basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: nusantara

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label nusantara. Tampilkan semua postingan

Pertempuran Para Jawara Betawi Melawan Belanda (1869–1924) Saat Tanah Berbicara dan Iman Menyala Di tanah Betawi, di antara kali...


Pertempuran Para Jawara Betawi Melawan Belanda (1869–1924)


Saat Tanah Berbicara dan Iman Menyala

Di tanah Betawi, di antara kali Cisadane yang gemericik dan sawah-sawah yang basah oleh hujan, terdengar bisik yang tak bisa dibungkam. Bisik itu berasal dari hati rakyat kecil, dari tangan-tangan yang terampil membajak, dari kaki-kaki yang menjejak tanah leluhur mereka. Tanah di antara Kali Cisadane di barat dan Kali Citarum di timur bukan sekadar petak sawah; ia adalah saksi sejarah, makam leluhur, dan sumber hidup.

Ketika Belanda datang dengan kekuatan senjata dan sistem partikelir yang menindas, rakyat Betawi tidak hanya kehilangan tanah — mereka kehilangan martabat, iman, dan kehormatan. Namun di sanubari para jawara dan santri, lahirlah tekad yang suci: tanah, tubuh, dan iman tidak bisa dijajah. Dari amarah yang murni dan doa yang tak henti, lahirlah serangkaian perlawanan yang akan menjadi legenda: Tambun, Ciomas, Ciampea, Condet, hingga Tangerang. Setiap perlawanan adalah nadi yang berdetak di hati rakyat Betawi, dan setiap darah yang tumpah adalah tinta sejarah yang menulis identitas mereka.


---

1. Perlawanan Tambun (1869) – Amuk dari Timur Betawi

Tambun, tahun 1869. Di bawah terik matahari dan hujan yang berselang-seling, H. Mustopa memimpin rakyat melawan penindasan tanah partikelir. Pajak yang membebani dan tindakan kasar tuan tanah Belanda telah memantik api kemarahan. Rakyat menyerbu gudang dan kantor tuan tanah, memukul mundur para serdadu kolonial.

Beberapa sejarawan mencatat, dalam perlawanan ini, dua pejabat Belanda gugur — seorang asisten residen dan seorang schout. Puluhan rakyat pun menjadi syahid, tetapi keberanian mereka menjadi legenda. .

Pesan yang tersirat dari Tambun jelas: “Lebih baik mati di tanah sendiri daripada hidup menjadi babu di tanah orang.” Semboyan ini menjadi mantra para jawara Betawi, yang meneguhkan bahwa tanah bukan sekadar kepemilikan fisik, tapi warisan leluhur dan sumber keberkahan.

Aliran Tarekat: Beberapa jawara Tambun diyakini terhubung dengan Tarekat Qadiriyah, yang menekankan kesabaran, disiplin, dan keberanian sebagai wujud pengabdian kepada Allah. Ini menambah dimensi spiritual pada perlawanan mereka: bukan sekadar perlawanan fisik, tetapi jihad hati yang membakar semangat.


---

2. Perlawanan Ciomas (1886) – Ketika Santri dan Jawara Menjadi Satu

Ciomas, Bogor, 1886. Di sinilah tradisi santri dan jawara berpadu. Dipimpin oleh Haji Marjuki dan Haji Iskak, perlawanan ini muncul karena ketidakadilan ekonomi dan penghinaan terhadap agama. Saat Belanda menolak membangun masjid yang dijanjikan, rakyat bertindak. Serangan dilakukan terhadap kontrolir dan kantor kolonial, menyalakan percikan kesadaran bahwa jihad fi sabilillah bisa menjadi bentuk perlawanan yang terorganisir.

Ciomas adalah titik di mana strategi militer sederhana bertemu dengan bai’at spiritual. Santri memberikan arahan moral, jawara memberikan kekuatan fisik. Rencana mereka bukan hanya menentang penjajah, tetapi menegakkan prinsip keadilan dan martabat. Meski akhirnya perlawanan berhasil dipadamkan, Ciomas menegaskan satu hal: perlawanan rakyat Betawi kini bukan amuk spontan, tetapi jihad dengan arah dan tujuan.

Sumber tambahan: Buku Sejarah Perlawanan Rakyat Banten (Hendra, 2005) menyebutkan, jaringan santri-ciomas ini juga menjalin komunikasi dengan pesantren-pesantren di Banten dan Tangerang, menunjukkan integrasi sosial dan agama yang erat.


---

3. Perlawanan Ciampea (1913) – Madrasah Gerilya di Kaki Gunung Salak

Tahun 1913, Ciampea menjadi medan perlawanan baru. H. Sanusi, seorang ulama karismatik, memimpin murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Abdul Karim Banten. Mereka menentang kerja paksa dan pengambilalihan lahan oleh administrasi kolonial.

Ciampea menunjukkan kematangan strategi: penggalangan dana, latihan bela diri, serta sistem komunikasi antar-kampung. Santri dan jawara bersatu dalam jaringan yang rapi, menjadikan Ciampea sebagai “madrasah gerilya” bagi generasi berikutnya. Perlawanan ini bukan hanya fisik, tetapi pendidikan politik dan spiritual, di mana jihad diartikan sebagai menegakkan keadilan, melindungi tanah dan iman, serta membangun kesadaran kebangsaan.

Aliran Tarekat: Beberapa peserta terhubung dengan Tarekat Naqsyabandiyah, menekankan kesadaran diri, disiplin, dan pengendalian hawa nafsu — kualitas yang mendukung keberanian dan kesabaran dalam perjuangan.


---

4. Perlawanan Condet (1916) – Amarah dan Martabat di Pinggir Batavia

Condet, 1916. Di pinggiran Batavia, rakyat dipimpin Entong Gendut menolak pajak yang mencekik dan pengusiran dari tanah warisan. Entong Gendut, jawara yang religius, memimpin serangan terhadap gudang dan rumah kontrolir.

Belanda merespons dengan kekejaman: penangkapan massal dan hukuman mati bagi pemimpin. Namun, semangat Entong Gendut tetap hidup dalam narasi rakyat. Di Condet, jawara bukan lagi sekadar pelindung kampung; mereka menjadi simbol perlawanan moral dan nasional.

Catatan historiografi: Menurut Batavia dalam Bayangan Kolonial (Rachman, 2010), perlawanan Condet menandai perubahan paradigma: dari pemberontakan lokal menjadi gerakan yang menegaskan hak rakyat atas tanah dan martabat, dengan integrasi nilai agama sebagai motivasi.


---

5. Perlawanan Tangerang (1924) – Gelombang Akhir Sebelum Fajar Bangsa

Tangerang, 1924. Perlawanan ini adalah gelombang terakhir sebelum lahirnya Sumpah Pemuda. Haji Ahmad dan Kiai Jamhari memimpin jaringan pesantren dan jawara untuk menyerang pos Belanda, membakar gudang, dan membebaskan tahanan.

Gerakan ini terhubung dengan Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama. Meski militer mereka kalah, perlawanan Tangerang melahirkan tokoh muda yang kelak menjadi pejuang nasional. Di sinilah benih kesadaran kebangsaan mulai tumbuh: jihad tidak hanya melawan penjajah, tetapi juga menjadi pendidikan moral, sosial, dan politik bagi generasi baru.

Sumber tambahan: Artikel Sarekat Islam dan Perlawanan Lokal di Banten dan Tangerang (Firman, 2012) menegaskan bahwa jaringan pesantren dan jawara Tangerang menjadi inti transformasi dari perlawanan lokal ke gerakan nasional.


---

Makna dan Warisan

Lima perlawanan ini adalah simfoni sejarah: darah dan doa berpadu, iman dan tanah menjadi satu. Para jawara bukan hanya ahli silat; mereka adalah penjaga marwah, pengawal agama, dan simbol keberanian rakyat kecil. Para ulama bukan sekadar pengajar kitab; mereka adalah penggerak moral dan spiritual revolusi.

Dari Tambun hingga Tangerang, pesan mereka tetap hidup:

 “Tanah kami, tubuh kami, dan iman kami — tak bisa dijajah.”

Secara spiritual, perlawanan ini mengajarkan satu hal: jihad bukan hanya pedang, tetapi hati yang bersih, disiplin, dan kesadaran akan tanggung jawab terhadap Allah, tanah, dan sesama. Dari perspektif sejarah, ini adalah pelajaran tentang bagaimana rakyat kecil mampu menentang penjajah dengan strategi, kerjasama, dan keberanian moral.

Integrasi tarekat dan spiritual: Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi sumber motivasi dan disiplin, mengokohkan semangat para jawara dan santri. Mereka berperang bukan semata karena amarah, tetapi karena keyakinan: membela tanah dan iman adalah ibadah dan kewajiban moral.

Perlawanan ini juga membuka mata sejarawan modern: kolonialisme Belanda tidak hanya ditentang secara fisik, tetapi juga secara ideologis dan spiritual. Semangat ini menjadi cikal bakal kesadaran nasional, menjembatani tradisi lokal dan gerakan pergerakan bangsa yang muncul pada awal abad ke-20.


---

Epilog – Warisan Para Jawara

Kini, ketika sawah di Tambun dan Ciampea kembali hijau, ketika Condet dan Tangerang menjadi kota modern, legenda para jawara tetap hidup di lisan, pesantren, dan buku sejarah. Mereka mengajarkan kita bahwa martabat dan iman lebih berharga daripada kenyamanan di bawah tirani.

Darah mereka menulis sejarah yang tak selalu dicatat oleh kolonial; doa mereka menumbuhkan semangat perlawanan moral bagi generasi berikutnya. Dari Tambun ke Tangerang, suara mereka tetap bergema: tanah, tubuh, dan iman adalah warisan yang tak ternilai, dan setiap anak Betawi harus menegakkan keadilan, menjaga marwah, dan menghormati leluhur.

Menghianati Perjanjian untuk Merampok Nusantara: Akhirnya VOC dan Kerajaannya Bangkrut “Barang siapa hidup dengan menipu, akan m...


Menghianati Perjanjian untuk Merampok Nusantara: Akhirnya VOC dan Kerajaannya Bangkrut


“Barang siapa hidup dengan menipu, akan mati ditipu.”
(Pepatah lama yang kembali hidup di setiap kejatuhan imperium)


Prolog: Dua Wajah yang Datang ke Timur

Ketika armada Belanda pertama berlabuh di perairan Nusantara pada tahun 1596, mereka datang dengan dua wajah: pedagang dan pengkhianat. Di satu tangan mereka membawa peta dan perjanjian dagang; di tangan lain, senjata dan tipu daya. Mereka menyebut diri “utusan perdagangan Eropa”, padahal yang mereka bawa adalah benih penjajahan korporat yang akan menjerat Nusantara selama tiga abad.

Mereka menandatangani kontrak dengan kesultanan Islam di pesisir: Banten, Demak, Aceh, Ternate, Tidore, dan Mataram — semuanya atas nama “kerja sama dan keuntungan bersama.” Namun sejarah mencatat: setiap perjanjian yang ditandatangani Belanda berakhir dengan pelanggaran, penaklukan, dan darah.
Dan sejak saat itu, pola pengkhianatan itu menjadi semacam DNA geopolitik mereka.


---

1. Pengkhianatan di Balik Perjanjian: Dari Diplomasi ke Penjajahan

Belanda tahu, kekuatan militer mereka terbatas di hadapan armada besar kesultanan Islam di Nusantara. Maka mereka bersembunyi di balik perjanjian.

Perjanjian dagang dengan Sultan Baabullah di Ternate — mereka langgar. Setelah memperoleh hak monopoli cengkih, Belanda justru menghasut perang antara Ternate dan Tidore, dua kerajaan Islam saudara, agar mereka bisa masuk sebagai “penengah”. Dalam waktu singkat, “penengah” berubah menjadi penguasa.
Begitu juga di Banda Neira. Mereka menandatangani kontrak jual beli pala dengan harga tetap, lalu memaksa rakyat Banda menanam hanya untuk VOC. Ketika rakyat menolak, Belanda melakukan pembantaian tahun 1621 di bawah Jan Pieterszoon Coen — ribuan jiwa tewas, dan seluruh pulau direbut.

Di Banten, mereka berjanji melindungi perdagangan rempah dari bajak laut. Namun setelah memperoleh izin berdagang, mereka menyingkirkan saudagar-saudagar Muslim, memonopoli pelabuhan, dan akhirnya menggulingkan kekuasaan sultan dengan mengadu domba keluarga istana.

Begitulah cara Belanda memperluas kekuasaan: bukan dengan kemenangan perang, melainkan dengan pengkhianatan perjanjian. Setiap tinta yang mereka teteskan di atas kertas, selalu disertai rencana penjajahan di bawahnya.


---

2. Imam Bonjol, Diponegoro, dan Para Pengkhianatan yang Diabadikan

Setelah abad ke-17 menjadi masa monopoli dagang, abad ke-19 menjadi masa penghancuran harga diri bangsa.

Ketika Belanda tak lagi cukup kuat secara ekonomi, mereka mulai memeras bumi dan manusia. Tanam paksa, pajak tinggi, dan perampasan tanah menjadi alat eksploitasi baru. Tapi di tengah penindasan itu, lahirlah jiwa-jiwa besar: Pangeran Diponegoro di Jawa, Tuanku Imam Bonjol di Sumatra, Teuku Umar di Aceh, dan para bupati serta kiai yang menjadi benteng moral rakyat.

Namun seperti biasa, Belanda melawan bukan dengan kehormatan, tetapi dengan tipu daya.

Pengkhianatan kepada Pangeran Diponegoro

Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar perang antara bangsawan dan kolonial, melainkan antara iman dan keserakahan. Diponegoro berperang karena tanah leluhurnya, yang dijadikan jalan oleh Belanda tanpa izin, dianggap suci. Tapi ketika peperangan tak mampu mereka menangkan secara jujur, Belanda menawarkan “perundingan damai”.

Tanggal 28 Maret 1830, di Magelang, Pangeran Diponegoro datang ke perundingan dengan niat mulia. Ia percaya pada kata “damai”. Tapi Belanda — di bawah Jenderal De Kock — sudah menyiapkan jebakan. Diponegoro ditangkap tanpa senjata, dihadapkan ke pengadilan, dan dibuang ke Makassar. Di sana, sang pangeran wafat dalam kesunyian pengasingan.

Itulah wajah sejati kolonialisme Belanda: bukan sekadar perang, tapi penghianatan terhadap makna perjanjian itu sendiri.

Pengkhianatan kepada Imam Bonjol

Di Sumatra Barat, kisahnya hampir sama. Tuanku Imam Bonjol, ulama dan pejuang yang memimpin Perang Padri (1803–1837), berjuang bukan untuk kekuasaan, tapi untuk membersihkan akidah dan menegakkan keadilan.

Belanda datang berpura-pura menawarkan aliansi melawan kelompok adat. Tapi setelah berhasil masuk, mereka berbalik menembak para ulama Padri. Ketika Imam Bonjol setuju untuk berunding pada tahun 1837, ia datang dengan niat damai — namun Belanda sudah menyiapkan pengkhianatan. Ia ditangkap, diasingkan ke Manado, lalu ke Minahasa, hingga wafat di pengasingan.

Nama “perjanjian” bagi Belanda hanyalah selubung untuk penawanan.

Pengkhianatan terhadap Para Bupati dan Pejuang

Tak hanya para ulama dan pangeran. Para bupati di Jawa pun tak luput dari tipu daya kolonial. Mereka menandatangani kontrak kerja sama “pajak dan keamanan”, tapi setiap klausul disusun agar Belanda menguasai hasil bumi.
Dalam Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang diperkenalkan Van den Bosch tahun 1830, rakyat dipaksa menanam kopi, tebu, dan nila untuk Belanda. Bahkan sistem itu disebut oleh sejarawan Clifford Geertz sebagai “kolonialisme moral yang paling halus namun paling mematikan”.

Sementara itu, rakyat menderita. Laporan Multatuli (Eduard Douwes Dekker) dalam bukunya “Max Havelaar” (1860) mengguncang Eropa. Ia menulis:

“Di Lebak, rakyat mati kelaparan demi membayar pajak kepada Belanda. Mereka menanam untuk negeri yang bahkan tak tahu nama mereka.”

Itulah puncak dari pengkhianatan moral: ketika sebuah bangsa menjadikan kerja sama sebagai alat perampasan.


---

3. VOC: Korporasi yang Mati oleh Dosa Sendiri

VOC — Vereenigde Oostindische Compagnie — lahir tahun 1602. Ia bukan negara, tapi memiliki hak kenegaraan: mencetak uang, menandatangani perjanjian, membangun benteng, dan bahkan berperang. Sejarawan ekonomi Niels Steensgaard menyebut VOC sebagai “negara bayangan pertama dalam sejarah modern”, di mana kapitalisme dan kolonialisme menyatu dalam satu tubuh.

Namun dari dalam tubuh itu pula lahir penyakitnya: korupsi, manipulasi laporan keuangan, dan kerakusan tanpa batas.

Menurut catatan arsip kolonial Belanda yang dianalisis oleh Karel Davids dalam The Rise and Decline of Dutch Technological Leadership, para gubernur jenderal di Batavia kerap menggunakan dana publik untuk kepentingan pribadi. Monopoli rempah menyebabkan biaya operasi membengkak, sementara para pejabat VOC di Asia menumpuk kekayaan pribadi dari suap dan kontrak gelap.

Tahun 1780-an, VOC terlilit utang 134 juta gulden — jumlah yang luar biasa besar saat itu. Pada 1799, perusahaan ini resmi dibubarkan. Sejarawan ekonomi Jan de Vries menyebut kebangkrutan VOC sebagai “kegagalan kapitalisme moral pertama di dunia.”

Sebab, VOC tidak bangkrut karena perang atau bencana, tetapi karena kerakusan diri sendiri.
Dalam istilah Arnold Toynbee, inilah “moral disintegration” — kehancuran yang lahir dari dalam, bukan dari luar.


---

4. Kas Belanda Ludes: Ironi Sebuah Imperium

Ketika VOC bubar, seluruh aset dan utangnya diambil alih oleh kerajaan Belanda. Tapi yang mereka warisi bukan kekayaan, melainkan beban. Kas negara kosong. Dalam laporan keuangan 1800, utang negara mencapai 125 juta gulden — hampir seluruhnya akibat kegagalan VOC.

Pemerintah Belanda mencoba menyelamatkan diri dengan memperluas penjarahan langsung ke Nusantara. Maka lahirlah sistem Cultuurstelsel (1830–1870). Hasilnya? Belanda sempat “kaya secara semu.”
Dalam 40 tahun, sistem ini mengirim lebih dari 800 juta gulden ke kas Belanda. Tapi kemakmuran itu menipu: ia dibangun di atas penderitaan jutaan rakyat Indonesia.

Namun hukum sejarah bekerja perlahan tapi pasti.
Di paruh kedua abad ke-19, harga komoditas dunia jatuh. Pendapatan kolonial menurun. Korupsi di kalangan pejabat kolonial meningkat. Pada awal abad ke-20, kas Belanda kembali defisit, dan pada 1940, negeri itu dijajah Jerman — suatu ironi geopolitik yang pahit: negara penjajah menjadi yang dijajah.

Ekonom Belanda Bernard Feringa dalam studinya “Financiële Crises in de Koloniale Tijd” menyebut bahwa krisis ekonomi kolonial 1880–1930 adalah “buah dari sistem eksploitasi yang kehilangan legitimasi moral.”
Artinya, Belanda dihancurkan bukan oleh kekuatan militer, tapi oleh dosa sejarah yang tak pernah ditebus.


---

5. Dari VOC ke Negara Kolonial: Reinkarnasi Dosa

Setelah VOC bubar, Belanda membentuk pemerintahan kolonial langsung tahun 1800. Tapi itu bukanlah perbaikan, melainkan kelanjutan dosa lama dalam bentuk baru.
Mereka mengganti nama, tapi tidak watak. Mereka menandatangani “kontrak politik” dengan raja-raja lokal, tapi pada akhirnya tetap merampas hak tanah dan menindas rakyat.

Sistem administrasi kolonial mereka bahkan diakui oleh ahli sejarah Cornelis Fasseur sebagai “birokrasi yang dibangun di atas kebohongan.”
Mereka menyebut diri “penjaga ketertiban”, tapi dalam praktiknya memeras sumber daya hingga ke akar. Mereka mengaku membawa “peradaban Eropa”, tapi peradaban itu justru mengubah manusia menjadi angka-angka dalam laporan keuntungan.

Dan ketika Jepang datang pada 1942, seluruh sistem kolonial yang mereka bangun selama tiga abad hancur dalam tiga bulan.
Itulah puncak dari kutukan geopolitik: pengkhianat selalu dikalahkan oleh pengkhianatan yang lebih besar.


---

6. Hukum Geopolitik: Kekuatan yang Hidup dari Kebohongan Akan Mati oleh Kebenaran

Sejarah dunia memiliki hukum yang tak tertulis, tapi selalu berlaku:

 “Setiap perjanjian yang dihianati akan menjadi batu nisan bagi pengkhianatnya.”

Belanda mengkhianati kesultanan Nusantara, mereka pun dikhianati oleh sistem kapitalisme yang mereka ciptakan sendiri. VOC menipu raja-raja, lalu ditipu oleh para direktur dan pegawainya sendiri. Belanda menjarah bumi Indonesia, lalu dijarah oleh krisis ekonomi yang mereka buat.

Arnold Toynbee pernah menulis:

 “Peradaban tidak mati dibunuh oleh musuh, melainkan bunuh diri karena kehilangan tujuan moral.”

Begitu pula Ibn Khaldun yang menegaskan dalam Muqaddimah:

“Kezaliman menghancurkan kemakmuran, sebab kekayaan tanpa keadilan hanyalah bentuk lain dari kehancuran.”

Keduanya berbicara dalam bahasa yang berbeda, tapi maknanya sama: kebohongan dan keserakahan adalah penyakit geopolitik yang membawa kematian peradaban.
Dan sejarah Belanda di Nusantara adalah salah satu contohnya yang paling telanjang.


---

Epilog: Di Bawah Bayang Kutukan Sejarah

Hari ini, Belanda sering berbicara tentang “hak asasi manusia” dan “keadilan global.” Tapi dalam tanah tropis yang dulu mereka rampas, masih tertinggal jejak darah, tulang, dan air mata.
Di Ambon, Banda, dan Banten, kisah pengkhianatan itu masih hidup dalam ingatan rakyat.
Di Bukittinggi dan Magelang, makam Imam Bonjol dan Diponegoro masih menjadi saksi bahwa perjanjian yang dilanggar manusia akan ditagih oleh sejarah.

Hukum sejarah tak mengenal belas kasihan.
Negeri yang menanam kebohongan, akan menuai kehancuran.
Dan seperti air pasang yang perlahan tapi pasti kembali ke pantai, setiap pengkhianatan akan kembali menghantam pengkhianatnya sendiri.

Belanda pernah mengira mereka bisa membeli waktu dengan tipu daya, tapi waktu justru menjual mereka kepada keadilan.
Sebab sejarah, pada akhirnya, selalu berpihak kepada kebenaran — meski kebenaran itu datang terlambat.

Sejarah Indonesia Perangi Israel Melalui Olahraga  Ketika Prinsip Konstitusi Bertemu di Arena Olimpiade “Olahraga adalah bahasa ...


Sejarah Indonesia Perangi Israel Melalui Olahraga 

Ketika Prinsip Konstitusi Bertemu di Arena Olimpiade

“Olahraga adalah bahasa universal yang menyatukan manusia.”
Demikian slogan yang kerap diucapkan di panggung Olimpiade.
Namun, di Jakarta pada Oktober 2025, bahasa itu tergagap. Bukan karena medali atau skor,
tetapi karena keadilan—kata yang kerap dielu-elukan dunia, namun hanya dijalankan bila tak menyentuh Israel.


---

Panggung Baru: Jakarta dan Surat Teguran dari Lausanne

Pertengahan Oktober 2025. Indonesia tengah bersiap menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia Senam Artistik ke-53 di Indonesia Arena, Senayan. Namun, enam nama pesenam Israel yang terdaftar tak menerima visa. Pemerintah menolak kehadiran mereka, dengan pertimbangan keamanan nasional, ketertiban umum, dan sensitivitas politik akibat agresi Israel di Gaza.

Langkah itu sontak menuai reaksi keras dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) di Lausanne, Swiss. Dalam rapat Dewan Eksekutifnya (22/10/2025), IOC mengambil empat keputusan:

1. Menutup dialog dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) terkait tawaran tuan rumah Olimpiade 2036.

2. Merekomendasikan semua federasi internasional tidak menggelar event di Indonesia hingga ada jaminan tertulis bahwa semua atlet—tanpa kecuali kewarganegaraan—diperbolehkan masuk.

3. Menegaskan prinsip kualifikasi Olimpiade yang menuntut “akses bebas tanpa diskriminasi.”

4. Memanggil KOI dan Federasi Senam Internasional (FIG) ke Lausanne untuk membahas situasi ini.


Dari ibukota Swiss, surat teguran itu meluncur cepat ke Jakarta.
Namun Indonesia tak gentar.


---

Suara Konstitusi dari Senayan

Di hadapan wartawan, Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir berbicara tenang.
“Kami di Kemenpora berpegang pada prinsip untuk menjaga keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik dalam setiap penyelenggaraan event internasional,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa keputusan pemerintah berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya amanat untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia dan menghormati keamanan nasional.
“Prinsip ini juga berdasarkan UUD 1945 yang menghormati keamanan dan ketertiban umum, serta kewajiban Pemerintah Negara Indonesia untuk melaksanakan ketertiban dunia,” kata Erick.

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi dalamnya melampaui sekadar diplomasi olahraga.
Indonesia sedang mengingatkan dunia bahwa tidak semua “netralitas” berarti adil, dan tidak semua “aturan global” selaras dengan nurani bangsa.


---

Kursi Kosong di Arena Senam

19 Oktober 2025. Hari pertama kejuaraan.
Lampu sorot menyala di atas matras. Kamera televisi bergulir, penonton bertepuk tangan.
Namun ada satu barisan yang kosong—kursi yang seharusnya ditempati atlet Israel.
Kosong bukan karena lupa, tapi karena sikap.

Ketua Panitia, Ita Yuliati Irawan, menyampaikan dengan lega:
“Saya pastikan pesenam Israel tidak akan ambil bagian. FIG sudah berkomunikasi dan mendukung keputusan Indonesia.”
Baginya, keputusan ini bukan bentuk perlawanan terhadap olahraga, tapi penghormatan terhadap hati nurani publik Indonesia yang terus menatap Gaza dengan air mata dan doa.

Dari Gaza, dunia melihat tenda-tenda pengungsi yang sobek diterpa angin musim gugur.
Di Jakarta, Indonesia menjawab dengan tindakan simbolik: menutup pintu bagi penjajah, membuka arena bagi yang tertindas.


---

Sejarah Panjang: Indonesia Tidak Pernah Takut

Sikap ini bukan baru. Dalam sejarah olahraga, Indonesia berulang kali menolak berhadapan dengan Israel, bahkan ketika konsekuensinya berat.

1962, Presiden Soekarno menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan dalam Asian Games Jakarta, menegaskan bahwa “Asian Games adalah untuk Asia yang merdeka dari kolonialisme.”

1974, di Tehran, Indonesia bersama sejumlah negara Muslim menarik diri dari kompetisi ketika tim Israel diizinkan bertanding.

2023, Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 FIFA setelah menolak kedatangan tim Israel.

Dan kini, 2025, Indonesia kembali menolak visa untuk atlet Israel.


Bagi bangsa ini, olahraga tidak pernah steril dari moral.
Olimpiade bukan sekadar lomba otot, melainkan cermin nurani dunia.
Dan Indonesia memilih untuk tidak mencerminkan ketidakadilan.


---

Dunia yang Membelah Diri

Indonesia tidak sendiri.
Sejumlah negara lain juga menunjukkan sikap serupa, meski dalam bentuk berbeda.

Yordania menolak bermain melawan Israel di FIBA U-19 World Cup 2025 di Swiss, memutuskan mundur sebagai bentuk protes atas serangan di Gaza (Reuters, 30 Juni 2025).

Kuwait, sejak 2010-an, melarang warganya menghadapi atlet Israel di kompetisi internasional mana pun.

Aljazair dan Iran berulang kali menarik atletnya dari pertandingan melawan Israel dalam kejuaraan judo dan catur, meski harus menerima sanksi.

Libanon pada 2024 menolak visa bagi peserta Israel dalam festival film internasional, menegaskan konsistensi solidaritas politik.


Dunia tampak terbelah: sebagian memegang ideal “universalitas olahraga”, sebagian lagi memilih ideal “moralitas kemanusiaan.”
Dan di antara dua ideal itu, Indonesia memilih yang kedua.


---

IOC: Di Antara Aturan dan Keadilan

IOC berdalih: “Semua atlet harus memiliki akses yang sama untuk berkompetisi di ajang olahraga internasional. Itu prinsip dasar Olimpiade.”
Prinsip yang indah di atas kertas, tapi sering diam saat pelanggaran HAM terbesar dilakukan oleh negara yang kini mereka bela.
Di Gaza, ribuan anak terbunuh, rumah sakit dibom, dan stadion-stadion menjadi reruntuhan.
Namun IOC tak pernah mengeluarkan teguran yang setara terhadap Israel.

Maka, pertanyaan moral muncul:
Apakah “non-diskriminasi” yang dibela IOC juga berlaku bagi mereka yang tak lagi punya rumah?
Apakah “akses universal” hanya diperjuangkan bagi paspor tertentu?

Ketika dunia olahraga memaksakan netralitas di atas penderitaan, Indonesia memilih berpihak.
Dan berpihak, dalam konteks ini, bukan pelanggaran—melainkan keberanian untuk tetap manusiawi.


---

Dialog Imajinatif: Erick dan Seorang Atlet Muda

Bayangkan percakapan sederhana di ruang ganti Indonesia Arena.

“Pak Menteri,” tanya seorang atlet muda, “kenapa kita dituduh menentang semangat Olimpiade?”

Erick tersenyum tipis. “Nak, Olimpiade itu tentang kemanusiaan. Tapi ketika kemanusiaan disembunyikan di balik bendera, kita perlu mengingat siapa kita.”

“Tapi, Pak, dunia mungkin akan menghukum kita.”

“Tak apa. Bangsa ini pernah dihukum karena menolak kolonialisme. Hukuman semacam itu bukan aib—itu kehormatan.”

Percakapan itu mungkin tak pernah benar-benar terjadi,
tetapi semangatnya nyata di dada jutaan rakyat Indonesia yang menonton berita malam itu.


---

Dari Senayan ke Gaza — Bayangan yang Menyatu

Ketika IOC mengirim teguran, televisi menayangkan gambar anak Gaza berlari di antara puing.
Dunia melihat dua peristiwa yang seolah tak berkaitan, namun sebenarnya terhubung oleh satu kata: martabat.

Di satu sisi, Jakarta menolak visa demi prinsip.
Di sisi lain, Gaza kehilangan segalanya karena dunia membisu.

Maka, tindakan Indonesia menjadi gema kecil yang menyapa nurani global:

“Kalau dunia tidak mau menghentikan penindasan, maka biarlah kami berhenti berpura-pura netral.”


---

Refleksi: Ujian bagi Dunia, Bukan bagi Indonesia

Keputusan Indonesia menolak atlet Israel bukan hanya ujian bagi diplomasi kita, tetapi juga bagi dunia—apakah dunia masih mengenal makna keadilan yang utuh.
Bagi Indonesia, ujian ini telah dijawab sejak 1945: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan penjajahan harus dihapuskan.

Maka ketika IOC menegur Indonesia karena menegakkan prinsip itu, sejarah seolah berputar kembali—seperti ketika kolonialisme dulu menuduh para pejuang kita “melanggar hukum internasional.”
Namun dari situlah Indonesia belajar: tidak semua aturan dibuat untuk kebenaran.


---

Epilog — Ketika Dunia Memilih Diam

Seorang wartawan asing bertanya di konferensi pers:

 “Apakah Indonesia tidak khawatir kehilangan peluang menjadi tuan rumah Olimpiade?”

Erick Thohir menjawab singkat, “Kami tidak khawatir. Karena kami tahu apa yang kami bela.”

Jawaban itu menutup polemik, tapi membuka bab baru dalam sejarah moral bangsa.
Indonesia sekali lagi menunjukkan bahwa politik luar negeri yang bebas-aktif bukan jargon kosong, melainkan napas yang hidup—dari diplomasi hingga olahraga.

Dan ketika dunia terbelah antara pragmatisme dan nurani, Indonesia memilih berdiri di sisi nurani.
Tidak untuk menang, tetapi untuk tidak kalah di hadapan hati sendiri.


---

Penutup:

Jakarta mungkin kehilangan kesempatan menjadi tuan rumah Olimpiade.
Namun ia memenangkan sesuatu yang lebih besar dari medali—
yakni kehormatan untuk tetap berpihak pada kebenaran,
di dunia yang kian memutihkan kesalahan dengan kata “netralitas.”

Karena sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
(QS. Hūd: 113)

Dan Indonesia, dengan segala resiko, telah memilih untuk tidak cenderung.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (361) Al-Qur’an (6) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (568) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (260) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (6) Sirah Penguasa (243) sirah Sahabat (2) Sirah Sahabat (160) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (21) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)