basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: cerpen Nabi

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label cerpen Nabi. Tampilkan semua postingan

Petang di Lembah Air Mata Palsu Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Senja mulai menyelimuti padang Kanaan. Langit berganti warna, dari b...

Petang di Lembah Air Mata Palsu

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Senja mulai menyelimuti padang Kanaan. Langit berganti warna, dari biru kejinggaan, lalu menggelap perlahan. Angin petang membawa debu dan kesepian. Di dasar sebuah sumur tua, dingin batu dan kesunyian malam menyambut seorang bocah yang baru saja dilempar oleh darah dagingnya sendiri.

Yusuf.

Tubuh kecil itu menggigil, namun bukan hanya karena dingin. Ia baru saja kehilangan kepercayaan pada manusia.


---

Di kejauhan, sekelompok pemuda berjalan cepat menuruni bukit menuju kemah Nabi Ya’qub. Langkah mereka tergesa, pakaian mereka berdebu, suara tangis mereka menggema... tapi tidak sampai ke hati.

“Wahai Ayah kami...” seru mereka sambil menyeka air mata yang tak tulus. “Kami pergi berlomba, seperti biasa... berlarian di padang, tertawa, bergembira.”

Nada suara mereka menggambarkan riang masa lalu, bukan duka hari ini. Mereka menyusun narasi: Yusuf ditinggal hanya sejenak, di dekat barang-barang kami. Aman. Kami tidak lalai.

Mereka memilih waktu petang. Waktu di mana kabut keraguan mudah diselipkan. Agar Ya’qub tak sempat menyelidiki. Agar tidak ada pencarian. Agar malam menjadi selimut bagi dusta mereka.

Dan kemudian, mereka mengeluarkan sesuatu: baju Yusuf. Baju yang dicelup darah, tapi tidak terkoyak.

“Ini, Ayah...,” kata mereka. “Lihat, serigala itu kejam. Tapi kami tak bisa menyelamatkannya... kami lengah.”

Nabi Ya’qub memandang baju itu. Lama. Mata tuanya jeli dan jujur.

“Darah ini palsu,” batinnya. “Kalaupun Yusuf diserang serigala, mengapa bajunya masih utuh? Tak ada bekas robekan. Tak ada gigitan. Tak ada jeritan yang kalian ceritakan.”

Ia menarik napas dalam-dalam. Ada luka, tapi lebih dalam dari kehilangan adalah kebohongan anak-anaknya sendiri.

“Tidak,” ucapnya pelan, tapi pasti. “Bukan serigala yang memangsanya. Tapi serigala dalam hatimu... yang telah menggodamu, dan membuatmu menzalimi saudaramu sendiri.”

Mereka tertunduk. Tapi hati mereka belum menyesal. Sementara Ya’qub, ayah yang patah hati itu, menunduk, bukan karena kalah—melainkan karena menyerahkan segalanya kepada Sang Mahakuasa.

“Maka, bersabarlah... karena hanya sabar yang terbaik bagiku,” ucapnya lirih.

Sabar yang tidak berarti diam. Tapi sabar yang menggantungkan harapan pada langit, bukan pada manusia.

Dalam malam yang semakin pekat, tangis Ya’qub tak disertai teriakan. Ia tidak memaki, tidak mengutuk. Ia hanya menatap langit, dan memohon: “Wahai Tuhan, jagalah anakku. Jika masih hidup, tuntunlah dia. Jika telah tiada, temukan aku dengannya kelak.”

Air matanya mengalir. Tapi bukan karena ia percaya pada dusta itu. Ia menangis karena hatinya telah mencium aroma pengkhianatan, namun tak dapat membalas kecuali dengan kesabaran dan tawakal.

Dan malam pun terus berjalan... membawa Yusuf ke takdirnya, dan Ya’qub ke luka panjang yang hanya bisa diobati oleh janji Tuhan.

Ketika Yusuf Diajak Bermain: Sebuah Luka yang Disembunyikan di Balik Senyuman Oleh: Nasrulloh Baksolahar  "Maka ketika mere...

Ketika Yusuf Diajak Bermain: Sebuah Luka yang Disembunyikan di Balik Senyuman

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

"Maka ketika mereka membawanya..."
(QS. Yusuf: 15)

Pagi itu cerah. Angin semilir menggoyangkan dedaunan, seakan tidak ada duka yang mengendap di langit keluarga Ya'qub. Yusuf, si anak lembut yang wajahnya menyimpan keteduhan langit, diajak oleh saudara-saudaranya bermain. Ia menatap wajah-wajah mereka dengan penuh harap, meski hatinya menyimpan rasa janggal.

“Saudara-saudaraku, sungguh lama aku menanti hari ini… saat kalian mengajakku bermain,” ujar Yusuf dengan polos dan bahagia.

Namun, di balik senyum mereka, tersembunyi niat kelam yang disusun dengan penuh dengki dan kecemburuan. Hati mereka yang selama ini dirundung bayang-bayang kasih sayang ayah, merasa Yusuf-lah penyebab semua itu. Yusuf adalah cahaya di mata sang ayah, dan cahaya itu — menurut mereka — harus dipadamkan.

Langkah demi langkah menuju padang yang sunyi, hati Yusuf mulai dihantui tanya.
“Ke mana kita akan bermain?” tanyanya.
“Tunggulah, Yusuf. Di sana ada tempat yang menyenangkan,” jawab salah satu dari mereka, dengan suara yang memaksakan kehangatan.


---

Ketika Yusuf Dimasukkan ke Dalam Sumur: Runtuhnya Dunia Seorang Anak

"Maka mereka sepakat untuk memasukkannya ke dasar sumur..."
(QS. Yusuf: 15)

Dan tibalah saat yang telah mereka rencanakan. Di dekat sumur tua yang sepi, mereka melemparkan Yusuf ke dasar kegelapan. Tak ada air mata di wajah mereka. Justru sebaliknya—ada kepuasan yang ganjil.
"Sudah selesai. Kini Ayah akan mencintai kita," ujar salah satu dari mereka.
Yang lain mengangguk, lega. “Yusuf, penghalang itu, telah hilang.”

Di dasar sumur itu, Yusuf menggigil. Bukan hanya karena dingin, tetapi karena luka yang tak tertampung oleh kata-kata. Ia bukan hanya dijatuhkan oleh tubuhnya, tapi juga oleh kepercayaannya kepada orang-orang yang ia sebut saudara.

"Apakah ini akhir dari hidupku, ya Allah?" bisiknya lirih.


---

Ketika Allah Menghibur Seorang Anak yang Dikhianati

"Kami wahyukan kepadanya..."
(QS. Yusuf: 15)

Namun pada saat itulah, justru langit membuka pintunya. Allah membisikkan keteguhan ke dalam jiwa Yusuf yang ringkih:
"Tenanglah, Yusuf. Ini belum akhir. Akan tiba saatnya engkau berdiri tegak dan menceritakan semua ini kepada mereka..."

Di dalam sumur yang gelap, Yusuf tidak sendiri. Ia ditemani oleh janji langit. Janji bahwa penderitaan ini bukan kehancuran, melainkan permulaan dari kemuliaan. Bahwa pengkhianatan ini akan menjadi awal dari kisah panjang seorang pemimpin yang akan mengampuni mereka yang pernah mencelakakannya.


---

Ketika Mereka Tidak Sadar: Dunia Berputar, Rencana Ilahi Terus Bergerak

"Sedang mereka tidak menyadari..."
(QS. Yusuf: 15)

Saudara-saudaranya pergi dengan hati ringan, tanpa tahu bahwa langit punya rencana yang jauh lebih besar dari siasat mereka. Mereka tidak menyadari bahwa orang yang mereka celakai adalah orang yang kelak akan memberi mereka makan di masa paceklik, memeluk mereka di saat ketakutan, dan mengampuni mereka saat menangis menyesal.

Yusuf bertahan. Bukan karena kekuatannya, tetapi karena rahmat Allah. Ia tahu kini: bahkan sumur pun bisa menjadi panggung wahyu. Bahkan kegelapan bisa menjadi tempat datangnya cahaya.


---

“Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia…”
(QS. Ali Imran: 191)

Tiada satu pun kisah yang sia-sia dalam kehidupan ini, apalagi yang ditulis langsung oleh pena keagungan Ilahi. Dari mata Yusuf yang basah, dari hati saudara-saudaranya yang gelap, dari sumur yang bisu—semuanya bagian dari kisah yang akan membuktikan: Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, bahkan ketika semua orang melakukannya.

Pagi itu, Sebelum Yusuf Pergi Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Pagi itu di Kanaan, embun masih menggantung di ujung dedaunan. Udara s...

Pagi itu, Sebelum Yusuf Pergi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Pagi itu di Kanaan, embun masih menggantung di ujung dedaunan. Udara sejuk menyelimuti perbukitan. Nabi Ya‘qub duduk di dekat pangkal pohon zaitun tua, tangannya sibuk merapikan anyaman wadah dari pelepah kurma. Wajahnya teduh, tetapi matanya memancarkan kepekaan seorang ayah yang selalu menyimpan kecemasan dalam diam. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau, dan angin padang membawa harum tanah yang baru tersiram embun.

Dari kejauhan, sekelompok anak lelaki mendekat. Langkah mereka pelan, seakan menyembunyikan kegugupan. Mereka adalah putra-putra Ya‘qub, kakak-kakak Yusuf. Saling melirik satu sama lain, ada keganjilan yang belum sempat mereka sepakati untuk disembunyikan. Namun hari itu mereka sepakat untuk satu hal: Yusuf harus dijauhkan.

Mereka duduk melingkar tak jauh dari ayah mereka. Suasana jadi senyap, hanya terdengar desir daun yang diterpa angin. Tak satu pun langsung bicara. Mereka terlihat ragu, lidah mereka kelu. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka memberanikan diri.

“Wahai Ayah kami,” katanya, dengan nada seolah memohon kepercayaan.
“Mengapa engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf?”
“Padahal kami benar-benar menginginkan kebaikan baginya.”

Ya‘qub menghentikan anyamannya. Ia menoleh, pandangannya tajam namun penuh kasih. Ia belum menjawab, seolah memberi ruang untuk anak-anaknya melanjutkan kata.

Yang lain menyambung, suaranya bergantian, terdengar seperti rencana yang sudah lama dirancang:

“Izinkan dia pergi bersama kami besok pagi,”
“Agar ia bersenang-senang dan bermain-main.”
“Dan sungguh, kami pasti menjaganya.”

Mereka saling sahut, meyakinkan, seakan semua telah siap menjaga Yusuf dengan penuh tanggung jawab. Namun Ya‘qub tetap diam sejenak, lalu menghela napas dalam. Dari raut wajahnya, tampak perasaan yang dalam antara cinta dan firasat yang menekan.

“Sesungguhnya kepergian Yusuf bersama kalian... itu sangat menyedihkanku,” ujarnya lirih, nyaris seperti bisikan angin.
“Aku khawatir… dia akan dimakan serigala... saat kalian lengah.”

Matanya memandang jauh ke arah padang, seolah menggambarkan ruang bermain yang luas namun berbahaya. Bayangan Yusuf kecil di tengah padang gersang, dengan tawa yang bisa sirna seketika oleh satu kelengahan.

Namun para kakak tetap berkeras. Salah seorang berkata:

“Jika dia sampai dimakan serigala—padahal kami ini kelompok yang kuat dan banyak—maka sungguh, kami inilah orang-orang yang benar-benar rugi!”

Yang lain mengangguk, menegaskan kalimat itu. Seakan membiarkan Yusuf celaka adalah kehancuran harga diri mereka. Mereka membangun benteng kata untuk membujuk sang ayah. Dan Ya‘qub… seorang nabi yang penuh hikmah dan cinta, menyimak semua dengan air mata yang belum tumpah, namun sudah tergenang dalam dada.

Akhirnya, dengan hati yang berat, ia mengangguk pelan. Sebab ia tahu: kadang ujian tidak bisa dihindari, hanya bisa dihadapi dengan doa.

Dan Yusuf pun berangkat pagi itu bersama saudara-saudaranya. Ia berjalan dengan langkah ringan, membawa keceriaan anak-anak. Ia tak tahu, rencana besar telah disembunyikan di balik senyum saudara-saudaranya. Dan sang ayah, Nabi Ya‘qub, berdiri di kejauhan, menatap kepergian itu dengan hati yang diguncang firasat.

Langit tetap biru, tetapi bumi mulai menyiapkan takdirnya.

Di Balik Sebuah Mimpi, Tersimpan Sebuah Konspirasi Oleh: Nasrulloh Baksolahar  "Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mi...

Di Balik Sebuah Mimpi, Tersimpan Sebuah Konspirasi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


"Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu,
sebab mereka bisa merancang tipu daya terhadapmu.
Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia."
— (QS. Yusuf: 5)

Petuah itu terucap lembut di tengah malam yang senyap. Di bawah cahaya bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit Kanaan, Nabi Ya‘qub menggenggam tangan putranya, Yusuf kecil, yang wajahnya bersinar oleh kemurnian dan cahaya kenabian yang belum disadarinya sendiri.

Di antara detak jantung yang tenang dan bisikan angin gurun, sang ayah—seorang Nabi yang bijak—telah membaca gelombang masa depan yang tersembunyi dalam sebuah mimpi: sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud kepada Yusuf. Sebuah mimpi yang bukan sekadar bunga tidur, melainkan kabar langit yang bisa memancing gelombang kecemburuan di bumi.

"Jangan ceritakan ini kepada saudara-saudaramu," ucap Ya‘qub dengan tatapan mendalam. "Karena tidak semua orang mampu mencintai kebenaran, bahkan jika kebenaran itu adalah darah dagingnya sendiri."

Yusuf mengangguk polos, belum sepenuhnya mengerti bahwa sebagian kasih akan menumbuhkan iri, dan sebagian saudara bisa berubah menjadi duri.



Di Balik Semak, Di Bawah Malam, Sebuah Rapat Gelap

"Sungguh, dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang bertanya."
— (QS. Yusuf: 7)

Jauh dari pandangan ayah mereka, di sebuah tempat yang tersembunyi dan sunyi, di balik rerimbunan semak dan bayang-bayang gelap malam, berkumpullah sekelompok saudara. Suara mereka ditekan pelan, namun bara di dada mereka membakar seperti api yang tertahan.

“Kenapa Yusuf dan adiknya lebih dicintai ayah kita?” bisik salah seorang dengan gigi terkatup, seolah cinta yang diberikan Ya‘qub kepada Yusuf adalah sebuah pengkhianatan.

“Padahal kita ini satu kelompok yang kuat. Kita dewasa. Kita lebih layak diperhatikan,” sahut yang lain, matanya memerah oleh api iri yang membakar dalam diam bertahun-tahun.

Diam-diam mereka menyudutkan sang ayah, seorang nabi yang mereka anggap telah terlampau buta oleh kasih sayang kepada dua anak dari ibu yang berbeda.

“Sesungguhnya ayah kita benar-benar dalam kekeliruan yang nyata,” ujar mereka. Kalimat itu meluncur tajam, bukan hanya menggores Yusuf, tapi juga merobek kepercayaan kepada ayah yang selama ini membesarkan mereka dalam sabar dan cinta.



Api Kecemburuan Mencari Pelampiasan

Lalu seorang dari mereka melemparkan usul yang mencekam:
“Bunuh saja Yusuf.”

Kata-kata itu mengendap di udara, membeku dalam hening yang menegangkan. Sebagian terdiam, sebagian saling memandang, sebagian lainnya bergidik. Tapi yang berbicara tidak berhenti.

“Atau,” katanya, dengan nada lebih perlahan namun tetap mengancam, “buang saja dia ke suatu tempat yang jauh.”

Seseorang bertanya, “Mengapa?”

Jawaban itu keluar dengan kepastian yang dingin:
“Agar perhatian ayah tertumpah kepadamu. Supaya cinta yang selama ini menjadi milik Yusuf, kini menjadi milik kita.”

Dan dengan tambahan alasan yang mengejutkan, seolah ingin mencuci darah dengan kesalehan:
“Setelah itu… kita bisa menjadi orang yang baik. Kita bertobat.”



Namun Suara Nurani Menyela

Seseorang di antara mereka tiba-tiba bangkit dari diamnya. Hati nurani yang belum sepenuhnya mati berbicara, meski pelan.

“Janganlah kalian membunuh Yusuf,” ucapnya menahan napas, menahan ngeri.
“Masukkan saja dia ke dasar sumur…
Biarkan dia dipungut oleh musafir. Jika kalian memang harus berbuat, maka ini jalan yang lebih ringan.”

Perdebatan pun pecah. Di antara mereka ada yang ingin cepat menuntaskan rencana dengan kekerasan. Ada pula yang menyembunyikan rasa bersalah, namun takut dianggap lemah.

Setelah tarik-ulur, akhirnya suara yang menyarankan sumur itu diterima. Bukan karena belas kasih, tetapi karena terlihat lebih ‘bersih’. Tidak ada darah. Tidak ada tubuh. Hanya penghilangan.

Mereka sepakat.



Rencana Gelap yang Disusun Rapi

Angin malam berhembus kencang. Seperti ikut menyaksikan sekelompok manusia menutupi niat jahat dengan strategi dan sandiwara.

“Besok pagi kita minta izin kepada ayah,” kata salah seorang.

“Kita ajak Yusuf bermain bersama,” sambung yang lain.

“Lalu kita buang dia ke sumur tua itu… yang sepi dan tak berpenjaga.”

Rapat gelap itu ditutup dengan pandangan-pandangan saling menguatkan. Iri yang dibungkus logika. Kejahatan yang disamar dengan dalih kedewasaan dan rasa keadilan. Padahal semuanya berasal dari satu akar: hasad.

Mereka tidak tahu, rencana mereka bukanlah akhir dari kisah Yusuf. Tapi justru permulaan dari takdir agung yang ditulis oleh langit.


 "Sungguh, dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang bertanya."
— (QS. Yusuf: 7)

Mimpi di Langit Palestina Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Senja baru saja turun di tanah Kanaan. Angin gurun membelai lembut bukit-b...

Mimpi di Langit Palestina

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Senja baru saja turun di tanah Kanaan. Angin gurun membelai lembut bukit-bukit yang menghadap langit merah tembaga. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan bayang-bayang panjang mulai melingkupi ladang. Di sebuah dataran tenang, di pinggiran Palestina, seorang anak lelaki terjaga dari tidurnya yang dalam—matanya membelalak, jantungnya berdebar.

Yusuf kecil duduk diam di pembaringan tanah liat yang hangat sisa cahaya sore. Udara begitu hening hingga desir hatinya sendiri terasa menggema.

“Mengapa hatiku berguncang oleh cahaya itu?” bisiknya dalam hati. “Apa arti dari penglihatan tadi?”

Dalam tidurnya, ia melihat sesuatu yang tak biasa. Bintang-bintang, matahari, dan bulan—semuanya tunduk, bersujud padanya. Tapi siapakah dia hingga alam semesta memberi hormat?

Ia menatap langit yang mulai dihiasi bintang-bintang. Hatinya bergolak antara ingin menyimpan atau menceritakan. Tapi kepada siapa? Hanya satu orang yang bisa memahami gelisah dalam dadanya—ayahnya.

Dengan langkah pelan, ia mendekati tenda utama tempat ayahnya duduk bersandar sambil berzikir di bawah rembulan yang mengambang tenang. Wajah Yakub memantulkan kedamaian, namun jiwa seorang ayah selalu peka pada suara langkah anaknya.

Yusuf berdiri ragu, lalu mendekat dengan suara lirih:
“Wahai ayahku…”

Yakub membuka matanya, tersenyum penuh kasih. “Apa yang mengganggumu, putraku?”

“Sesungguhnya aku bermimpi… kulihat sebelas bintang, matahari dan bulan. Semuanya sujud kepadaku.” Suaranya bergetar, antara kagum dan bingung.

Sejenak, suasana menjadi sunyi. Angin berhenti seolah menanti jawaban dari langit.

Yakub menunduk. Wajahnya berubah. Bukan karena takut, tapi karena hati seorang nabi dapat membaca isyarat ilahi dari peristiwa kecil sekalipun. Ia tahu, ini bukan mimpi biasa. Ini adalah panggilan takdir.

Namun Yakub juga tahu, dunia ini tak hanya berisi kasih. Di dalam keluarganya sendiri, benih-benih iri dapat tumbuh jika tak dijaga.

Dengan lembut namun penuh peringatan, Yakub berkata,
“Wahai anakku… Jangan engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu.”

Yusuf mengernyit, namun Yakub melanjutkan, matanya menatap jauh seolah melihat bayangan masa depan.
“Sungguh, mereka akan membuat tipu daya untuk membinasakanmu. Setan itu musuh yang nyata bagi manusia…”

Angin malam mulai meniup tenda-tenda, dan api unggun berkedip-kedip seolah ikut gelisah. Di balik kata-kata itu, terpendam rasa cemas seorang ayah—ia mengenal gejolak dalam hati anak-anaknya yang lain, ia tahu bahwa cinta yang tak seimbang bisa melahirkan dendam.

Namun Yakub tak ingin putranya hidup dalam ketakutan.

Ia menatap Yusuf dalam-dalam, lalu suaranya berubah menjadi haru:
“Sesungguhnya Tuhanmu memilihmu, wahai anakku… Tuhan akan mengajarkanmu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua kakekmu, Ibrahim dan Ishaq.”

Yusuf menatap ayahnya. Dada kecilnya mulai mengembang oleh rasa haru dan harap.

“Engkau bukan anak biasa, Yusuf,” bisik Yakub, seolah kepada jiwanya sendiri. “Kau akan meniti jalan kenabian, jalan sunyi yang berat, namun bercahaya.”

Dan dengan nada akhir yang membawa keteguhan dan keimanan, Yakub berkata:
“Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

Langit malam kini penuh bintang, seolah menyimak janji langit kepada bumi. Yusuf tidak lagi merasa kecil. Ia tahu, hidupnya akan berbeda. Tapi sejak malam itu, ia juga tahu bahwa cinta Allah tak selalu berarti jalan yang mudah. Kadang, ia dimulai dari mimpi—dan diikuti oleh ujian.


Sumber:
Surat Yusuf ayat 4-6

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (5) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (548) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (12) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (241) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (506) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (489) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (250) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (229) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)