basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Ketika Warga Israel Bersiap Pergi Sebelum Negara Runtuh Oleh: Nasrulloh Baksolahar Watak Diaspora dalam Paspor Ganda Di balik wa...

Ketika Warga Israel Bersiap Pergi Sebelum Negara Runtuh

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Watak Diaspora dalam Paspor Ganda

Di balik wajah modern Israel—dengan kibbutz teknologi, kampus elit, dan kekuatan militer termutakhir—tersimpan kecemasan laten yang diwariskan selama ribuan tahun: ketidakpastian akan tempat tinggal terakhir. Maka tak heran jika kewarganegaraan ganda menjadi bukan hanya dokumen hukum, tetapi cermin watak historis bangsa Yahudi itu sendiri.

Sejak pengusiran dari tanah Kanaan oleh Babilonia dan Romawi, lalu diaspora panjang akibat Inkuisisi, pogrom, hingga Holocaust, bangsa Yahudi terbiasa hidup tanpa tanah tetap. Mereka tak tumbuh dengan akar, melainkan dengan sayap: fleksibilitas identitas dan mobilitas lintas batas.

Mereka ahli bertahan bukan dengan benteng lagi, tapi juga dengan cadangan pilihan tempat hidup. Dan hari ini, bentuk modernnya adalah paspor asing di samping paspor Israel.

Di sinilah paspor ganda menjadi warisan yang tak tertulis dari mentalitas diaspora. Tradisi Exodus tak pernah benar-benar selesai. Bahkan setelah berdirinya negara Israel, banyak Yahudi—terutama kalangan sekuler—tetap menyimpan satu pintu keluar. Mereka mencintai tanah ini, tapi tidak yakin akan tinggal selamanya.



Konflik Mendorong Pintu Darurat

Seiring memburuknya konflik di kawasan, gelombang permohonan paspor asing melonjak—terutama setelah serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas. Ketakutan bukan hanya pada roket, tapi pada masa depan yang tak stabil:

Ketegangan di Gaza dan Tepi Barat yang tak kunjung selesai.

Ancaman rudal dari Hizbullah Lebanon dan Suriah yang makin presisi.

Serangan rudal dari Ansarullah Yaman yang kini menyasar Laut Merah dan Tel Aviv.

Warga Israel, khususnya yang sekuler dan berpendidikan, menyediakan paspor asing bagi anak-anak mereka bahkan sebelum anak itu bisa bicara. Mereka mendatangi konsulat Jerman, Polandia, Kanada, atau Prancis. Bukan untuk pindah esok hari—tapi untuk bersiap bila esok tak ada lagi.

Hari ini, paspor asing lebih bernilai dari rumah, tanah, bahkan saham teknologi.



Mengapa Israel Mengizinkan Kewarganegaraan Ganda?

Israel sangat longgar soal paspor ganda. Bukan tanpa alasan:

1. Sejarah Imigrasi dan Aliyah

Negara ini dibangun dari orang-orang yang datang dari Rusia, Eropa, AS, Yaman, dan Afrika Utara. Mereka tiba dengan membawa paspor lama, dan Israel tidak ingin memutuskan keterhubungan mereka dengan dunia luar—terutama karena Yahudi diaspora punya pengaruh politik dan ekonomi global.

2. Mobilitas dan Keamanan

Kewarganegaraan ganda memudahkan warganya bepergian ke negara yang tidak bersahabat dengan Israel—tanpa membuka identitas.

3. Asuransi Politik

Bagi sebagian warga, paspor asing adalah jalan kabur darurat jika konflik sipil meledak, pemerintah ekstremis berkuasa, atau ekonomi kolaps. Paspor itu menjadi jaminan hidup alternatif—sebuah “Plan B” kolektif bangsa yang masih trauma oleh sejarahnya sendiri.



Kelompok Mana yang Paling Banyak Punya Paspor Ganda?

Kaum Sekuler — PALING BANYAK

Berasal dari latar imigran Eropa dan Amerika.

Paling sadar risiko politik dan ekonomi.

Anak-anak mereka yang lahir di Israel pun didaftarkan untuk paspor Jerman, Polandia, atau AS.


Arab Israel — JUGA CUKUP BANYAK, Tapi Dengan Nuansa Lain

Sebagian memiliki koneksi ke Yordania, Tepi Barat, bahkan Eropa.

Bagi mereka, paspor asing adalah jembatan identitas, bukan strategi kabur.


Pemukim Ilegal Yahudi — BANYAK JUGA

Ironis: mereka paling vokal tentang “tanah yang dijanjikan,” tapi tetap menyimpan paspor Prancis atau AS.

Banyak dari mereka adalah imigran yang belum melepas kewarganegaraan lama.


Haredim — PALING SEDIKIT

Hidup dalam komunitas tertutup, fokus agama.

Kurang peduli urusan internasional.

Meski begitu, sebagian kecil masih menyimpan paspor lama dari diaspora.



Ancaman Bagi Masa Depan Israel

1. Brain Drain

Paspor asing membuat generasi muda berbakat mudah pindah ke luar negeri—dan mereka tidak kembali.

2. Krisis Loyalitas

Saat Israel berkonflik dengan negara lain, warga dengan paspor asing bisa ditarik oleh kesetiaan ganda.

3. Ketimpangan Sosial Baru

Paspor menjadi kelas sosial: yang punya bebas ke luar negeri, punya opsi masa depan. Yang tidak? Terjebak dalam krisis internal.

4. Ancaman Keamanan

Paspor ganda bisa digunakan untuk menyelundupkan identitas, logistik, atau informasi. Ini menciptakan potensi lubang intelijen.



Negara dengan Dua Jiwa

Israel adalah negara yang dibangun oleh mimpi dan trauma. Tapi kini, banyak warganya hidup dengan dua paspor dan dua kemungkinan masa depan. Yang satu sebagai warga negara Israel. Yang lain sebagai pewaris trauma diaspora—yang tahu bahwa sejarah bisa berulang.

Saat anak-anak Tel Aviv punya paspor Berlin dan anak-anak pemukiman ekstrem punya paspor New York, pertanyaannya bukan lagi “apakah mereka cinta Israel?” tapi “apakah mereka siap tinggal jika Israel berubah?”

Masa Depan Penjajah Israel yang Kian Retak Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam bayang-bayang menara-menara kaca Tel Aviv, pusat ken...


Masa Depan Penjajah Israel yang Kian Retak


Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam bayang-bayang menara-menara kaca Tel Aviv, pusat kendali Iron Dome, dan barak-barak elit militer Unit 8200, berdetak sebuah bom waktu sosial dan demografis yang nyaris tak terdengar. Israel, negara kecil dengan reputasi besar di bidang militer dan teknologi, kini menghadapi ancaman yang tak datang dari luar, melainkan dari dalam tubuhnya sendiri. Bukan roket, bukan embargo, bukan tekanan diplomatik yang paling membahayakan masa depan Israel—melainkan ketegangan sosial yang kian mengkristal di antara empat kelompok besar masyarakatnya.

Masing-masing kelompok itu membawa dunia sendiri. Mereka hidup berdampingan, tapi tidak berjalan searah. Mereka memakai bahasa yang sama, tapi bicara dalam logika yang berbeda. Dan bila tak segera ada koreksi arah, benturan di antara mereka bisa menjadi lebih dahsyat dari semua perang yang pernah mereka menangkan.



Sekuler: Otak Negara yang Perlahan Pergi

Mereka adalah para insinyur, ilmuwan, pendiri startup, jenderal militer, diplomat, dan ekonom. Mereka membangun citra Israel sebagai “Start-Up Nation” yang disegani dunia. Tapi kini, mereka mulai merasa asing di tanah yang dulu mereka rancang.

Mereka melihat negara yang mereka bangun mulai diambil alih oleh aturan agama yang tak mereka pilih, oleh politik sayap kanan yang menusuk akal sehat, dan oleh anggaran negara yang lebih banyak mengalir ke yeshiva daripada ke riset dan pengembangan.

Mereka tidak marah. Mereka hanya meninggalkan. Berbondong-bondong menuju Berlin, Toronto, New York, Paris. Mereka membawa koper, ijazah, dan kenangan akan sebuah negara yang mungkin tidak akan pernah kembali seperti semula.



Haredim: Menang Dalam Jumlah, Tapi Tidak Dalam Gagasan

Di sisi lain, komunitas Haredim terus tumbuh dalam jumlah dan kekuatan politik. Setiap tahun, anak-anak Haredi memenuhi ruang-ruang kelas yang menolak matematika, sains, dan bahasa Inggris. Mereka belajar Taurat siang malam, menolak wajib militer, dan sebagian besar hidup dari subsidi negara.

Namun pertumbuhan populasi mereka sangat cepat—jauh melampaui kelompok lainnya. Ini bukan sekadar angka kelahiran, tapi arah masa depan.

Pertanyaannya: apa jadinya Israel jika mayoritas penduduknya tidak bekerja, tidak mau belajar teknologi, dan tidak mempercayai negara demokratis sekuler?



Para Pemukim: Menanam Ideologi di Atas Tanah Sengketa

Mereka menyebut diri sebagai penjaga tanah yang dijanjikan, meski dunia menyebut mereka pelanggar hukum internasional. Para pemukim Yahudi di Tepi Barat adalah perpaduan antara nasionalisme religius dan fanatisme ideologis. Mereka memperluas permukiman dengan dukungan penuh pemerintah, dilindungi tentara, dan dibiayai oleh pajak yang dibayar oleh kelompok sekuler.

Mereka bukan sekadar beban fiskal. Mereka adalah sumber ketegangan geopolitik yang tak kunjung padam. Mereka memperkecil kemungkinan perdamaian dengan Palestina, memicu kemarahan dunia Arab, dan mendorong Israel ke jurang keterasingan diplomatik.

Israel boleh menambah wilayah fisik, tapi kehilangan wilayah moral dan politik.



Arab Israel: Warga yang Tak Pernah Dianggap Penuh

Berjumlah hampir 20% dari populasi, Arab Israel adalah warga negara yang hidup di antara pengakuan dan penolakan. Mereka membayar pajak, belajar, bekerja sebagai dokter, pengacara, sopir, guru. Tapi mereka tidak pernah menjadi “kita”. Mereka tetap “mereka”.

Namun di balik diskriminasi dan pengucilan itu, muncul generasi baru yang terdidik, melek teknologi, dan punya ambisi. Mereka tidak lagi sekadar bertahan. Mereka mulai bersaing. Dan ketika ruang terus ditutup, mereka bisa berubah dari jembatan perdamaian menjadi simbol perlawanan internal.



Israel yang Akan Datang: Negara Tanpa Pusat Kekuatan 

Jika tren ini terus berlanjut, Israel di masa depan bukan lagi negara kuat dengan fondasi sekuler dan teknologi tinggi. Ia akan menjadi negara dengan pusat yang kosong:

Inovasi tetap ada, tapi tak sebesar dulu—karena para penciptanya sudah pindah ke luar negeri.

Militer tetap kuat, tapi dijalankan oleh negara yang makin tertutup dan religius.

Ekonomi tetap hidup, tapi diseret oleh beban subsidi untuk kelompok yang tak produktif.

Politik tetap sibuk, tapi hanya mengurus konflik internal dan eksternal yang tak kunjung selesai.

Dan yang paling parah: dunia internasional bisa kehilangan kepercayaan terhadap Israel sebagai mitra yang rasional. Negara-negara yang dulu jadi sekutu bisa mulai menjauh. Geopolitik berubah. Diplomasi meredup.



Dari Ancaman Luar ke Ledakan Dalam

Israel dibangun oleh mimpi besar dan ketakutan besar. Tapi kini, ancaman terbesarnya bukan dari luar, melainkan dari dalam. Saat kaum sekuler pergi, Haredim tumbuh, pemukim meledakkan batas, dan Arab Israel terus dipinggirkan—Israel sedang menciptakan sebuah dunia dengan banyak kutub tapi tanpa pusat.

Pertanyaannya bukan lagi: “Apakah Israel akan bertahan?”
Tapi: “Israel yang mana yang akan bertahan?”
Apakah yang modern dan terbuka? Ataukah yang religius dan eksklusif?



Jika tak ada arah bersama yang disepakati, maka kekuatan militer dan teknologi tak akan cukup menyelamatkan Israel dari kehancuran yang perlahan tapi pasti—karena negara bisa bertahan dari musuh luar, tapi tak bisa diselamatkan dari pertikaian di dalam rumah sendiri.

Ketika Tulang Punggung Penjajah Israel Perlahan Pergi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah debu konflik dan percikan senjata di ...


Ketika Tulang Punggung Penjajah Israel Perlahan Pergi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di tengah debu konflik dan percikan senjata di Timur Tengah, ada cerita yang lebih diam, tapi lebih dalam: migrasi. Bukan tentang satu dua orang yang pindah rumah, tapi tentang pergerakan ribuan manusia—yang datang ke Israel dengan harapan, lalu pergi dengan getir. Inilah narasi tentang bagaimana negara yang dibangun oleh para pendatang, kini mulai kehilangan daya tariknya sebagai “tanah impian.”



Imigran: Bukan Tentara, Tapi Tulang Punggung

Israel lahir dari semangat aliyah—hijrah orang Yahudi ke Tanah yang Dijanjikan. Namun, bukan militer yang membentuk kekuatan Israel, melainkan para imigran. Mereka membawa keahlian di bidang teknologi, medis, pertanian, hingga keuangan. Mereka adalah tenaga penggerak ekonomi, para inovator di Tel Aviv, peneliti di Haifa, dan insinyur di Negev.

Selama beberapa dekade, imigrasi menjadi kebanggaan. Pemerintah menggelontorkan miliaran shekel untuk program penyambutan, pendidikan, hingga subsidi perumahan bagi para olim—sebutan bagi para pendatang Yahudi. Bahkan dalam kondisi sulit, seperti saat perang Rusia-Ukraina, puluhan ribu Yahudi datang ke Israel karena diyakini lebih aman dan menjanjikan.

Namun, sejak 2023, angin mulai berubah. Dari negeri yang dibanjiri harapan, Israel mulai disusupi arus sebaliknya: emigrasi.



Dari Janji Jadi Cemas

Pemerintah Israel memang menawarkan banyak: uang tunai, rumah, pelatihan bahasa, bahkan pembebasan pajak. Tapi bagi banyak pendatang baru, janji tak lagi cukup ketika rudal meluncur, harga rumah melonjak, dan reformasi hukum memecah masyarakat.

“Yang kami cari bukan hanya tempat tinggal, tapi kehidupan,” ujar seorang olim dari Prancis, yang pada 2024 memutuskan kembali ke Eropa karena pendidikan anak-anaknya terganggu oleh sirene perang dan ketakutan akan invasi.

Data tak bisa disembunyikan:
Tahun 2022, lebih dari 74.000 orang masuk. Tapi 2023 dan 2024 mencatat arus keluar lebih besar dari masuk. Net migration negatif. Ini bukan sekadar angka—ini tanda bahwa sesuatu yang dalam sedang terjadi di dalam tubuh Israel.



Kenapa Mereka Pergi?

Pertama, perang yang tak berkesudahan. Serangan dari Gaza, bayangan konflik dengan Hizbullah, dan kini konfrontasi terbuka dengan Iran telah membuat banyak orang mempertanyakan apakah ini tempat aman untuk keluarga mereka.

Kedua, ketimpangan dan tekanan ekonomi. Harga rumah di Israel melambung gila-gilaan. Gaji yang stagnan, inflasi yang menyiksa, dan beban pajak menekan. Bagi para profesional muda, New York atau Berlin lebih menawarkan masa depan.

Ketiga, polarisasi politik. Ketika demokrasi dipertanyakan oleh undang-undang reformasi hukum dan protes sipil memuncak, banyak warga—terutama generasi muda—merasa kehilangan arah.



Dampak: Negara Tanpa Akar Baru?

Jika yang keluar adalah orang-orang yang terampil, kaya, dan muda, maka dalam jangka panjang, Israel akan menghadapi krisis brain drain.
Sistem kesehatan bisa kehilangan dokter.
Teknologi bisa kehilangan programmer.
Ekonomi bisa kehilangan investor.
Dan yang lebih menakutkan: masyarakat kehilangan harapan.

Tak hanya itu, migrasi bukan cuma soal statistik, tapi juga legitimasi ideologi. Jika negara yang didirikan untuk menampung umat Yahudi justru ditinggalkan oleh Yahudi sendiri, lalu apa yang tersisa?



Antara Bertahan dan Bertanya

Namun tidak semua gelap. Masih ada ribuan orang yang tetap datang, meski tidak sebanyak dulu. Masih ada solidaritas, masih ada keyakinan. Tapi hari-hari ini, pertanyaan yang lebih jujur mulai muncul di kalangan Yahudi global:

Apakah Israel masih tanah impian atau sudah menjadi tanah ujian?

Dan mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah modernnya, Israel harus menjawab itu bukan dengan militer, tapi dengan reformasi, kesejahteraan, dan keadilan bagi semua warganya.



Penutup
Imigrasi adalah awal berdirinya Israel. Tapi ketika emigrasi mengambil alih, itu bukan hanya soal siapa yang datang dan pergi—tapi siapa yang percaya, dan siapa yang tidak lagi percaya. Negeri ini tak akan runtuh oleh perang, tapi bisa goyah oleh hilangnya harapan.

Dan ketika tulang punggung itu mulai menjauh, hanya waktu yang akan menjawab: apakah Israel akan menyesuaikan diri—atau perlahan kehilangan jiwanya sendiri.

Ketika Doa Menyatu dengan Bilah dan Peluru Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di tengah gelombang laut penjajahan yang menghantam pesis...

Ketika Doa Menyatu dengan Bilah dan Peluru

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di tengah gelombang laut penjajahan yang menghantam pesisir dan pedalaman Nusantara, para pejuang tidak hanya mengangkat senjata—mereka mengangkat kehormatan. Dari kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Banten, Mataram, Cirebon, hingga Giri Kedaton, lahirlah barisan-barisan yang tak hanya mengandalkan taktik dan tenaga, tapi juga iman dan semangat jihad.

Dalam tangan para sultan, panglima, ulama, santri, dan rakyat, senjata bukan sekadar alat tempur, melainkan manifestasi ruh perjuangan.



Keris, Tombak, dan Pedang: Bilah yang Ditajamkan oleh Doa

Sultan Trenggana dari Demak, Sultan Agung dari Mataram, hingga Sultan Ageng dari Banten dikenal membawa keris pusaka ke medan perang. Bukan sekadar lambang, keris menjadi senjata dalam duel kehormatan, sebagai tanda bahwa pemimpin pun siap gugur demi negeri. Di sisi lain, tombak panjang dan pedang bermata dua menjadi senjata utama dalam barisan laskar, dibawa oleh para panglima seperti Adipati Yunus atau Tumenggung Singaranu.

Tak kalah penting, tongkat besi para ulama yang biasa digunakan dalam dakwah, berubah menjadi alat pertahanan diri ketika musuh mulai menyerang masjid dan pesantren. Setiap bilah tajam itu diselubungi bacaan hizib dan ayat-ayat suci.



Bedil, Panah, dan Bambu Runcing: Suara Ledakan dari Tanah dan Langit

Senjata api mulai diperkenalkan lewat jaringan perdagangan Muslim dari Arab, Gujarat, Turki, dan Aceh. Meriam Lela dan senapan lontak dijadikan kekuatan andalan pelabuhan Cirebon dan Jepara. Namun di balik itu, rakyat kecil menciptakan bedil bambu, panah beracun, dan bambu runcing, menjadikannya senjata gerilya yang ditakuti pasukan VOC.

Di ladang dan gunung, petani menjadikan golok dan parang sebagai senjata pelindung, menyimpan amarah dan tekad yang diam-diam menanti komando dari pesantren.



Bukan dari Eropa, Tapi dari Doa dan Persaudaraan Muslim

Sebagian senjata itu memang datang dari luar negeri: pedang Arab, meriam dari Turki, senapan dari Gujarat, hingga teknik tempur dari para pelaut Aceh. Tapi kekuatan sesungguhnya tidak berasal dari mesiu dan logam asing—melainkan dari keyakinan bahwa mereka sedang mempertahankan akidah dan amanah para wali.

Di Giri Kedaton, Cirebon, dan Banten, senjata-senjata itu dirawat dengan minyak cendana, diasapi dengan menyan, dan dibacakan dzikir. Ia bukan benda mati, tapi bagian dari jiwa para mujahid.





Senjata Legendaris, Jiwa Abadi

Beberapa senjata dikenang sebagai legenda:
1. Keris Kyai Carubuk milik Sultan Trenggana,
2. Tombak Kyai Plered milik Sultan Agung,
3. Keris Kyai Mangir milik gerilyawan Mataram,
4. dan Meriam Ki Jimat di pelabuhan Cirebon.

Mereka bukan hanya benda, tapi saksi—dan simbol—bahwa bangsa ini pernah melawan dengan penuh harga diri.



Melawan Senjata Canggih Belanda dengan Iman yang Tajam

Penjajah datang membawa senapan canggih dan barisan tentara bayaran. Tapi pejuang Islam membawa dzikir, wirid, dan semangat ukhuwah. Mereka berperang dalam barisan yang dimulai dari shalat malam dan dzikir al-Fath. Karena mereka tahu: kekuatan sejati tak selalu ada di peluru, tapi di dada yang tak takut mati.



Jejak Senjata Itu Masih Hidup Sampai Hari Ini

Senjata-senjata zaman kesultanan itu melahirkan taklim gerilya pesantren, laskar-laskar rakyat di zaman Diponegoro, dan bahkan taktik TKR dan Hizbullah di masa revolusi kemerdekaan. Meski bentuknya berubah, semangatnya tetap satu: bahwa kemerdekaan adalah warisan suci yang dilindungi oleh bilah iman dan peluru tauhid.



Bilah, Doa, dan Darah yang Tidak Pernah Sia-Sia

Mereka berperang bukan untuk menjadi pahlawan, tapi untuk menjaga agar anak cucu tidak menjadi budak. Senjata-senjata itu menjadi saksi bahwa bangsa ini tidak pernah diam saat diinjak, dan bahwa kehormatan tak akan pernah bisa ditaklukkan oleh senjata buatan manusia.

Keris boleh berkarat, meriam boleh berkarat, tapi semangat jihad tak akan pernah padam.

Di Balik Timbangan Ada Perlawanan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mereka bukan hanya pengukur harga. Mereka adalah penjaga harga diri...

Di Balik Timbangan Ada Perlawanan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Mereka bukan hanya pengukur harga. Mereka adalah penjaga harga diri bangsa. Di balik setiap keranjang lada, tumpukan kain, dan timbangan emas, para pedagang Muslim menanam benih kemerdekaan. Saat para penjajah mengira pasar hanya tempat transaksi, para wali dan sultan telah menjadikannya medan jihad.

Saat kompeni menebar monopoli, para pedagang menyusun strategi. Dan saat penjajah menginjakkan kaki di bumi Nusantara, para saudagar Muslim telah lebih dulu menanam tekad untuk tidak tunduk, tak akan dijual dengan harga berapa pun.



Para Wali dan Sultan yang Juga Saudagar

Wali Sanga bukan hanya berdakwah di mimbar, tapi juga berdagang di pelabuhan. Sunan Giri mengirim kapal dagangnya ke timur jauh, Sunan Kalijaga menjual hasil rakyat untuk membiayai perjuangan, dan Sultan Trenggana dari Demak membangun pasar sekaligus benteng.

Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah raja sekaligus pengatur distribusi lada terbesar yang membuat VOC menggigil. Di bawah kendalinya, pelabuhan Banten jadi pusat perdagangan internasional sekaligus pangkalan logistik jihad. Dan Pangeran Diponegoro? Ia mendirikan jaringan pasar desa untuk menghidupkan perlawanan dari akar rumput.

Mereka semua tahu: barang dagangan bisa habis, tapi semangat merdeka tak boleh luntur.



Pasar: Benteng yang Tak Bisa Dihancurkan Meriam

Saat senjata dibatasi, pedagang Muslim menyelundupkan mesiu dalam peti kayu, menyembunyikan senjata di bawah karung beras, dan menyelipkan surat rahasia di antara lembar kain dagang.

Pelabuhan Jepara, Gresik, Cirebon, hingga Banten menjadi simpul jihad. Dari tempat inilah kapal berlayar membawa bukan hanya rempah, tapi juga kabar perjuangan dan bantuan bagi para mujahid. Kafilah dagang berubah menjadi konvoi kebebasan. Gudang berubah jadi lumbung perjuangan.

“Kami berdagang bukan untuk kaya, tapi untuk merdeka.”



Ketika Penjajah Mengincar Pasar, Mereka Menyalakan Perlawanan

VOC tahu siapa musuh sebenarnya: bukan hanya para sultan, tapi juga para pedagang Muslim. Maka dibuatlah monopoli. Diberlakukan pajak mencekik. Pasar rakyat dirusak, pedagang ditangkap, bahkan diasingkan.

Tapi mereka lupa satu hal: pedagang Muslim bisa bangkit dari reruntuhan, karena mereka tak dagang demi untung, tapi demi umat.

Para saudagar membentuk jaringan rahasia. Mereka berpura-pura patuh di hadapan kompeni, tapi di malam hari menyuplai laskar dengan makanan dan senjata. Mereka berdagang sambil menyebarkan pesan: “Jangan beli barang VOC. Jangan jual harga diri pada penjajah.”



Nama-Nama yang Terlupakan Tapi Berjasa

Nyai Gede Pinatih: saudagar Gresik yang membiayai Sunan Giri dan pengiriman dakwah ke luar Jawa.

Haji Hasanuddin Banten: penguasa lada yang menyumbangkan armada untuk Sultan Ageng.

Para saudagar Arab, Gujarat, Makassar: yang membawa senapan, mesiu, dan ilmu dari luar negeri.

Mereka tak tercatat di buku sejarah resmi, tapi amal mereka tercatat di langit perjuangan.



Dari Pasar ke Panggung Sejarah

Apa yang mereka wariskan?

1. Semangat ekonomi mandiri.

2. Kesadaran bahwa dagang bukan hanya mencari nafkah, tapi membebaskan umat dari ketergantungan.

3. Lahirnya Sarekat Dagang Islam, koperasi umat, dan gerakan ekonomi rakyat.


Mereka adalah benih yang menumbuhkan semangat perlawanan ekonomi hari ini. Karena bangsa yang tak punya kemandirian dagang, akan dijajah dengan cara yang lebih halus: melalui harga, utang, dan pasar.



Jika Kau Tak Punya Senjata, Milikilah Timbangan

Bangsa ini bukan hanya dibela oleh tentara, tapi juga oleh para pedagang. Mereka tak menembak peluru, tapi mengalirkan logistik. Mereka tak berteriak di medan tempur, tapi berbisik dalam tawar-menawar: “Sebagian keuntungan ini untuk jihad.”

“Jika senjata dikuasai penjajah, maka kita pakai dagang sebagai senjata.”
“Dan kalau jalan menuju benteng ditutup, maka pasar kita jadikan benteng!”

Kisah Senyap Jihad Harta Para Wali, Sultan dan Rakyat  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik setiap tembakan meriam dan teriakan t...

Kisah Senyap Jihad Harta Para Wali, Sultan dan Rakyat 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di balik setiap tembakan meriam dan teriakan takbir di medan laga, ada doa seorang ibu yang menjual gelangnya. Di balik setiap benteng yang menjulang, ada seorang saudagar yang diam-diam menyerahkan ladangnya. Di balik baju zirah yang melindungi prajurit Islam, ada seorang petani yang menyumbangkan hasil panennya. Inilah jihad yang jarang ditulis: jihad harta.

Di tengah gempuran Portugis dan Belanda, ketika rakyat dicekik pajak dan petani kehilangan tanah, para wali dan sultan tidak hanya mengangkat senjata. Mereka juga mengangkat timbangan, membuka ladang-ladang wakaf, dan menyulap kekayaan menjadi amunisi jihad. Inilah kisah agung ketika emas dijadikan perisai, bukan hiasan.



Harta Mereka Bukan untuk Istana, Tapi untuk Umat

Para Wali Sanga hidup bukan dari tahta. Mereka hidup dari keikhlasan dan usaha. Sunan Giri membangun pesantren dan mengirim kapal dagang ke Lombok dan Maluku. Sunan Kalijaga membuat wayang dan ukiran, hasilnya diserahkan untuk umat. Sunan Ampel dan Sunan Bonang berdagang rempah dan hasil bumi, lalu menggunakannya untuk membiayai dakwah dan pasukan.

Sementara itu, para sultan—Demak, Banten, Cirebon, Giri, Mataram—tidak hanya mengumpulkan pajak. Mereka menjual perhiasan, merelakan tanah pusaka, dan melelang emas istana demi satu kalimat suci: "La ilaha illallah".

Sultan Agung menjual permata keraton untuk membangun galangan kapal.
Sultan Trenggana membeli kembali sawah rakyat yang dirampas Portugis.
Sultan Ageng Tirtayasa menyisihkan keuntungan lada demi membebaskan rakyat dari jerat utang Belanda.



Ketika Rakyat Diinjak, Para Wali Membayar Harga Kehormatan

Zaman itu rakyat bukan hanya miskin, tapi dihina. Tanah mereka dirampas. Anak mereka diperbudak. Ibu-ibu terpaksa menjual tubuh atau anaknya untuk makan. Dalam derita itu, para wali tidak tinggal diam.

Sunan Gunung Jati menebus utang petani pelabuhan Cirebon. Ulama Giri Kedaton membeli budak-budak Muslim di Malaka dan membawa mereka pulang sebagai manusia merdeka. Bahkan pesantren-pesantren menjual hasil tani dan kitab untuk membeli kembali kebun rakyat yang dikuasai VOC.

Di saat penjajah menjadikan tanah sebagai alat penaklukan, para wali menjadikannya ladang jihad.



Benteng Dibangun dari Wakaf, Meriam Dibeli dari Zakat

Jangan bayangkan benteng Jepara, Kartasura, atau Giri dibangun dari kas kerajaan saja. Rakyat biasa membawa batu, wakafkan kayu, dan menyumbang beras. Saudagar Arab dan Gujarat mengirim senapan dan mesiu sebagai bagian dari ikatan ukhuwah Islamiyah. Bahkan, banyak perempuan melepas perhiasan pernikahan mereka demi membeli pelindung bagi santri di garis depan.



Warisan yang Tidak Bisa Dijajah: Jiwa Berkorban

Jihad harta para wali dan sultan ini bukan hanya menyelamatkan satu generasi, tapi mewariskan roh kemerdekaan. Mereka membentuk tradisi gotong-royong jihad. Rakyat belajar bahwa tanah air bukan diwarisi secara gratis, tapi ditebus dengan keringat, darah, dan emas.

Semangat ini mengalir ke pesantren. Di kemudian hari, para pejuang kemerdekaan—KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim—berdiri di atas warisan moral itu: bahwa jihad bukan hanya di medan perang, tapi juga di ladang, pasar, dan meja infak.



Ketika Emas Tak Lagi Disembah, Tapi Dikorbankan

Di zaman ketika banyak bangsa kalah karena dijajah ekonominya, Nusantara punya rahasia: orang-orang yang rela miskin demi agar Islam tidak dihina. Mereka menjadikan kekayaan sebagai alat melawan, bukan alat menindas. Mereka lebih rela menjual rumah daripada membiarkan masjid dijadikan markas kafir.

Jangan takut miskin karena jihad. Sebab, lebih hina hidup dalam penjajahan daripada mati tanpa warisan.

Apakah kita siap meneladani mereka? Hari ini, kita mungkin tidak lagi diminta mengangkat pedang. Tapi apakah kita siap menyerahkan harta, waktu, dan kenyamanan untuk kebaikan umat?

Jika para wali dahulu berdagang untuk membiayai perang, mengapa kita tak bisa berdagang untuk membiayai dakwah?

Barisan yang Tak Tergoyahkan: Jejak Jihad Istana, Pesantren, dan Rumah di Jawa Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tanah yang harum ol...

Barisan yang Tak Tergoyahkan: Jejak Jihad Istana, Pesantren, dan Rumah di Jawa

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di tanah yang harum oleh langkah para wali dan doa para syuhada, perlawanan terhadap penjajahan bukan hanya lahir dari senjata, melainkan dari keyakinan. Inilah kisah ketika para sultan menjadi panglima, para ulama menjadi kompas, santri menjadi prajurit, dan rakyat menjadi benteng.

Kala VOC mengincar tanah Jawa, sebelum Belanda menancapkan kuku besinya di bumi pertiwi, kesultanan-kesultanan Islam telah terlebih dahulu mendirikan benteng perlawanan: Demak, Mataram, Cirebon, Banten, dan Giri Kedaton. Mereka bukan hanya kerajaan; mereka adalah madrasah ruhani, tempat ditempanya jiwa-jiwa yang siap gugur dalam nama keadilan dan tauhid.



Sultan: Pemimpin yang Membakar Harapan

Para sultan di era ini bukan hanya penguasa politik. Mereka berdiri di mimbar, turun ke pasar, dan menginjak tanah medan laga. Mereka mengobarkan semangat para bangsawan dan rakyat dengan narasi iman dan kehormatan. Sultan Trenggana dari Demak, Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng dari Banten—semuanya memimpin langsung, menyebut perlawanan ini bukan sekadar untuk merebut tanah, tapi untuk membebaskan ruh bangsa dari belenggu kekafiran dan ketidakadilan.

Dalam pidatonya, Sultan sering berkata:

"Kita tidak sedang mempertahankan kerajaan, tapi marwah agama dan masa depan anak cucu. Bila kita kalah, iman kalian akan dirampas seperti garam larut di laut."



Panglima: Ksatria yang Tidak Takut Mati

Para panglima perang seperti Adipati Yunus, Tumenggung Singaranu, atau komandan Giri Kedaton, adalah pemimpin sejati. Mereka tak hanya memerintah, tetapi tidur bersama prajurit dan berbagi nasi dengan rakyat. Sebelum perang, mereka menggenggam Al-Qur’an dan mengangkat pedang dengan doa. Di medan tempur, mereka berteriak:

"Hari ini bukan hari untuk menang, tapi untuk menunjukkan bahwa kita tidak tunduk pada kesewenangan!"



Ulama: Suara Langit yang Membakar Jiwa

Ulama-ulama besar seperti Sunan Kudus, Sunan Giri, Syekh Lemah Abang, dan para kiai Giri dan Cirebon menjadi ruh dari seluruh perlawanan. Mereka bukan pembisik pasif, melainkan pemantik semangat jihad. Mereka menuliskan fatwa jihad, memimpin dzikir akbar, dan menggantungkan bendera bertuliskan La ilaha illallah di halaman masjid dan benteng.

Dalam malam-malam sunyi sebelum perang, mereka mengimami shalat tahajud, membaca Surah Al-Anfal dan Al-Fath, serta Ratib al-Haddad dan Hizib Nashr. Pesan mereka sederhana:

"Kalian boleh kalah oleh peluru, tapi jangan pernah kalah oleh rasa takut."



Tentara, Santri, dan Rakyat: Barisan yang Tak Tergoyahkan

Tentara istana dibentuk dari para prajurit bangsawan dan bekas pasukan Majapahit yang telah masuk Islam. Mereka ahli berkuda, bersenjata keris dan tombak, serta diajarkan ilmu medan dan laut. Mereka dijuluki pengawal langit, karena sebelum bertempur, mereka berzikir seperti akan wafat.

Santri dilatih tak hanya dengan kitab kuning, tapi juga ilmu panah, bela diri, dan strategi gerilya. Di bawah komando para kiai, mereka menjadi unit-unit laskar pesantren yang bergerak dari dusun ke dusun, membakar semangat rakyat, sekaligus menjadi mata-mata dan pembawa kabar.

Rakyat biasa: petani, nelayan, pedagang kecil, ikut dalam gelombang perlawanan. Mereka mengangkut logistik, menyembunyikan pejuang, menyuplai makanan, dan dalam banyak kasus, turut mengangkat senjata meskipun hanya dengan bambu runcing dan parang warisan leluhur.



Pemersatu Perlawanan: Islam, Iman, dan Persaudaraan

Apa yang menyatukan mereka semua? Bukan upah. Bukan jabatan. Tapi cinta pada tanah air dan cinta pada agama. Masjid menjadi markas, pesantren menjadi benteng, dan rumah rakyat menjadi gudang senjata.

Sultan, ulama, santri, dan rakyat tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka membentuk semacam Majelis Syura Perlawanan: sebuah dewan tidak resmi yang mengatur siasat tempur, distribusi logistik, hingga strategi dakwah ke pedalaman.

“Jangan tanyakan siapa yang memulai. Tapi jadilah bagian dari yang menyelesaikan penjajahan ini,” ujar salah satu panglima Giri kepada pasukannya.



Warisan Abadi: Jiwa Merdeka yang Tak Bisa Dijajah

Meskipun banyak pertempuran dimenangkan Belanda dengan tipu daya, senjata modern, dan politik adu domba, mereka gagal menjajah ruh perlawanan. Sebab, ruh itu turun temurun hidup dalam darah para santri, dai, dan rakyat.

Jejaknya terlihat jelas dalam perang Diponegoro, pemberontakan Banten, pemberontakan petani di Cirebon, hingga pergerakan nasional dan lahirnya Republik Indonesia. Semuanya berakar pada spirit jamaah, jihad, dan keadilan yang diwariskan oleh kesultanan Islam.



Bila Doa dan Darah Menjadi Satu

Bangsa ini tidak lahir dari meja perundingan saja. Ia tumbuh dari dzikir para kiai, air mata ibu, darah prajurit, dan keberanian petani. Mereka yang dulu bersujud sebelum berangkat perang telah membangun fondasi kebebasan kita.

"Kalau bukan karena mereka yang berjaga di malam hari dengan wirid, dan bertempur di siang hari dengan semangat, kita mungkin masih dijajah sampai hari ini."

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (473) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)