basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Sirah Penguasa

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Sirah Penguasa. Tampilkan semua postingan

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah kejayaan semu yang me...

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di tengah kejayaan semu yang memabukkan para raja Visigoth di Andalusia, berdirilah sebuah bangunan misterius yang oleh para penguasa terdahulu dinamai Wisma Raja. Tidak sembarang orang boleh masuk. Bahkan, para raja terdahulu pun tidak berani menyentuh pintu gerbangnya, apalagi membukanya. Ada keheningan dan keagungan yang menggetarkan di sana, seolah menyimpan nubuat yang telah menanti saatnya.

Namun, Roderic, sang penguasa terakhir Visigoth, tak tahan oleh rasa penasaran. Ia datang ke hadapan para uskup dan berkata dengan lantang, "Demi Tuhan, aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran terhadap isi wisma ini. Aku akan membukanya dan melihat apa yang ada di dalamnya."

Para uskup mencoba mencegahnya. Mereka berkata, "Semoga Tuhan memberimu kebaikan, wahai Raja. Jangan engkau langgar tradisi para pendahulu kita yang shalih. Mereka meninggalkannya bukan karena takut, tapi karena hikmah. Mereka lebih bijak daripada kita."

Namun, nafsu kekuasaan telah membutakan hati Roderic. Ia mengabaikan nasihat para rohaniwan dan membuka pintu itu dengan congkak. Dan di dalamnya, ia tak menemukan harta sebagaimana yang dibayangkannya, melainkan gambar-gambar dan tulisan kuno. Terpampang di dinding: "Jika pintu wisma ini terbuka, maka musuh dari timur akan datang, menaklukkan negeri ini. Mereka adalah bangsa Arab, dan inilah ciri-ciri mereka."

Tak ada kilau emas, tak ada permata. Yang ada hanyalah pesan kehancuran. Tapi Roderic tak percaya. Ia tertawa, meremehkan nubuat, dan berjalan keluar tanpa beban. Ia tak sadar bahwa ia baru saja mengaktifkan kutukan sejarah—dan membangunkan takdir yang tertidur.


---

Di seberang Laut Tengah, di tanah Maghrib, Gubernur Ifriqiyah, Musa bin Nushair, menerima kabar tentang kezaliman Roderic, tentang ketidakstabilan kerajaan Visigoth, dan tentang kaum tertindas yang mengirim isyarat permohonan pembebasan.

Musa melihat peluang dan petunjuk dari langit. Ia menugaskan salah satu jenderalnya yang paling cakap dan bertakwa: Thariq bin Ziyad, seorang pemuda Berber yang tubuhnya mungkin kecil, namun imannya membesar-besarkan semesta. Ia diberi amanah untuk memimpin 1.700 pasukan dalam tujuh kapal. Dan keberangkatan itu ditetapkan pada bulan Rajab 93 H, bulan suci yang penuh keberkahan. Agar angin kemenangan mengiringi langkah mereka, dan malaikat turun bersama ombak.

Thariq dan pasukannya menyeberangi lautan dari Tangier. Gelombang mengguncang lambung kapal, dan langit malam dilapisi kabut tipis. Para prajurit muda duduk merenung di geladak, mendengarkan gemuruh laut dan suara hati yang menyebut Asma Allah.

"Adakah kemenangan itu dekat, ya Rabb?" bisik seorang prajurit. Yang lain menjawab, "Bersabarlah. Kami sedang dalam perjalanan menuju takdir besar."

Ketika fajar merekah, mereka sampai di sebuah tanjung berbatu yang memerah seperti bara. Di sinilah Thariq diperintahkan mendarat. Ada sebuah benteng yang berdiri di sana—dan ia diperintahkan untuk menghancurkannya. Batu demi batu dirubuhkan. Jejak lama harus dihapus, agar cahaya baru bisa ditanam.


---

Namun, di daratan yang lebih dalam, Raja Roderic tak tinggal diam. Ia membawa 70.000 pasukan, lengkap dengan kendaraan mewah yang ditarik dua kuda, dihiasi permata dan intan. Ia duduk di atas permadani di bawah kubah emas yang berkilauan. Ia bahkan membawa tali—bukan karena takut ditawan, tapi karena ia yakin akan menang dan akan menyeret Thariq sebagai tawanan.

Thariq melihat dari kejauhan. Langit merah membara di belakang mereka. Laut telah mereka tinggalkan. Dan di depan: pasukan musuh sebesar gunung.

Ia mengumpulkan pasukannya. Dengan suara tenang tapi mengguncang jiwa, ia berkata:

"Wahai manusia, ke mana kalian akan lari? Laut ada di belakang kalian, musuh di depan kalian. Demi Allah, tak ada jalan keluar selain kejujuran dan kesabaran. Itulah dua sayap kemenangan."

Ia berjalan ke tengah. Menatap wajah-wajah yang gemetar, lalu menyulut api semangat:

"Jumlah kita sedikit, tapi ketulusan kita besar. Musuh banyak, tapi hati mereka kosong. Jika aku maju, ikutilah aku. Jika aku berhenti, berhentilah. Jadilah kalian satu tubuh."

Kemudian, Thariq melakukan hal yang mencengangkan: ia membakar seluruh kapal-kapalnya. Api menjilat layar dan kayu, asap membumbung ke langit. Para prajurit menatap, terdiam.

Tak ada jalan pulang. Hanya ada dua pilihan: menang atau mati syahid.

"Jangan takut! Jangan jadi orang hina! Dapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Malas adalah kehinaan. Kemenangan ada pada sabar. Allah akan menolong kalian."


---

Pertempuran besar pun terjadi. Sejarah mengenalnya sebagai Perang Guadalete. Pasukan Muslimin, yang jumlahnya jauh lebih kecil, bertempur dengan semangat langit. Tombak melesat, pedang berkilat. Takbir menggema. Dan pada akhirnya, Roderic tewas. Permadani emasnya menjadi saksi kejatuhannya. Tak satu pun permata bisa menyelamatkannya dari kutukan Wisma Raja.

Thariq mengirim kabar kemenangan kepada Musa bin Nushair, dan Musa menyampaikannya ke khalifah di Damaskus. Tapi perjuangan belum usai. Kota-kota lain masih berdiri. Benteng-benteng masih menjulang.

Thariq mengirim surat: "Musuh mengepung kami dari segala penjuru. Kami membutuhkan bantuan!"

Musa pun berangkat dengan pasukan tambahan. Setelah bergabung, mereka melanjutkan pembebasan. Cordoba jatuh. Seville jatuh. Dan akhirnya, mereka sampai di Toledo, kota kerajaan.

Di sanalah, Musa mendapati kembali Wisma Raja—bangunan yang dulu dibuka Roderic.

Di dalamnya, ia menemukan 24 mahkota, masing-masing milik raja yang pernah memerintah. Ada nama, tanggal penobatan, dan tanggal kematian. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja yang berukirkan tulisan: Sulaiman bin Daud.

Wisma itu ternyata menyimpan lebih dari nubuat: ia menyimpan jejak warisan para nabi. Dan kini, ia menyambut generasi pembawa tauhid yang datang bukan untuk menguasai, tapi membebaskan.


---

Roderic membuka Wisma Raja dengan angkuh, dan ia dikutuk oleh sejarah. Tapi kaum Muslimin membuka Wisma itu dengan iman, dan mereka ditulis oleh langit.

Penaklukan Andalusia bukan semata penaklukan geografis. Ia adalah penaklukan spiritual. Sebuah pergantian zaman. Dari kesombongan raja yang menghina nubuat, menuju ketundukan panglima yang mencintai janji Allah.

Dari kapal yang dibakar, dari lautan yang ditinggalkan, dari sabda yang menggetarkan hati, lahirlah peradaban besar yang akan memancar selama berabad-abad ke depan.

Dan semua itu, dimulai dari sebuah wisma tua, yang menyimpan meja Nabi, dan mengantar zaman pada takdir yang tak bisa dihindari.


Sumber:
Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Para Khalifah , Pustaka Al-Kautsar

Sultan Salim I, Sakit pun Tetap Berjihad, Wafatnya Bersama Surat Yasin Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit sore itu menggantung be...

Sultan Salim I, Sakit pun Tetap Berjihad, Wafatnya Bersama Surat Yasin

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Langit sore itu menggantung berat di atas bentang kekaisaran Utsmani. Awan kelabu tak hanya menaungi langit Basra dan Edirne, tapi juga hati para pengikut Sultan Salim I. Angin berembus membawa aroma musim panas yang ganjil, seolah bumi tahu bahwa sebuah babak akan segera berakhir dalam sunyi dan luka.

Pada 17 Juli 1520, Sultan Salim I—yang dijuluki "Yavuz" (Si Tegas)—berdiri gagah di hadapan pasukannya. Matanya tajam memandang ke arah barat, ke tanah Ardanah yang hendak dibebaskan. Pasukan telah siap, pedang telah diasah, kuda-kuda telah menginjak tanah dengan semangat jihad. Namun tiba-tiba, seperti petir di siang hari, rasa sakit luar biasa menyerang bahu sang Sultan.

“Hasan,” panggilnya lirih di antara napas tertahan.

Hasan, pelayan dan sahabat setia Sultan, segera menghampiri. Ia membuka pakaian bagian belakang Sultan, dan matanya menangkap benjolan kecil sebesar biji merah. Warnanya tajam, kontras dengan kulit Sultan yang pucat. “Ini terlihat tidak biasa, Tuanku,” ucap Hasan khawatir.

“Akan hilang sendiri,” jawab Sultan, suaranya tegas namun melemah.

Malamnya, langit seolah menyesakkan bumi. Rasa sakit di punggung Sultan membakar seperti bara api. Ia terjaga sepanjang malam, tidak tidur, tidak mengeluh—hanya menatap langit dan menarik napas panjang seakan menahan badai dalam dadanya.

Menjelang subuh, ia mandi air hangat. Bisul di punggungnya kini membesar, memerah seperti luka yang menyala. Juru pijat dipanggil. Ia mencoba meredakan rasa sakit itu, tapi tak banyak membantu. Tabib berkata, “Ini Chirbangh, disebabkan oleh bakteri Ristaviloc. Belum ada obat yang bisa menyembuhkannya.”

Pagi hari menyapa dengan cahaya lembut, namun tubuh Sultan diguncang nyeri hebat. Para penasehat menyarankan agar pasukan dibatalkan. Tapi Sultan menatap mereka dan berkata:

“Aku telah berjanji kepada pasukanku. Aku bukan orang yang senang membatalkan janji.”

**

Pada 18 Juli, pasukan mulai bergerak menuju Ardanah. Suasana penuh tekad, namun langkah-langkah kuda terdengar berat karena rasa cemas. Sultan memimpin di atas kudanya, menahan rasa sakit yang tak terlukiskan. Alam seakan ikut bersedih—angin mengalun lirih, matahari meredup di balik awan.

Di tengah perjalanan, di sebuah lembah yang sunyi, tubuh Sultan tidak mampu lagi menahan beban. Ia jatuh lemah dari kudanya. Sebuah kemah kecil segera didirikan.

“Hasan…” bisiknya.

Hasan masuk dan melihat wajah Sultan yang pucat pasi. “Hampir saja aku menangis seperti anak kecil karena sakit ini,” ucap Sultan dengan mata memerah.

“Beristirahatlah, Tuanku,” kata Hasan. “Para tabib akan berusaha keras menyembuhkanmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan. “Obat bagi sakit ini adalah kematian.”

**

Hari-hari berlalu, tubuh Sultan kian mengering. Sendi-sendi tubuhnya remuk, seolah tulangnya telah kehilangan bentuk. Tabib kehabisan akal. Alam sekitar terasa lebih sunyi, angin pun tak lagi riuh. Waktu seperti melambat, menunggu sesuatu yang agung.

Utusan dikirim ke Istana membawa kabar duka. Dalam perkemahan, Sultan memanggil Hasan lagi.

“Apa yang terjadi, Hasan?”

“Inilah waktu manusia berserah kepada Rabb-nya,” jawab Hasan lembut.

Beberapa jam kemudian, perdana menteri tiba di kemah. Sultan mencoba menyambutnya namun tak sanggup berdiri.

“Insya Allah, Sultan akan sembuh,” ujar perdana menteri.

Sultan menggeleng pelan. “Cukuplah ini. Aku sangat lelah. Rasa sakit ini terlalu berat. Kematian tampaknya akan mengakhirinya. Putraku Sulaiman akan menggantikanku. Terimalah dia sebagaimana kalian menerimaku.”

Ia pun memanggil Hasan lebih dekat.

“Wahai Hasan, bacakan aku surat Yasin.”

Hasan duduk di sampingnya. Dengan suara bergetar dan air mata yang jatuh tak tertahan, ia mulai membaca:

Yaa Siin. Wal-Qur’aanil Hakiim...

Sultan mendengarkan dengan khidmat. Meski tubuhnya lemah, jiwanya kuat seperti batu karang. Ketika Hasan sampai pada ayat:

“Lahum fiihaa faakihatun wa lahum maa yadda’uun. Salaamun qawlam mir rabbir rahiim.”

Sultan menarik napas panjang dan menghembuskannya. Tubuhnya tenang. Matanya tertutup. Sebuah keheningan turun bersama rahmat langit.

Hasan menghentikan bacaannya. Ia memandang wajah Sultan, lalu memeluk tubuhnya yang sudah tak bernyawa. “Telah pergi seorang raja yang lebih mencintai jihad daripada nyawanya sendiri,” bisiknya.

Malam itu, Jumat 21 Agustus 1520, langit menangis dalam diam. Tanah Ardanah menjadi saksi bisu atas wafatnya seorang mujahid agung, yang berpulang di bawah bacaan Yasin dan dalam pangkuan doa-doa yang mengalir seperti air mata.

**

Sultan Salim I tak hanya meninggalkan tahta dan wilayah kekuasaan. Ia meninggalkan jejak keberanian, kesetiaan pada janji, dan cinta pada jihad yang tak pudar meski maut sudah menunggu. Bahkan dalam sakit yang tak tertahankan, ia memilih tetap berada di barisan depan.

Dan kini, jasadnya mungkin telah ditelan bumi, namun namanya kekal dalam lembar sejarah yang suci.

Siapa pun yang membaca kisahnya, akan bertanya dalam diam:

“Sudahkah aku seteguh itu dalam menepati janji kepada Allah?”

Langit kembali terang, seolah berkata: “Beginilah para pejuang berpulang—dengan mulia, dalam damai, dan bersama Al-Qur’an.”



Sumber:
Mahmud Mustafa Saad, Golden Stories, Pustaka Al-Kautsar

Kepungan Persoalan Sang Pahlawan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Pahlawan tidak lahir dari limpahan sumber daya. Ia tumbuh dari k...

Kepungan Persoalan Sang Pahlawan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Pahlawan tidak lahir dari limpahan sumber daya. Ia tumbuh dari krisis.

Dalam kekacauan, ia menyusun keteraturan. Dalam keterbatasan, ia ciptakan efektivitas. Ketika orang lain menyerah, ia tetap berpikir. Ketika banyak lari dari beban, ia justru mendekapnya.

Allah berfirman:

> "Betapa banyak kelompok kecil yang dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar."
— QS. Al-Baqarah: 249



Para Sahabat generasi awal di Mekkah, yang disebut as-sabiqun al-awwalun, hanya berjumlah sekitar 60 orang. Tapi mereka menghadapi intimidasi para petinggi Quraisy. Para Nabi dan Rasul lainnya pun hanya ditemani segelintir orang, namun keyakinan tak tergoyahkan.

Dan mereka menang.


---

Andai Kita Shalahuddin...

Bayangkan engkau terlahir sebagai Shalahuddin. Bukan di istana, bukan dalam keagungan. Tapi dalam pengusiran.

Pada malam yang gelap, sang ayah, Najmuddin Ayyub, dan istrinya, diusir dari benteng Tikrit. Mereka keluar membawa luka, kekhawatiran, dan janin dalam kandungan. Di tengah pelarian, di luar benteng, lahirlah bayi itu. Tahun 532 H / 1138 M. Dialah Yusuf bin Ayyub, kelak dikenal sebagai Shalahuddin.

Sebagian riwayat menyebut ia lahir di dalam benteng, tapi malam itu juga terusir. Maka sejak bayi, ia tak memiliki atap perlindungan kecuali langit.

Lalu takdir mengantarnya mengangkat pedang melawan invasi Eropa—pasukan Salib yang rapi, besar, dan bersenjata mutakhir. Didukung penuh oleh sistem militer, rohaniawan, dan logistik gereja.

Sedangkan umat Islam?

Lemah. Terpecah. Bahkan sebagian mengkhianatinya.


---

Di Balik Dinding-Dinding Kota Islam

Sebelum Damaskus berada di tangannya, para wali kota dan pejabat administratif di sana justru membuka diplomasi dengan Kerajaan Salib Yerusalem—demi menjaga kekuasaan mereka sendiri.

Shalahuddin tak serta merta menghunus pedang. Ia menempuh diplomasi. Ia bersabar. Namun saat perlu, ia tekan dengan kekuatan. Sebab kota-kota itu harus bersatu. Bukan untuknya. Tapi demi Al-Quds.

Di wilayah utara—Diyar Bakr, Jazirah, dan daerah Zanki lainnya—beberapa Emir memilih netral, bahkan membuka jalan bagi Salibis, asal wilayahnya aman. Pecah-belah. Opportunisme. Politik kerdil.

Lebih pahit lagi: pemberontakan dari dalam wilayahnya sendiri. Gubernur yang dulunya bersekutu dengannya kini berbalik. Bahkan bersekutu dengan Salib untuk menjatuhkan sang pemimpin.

Tak ada luka yang lebih pedih dari pengkhianatan saudara sendiri.


---

Tikaman dari Kegelapan

Di Aleppo, tahun 1175 M, malam turun membawa bahaya. Seorang pembunuh dari kelompok Hashashin menyusup. Menyamar sebagai prajurit Muslim. Ia berhasil menembus barisan dan hampir menghabisi nyawa sang pahlawan. Tapi penjaga pribadi menggagalkannya.

Belum lama berselang, benteng Masyaf dikepung. Itu markas Hashashin. Mereka membalas. Sekelompok pembunuh kembali menyusup. Salah satunya masuk ke tenda pribadi Shalahuddin. Ia selamat. Tapi luka batin tak mudah hilang.

Di medan perang, musuh terlihat. Di medan hati, musuh menyamar.


---

Menggenggam Harapan di Tengah Kelesuan Umat

Shalahuddin meminta bantuan ke Baghdad. Pada saat itu, Kekhalifahan Abbasiyah hanyalah simbol. Kekuasaan riil hampir sirna. Militernya lemah, logistiknya terbatas. Mereka berada di bawah bayang-bayang konflik internal, tekanan sektarian, dan perebutan kuasa.

Ia melanjutkan langkah. Menuju Bani Seljuk. Namun Kesultanan agung itu pun sedang dalam masa redup. Wilayah-wilayahnya terfragmentasi. Sultan hanya berkuasa secara nominal di beberapa bagian Anatolia. Khurasan telah berjarak dari jangkauan kekuasaan pusat.

Lalu ia memandang Maghribi. Tapi yang datang bukan bantuan, melainkan pengkhianatan.


---

Guru Telah Pergi, Kini Ia Sendiri

Nuruddin Zanki. Guru, pembina, sekaligus cahaya jalan jihadnya. Telah wafat. Shalahuddin berdiri sendiri di panggung sejarah. Amanah besar, tapi tanpa sandaran. Dunia Muslim sedang bingung. Umat tercerai. Pemimpin saling curiga. Umat kelelahan. Tapi ia tidak berhenti.

Jika hari ini engkau berada di posisinya, akankah engkau memikulnya atau melimpahkannya?


---

Kepahlawanan: Menyederhanakan Kekacauan

Pahlawan itu bukan yang kuat secara fisik, tapi yang mampu menyusun makna di tengah kekacauan. Ia menyederhanakan rumitnya persoalan. Ia tidak emosional, tapi rasional. Ia tidak terburu-buru, tapi penuh pertimbangan.

Ketika akhirnya umat Islam bersatu, ketika pasukan Salib mulai mundur, ketika Al-Quds berhasil dibebaskan… ia bisa saja membalas dendam. Bisa saja membangkang pada khalifah yang diam.

Tapi apa yang ia lakukan?

Ia memperbaharui janji setianya kepada Khalifah Abbasiyah.

Karena pahlawan sejati, tahu: di balik kejayaan ada kerendahan hati. Di balik kemenangan ada kepasrahan pada Allah.


---

Belajar Kepemimpinan dari Sang Pahlawan

Shalahuddin bukan hanya ahli strategi. Ia bukan hanya gagah di medan perang. Ia adalah pemimpin spiritual. Ia memahami umat. Ia menyatukan hati sebelum menyatukan panji. Ia sabar sebelum bertindak. Ia pikirkan dampak sebelum mengayunkan pedang.

Kita belajar darinya: bahwa dalam ketidakpastian, kita masih bisa melangkah. Dalam kemiskinan sumber daya, kita masih bisa berkarya.

Dalam kesendirian, kita masih bisa menjadi cahaya.


---

Persaksian Para Sejarawan

Colin Imber dan Carole Hillenbrand, dua sejarawan Barat, mencatat bahwa fragmentasi politik adalah kelemahan utama dunia Muslim kala itu. Kesultanan Seljuk, Dinasti Zanki, dan kekuatan-kekuatan lokal saling tarik ulur. Sebelum Saladin datang, tidak ada persatuan.

Bahauddin ibn Shaddad, penulis resmi biografi Shalahuddin, menulis bahwa meski ia mengagumi sang pahlawan, ia tak menutupi kenyataan. Ada elit Fatimiyah yang mengkhianatinya. Ada faksi politik di Mesir yang ingin menyingkirkannya. Ia diangkat sebagai vizier di usia muda, dan sejak itu ia menjadi target diplomasi licik dan kudeta diam-diam.

Dr. Majid Irsan al-Kailani menyatakan dalam karyanya: “Shalahuddin tidak hadir tiba-tiba. Ia adalah hasil dari reformasi panjang. Lima puluh tahun. Ia menghadapi bukan hanya perang, tapi degradasi iman dan moral umat. Dan ia membangunnya kembali.”


---

Akhirnya…

Kemenangan tidak dimulai dari pedang. Tapi dari jiwa. Dari pikiran yang jernih. Dari iman yang kuat. Dari kepemimpinan yang tidak gentar memikul beban umat.

Shalahuddin tidak sempurna. Tapi dalam keterbatasan, ia tetap berjuang. Dan dalam kepungan persoalan, ia tidak tenggelam—ia justru muncul sebagai cahaya.

Dan hari ini, kita pun bisa memilih: menjadi bagian dari kekacauan, atau penata dari keteraturan.

Reformasi Birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah,...

Reformasi Birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah, langkah pertamanya bukan mengatur kekuasaan atau menyusun strategi kekaisaran. Ia justru bertanya: "Apakah kekuasaanku ini sah secara syariat? Apakah ia legal menurut sunah Khulafa'ur Rasyidin?"

Lalu ia berdiri di hadapan rakyat:

> “Aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Demi Allah, aku tidak menginginkan jabatan ini, tidak memintanya, baik dalam doa tersembunyi maupun terang-terangan. Jika kalian memilihku tanpa musyawarah, aku tidak akan menerimanya. Namun jika kalian memilihku melalui syura, maka aku akan taat dan memimpin kalian sebagaimana yang mampu aku lakukan.”



Dengan syura, Umar bin Abdul Aziz meraih legitimasi bukan hanya di mata rakyat, tetapi juga di mata para ulama yang selama ini menjauh dari kekuasaan. Dan sejak saat itu, para ulama mendukung penuh langkah-langkah kebijakan sang khalifah.


---

Langkah Awal: Membersihkan Harta

Langkah selanjutnya: bukan mengangkat panglima, bukan mempersiapkan ekspansi. Tapi membersihkan harta.

Harta pribadi, harta keluarga, bahkan kas negara—semua ditelusuri. Apakah ada yang berasal dari kedzaliman? Dari kecurangan, dari pengkhianatan amanah, dari tamak dan tipu daya? Ia ingin semuanya kembali kepada syariat Allah.

> “Wahai manusia, sesungguhnya aku bukan hakim atas kalian, aku adalah pelayan kalian. Harta ini bukan milikku, bukan milik ayahku, bukan pula milik ibuku. Ini amanah umat. Aku hanya mengembalikannya kepada yang berhak.”



Kepada para gubernurnya, Umar bin Abdul Aziz menulis:

> “Siapa yang memiliki harta yang diambil secara zalim oleh keluargaku (Bani Umayyah), kembalikanlah kepada pemiliknya. Jika pemiliknya tidak dikenal, masukkanlah ke dalam baitul mal kaum Muslimin.”



Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya: "Mana yang lebih utama: shalat malam atau mencari nafkah halal?" Beliau menjawab: "Nafkah halal." Karena kehalalan adalah fondasi segala ibadah.


---

Hidup Sederhana: Menyentuh Hati Langit

Setelah merombak sistem penerimaan negara, Umar memangkas pengeluaran. Perabot istana diganti. Pakaian disederhanakan. Makanan pun tak lebih mewah dari rakyat jelata. Dunia tak lagi menarik di matanya.

> “Aku tak butuh semua ini. Kendaraan yang biasa kupakai sudah cukup. Gantilah semua ini dengan yang sederhana, dan kembalikan sisanya ke baitul mal.”



Suatu hari, ia bertanya kepada seorang sahabat:

> “Bagaimana cara mendapat pertolongan Allah dalam mengelola negara?”



Sang sahabat balik bertanya:

> “Bagaimana sikapmu terhadap dunia?”



Umar menjawab:

> “Aku telah meninggalkannya.”



Maka sahabat itu berkata:

> “Itulah sebab Allah akan menolongmu.”




---

Kekuasaan Tak Menjamin Kemenangan

Umat Islam tidak akan bangkit hanya dengan mengandalkan kekuasaan, teknologi, kekayaan, atau strategi. Bila umat menggantungkan diri pada dunia, maka Allah mencabut kemenangan dari tangan mereka. Sejarah menjadi saksi.

> Dr. Raghib as-Sirjani menulis: “Andalusia bukan kalah oleh kekuatan musuh, tapi karena kehinaan diri sendiri dan hilangnya ruh jihad dalam jiwa umat.”



Banyak kekhalifahan dan kesultanan runtuh, bukan karena kekurangan sumber daya. Tapi karena mereka lupa pada tugas suci: menegakkan syariat, menunaikan jihad, dan membangun peradaban.

Pesan Muhammad Al-Fatih kepada anaknya saat akan wafat adalah bukti:

> “Pertama dan terpenting, jadilah pelindung agama Islam. Karena sesungguhnya itu adalah kewajiban terbesar bagi para khalifah dan raja. Jangan sekali-kali engkau mengangkat orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak menjauhi dosa besar ke dalam urusan negara.”




---

Mencari Pembantu yang Amanah

Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz meminta sahabatnya mengirim salinan semua keputusan dan surat-surat Umar bin Khattab. Ia ingin menapak jejak Sang Al-Faruq.

Namun ia juga tahu, yang lebih sulit adalah menemukan orang-orang selevel dengan para pembantu Umar bin Khattab.

Ia berkata: “Dari mana aku akan dapatkan orang-orang seperti mereka?”

Sahabatnya menjawab:

> “Jika niatmu sungguh-sungguh untuk berjihad menegakkan kebaikan, maka Allah akan mengutus orang-orang terbaik untuk membantumu.”



Kebaikan menarik kebaikan. Keburukan menarik keburukan. Bila pemerintahan dikelilingi oleh koruptor dan pembohong, itulah cerminan isi hati sang pemimpin.


---

Bersandar pada Ulama, Bukan pada Dunia

Umar bin Abdul Aziz tak ragu meminta nasihat dari Hasan al-Bashri, ulama besar tabi’in. Ia ingin menjadikan para ulama sebagai cahaya, bukan sebagai musuh kekuasaan.

Hasan al-Bashri berkata kepadanya:

> “Wahai Amirul Mukminin, Allah mengangkat seorang pemimpin untuk memperbaiki yang rusak di antara manusia. Jika ia memperbaiki, maka rakyat ikut baik. Tapi jika ia rusak, maka rakyat ikut rusak. Dunia ini bukan tempat balasan, tapi tempat ujian. Jangan engkau jual akhiratmu demi dunia orang lain.”




---

Akhir yang Mulia

Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz hanya berlangsung dua tahun lebih. Tapi dalam waktu sesingkat itu, ia menorehkan jejak abadi. Keadilan merata. Pajak turun. Korupsi lenyap. Dan baitul mal penuh hingga tak ada lagi yang berhak menerima zakat.

Ia wafat dalam kondisi sederhana. Tak menyisakan harta, tak meninggalkan istana. Tapi meninggalkan satu warisan besar: teladan.

Teladan bahwa kekuasaan bukan untuk dibanggakan. Tapi untuk ditakuti—karena kelak dipertanggungjawabkan.

Teladan bahwa pemimpin sejati bukan mereka yang disanjung. Tapi yang diam-diam menangis di malam hari, karena takut akan murka Rabb-nya.

Inilah reformasi birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz. Bukan dimulai dari anggaran. Tapi dari hati. Bukan dengan audit, tapi dengan taubat. Bukan dengan kebijakan, tapi dengan keteladanan.

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di Spanyol ...

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di Spanyol dan Portugal, tanah yang dahulu dikenal sebagai Andalusia?

Langkahkan kaki menuju Granada. Pandanglah Istana Al-Hambra. Sentuh dinding-dindingnya yang bisu, namun sesungguhnya berbicara. Dengarkan bisikan batu-batu yang terpahat. Di sanalah strategi kejayaan Islam masih hidup—bukan dalam bentuk bala tentara, melainkan dalam hikmah yang membungkus jejak sejarah.

“Laa Ghaaliba Illallaah.” Tiada kemenangan kecuali karena Allah. Kalimat itu bukan sekadar ukiran, melainkan nyawa peradaban yang menghidupkan Al-Hambra.

Kalimat tersebut menjadi semboyan Dinasti Bani Ahmar, Nasrid, yang memerintah Granada selama lebih dari dua abad. Sultan Muhammad I ibn Nasr, sang pendiri dinasti, menjadikannya landasan spiritual dan strategi politik. Di balik kaligrafi yang anggun, terpahat strategi yang bukan hanya merancang istana, tapi juga menaklukkan jiwa manusia.

Islam di Al-Hambra tidak dibangun hanya dengan batu, melainkan dengan iman yang mengakar. Arsitektur bukan sekadar keindahan, melainkan pernyataan tauhid. Setiap lengkung pintu, setiap jendela yang menghadap ke langit, setiap kubah yang menjulang—adalah doa yang dibentuk dalam geometri.

Dan ketika kita menyusuri lorong-lorongnya, seolah kita sedang membaca sejarah bukan dengan buku, tapi dengan ruang dan cahaya. Kita diajak kembali kepada akar kejayaan: bahwa kemenangan bukan karena jumlah, kekayaan, atau teknologi, melainkan karena kesucian tujuan dan keikhlasan jiwa.

Umar bin Khattab, pemimpin agung generasi awal, telah meletakkan fondasi strategi ini. Ketika melepas pasukan kaum Muslimin ke medan jihad, beliau berkata:

“Aku tidak mengirim kalian karena banyaknya jumlah kalian atau kekuatan kalian. Tapi aku mengirim kalian dengan doa karena kalian adalah pasukan Allah. Jangan berbuat dosa, karena dosa adalah sebab kekalahan. Aku lebih takut terhadap dosa-dosa kalian daripada kekuatan musuh kalian.”

Itulah strategi sejati. Sebuah strategi yang menjadikan takwa sebagai kekuatan utama, bukan senjata atau logistik. Ia menaklukkan hati sebelum menaklukkan wilayah. Dan itulah pula ruh yang mengalir dalam tembok-tembok Al-Hambra.

Al-Hambra menyimpan gema nubuwah Rasulullah ﷺ tentang pasukan laut umat Islam. Ketika Ummu Haram bertanya kepada Rasulullah tentang pasukan pertama yang akan berperang di lautan, beliau menjawab:

"Pasukan pertama dari kalangan umatku yang berperang di lautan adalah penghuni surga."

"Ya Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka?"

"Engkau termasuk bersama mereka."

Hadits ini bukan sekadar prediksi. Ia adalah undangan ilahiah untuk memasuki dimensi perjuangan yang belum pernah disentuh: lautan. Tantangan yang belum dikenal, namun telah disiapkan oleh Rasulullah dengan doa dan visi.

Dan sejarah pun mencatat: Khalifah Utsman bin Affan membuka jalan. Mu‘awiyah bin Abu Sufyan membangunnya dengan sistematis. Ia mendirikan galangan kapal di pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Akka, Sur (Tirus), dan Arwad. Ia melatih tentara laut, merekrut para pejuang dari penduduk pesisir Syam yang telah akrab dengan laut, dan mengembangkan sistem logistik maritim untuk perjalanan panjang.

Strategi ini bukan sekadar perluasan wilayah. Ia adalah ekspansi iman. Laut bukan lagi penghalang dakwah, tetapi medan baru yang harus dilalui dengan iman dan kehati-hatian.

"Wahai laut," seolah mereka berkata, "engkau bukan akhir dari peradaban, engkau hanyalah awal dari misi kami yang lebih jauh."

Dari sinilah dimulai ekspedisi menuju Barat. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad muncul bukan sebagai penakluk biasa. Mereka membawa semangat Rasulullah dan warisan ruhani Umar bin Khattab. Ketika Thariq membakar kapal-kapalnya dan berkata kepada pasukannya bahwa di hadapan mereka adalah musuh dan di belakang mereka adalah lautan, ia sedang menanamkan satu hal: tawakkal yang absolut.

Islam masuk ke Eropa bukan dengan pemaksaan, tapi dengan pancaran keadilan. Di Andalusia, selama berabad-abad, Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan. Ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat berkembang di bawah naungan Islam. Kota-kota menjadi pusat keilmuan. Cordoba bersinar ketika Eropa masih tenggelam dalam kegelapan abad pertengahan.

Namun semua itu berpulang kepada satu fondasi: "Laa Ghaaliba Illallaah."

Di dinding Al-Hambra, kalimat itu bukan hanya menjadi hiasan, tapi azimat spiritual yang membentengi peradaban. Ia mengingatkan para penguasa, tentara, dan rakyat bahwa kemenangan adalah milik Allah. Bahwa siapa pun yang menyombongkan diri akan dijatuhkan, dan siapa pun yang bergantung kepada Allah akan ditinggikan.

Maka tidak heran jika Al-Hambra bukan sekadar bangunan, tapi monumen spiritual. Ia menjadi pengingat, bahkan di tengah keterpurukan dan kejatuhan, bahwa kejayaan hakiki bukan pada dominasi politik semata, tetapi pada kesetiaan kepada nilai-nilai tauhid.

Dan pesan ini tidak berhenti di sana.

Jauh setelah Andalusia jatuh, gema "Laa Ghaaliba Illallaah" tetap sampai ke jantung dunia Islam. Seorang pemuda di Timur menyambutnya dengan semangat yang membara. Dialah Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa kejayaan bukanlah hak eksklusif bangsa atau ras tertentu, melainkan milik siapa saja yang mengikatkan dirinya pada Allah.

Al-Fatih mewariskan pesan kepada putranya menjelang wafatnya:

"Ingatlah anakku, aku telah menaklukkan Konstantinopel, dan aku mewasiatkan padamu untuk terus menegakkan kalimat Allah di atas muka bumi. Jika engkau lalai, kehinaan akan menimpamu di dunia dan akhirat."

Apa makna dari semua ini?

Bahwa strategi kejayaan Islam tidak pernah berubah. Ia tidak bergantung pada jumlah pasukan, gemerlap senjata, atau arsitektur megah. Ia bertumpu pada satu kalimat:

"Laa Ghaaliba Illallaah."

Jika kalimat ini hidup dalam jiwa, maka tembok yang kokoh akan tumbuh bahkan di tengah badai. Jika kalimat ini dipahat dalam amal, maka sejarah akan menulis kejayaan bahkan di tengah kehancuran.

Hari ini, kita tidak sedang membangun istana seperti Al-Hambra. Tapi kita bisa membangun hati yang menjadi tempat tinggal bagi strategi yang sama. Kita bisa menjadikan rumah, sekolah, masjid, dan lembaga kita sebagai tempat-tempat di mana kalimat tauhid itu menjadi napas dan cahaya.

Dan jika suatu hari anak-anak kita bertanya, “Di mana kejayaan Islam berada?” Maka bawalah mereka bukan hanya ke Granada, tapi ke dalam jiwa yang telah diukir oleh keyakinan: bahwa tiada kemenangan kecuali karena Allah.

Karena yang sejati, tak pernah runtuh meski istananya runtuh. Yang sejati tetap bersinar, bahkan jika lampunya dipadamkan.

Dan Al-Hambra, dengan segala bisunya, tetap berkata:

“Tiada kemenangan kecuali karena Allah.”

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-c...

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-celah bukit, menyentuh rumah-rumah mungil yang bersandar pada sunyi. Di salah satu desa terpencil wilayah kerajaan itu, ada satu rumah kecil berdinding tanah dan beratap jerami, berdiri tenang namun rapuh seperti penghuninya.

Malam itu, di dalam rumah, seorang perempuan muda duduk memeluk lutut di dekat tungku yang mulai padam. Ia tidak tidur. Tatapannya kosong. Matanya menyimpan gelisah. Suara pengumuman siang tadi masih bergema di telinganya:

“Barang siapa bersedekah, akan kupotong tangannya.”

Ia menggenggam kedua tangannya. Tangan yang selama ini tak pernah enggan memberi. Tangan yang terbiasa menjulurkan roti kepada yang lapar, menaruh koin di tangan anak yatim. Tapi malam ini... tangan-tangan itu terasa berat. Ada ancaman menggantung di langit-langit rumahnya.

"Apakah kini kebaikan harus dibayar dengan kehilangan?" bisiknya lirih.

Matanya basah. Ia rebahkan diri, tapi hatinya tak bisa diam. Jiwa yang selama ini damai karena berbagi, kini berperang dengan rasa takut.



Pagi harinya, matahari belum sepenuhnya naik. Udara masih lembab. Saat perempuan itu membuka pintu rumahnya, ia terpaku.

Di depan pintu, berdiri seorang lelaki tua renta. Tubuhnya kurus, bajunya lusuh, dan wajahnya seperti pecahan musim kemarau. Ia tidak bicara banyak. Hanya mengangkat tangannya yang bergetar:

“Wahai putri… tolong beri aku sedekah… demi Allah... aku belum makan sejak dua hari lalu…”

Perempuan itu menatapnya lama. Suasana batin keduanya mendidih dalam diam. Ia tahu, memberi berarti kehilangan. Tapi di hadapannya berdiri seseorang yang mungkin akan kehilangan nyawa tanpa secuil roti.

Dengan suara pelan dan gemetar, ia menjawab:

“Bagaimana aku bisa memberimu… sedang raja mengancam akan memotong tanganku jika aku bersedekah?”

Pengemis itu menunduk, tapi kemudian berkata lagi dengan mata berkaca:

“Aku tidak meminta tanganmu... hanya roti... demi Allah…”

Perempuan itu memalingkan wajah, lalu menatap ke dalam dapurnya. Hanya dua potong roti tersisa. Satu untuk hari ini, satu untuk besok. Tapi hatinya mengingat suara lain—bukan suara raja, melainkan suara nurani:

“Apa gunanya tangan yang utuh, jika hati menjadi beku?”

Ia mengambil dua roti itu, kembali ke pintu, dan meletakkannya di tangan pengemis dengan lirih:

“Ambillah… semoga Allah memberiku kekuatan jika tangan ini harus hilang…”



Hari berganti. Tapi berita tak pernah berhenti. Di istana, telinga sang raja mendengar kabar perempuan yang berani menantang titahnya. Maka tanpa banyak bicara, ia mengirim pasukan.

“Potong tangannya. Biar jadi pelajaran.”

Dan perempuan itu pun kehilangan kedua tangannya. Ia tak menangis. Ia tak melawan. Ia hanya menatap langit, seolah berkata:

“Ya Allah, jika ini harga dari memberi, maka jangan biarkan aku menyesal.”



Tahun berlalu.

Di istana, raja muda itu duduk termenung di kursi takhtanya. Hari-harinya penuh pesta dan pujian, tapi hatinya kosong. Ia berkata kepada ibunya,

“Wahai ibu, aku ingin menikah. Tapi bukan dengan siapa pun. Aku ingin perempuan yang wajahnya bersih… yang hatinya bening… yang jika kupandang, jiwaku tenang.”

Ibunya tersenyum tipis.

“Ada seorang perempuan seperti itu, Nak. Wajahnya sejuk. Tatapannya dalam. Tapi… ia memiliki cacat yang parah.”

“Cacat seperti apa?” tanya sang raja.

“Kedua tangannya buntung.”

Sang raja terdiam. Tapi hatinya justru penasaran.

“Datangkan dia ke istana.”



Ketika perempuan itu hadir di istana, ia datang dengan sederhana. Jubahnya biasa. Tapi langkahnya teguh. Ia tidak membawa kemewahan, tapi membawa ketenangan.

Sang raja menatapnya. Dan dalam hatinya bergema satu bisikan:

“Ada luka yang justru menjadikan seseorang bercahaya.”

Dengan suara mantap, ia berkata:

“Maukah engkau menjadi istriku?”

Perempuan itu menjawab dengan kepala tertunduk:

“Jika engkau menghendaki, aku bersedia…”

Raja pun menikahinya.



Setelah pernikahan itu, raja bertanya dengan hati yang mulai ingin tahu:

“Katakan padaku… mengapa tanganmu tiada?”

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Ia tidak ragu. Tidak pula menyimpan marah.

“Tangan ini hilang… karena aku memberikan dua potong roti… kepada orang yang lapar… ketika seluruh negeri takut memberi…”

Sang raja terdiam. Seolah petir menyambar batinnya. Ia sadar.

“Perempuan yang kini menjadi istriku… adalah perempuan yang dahulu kuhukum…”

Dan air matanya mengalir. Bukan karena penyesalan semata, tetapi karena ia melihat di hadapannya bukan perempuan cacat, melainkan perempuan yang tangannya mungkin hilang… tapi hatinya lebih utuh dari seluruh kerajaan.



Kadang Allah mengambil sesuatu dari kita, agar kita melihat dengan cara yang tak bisa dijangkau oleh tangan.

Terkadang, satu potong roti… lebih berat dari seluruh emas di istana.


Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin petang menyapa lembut ketika pasukan R...

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin petang menyapa lembut ketika pasukan Raja Dzulkarnain memasuki sebuah kota. Gema takbir kemenangan menyertai langkah-langkah para prajuritnya. Penduduk kota, tua muda, lelaki dan perempuan, berhamburan ke jalanan. Mereka ingin menyaksikan sang penguasa dunia yang namanya menggetarkan timur dan barat.

Namun, di tengah kerumunan yang riuh itu, ada seorang lelaki tua yang tampak sibuk menggali tanah. Kedua tangannya kotor oleh debu dan lumpur. Ia sama sekali tak menoleh, bahkan ketika iring-iringan kaisar lewat di hadapannya. Wajahnya tenang, seperti tak terganggu oleh sorak-sorai atau denting pedang para prajurit.

Dzulkarnain memperhatikannya. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Ia lalu memerintahkan para pengawalnya mendekat dan memanggil sang pria.

"Wahai lelaki, mengapa engkau tidak ikut menyambut kedatanganku? Sedangkan semua penduduk kota ini meninggalkan pekerjaannya dan bersuka cita melihat pasukanku?" tanya Dzulkarnain dengan lembut namun tegas.

Lelaki itu berdiri. Wajahnya penuh wibawa. Ia menatap Dzulkarnain tanpa gentar, lalu menjawab:

"Wahai Raja, saya sedang sibuk mengurusi kematian. Maka saya tak punya waktu untuk menyambut kehidupan dunia yang fana. Lagi pula, saya sudah belajar bahwa kekuasaan dan kehormatan dunia bukan sesuatu yang patut dikagumi."

Dzulkarnain mengernyit. "Apa maksudmu?"

Lelaki itu pun mulai berkisah, suaranya dalam dan tenang:

"Beberapa tahun silam, ada dua orang wafat di kota ini. Yang satu seorang raja, yang satu lagi rakyat jelata yang miskin. Sesuai adat kami, keduanya dimakamkan di tempat yang sama—tak ada istimewa, tak ada perbedaan."

Suasana mendadak hening. Dzulkarnain menatapnya penuh perhatian, mulai tergetar oleh arah kisah ini.

"Beberapa hari kemudian, saya datang menengok kuburan mereka. Kain kafan mereka sudah mulai berubah warna—sama-sama dimakan tanah. Tidak ada yang istimewa pada jasad sang raja dibanding si miskin."

Dzulkarnain mulai menunduk, seolah bayang-bayang kematian mengingatkannya akan sesuatu yang sering dilupakan para penguasa.

"Beberapa waktu kemudian, saya kembali datang. Daging keduanya sudah mulai hancur. Tak tersisa keelokan wajah, apalagi mahkota atau tanda kebesaran."

Mata Dzulkarnain mulai berkaca-kaca. Keangkuhan dunia seolah retak perlahan di hadapan kebenaran yang dibawa lelaki ini.

"Dan akhirnya, saya menengok lagi setelah waktu berlalu lebih lama. Yang tersisa hanyalah tulang belulang. Dan sungguh, saya tak mampu membedakan tulang raja dengan tulang si miskin. Sama-sama rapuh, sama-sama diam."

Lelaki itu menatap lurus ke arah Dzulkarnain.

"Maka sejak saat itu, saya tak lagi mengagumi pangkat, takjub pada gelar, atau terpesona oleh barisan pasukan. Semuanya akan menuju liang yang sama."

Hening. Hanya desir angin dan detak hati yang masih terasa.

Dzulkarnain diam sejenak. Lalu ia mendekat, menggenggam tangan lelaki itu.

"Engkau telah mengajariku sesuatu yang tak diajarkan oleh para menteri dan jenderalku."
Kemudian, dengan suara tegas namun penuh hormat, Dzulkarnain mengangkat lelaki itu sebagai wakilnya untuk memimpin kota tersebut.

"Orang yang pantas memimpin adalah yang tak mencintai kekuasaan. Sebab dia akan menjaga amanah, bukan menikmati kehormatan."



Refleksi:

Mengapa kekuasaan diberikan kepada mereka yang tak menginginkannya?

Karena orang yang mencintai kekuasaan akan memanfaatkannya, sedang orang yang takut pada kekuasaan akan menjaganya seperti menjaga bara api.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi tanpa memintanya, kamu akan dibantu (oleh Allah), tetapi jika kamu diberi karena memintanya, kamu akan dibebani.”
(HR. Bukhari dan Muslim)


Sumber:
Ibnu al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar.

Reformasi Kota-Kota di Tangan Umar bin Abdul Aziz  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin gurun berhembus pelan membawa debu-debu seja...


Reformasi Kota-Kota di Tangan Umar bin Abdul Aziz 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin gurun berhembus pelan membawa debu-debu sejarah, menyentuh reruntuhan kota yang dulu megah namun kini dililit kekacauan dan kehilangan arah. Di antara reruntuhan itu, muncullah sosok pemimpin yang tidak datang membawa bala tentara, tetapi membawa cahaya ilmu dan keteguhan iman: Umar bin Abdul Aziz.

Ia tidak menatap kota-kota yang rusak dengan amarah, melainkan dengan air mata dan hati yang penuh doa. Ia tidak membawa cambuk di tangannya, tetapi membawa adab dan keadilan di setiap keputusan. Di balik diamnya, bersembunyi kebijaksanaan yang menumbuhkan harapan.




Ketika Kota Dipenuhi Pencuri dan Perampok

Seorang hakim, ditugaskan ke Mosul. Kota itu bagai luka menganga—penuh pencurian, perampokan, dan kekacauan. Sang hakim, cucu dari Ibrahim bin Hisyam, menulis surat kepada sang khalifah.

"Wahai Amirul Mukminin, Mosul adalah kota yang rusak. Kejahatan ada di setiap sudutnya. Apakah aku harus menyelidiki, mencari bukti, dan menyelesaikannya dengan tradisi mereka?"

Surat itu terbang menembus gurun, dan sampai di tangan Umar bin Abdul Aziz. Ia membalas dengan lembut, tapi tajam:

"Selesaikanlah dengan sunnah Nabi. Jika mereka menolak kebenaran, maka jangan berharap Allah akan memberikan kebaikan kepada mereka."

Sang hakim menggigit bibirnya. Ia patuh. Ia kembali ke Mosul bukan dengan pedang, tapi dengan sunnah. Bukan dengan teriakan, tapi dengan keteladanan.

Tahun-tahun berlalu. Ketika ia pergi dari Mosul, ia mendapati kota itu berubah. Yang dahulu sarang pencuri, kini menjadi tempat paling aman. Yang dulu diselimuti gelap, kini bersinar dalam naungan keadilan.



Apakah Kota Hanya Bisa Dibangun dengan Pedang?

Di Khurasan, gubernur Al-Jarrah bin Abdullah menulis dengan nada putus asa:

"Penduduk Khurasan ini keras kepala, rusak, liar. Mereka hanya bisa diluruskan dengan pedang dan cambukan. Jika engkau izinkan, aku akan melakukannya."

Surat itu sampai di tangan sang khalifah. Umar menarik napas panjang. Ia tahu, saat pemimpin mengandalkan cambuk, itu tanda rapuhnya jiwa.

Ia balas:

"Wahai Al-Jarrah, engkau telah berdusta. Mereka bukan diluruskan dengan cambuk, tapi dengan keadilan dan kebenaran. Maka tegakkanlah keadilan. Itu cukup. Wassalam."



Apakah Kota Harus Dibangun dengan Dana yang Melimpah?

Seorang gubernur lain mengeluh dalam suratnya:

"Kota kami hancur. Jika engkau berkenan, kirimkan dana untuk membangunnya kembali."

Umar menatap langit, dan menuliskan jawabannya:

"Kamu tidak mengatakan bahwa kotamu telah roboh. Tapi kamu tahu jalan membangunnya: tegakkan keadilan. Bersihkan jalan-jalan dari kezaliman. Jika engkau melakukannya, niscaya kotamu akan bangkit dengan sendirinya."




Refleksi dari Sejarah

Beginilah Umar memandang kota. Ia tidak bicara tentang semen dan batu bata. Ia bicara tentang nilai, tentang sunnah, tentang keadilan.

Baginya, kota rusak bukan karena dindingnya runtuh, tapi karena jiwanya mati. Masyarakat yang tak lagi takut kepada Allah, itulah reruntuhan yang sebenarnya. Maka, solusi Umar bukan membangun tembok, tapi membangunkan hati.

Ketika umat kehilangan adab, hukum menjadi tumpul. Ketika pemimpin kehilangan rasa takut kepada Tuhan, maka seluruh kota kehilangan cahaya.

Umar mengajarkan bahwa membangun kota bukan perkara uang atau senjata, tetapi perkara akhlak dan keberanian menegakkan kebenaran—meski sunyi, meski sendiri.

Dan kini, saat kota-kota kita kembali berlumur keluhan dan kehancuran, barangkali sudah saatnya kita mengingat satu kalimat dari Umar:

"Tegakkan keadilan. Itu cukup."

Sumber:
Mahmud Musthafa Sa'ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar

Memberitakan yang Benar: Tiang yang Sunyi di Pintu Istana Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit Baghdad belum banyak berubah. Burung...

Memberitakan yang Benar: Tiang yang Sunyi di Pintu Istana

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit Baghdad belum banyak berubah. Burung-burung tetap pulang ke sarangnya. Angin masih bertiup membawa debu dari padang. Namun di dalam istana yang megah, seorang khalifah termenung.

Ia bernama Abu Ja’far Al-Manshur, lelaki yang tak banyak tertawa, tak banyak bicara, namun pikirannya menembus jauh ke dalam kedalaman sejarah. Di antara malam-malam tafakurnya, ia berkata pelan namun lantang:

“Betapa aku mencintai empat orang yang berdiri di pintu istanaku.”

Orang-orang menoleh, bingung. Siapakah mereka? Wazir-wazirkah? Panglima-panglima? Ataukah keluarga dekatnya?

Ia lalu menjawab,

“Merekalah sendi-sendi kerajaanku. Seperti dipan tak akan tegak tanpa empat tiangnya, begitu pula kekuasaan tak akan lurus tanpa mereka.”

Satu per satu ia sebutkan.

Pertama, sang qadhi.
Hakim yang tak gentar pada hujatan, karena takutnya hanya pada Tuhan. Ia menegakkan hukum seperti menegakkan tiang dalam badai—tak goyah oleh suara-suara sumbang.

Kedua, sang syurthah.
Polisi yang berdiri bagi yang tak berdaya. Ia bukan tameng para penguasa, tapi perisai bagi rakyat yang tertindas.

Ketiga, sang jabi.
Petugas pajak yang tak menumpuk kekayaan di pundaknya. Ia pungut hak negara, tapi tak ambil milik si miskin.

Dan ketika tiba pada yang keempat, Abu Ja’far terdiam.
Ia menggigit jarinya, tiga kali.
Suaranya tertahan, lalu pelan berkata:

 “Aah... aah...”

Orang-orang menunggu, sunyi menebal di ruangan.

“Yang keempat adalah: penulis berita… wartawan… yang menuliskan tentang tiga sendi lainnya—dengan jujur, apa adanya, tanpa menjual kebenaran untuk pujian atau kekuasaan.”

Betapa agung kalimat itu.
Betapa sunyi maknanya.
Wartawan… bukan sekadar penyampai kabar.
Ia adalah cermin—yang memantulkan wajah kekuasaan tanpa bias.
Ia adalah lentera—yang menyinari ruang-ruang gelap kekeliruan.
Ia adalah saksi sejarah—yang diam-diam menulis masa depan.

Di zamannya, wartawan bukan penyair istana. Bukan peniup seruling bagi penguasa. Ia adalah pengingat. Penjaga. Pemikul amanah.

Maka tak heran jika Al-Manshur mengaduh.
Mungkin karena pernah kehilangan satu di antara mereka.
Atau mungkin karena tahu:
Wartawan yang jujur lebih langka dari panglima yang berani.



Mari kita berjalan ke barat.
Ke Andalusia yang bersinar dalam sejarah.
Di sana, Hisyam bin Abdurrahman Ad-Dakhil juga menjadikan kebenaran sebagai pilar kerajaannya.

Ia tidak duduk menunggu laporan resmi.
Ia mengutus orang-orang terpercaya ke kota Kuur.
Tugas mereka sederhana tapi berat:
Membawa pulang berita kebenaran.
Tentang siapa yang menunaikan tugas, dan siapa yang menyalahgunakannya.

Dan ketika mereka kembali, membawa berita yang jujur, Hisyam tidak tinggal diam.

Ia panggil para pejabat.
Ia dengarkan keluhan rakyat.
Ia bersumpah bersama pelapor.
“Jika ia menamparmu, balaslah tamparannya!”
“Jika ia membuka aibmu, bukalah aibnya juga!”
“Jika ia merampas hakmu, ambillah kembali hartamu!”
“Tapi jika ia melanggar hukum Allah… aku sendiri yang akan menghukumnya!”

Satu persatu, pejabat yang zalim ditindak.
Bukan karena desas-desus,
tapi karena berita yang benar.



Apa yang bisa dilakukan sebuah berita?

Ia mungkin tak punya tentara.
Ia tak membawa pedang.
Tapi ia bisa menggetarkan tahta yang licin.
Ia bisa menggugah hati pemimpin yang lalai.
Ia bisa menahan tangan penguasa sebelum menzalimi.

Berita yang jujur adalah penjaga sunyi kekuasaan.
Ia seperti air yang jernih—menampakkan kotoran yang tersembunyi.
Ia seperti embun—dingin tapi menghidupkan.

Dan jika tidak ada lagi wartawan yang jujur,
jika semua pena telah dijual pada kuasa dan harta,
maka istana akan tegak di atas pasir,
dan kekuasaan akan tumbang…
oleh diam yang mematikan.



Kini zaman telah berubah.
Namun apakah sendi-sendi itu masih utuh?

Hakim yang jujur—masih adakah?
Polisi yang melindungi lemah—masih adakah?
Petugas pajak yang adil—masih adakah?
Dan… wartawan yang menulis demi Allah, bukan demi penguasa—masihkah kau di sana?

Jika kau masih ada,
maka teruslah menulis.
Karena setiap hurufmu bisa menjadi penopang terakhir sebelum tahta runtuh oleh kezaliman.

“Dan katakanlah yang benar, walau itu pahit.”
(Hadits Nabi ﷺ)

Karena kekuasaan bisa bertahan tanpa emas, tapi tidak akan bertahan tanpa kebenaran.


Sumber: Mahmud Musafa Sa’ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar.

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Laa ghaaliba illallaah” Tak ada kemenangan kecua...

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Laa ghaaliba illallaah”
Tak ada kemenangan kecuali atas izin Allah.

Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di tanah Eropa? Jika ingin tahu jawabannya, datanglah ke Spanyol, datanglah ke Granada, lalu berdirilah dengan diam di tengah-tengah keagungan Istana Al-Hambra. Perhatikan setiap dindingnya. Ukiran-ukiran itu bukan sekadar dekorasi. Ia adalah strategi. Ia adalah rahasia kejayaan peradaban Islam yang tak terkalahkan selama delapan abad di Andalusia—strategi yang membentuk dunia, menundukkan kekuasaan, dan menyatukan hati umat manusia.



Arsitektur Sebagai Dakwah: Ketika Batu Bicara Tentang Tauhid

Istana Al-Hambra dibangun oleh Muhammad bin Al-Ahmar, pendiri Dinasti Nasrid, pada tahun 1238 M. Terletak di atas bukit La Sabika, menghadap kota Granada dan dikelilingi Pegunungan Sierra Nevada, Al-Hambra menjadi lambang keindahan arsitektur Islam yang tak tertandingi.

Teknologinya mencengangkan: sistem irigasi bertingkat yang mengalirkan air dari sungai ke seluruh taman dan kolam, ventilasi udara alami, pencahayaan berbasis pantulan cahaya, serta ornamen geometris yang diukir tanpa gambar makhluk hidup, semua itu membentuk satu harmoni spiritual dan estetis. Tujuannya bukan semata sebagai istana raja, melainkan sebagai pusat pemerintahan, peradaban, dan perenungan diri.

Di setiap dindingnya, kalimat "Laa ghaaliba illallaah" terukir ratusan kali. Bukan sekadar hiasan, tapi pengingat: kemenangan bukan milik manusia. Kemenangan hanya datang jika manusia menundukkan egonya dan menyerah total kepada kehendak Allah.



Strategi Utsman bin Affan: Fondasi Maritim Pembebasan Andalusia

Banyak yang menyangka pembebasan Andalusia dimulai pada tahun 711 M oleh Thariq bin Ziyad. Namun, sejarah mencatat bahwa langkah strategis menuju Spanyol sudah dirintis lebih awal—di masa Khalifah Utsman bin Affan. Beliau membangun armada laut Islam pertama secara besar-besaran, menaklukkan Siprus dan mengirim ekspedisi ke Sisilia. Ini sesuai nubuwah Rasulullah ﷺ yang bersabda:

"Kamu akan menaklukkan pasukan yang naik kapal seperti raja di atas singgasana."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Strategi ini menunjukkan bahwa pembebasan Andalusia bukan tindakan reaktif, tapi bagian dari skenario besar peradaban Islam—mengarungi lautan, menembus benua, dan mengabarkan risalah.



Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair: Obsesinya Bukan Dunia, Tapi Poros Peradaban

Ketika Thariq bin Ziyad mendarat di Gibraltar, ia membakar kapal-kapalnya dan berkata:

"Musuh ada di depan kalian, laut di belakang kalian. Tak ada jalan pulang kecuali menang atau syahid!"

Ia bukan sekadar menaklukkan wilayah. Ia melaksanakan rencana besar: menghubungkan tiga pusat dunia—Yerusalem, Roma, dan Konstantinopel. Bersama Musa bin Nushair, ia membayangkan satu dunia yang terikat oleh keadilan Islam. Musa berkata:

“Aku tak akan berhenti sebelum panji Islam berkibar di Roma.”

Mengapa Roma dan Konstantinopel? Karena ini adalah poros geopolitik peradaban dunia. Pakar militer Islam, Dr. Azzam Tamimi menulis:

“Menguasai Andalusia berarti membuka jalan ke Roma. Dari Roma, Konstantinopel akan terkepung dari dua arah: timur dan barat.”

Ini bukan ambisi imperialisme. Ini strategi dakwah global.



Strategi Sosial: Menyatukan Tiga Agama di Satu Negeri

Andalusia bukan hanya negeri Muslim. Ia juga rumah bagi Yahudi dan Nasrani. Tapi tidak seperti di tempat lain di Eropa, di bawah pemerintahan Islam mereka hidup dalam kedamaian dan kehormatan.

Karen Armstrong, sejarawan agama, menyatakan:

“Selama masa keemasan Andalusia, Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan dalam suasana toleransi dan saling menghargai yang belum pernah terjadi sebelumnya di Eropa.”

Granada, Cordoba, dan Toledo menjadi kota multi-agama yang damai. Ilmuwan Yahudi seperti Maimonides dan ilmuwan Nasrani banyak menimba ilmu dari ulama Muslim. Strategi Islam sederhana: hak setiap manusia dijaga, selama tidak melanggar keadilan dan kehormatan masyarakat.



Strategi Spiritualitas: Menghancurkan Ego, Menundukkan Nafsu

Apa inti dari semua strategi itu? Satu: ketundukan hati. Semua pencapaian militer, sosial, dan politik tak akan berarti jika manusia masih dikuasai kesombongan. Kejayaan Islam di Andalusia lahir dari penghancuran hawa nafsu, bukan pengumbaran kekuasaan.

Kalimat “Laa ghaaliba illallaah” yang tertulis di dinding Al-Hambra adalah seruan spiritual yang melampaui waktu. Dinasti Nasrid menuliskannya bukan saat mereka kuat saja, tapi bahkan hingga masa-masa menjelang keruntuhan. Mereka sadar, Islam bukan soal kemenangan jangka pendek, tapi soal prinsip abadi.

Ayat Al-Qur’an yang menginspirasi strategi ini:

“Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
(QS. Ali ‘Imran: 126)

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.”
(HR. Muslim)

Inilah strategi yang diwariskan kepada Sultan Muhammad Al-Fatih. Dalam wasiatnya sebelum wafat, ia berkata:

“Wahai anakku, jangan kau jadikan kekuasaan sebagai tujuan. Jadikan Al-Qur’an sebagai pedoman. Jangan dekati para penjilat, dekati ulama. Jangan takut pada pasukan musuh, takutlah jika Allah meninggalkanmu.”



Al-Hambra Hari Ini: Saksi Bisu, Tapi Masih Bernyawa

Kini, Andalusia menjadi bagian dari Spanyol. Masjid-masjid menjadi museum. Bahasa Arab nyaris lenyap. Tapi Al-Hambra masih berdiri. Dan setiap turis yang datang, setiap pengkaji yang menatap dindingnya, akan melihat: Islam pernah berjaya bukan karena senjata, tetapi karena strategi kehidupan yang luhur.

Profesor Titus Burckhardt, seorang orientalis Swiss, menulis dalam Art of Islam:

“Al-Hambra adalah manifestasi sempurna dari peradaban spiritual Islam: keindahan, kesederhanaan, dan keagungan yang ditundukkan di hadapan Tuhan.”



Seruan dari Dinding yang Tak Pernah Diam

Wahai kaum Muslimin…
Jika engkau ingin kejayaan, jangan tiru kemegahan luarannya. Tiru kedalaman maknanya.

Jika engkau ingin menang, bukan senjata yang kau butuhkan, tapi ketundukan kepada Allah.
Jika engkau ingin kejayaan, bukan harta yang harus dikumpulkan, tapi hawa nafsu yang harus dikalahkan.

Datanglah ke Spanyol. Datanglah ke Istana Al-Hambra. Bacalah tulisan di dindingnya. Terapkan strategi dari langit yang membuat Muslimin pernah berjaya.

“Laa Ghaaliba illallaah.”
Karena memang, tidak ada kemenangan… kecuali dari Allah.

Sultan-Sultan Muslim Maroko dan Amanah Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT Dari abad ke-8 hingga ab...

Sultan-Sultan Muslim Maroko dan Amanah Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT


Dari abad ke-8 hingga abad ke-20, Maroko telah diperintah oleh berbagai dinasti Islam: Idrisiyah, Murabitun, Muwahhidun, Marinid, Sa‘diyah, hingga ‘Alawiyah. Dalam setiap masa, selalu ada sultan-sultan yang tidak hanya berkuasa, tapi juga mengemban misi moral dan spiritual: melindungi rakyat dari kehinaan ekonomi, terutama dari jeratan utang.

Berikut adalah beberapa kisah penting dari para sultan Muslim Maroko yang menjadikan pelunasan utang sebagai jalan ibadah dan keadilan:



1. Sultan Yusuf bin Tasyfin (Murabitun): Menghapus Pajak Penindas dan Membayar Utang Rakyat

Yusuf bin Tasyfin (w. 1106 M), pendiri Dinasti Murabitun dan penyatu Maghrib (Barat Islam), dikenal bukan hanya karena kemenangannya atas pasukan Kristen dalam Perang Zallaqah (Spanyol), tapi juga karena kepeduliannya terhadap kondisi ekonomi rakyat.

 Ia menghapus pajak dzalim yang diwariskan penguasa sebelumnya, lalu mengembalikan harta hasil pungutan tidak sah kepada rakyat.

Ia mendirikan wakaf sosial untuk membayar utang petani dan buruh miskin yang terjerat lintah darat.

Ia memerintahkan para qadhi dan mufti mendata utang rakyat secara adil, lalu melunasinya dari kas negara.

Ia pernah berkata:

“Negeri yang damai bukanlah negeri yang kaya, tetapi negeri yang pemimpinnya tidak menyisakan air mata rakyat karena utang.”



2. Sultan Abu Yusuf Ya’qub Al-Manshur (Muwahhidun): Baitul Mal untuk Melunasi Hutang Ulama dan Fakir

Sultan Ya’qub Al-Manshur (memerintah 1184–1199 M) adalah penguasa besar Dinasti Muwahhidun yang pernah mengalahkan pasukan Salib dalam Perang Alarcos di Spanyol.

Namun, ia juga terkenal karena reformasi keuangan Islamnya.

Ia memerintahkan agar baitul mal digunakan bukan hanya untuk membangun benteng dan istana, tetapi juga untuk:

Membebaskan ulama yang dipenjara karena utang

Melunasi utang rakyat yang terjerat lintah darat Kristen

Menghapus utang yatim-piatu dan janda


 Ia juga menetapkan bahwa utang di bawah jumlah tertentu akan otomatis dihapus jika si pengutang tidak mampu bayar dan terbukti miskin.



3. Sultan Ahmad Al-Manshur (Sa‘diyah): Membayar Utang Negara Tanpa Menambah Beban Rakyat

Sultan Ahmad Al-Manshur (memerintah 1578–1603 M) adalah penguasa Dinasti Sa‘diyah yang berjuluk “Adh-Dhahabi” (Emas), karena kekayaannya luar biasa pasca kemenangan Perang Tondibi di Afrika.

Namun saat ia naik takhta, kas negara kosong dan utang besar tertinggal dari perang.

Ia menolak menambah pajak rakyat, dan justru:

Mengurangi gaji pejabat tinggi

Menjual sebagian harta pribadi sultan

Memotong belanja istana


Dalam waktu singkat, ia berhasil melunasi utang negara tanpa membuat rakyat menderita.

Ia juga menolak pinjaman dari pedagang Eropa karena khawatir menggadaikan kedaulatan.



4. Sultan Muhammad III (Dinasti ‘Alawiyah): Membayar Utang Rakyat, Menolak Utang Zionis

Sultan Muhammad bin Abdullah (memerintah 1757–1790 M), pendiri kota Essaouira, dikenal karena membangun hubungan internasional pertama dengan Amerika Serikat. Namun, yang jarang diketahui: ia sangat peduli pada beban utang rakyat.

 Ia memerintahkan pelunasan utang rakyat miskin kepada rentenir asing di wilayah pesisir dan pedalaman.

Ia mengeluarkan larangan keras terhadap praktik lintah darat dan memaksa para tuan tanah untuk menghapus utang rakyat yang terbukti dizalimi.

Ia juga membentuk dana zakat nasional khusus untuk pelunasan utang (garimîn), sesuai anjuran Al-Qur’an.

Ketika ada utusan Yahudi dari Eropa menawarkan investasi besar dengan imbalan akses tanah dan konsesi ekonomi, Sultan menolak tegas, seraya berkata:

“Kami akan menanggung penderitaan demi kehormatan. Kami tidak menjual tanah dan rakyat demi emas.”



5. Sultan Hasan I dan Muhammad V: Membela Rakyat dari Utang Kolonial

Menjelang masa kolonialisme, Maroko mulai dibebani utang luar negeri oleh bank-bank Eropa. Sultan Hasan I (w. 1894) dan cucunya Sultan Muhammad V (w. 1961) berupaya menolak pinjaman yang menjerat.

Sultan Hasan I membayar bunga utang dengan emas pribadi dan menyita properti bangsawan korup, agar rakyat tidak dipajaki lebih berat.

 Sultan Muhammad V, sang pemimpin kemerdekaan, menolak utang tambahan dari Prancis pada akhir masa penjajahan, karena ia tahu utang itu akan mengikat negeri secara politik.



Penutup: Kepemimpinan yang Membebaskan, Bukan Membebani

Para Sultan Muslim Maroko bukanlah penguasa yang membiarkan rakyat menderita demi proyek-proyek megah. Mereka memahami satu hal:

 “Utang adalah ujian. Dan pemimpin sejati adalah mereka yang menjadi penebus, bukan penindas.”

Di tangan mereka, baitul mal bukan alat kekuasaan, tapi perisai kehormatan umat. Mereka menolak emas yang menjatuhkan harga diri rakyat, dan lebih memilih hidup sederhana demi mencegah air mata ummat.

Kisah Para Sultan Muslim di Asia Tengah dalam  Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Berikut adalah ...

Kisah Para Sultan Muslim di Asia Tengah dalam  Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Berikut adalah kisah para sultan dan penguasa Muslim di Asia Tengah (seperti wilayah Transoxiana, Khurasan, Turkistan, dan sekitarnya), khususnya dari Dinasti Timuriyah, Ghaznawi, dan Khwarizmiyah, yang dikenal melunasi utang rakyat, ulama, dan para mujahid, serta membangun sistem sosial Islam yang menjunjung kehormatan umat dari aib utang.

Meskipun daerah ini sering dikaitkan dengan kekuasaan militer dan ilmiah, namun aspek sosial-ekonominya juga sangat kuat, terutama dalam menjaga harga diri rakyat dari beban utang.


 1. Sultan Mahmud Al-Ghaznawi (w. 421 H / 1030 M)

Penakluk India yang Memuliakan Ulama dan Pejuang

Sultan Mahmud Ghaznawi dikenal sebagai raja besar di Asia Tengah yang membuka wilayah India untuk Islam. Ia juga dermawan terhadap ulama dan rakyat fakir.

a. Melunasi utang ulama dan pejuang yang wafat

Dalam ekspedisi jihadnya, banyak ulama dan tentara wafat meninggalkan keluarga dalam utang. Mahmud berkata:

"Mereka yang meninggal dalam jalan Allah, keluarganya adalah amanah kami. Jika mereka meninggalkan utang, maka akulah yang wajib menanggungnya.”

Ia mendirikan lembaga amil militer yang bertugas melunasi utang syuhada, mendukung janda-janda mereka, dan membebaskan budak Muslim yang dijual karena gagal bayar.


 2. Alauddin Muhammad Khwarizm Shah (w. 617 H / 1220 M)

Raja Besar yang Terkenal Dermawan

Penguasa terakhir Dinasti Khwarizmiyah ini dikenal sebagai raja yang gemar membebaskan rakyat dari beban pajak dan utang, sebelum kerajaannya diserbu oleh Jenghis Khan.

 a. Membebaskan utang rakyat akibat pajak zalim

Saat naik tahta, ia menemukan bahwa sebagian besar rakyat hidup dalam tekanan ekonomi dari pungutan yang tidak manusiawi. Ia langsung memerintahkan:

“Seluruh utang rakyat akibat pajak yang melampaui syariat harus dihapus. Jika mereka masih terlilit utang, lunasi dari baitul mal.”

Ia mendirikan “Dīwān an-Nuẓarā’” (Majelis Pendamaian Keuangan) yang menyelesaikan sengketa utang rakyat dengan tenggang rasa dan pengampunan.


 3. Timur Leng (Tamerlane, w. 807 H / 1405 M)

Penguasa Besar Dinasti Timuriyah yang juga dermawan terhadap ulama dan fuqara

Meski dikenal sebagai penakluk yang keras, Timur Leng juga punya sisi sosial yang dalam. Ia sangat menghormati ulama dan fuqaha, dan menyalurkan harta besar untuk mereka.

a. Melunasi utang ulama dan keluarga fakir

Dalam perjalanannya ke wilayah Khurasan dan Samarkand, ia mendapati beberapa ulama besar wafat dalam keadaan meninggalkan utang. Timur berkata:

“Ilmu mereka telah menyinari dunia. Tidak pantas dunia membalas mereka dengan kehinaan karena utang. Lunasi dan muliakan keturunannya.”

Ia bahkan menyuruh mencatat semua ahli ilmu dan pelayan masjid yang kesulitan membayar utang, lalu melunasinya dari kas kerajaan dan wakaf keluarga.


4. Ulugh Beg (w. 853 H / 1449 M)

Ilmuwan dan Penguasa Samarkand yang Membebaskan Utang Pelajar

Ulugh Beg, cucu Timur Leng, adalah seorang sultan sekaligus astronom dan cendekiawan besar.

 a. Mendirikan dana beasiswa dan pelunasan utang santri

Ia mendirikan madrasah-madrasah megah di Samarkand dan Bukhara. Ketika diketahui bahwa banyak santri berutang untuk membayar kitab dan makan, ia berkata:

“Ilmu adalah cahaya. Utang akan memadamkannya. Negara harus menyalakan pelita itu.”

Ia membentuk lembaga khusus di madrasah untuk:

Memberi beasiswa penuh

Melunasi utang santri dan pelajar

Memberikan bantuan bagi guru yang kesulitan ekonomi



 Kesimpulan:

Sultan Asia Tengah Peran terhadap Utang

Mahmud Ghaznawi Melunasi utang keluarga syuhada dan ulama, membebaskan budak karena utang

Khwarizm Shah Menghapus utang akibat pajak zalim, dan menyelesaikan utang rakyat lewat majelis negara

Timur Leng Melunasi utang ulama dan fuqara, melindungi kehormatan ahli ilmu

Ulugh Beg Mendirikan sistem pelunasan utang untuk pelajar dan guru madrasah


"Kemuliaan seorang pemimpin bukan hanya dalam membangun istana atau menaklukkan kota, tapi dalam membebaskan umat dari kehinaan karena utang.”

Kisah Para Sultan di Andalusia Dalam Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Berikut adalah kisah para...

Kisah Para Sultan di Andalusia Dalam Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Berikut adalah kisah para sultan dan pemimpin Islam di Andalusia (Al-Andalus) yang tercatat melunasi utang rakyat, ulama, dan syuhada, menunjukkan bahwa nilai-nilai keadilan sosial dan amanah dalam Islam tetap dipegang bahkan dalam kondisi politik yang sulit dan penuh intrik.

Meskipun tidak sebanyak catatan dari wilayah Abbasiyah atau Mamluk, beberapa sumber sejarah menunjukkan bahwa para pemimpin Andalusia tidak abai terhadap penderitaan rakyat miskin akibat utang, bahkan menjadikannya bagian dari tanggung jawab moral negara.


 1. Abdurrahman III (Al-Nashir Lidinillah, wafat 961 M) – Pelindung Kehormatan Rakyat

Sebagai khalifah pertama dari Dinasti Umayyah di Andalusia, Abdurrahman III dikenal bukan hanya karena membangun stabilitas dan keilmuan di Cordoba, tetapi juga kebijakan sosialnya yang bijak, termasuk dalam urusan utang.

 Kisahnya:

Suatu kali, gubernurnya melaporkan bahwa banyak rakyat di daerah perbatasan terpaksa menjual anak-anak mereka sebagai budak karena utang yang tak bisa dibayar pasca panen gagal.

Abdurrahman III langsung mengirim surat perintah:

 “Sampaikan kepada rakyat bahwa negara akan melunasi utang mereka. Anak-anak mereka bukan untuk dijual. Negara bertugas menjaga kehormatan mereka.”

Ia mengirim utusan dari Baitul Mal untuk mendata dan melunasi semua utang keluarga miskin, serta mengatur ulang sistem pajak agar tidak memberatkan rakyat.

Pelajaran: Abdurrahman III memahami bahwa kehormatan rakyat lebih tinggi daripada pemasukan negara.


 2. Al-Manshur Ibn Abi Amir (wafat 1002 M) – Pemimpin Militer yang Peduli Beban Sosial

Al-Manshur, penguasa de facto Andalusia pada akhir abad ke-10, dikenal sebagai jenderal tangguh dan administrator ulung. Meski dikenal keras, ia sangat peka terhadap penderitaan rakyat.

Melunasi Utang Pejuang dan Keluarganya

Setelah serangkaian ekspedisi militer besar melawan kerajaan Kristen di utara, banyak prajurit Muslim gugur dan meninggalkan keluarga yang miskin dan berutang.

Al-Manshur berkata kepada sekretaris keuangan:

“Jika mereka telah mengorbankan nyawa untuk negeri ini, maka kita yang wajib mengangkat beban dunia dari pundak keluarga mereka.”

Ia memerintahkan agar utang-utang keluarga mujahidin dilunasi dari kas kerajaan, bahkan membangun wakaf khusus untuk anak-anak yatim para syuhada.


 3. Yusuf I dari Granada (Dinasti Nasrid, wafat 1354 M) – Pembela Kaum Lemah

Yusuf I adalah salah satu sultan dari Dinasti Nasrid di Granada yang terkenal karena pembangunan Madrasah Yusufiyyah dan berbagai institusi sosial di masa akhir kejayaan Andalusia.

Membebaskan Tahanan Utang dan Melunasinya

Dalam kondisi ekonomi sulit karena tekanan dari kerajaan Kristen Castilia, Yusuf I tetap memerintahkan:

“Bebaskan semua yang dipenjara karena utang kecil yang tak sanggup mereka bayar. Lunasi dari kas negara atau dana wakaf umum. Tak boleh orang dipenjara hanya karena miskin.”

Ia juga menugaskan qadhi dan bendahara untuk memeriksa:

Utang para guru, imam, dan muadzin

Utang orang tua yang menanggung biaya anak yatim

Semua itu dibantu pelunasannya oleh Baitul Mal Granada, bahkan ketika istana sendiri sedang kekurangan anggaran perang.


4. Muhammad V al-Ghani Billah (wafat 1391 M) – Menjadikan Wakaf Penolong Orang Berutang

Muhammad V adalah sultan Granada yang terkenal dengan pembangunan Alhambra dan sistem pemerintahan yang relatif stabil di tengah ancaman.

Mendirikan Dana Wakaf untuk Melunasi Utang

Ia mendirikan wakaf sosial permanen yang salah satu fungsinya adalah:

Pelunasan utang fakir miskin

Bantuan kepada orang yang bangkrut karena musibah

Pembebasan orang yang ditahan karena utang tak sanggup bayar

Dalam dokumen wakaf (yang masih ditemukan dalam arsip Andalusia), tercatat:

“Wakaf ini untuk menolong siapa pun dari kaum Muslimin yang kehilangan kehormatannya karena utang, dan tak punya siapa-siapa yang membantunya.”


Kesimpulan:

Sultan Andalusia Peran dalam Pelunasan Utang

Abdurrahman III Melunasi utang rakyat miskin, cegah penjualan anak akibat utang

Al-Manshur Ibn Abi Amir Lunasi utang keluarga syuhada dan dirikan wakaf anak yatim

Yusuf I Bebaskan tahanan utang kecil dan bantu imam/muadzin melunasi beban

Muhammad V Mendirikan wakaf pelunasan utang & penolong korban kebangkrutan


"Di Andalusia, harga diri umat Islam lebih penting dari sekadar angka di atas kertas. Pemimpin yang sejati akan mengangkat beban umat dari pundaknya."
— Refleksi dari warisan Al-Andalus

Kisah Khalifah Daulah Utsmaniyah Dalam Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Berikut adalah kisah pa...

Kisah Khalifah Daulah Utsmaniyah Dalam Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Berikut adalah kisah para khalifah Daulah Utsmaniyah (Khilafah Turki Utsmani) dalam melunasi utang rakyat, ulama, dan keluarga syuhada, serta membangun sistem keuangan Islam yang peduli pada harga diri umat. Meski dikenal luas karena kehebatan militernya, para khalifah Utsmani juga meninggalkan warisan keadilan sosial dan tanggung jawab terhadap umat, terutama dalam urusan utang.


 1. Sultan Muhammad Al-Fatih (w. 886 H / 1481 M)

Penakluk Konstantinopel yang Menolak Membiarkan Rakyat Terhina Karena Utang

Muhammad Al-Fatih dikenal sebagai pemimpin adil, tegas, dan berilmu. Ia sangat memperhatikan nasib rakyat kecil dan ulama.

 a. Melunasi Utang Ulama dan Guru

Dalam catatan sejarah Utsmani, disebutkan bahwa setelah penaklukan Konstantinopel, banyak guru dan qadhi ditugaskan di kota-kota baru, namun mengalami kesulitan keuangan dan bahkan terpaksa berutang.

Muhammad Al-Fatih berkata:

“Orang yang menyampaikan ilmu Allah tidak boleh terhina karena utang dunia. Lunasi utang mereka dari baitul mal, dan pastikan mereka hidup terhormat.”

Ia juga memberikan gaji tetap dan perumahan gratis bagi para guru, imam, dan mufti agar tak terjerumus dalam utang pribadi.


2. Sultan Sulaiman Al-Qanuni (w. 974 H / 1566 M)

Pembuat Undang-Undang Islam yang Melindungi Rakyat dari Lilitan Utang

Sultan Sulaiman dikenal sebagai pemimpin yang menyeimbangkan kekuatan militer dan peradaban hukum. Ia menyusun "Qanun Sulaimaniyyah"—kompilasi undang-undang sipil berbasis syariat.

a. Menghapus dan Melunasi Utang Rakyat Kecil

Saat terjadi krisis ekonomi di beberapa wilayah Balkan dan Anatolia, rakyat banyak berutang karena gagal panen. Sultan Sulaiman memerintahkan:

“Rakyat yang berutang bukan karena maksiat, tapi karena musibah, harus ditolong. Jika mereka tak mampu membayar, maka negara akan menanggungnya.”

Ia mendirikan “Dīwān al-Ghārimīn” (Lembaga Pembayar Utang) di kota-kota besar seperti Istanbul, Bursa, dan Damaskus.

 b. Melunasi Utang Prajurit Gugur dan Ulama yang Wafat

Ia menetapkan bahwa:

Utang para mujahid yang gugur akan dibayar penuh oleh negara

Ulama dan qadhi yang wafat meninggalkan utang akan dilunasi dari dana wakaf

Pelajaran: Sulaiman menyusun sistem formal pelunasan utang berbasis hukum syariah dan wakaf.



3. Sultan Abdul Hamid II (w. 1327 H / 1918 M)

Pemimpin Terakhir yang Teguh dan Dermawan

Di tengah tekanan Eropa, utang negara, dan konspirasi internasional, Abdul Hamid II tetap menjaga kehormatan umat.

a. Membayar Utang Pribadi Ulama dan Pelajar

Ia memiliki daftar tetap ulama dan pelajar miskin dari seluruh penjuru wilayah Utsmani. Ketika ada laporan bahwa mereka terlilit utang, Abdul Hamid menulis surat:

“Ilmu tidak boleh mati karena lapar. Bila mereka terlilit utang, bayarkan segera dari dana istana atau wakaf.”


 b. Melunasi Utang Rakyat Palestina

Ketika para petani Palestina dijerat utang oleh rentenir Yahudi atau agen Inggris, Abdul Hamid menyampaikan perintah rahasia kepada gubernurnya:

“Beli tanah mereka agar tidak dirampas. Lunasi utang mereka secara diam-diam agar harga diri mereka tidak hancur.”

Ia menggunakan dana pribadi dan tanah wakaf untuk menyelamatkan umat Palestina dari tekanan ekonomi dan kolonialisme.


Kesimpulan:

Khalifah Utsmani Tindakan terhadap Utang

Muhammad Al-Fatih Melunasi utang guru dan ulama, memberi gaji & perumahan agar tidak terjerat utang

Sulaiman Al-Qanuni Membentuk lembaga pelunasan utang; lindungi rakyat & prajurit dari beban utang

Abdul Hamid II Melunasi utang ulama, pelajar, dan rakyat Palestina secara pribadi dan diam-diam

“Negara Islam yang kuat bukan hanya menaklukkan kota, tapi juga membebaskan rakyatnya dari utang yang memalukan.”
— Prinsip dalam Khilafah Utsmaniyah


Kisah  Sultan Bani Mamluk dalam Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Berikut adalah kisah para Sult...

Kisah  Sultan Bani Mamluk dalam Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Berikut adalah kisah para Sultan Bani Mamluk dalam melunasi utang, yang mencerminkan kepemimpinan Islam yang bertanggung jawab, peka terhadap penderitaan rakyat, dan menjunjung tinggi kehormatan umat. Meskipun dikenal sebagai pejuang tangguh yang menggagalkan invasi Mongol dan Salib, banyak dari mereka juga menunjukkan kepedulian luar biasa dalam urusan sosial-ekonomi, termasuk melunasi utang rakyat dan ulama.


1. Sultan Baybars (al-Zahir Baybars, wafat 676 H / 1277 M)

Melunasi Utang Tawanan dan Mujahid

Sultan Baybars adalah sultan pertama dari Dinasti Mamluk Bahri, dan terkenal karena mengalahkan Mongol dalam Perang ‘Ain Jalut. Selain dikenal sebagai panglima yang hebat, ia juga memiliki kepedulian luar biasa terhadap tawanan, rakyat miskin, dan para pejuang yang gugur dalam keadaan berutang.

 a. Melunasi utang keluarga para syuhada

Setelah Perang ‘Ain Jalut, banyak prajurit Muslim gugur dan meninggalkan utang serta keluarga. Baybars memerintahkan:

“Hitunglah utang para syuhada dan prajurit. Bebaskan ahli waris mereka dari beban dunia itu. Utang mereka adalah tanggungan kita.”

Ia bahkan membentuk panitia khusus yang bertugas mendata dan membayarkan utang dari kas kerajaan dan wakaf militer.

 b. Menebus tawanan yang terjual karena tidak bisa bayar utang

Dalam beberapa wilayah konflik, ada Muslim yang dijadikan budak karena gagal bayar utang kepada kreditor non-Muslim atau penguasa lokal. Baybars memerintahkan agar:

 “Barang siapa yang dijadikan budak karena utang, dan ia orang fakir, maka bebaskan dan lunasi utangnya dari kas negara.”

 Pelajaran: Baybars memadukan keberanian militer dan kasih sayang sosial, meyakini bahwa kehormatan umat Islam tidak boleh dijual karena utang.


 2. Sultan Qalawun al-Alfi (wafat 689 H / 1290 M)

Membebaskan Ulama dari Utang

Qalawun, pengganti Baybars, melanjutkan jejak gurunya dalam bidang keadilan sosial. Dalam masa damai, ia membangun madrasah, rumah sakit, dan lembaga wakaf, serta melunasi utang para ulama, guru, dan imam masjid.

 a. Melunasi utang guru-guru madrasah

Ketika diketahui bahwa beberapa guru madrasah dan qadhi terpaksa berutang karena gaji yang belum dibayar oleh pengelola lokal, Qalawun berkata:

“Ilmu adalah pondasi umat. Orang yang mengajarkannya harus dimuliakan. Lunasi utang mereka, dan perbaiki pengelolaan gaji.”

Sejak itu, ia menetapkan insentif tetap dan dana darurat untuk para guru dan pelayan masjid agar tidak jatuh ke utang konsumtif.


 3. Sultan Al-Nashir Muhammad bin Qalawun (berkuasa tiga kali, wafat 741 H / 1341 M)

Mendirikan Dana Pelunasan Utang Umum

Di masa kekuasaannya, Sultan Al-Nashir Muhammad membentuk struktur ekonomi Mamluk yang paling stabil, dan dikenal karena pembangunan masjid besar, sistem distribusi air, dan kebijakan sosial yang cermat.

 a. Mendirikan pos “Baitul Mal al-Ghārimīn”

Pos ini secara khusus bertugas:

Mendata rakyat miskin yang terjerat utang karena kebutuhan pokok

Melunasi utang mereka secara berkala

Membebaskan dari penjara utang

Menyediakan bantuan konsultasi dan mediasi antara kreditur dan debitur


Ia juga menghukum rentenir dan penagih utang yang mempermalukan rakyat miskin di pasar.

Pelajaran: Pemerintahannya menjadi model negara yang bukan hanya mengurus ekonomi makro, tapi juga hadir langsung dalam membebaskan rakyat dari tekanan utang.


4. Sultan Qaitbay (wafat 901 H / 1496 M)

Melunasi Utang Warga Terdampak Bencana

Qaitbay adalah sultan Mamluk Burji yang terkenal karena pembangunan menara dan benteng, serta menghadapi krisis gempa bumi dan kelaparan.

🟢 a. Pelunasan utang korban bencana

Setelah gempa besar dan banjir di Kairo dan sekitarnya, banyak warga miskin kehilangan rumah dan terjerat utang ke rentenir.

Qaitbay memerintahkan:

> “Siapa pun yang berutang karena musibah yang tidak disengaja, negara akan hadir. Mereka tidak boleh dikejar dalam keadaan lemah dan menderita.”



Ia mendirikan lembaga wakaf darurat dan mendistribusikan bantuan serta pelunasan utang kepada ratusan keluarga miskin.


---

🔶 Kesimpulan:

Sultan Mamluk Tindakan Sosial dalam Pelunasan Utang

Baybars Melunasi utang keluarga syuhada dan membebaskan tawanan karena utang
Qalawun Membayar utang ulama dan guru madrasah, memperbaiki sistem gaji
An-Nashir Muhammad Membentuk lembaga pelunasan utang rakyat dan melindungi dari rentenir
Qaitbay Melunasi utang rakyat miskin korban bencana dan mendirikan wakaf darurat


> “Kekuatan negara Islam bukan hanya di pedangnya, tapi pada keadilannya terhadap orang lemah dan berutang.”
— Hikmah dari warisan Dinasti Mamluk

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (238) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)