Respon Alam Terhadap Kezaliman
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Tegakkan amar makruf nahi munkar. Jika tidak, Allah akan menghancurkan suatu kaum, dan bahkan doa orang-orang saleh pun tak lagi mampu membendung murka-Nya.
Lihatlah Bani Israel. Bangsa yang pernah menyaksikan mukjizat demi mukjizat. Laut terbelah, mata air memancar dari batu, dan langit menurunkan makanan surgawi. Namun mengapa mereka terlunta-lunta sepanjang sejarah? Mengapa mereka terusir dari satu negeri ke negeri lain? Bahkan setelah berhasil tinggal di tanah Palestina, mengapa hidup mereka tetap terus berselisih dan terusir?
Sebabnya satu: mereka meninggalkan amar makruf nahi munkar. Mereka melihat kemungkaran dan diam. Mereka menoleransi kezaliman demi stabilitas, menutup mata demi kenyamanan, dan akhirnya, kehilangan keberkahan.
"Mereka tidak saling mencegah dari kemungkaran yang mereka perbuat. Sungguh buruk apa yang telah mereka lakukan itu." (QS. Al-Ma'idah: 79)
---
Amar makruf nahi munkar bukan sekadar urusan moral. Ia adalah tiang penyangga langit dan bumi. Ia adalah penyeimbang yang menyelaraskan gerak manusia dengan ritme kosmik yang diciptakan Allah. Tanpa amar makruf nahi munkar, tatanan kehidupan hancur. Bukan hanya hubungan antar manusia, tapi juga hubungan dengan alam semesta.
Sebab, alam pun bersujud kepada Allah. Pepohonan, bebatuan, hewan, hujan, angin, dan petir—semuanya tunduk. Lalu ketika manusia, satu-satunya makhluk yang diberi kehendak bebas, memberontak kepada hukum langit, maka terjadilah benturan besar. Sebuah disonansi dalam simfoni kehidupan.
Dan ketika frekuensi manusia tak lagi selaras dengan dzikir alam, maka alam pun bereaksi. Ia tidak diam.
---
Lihatlah Mesir di era Fir’aun. Tatkala kekuasaan disalahgunakan, anak-anak dibunuh, kaum tertindas direndahkan, dan kekufuran dilembagakan—maka Allah tidak hanya menurunkan azab ditenggelamkan. Sebelum itu, Allah mengirimkan peringatan lewat alam:
"Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak, dan darah sebagai tanda-tanda yang jelas, tetapi mereka menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa." (QS. Al-A'raf: 133)
Belalang melahap ladang mereka, katak menggenangi rumah-rumah, darah menggantikan air di sungai Nil. Semua itu bukan sekadar bencana ekologis. Itu adalah bahasa langit. Bahasa yang tak bisa ditolak, tak bisa dinegosiasikan. Bahasa yang hanya dimengerti oleh hati yang masih hidup.
---
Begitu pula dengan kaum Saba. Negeri makmur yang disebut Al-Qur'an sebagai surga dunia:
"Sungguh, bagi kaum Saba terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka: dua kebun di kanan dan kiri. (Kepada mereka dikatakan), 'Makanlah rezeki dari Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu adalah) negeri yang baik dan Tuhanmu Maha Pengampun.'" (QS. Saba: 15)
Namun ketika mereka ingkar, kufur nikmat, dan melupakan keadilan, maka datanglah banjir besar:
"Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirimkan kepada mereka banjir besar (yang merusak) dan Kami ganti kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi tumbuhan pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr." (QS. Saba: 16)
Hanya butuh satu banjir. Tidak ada perang. Tidak ada meteor. Hanya air—yang biasanya berkah—menjadi perusak. Itulah respon alam terhadap kezaliman.
---
Ada juga kisah pemilik kebun dalam surah Al-Qalam. Malam itu mereka tidur dengan niat mencabut hak kaum miskin. Mereka sepakat tidak akan membiarkan siapa pun dari kaum duafa mendapat bagian dari panen mereka esok pagi.
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka pasti akan memetik (hasilnya) di pagi hari. Dan mereka tidak menyisakan (sedikit pun untuk orang miskin). Maka kebun itu dilanda bencana dari Tuhanmu ketika mereka tidur. Maka jadilah kebun itu seperti tanah yang tandus." (QS. Al-Qalam: 17-20)
Tanpa badai. Tanpa tsunami. Hanya satu tiupan malaikat malam itu. Kebun yang hijau mendadak menjadi debu. Semua karena niat zalim yang tak terlihat siapa pun kecuali Allah.
---
Dan Qarun. Seorang kaya raya yang membangkang. Harta dan teknologi tambangnya mengalahkan semua pengusaha masa kini. Namun kezaliman dan kesombongannya memuncak.
"Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada satu golongan pun yang dapat menolongnya dari azab Allah dan tidak pula dia termasuk orang-orang yang (dapat) membela (diri)." (QS. Al-Qashash: 81)
Bumi menelan. Tanah yang biasanya menopang, tiba-tiba menjadi jurang. Sekali lagi, alam tidak diam.
---
Bukan hanya dalam Al-Qur’an. Sejarah pun bersuara serupa. Tanah Nusantara pernah subur dan damai. Tapi lihatlah yang terjadi menjelang penjajahan Belanda. Raja-raja berseteru berebut tahta. Ulama dijauhkan dari istana. Amar makruf nahi munkar disingkirkan, diganti pesta pora dan perebutan kekuasaan. Maka datanglah bala tentara kafir dari negeri jauh.
Apa yang mendahului tragedi G30S/PKI? Perang ideologi, fitnah, pembunuhan ulama, dan perpecahan. Lalu bangsa ini jatuh ke jurang kegelapan.
Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang adil, keberkahan menyentuh seluruh alam. Sofyan Tsauri meriwayatkan bahwa kambing dan serigala hidup berdampingan. Tapi ketika ia melihat seekor serigala menerkam kambing, ia berkata:
"Pemimpin yang adil akan segera wafat."
Keesokan harinya, berita duka pun datang. Umar bin Abdul Aziz telah berpulang.
Alam mengenal keadilan. Alam pun berkabung saat keadilan gugur.
---
Maka jangan heran jika hari ini, banjir datang tiba-tiba. Angin kencang merobohkan rumah. Hujan tak turun berbulan-bulan. Panen gagal. Udara beracun. Anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang. Rakyat terpecah. Hati-hati. Itu bukan hanya bencana. Itu bahasa langit.
"Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka..." (QS. Al-Qashash: 4)
Ketika rakyat terpecah belah, ketika publik penuh perseteruan dan hiruk pikuk, itu adalah tanda: kezaliman sedang mengakar, dan amar makruf nahi munkar ditinggalkan.
Tapi jangan putus asa. Masih ada jalan pulang.
Ingat Nabi Yunus. Kaumnya semula menolak kebenaran. Tapi saat mereka sadar dan bertobat, Allah pun menahan azab.
"Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota pun yang beriman lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka beriman, Kami hilangkan dari mereka azab kehidupan dunia dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu yang tertentu." (QS. Yunus: 98)
Masih ada harapan. Masih ada strategi Yusuf. Ketika Mesir diambang krisis, Yusuf mengatur ketahanan pangan. Tapi bukan sekadar logistik—Yusuf menata ruh, menata moral, menata relasi antara manusia, alam, dan langit.
Jika negeri ini ingin selamat, maka bukan hanya jalan tol dan teknologi yang dibangun. Tapi amar makruf nahi munkar harus ditegakkan. Sebab ketika manusia kembali pada poros kebaikan, maka langit pun kembali tersenyum.
"Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..." (QS. Al-A’raf: 96)
Maka mari tegakkan amar makruf nahi munkar. Bukan sekadar ritual, tapi sistem hidup. Bukan sekadar individu, tapi gerakan kolektif. Bukan sekadar kata, tapi langkah nyata.
Karena jika tidak, bukan hanya negeri yang hancur. Tapi semesta pun akan ikut bersaksi atas kezaliman kita.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif