Berkah Musyawarah pada Prosesnya Bukan Hasilnya
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Ada kalanya keputusan benar tidak membawa kemenangan, dan kesalahan tidak selalu berakhir kehancuran. Namun musyawarah—meski hasilnya benar atau salah—tetap menyimpan keberkahan. Sebab, Allah tidak hanya menilai hasil akhir, tapi juga proses yang dilalui dengan adab, keikhlasan, dan kebersamaan.
Mari kita simak bagaimana para Nabi, para pemimpin pilihan Allah, menjadikan musyawarah sebagai pelita dalam gelapnya zaman, petunjuk di tengah ujian yang mengguncang jiwa.
---
1. Dialog Langit: Musa dan Harun
Nabi Musa adalah sosok pemimpin tangguh, yang tahu bahwa beratnya amanah kenabian tak bisa dipikul seorang diri. Dalam doanya, ia mengajukan permintaan:
> "Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.”
(QS. Thaha: 25–32)
Musa tidak meminta pasukan. Ia tidak meminta kekayaan. Ia meminta sahabat sejati. Seorang pendamping dalam memikul amanah.
Namun sejarah juga mencatat: ada momen saat Harun gagal membendung Bani Israil dari menyembah patung anak sapi. Ketika Musa kembali, ia marah, mengguncang kepala saudaranya.
> “Wahai Harun, apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat? ... Apakah engkau telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”
(QS. Thaha: 92–93)
Harun tak membalas dengan amarah. Ia menjawab lirih, dengan hati yang lapang:
> “Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku dan kepalaku. Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah Bani Israil...’”
(QS. Thaha: 94)
Di sinilah makna musyawarah menemukan bentuk terdalamnya: mendengar, menegur, dan menjelaskan. Bahkan antara dua nabi.
---
2. Hikmah Dua Raja: Daud dan Sulaiman
Dua pemimpin, dua pandangan, satu tujuan. Ketika seekor kambing merusak ladang, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman memutuskan hukumnya. Allah mengabadikan peristiwa ini:
> “Dan Kami memberikan pengertian tentang hukum itu kepada Sulaiman; dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu...”
(QS. Al-Anbiya: 79)
Satu pendapat lebih tepat. Tapi keduanya tetap diberi hikmah. Karena dalam ruang musyawarah, setiap suara yang jujur adalah langkah menuju kebijaksanaan.
---
3. Ayah dan Anak: Ibrahim dan Ismail
Bayangkan seorang ayah berkata kepada anaknya:
> “Wahai anakku! Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)
Apakah Ibrahim butuh restu dari Ismail? Tidak. Ia seorang nabi. Tapi ia tetap mengajak bicara. Karena musyawarah bukan sekadar soal teknis, melainkan penyelarasan hati.
Dan Ismail menjawab:
> “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Beginilah cinta dan ketaatan bertemu dalam satu ruang. Musyawarah menjadi jembatan antara wahyu dan ketundukan.
---
4. Rasulullah dan Musyawarah Strategis
Nabi Muhammad ï·º tidak pernah berjalan sendiri. Dalam setiap keputusan besar, beliau bermusyawarah. Termasuk saat kondisi paling genting sekalipun.
Perang Khandaq: Ketika Madinah dikepung oleh 10.000 pasukan, Salman al-Farisi mengusulkan strategi asing: menggali parit. Rasulullah menerimanya. Strategi itu menyelamatkan umat.
> "Ide menggali parit tidak dikenal dalam perang Arab sebelumnya..."
—Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah
Perang Badar: Salah satu sahabat mengusulkan perpindahan posisi agar bisa menguasai sumber air. Nabi mengikuti. Hasilnya: kemenangan telak.
> “Wahai Rasulullah, andai engkau menempuh lautan, kami akan menempuhnya bersamamu!”
—Sa'ad bin Mu'adz
Perang Uhud: Rasul ingin bertahan dalam kota. Tapi mayoritas sahabat ingin keluar. Rasul mengikuti pendapat mereka. Hasilnya: kekalahan pahit.
Namun di situ pula, keberkahan musyawarah hadir:
> “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka... kemudian bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Ali Imran: 159)
---
5. Luka yang Mendidik: Pelajaran dari Uhud
Apakah Rasulullah menyalahkan sahabatnya? Tidak. Justru Allah menurunkan ayat yang menguatkan hati mereka.
> “Kekalahan itu bukan karena lemahnya Rasul, tapi karena Allah sedang mengasah para pejuang Islam dengan luka dan darah.”
—Ibnul Qayyim, Zad al-Ma’ad
Kadang kita kalah, bukan karena salah strategi. Tapi karena Allah sedang menumbuhkan kekuatan baru dari dalam dada yang luka.
---
6. Shalahuddin dan Akka: Keteguhan dalam Kesalahan
Saat pasukan Salib menyerbu Syam, Shalahuddin Al-Ayyubi ingin mencegat mereka di jalan. Tapi hasil musyawarah menyarankan bertahan di kota Akka. Dua tahun pengepungan, dan kota itu jatuh ke tangan musuh.
Banyak yang menilai keputusan itu salah. Tapi Shalahuddin tidak menyalahkan siapapun. Ia jalankan hasil musyawarah dengan sabar dan adab.
> “Akka adalah kota yang tangguh. Shalahuddin tahu bahwa menjaganya berarti menjaga seluruh pesisir Syam.”
—Ibn al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh
Dan dari situlah keberkahan muncul. Pasukan Salib mengalami kehancuran moral. Lebih dari 50.000 tewas. Mereka mundur. Umat Islam bangkit kembali.
---
7. Musyawarah: Jalan Rahmat, Bukan Hanya Hasil
Musyawarah bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah. Ia adalah ruang pembelajaran rohani:
Untuk belajar mendengar.
Untuk belajar menahan ego.
Untuk membuka pintu hikmah yang mungkin tidak lahir dari satu kepala.
Rasulullah ï·º tidak butuh saran. Tapi beliau mendidik umat dengan bermusyawarah. Para Nabi tidak perlu bertanya. Tapi mereka tetap bertanya, karena cinta selalu melibatkan lawan bicara.
---
Penutup: Nikmati Prosesnya
Musyawarah itu ibadah, bukan sekadar metode. Ia adalah jalan untuk menjemput berkah—bahkan bila hasilnya tidak sesuai harapan.
> “Musyawarah adalah tempat Allah menyemai rahmat dan menumbuhkan kekuatan umat.”
Maka, mari kita menikmati prosesnya. Baik salah maupun benar, dalam musyawarah yang tulus, selalu ada cahaya Ilahi yang turun menyinari langkah-langkah kita.
---
Allah memberkahi proses, bukan hanya kemenangan.
0 komentar: