Pembaca Buku, Kemana?
Oleh: Nasruloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Buku tetap saja ditinggalkan, walaupun budaya membaca lebih menjamur dari era sebelumnya. Apa yang dibaca? Itu persoalannya. Dengan perkembangan teknologi informasi yang memudahkan akses ilmu pengetahuan, tak menolong untuk mencintai dan menelaan buku.
Budaya yang pertama kali diwahyukan Allah adalah budaya membaca. Bukan ilmu, bukan pengetahuan, bukan rumus sakti. Dari membacalah budaya ilmu pengetahuan terbangun, budaya teknologi terbentuk. Kitalah yang menemukan ilmu. Kitalah yang menciptakan pengetahuan. Kitalah yang memproduksi teknologi. Persoalannya, kita sering kali menjadi penikmat ilmu, penikmat pengetahuan, penikmat teknologi, akhirnya jati diri menjadi pengekor.
Tersiksa bila menjadi pengekor, tidak bisa melampaui apa yang sudah ada. Ruang geraknya terbatas dengan batasan realitas yang ada. Hidupnya terpenjara dengan segala yang sudah ada. Pengekor itu menjadi penyerbu segala hal yang baru. Mengekor itu hidupnya selalu didikte dan dikendalikan sehingga tak bisa menjadi dirinya sendiri.
15 tahun yang lalu berkereta. Sekarang berkereta juga. Penumpangnya sudah berubah. Yang naik kereta sekarang, level pendidikannya sudah lebih baik dari 15 tahun yang lalu. Namun mengapa tidak terlihat budaya membaca yang kuat? Yang dikonsumsi game, medsos, terlelap dengan keheningan.
Mengapa pendidikan formal tidak bisa merubah budaya? Mengapa pendidikan hingga strata tinggi tak bisa membentuk karakter pembelajar? Pembaca buku? Pendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan dan uang, itulah persoalannya.
Membaca di pendidikan formal hanya untuk mendapatkan nilai raport, IPK yang tinggi agar mudah mendapatkan pekerjaan. Inilah yang menyebabkan stagnasi budaya ilmu, pengetahuan dan teknologi di negri ini. Yang mengecap pendidikan semakin merata, apakah produksi buku ikut meningkat? Apakah yang mengunjungi perpustakaan terus bertambah?
Kurikulum terus berubah. Mata pelajaran ditambah dan dikurangi. Methodelogi pengajaran terus dievaluasi dan disempurnakan. Namun mengapa tak mengubah wajah Nusantara?
Banyak buku yang dibaca untuk satu pelajaran sekolah, namun mengapa tak bisa membawa kebiasaan membaca tersebut ke luar bangku sekolah?
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif