Kisah, Jalan Cahaya dalam Al-Qur’an
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di balik setiap lembaran Al-Qur’an, mengalir sebuah sungai cahaya yang tak pernah kering—kisah demi kisah mengalun dalam irama yang tenang namun kuat. Ia bukan sekadar cerita untuk hiburan. Bukan pula dongeng masa lalu yang terlepas dari kenyataan. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah cermin abadi jiwa manusia dan langit tempat ruh mencari arah.
Kisah-kisah itu tidak datang sembarangan. Ia turun dengan irama langit, menyatu dengan suasana batin tempat ia diturunkan. Sebagaimana hujan tak turun di musim yang salah, demikian pula kisah-kisah Al-Qur’an—muncul pada waktu dan tempat yang paling tepat. Mereka hadir bukan sekadar untuk diceritakan, tapi untuk menghidupkan kembali hati yang kering, membangkitkan jiwa yang redup, dan mengarahkan langkah kaki di jalan yang sering kabur karena debu dunia.
Allah tidak hanya menuturkan sejarah. Ia menyulamnya dengan warna-warna rasa, menghadirkannya dalam bingkai situasi, dan menyisipkan di dalamnya denyut nilai yang hidup. Ia tidak menumpahkan kisah begitu saja. Ia membatasi, membingkai, dan menorehkannya dengan metode penyampaian yang menggetarkan, agar tepat mengenai sasaran: hati manusia. Sebab hati bukan wadah yang bisa diisi dengan keramaian kata, tetapi ladang yang harus digarap dengan rasa dan hikmah.
Setiap kisah dalam Al-Qur’an adalah semacam jendela yang terbuka—dan dari jendela itu, manusia dapat mengintip cahaya Allah yang menyelinap masuk ke dalam waktu. Dalam jendela itu pula, kita bisa melihat bagaimana langit bekerja di tengah kehampaan bumi. Bagaimana seorang nabi berjalan sendirian menembus kepekatan penolakan, bagaimana umat-umat masa lalu ditimpa angin azab setelah menolak suara kebenaran, dan bagaimana segelintir jiwa yang lembut diselamatkan oleh iman yang tak kasat mata.
Namun, banyak yang keliru. Mereka menyangka bahwa kisah dalam Al-Qur’an itu diulang-ulang. Mereka melihat pengulangan tanpa memerhatikan nada. Mereka mendengar cerita yang sama, tapi tak menangkap bisikan makna yang baru. Padahal, siapa yang mau menundukkan diri dan memperhatikan dengan lembut, akan mendapati: tak ada satu pun kisah yang benar-benar sama dalam Al-Qur’an. Setiap pengulangan adalah penekanan. Setiap pengulangan membawa nuansa baru, sudut pandang baru, dan getaran rasa yang berbeda.
Seperti laut yang sama namun ombaknya tak pernah serupa, begitu pula kisah dalam Al-Qur’an. Musa dan Fir‘aun bisa hadir di banyak surat, tapi setiap kehadirannya punya beban emosi yang lain. Di satu tempat, ditekankan keberanian Musa; di tempat lain, ditekankan kelicikan Fir‘aun; di tempat lain lagi, ditekankan kelembutan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang tertindas. Setiap kemunculan adalah cermin baru untuk jiwa yang terus berubah.
Ada pula yang terpeleset dan mengira bahwa kisah-kisah itu hanya bunga bahasa. Hiasan sastra. Seolah-olah Al-Qur’an hanya ingin memperindah diri agar terdengar agung. Mereka tidak mengerti, bahwa sesungguhnya yang membuat kisah itu indah adalah karena ia benar. Karena ia berasal dari langit, maka ia menembus semua ruang batin manusia yang mendengarnya dengan jujur. Kebenaranlah yang menjadikannya indah—bukan gaya bahasa yang palsu atau retorika yang dipaksakan.
Al-Qur’an adalah kitab hidup. Ia bukan buku sejarah yang membekukan masa lalu, bukan pula karya sastra yang menyenandungkan mimpi. Ia adalah kitab dakwah. Ia adalah sistem kehidupan, cahaya untuk menata dunia dan akhirat. Dan dalam konteks itulah kisah-kisah dihadirkan: bukan untuk menghibur mata, melainkan untuk menyadarkan hati.
Ketika sebuah kisah diletakkan di satu surat, ia tidak hanya dihadirkan untuk bercerita, tapi untuk mendukung tema besar yang sedang diturunkan dalam surat itu. Kisah Yusuf, misalnya, bukan sekadar tentang cinta, penjara, dan mimpi—tetapi tentang kesabaran, keteguhan, dan bagaimana Allah menata jalan hidup seorang hamba yang difitnah dan dibuang. Maka tidak heran jika surat Yusuf turun pada saat Nabi Muhammad ï·º sedang dililit kepedihan—agar beliau melihat cermin ketabahan yang lain, dan meneguhkan jalannya.
Begitu pula kisah Nuh, Ibrahim, Luth, Hud, dan Saleh—bukan semata tentang nabi dan kaumnya, tetapi tentang pesan iman yang ditolak, tentang kesombongan yang dibalas azab, tentang ujian yang melahirkan keselamatan, dan tentang kemurnian tauhid yang tak bisa dikompromikan. Semua itu adalah nafas panjang dakwah yang terus mengalir dari generasi ke generasi.
Kisah para nabi adalah parade cahaya. Mereka adalah manusia, tetapi langkah-langkah mereka dituntun oleh langit. Mereka dicintai Allah, bukan karena mereka suci sejak lahir, tetapi karena mereka terus memilih jalan suci dalam kelelahan dan ketegangan. Setiap episode kisah mereka di Al-Qur’an adalah percikan iman—dan barangsiapa menelusurinya, maka hatinya akan tercerahkan. Ia akan merasakan ketenangan yang halus, kebeningan yang dalam, dan perasaan akan keindahan iman yang tak bisa dilukiskan oleh kata.
Sebab kisah itu bukan tentang luar. Ia tentang dalam. Ia tidak hanya menyuguhkan kejadian, tetapi mengaduk-aduk perasaan. Ia menyentuh sesuatu yang tak terlihat, namun terasa. Seperti bisikan angin di malam sunyi, ia menenangkan jiwa yang gelisah, dan menyentuh luka batin yang tak pernah disembuhkan oleh dunia.
Kisah Al-Qur’an juga membentuk pola pikir. Ia tidak sekadar membentuk opini atau sikap. Ia membentuk rasa. Membentuk kepekaan. Ia mendidik manusia untuk melihat dunia dengan pandangan iman—bukan hanya logika, bukan hanya perhitungan, tapi dengan pandangan yang lebih tinggi: pandangan tauhid.
Dengan kisah-kisah itu, Al-Qur’an menunjukkan bahwa kebenaran tidak selalu menang dalam waktu dekat, bahwa nabi-nabi bisa saja terusir, dihina, bahkan dibunuh. Tapi kemenangan itu bukan soal cepat atau lambat. Ia soal akhir. Soal kemurnian hati. Soal kesetiaan kepada Allah. Karena itu, orang yang mencintai kisah dalam Al-Qur’an, sebenarnya sedang mencintai jalan iman yang panjang. Jalan yang sepi. Jalan yang penuh luka. Tapi jalan yang menyambung ke langit.
Dan itu pulalah yang membedakan kisah Al-Qur’an dengan kisah lain di dunia ini. Ia tidak berhenti pada cerita. Ia menuntut pertobatan. Ia mengundang perubahan. Ia adalah dakwah dalam bentuk narasi. Ia adalah jalan langit yang turun dalam bentuk kata.
Ketika kita membaca Al-Qur’an, sebenarnya kita sedang diajak untuk melihat sejarah dengan mata langit. Melihat dunia bukan dari apa yang tampak, tapi dari apa yang dijanjikan. Melihat hidup bukan dari ujian, tapi dari keberhasilan menempuhnya. Dan semua itu terangkum dalam kisah yang mengalir tenang di balik ayat-ayat-Nya.
Di situlah letak kekuatan kisah Qur’an: ia mendekapmu. Ia bukan hanya mengajarimu kebenaran, tapi menuntunmu mencintainya. Ia bukan hanya mengisahkan luka, tapi menyembuhkannya dengan iman. Dan pada akhirnya, ia akan mengantarmu kepada satu kenyataan: bahwa segala sesuatu akan berakhir dengan Allah—dan hanya mereka yang berjalan bersama kisah-Nya yang akan sampai kepada-Nya dengan cahaya.
Sumber:
Sayid Qutb, Fizilalil Qur’an, GIP
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif