basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Sirah Penguasa

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Sirah Penguasa. Tampilkan semua postingan

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di t...

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di tepi kota Mansuriyah. Angin gurun bertiup pelan, membawa debu-debu kecemasan yang tak kunjung reda. Langit malam seperti berat menanggung beban bumi. Di satu sisi, tentara Salib yang dipimpin Raja Louis IX mengepung Mesir. Di sisi lain, umat Islam berdiri pada satu titik paling genting dalam sejarah perlawanan mereka.

Itulah masa akhir dinasti Ayyubiyah. Dimyath sudah jatuh. Kini, Mansuriyah menjadi benteng terakhir. Sultan, ulama, dan rakyat bahu membahu mempertahankan satu-satunya harapan itu. Dalam pekatnya malam dan panasnya siang, darah dan doa bertemu di satu titik.

Namun di tengah hiruk-pikuk dan ancaman senjata, ada satu pemandangan yang mencengangkan. Para ulama tak hanya menghunus doa, tapi juga membuka lembaran-lembaran kitab. Di perkemahan, di sela gemuruh perang, mereka membaca Ar-Risalah al-Qusyairiyah. Kitab sufi yang dalam dan luhur itu menjadi pelita di tengah gelapnya kekacauan.

Di antara mereka ada Syeikh Izzuddin Abdussalam, sang "sultan para ulama", dan yang paling menonjol: Syekh Hasan Asy-Syadzali. Seorang yang tua renta, matanya sudah buta, tapi hatinya terang benderang. Di kemahnya, ia merebahkan tubuh letihnya, bukan karena takut, tapi karena beban cinta pada umat yang begitu berat dipikul sendiri.

Malam itu, ia tertidur. Tapi tidurnya bukan tidur biasa. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya. Sebuah tenda. Tinggi menjulang ke langit. Cahayanya menyinari bumi. Para malaikat, manusia, dan ruh-ruh suci berdesakan ingin memasukinya.

"Tenda siapa ini?" tanya beliau.

"Tenda Rasulullah SAW," jawab suara itu.

Maka Syekh Hasan bergegas. Di pintu tenda itu, ia bertemu 70 orang ulama dan orang-orang shalih. Di antara mereka, ia mengenali wajah Syeikh Izzuddin Abdussalam.

Dengan rendah hati, ia berkata, "Tak layak aku masuk sebelum yang paling alim dari kita melangkah lebih dahulu." Maka mereka pun masuk. Dan Rasulullah SAW menyambut mereka dengan penuh kasih. Tangannya menunjuk ke kanan dan kiri, meminta mereka duduk di sekelilingnya.

Air mata Syekh Hasan tumpah. Bukan karena takut. Tapi karena haru. Karena kecintaan. Karena beban umat yang ia pikul di jiwanya. Dalam bisik tangis itu, ia menyampaikan gundahnya kepada Rasulullah SAW. Tentang umat, tentang perang, tentang harapan yang nyaris padam.

Rasulullah SAW menggenggam tangannya dan berkata:

"Jangan khawatir. Jika umat ini dipimpin oleh orang yang zalim, maka lihatlah apa yang terjadi..."

Beliau menggenggam jari-jarinya kuat-kuat, lalu melepaskannya pelan-pelan, seperti menunjukkan kejatuhan yang lambat tapi pasti.

"Namun jika pemimpinnya orang bertakwa, maka Allah-lah penjaga mereka."

Beliau membukakan kedua telapak tangannya. Lalu membaca firman Allah:

> "Barangsiapa yang membela Allah, Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, maka panji Allah-lah yang akan menang." (QS. Al-Ma'idah: 56)



Dan kepada Sultan, Rasulullah SAW menitipkan pesan:

> "Tangan Allah akan selalu terbuka bagi pemimpin yang adil. Yang mengayomi umat. Yang menasihati mereka agar taat kepada Allah. Maka nasehatilah dia, tulislah surat, dan sampaikan padanya bahwa orang zalim adalah musuh Allah."



Kemudian beliau membacakan ayat lain:

> "Maka bersabarlah engkau (Muhammad), sungguh janji Allah itu benar. Dan jangan sampai orang-orang yang tidak meyakini kebenaran itu membuatmu gelisah." (QS. Ar-Rum: 60)



Syekh Hasan pun terbangun. Matanya tak melihat, tapi hatinya telah melihat lebih terang dari matahari. Ia bangkit. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tahu ini bukan semata perang pedang, tapi perang jiwa.

Sejarawan besar, Dr. Muhammad Ash-Shalabi, mencatat betapa pengaruh Syekh Hasan Asy-Syadzali sangat besar. Ia menyuntikkan harapan kepada Sultan Najmuddin Ayyub. Ia menggerakkan rakyat. Ia mengerahkan murid-muridnya. Tapi bukan dengan senjata, melainkan dengan kalimat suci. Dengan tasbih, dengan doa, dengan dzikir yang tak putus.

Di malam-malam penuh kegelisahan, murid-muridnya membaca Hizib Nashr dan hizib untuk membutakan mata musuh. Mereka berdiri tegak dalam sujud panjang, sementara langit turun membawa rahmat.

Akhirnya kemenangan pun datang. Tentara Salib porak-poranda. Raja Louis IX tertangkap. Sebuah kemenangan yang bukan hanya karena strategi, tapi karena doa. Karena kehadiran orang-orang pilihan di barisan umat.

Syekh Hasan Asy-Syadzali pun kembali ke Iskandariah. Mengajar. Membina. Mendidik. Dan tarekat Syadziliyah pun menyebar hingga ke pelosok dunia Islam. Bahkan jauh di masa kemudian, KH Hasyim Asy'ari pun mengajarkan hizib-hizib beliau kepada para santri dan pejuang di masa penjajahan Belanda.

Konon, Ki Haji Nur Ali dari Bekasi—seorang pejuang dan ulama besar—di masa rezim represif pun mengajarkan wirid-wirid ini kepada para santrinya.

Syekh Hasan Asy-Syadzali mengajarkan bahwa kemenangan bukan semata kerja strategi, tapi buah dari kedekatan jiwa kepada Allah. Jiwa yang hening, hati yang tunduk, lisan yang basah oleh nama-Nya.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari hari ini?

Bahwa di tengah kekacauan zaman, di tengah kepungan berbagai krisis, umat ini tetap memiliki tenda besar: Tenda Rasulullah SAW. Tenda itu tegak dengan dzikir, dengan ilmu, dengan ketundukan, dengan cinta yang tak terbagi.

Selama masih ada ulama yang jujur, murid yang tekun, umat yang sabar, dan pemimpin yang bertakwa—maka janji Allah tetap berlaku: "Panji Allah-lah yang akan menang."

Dan jika tak ada lagi kekuatan fisik yang bisa dibanggakan, maka masih ada tasbih. Masih ada air mata. Masih ada harapan yang tak pernah mati di dada orang-orang shalih.

Tenda itu masih ada. Tinggi menjulang. Menunggu siapa pun yang ingin datang, dengan jiwa yang bersih dan niat yang lurus.

Seperti kata Syekh Hasan Asy-Syadzali:

> "Segala kemenangan berasal dari pertolongan Allah. Dan jiwa yang dekat dengan Allah-lah yang paling pantas memikul panji kemenangan itu."



Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin.

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah kejayaan semu yang me...

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di tengah kejayaan semu yang memabukkan para raja Visigoth di Andalusia, berdirilah sebuah bangunan misterius yang oleh para penguasa terdahulu dinamai Wisma Raja. Tidak sembarang orang boleh masuk. Bahkan, para raja terdahulu pun tidak berani menyentuh pintu gerbangnya, apalagi membukanya. Ada keheningan dan keagungan yang menggetarkan di sana, seolah menyimpan nubuat yang telah menanti saatnya.

Namun, Roderic, sang penguasa terakhir Visigoth, tak tahan oleh rasa penasaran. Ia datang ke hadapan para uskup dan berkata dengan lantang, "Demi Tuhan, aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran terhadap isi wisma ini. Aku akan membukanya dan melihat apa yang ada di dalamnya."

Para uskup mencoba mencegahnya. Mereka berkata, "Semoga Tuhan memberimu kebaikan, wahai Raja. Jangan engkau langgar tradisi para pendahulu kita yang shalih. Mereka meninggalkannya bukan karena takut, tapi karena hikmah. Mereka lebih bijak daripada kita."

Namun, nafsu kekuasaan telah membutakan hati Roderic. Ia mengabaikan nasihat para rohaniwan dan membuka pintu itu dengan congkak. Dan di dalamnya, ia tak menemukan harta sebagaimana yang dibayangkannya, melainkan gambar-gambar dan tulisan kuno. Terpampang di dinding: "Jika pintu wisma ini terbuka, maka musuh dari timur akan datang, menaklukkan negeri ini. Mereka adalah bangsa Arab, dan inilah ciri-ciri mereka."

Tak ada kilau emas, tak ada permata. Yang ada hanyalah pesan kehancuran. Tapi Roderic tak percaya. Ia tertawa, meremehkan nubuat, dan berjalan keluar tanpa beban. Ia tak sadar bahwa ia baru saja mengaktifkan kutukan sejarah—dan membangunkan takdir yang tertidur.


---

Di seberang Laut Tengah, di tanah Maghrib, Gubernur Ifriqiyah, Musa bin Nushair, menerima kabar tentang kezaliman Roderic, tentang ketidakstabilan kerajaan Visigoth, dan tentang kaum tertindas yang mengirim isyarat permohonan pembebasan.

Musa melihat peluang dan petunjuk dari langit. Ia menugaskan salah satu jenderalnya yang paling cakap dan bertakwa: Thariq bin Ziyad, seorang pemuda Berber yang tubuhnya mungkin kecil, namun imannya membesar-besarkan semesta. Ia diberi amanah untuk memimpin 1.700 pasukan dalam tujuh kapal. Dan keberangkatan itu ditetapkan pada bulan Rajab 93 H, bulan suci yang penuh keberkahan. Agar angin kemenangan mengiringi langkah mereka, dan malaikat turun bersama ombak.

Thariq dan pasukannya menyeberangi lautan dari Tangier. Gelombang mengguncang lambung kapal, dan langit malam dilapisi kabut tipis. Para prajurit muda duduk merenung di geladak, mendengarkan gemuruh laut dan suara hati yang menyebut Asma Allah.

"Adakah kemenangan itu dekat, ya Rabb?" bisik seorang prajurit. Yang lain menjawab, "Bersabarlah. Kami sedang dalam perjalanan menuju takdir besar."

Ketika fajar merekah, mereka sampai di sebuah tanjung berbatu yang memerah seperti bara. Di sinilah Thariq diperintahkan mendarat. Ada sebuah benteng yang berdiri di sana—dan ia diperintahkan untuk menghancurkannya. Batu demi batu dirubuhkan. Jejak lama harus dihapus, agar cahaya baru bisa ditanam.


---

Namun, di daratan yang lebih dalam, Raja Roderic tak tinggal diam. Ia membawa 70.000 pasukan, lengkap dengan kendaraan mewah yang ditarik dua kuda, dihiasi permata dan intan. Ia duduk di atas permadani di bawah kubah emas yang berkilauan. Ia bahkan membawa tali—bukan karena takut ditawan, tapi karena ia yakin akan menang dan akan menyeret Thariq sebagai tawanan.

Thariq melihat dari kejauhan. Langit merah membara di belakang mereka. Laut telah mereka tinggalkan. Dan di depan: pasukan musuh sebesar gunung.

Ia mengumpulkan pasukannya. Dengan suara tenang tapi mengguncang jiwa, ia berkata:

"Wahai manusia, ke mana kalian akan lari? Laut ada di belakang kalian, musuh di depan kalian. Demi Allah, tak ada jalan keluar selain kejujuran dan kesabaran. Itulah dua sayap kemenangan."

Ia berjalan ke tengah. Menatap wajah-wajah yang gemetar, lalu menyulut api semangat:

"Jumlah kita sedikit, tapi ketulusan kita besar. Musuh banyak, tapi hati mereka kosong. Jika aku maju, ikutilah aku. Jika aku berhenti, berhentilah. Jadilah kalian satu tubuh."

Kemudian, Thariq melakukan hal yang mencengangkan: ia membakar seluruh kapal-kapalnya. Api menjilat layar dan kayu, asap membumbung ke langit. Para prajurit menatap, terdiam.

Tak ada jalan pulang. Hanya ada dua pilihan: menang atau mati syahid.

"Jangan takut! Jangan jadi orang hina! Dapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Malas adalah kehinaan. Kemenangan ada pada sabar. Allah akan menolong kalian."


---

Pertempuran besar pun terjadi. Sejarah mengenalnya sebagai Perang Guadalete. Pasukan Muslimin, yang jumlahnya jauh lebih kecil, bertempur dengan semangat langit. Tombak melesat, pedang berkilat. Takbir menggema. Dan pada akhirnya, Roderic tewas. Permadani emasnya menjadi saksi kejatuhannya. Tak satu pun permata bisa menyelamatkannya dari kutukan Wisma Raja.

Thariq mengirim kabar kemenangan kepada Musa bin Nushair, dan Musa menyampaikannya ke khalifah di Damaskus. Tapi perjuangan belum usai. Kota-kota lain masih berdiri. Benteng-benteng masih menjulang.

Thariq mengirim surat: "Musuh mengepung kami dari segala penjuru. Kami membutuhkan bantuan!"

Musa pun berangkat dengan pasukan tambahan. Setelah bergabung, mereka melanjutkan pembebasan. Cordoba jatuh. Seville jatuh. Dan akhirnya, mereka sampai di Toledo, kota kerajaan.

Di sanalah, Musa mendapati kembali Wisma Raja—bangunan yang dulu dibuka Roderic.

Di dalamnya, ia menemukan 24 mahkota, masing-masing milik raja yang pernah memerintah. Ada nama, tanggal penobatan, dan tanggal kematian. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja yang berukirkan tulisan: Sulaiman bin Daud.

Wisma itu ternyata menyimpan lebih dari nubuat: ia menyimpan jejak warisan para nabi. Dan kini, ia menyambut generasi pembawa tauhid yang datang bukan untuk menguasai, tapi membebaskan.


---

Roderic membuka Wisma Raja dengan angkuh, dan ia dikutuk oleh sejarah. Tapi kaum Muslimin membuka Wisma itu dengan iman, dan mereka ditulis oleh langit.

Penaklukan Andalusia bukan semata penaklukan geografis. Ia adalah penaklukan spiritual. Sebuah pergantian zaman. Dari kesombongan raja yang menghina nubuat, menuju ketundukan panglima yang mencintai janji Allah.

Dari kapal yang dibakar, dari lautan yang ditinggalkan, dari sabda yang menggetarkan hati, lahirlah peradaban besar yang akan memancar selama berabad-abad ke depan.

Dan semua itu, dimulai dari sebuah wisma tua, yang menyimpan meja Nabi, dan mengantar zaman pada takdir yang tak bisa dihindari.


Sumber:
Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Para Khalifah , Pustaka Al-Kautsar

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah kejayaan semu yang me...

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di tengah kejayaan semu yang memabukkan para raja Visigoth di Andalusia, berdirilah sebuah bangunan misterius yang oleh para penguasa terdahulu dinamai Wisma Raja. Tidak sembarang orang boleh masuk. Bahkan, para raja terdahulu pun tidak berani menyentuh pintu gerbangnya, apalagi membukanya. Ada keheningan dan keagungan yang menggetarkan di sana, seolah menyimpan nubuat yang telah menanti saatnya.

Namun, Roderic, sang penguasa terakhir Visigoth, tak tahan oleh rasa penasaran. Ia datang ke hadapan para uskup dan berkata dengan lantang, "Demi Tuhan, aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran terhadap isi wisma ini. Aku akan membukanya dan melihat apa yang ada di dalamnya."

Para uskup mencoba mencegahnya. Mereka berkata, "Semoga Tuhan memberimu kebaikan, wahai Raja. Jangan engkau langgar tradisi para pendahulu kita yang shalih. Mereka meninggalkannya bukan karena takut, tapi karena hikmah. Mereka lebih bijak daripada kita."

Namun, nafsu kekuasaan telah membutakan hati Roderic. Ia mengabaikan nasihat para rohaniwan dan membuka pintu itu dengan congkak. Dan di dalamnya, ia tak menemukan harta sebagaimana yang dibayangkannya, melainkan gambar-gambar dan tulisan kuno. Terpampang di dinding: "Jika pintu wisma ini terbuka, maka musuh dari timur akan datang, menaklukkan negeri ini. Mereka adalah bangsa Arab, dan inilah ciri-ciri mereka."

Tak ada kilau emas, tak ada permata. Yang ada hanyalah pesan kehancuran. Tapi Roderic tak percaya. Ia tertawa, meremehkan nubuat, dan berjalan keluar tanpa beban. Ia tak sadar bahwa ia baru saja mengaktifkan kutukan sejarah—dan membangunkan takdir yang tertidur.


---

Di seberang Laut Tengah, di tanah Maghrib, Gubernur Ifriqiyah, Musa bin Nushair, menerima kabar tentang kezaliman Roderic, tentang ketidakstabilan kerajaan Visigoth, dan tentang kaum tertindas yang mengirim isyarat permohonan pembebasan.

Musa melihat peluang dan petunjuk dari langit. Ia menugaskan salah satu jenderalnya yang paling cakap dan bertakwa: Thariq bin Ziyad, seorang pemuda Berber yang tubuhnya mungkin kecil, namun imannya membesar-besarkan semesta. Ia diberi amanah untuk memimpin 1.700 pasukan dalam tujuh kapal. Dan keberangkatan itu ditetapkan pada bulan Rajab 93 H, bulan suci yang penuh keberkahan. Agar angin kemenangan mengiringi langkah mereka, dan malaikat turun bersama ombak.

Thariq dan pasukannya menyeberangi lautan dari Tangier. Gelombang mengguncang lambung kapal, dan langit malam dilapisi kabut tipis. Para prajurit muda duduk merenung di geladak, mendengarkan gemuruh laut dan suara hati yang menyebut Asma Allah.

"Adakah kemenangan itu dekat, ya Rabb?" bisik seorang prajurit. Yang lain menjawab, "Bersabarlah. Kami sedang dalam perjalanan menuju takdir besar."

Ketika fajar merekah, mereka sampai di sebuah tanjung berbatu yang memerah seperti bara. Di sinilah Thariq diperintahkan mendarat. Ada sebuah benteng yang berdiri di sana—dan ia diperintahkan untuk menghancurkannya. Batu demi batu dirubuhkan. Jejak lama harus dihapus, agar cahaya baru bisa ditanam.


---

Namun, di daratan yang lebih dalam, Raja Roderic tak tinggal diam. Ia membawa 70.000 pasukan, lengkap dengan kendaraan mewah yang ditarik dua kuda, dihiasi permata dan intan. Ia duduk di atas permadani di bawah kubah emas yang berkilauan. Ia bahkan membawa tali—bukan karena takut ditawan, tapi karena ia yakin akan menang dan akan menyeret Thariq sebagai tawanan.

Thariq melihat dari kejauhan. Langit merah membara di belakang mereka. Laut telah mereka tinggalkan. Dan di depan: pasukan musuh sebesar gunung.

Ia mengumpulkan pasukannya. Dengan suara tenang tapi mengguncang jiwa, ia berkata:

"Wahai manusia, ke mana kalian akan lari? Laut ada di belakang kalian, musuh di depan kalian. Demi Allah, tak ada jalan keluar selain kejujuran dan kesabaran. Itulah dua sayap kemenangan."

Ia berjalan ke tengah. Menatap wajah-wajah yang gemetar, lalu menyulut api semangat:

"Jumlah kita sedikit, tapi ketulusan kita besar. Musuh banyak, tapi hati mereka kosong. Jika aku maju, ikutilah aku. Jika aku berhenti, berhentilah. Jadilah kalian satu tubuh."

Kemudian, Thariq melakukan hal yang mencengangkan: ia membakar seluruh kapal-kapalnya. Api menjilat layar dan kayu, asap membumbung ke langit. Para prajurit menatap, terdiam.

Tak ada jalan pulang. Hanya ada dua pilihan: menang atau mati syahid.

"Jangan takut! Jangan jadi orang hina! Dapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Malas adalah kehinaan. Kemenangan ada pada sabar. Allah akan menolong kalian."


---

Pertempuran besar pun terjadi. Sejarah mengenalnya sebagai Perang Guadalete. Pasukan Muslimin, yang jumlahnya jauh lebih kecil, bertempur dengan semangat langit. Tombak melesat, pedang berkilat. Takbir menggema. Dan pada akhirnya, Roderic tewas. Permadani emasnya menjadi saksi kejatuhannya. Tak satu pun permata bisa menyelamatkannya dari kutukan Wisma Raja.

Thariq mengirim kabar kemenangan kepada Musa bin Nushair, dan Musa menyampaikannya ke khalifah di Damaskus. Tapi perjuangan belum usai. Kota-kota lain masih berdiri. Benteng-benteng masih menjulang.

Thariq mengirim surat: "Musuh mengepung kami dari segala penjuru. Kami membutuhkan bantuan!"

Musa pun berangkat dengan pasukan tambahan. Setelah bergabung, mereka melanjutkan pembebasan. Cordoba jatuh. Seville jatuh. Dan akhirnya, mereka sampai di Toledo, kota kerajaan.

Di sanalah, Musa mendapati kembali Wisma Raja—bangunan yang dulu dibuka Roderic.

Di dalamnya, ia menemukan 24 mahkota, masing-masing milik raja yang pernah memerintah. Ada nama, tanggal penobatan, dan tanggal kematian. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja yang berukirkan tulisan: Sulaiman bin Daud.

Wisma itu ternyata menyimpan lebih dari nubuat: ia menyimpan jejak warisan para nabi. Dan kini, ia menyambut generasi pembawa tauhid yang datang bukan untuk menguasai, tapi membebaskan.


---

Roderic membuka Wisma Raja dengan angkuh, dan ia dikutuk oleh sejarah. Tapi kaum Muslimin membuka Wisma itu dengan iman, dan mereka ditulis oleh langit.

Penaklukan Andalusia bukan semata penaklukan geografis. Ia adalah penaklukan spiritual. Sebuah pergantian zaman. Dari kesombongan raja yang menghina nubuat, menuju ketundukan panglima yang mencintai janji Allah.

Dari kapal yang dibakar, dari lautan yang ditinggalkan, dari sabda yang menggetarkan hati, lahirlah peradaban besar yang akan memancar selama berabad-abad ke depan.

Dan semua itu, dimulai dari sebuah wisma tua, yang menyimpan meja Nabi, dan mengantar zaman pada takdir yang tak bisa dihindari.


Sumber:
Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Para Khalifah , Pustaka Al-Kautsar

Hegemoni Quraisy: Ketika Agama dan Kekuasaan Saling Menyapa > “Kekuasaan tidak pernah netral. Bahkan dalam agama, ia selalu m...

Hegemoni Quraisy: Ketika Agama dan Kekuasaan Saling Menyapa

> “Kekuasaan tidak pernah netral. Bahkan dalam agama, ia selalu memilih siapa yang berhak menafsirkan kebenaran.” — Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy (LKIS, 2002)




---

1. Pendahuluan: Ketika Agama Bertemu Kekuasaan

Setiap zaman melahirkan bentuk baru dari pertarungan lama: antara kebenaran dan kepentingan.
Di balik kisah agung tentang kebangkitan Islam, selalu ada narasi kecil yang luput dari wacana resmi: pergulatan antara idealisme wahyu dan naluri kekuasaan manusia. Di titik inilah, suku Quraisy — suku asal Nabi Muhammad ﷺ — memainkan peran yang rumit: sebagai pembawa risalah sekaligus pengelola kekuasaan setelah risalah itu tersebar.

Khalil Abdul Karim, seorang pemikir dan sejarawan Mesir yang berani menabrak arus, menulis buku Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan (Penerbit LKIS, 2002) bukan untuk menjatuhkan sejarah Islam, tetapi untuk mengajukan pertanyaan yang kerap dihindari:
Apakah kekuasaan Quraisy setelah Nabi benar-benar mencerminkan ajaran Islam?
Ataukah ia menyimpan sisa-sisa kebanggaan suku yang belum sepenuhnya luruh di hadapan keadilan wahyu?

Khalil tidak menulis dengan emosi, tetapi dengan pisau sejarah dan sosiologi. Ia menelusuri lapisan sosial di balik teks, membaca relasi antara agama dan kekuasaan sebagaimana membaca nadi sejarah: berdenyut, kompleks, dan tak selalu suci.

Dan di sanalah daya gugah buku ini: ia tidak menistakan agama, tapi mengajak kita mengujinya — agar Islam tidak terjebak menjadi sekadar struktur kuasa yang berbalut simbol ilahi.


---

2. Akar Sejarah: Quraisy Sebelum Islam

Jauh sebelum wahyu turun, Makkah telah menjadi jantung ekonomi dan spiritual Jazirah Arab. Ka‘bah, rumah tua peninggalan Nabi Ibrahim, menjadi magnet bagi kafilah dan peziarah dari berbagai suku. Quraisy — penjaga Ka‘bah — menjadi elite yang menguasai dua hal sekaligus: agama dan perdagangan.

Mereka adalah aristokrasi padang pasir. Dalam istilah sosiologi, mereka memiliki capital simbolik: kehormatan suci yang disegani oleh suku-suku lain. Tapi mereka juga memiliki capital ekonomi: jalur perdagangan yang menghubungkan Yaman, Syam, dan wilayah Hijaz. Mereka bukan sekadar penyembah berhala, tapi juga pengelola sistem sosial yang mapan — dengan kontrak, perjanjian, dan jaringan internasional yang canggih untuk ukuran abad ke-6 Masehi.

Khalil menyebutnya sebagai kelas hegemonik: kelompok yang berkuasa bukan hanya karena pedang, tetapi karena mampu mendefinisikan makna suci. Ritual agama dijadikan sumber legitimasi, dan Ka‘bah menjadi pusat ekonomi-politik.
Maka, ketika Islam datang dengan pesan kesetaraan dan tauhid, yang terguncang bukan hanya keyakinan, melainkan seluruh tatanan sosial dan ekonomi.


---

3. Nabi Muhammad ﷺ dan Revolusi Sosial

Nabi Muhammad ﷺ datang bukan untuk menambah daftar dewa, tetapi untuk meniadakannya.
Tauhid, bagi masyarakat Quraisy, bukan hanya perubahan teologis — ia adalah ledakan sosial. Ia meruntuhkan hierarki antara tuan dan budak, antara yang berkuasa dan yang dikuasai.

“Tidak ada keistimewaan bagi Arab atas non-Arab kecuali dengan takwa,” sabda beliau.
Kata-kata ini, dalam konteks sosiologis, adalah revolusi. Ia menghantam jantung hegemoni Quraisy yang selama ini hidup dari status sosial dan garis keturunan.

Dalam pandangan Khalil Abdul Karim, ajaran Islam awal adalah gerakan moral sekaligus sosial: menantang struktur ekonomi Quraisy yang bertumpu pada riba, eksploitasi, dan kesetiaan pada klan. Nabi mengajarkan solidaritas lintas suku, zakat sebagai mekanisme keadilan sosial, dan persaudaraan Muhajirin–Anshar sebagai model masyarakat baru.

Namun, setelah kemenangan Islam di Makkah, muncul paradoks sejarah.
Orang-orang Quraisy yang dulu menjadi musuh, kini bergabung ke dalam Islam — bukan hanya sebagai pemeluk, tetapi sebagai penguasa.
Sejarah seolah berputar: mereka yang dahulu menentang Nabi atas nama kekuasaan kini justru menjadi pewaris kekuasaan atas nama Nabi.


---

4. Dari Madinah ke Kekaisaran Quraisy

Sejarah tidak pernah berhenti di kemenangan. Setelah Rasulullah ﷺ wafat, umat Islam memasuki fase kepemimpinan manusia — dan di sinilah problem klasik muncul: bagaimana menjaga kemurnian wahyu di tengah realitas politik.

Pada masa Abu Bakar dan Umar, semangat egaliter dan keadilan sosial masih terjaga. Namun sejak masa Khalifah Utsman bin Affan — seorang bangsawan Quraisy dari klan Umayyah — jaringan kekerabatan mulai kembali menguat. Jabatan penting banyak diisi oleh keluarga dan sekutu suku.
Bagi Khalil, inilah awal “kembalinya hegemoni Quraisy”.

Hegemoni itu mencapai puncaknya di masa Bani Umayyah, ketika kekhalifahan berubah menjadi monarki dinastik. Kekuasaan diwariskan seperti kerajaan, bukan dipilih berdasarkan amanah. Bahasa Arab dijadikan simbol keunggulan, sementara bangsa-bangsa non-Arab (mawālī) sering diperlakukan sebagai warga kelas dua.

Namun, apakah ini sekadar kesalahan Quraisy?
Di sinilah letak refleksi penting.

Menurut sejarawan Azyumardi Azra, dalam setiap fase sejarah Islam, selalu ada ketegangan antara “agama normatif” dan “agama historis.” Agama normatif mengajarkan keadilan dan kesetaraan, sementara agama historis adalah hasil tafsir manusia yang sering kali tunduk pada kepentingan kekuasaan.
Artinya, yang mendominasi bukan Islam-nya, tapi penafsirnya.

Khalil menegaskan: ketika Islam menjadi kekaisaran, kekuasaan bukan lagi sekadar amanah — ia menjadi institusi ideologis. Kekuasaan yang dulu melindungi wahyu, kini mulai menggunakan wahyu untuk melindungi kekuasaan.


---

5. Agama Sebagai Legitimasi Kekuasaan

Salah satu bab paling tajam dalam buku Hegemoni Quraisy adalah analisis tentang bagaimana legitimasi agama digunakan untuk memperkuat posisi elite Quraisy. Khalil menunjukkan, beberapa teks hadis seperti “para pemimpin harus dari Quraisy” muncul dalam konteks politik pasca-Nabi, bukan dalam konteks pewahyuan.

Bagi Khalil, ini bukan tuduhan sembarangan. Ia menempatkan hadis-hadis itu dalam bingkai sejarah sosial: ketika para elite Quraisy merasa perlu membangun narasi teologis untuk membenarkan monopoli kekuasaan.
Maka, terbentuklah struktur hegemonik baru: kekuasaan yang disakralkan.

Namun para pakar Islam kontemporer tidak semuanya sepakat.
Azyumardi Azra mengingatkan, banyak hadis sahih tentang kepemimpinan Quraisy memang mencerminkan konteks stabilitas sosial Arab kala itu — bukan untuk menetapkan kasta politik.
Sedangkan Mansur Suryanegara menegaskan bahwa kekuasaan Islam yang bertahan lama, justru karena basisnya adalah sistem keadilan yang bersumber dari wahyu, bukan dari garis keturunan.

Ia menulis, “Kekuasaan Islam tidak bisa bertahan 13 abad hanya dengan loyalitas suku. Ia bertahan karena sistem nilai yang adil.”

Artinya, jika memang ada hegemoni Quraisy secara politik, maka itu hanyalah satu fase dari pergulatan sejarah yang lebih besar: perjuangan antara kekuasaan manusia dan keadilan ilahi.


---

6. Dari Bani Umayyah ke Mamluk: Apakah Hegemoni Itu Bertahan?

Pertanyaan penting kemudian muncul:
Apakah hegemoni Quraisy secara kesukuan benar-benar bertahan hingga berabad-abad kemudian?

Secara faktual, tidak.
Sejak runtuhnya Bani Umayyah, kekuasaan Islam berpindah ke tangan berbagai bangsa: Abbasiyah (Arab dan Persia), Ayyubiyah (Kurdi), Mamluk (Turki), hingga Utsmani (Turki). Tidak satu pun dari mereka berasal dari Quraisy.

Jika hegemoni Quraisy dipahami sebagai dominasi suku, maka sejarah justru menunjukkan sebaliknya. Tapi jika dipahami sebagai simbol — bahwa kekuasaan agama cenderung dimonopoli oleh kelas elite — maka pola itu memang terus berulang.

Sejarawan Mesir, Khalil Abdul Karim, menggunakan istilah “hegemoni simbolik”: kekuasaan yang mengatur tafsir, bukan sekadar wilayah.
Sementara Azyumardi Azra memaknainya sebagai “institusionalisasi otoritas keagamaan” — di mana tafsir wahyu dipegang oleh segelintir elite, sementara rakyat hanya menjadi penerima.

Maka benar, kekuasaan Islam dari era Nabi hingga Mamluk tidak bertahan karena loyalitas kesukuan, tetapi karena daya hidup sistem keadilan yang bersumber dari Al-Qur’an.
Namun di saat yang sama, sejarah juga menunjukkan betapa sering tafsir agama dikendalikan oleh struktur politik — itulah bentuk “hegemoni Quraisy” yang lebih dalam dari sekadar darah atau suku.


---

7. Ulama: Pelurus Hegemoni

Setiap kali kekuasaan tergelincir, muncul para ulama yang meluruskan arah sejarah.
Imam Abu Hanifah menolak hadiah dari khalifah yang zalim. Imam Malik dipenjara karena fatwanya tidak sesuai dengan kepentingan penguasa. Imam Ahmad disiksa karena menolak doktrin resmi tentang Al-Qur’an.
Mereka adalah simbol bahwa “hegemoni Quraisy” tidak pernah total — selalu ada suara wahyu yang menolak tunduk pada kekuasaan.

Dalam sejarah panjang Islam, para ulama adalah benteng moral melawan dominasi politik. Mereka tidak membawa pedang, tapi pena dan keberanian.
Maka, jika benar ada hegemoni Quraisy, para ulama-lah yang menjadi antitesisnya.

Azyumardi Azra melihat dinamika ini juga terjadi di dunia Melayu-Indonesia.
Menurutnya, ulama Nusantara tidak sekadar mengajarkan fikih, tetapi juga memelihara keseimbangan antara agama dan kekuasaan. Ketika raja lalim, ulama menegurnya; ketika rakyat melenceng, ulama menasihati.
Itulah mengapa Islam di Nusantara tidak berkembang melalui penaklukan politik, melainkan melalui otoritas moral — bukan hegemoni.


---

8. Membaca Ulang Hegemoni di Zaman Modern

Apa makna Hegemoni Quraisy bagi umat Islam masa kini?

Mungkin bukan tentang suku, tapi tentang kecenderungan manusia untuk memonopoli kebenaran.
Ketika agama dijadikan alat politik, ketika fatwa menjadi senjata, dan ketika otoritas agama diprivatisasi oleh segelintir kelompok — di situlah “hegemoni Quraisy” menemukan wajah barunya.

Khalil Abdul Karim tidak sedang menyerang Islam. Ia mengingatkan bahwa setiap struktur kekuasaan, bahkan yang berbaju agama, berpotensi menyimpang jika tidak diawasi oleh kesadaran moral.

Dan inilah pelajaran reflektifnya:
Islam tidak butuh hegemoni Quraisy baru. Islam butuh keadilan, ilmu, dan keberanian berpikir.
Ia tidak lahir untuk melayani suku, partai, atau kekuasaan — ia lahir untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kecuali kepada Allah.


---

9. Penutup: Di Mana Quraisy dalam Diri Kita?

Khalil Abdul Karim wafat tahun 2002, meninggalkan jejak intelektual yang mengguncang banyak kalangan. Ia dipuji karena keberaniannya, tapi juga dikritik karena metodenya yang “terlalu sosiologis.” Namun satu hal tak bisa disangkal: ia memaksa kita bercermin.

Karena mungkin, Quraisy itu bukan lagi suku di padang pasir.
Quraisy itu ada dalam diri kita — dalam keinginan untuk merasa paling benar, paling suci, dan paling berhak menafsirkan agama.

Ketika agama berubah menjadi alat status,
ketika ilmu digunakan untuk membenarkan kekuasaan,
ketika simbol menggantikan keadilan —
di situlah hegemoni Quraisy hidup kembali, bukan di istana, tapi di hati manusia.

Dan di sinilah tugas umat Islam sejati: bukan menghancurkan sejarah, tetapi menyucikannya kembali.
Bukan menolak kekuasaan, tetapi menundukkannya di bawah keadilan ilahi.
Bukan menolak Quraisy, tetapi mengembalikannya menjadi seperti Nabi Muhammad ﷺ: manusia Quraisy yang menghapus hegemoni, bukan menghidupkannya.


---

Kesimpulan Reflektif:

> Hegemoni Quraisy, dalam bacaan Khalil Abdul Karim, bukanlah peristiwa suku, tetapi peringatan moral: bahwa setiap kali agama disatukan dengan kekuasaan tanpa kontrol spiritual, maka ia akan berubah menjadi alat dominasi.



Azyumardi Azra menambahkan:

> “Agama harus tetap menjadi sumber nilai, bukan sumber legitimasi kekuasaan.”



Dan Mansur Suryanegara menutupnya dengan bijak:

> “Kekuasaan Islam bertahan bukan karena darah Quraisy, tetapi karena nurani keadilan yang diwariskan Nabi.”



Maka pertanyaannya bukan lagi: di mana hegemoni Quraisy?
Melainkan: apakah kita sedang melanjutkannya — atau meluruskannya?

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah kejayaan semu yang me...

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di tengah kejayaan semu yang memabukkan para raja Visigoth di Andalusia, berdirilah sebuah bangunan misterius yang oleh para penguasa terdahulu dinamai Wisma Raja. Tidak sembarang orang boleh masuk. Bahkan, para raja terdahulu pun tidak berani menyentuh pintu gerbangnya, apalagi membukanya. Ada keheningan dan keagungan yang menggetarkan di sana, seolah menyimpan nubuat yang telah menanti saatnya.

Namun, Roderic, sang penguasa terakhir Visigoth, tak tahan oleh rasa penasaran. Ia datang ke hadapan para uskup dan berkata dengan lantang, "Demi Tuhan, aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran terhadap isi wisma ini. Aku akan membukanya dan melihat apa yang ada di dalamnya."

Para uskup mencoba mencegahnya. Mereka berkata, "Semoga Tuhan memberimu kebaikan, wahai Raja. Jangan engkau langgar tradisi para pendahulu kita yang shalih. Mereka meninggalkannya bukan karena takut, tapi karena hikmah. Mereka lebih bijak daripada kita."

Namun, nafsu kekuasaan telah membutakan hati Roderic. Ia mengabaikan nasihat para rohaniwan dan membuka pintu itu dengan congkak. Dan di dalamnya, ia tak menemukan harta sebagaimana yang dibayangkannya, melainkan gambar-gambar dan tulisan kuno. Terpampang di dinding: "Jika pintu wisma ini terbuka, maka musuh dari timur akan datang, menaklukkan negeri ini. Mereka adalah bangsa Arab, dan inilah ciri-ciri mereka."

Tak ada kilau emas, tak ada permata. Yang ada hanyalah pesan kehancuran. Tapi Roderic tak percaya. Ia tertawa, meremehkan nubuat, dan berjalan keluar tanpa beban. Ia tak sadar bahwa ia baru saja mengaktifkan kutukan sejarah—dan membangunkan takdir yang tertidur.


---

Di seberang Laut Tengah, di tanah Maghrib, Gubernur Ifriqiyah, Musa bin Nushair, menerima kabar tentang kezaliman Roderic, tentang ketidakstabilan kerajaan Visigoth, dan tentang kaum tertindas yang mengirim isyarat permohonan pembebasan.

Musa melihat peluang dan petunjuk dari langit. Ia menugaskan salah satu jenderalnya yang paling cakap dan bertakwa: Thariq bin Ziyad, seorang pemuda Berber yang tubuhnya mungkin kecil, namun imannya membesar-besarkan semesta. Ia diberi amanah untuk memimpin 1.700 pasukan dalam tujuh kapal. Dan keberangkatan itu ditetapkan pada bulan Rajab 93 H, bulan suci yang penuh keberkahan. Agar angin kemenangan mengiringi langkah mereka, dan malaikat turun bersama ombak.

Thariq dan pasukannya menyeberangi lautan dari Tangier. Gelombang mengguncang lambung kapal, dan langit malam dilapisi kabut tipis. Para prajurit muda duduk merenung di geladak, mendengarkan gemuruh laut dan suara hati yang menyebut Asma Allah.

"Adakah kemenangan itu dekat, ya Rabb?" bisik seorang prajurit. Yang lain menjawab, "Bersabarlah. Kami sedang dalam perjalanan menuju takdir besar."

Ketika fajar merekah, mereka sampai di sebuah tanjung berbatu yang memerah seperti bara. Di sinilah Thariq diperintahkan mendarat. Ada sebuah benteng yang berdiri di sana—dan ia diperintahkan untuk menghancurkannya. Batu demi batu dirubuhkan. Jejak lama harus dihapus, agar cahaya baru bisa ditanam.


---

Namun, di daratan yang lebih dalam, Raja Roderic tak tinggal diam. Ia membawa 70.000 pasukan, lengkap dengan kendaraan mewah yang ditarik dua kuda, dihiasi permata dan intan. Ia duduk di atas permadani di bawah kubah emas yang berkilauan. Ia bahkan membawa tali—bukan karena takut ditawan, tapi karena ia yakin akan menang dan akan menyeret Thariq sebagai tawanan.

Thariq melihat dari kejauhan. Langit merah membara di belakang mereka. Laut telah mereka tinggalkan. Dan di depan: pasukan musuh sebesar gunung.

Ia mengumpulkan pasukannya. Dengan suara tenang tapi mengguncang jiwa, ia berkata:

"Wahai manusia, ke mana kalian akan lari? Laut ada di belakang kalian, musuh di depan kalian. Demi Allah, tak ada jalan keluar selain kejujuran dan kesabaran. Itulah dua sayap kemenangan."

Ia berjalan ke tengah. Menatap wajah-wajah yang gemetar, lalu menyulut api semangat:

"Jumlah kita sedikit, tapi ketulusan kita besar. Musuh banyak, tapi hati mereka kosong. Jika aku maju, ikutilah aku. Jika aku berhenti, berhentilah. Jadilah kalian satu tubuh."

Kemudian, Thariq melakukan hal yang mencengangkan: ia membakar seluruh kapal-kapalnya. Api menjilat layar dan kayu, asap membumbung ke langit. Para prajurit menatap, terdiam.

Tak ada jalan pulang. Hanya ada dua pilihan: menang atau mati syahid.

"Jangan takut! Jangan jadi orang hina! Dapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Malas adalah kehinaan. Kemenangan ada pada sabar. Allah akan menolong kalian."


---

Pertempuran besar pun terjadi. Sejarah mengenalnya sebagai Perang Guadalete. Pasukan Muslimin, yang jumlahnya jauh lebih kecil, bertempur dengan semangat langit. Tombak melesat, pedang berkilat. Takbir menggema. Dan pada akhirnya, Roderic tewas. Permadani emasnya menjadi saksi kejatuhannya. Tak satu pun permata bisa menyelamatkannya dari kutukan Wisma Raja.

Thariq mengirim kabar kemenangan kepada Musa bin Nushair, dan Musa menyampaikannya ke khalifah di Damaskus. Tapi perjuangan belum usai. Kota-kota lain masih berdiri. Benteng-benteng masih menjulang.

Thariq mengirim surat: "Musuh mengepung kami dari segala penjuru. Kami membutuhkan bantuan!"

Musa pun berangkat dengan pasukan tambahan. Setelah bergabung, mereka melanjutkan pembebasan. Cordoba jatuh. Seville jatuh. Dan akhirnya, mereka sampai di Toledo, kota kerajaan.

Di sanalah, Musa mendapati kembali Wisma Raja—bangunan yang dulu dibuka Roderic.

Di dalamnya, ia menemukan 24 mahkota, masing-masing milik raja yang pernah memerintah. Ada nama, tanggal penobatan, dan tanggal kematian. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja yang berukirkan tulisan: Sulaiman bin Daud.

Wisma itu ternyata menyimpan lebih dari nubuat: ia menyimpan jejak warisan para nabi. Dan kini, ia menyambut generasi pembawa tauhid yang datang bukan untuk menguasai, tapi membebaskan.


---

Roderic membuka Wisma Raja dengan angkuh, dan ia dikutuk oleh sejarah. Tapi kaum Muslimin membuka Wisma itu dengan iman, dan mereka ditulis oleh langit.

Penaklukan Andalusia bukan semata penaklukan geografis. Ia adalah penaklukan spiritual. Sebuah pergantian zaman. Dari kesombongan raja yang menghina nubuat, menuju ketundukan panglima yang mencintai janji Allah.

Dari kapal yang dibakar, dari lautan yang ditinggalkan, dari sabda yang menggetarkan hati, lahirlah peradaban besar yang akan memancar selama berabad-abad ke depan.

Dan semua itu, dimulai dari sebuah wisma tua, yang menyimpan meja Nabi, dan mengantar zaman pada takdir yang tak bisa dihindari.


Sumber:
Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Para Khalifah , Pustaka Al-Kautsar

Sultan Salim I, Sakit pun Tetap Berjihad, Wafatnya Bersama Surat Yasin Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit sore itu menggantung be...

Sultan Salim I, Sakit pun Tetap Berjihad, Wafatnya Bersama Surat Yasin

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Langit sore itu menggantung berat di atas bentang kekaisaran Utsmani. Awan kelabu tak hanya menaungi langit Basra dan Edirne, tapi juga hati para pengikut Sultan Salim I. Angin berembus membawa aroma musim panas yang ganjil, seolah bumi tahu bahwa sebuah babak akan segera berakhir dalam sunyi dan luka.

Pada 17 Juli 1520, Sultan Salim I—yang dijuluki "Yavuz" (Si Tegas)—berdiri gagah di hadapan pasukannya. Matanya tajam memandang ke arah barat, ke tanah Ardanah yang hendak dibebaskan. Pasukan telah siap, pedang telah diasah, kuda-kuda telah menginjak tanah dengan semangat jihad. Namun tiba-tiba, seperti petir di siang hari, rasa sakit luar biasa menyerang bahu sang Sultan.

“Hasan,” panggilnya lirih di antara napas tertahan.

Hasan, pelayan dan sahabat setia Sultan, segera menghampiri. Ia membuka pakaian bagian belakang Sultan, dan matanya menangkap benjolan kecil sebesar biji merah. Warnanya tajam, kontras dengan kulit Sultan yang pucat. “Ini terlihat tidak biasa, Tuanku,” ucap Hasan khawatir.

“Akan hilang sendiri,” jawab Sultan, suaranya tegas namun melemah.

Malamnya, langit seolah menyesakkan bumi. Rasa sakit di punggung Sultan membakar seperti bara api. Ia terjaga sepanjang malam, tidak tidur, tidak mengeluh—hanya menatap langit dan menarik napas panjang seakan menahan badai dalam dadanya.

Menjelang subuh, ia mandi air hangat. Bisul di punggungnya kini membesar, memerah seperti luka yang menyala. Juru pijat dipanggil. Ia mencoba meredakan rasa sakit itu, tapi tak banyak membantu. Tabib berkata, “Ini Chirbangh, disebabkan oleh bakteri Ristaviloc. Belum ada obat yang bisa menyembuhkannya.”

Pagi hari menyapa dengan cahaya lembut, namun tubuh Sultan diguncang nyeri hebat. Para penasehat menyarankan agar pasukan dibatalkan. Tapi Sultan menatap mereka dan berkata:

“Aku telah berjanji kepada pasukanku. Aku bukan orang yang senang membatalkan janji.”

**

Pada 18 Juli, pasukan mulai bergerak menuju Ardanah. Suasana penuh tekad, namun langkah-langkah kuda terdengar berat karena rasa cemas. Sultan memimpin di atas kudanya, menahan rasa sakit yang tak terlukiskan. Alam seakan ikut bersedih—angin mengalun lirih, matahari meredup di balik awan.

Di tengah perjalanan, di sebuah lembah yang sunyi, tubuh Sultan tidak mampu lagi menahan beban. Ia jatuh lemah dari kudanya. Sebuah kemah kecil segera didirikan.

“Hasan…” bisiknya.

Hasan masuk dan melihat wajah Sultan yang pucat pasi. “Hampir saja aku menangis seperti anak kecil karena sakit ini,” ucap Sultan dengan mata memerah.

“Beristirahatlah, Tuanku,” kata Hasan. “Para tabib akan berusaha keras menyembuhkanmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan. “Obat bagi sakit ini adalah kematian.”

**

Hari-hari berlalu, tubuh Sultan kian mengering. Sendi-sendi tubuhnya remuk, seolah tulangnya telah kehilangan bentuk. Tabib kehabisan akal. Alam sekitar terasa lebih sunyi, angin pun tak lagi riuh. Waktu seperti melambat, menunggu sesuatu yang agung.

Utusan dikirim ke Istana membawa kabar duka. Dalam perkemahan, Sultan memanggil Hasan lagi.

“Apa yang terjadi, Hasan?”

“Inilah waktu manusia berserah kepada Rabb-nya,” jawab Hasan lembut.

Beberapa jam kemudian, perdana menteri tiba di kemah. Sultan mencoba menyambutnya namun tak sanggup berdiri.

“Insya Allah, Sultan akan sembuh,” ujar perdana menteri.

Sultan menggeleng pelan. “Cukuplah ini. Aku sangat lelah. Rasa sakit ini terlalu berat. Kematian tampaknya akan mengakhirinya. Putraku Sulaiman akan menggantikanku. Terimalah dia sebagaimana kalian menerimaku.”

Ia pun memanggil Hasan lebih dekat.

“Wahai Hasan, bacakan aku surat Yasin.”

Hasan duduk di sampingnya. Dengan suara bergetar dan air mata yang jatuh tak tertahan, ia mulai membaca:

Yaa Siin. Wal-Qur’aanil Hakiim...

Sultan mendengarkan dengan khidmat. Meski tubuhnya lemah, jiwanya kuat seperti batu karang. Ketika Hasan sampai pada ayat:

“Lahum fiihaa faakihatun wa lahum maa yadda’uun. Salaamun qawlam mir rabbir rahiim.”

Sultan menarik napas panjang dan menghembuskannya. Tubuhnya tenang. Matanya tertutup. Sebuah keheningan turun bersama rahmat langit.

Hasan menghentikan bacaannya. Ia memandang wajah Sultan, lalu memeluk tubuhnya yang sudah tak bernyawa. “Telah pergi seorang raja yang lebih mencintai jihad daripada nyawanya sendiri,” bisiknya.

Malam itu, Jumat 21 Agustus 1520, langit menangis dalam diam. Tanah Ardanah menjadi saksi bisu atas wafatnya seorang mujahid agung, yang berpulang di bawah bacaan Yasin dan dalam pangkuan doa-doa yang mengalir seperti air mata.

**

Sultan Salim I tak hanya meninggalkan tahta dan wilayah kekuasaan. Ia meninggalkan jejak keberanian, kesetiaan pada janji, dan cinta pada jihad yang tak pudar meski maut sudah menunggu. Bahkan dalam sakit yang tak tertahankan, ia memilih tetap berada di barisan depan.

Dan kini, jasadnya mungkin telah ditelan bumi, namun namanya kekal dalam lembar sejarah yang suci.

Siapa pun yang membaca kisahnya, akan bertanya dalam diam:

“Sudahkah aku seteguh itu dalam menepati janji kepada Allah?”

Langit kembali terang, seolah berkata: “Beginilah para pejuang berpulang—dengan mulia, dalam damai, dan bersama Al-Qur’an.”



Sumber:
Mahmud Mustafa Saad, Golden Stories, Pustaka Al-Kautsar

Kepungan Persoalan Sang Pahlawan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Pahlawan tidak lahir dari limpahan sumber daya. Ia tumbuh dari k...

Kepungan Persoalan Sang Pahlawan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Pahlawan tidak lahir dari limpahan sumber daya. Ia tumbuh dari krisis.

Dalam kekacauan, ia menyusun keteraturan. Dalam keterbatasan, ia ciptakan efektivitas. Ketika orang lain menyerah, ia tetap berpikir. Ketika banyak lari dari beban, ia justru mendekapnya.

Allah berfirman:

> "Betapa banyak kelompok kecil yang dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar."
— QS. Al-Baqarah: 249



Para Sahabat generasi awal di Mekkah, yang disebut as-sabiqun al-awwalun, hanya berjumlah sekitar 60 orang. Tapi mereka menghadapi intimidasi para petinggi Quraisy. Para Nabi dan Rasul lainnya pun hanya ditemani segelintir orang, namun keyakinan tak tergoyahkan.

Dan mereka menang.


---

Andai Kita Shalahuddin...

Bayangkan engkau terlahir sebagai Shalahuddin. Bukan di istana, bukan dalam keagungan. Tapi dalam pengusiran.

Pada malam yang gelap, sang ayah, Najmuddin Ayyub, dan istrinya, diusir dari benteng Tikrit. Mereka keluar membawa luka, kekhawatiran, dan janin dalam kandungan. Di tengah pelarian, di luar benteng, lahirlah bayi itu. Tahun 532 H / 1138 M. Dialah Yusuf bin Ayyub, kelak dikenal sebagai Shalahuddin.

Sebagian riwayat menyebut ia lahir di dalam benteng, tapi malam itu juga terusir. Maka sejak bayi, ia tak memiliki atap perlindungan kecuali langit.

Lalu takdir mengantarnya mengangkat pedang melawan invasi Eropa—pasukan Salib yang rapi, besar, dan bersenjata mutakhir. Didukung penuh oleh sistem militer, rohaniawan, dan logistik gereja.

Sedangkan umat Islam?

Lemah. Terpecah. Bahkan sebagian mengkhianatinya.


---

Di Balik Dinding-Dinding Kota Islam

Sebelum Damaskus berada di tangannya, para wali kota dan pejabat administratif di sana justru membuka diplomasi dengan Kerajaan Salib Yerusalem—demi menjaga kekuasaan mereka sendiri.

Shalahuddin tak serta merta menghunus pedang. Ia menempuh diplomasi. Ia bersabar. Namun saat perlu, ia tekan dengan kekuatan. Sebab kota-kota itu harus bersatu. Bukan untuknya. Tapi demi Al-Quds.

Di wilayah utara—Diyar Bakr, Jazirah, dan daerah Zanki lainnya—beberapa Emir memilih netral, bahkan membuka jalan bagi Salibis, asal wilayahnya aman. Pecah-belah. Opportunisme. Politik kerdil.

Lebih pahit lagi: pemberontakan dari dalam wilayahnya sendiri. Gubernur yang dulunya bersekutu dengannya kini berbalik. Bahkan bersekutu dengan Salib untuk menjatuhkan sang pemimpin.

Tak ada luka yang lebih pedih dari pengkhianatan saudara sendiri.


---

Tikaman dari Kegelapan

Di Aleppo, tahun 1175 M, malam turun membawa bahaya. Seorang pembunuh dari kelompok Hashashin menyusup. Menyamar sebagai prajurit Muslim. Ia berhasil menembus barisan dan hampir menghabisi nyawa sang pahlawan. Tapi penjaga pribadi menggagalkannya.

Belum lama berselang, benteng Masyaf dikepung. Itu markas Hashashin. Mereka membalas. Sekelompok pembunuh kembali menyusup. Salah satunya masuk ke tenda pribadi Shalahuddin. Ia selamat. Tapi luka batin tak mudah hilang.

Di medan perang, musuh terlihat. Di medan hati, musuh menyamar.


---

Menggenggam Harapan di Tengah Kelesuan Umat

Shalahuddin meminta bantuan ke Baghdad. Pada saat itu, Kekhalifahan Abbasiyah hanyalah simbol. Kekuasaan riil hampir sirna. Militernya lemah, logistiknya terbatas. Mereka berada di bawah bayang-bayang konflik internal, tekanan sektarian, dan perebutan kuasa.

Ia melanjutkan langkah. Menuju Bani Seljuk. Namun Kesultanan agung itu pun sedang dalam masa redup. Wilayah-wilayahnya terfragmentasi. Sultan hanya berkuasa secara nominal di beberapa bagian Anatolia. Khurasan telah berjarak dari jangkauan kekuasaan pusat.

Lalu ia memandang Maghribi. Tapi yang datang bukan bantuan, melainkan pengkhianatan.


---

Guru Telah Pergi, Kini Ia Sendiri

Nuruddin Zanki. Guru, pembina, sekaligus cahaya jalan jihadnya. Telah wafat. Shalahuddin berdiri sendiri di panggung sejarah. Amanah besar, tapi tanpa sandaran. Dunia Muslim sedang bingung. Umat tercerai. Pemimpin saling curiga. Umat kelelahan. Tapi ia tidak berhenti.

Jika hari ini engkau berada di posisinya, akankah engkau memikulnya atau melimpahkannya?


---

Kepahlawanan: Menyederhanakan Kekacauan

Pahlawan itu bukan yang kuat secara fisik, tapi yang mampu menyusun makna di tengah kekacauan. Ia menyederhanakan rumitnya persoalan. Ia tidak emosional, tapi rasional. Ia tidak terburu-buru, tapi penuh pertimbangan.

Ketika akhirnya umat Islam bersatu, ketika pasukan Salib mulai mundur, ketika Al-Quds berhasil dibebaskan… ia bisa saja membalas dendam. Bisa saja membangkang pada khalifah yang diam.

Tapi apa yang ia lakukan?

Ia memperbaharui janji setianya kepada Khalifah Abbasiyah.

Karena pahlawan sejati, tahu: di balik kejayaan ada kerendahan hati. Di balik kemenangan ada kepasrahan pada Allah.


---

Belajar Kepemimpinan dari Sang Pahlawan

Shalahuddin bukan hanya ahli strategi. Ia bukan hanya gagah di medan perang. Ia adalah pemimpin spiritual. Ia memahami umat. Ia menyatukan hati sebelum menyatukan panji. Ia sabar sebelum bertindak. Ia pikirkan dampak sebelum mengayunkan pedang.

Kita belajar darinya: bahwa dalam ketidakpastian, kita masih bisa melangkah. Dalam kemiskinan sumber daya, kita masih bisa berkarya.

Dalam kesendirian, kita masih bisa menjadi cahaya.


---

Persaksian Para Sejarawan

Colin Imber dan Carole Hillenbrand, dua sejarawan Barat, mencatat bahwa fragmentasi politik adalah kelemahan utama dunia Muslim kala itu. Kesultanan Seljuk, Dinasti Zanki, dan kekuatan-kekuatan lokal saling tarik ulur. Sebelum Saladin datang, tidak ada persatuan.

Bahauddin ibn Shaddad, penulis resmi biografi Shalahuddin, menulis bahwa meski ia mengagumi sang pahlawan, ia tak menutupi kenyataan. Ada elit Fatimiyah yang mengkhianatinya. Ada faksi politik di Mesir yang ingin menyingkirkannya. Ia diangkat sebagai vizier di usia muda, dan sejak itu ia menjadi target diplomasi licik dan kudeta diam-diam.

Dr. Majid Irsan al-Kailani menyatakan dalam karyanya: “Shalahuddin tidak hadir tiba-tiba. Ia adalah hasil dari reformasi panjang. Lima puluh tahun. Ia menghadapi bukan hanya perang, tapi degradasi iman dan moral umat. Dan ia membangunnya kembali.”


---

Akhirnya…

Kemenangan tidak dimulai dari pedang. Tapi dari jiwa. Dari pikiran yang jernih. Dari iman yang kuat. Dari kepemimpinan yang tidak gentar memikul beban umat.

Shalahuddin tidak sempurna. Tapi dalam keterbatasan, ia tetap berjuang. Dan dalam kepungan persoalan, ia tidak tenggelam—ia justru muncul sebagai cahaya.

Dan hari ini, kita pun bisa memilih: menjadi bagian dari kekacauan, atau penata dari keteraturan.

Reformasi Birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah,...

Reformasi Birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah, langkah pertamanya bukan mengatur kekuasaan atau menyusun strategi kekaisaran. Ia justru bertanya: "Apakah kekuasaanku ini sah secara syariat? Apakah ia legal menurut sunah Khulafa'ur Rasyidin?"

Lalu ia berdiri di hadapan rakyat:

> “Aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Demi Allah, aku tidak menginginkan jabatan ini, tidak memintanya, baik dalam doa tersembunyi maupun terang-terangan. Jika kalian memilihku tanpa musyawarah, aku tidak akan menerimanya. Namun jika kalian memilihku melalui syura, maka aku akan taat dan memimpin kalian sebagaimana yang mampu aku lakukan.”



Dengan syura, Umar bin Abdul Aziz meraih legitimasi bukan hanya di mata rakyat, tetapi juga di mata para ulama yang selama ini menjauh dari kekuasaan. Dan sejak saat itu, para ulama mendukung penuh langkah-langkah kebijakan sang khalifah.


---

Langkah Awal: Membersihkan Harta

Langkah selanjutnya: bukan mengangkat panglima, bukan mempersiapkan ekspansi. Tapi membersihkan harta.

Harta pribadi, harta keluarga, bahkan kas negara—semua ditelusuri. Apakah ada yang berasal dari kedzaliman? Dari kecurangan, dari pengkhianatan amanah, dari tamak dan tipu daya? Ia ingin semuanya kembali kepada syariat Allah.

> “Wahai manusia, sesungguhnya aku bukan hakim atas kalian, aku adalah pelayan kalian. Harta ini bukan milikku, bukan milik ayahku, bukan pula milik ibuku. Ini amanah umat. Aku hanya mengembalikannya kepada yang berhak.”



Kepada para gubernurnya, Umar bin Abdul Aziz menulis:

> “Siapa yang memiliki harta yang diambil secara zalim oleh keluargaku (Bani Umayyah), kembalikanlah kepada pemiliknya. Jika pemiliknya tidak dikenal, masukkanlah ke dalam baitul mal kaum Muslimin.”



Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya: "Mana yang lebih utama: shalat malam atau mencari nafkah halal?" Beliau menjawab: "Nafkah halal." Karena kehalalan adalah fondasi segala ibadah.


---

Hidup Sederhana: Menyentuh Hati Langit

Setelah merombak sistem penerimaan negara, Umar memangkas pengeluaran. Perabot istana diganti. Pakaian disederhanakan. Makanan pun tak lebih mewah dari rakyat jelata. Dunia tak lagi menarik di matanya.

> “Aku tak butuh semua ini. Kendaraan yang biasa kupakai sudah cukup. Gantilah semua ini dengan yang sederhana, dan kembalikan sisanya ke baitul mal.”



Suatu hari, ia bertanya kepada seorang sahabat:

> “Bagaimana cara mendapat pertolongan Allah dalam mengelola negara?”



Sang sahabat balik bertanya:

> “Bagaimana sikapmu terhadap dunia?”



Umar menjawab:

> “Aku telah meninggalkannya.”



Maka sahabat itu berkata:

> “Itulah sebab Allah akan menolongmu.”




---

Kekuasaan Tak Menjamin Kemenangan

Umat Islam tidak akan bangkit hanya dengan mengandalkan kekuasaan, teknologi, kekayaan, atau strategi. Bila umat menggantungkan diri pada dunia, maka Allah mencabut kemenangan dari tangan mereka. Sejarah menjadi saksi.

> Dr. Raghib as-Sirjani menulis: “Andalusia bukan kalah oleh kekuatan musuh, tapi karena kehinaan diri sendiri dan hilangnya ruh jihad dalam jiwa umat.”



Banyak kekhalifahan dan kesultanan runtuh, bukan karena kekurangan sumber daya. Tapi karena mereka lupa pada tugas suci: menegakkan syariat, menunaikan jihad, dan membangun peradaban.

Pesan Muhammad Al-Fatih kepada anaknya saat akan wafat adalah bukti:

> “Pertama dan terpenting, jadilah pelindung agama Islam. Karena sesungguhnya itu adalah kewajiban terbesar bagi para khalifah dan raja. Jangan sekali-kali engkau mengangkat orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak menjauhi dosa besar ke dalam urusan negara.”




---

Mencari Pembantu yang Amanah

Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz meminta sahabatnya mengirim salinan semua keputusan dan surat-surat Umar bin Khattab. Ia ingin menapak jejak Sang Al-Faruq.

Namun ia juga tahu, yang lebih sulit adalah menemukan orang-orang selevel dengan para pembantu Umar bin Khattab.

Ia berkata: “Dari mana aku akan dapatkan orang-orang seperti mereka?”

Sahabatnya menjawab:

> “Jika niatmu sungguh-sungguh untuk berjihad menegakkan kebaikan, maka Allah akan mengutus orang-orang terbaik untuk membantumu.”



Kebaikan menarik kebaikan. Keburukan menarik keburukan. Bila pemerintahan dikelilingi oleh koruptor dan pembohong, itulah cerminan isi hati sang pemimpin.


---

Bersandar pada Ulama, Bukan pada Dunia

Umar bin Abdul Aziz tak ragu meminta nasihat dari Hasan al-Bashri, ulama besar tabi’in. Ia ingin menjadikan para ulama sebagai cahaya, bukan sebagai musuh kekuasaan.

Hasan al-Bashri berkata kepadanya:

> “Wahai Amirul Mukminin, Allah mengangkat seorang pemimpin untuk memperbaiki yang rusak di antara manusia. Jika ia memperbaiki, maka rakyat ikut baik. Tapi jika ia rusak, maka rakyat ikut rusak. Dunia ini bukan tempat balasan, tapi tempat ujian. Jangan engkau jual akhiratmu demi dunia orang lain.”




---

Akhir yang Mulia

Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz hanya berlangsung dua tahun lebih. Tapi dalam waktu sesingkat itu, ia menorehkan jejak abadi. Keadilan merata. Pajak turun. Korupsi lenyap. Dan baitul mal penuh hingga tak ada lagi yang berhak menerima zakat.

Ia wafat dalam kondisi sederhana. Tak menyisakan harta, tak meninggalkan istana. Tapi meninggalkan satu warisan besar: teladan.

Teladan bahwa kekuasaan bukan untuk dibanggakan. Tapi untuk ditakuti—karena kelak dipertanggungjawabkan.

Teladan bahwa pemimpin sejati bukan mereka yang disanjung. Tapi yang diam-diam menangis di malam hari, karena takut akan murka Rabb-nya.

Inilah reformasi birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz. Bukan dimulai dari anggaran. Tapi dari hati. Bukan dengan audit, tapi dengan taubat. Bukan dengan kebijakan, tapi dengan keteladanan.

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di Spanyol ...

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di Spanyol dan Portugal, tanah yang dahulu dikenal sebagai Andalusia?

Langkahkan kaki menuju Granada. Pandanglah Istana Al-Hambra. Sentuh dinding-dindingnya yang bisu, namun sesungguhnya berbicara. Dengarkan bisikan batu-batu yang terpahat. Di sanalah strategi kejayaan Islam masih hidup—bukan dalam bentuk bala tentara, melainkan dalam hikmah yang membungkus jejak sejarah.

“Laa Ghaaliba Illallaah.” Tiada kemenangan kecuali karena Allah. Kalimat itu bukan sekadar ukiran, melainkan nyawa peradaban yang menghidupkan Al-Hambra.

Kalimat tersebut menjadi semboyan Dinasti Bani Ahmar, Nasrid, yang memerintah Granada selama lebih dari dua abad. Sultan Muhammad I ibn Nasr, sang pendiri dinasti, menjadikannya landasan spiritual dan strategi politik. Di balik kaligrafi yang anggun, terpahat strategi yang bukan hanya merancang istana, tapi juga menaklukkan jiwa manusia.

Islam di Al-Hambra tidak dibangun hanya dengan batu, melainkan dengan iman yang mengakar. Arsitektur bukan sekadar keindahan, melainkan pernyataan tauhid. Setiap lengkung pintu, setiap jendela yang menghadap ke langit, setiap kubah yang menjulang—adalah doa yang dibentuk dalam geometri.

Dan ketika kita menyusuri lorong-lorongnya, seolah kita sedang membaca sejarah bukan dengan buku, tapi dengan ruang dan cahaya. Kita diajak kembali kepada akar kejayaan: bahwa kemenangan bukan karena jumlah, kekayaan, atau teknologi, melainkan karena kesucian tujuan dan keikhlasan jiwa.

Umar bin Khattab, pemimpin agung generasi awal, telah meletakkan fondasi strategi ini. Ketika melepas pasukan kaum Muslimin ke medan jihad, beliau berkata:

“Aku tidak mengirim kalian karena banyaknya jumlah kalian atau kekuatan kalian. Tapi aku mengirim kalian dengan doa karena kalian adalah pasukan Allah. Jangan berbuat dosa, karena dosa adalah sebab kekalahan. Aku lebih takut terhadap dosa-dosa kalian daripada kekuatan musuh kalian.”

Itulah strategi sejati. Sebuah strategi yang menjadikan takwa sebagai kekuatan utama, bukan senjata atau logistik. Ia menaklukkan hati sebelum menaklukkan wilayah. Dan itulah pula ruh yang mengalir dalam tembok-tembok Al-Hambra.

Al-Hambra menyimpan gema nubuwah Rasulullah ﷺ tentang pasukan laut umat Islam. Ketika Ummu Haram bertanya kepada Rasulullah tentang pasukan pertama yang akan berperang di lautan, beliau menjawab:

"Pasukan pertama dari kalangan umatku yang berperang di lautan adalah penghuni surga."

"Ya Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka?"

"Engkau termasuk bersama mereka."

Hadits ini bukan sekadar prediksi. Ia adalah undangan ilahiah untuk memasuki dimensi perjuangan yang belum pernah disentuh: lautan. Tantangan yang belum dikenal, namun telah disiapkan oleh Rasulullah dengan doa dan visi.

Dan sejarah pun mencatat: Khalifah Utsman bin Affan membuka jalan. Mu‘awiyah bin Abu Sufyan membangunnya dengan sistematis. Ia mendirikan galangan kapal di pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Akka, Sur (Tirus), dan Arwad. Ia melatih tentara laut, merekrut para pejuang dari penduduk pesisir Syam yang telah akrab dengan laut, dan mengembangkan sistem logistik maritim untuk perjalanan panjang.

Strategi ini bukan sekadar perluasan wilayah. Ia adalah ekspansi iman. Laut bukan lagi penghalang dakwah, tetapi medan baru yang harus dilalui dengan iman dan kehati-hatian.

"Wahai laut," seolah mereka berkata, "engkau bukan akhir dari peradaban, engkau hanyalah awal dari misi kami yang lebih jauh."

Dari sinilah dimulai ekspedisi menuju Barat. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad muncul bukan sebagai penakluk biasa. Mereka membawa semangat Rasulullah dan warisan ruhani Umar bin Khattab. Ketika Thariq membakar kapal-kapalnya dan berkata kepada pasukannya bahwa di hadapan mereka adalah musuh dan di belakang mereka adalah lautan, ia sedang menanamkan satu hal: tawakkal yang absolut.

Islam masuk ke Eropa bukan dengan pemaksaan, tapi dengan pancaran keadilan. Di Andalusia, selama berabad-abad, Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan. Ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat berkembang di bawah naungan Islam. Kota-kota menjadi pusat keilmuan. Cordoba bersinar ketika Eropa masih tenggelam dalam kegelapan abad pertengahan.

Namun semua itu berpulang kepada satu fondasi: "Laa Ghaaliba Illallaah."

Di dinding Al-Hambra, kalimat itu bukan hanya menjadi hiasan, tapi azimat spiritual yang membentengi peradaban. Ia mengingatkan para penguasa, tentara, dan rakyat bahwa kemenangan adalah milik Allah. Bahwa siapa pun yang menyombongkan diri akan dijatuhkan, dan siapa pun yang bergantung kepada Allah akan ditinggikan.

Maka tidak heran jika Al-Hambra bukan sekadar bangunan, tapi monumen spiritual. Ia menjadi pengingat, bahkan di tengah keterpurukan dan kejatuhan, bahwa kejayaan hakiki bukan pada dominasi politik semata, tetapi pada kesetiaan kepada nilai-nilai tauhid.

Dan pesan ini tidak berhenti di sana.

Jauh setelah Andalusia jatuh, gema "Laa Ghaaliba Illallaah" tetap sampai ke jantung dunia Islam. Seorang pemuda di Timur menyambutnya dengan semangat yang membara. Dialah Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa kejayaan bukanlah hak eksklusif bangsa atau ras tertentu, melainkan milik siapa saja yang mengikatkan dirinya pada Allah.

Al-Fatih mewariskan pesan kepada putranya menjelang wafatnya:

"Ingatlah anakku, aku telah menaklukkan Konstantinopel, dan aku mewasiatkan padamu untuk terus menegakkan kalimat Allah di atas muka bumi. Jika engkau lalai, kehinaan akan menimpamu di dunia dan akhirat."

Apa makna dari semua ini?

Bahwa strategi kejayaan Islam tidak pernah berubah. Ia tidak bergantung pada jumlah pasukan, gemerlap senjata, atau arsitektur megah. Ia bertumpu pada satu kalimat:

"Laa Ghaaliba Illallaah."

Jika kalimat ini hidup dalam jiwa, maka tembok yang kokoh akan tumbuh bahkan di tengah badai. Jika kalimat ini dipahat dalam amal, maka sejarah akan menulis kejayaan bahkan di tengah kehancuran.

Hari ini, kita tidak sedang membangun istana seperti Al-Hambra. Tapi kita bisa membangun hati yang menjadi tempat tinggal bagi strategi yang sama. Kita bisa menjadikan rumah, sekolah, masjid, dan lembaga kita sebagai tempat-tempat di mana kalimat tauhid itu menjadi napas dan cahaya.

Dan jika suatu hari anak-anak kita bertanya, “Di mana kejayaan Islam berada?” Maka bawalah mereka bukan hanya ke Granada, tapi ke dalam jiwa yang telah diukir oleh keyakinan: bahwa tiada kemenangan kecuali karena Allah.

Karena yang sejati, tak pernah runtuh meski istananya runtuh. Yang sejati tetap bersinar, bahkan jika lampunya dipadamkan.

Dan Al-Hambra, dengan segala bisunya, tetap berkata:

“Tiada kemenangan kecuali karena Allah.”

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-c...

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-celah bukit, menyentuh rumah-rumah mungil yang bersandar pada sunyi. Di salah satu desa terpencil wilayah kerajaan itu, ada satu rumah kecil berdinding tanah dan beratap jerami, berdiri tenang namun rapuh seperti penghuninya.

Malam itu, di dalam rumah, seorang perempuan muda duduk memeluk lutut di dekat tungku yang mulai padam. Ia tidak tidur. Tatapannya kosong. Matanya menyimpan gelisah. Suara pengumuman siang tadi masih bergema di telinganya:

“Barang siapa bersedekah, akan kupotong tangannya.”

Ia menggenggam kedua tangannya. Tangan yang selama ini tak pernah enggan memberi. Tangan yang terbiasa menjulurkan roti kepada yang lapar, menaruh koin di tangan anak yatim. Tapi malam ini... tangan-tangan itu terasa berat. Ada ancaman menggantung di langit-langit rumahnya.

"Apakah kini kebaikan harus dibayar dengan kehilangan?" bisiknya lirih.

Matanya basah. Ia rebahkan diri, tapi hatinya tak bisa diam. Jiwa yang selama ini damai karena berbagi, kini berperang dengan rasa takut.



Pagi harinya, matahari belum sepenuhnya naik. Udara masih lembab. Saat perempuan itu membuka pintu rumahnya, ia terpaku.

Di depan pintu, berdiri seorang lelaki tua renta. Tubuhnya kurus, bajunya lusuh, dan wajahnya seperti pecahan musim kemarau. Ia tidak bicara banyak. Hanya mengangkat tangannya yang bergetar:

“Wahai putri… tolong beri aku sedekah… demi Allah... aku belum makan sejak dua hari lalu…”

Perempuan itu menatapnya lama. Suasana batin keduanya mendidih dalam diam. Ia tahu, memberi berarti kehilangan. Tapi di hadapannya berdiri seseorang yang mungkin akan kehilangan nyawa tanpa secuil roti.

Dengan suara pelan dan gemetar, ia menjawab:

“Bagaimana aku bisa memberimu… sedang raja mengancam akan memotong tanganku jika aku bersedekah?”

Pengemis itu menunduk, tapi kemudian berkata lagi dengan mata berkaca:

“Aku tidak meminta tanganmu... hanya roti... demi Allah…”

Perempuan itu memalingkan wajah, lalu menatap ke dalam dapurnya. Hanya dua potong roti tersisa. Satu untuk hari ini, satu untuk besok. Tapi hatinya mengingat suara lain—bukan suara raja, melainkan suara nurani:

“Apa gunanya tangan yang utuh, jika hati menjadi beku?”

Ia mengambil dua roti itu, kembali ke pintu, dan meletakkannya di tangan pengemis dengan lirih:

“Ambillah… semoga Allah memberiku kekuatan jika tangan ini harus hilang…”



Hari berganti. Tapi berita tak pernah berhenti. Di istana, telinga sang raja mendengar kabar perempuan yang berani menantang titahnya. Maka tanpa banyak bicara, ia mengirim pasukan.

“Potong tangannya. Biar jadi pelajaran.”

Dan perempuan itu pun kehilangan kedua tangannya. Ia tak menangis. Ia tak melawan. Ia hanya menatap langit, seolah berkata:

“Ya Allah, jika ini harga dari memberi, maka jangan biarkan aku menyesal.”



Tahun berlalu.

Di istana, raja muda itu duduk termenung di kursi takhtanya. Hari-harinya penuh pesta dan pujian, tapi hatinya kosong. Ia berkata kepada ibunya,

“Wahai ibu, aku ingin menikah. Tapi bukan dengan siapa pun. Aku ingin perempuan yang wajahnya bersih… yang hatinya bening… yang jika kupandang, jiwaku tenang.”

Ibunya tersenyum tipis.

“Ada seorang perempuan seperti itu, Nak. Wajahnya sejuk. Tatapannya dalam. Tapi… ia memiliki cacat yang parah.”

“Cacat seperti apa?” tanya sang raja.

“Kedua tangannya buntung.”

Sang raja terdiam. Tapi hatinya justru penasaran.

“Datangkan dia ke istana.”



Ketika perempuan itu hadir di istana, ia datang dengan sederhana. Jubahnya biasa. Tapi langkahnya teguh. Ia tidak membawa kemewahan, tapi membawa ketenangan.

Sang raja menatapnya. Dan dalam hatinya bergema satu bisikan:

“Ada luka yang justru menjadikan seseorang bercahaya.”

Dengan suara mantap, ia berkata:

“Maukah engkau menjadi istriku?”

Perempuan itu menjawab dengan kepala tertunduk:

“Jika engkau menghendaki, aku bersedia…”

Raja pun menikahinya.



Setelah pernikahan itu, raja bertanya dengan hati yang mulai ingin tahu:

“Katakan padaku… mengapa tanganmu tiada?”

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Ia tidak ragu. Tidak pula menyimpan marah.

“Tangan ini hilang… karena aku memberikan dua potong roti… kepada orang yang lapar… ketika seluruh negeri takut memberi…”

Sang raja terdiam. Seolah petir menyambar batinnya. Ia sadar.

“Perempuan yang kini menjadi istriku… adalah perempuan yang dahulu kuhukum…”

Dan air matanya mengalir. Bukan karena penyesalan semata, tetapi karena ia melihat di hadapannya bukan perempuan cacat, melainkan perempuan yang tangannya mungkin hilang… tapi hatinya lebih utuh dari seluruh kerajaan.



Kadang Allah mengambil sesuatu dari kita, agar kita melihat dengan cara yang tak bisa dijangkau oleh tangan.

Terkadang, satu potong roti… lebih berat dari seluruh emas di istana.


Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin petang menyapa lembut ketika pasukan R...

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin petang menyapa lembut ketika pasukan Raja Dzulkarnain memasuki sebuah kota. Gema takbir kemenangan menyertai langkah-langkah para prajuritnya. Penduduk kota, tua muda, lelaki dan perempuan, berhamburan ke jalanan. Mereka ingin menyaksikan sang penguasa dunia yang namanya menggetarkan timur dan barat.

Namun, di tengah kerumunan yang riuh itu, ada seorang lelaki tua yang tampak sibuk menggali tanah. Kedua tangannya kotor oleh debu dan lumpur. Ia sama sekali tak menoleh, bahkan ketika iring-iringan kaisar lewat di hadapannya. Wajahnya tenang, seperti tak terganggu oleh sorak-sorai atau denting pedang para prajurit.

Dzulkarnain memperhatikannya. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Ia lalu memerintahkan para pengawalnya mendekat dan memanggil sang pria.

"Wahai lelaki, mengapa engkau tidak ikut menyambut kedatanganku? Sedangkan semua penduduk kota ini meninggalkan pekerjaannya dan bersuka cita melihat pasukanku?" tanya Dzulkarnain dengan lembut namun tegas.

Lelaki itu berdiri. Wajahnya penuh wibawa. Ia menatap Dzulkarnain tanpa gentar, lalu menjawab:

"Wahai Raja, saya sedang sibuk mengurusi kematian. Maka saya tak punya waktu untuk menyambut kehidupan dunia yang fana. Lagi pula, saya sudah belajar bahwa kekuasaan dan kehormatan dunia bukan sesuatu yang patut dikagumi."

Dzulkarnain mengernyit. "Apa maksudmu?"

Lelaki itu pun mulai berkisah, suaranya dalam dan tenang:

"Beberapa tahun silam, ada dua orang wafat di kota ini. Yang satu seorang raja, yang satu lagi rakyat jelata yang miskin. Sesuai adat kami, keduanya dimakamkan di tempat yang sama—tak ada istimewa, tak ada perbedaan."

Suasana mendadak hening. Dzulkarnain menatapnya penuh perhatian, mulai tergetar oleh arah kisah ini.

"Beberapa hari kemudian, saya datang menengok kuburan mereka. Kain kafan mereka sudah mulai berubah warna—sama-sama dimakan tanah. Tidak ada yang istimewa pada jasad sang raja dibanding si miskin."

Dzulkarnain mulai menunduk, seolah bayang-bayang kematian mengingatkannya akan sesuatu yang sering dilupakan para penguasa.

"Beberapa waktu kemudian, saya kembali datang. Daging keduanya sudah mulai hancur. Tak tersisa keelokan wajah, apalagi mahkota atau tanda kebesaran."

Mata Dzulkarnain mulai berkaca-kaca. Keangkuhan dunia seolah retak perlahan di hadapan kebenaran yang dibawa lelaki ini.

"Dan akhirnya, saya menengok lagi setelah waktu berlalu lebih lama. Yang tersisa hanyalah tulang belulang. Dan sungguh, saya tak mampu membedakan tulang raja dengan tulang si miskin. Sama-sama rapuh, sama-sama diam."

Lelaki itu menatap lurus ke arah Dzulkarnain.

"Maka sejak saat itu, saya tak lagi mengagumi pangkat, takjub pada gelar, atau terpesona oleh barisan pasukan. Semuanya akan menuju liang yang sama."

Hening. Hanya desir angin dan detak hati yang masih terasa.

Dzulkarnain diam sejenak. Lalu ia mendekat, menggenggam tangan lelaki itu.

"Engkau telah mengajariku sesuatu yang tak diajarkan oleh para menteri dan jenderalku."
Kemudian, dengan suara tegas namun penuh hormat, Dzulkarnain mengangkat lelaki itu sebagai wakilnya untuk memimpin kota tersebut.

"Orang yang pantas memimpin adalah yang tak mencintai kekuasaan. Sebab dia akan menjaga amanah, bukan menikmati kehormatan."



Refleksi:

Mengapa kekuasaan diberikan kepada mereka yang tak menginginkannya?

Karena orang yang mencintai kekuasaan akan memanfaatkannya, sedang orang yang takut pada kekuasaan akan menjaganya seperti menjaga bara api.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi tanpa memintanya, kamu akan dibantu (oleh Allah), tetapi jika kamu diberi karena memintanya, kamu akan dibebani.”
(HR. Bukhari dan Muslim)


Sumber:
Ibnu al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar.

Reformasi Kota-Kota di Tangan Umar bin Abdul Aziz  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin gurun berhembus pelan membawa debu-debu seja...


Reformasi Kota-Kota di Tangan Umar bin Abdul Aziz 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin gurun berhembus pelan membawa debu-debu sejarah, menyentuh reruntuhan kota yang dulu megah namun kini dililit kekacauan dan kehilangan arah. Di antara reruntuhan itu, muncullah sosok pemimpin yang tidak datang membawa bala tentara, tetapi membawa cahaya ilmu dan keteguhan iman: Umar bin Abdul Aziz.

Ia tidak menatap kota-kota yang rusak dengan amarah, melainkan dengan air mata dan hati yang penuh doa. Ia tidak membawa cambuk di tangannya, tetapi membawa adab dan keadilan di setiap keputusan. Di balik diamnya, bersembunyi kebijaksanaan yang menumbuhkan harapan.




Ketika Kota Dipenuhi Pencuri dan Perampok

Seorang hakim, ditugaskan ke Mosul. Kota itu bagai luka menganga—penuh pencurian, perampokan, dan kekacauan. Sang hakim, cucu dari Ibrahim bin Hisyam, menulis surat kepada sang khalifah.

"Wahai Amirul Mukminin, Mosul adalah kota yang rusak. Kejahatan ada di setiap sudutnya. Apakah aku harus menyelidiki, mencari bukti, dan menyelesaikannya dengan tradisi mereka?"

Surat itu terbang menembus gurun, dan sampai di tangan Umar bin Abdul Aziz. Ia membalas dengan lembut, tapi tajam:

"Selesaikanlah dengan sunnah Nabi. Jika mereka menolak kebenaran, maka jangan berharap Allah akan memberikan kebaikan kepada mereka."

Sang hakim menggigit bibirnya. Ia patuh. Ia kembali ke Mosul bukan dengan pedang, tapi dengan sunnah. Bukan dengan teriakan, tapi dengan keteladanan.

Tahun-tahun berlalu. Ketika ia pergi dari Mosul, ia mendapati kota itu berubah. Yang dahulu sarang pencuri, kini menjadi tempat paling aman. Yang dulu diselimuti gelap, kini bersinar dalam naungan keadilan.



Apakah Kota Hanya Bisa Dibangun dengan Pedang?

Di Khurasan, gubernur Al-Jarrah bin Abdullah menulis dengan nada putus asa:

"Penduduk Khurasan ini keras kepala, rusak, liar. Mereka hanya bisa diluruskan dengan pedang dan cambukan. Jika engkau izinkan, aku akan melakukannya."

Surat itu sampai di tangan sang khalifah. Umar menarik napas panjang. Ia tahu, saat pemimpin mengandalkan cambuk, itu tanda rapuhnya jiwa.

Ia balas:

"Wahai Al-Jarrah, engkau telah berdusta. Mereka bukan diluruskan dengan cambuk, tapi dengan keadilan dan kebenaran. Maka tegakkanlah keadilan. Itu cukup. Wassalam."



Apakah Kota Harus Dibangun dengan Dana yang Melimpah?

Seorang gubernur lain mengeluh dalam suratnya:

"Kota kami hancur. Jika engkau berkenan, kirimkan dana untuk membangunnya kembali."

Umar menatap langit, dan menuliskan jawabannya:

"Kamu tidak mengatakan bahwa kotamu telah roboh. Tapi kamu tahu jalan membangunnya: tegakkan keadilan. Bersihkan jalan-jalan dari kezaliman. Jika engkau melakukannya, niscaya kotamu akan bangkit dengan sendirinya."




Refleksi dari Sejarah

Beginilah Umar memandang kota. Ia tidak bicara tentang semen dan batu bata. Ia bicara tentang nilai, tentang sunnah, tentang keadilan.

Baginya, kota rusak bukan karena dindingnya runtuh, tapi karena jiwanya mati. Masyarakat yang tak lagi takut kepada Allah, itulah reruntuhan yang sebenarnya. Maka, solusi Umar bukan membangun tembok, tapi membangunkan hati.

Ketika umat kehilangan adab, hukum menjadi tumpul. Ketika pemimpin kehilangan rasa takut kepada Tuhan, maka seluruh kota kehilangan cahaya.

Umar mengajarkan bahwa membangun kota bukan perkara uang atau senjata, tetapi perkara akhlak dan keberanian menegakkan kebenaran—meski sunyi, meski sendiri.

Dan kini, saat kota-kota kita kembali berlumur keluhan dan kehancuran, barangkali sudah saatnya kita mengingat satu kalimat dari Umar:

"Tegakkan keadilan. Itu cukup."

Sumber:
Mahmud Musthafa Sa'ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar

Memberitakan yang Benar: Tiang yang Sunyi di Pintu Istana Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit Baghdad belum banyak berubah. Burung...

Memberitakan yang Benar: Tiang yang Sunyi di Pintu Istana

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit Baghdad belum banyak berubah. Burung-burung tetap pulang ke sarangnya. Angin masih bertiup membawa debu dari padang. Namun di dalam istana yang megah, seorang khalifah termenung.

Ia bernama Abu Ja’far Al-Manshur, lelaki yang tak banyak tertawa, tak banyak bicara, namun pikirannya menembus jauh ke dalam kedalaman sejarah. Di antara malam-malam tafakurnya, ia berkata pelan namun lantang:

“Betapa aku mencintai empat orang yang berdiri di pintu istanaku.”

Orang-orang menoleh, bingung. Siapakah mereka? Wazir-wazirkah? Panglima-panglima? Ataukah keluarga dekatnya?

Ia lalu menjawab,

“Merekalah sendi-sendi kerajaanku. Seperti dipan tak akan tegak tanpa empat tiangnya, begitu pula kekuasaan tak akan lurus tanpa mereka.”

Satu per satu ia sebutkan.

Pertama, sang qadhi.
Hakim yang tak gentar pada hujatan, karena takutnya hanya pada Tuhan. Ia menegakkan hukum seperti menegakkan tiang dalam badai—tak goyah oleh suara-suara sumbang.

Kedua, sang syurthah.
Polisi yang berdiri bagi yang tak berdaya. Ia bukan tameng para penguasa, tapi perisai bagi rakyat yang tertindas.

Ketiga, sang jabi.
Petugas pajak yang tak menumpuk kekayaan di pundaknya. Ia pungut hak negara, tapi tak ambil milik si miskin.

Dan ketika tiba pada yang keempat, Abu Ja’far terdiam.
Ia menggigit jarinya, tiga kali.
Suaranya tertahan, lalu pelan berkata:

 “Aah... aah...”

Orang-orang menunggu, sunyi menebal di ruangan.

“Yang keempat adalah: penulis berita… wartawan… yang menuliskan tentang tiga sendi lainnya—dengan jujur, apa adanya, tanpa menjual kebenaran untuk pujian atau kekuasaan.”

Betapa agung kalimat itu.
Betapa sunyi maknanya.
Wartawan… bukan sekadar penyampai kabar.
Ia adalah cermin—yang memantulkan wajah kekuasaan tanpa bias.
Ia adalah lentera—yang menyinari ruang-ruang gelap kekeliruan.
Ia adalah saksi sejarah—yang diam-diam menulis masa depan.

Di zamannya, wartawan bukan penyair istana. Bukan peniup seruling bagi penguasa. Ia adalah pengingat. Penjaga. Pemikul amanah.

Maka tak heran jika Al-Manshur mengaduh.
Mungkin karena pernah kehilangan satu di antara mereka.
Atau mungkin karena tahu:
Wartawan yang jujur lebih langka dari panglima yang berani.



Mari kita berjalan ke barat.
Ke Andalusia yang bersinar dalam sejarah.
Di sana, Hisyam bin Abdurrahman Ad-Dakhil juga menjadikan kebenaran sebagai pilar kerajaannya.

Ia tidak duduk menunggu laporan resmi.
Ia mengutus orang-orang terpercaya ke kota Kuur.
Tugas mereka sederhana tapi berat:
Membawa pulang berita kebenaran.
Tentang siapa yang menunaikan tugas, dan siapa yang menyalahgunakannya.

Dan ketika mereka kembali, membawa berita yang jujur, Hisyam tidak tinggal diam.

Ia panggil para pejabat.
Ia dengarkan keluhan rakyat.
Ia bersumpah bersama pelapor.
“Jika ia menamparmu, balaslah tamparannya!”
“Jika ia membuka aibmu, bukalah aibnya juga!”
“Jika ia merampas hakmu, ambillah kembali hartamu!”
“Tapi jika ia melanggar hukum Allah… aku sendiri yang akan menghukumnya!”

Satu persatu, pejabat yang zalim ditindak.
Bukan karena desas-desus,
tapi karena berita yang benar.



Apa yang bisa dilakukan sebuah berita?

Ia mungkin tak punya tentara.
Ia tak membawa pedang.
Tapi ia bisa menggetarkan tahta yang licin.
Ia bisa menggugah hati pemimpin yang lalai.
Ia bisa menahan tangan penguasa sebelum menzalimi.

Berita yang jujur adalah penjaga sunyi kekuasaan.
Ia seperti air yang jernih—menampakkan kotoran yang tersembunyi.
Ia seperti embun—dingin tapi menghidupkan.

Dan jika tidak ada lagi wartawan yang jujur,
jika semua pena telah dijual pada kuasa dan harta,
maka istana akan tegak di atas pasir,
dan kekuasaan akan tumbang…
oleh diam yang mematikan.



Kini zaman telah berubah.
Namun apakah sendi-sendi itu masih utuh?

Hakim yang jujur—masih adakah?
Polisi yang melindungi lemah—masih adakah?
Petugas pajak yang adil—masih adakah?
Dan… wartawan yang menulis demi Allah, bukan demi penguasa—masihkah kau di sana?

Jika kau masih ada,
maka teruslah menulis.
Karena setiap hurufmu bisa menjadi penopang terakhir sebelum tahta runtuh oleh kezaliman.

“Dan katakanlah yang benar, walau itu pahit.”
(Hadits Nabi ﷺ)

Karena kekuasaan bisa bertahan tanpa emas, tapi tidak akan bertahan tanpa kebenaran.


Sumber: Mahmud Musafa Sa’ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (262) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (257) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (242) Sirah Sahabat (156) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)