Pergesekan Internal, Tumbuhkan Ukhuwah dan Khazanah Peradaban
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Sejarah bukanlah catatan kering yang beku di rak-rak perpustakaan. Ia adalah cermin panjang tempat umat manusia mematut diri. Di balik riwayat kejayaan dan kehancuran, selalu ada denyut emosi, tarikan cinta, luka-luka kecil—dan seringkali, pergesekan.
Tapi dari pergesekan itu pula, lahir kematangan.
Bahkan para tokoh yang paling suci, manusia-manusia pilihan, tidak lepas dari gesekan—bukan karena lemahnya akhlak, tetapi karena kekayaan rasa dan tugas besar yang mereka emban. Di sanalah ruh ukhuwah diuji dan dimurnikan.
1. Dari Kecemburuan, Tumbuh Peradaban
Siti Hajar dan Siti Sarah—dua perempuan mulia dalam rumah tangga Nabi Ibrahim—pernah terlibat kecemburuan. Kisah ini bukan untuk mencela, tetapi menunjukkan bahwa bahkan para istri nabi pun manusia biasa.
Apa hasil dari perasaan yang rapuh ini?
Lihatlah: Siti Hajar akhirnya harus tinggal di sebuah lembah tandus bersama putranya, Ismail. Di sana, ia berlari-lari di antara dua bukit. Lalu Zamzam memancar, dan peradaban Mekah pun tumbuh. Semua bermula dari luka kecil, yang disirami iman dan kesabaran.
> "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di sebuah lembah yang tidak memiliki tanaman, di dekat rumah-Mu yang dihormati..." (QS. Ibrahim: 37)
2. Musa dan Harun: Teguran Sangat Manusiawi
Ketika Musa kembali dari munajatnya di gunung, ia terperanjat. Kaumnya menyembah patung anak sapi. Marah, ia menarik janggut saudaranya, Harun.
Namun Harun tidak membalas keras dengan keras. Ia menjawab lembut:
> "Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku... Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata: 'Engkau telah memecah belah Bani Israil..." (QS. Thaha: 94)
Apakah ini pertikaian? Bukan. Ini adalah ruang klarifikasi, tempat ukhuwah justru dipertegas oleh kejujuran dan saling menahan diri.
3. Yusuf dan Saudara-saudaranya: Luka yang Disembuhkan oleh Takdir
Saudara-saudara Yusuf pernah melemparkannya ke dalam sumur karena iri. Konflik keluarga nabi. Lagi-lagi, ini bukan cela. Ini adalah cara Allah mengajar umat bahwa pengkhianatan bisa menjadi awal keagungan jika disikapi dengan iman.
Apa akhir dari kisah ini? Yusuf berdiri sebagai penguasa Mesir. Saudara-saudaranya bersimpuh, bukan karena kalah, tapi karena mereka akhirnya memahami rencana Allah yang agung.
4. Sahabat dan Rasulullah: Beda Pendapat, Bukan Pecah
Dalam Perang Badar dan Hunain, para sahabat berselisih soal ghanimah (harta rampasan). Ketegangan muncul. Tapi Allah langsung turun tangan lewat wahyu. Dan Rasulullah ï·º membimbing mereka dengan kelembutan.
Bahkan dalam Perang Hunain, kaum Anshar sempat merasa tersisih ketika Rasul membagikan harta kepada para mualaf.
Rasul pun bersabda:
> “Seandainya manusia menempuh satu lembah dan kaum Anshar menempuh lembah lain, maka aku akan menempuh lembah kaum Anshar...” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kata-kata itu bukan basa-basi. Ia adalah pernyataan cinta, yang meredakan perbedaan dan menyiram ukhuwah yang sempat mengering.
5. Hudaibiyah: Musyawarah dan Keikhlasan
Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu titik penting dalam sejarah umat Islam. Tapi juga salah satu titik paling emosional.
Umar bin Khattab marah. Ia bertanya kepada Abu Bakar:
> “Bukankah dia Rasulullah?”
> “Benar.”
> “Bukankah kita di atas kebenaran?”
> “Benar.”
> “Mengapa kita harus menerima kerendahan ini?”
Abu Bakar menjawab dengan tegas:
> “Sesungguhnya dia adalah Rasulullah. Dia tidak akan menyalahi perintah Rabb-nya. Maka tetaplah engkau berada di sisinya!”
Ali bin Abi Thalib, saat diminta menghapus gelar "Rasulullah" dalam naskah perjanjian, menjawab:
> “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya.”
Namun Nabi ï·º sendiri yang akhirnya menghapus tulisan itu, meski beliau buta huruf. Itulah bentuk keikhlasan tertinggi dalam ukhuwah dan strategi.
Bahkan ketika sahabat enggan menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut setelah perjanjian, Ummu Salamah memberi saran bijak:
> “Wahai Rasulullah, jika engkau ingin mereka taat, lakukanlah lebih dulu tanpa berkata-kata.”
Dan benar. Setelah Nabi mencontohkan, para sahabat segera mengikuti. Kadang, pergesekan hanya perlu ditenangkan dengan keteladanan.
6. Bani Quraizah dan Ijtihad yang Dihargai
Setelah Perang Khandaq, Nabi ï·º bersabda:
> “Janganlah salah seorang dari kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Waktu hampir habis. Sebagian sahabat shalat di perjalanan. Sebagian lagi menundanya hingga tiba. Dan Rasulullah tidak menyalahkan keduanya.
Ibn Hajar berkata:
> “Rasulullah tidak mencela salah satu dari dua kelompok tersebut.” (Fath al-Bari)
Imam Nawawi menambahkan:
> “Ini dalil bahwa perbedaan ijtihad itu bisa diterima, dan semua mendapatkan pahala selama niatnya benar.”
Inilah pelajaran paling mendalam dari ukhuwah: bukan menuntut keseragaman mutlak, tetapi menerima perbedaan dalam bingkai kejujuran.
7. Mengapa Allah Hadirkan Gesekan?
Agar kita paham: ukhuwah bukanlah kondisi steril tanpa masalah. Justru, ukhuwah sejati lahir dari badai. Dari peluh dan luka. Dari beda pendapat dan keberanian untuk saling memahami.
Jika para nabi pernah berdebat, Jika para sahabat pernah berbeda pandangan, Jika keluarga para nabi pernah diguncang rasa cemburu dan iri,
...lalu mengapa kita harus takut dengan konflik kecil di antara kita?
Jangan remehkan pergesekan. Jangan takut berselisih. Yang penting adalah adab setelahnya: apakah kita saling memaafkan, saling memahami, dan tetap menempuh jalan ukhuwah?
Pergesekan itu seperti api—ia bisa membakar, tapi bisa juga menghangatkan, jika dikawal oleh iman dan kejujuran.
Maka nikmatilah pergesekan. Peluk ia dengan rendah hati. Karena darinya, ukhuwah tumbuh.
Dan dari ukhuwah, Allah menurunkan keberkahan.
0 komentar: