepuk tangan.

Tetapi Israel tidak hanya menunggu perjanjian. Israel melihat kesempatan. Dengan Hizbullah dilemahkan, dengan Iran terusir dari Suriah, Israel kini ingin memastikan Suriah tidak lagi jadi ancaman.

Dalam hal ini, Suriah berada di persimpangan:

Jika ia menandatangani perjanjian tanpa kekuatan, ia akan bernasib seperti Bani Qaynuqa’ dan Nadhir—dijebak, lalu disingkirkan.

Jika ia membangun kekuatan sambil berdiplomasi, ia mungkin bisa meniru strategi Rasulullah ï·º: menggunakan perjanjian sebagai batu loncatan, bukan akhir perjalanan.



---

Diplomasi yang Dibalut Luka Gaza

Sharaa tidak lupa menyebut Gaza. Ia berkata:

> “Ada kemarahan besar atas apa yang terjadi di Gaza, bukan hanya di Suriah, tetapi di seluruh dunia. Dan tentu saja, ini berdampak pada posisi kami terhadap Israel.”



Inilah paradoks diplomasi Arab modern: di satu sisi, ada dorongan untuk menandatangani perjanjian demi stabilitas. Di sisi lain, ada luka Palestina yang terus berdarah, yang membuat setiap perjanjian dengan Israel terasa seperti pengkhianatan.

Sejarah Rasulullah ï·º memberi jawaban: diplomasi tidak harus berarti menyerah. Diplomasi bisa menjadi strategi, asal ada kekuatan untuk menekan.


---

Pertanyaan Ideologis

Kini, mari kita bertanya lebih jauh:

Apakah Suriah akan menandatangani perjanjian seperti Piagam Madinah?

Apakah Suriah siap mengambil tindakan tegas jika Israel melanggar?

Apakah Suriah punya kekuatan militer, politik, dan moral untuk menekan Israel?


Rasulullah ï·º mengajarkan: perjanjian bukan tujuan, perjanjian hanyalah sarana. Tujuan sejati adalah menjaga kehormatan, kedaulatan, dan kejayaan umat.

Jika Suriah hanya mengejar stabilitas jangka pendek, perjanjian itu akan rapuh. Tetapi jika ia membangun strategi jangka panjang—memperkuat rakyatnya, menghidupkan kembali perlawanan, dan menyiapkan diri menghadapi pengkhianatan—maka perjanjian itu bisa menjadi jalan menuju kekuatan baru.


---

Dialog Imajinatif

Mari kita dengarkan seolah ada percakapan lintas zaman.

Sharaa berkata di New York:
“Kami ingin kesepakatan yang menjamin kedaulatan Suriah dan mengatasi kekhawatiran Israel.”

Seakan Rasulullah ï·º menjawab dari Madinah:
“Kesepakatan itu baik. Tetapi ingatlah, wahai Sharaa, bahwa Yahudi di Madinah pun pernah berjanji, lalu berkhianat. Janganlah engkau tertipu oleh manisnya kata-kata, jika engkau tidak punya kekuatan untuk menegakkan keadilan.”

Sharaa terdiam. Sorotan lampu konferensi menyorot wajahnya. Apakah ia mendengar gema sejarah itu?


---

Epilog: Jalan di Persimpangan

Sejarah memberi pelajaran, tetapi politik hari ini menuntut keputusan. Suriah kini berada di titik krusial. Perjanjian dengan Israel bisa berarti stabilitas, tetapi juga bisa menjadi jerat.

Rasulullah ï·º telah menunjukkan strategi: berdamai ketika perlu, bertindak tegas ketika dikhianati, dan selalu memastikan bahwa diplomasi tidak pernah berdiri sendirian tanpa kekuatan.

Maka, pertanyaan bagi kita hari ini:
Apakah Suriah akan memilih jalan Rasulullah ï·º—menjadikan perjanjian sebagai strategi dengan kekuatan menekan—atau jalan raja-raja Arab sebelumnya yang menandatangani perjanjian tanpa daya, hanya untuk akhirnya dipermainkan Israel?

Sejarah akan mencatat jawabannya.

Cermin Sejarah dan Wahyu: Pandangan Dunia dan Al-Qur’an tentang Yahudi “Mengapa, ya, Al-Qur’an begitu sering berbicara tentang Y...


Cermin Sejarah dan Wahyu: Pandangan Dunia dan Al-Qur’an tentang Yahudi

“Mengapa, ya, Al-Qur’an begitu sering berbicara tentang Yahudi?”

Pertanyaan itu pernah saya lontarkan dalam hati ketika membaca mushaf. Hampir di setiap surat besar, kisah mereka hadir. Kadang sebagai pengingat, kadang sebagai peringatan. Seolah-olah Allah ingin kita bercermin lewat perjalanan mereka: bangsa yang diberi amanah, lalu jatuh karena kesombongan.

Ketika saya membuka buku-buku sejarah, herannya: catatan dunia pun menunjukkan hal serupa. Yahudi berulang kali naik ke puncak, lalu jatuh terhempas. Mereka pernah berjaya, tapi tak pernah utuh. Mereka kuat dalam ilmu dan harta, tapi rapuh dalam keimanan dan persatuan.

Maka tibalah pada simpul: pandangan Al-Qur’an terhadap Yahudi dan kesimpulan sejarah dunia tentang mereka, pada dasarnya sama.


---

1. Bani Israil: Bangsa yang Diangkat

Al-Qur’an menuturkan awal perjalanan mereka dengan agung:

> “Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepada kalian, dan bahwa Aku telah melebihkan kalian atas semua umat di dunia.” (QS. Al-Baqarah: 47).



Mereka adalah bangsa para nabi: Musa, Dawud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, Isa. Mereka pernah menjadi mercusuar ilmu dan syariat. Allah belah laut untuk mereka, turunkan manna dan salwa, berikan kerajaan yang besar.

Sejarah pun mengakui itu. Kerajaan Dawud dan Sulaiman di Yerusalem menjadi salah satu peradaban penting dunia kuno. Taurat menjadi pegangan, dan kota suci menjadi pusat ziarah.

Awal itu indah. Mereka benar-benar menjadi umat pilihan.


---

2. Dari Cahaya Menuju Kelam

Namun nikmat itu tak dijaga. Al-Qur’an mencatat dengan getir:

> “Maka mereka menimpakan kemurkaan dari Allah, dan kehinaan menutupi mereka. Yang demikian itu karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak.” (QS. Al-Baqarah: 61).



Mereka menolak kebenaran, bahkan kepada nabi sendiri. Kitab diselewengkan, hukum Allah diganti tafsir hawa nafsu.

Sejarah mencatat berulang kali kehancuran:

Ditawan Babilonia, Baitul Maqdis dihancurkan.

Ditaklukkan Romawi, tercerai berai ke seluruh dunia.

Pada Abad Pertengahan, mereka tersebar di Eropa, sering diusir dari Spanyol, Prancis, Jerman, Inggris.


Ironi itu melahirkan luka panjang. Dari luka itulah lahir ide Zionisme modern, sebuah gerakan sekuler yang ingin kembali ke Palestina, bukan untuk tunduk kepada Allah, tapi untuk membangun negara etnis.


---

3. Inggris: Dari Janji ke Pengkhianatan

Kisah modern Yahudi tak bisa lepas dari Inggris.

Di abad ke-17, aliran Puritan di Inggris membaca Kitab Suci secara literal. Mereka percaya, kembalinya Yahudi ke Tanah Suci akan mempercepat kedatangan Yesus kedua. Maka sejak awal, sebagian elit Inggris mendorong “pengembalian” Yahudi ke Palestina.

Puncaknya terjadi pada 1917: Deklarasi Balfour. Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, berjanji mendukung berdirinya “rumah nasional Yahudi” di Palestina. Padahal sebelumnya Inggris berjanji kepada bangsa Arab memberi kemerdekaan bila membantu melawan Turki Utsmani.

Janji itu dikhianati. Palestina yang mayoritas Muslim diserahkan untuk kolonisasi. Migrasi Yahudi besar-besaran dimulai, dan benturan dengan rakyat Arab pun tak terhindarkan.

Dari situlah awal luka Palestina bermula.


---

4. Negara Israel dan Luka Panjang Palestina

Setelah Perang Dunia II dan tragedi Holocaust, dukungan Barat pada Zionisme makin kuat. Pada 1948, Israel berdiri dengan restu PBB, didukung Inggris dan Amerika.

Sejak itu, perang demi perang terjadi: 1948, 1967, 1973. Israel menang secara militer, tapi kemenangan itu melahirkan kebencian abadi. Jutaan rakyat Palestina terusir, hidup di kamp-kamp pengungsian, atau terkepung di Gaza dan Tepi Barat.

Israel terus menindas:

Permukiman ilegal dibangun.

Gaza diblokade total.

Ribuan warga sipil, termasuk anak-anak, menjadi korban serangan.


Semuanya dilakukan dengan legitimasi politik Zionis sayap kanan, yang makin ekstrem dan rasis.


---

5. Eropa dan Rasa Bersalah

Sejarah berputar. Negara-negara Eropa yang dulu menjadi panggung penderitaan Yahudi—dari pengusiran di Spanyol hingga Holocaust di Jerman—sekarang menyaksikan lahirnya Israel di atas penderitaan Palestina.

Awalnya, Eropa mendukung Israel dengan penuh semangat, seolah menebus dosa mereka kepada Yahudi. Tapi setelah melihat kebrutalan Zionisme, mereka mulai bergeser.

Kini, banyak negara Eropa mengakui Palestina: Spanyol, Norwegia, Irlandia, Slovenia, Islandia, dan bahkan Inggris. Pengakuan itu bukan sekadar sikap politik, melainkan refleksi sejarah: mereka sadar, proyek kolonial yang dulu mereka lahirkan telah berubah menjadi mesin penindasan.


---

6. Pandangan Al-Qur’an: Terhina, Tercerai, dan Terikat

Al-Qur’an menegaskan:

> “Mereka ditimpakan kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali bila mereka berpegang pada tali Allah dan tali manusia. Mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah, dan ditimpakan kepada mereka kehinaan.” (QS. Ali Imran: 112).



Inilah hukum sejarah. Mereka bisa menang sesaat, tapi hidup dalam kegelisahan. Mereka bisa berkuasa, tapi selalu dikepung.

Dan Israel hari ini adalah cerminnya. Negara itu punya senjata nuklir, teknologi tinggi, ekonomi kuat. Tapi warganya hidup dalam ketakutan. Sirene roket, trauma perang, perpecahan internal, ancaman demografi, semuanya menghantui.

Kekuatan itu nyata, tapi rapuh.


---

7. Sejarah Dunia dan Wahyu: Dua Jalan, Satu Simpul

Kalau kita tarik garis:

Sejarah dunia mencatat Yahudi sebagai bangsa yang selalu naik-turun: unggul dalam ilmu dan ekonomi, tapi jatuh karena manipulasi, eksklusivitas, dan konflik.

Al-Qur’an jauh-jauh hari sudah menuturkan: diberi nikmat, tapi mengingkarinya; diberi nabi, tapi menolaknya; akhirnya hidup dalam kehinaan.


Dan kini, Inggris yang dulu melahirkan Israel justru mengakui Palestina. Seolah sejarah ingin berkata: Janji palsu harus ditebus.

Dua jalan berbeda—sejarah manusia dan wahyu Allah—tapi bertemu pada simpul yang sama.


---

8. Refleksi: Cermin untuk Kita

Namun pertanyaan besar muncul: apakah kisah Yahudi hanya tentang mereka?

Al-Qur’an tidak menceritakan sia-sia. Kisah itu untuk kita bercermin. Bukankah umat Islam juga pernah melalui hal serupa?

Kita pernah jaya dengan ilmu, lalu lalai.

Kita pernah bersatu, lalu pecah karena ego.

Kita diberi amanah besar, tapi sering tergoda dunia.


Apakah kita akan mengulang nasib Yahudi—mulia di awal, hina di akhir?

Atau kita belajar, lalu bangkit kembali?


---

9. Epilog: Dua Cermin yang Sama

Saya menutup mushaf dan buku sejarah. Keduanya seperti dua cermin yang berhadapan.

Al-Qur’an menuturkan kisah Yahudi dengan cahaya wahyu. Sejarah menuliskannya dengan tinta peristiwa.

Bayangan yang terlihat sama:

Mereka mulia di awal, hancur di akhir.

Mereka unggul sesaat, rapuh selamanya.

Mereka ditinggikan, tapi menolak kebenaran, lalu dijatuhkan.


Dan kini, Eropa—terutama Inggris—dipaksa sejarah untuk menatap cermin itu juga, dengan mengakui Palestina sebagai bentuk penebusan dosa.

Maka jelaslah: pandangan Al-Qur’an dan kesimpulan sejarah dunia tentang Yahudi sejatinya sama.

Dan peringatan itu bukan untuk mereka saja. Itu untuk kita semua. Karena siapa pun yang berjalan di jalan kesombongan dan penolakan kebenaran, akan berakhir sama. Yahudi hanyalah contoh. Dunia adalah panggung. Dan manusia—termasuk kita—sedang memainkan lakon yang sama.

Membuat Perjanjian, Namun Memiliki Kekuatan untuk Menekan, Itukah Strategi Suriah terhadap Israel? Dari Madinah ke New York Di s...


Membuat Perjanjian, Namun Memiliki Kekuatan untuk Menekan, Itukah Strategi Suriah terhadap Israel?

Dari Madinah ke New York

Di sebuah hotel mewah di jantung Manhattan, bendera Suriah berkibar berdampingan dengan bendera Amerika. Kamera wartawan menyorot langkah Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa yang baru saja tiba untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Di sisinya, berdiri Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio. Seakan dunia sedang menyaksikan halaman baru dari sejarah Timur Tengah—halaman yang ditulis dengan tinta diplomasi, tetapi juga dengan bayangan perang yang masih basah.

Sharaa berbicara dengan nada hati-hati, kadang tegas, kadang ragu. Ia menyebut “kedaulatan Suriah” sebagai garis merah, tetapi juga membuka pintu bagi kesepakatan keamanan dengan Israel. Ucapan itu terdengar seperti gema dari lembaran lama sejarah: Rasulullah ï·º di Madinah, duduk bersama para pemuka Yahudi, menandatangani Piagam Madinah. Perjanjian ditulis, pena digores, dan kesepakatan tercatat.

Pertanyaannya kini: apakah strategi Rasulullah ï·º itu bisa menjadi cermin bagi Suriah hari ini?


---

Sejarah Rasulullah ï·º dan Perjanjian dengan Yahudi

Mari kita kembali ke Madinah abad ke-7. Rasulullah ï·º baru saja hijrah dari Mekah, membawa kaum Muhajirin yang terusir dari rumah dan harta. Di Madinah, beliau menemukan kaum Anshar yang setia menyambut. Namun, ada juga komunitas Yahudi—Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzhah—yang telah lama menetap di sana.

Beliau tidak memilih jalan konfrontasi langsung. Rasulullah ï·º menandatangani Piagam Madinah, sebuah dokumen yang disebut oleh sebagian sejarawan sebagai “konstitusi tertulis pertama di dunia.”

Intinya jelas:

Kaum Muslim dan Yahudi hidup berdampingan.

Masing-masing bebas menjalankan agamanya.

Jika Madinah diserang, semua wajib membela bersama.

Tidak boleh ada pengkhianatan atau aliansi sepihak dengan musuh.


Namun, sejarah membuktikan: tidak semua Yahudi menepati perjanjian itu.

Bani Qaynuqa’ mengkhianati kesepakatan dengan melecehkan seorang perempuan Muslimah. Mereka pun diusir dari Madinah.

Bani Nadhir merencanakan pembunuhan Rasulullah ï·º. Mereka pun diusir.

Bani Qurayzhah, dalam Perang Khandaq, bersekutu dengan Quraisy dan berkhianat di saat paling genting. Akhirnya mereka ditumpas habis.


Di sinilah letak strategi Rasulullah ï·º:
Beliau tidak menolak perjanjian. Beliau bahkan memulai dengan diplomasi. Tetapi beliau juga tidak pernah membiarkan perjanjian jadi tameng pengkhianatan. Ada garis batas: hidup bersama boleh, tetapi begitu dikhianati, tindakan tegas diambil.


---

Suriah di Bawah Bayang-Bayang Israel

Kini, mari kita kembali ke abad ke-21. Suriah dan Israel secara formal masih dalam keadaan perang. Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel sejak 1967, masih menjadi luka menganga.

Sharaa berkata di New York:

> “Saya berharap akan tercapai kesepakatan yang menjaga kedaulatan Suriah dan mengatasi kekhawatiran keamanan Israel. Tetapi pertanyaan besarnya: apakah Israel benar-benar peduli pada keamanan, ataukah mereka punya rencana ekspansionis?”



Kata-kata itu ibarat gema dari sejarah panjang pengkhianatan. Suriah tahu, Israel telah menandatangani perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, tetapi berkali-kali melanggarnya lewat invasi militer dan ekspansi pemukiman.

Lebih dari 1.000 kali, pesawat tempur Israel menghujani bom ke tanah Suriah. Infrastruktur militer dihancurkan, bahkan kamp pengungsi tak luput dari serangan. Kini, Suriah mencoba jalur baru: meja perundingan. Tetapi bisakah perjanjian dengan Israel dipandang sebagai jalan keluar, atau justru jebakan?


---

Membaca Strategi — Antara Sirah dan Realpolitik

Mari kita bayangkan: jika Rasulullah ï·º berada di meja itu, apa yang akan beliau lakukan?

Pertama, beliau akan menandatangani perjanjian jika itu bisa memberi ruang bernapas bagi umat. Piagam Madinah adalah contohnya. Bagi Rasulullah ï·º, diplomasi bukan tanda kelemahan, tetapi strategi untuk mengatur tempo perlawanan.

Kedua, beliau tidak akan menyerahkan kedaulatan. Perjanjian boleh dibuat, tetapi garis merah tetap jelas: tidak ada kompromi pada wilayah kaum Muslimin. Ketika Yahudi berkhianat, Rasulullah ï·º tidak segan mengambil langkah keras.

Ketiga, beliau selalu memadukan diplomasi dengan kekuatan real. Piagam Madinah berhasil bukan hanya karena ada tinta di atas kertas, tetapi karena Rasulullah ï·º memiliki kekuatan militer dan persatuan umat yang bisa menekan pihak Yahudi untuk menghormati perjanjian.


Pertanyaan reflektif untuk Suriah kini: apakah Suriah memiliki daya tekan yang cukup untuk menegakkan perjanjian dengan Israel? Tanpa kekuatan, perjanjian hanya akan jadi selembar kertas kosong.


---

Suriah Pasca-Assad — Harapan atau Jebakan?

Sharaa adalah wajah baru Suriah. Ia lahir dari medan perang, mantan komandan jihad yang menggulingkan Bashar al-Assad. Kini ia berdiri di panggung dunia, berbicara dengan bahasa diplomasi. Dunia menyambutnya dengan tepuk tangan.

Tetapi Israel tidak hanya menunggu perjanjian. Israel melihat kesempatan. Dengan Hizbullah dilemahkan, dengan Iran terusir dari Suriah, Israel kini ingin memastikan Suriah tidak lagi jadi ancaman.

Dalam hal ini, Suriah berada di persimpangan:

Jika ia menandatangani perjanjian tanpa kekuatan, ia akan bernasib seperti Bani Qaynuqa’ dan Nadhir—dijebak, lalu disingkirkan.

Jika ia membangun kekuatan sambil berdiplomasi, ia mungkin bisa meniru strategi Rasulullah ï·º: menggunakan perjanjian sebagai batu loncatan, bukan akhir perjalanan.



---

Diplomasi yang Dibalut Luka Gaza

Sharaa tidak lupa menyebut Gaza. Ia berkata:

> “Ada kemarahan besar atas apa yang terjadi di Gaza, bukan hanya di Suriah, tetapi di seluruh dunia. Dan tentu saja, ini berdampak pada posisi kami terhadap Israel.”



Inilah paradoks diplomasi Arab modern: di satu sisi, ada dorongan untuk menandatangani perjanjian demi stabilitas. Di sisi lain, ada luka Palestina yang terus berdarah, yang membuat setiap perjanjian dengan Israel terasa seperti pengkhianatan.

Sejarah Rasulullah ï·º memberi jawaban: diplomasi tidak harus berarti menyerah. Diplomasi bisa menjadi strategi, asal ada kekuatan untuk menekan.


---

Pertanyaan Ideologis

Kini, mari kita bertanya lebih jauh:

Apakah Suriah akan menandatangani perjanjian seperti Piagam Madinah?

Apakah Suriah siap mengambil tindakan tegas jika Israel melanggar?

Apakah Suriah punya kekuatan militer, politik, dan moral untuk menekan Israel?


Rasulullah ï·º mengajarkan: perjanjian bukan tujuan, perjanjian hanyalah sarana. Tujuan sejati adalah menjaga kehormatan, kedaulatan, dan kejayaan umat.

Jika Suriah hanya mengejar stabilitas jangka pendek, perjanjian itu akan rapuh. Tetapi jika ia membangun strategi jangka panjang—memperkuat rakyatnya, menghidupkan kembali perlawanan, dan menyiapkan diri menghadapi pengkhianatan—maka perjanjian itu bisa menjadi jalan menuju kekuatan baru.


---

Dialog Imajinatif

Mari kita dengarkan seolah ada percakapan lintas zaman.

Sharaa berkata di New York:
“Kami ingin kesepakatan yang menjamin kedaulatan Suriah dan mengatasi kekhawatiran Israel.”

Seakan Rasulullah ï·º menjawab dari Madinah:
“Kesepakatan itu baik. Tetapi ingatlah, wahai Sharaa, bahwa Yahudi di Madinah pun pernah berjanji, lalu berkhianat. Janganlah engkau tertipu oleh manisnya kata-kata, jika engkau tidak punya kekuatan untuk menegakkan keadilan.”

Sharaa terdiam. Sorotan lampu konferensi menyorot wajahnya. Apakah ia mendengar gema sejarah itu?


---

Epilog: Jalan di Persimpangan

Sejarah memberi pelajaran, tetapi politik hari ini menuntut keputusan. Suriah kini berada di titik krusial. Perjanjian dengan Israel bisa berarti stabilitas, tetapi juga bisa menjadi jerat.

Rasulullah ï·º telah menunjukkan strategi: berdamai ketika perlu, bertindak tegas ketika dikhianati, dan selalu memastikan bahwa diplomasi tidak pernah berdiri sendirian tanpa kekuatan.

Maka, pertanyaan bagi kita hari ini:
Apakah Suriah akan memilih jalan Rasulullah ï·º—menjadikan perjanjian sebagai strategi dengan kekuatan menekan—atau jalan raja-raja Arab sebelumnya yang menandatangani perjanjian tanpa daya, hanya untuk akhirnya dipermainkan Israel?

Sejarah akan mencatat jawabannya.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (239) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)