Sejarah Pembantaian Kota Hama 1982 oleh Rezim Assad
Pembantaian terhadap manusia yang terbesar di era modern, 2 Februari 1982 (sebagaimana versi Amnesti Internasioanal). Pembantaian yang dikenal dengan “majzarah al Hama 1982” atau “Hama massacre 1982” merupakan satu operasi militer paling besar yang dikerahkan oleh rezim Suriah terhadap gerakan oposisi. Operasi tersebut merenggut nyawa puluhan ribu penduduk kota Hama, Suriah.
Operasi tersebut dimulai 2 Februari 1982 dan berlangsung selama 27 hari berikutnya. Tentara pemerintahan junta militer Hafez al Assad mengepung dan memborbardir kota Hama. Kemudian setelah itu menyerang dengan pasukan darat. Tentara rezim melakukan pembantaian brutal dan sadis yang merenggut puluhan ribu nyawa penduduk sipil. Pemimpin operasi yang tidak berperikemanusiaan itu adalah Kolonel Rifaat al Assad, saudara kandung diktator Hafez al Assad.
Kota Hama terletak hampir di jantung negeri Suriah dan berpenduduk sekitar 750 ribu jiwa. Kendati peristiwa tersebut telah lewat tiga dekade silam, namun tragedi kemanusiaan yang menimpa kota yang itu merupakan peristiwa paling memilukan serta mengerikan dibanding operasi serupa yang pernah dilakukan rezim otoriter al Assad. Dalam pembantaian itu, al Assad mengerahkan pasukan organik yang terlatih secara keras serta satuan-satuan intelijen untuk menghancurkan pihak oposisi sampai ke akar-akarnya.
Laporan-laporan dari sumber Barat menyebut bahwa rezim telah memberikan kebebasan penuh kepada kekuatan militer untuk melumpuhkan oposisi dan semua simpatisannya. Rezim sengaja menutup informasi tentang peristiwa tersebut demi mencegah protes massa dan tekanan dari pihak luar negeri.
Hingga saat ini sejumlah organisasi hak asasi manusia menuntut dilakukannya penyelidikan internasional untuk mengungkap peristiwa tersebut, sekaligus menghukum mereka yang bertanggung jawab. Mengingat bahwa tragedi Hama termasuk peristiwa paling berdarah dalam sejarah Suriah modern.
Peristiwa tersebut terjadi dalam rangkaian konflik antara rezim diktator Hafez al Assad dengan organisasi al Ikhwan al Muslimun, yang saat itu merupakan kelompok oposisi paling aktif dan kuat terhadap rezim junta militer al Assad.
Rezim menuduh jamaah Ikhwan mempersenjatai beberapa kader dan aktivisnya serta terlibat pembunuhan dan tindak kekerasan di Suriah. Salah satu kasus yang rezim angkat adalah pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dari sekolah artileri di bulan Juni 1979 di kota Halab, utara Suriah.
Walau Al Ikhwan al Muslimun menolah tuduhan tersebut dan berlepas tangan dari peristiwa pembunuhan itu, rezim tetap membubarkan jamaah Ikhwan dan menangkap banyak aktivisnya. Rezim kemudian mengeluarkan undang-undang no. 49 tahun 1980 yang mengancam hukum mati setiap orang yang berafiliasi kepada organisasi Ikhwan.
Pembantaian kota Hama berlangsung selama hampir satu bulan, yang dimulai 2 Februari 1982. Rezim otoriter al Assad mengerahkan sejumlah brigade pertahanan, pasukan tank dan artileri, serta pasukan payung. Ditambah pula satuan-satuan khusus dari intelijen nasional dan barisan partai yang bersenjata.
Semua pasukan itu bersatu memborbardir dan menghancurkan kota Hama, kemudian menyerang lewat darat serta membakar kota. Rezim telah melakukan genosida terhadap warga Suriah dengan korban antara 30-40 ribu nyawa melayang. Banyak distrik yang rata dengan tanah, 88 masjid dan 3 gereja hancur. Puluhan ribu warga lainnya mengungsi menyelamatkan diri dari pembunuhan dan pembantaian.
Rezim otoriter al Assad memberikan otoritas penuh kepada kekuatan militer untuk menghancurkan kelompok oposisi dan simpatisannya. Untuk mencegah meletusnya protes massa dan tekanan dunia luar, pemerintah menyumbat semua saluran informasi dan komunikasi, serta menutup rapat seluruh jalur transportasi masuk dan keluar kota.
Dalam sebulan itu, Hama menjadi objek operasi militer yang luas, melibatkan militer dari berbagai satuan, intelijen, milisi bersenjata, dan pasukan khusus. Operasi tersebut dipimpin langsung Kolonel Rifaat al Assad, adik bungsu diktator Hafez al Assad. Rifaat sendiri waktu itu baru dua bulan menjabat sebagai pemegang otoritas untuk wilayah tengah dan utara Suriah. Dia membawahi 12 ribu personil militer yang telah dilatih untuk operasi perang kota.
Tragedi Hama pada sisi lainnya mengubah arah strategi rezim al Assad terhadap setiap gejolak kekerasan yang sebenarnya sudah ada sejak 1979. Al Assad tampak lebih represif dalam merespons gerakan oposisi dengan menggunakan kekuatan militernya. Dia juga memprovokasi rakyat untuk menghadapi lawan-lawan politiknya. Padahal, rakyat sipil merupakan korban terbesar dalam peristiwa tersebut.
Demikian dalam luka tragedi tersebut tertanam dalam memori rakyat Suriah, sehingga sejak saat itu tidak pernah satu kalipun ada protes massa terhadap politik pemerintah, hingga angin Arab Spring berhembus ke Suriah awal 2011 silam.
Jumlah Korban
Perkiraan jumlah korban berbeda sesuai sumber yang ada. Robert Fisk, jurnalis senior asal Inggris yang menyaksikan kondisi Hama beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, menyebut sekitar 10 ribu korban. Sementara koran The Indipendent melaporkan korban yang mencapai 20 ribu jiwa. Sedang Thomas Friedman menyebut Rafaat al Assad pernah mengumbar bahwa dia telah membunuh 38 ribu jiwa manusia di Hama.
Komite Suriah untuk Hak Asasi Manusia mencatat korban jiwa antara 30-40 ribu orang, mayoritas dari warga sipil. Sebagian besar korban, lanjut komite tersebut, tewas akibat tembakan brutal secara massal. Korban-korban itu akhirnya dikubur di pekuburan massal.
Sebagian laporan menyebut sulitnya mengetahui persis jumlah korban. Pasalnya, terdapat 10-15 ribu rakyat sipil yang hilang sejak awal peristiwa itu. Keberadaan mereka tetap misterius, antara hidup sebagai tawanan di penjara-penjara militer atau telah tewas di tangan rezim.
Seluruh korban tewas yang disebutkan di atas termasuk wanita, anak-anak dan orang tua.
Selain itu, dilaporkan 100 ribu rakyat sipil eksodus keluar kota Hama jelang sepertiga kota hampir rata dengan tanah. Jantung kota Hama yang bersejarah rusak berat, termasuk situs-situs bersejarah, akibat bom mortir militer.
Koran Prancis Le Nouvel Observateur tanggal 30 April 1982 menulis:
Beberapa pekan lalu di kota Hama telah terjadi pemberangusan protes massa dengan kekerasan yang langka dalam sejarah modern. Hafez dan Rafaat al Assad menyerang kota Hama, seperti Soviet dan Amerika ketika merebut Berlin. Rezim kemudian memaksa yang tersisa hidup untuk berdemonstrasi mendukung rezim. Seorang jurnalis Suriah heran sambil bertanya kepada seorang aparat militer, “Setelah semua yang terjadi? Dalam barisan demonstran terdapat sejumlah warga kota?” Dengan terbahak, militer itu menjawab, “Benar. Tapi yang tersisa sangat sedikit daripada yang telah kami bunuh.”
Di bawah tajuk “Di Suriah, Teroris Nomor Satu adalah Negara”, surat kabar Prancis Le Matin edisi nomor 1606 tertanggal 24 April 1982 melaporkan:
Di Suriah terdapat sedikitnya 20 ribu tawanan politik, jumlah yang bisa jadi mencapai 80 ribu. Negeri yang kekerasan dan teror politik menjadi mata uang terlaris hari ini. Perangkat represif yang dimiliki rezim sangat luar biasa. Brigade pertahanan di bawah Rafaat al Assad, brigade tempur di bawah Adnan al Assad, pasukan khusus di bawah Ali Haedar, intelijen umum . . . kementerian dalam negeri Suriah baru-baru ini telah membeli dari sebuah perusahaan Prancis alat canggih yang mampu memblacklist 500 ribu orang sekaligus.
Seorang diplomatik Barat yang menjadi saksi menuturkan,
Akhirnya, sekitar pertengahan pekan lalu tank menyerbu ke dalam kota sepanjang hari. Perang hebat terjadi. Dari rumah ke rumah, atau lebih tepatnya dari reruntuhan yang satu ke reruntuhan lainnya. Semua ini terjadi, sementara pemerintah menutup-nutupi data korban tewas dan luka dari kedua belah pihak . . . tetapi permintaan terhadap darah di pusat-pusat medis sangat banyak . . . dapat dikatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Hama minggu lalu adalah “Warszawa lain”, sungguh merupakan matinya sebuah kota.
Majalah Economist edisi Mei 1982 menurunkan berita “Kengerian Hama”:
Kronologis yang benar tentang peristiwa yang terjadi pada Februari di kota Hama, 12 km sebelah utara ibukota Damaskus belum diketahui, bahkan mungkin tidak akan pernah diketahui. Dua bulan telah berlalu sebelum pemerintah Suriah mengizinkan wartawan melihat reruntuhan kota. Kota yang sebelumnya terus dibom tank-tank dan artileri serta pesawat selama tiga minggu penuh. Akibatnya, sebagian besar dari kota lama yang terletak di tengah Hama telah hilang sama sekali, dan belakangan diratakan dengan buldozer.
Penyelidikan atas Pembantaian Kota Hama
Alih-alih mengambil langkah-langkah untuk meminimalisasikan dampak genosida tersebut terhadap penduduk kota dan warga Suriah secara umum, pemerintah Suriah justru memberikan penghargaan kepada individu yang terlibat. Rezim memberikan penghargaan kepada tentara yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam pembantaian.
Kolonel Rafaat al Assad dinaikkan jabatannya sebagai wakil presiden bidang keamanan nasional, sementara sejumlah pejabat senior militer dan intelijen juga mendapatkan kenaikan pangkat. Walikota Hama saat itu, Muhammad Hirbah juga ditunjuk sebagai menteri dalam negeri.
Langkah rezim jelas mengabaikan perasaan dan kondisi rakyat Suriah. Keputusan tersebut juga menegaskan politik rezim yang lebih mengedepankan tindak kekerasan daripada dialog dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri.
Padahal, masih ada tawanan-tawanan politik yang mendekam puluhan tahun di balik jeruji penjara-penjara militer, orang-orang hilang, serta undang-undang yang mengancam hukuman mati bagi siapa pun yang terbukti terlibat dalam organisasi Al Ikhwan al Muslimun.
Dampak dari pembantaian itu hingga saat ini masih terus membayangi penduduk kota Hama. Ingatan tentang kehancuran dan kengerian peristiwa pembantaian masih membekas dalam memori warga. Penduduk Hama terus diselimuti ketakutan. Hampir setiap keluarga di Hama saat ini masih merasakan dampak dari peristiwa itu, dengan anggota keluarga yang tewas, atau hilang, atau migrasi ke tempat hidup yang lainnya.*
https://hidayatullah.com/berita/kabar-dari-suriah/2012/07/17/3128/sejarah-pembantaian-kota-hama.html
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif