Barisan yang Tak Tergoyahkan: Jejak Jihad Istana, Pesantren, dan Rumah di Jawa
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di tanah yang harum oleh langkah para wali dan doa para syuhada, perlawanan terhadap penjajahan bukan hanya lahir dari senjata, melainkan dari keyakinan. Inilah kisah ketika para sultan menjadi panglima, para ulama menjadi kompas, santri menjadi prajurit, dan rakyat menjadi benteng.
Kala VOC mengincar tanah Jawa, sebelum Belanda menancapkan kuku besinya di bumi pertiwi, kesultanan-kesultanan Islam telah terlebih dahulu mendirikan benteng perlawanan: Demak, Mataram, Cirebon, Banten, dan Giri Kedaton. Mereka bukan hanya kerajaan; mereka adalah madrasah ruhani, tempat ditempanya jiwa-jiwa yang siap gugur dalam nama keadilan dan tauhid.
Sultan: Pemimpin yang Membakar Harapan
Para sultan di era ini bukan hanya penguasa politik. Mereka berdiri di mimbar, turun ke pasar, dan menginjak tanah medan laga. Mereka mengobarkan semangat para bangsawan dan rakyat dengan narasi iman dan kehormatan. Sultan Trenggana dari Demak, Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng dari Banten—semuanya memimpin langsung, menyebut perlawanan ini bukan sekadar untuk merebut tanah, tapi untuk membebaskan ruh bangsa dari belenggu kekafiran dan ketidakadilan.
Dalam pidatonya, Sultan sering berkata:
"Kita tidak sedang mempertahankan kerajaan, tapi marwah agama dan masa depan anak cucu. Bila kita kalah, iman kalian akan dirampas seperti garam larut di laut."
Panglima: Ksatria yang Tidak Takut Mati
Para panglima perang seperti Adipati Yunus, Tumenggung Singaranu, atau komandan Giri Kedaton, adalah pemimpin sejati. Mereka tak hanya memerintah, tetapi tidur bersama prajurit dan berbagi nasi dengan rakyat. Sebelum perang, mereka menggenggam Al-Qur’an dan mengangkat pedang dengan doa. Di medan tempur, mereka berteriak:
"Hari ini bukan hari untuk menang, tapi untuk menunjukkan bahwa kita tidak tunduk pada kesewenangan!"
Ulama: Suara Langit yang Membakar Jiwa
Ulama-ulama besar seperti Sunan Kudus, Sunan Giri, Syekh Lemah Abang, dan para kiai Giri dan Cirebon menjadi ruh dari seluruh perlawanan. Mereka bukan pembisik pasif, melainkan pemantik semangat jihad. Mereka menuliskan fatwa jihad, memimpin dzikir akbar, dan menggantungkan bendera bertuliskan La ilaha illallah di halaman masjid dan benteng.
Dalam malam-malam sunyi sebelum perang, mereka mengimami shalat tahajud, membaca Surah Al-Anfal dan Al-Fath, serta Ratib al-Haddad dan Hizib Nashr. Pesan mereka sederhana:
"Kalian boleh kalah oleh peluru, tapi jangan pernah kalah oleh rasa takut."
Tentara, Santri, dan Rakyat: Barisan yang Tak Tergoyahkan
Tentara istana dibentuk dari para prajurit bangsawan dan bekas pasukan Majapahit yang telah masuk Islam. Mereka ahli berkuda, bersenjata keris dan tombak, serta diajarkan ilmu medan dan laut. Mereka dijuluki pengawal langit, karena sebelum bertempur, mereka berzikir seperti akan wafat.
Santri dilatih tak hanya dengan kitab kuning, tapi juga ilmu panah, bela diri, dan strategi gerilya. Di bawah komando para kiai, mereka menjadi unit-unit laskar pesantren yang bergerak dari dusun ke dusun, membakar semangat rakyat, sekaligus menjadi mata-mata dan pembawa kabar.
Rakyat biasa: petani, nelayan, pedagang kecil, ikut dalam gelombang perlawanan. Mereka mengangkut logistik, menyembunyikan pejuang, menyuplai makanan, dan dalam banyak kasus, turut mengangkat senjata meskipun hanya dengan bambu runcing dan parang warisan leluhur.
Pemersatu Perlawanan: Islam, Iman, dan Persaudaraan
Apa yang menyatukan mereka semua? Bukan upah. Bukan jabatan. Tapi cinta pada tanah air dan cinta pada agama. Masjid menjadi markas, pesantren menjadi benteng, dan rumah rakyat menjadi gudang senjata.
Sultan, ulama, santri, dan rakyat tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka membentuk semacam Majelis Syura Perlawanan: sebuah dewan tidak resmi yang mengatur siasat tempur, distribusi logistik, hingga strategi dakwah ke pedalaman.
“Jangan tanyakan siapa yang memulai. Tapi jadilah bagian dari yang menyelesaikan penjajahan ini,” ujar salah satu panglima Giri kepada pasukannya.
Warisan Abadi: Jiwa Merdeka yang Tak Bisa Dijajah
Meskipun banyak pertempuran dimenangkan Belanda dengan tipu daya, senjata modern, dan politik adu domba, mereka gagal menjajah ruh perlawanan. Sebab, ruh itu turun temurun hidup dalam darah para santri, dai, dan rakyat.
Jejaknya terlihat jelas dalam perang Diponegoro, pemberontakan Banten, pemberontakan petani di Cirebon, hingga pergerakan nasional dan lahirnya Republik Indonesia. Semuanya berakar pada spirit jamaah, jihad, dan keadilan yang diwariskan oleh kesultanan Islam.
Bila Doa dan Darah Menjadi Satu
Bangsa ini tidak lahir dari meja perundingan saja. Ia tumbuh dari dzikir para kiai, air mata ibu, darah prajurit, dan keberanian petani. Mereka yang dulu bersujud sebelum berangkat perang telah membangun fondasi kebebasan kita.
"Kalau bukan karena mereka yang berjaga di malam hari dengan wirid, dan bertempur di siang hari dengan semangat, kita mungkin masih dijajah sampai hari ini."
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif