basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Kisah Para Nabi dan Rasul

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Kisah Para Nabi dan Rasul. Tampilkan semua postingan

Sejarah Tak Bisa Diselewengkan  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Mengapa jejak para nabi dan rasul tetap abadi? Mengapa kisah para...

Sejarah Tak Bisa Diselewengkan 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Mengapa jejak para nabi dan rasul tetap abadi? Mengapa kisah para sahabat dan ulama salaf terus menjadi rujukan sepanjang zaman? Ke mana perginya para penguasa, hartawan, dan selebritas yang dahulu dielu-elukan? Bukankah mereka adalah sosok dambaan pada zamannya? Mengapa tiba-tiba seperti ditelan bumi?

Ada hukum langit yang bekerja di balik catatan sejarah manusia. Ada seleksi spiritual yang tak terlihat, tetapi nyata. Sejarah bukan sekadar catatan waktu, melainkan cermin nilai dan cahaya kejujuran. Di sana, Allah SWT ikut menjaga, menyaring, dan membersihkan.

Allah Menjaga Sejarah Melalui Al-Qur’an

Al-Qur’an bukan hanya kitab suci, tapi juga kitab sejarah—sejarah yang dimurnikan. Di dalamnya, Allah luruskan kisah-kisah para nabi yang sebelumnya telah diselewengkan. Allah pulihkan kebenaran, hapuskan fitnah, dan jaga kemurnian nama-nama suci.

1. Kisah Nabi Nuh AS

> "Dikatakan (kepada Nuh): ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dari Kami dan keberkahan atasmu dan atas umat-umat dari orang-orang yang bersama kamu...'"
(QS. Hud: 48)



Nuh dalam Al-Qur’an adalah hamba yang diberkahi, bukan sosok mabuk dan telanjang seperti dituduhkan dalam narasi Bibel. Allah jaga kehormatannya.

2. Kisah Nabi Ibrahim AS

> "Dan siapa yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri? Sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat dia benar-benar termasuk orang-orang yang saleh."
(QS. Al-Baqarah: 130)



Nabi Ibrahim adalah ikon tauhid, bukan penyembah berhala seperti dituduhkan dalam sebagian tradisi non-Islami. Al-Qur’an memurnikan kisahnya.

3. Kisah Nabi Musa AS

> "Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
(QS. Al-Qashash: 14)



Dalam narasi Qur’ani, Musa adalah pembela kebenaran, bukan pembunuh brutal. Kesalahannya dimaafkan, bukan disebarkan sebagai cela.

4. Kisah Nabi Daud AS

> "Maka Kami mengampuninya (Daud) atas kesalahannya itu; dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik."
(QS. Shad: 25)



Nabi Daud bukan pezina sebagaimana difitnah dalam teks lain. Al-Qur’an menyelamatkan marwahnya sebagai nabi yang bertaubat dan mulia.

5. Kisah Nabi Isa AS

> "...padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh) adalah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka... Tetapi Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya."
(QS. An-Nisa: 157-158)



Al-Qur’an tegas: Nabi Isa tidak disalib. Ia diangkat oleh Allah. Ini adalah pemurnian dari kesalahpahaman yang telah diwariskan berabad-abad.


---

Sejarah Memiliki Hukum Tersendiri

Sejarah, meski sering dimanipulasi, memiliki mekanisme seleksi ilahiah. Yang tulus akan bertahan, yang palsu akan terhempas. Yang memberi manfaat akan dikenang, yang menyesatkan akan dilupakan.

> "Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu mengalir di lembah-lembah sesuai dengan kadar (kemampuannya), maka arus itu membawa buih yang mengapung... Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak berguna; sedangkan yang bermanfaat bagi manusia, maka ia tetap tinggal di bumi."
(QS. Ar-Ra’d: 17)



Yang bermanfaat bertahan. Yang palsu akan lenyap.


---

Sejarah Adalah Cermin Ruhani

Fitrah manusia adalah alat seleksi sejarah yang paling jujur. Ia mengabadikan kebaikan dan membuang kehampaan. Sejarah bukan panggung bagi pelaku maksiat, tapi untuk mereka yang hidupnya membawa cahaya.

Allah menutupi aib hamba-Nya. Maka tidak semua keburukan perlu diabadikan. Tidak semua kezaliman patut diulang. Biarlah Allah yang menghisab. Sejarah tahu batas.

Yang menghidupkan ruh akan hidup selamanya. Yang hanya membanggakan materi akan dikubur bersama waktu. Karena sejarah adalah milik ketaatan, bukan kemegahan.

> “Wahai anak Adam, kerjakanlah seperti yang Kuperintahkan dan jauhilah apa yang Kularang. Niscaya Aku jadikan jejak hidupmu abadi. Aku adalah Zat Yang Maha Hidup, yang tidak akan pernah mati.”
(HR. Al-Ghazali dalam Al-Mawaizh fi Al-Hadits Al-Qudsiyyah)




---

Malaikat pun Penjaga Sejarah

Ada manusia yang namanya harum di bumi, tapi tidak dikenal di langit. Namun ada pula manusia yang tidak dikenal di dunia, tapi disebut-sebut oleh malaikat.

> “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Maka penduduk langit pun mencintainya, lalu dijadikanlah orang itu diterima di bumi.”
(HR. Bukhari & Muslim)



Mereka adalah manusia langit. Mereka hidup dengan cinta Allah, dan cinta itu menjelma menjadi penerimaan di bumi. Inilah bukti sejarah dijaga bukan oleh pena dunia, tapi oleh cinta langit.


---

Mengapa Allah Menjaga Sejarah?

Para ulama menjawabnya dengan sudut pandang kontemplatif dan ideologis:

1. Sayyid Qutb

> “Sejarah para nabi dan umat terdahulu disampaikan Al-Qur’an bukan untuk dikenang, tapi untuk dijadikan pelajaran, agar umat ini tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalur tauhid.”
(Fi Zilalil Qur’an)



Sejarah dijaga agar umat tak tersesat. Ia adalah peta ruhani.

2. Hasan Al-Banna

> “Sejarah Islam adalah energi peradaban. Allah menjaganya agar umat yang tertidur dapat dibangunkan, dengan mengenal siapa mereka sebenarnya dan capaian agung yang pernah mereka raih.”
(Pendiri Ikhwanul Muslimin)



Sejarah adalah sumber izzah. Ia memanggil umat untuk bangkit.

3. Abu Hasan Ali an-Nadwi

> “Sejarah Islam adalah bagian dari cahaya Allah di muka bumi. Allah menjaganya agar dunia tidak tenggelam dalam kegelapan modern tanpa petunjuk.”
(Penulis Maadzaa Khasira al-‘Aalam)



Tanpa sejarah yang jujur, umat akan kehilangan cahaya.


---

Penutup: Sejarah Milik Ketaatan

Sejarah sejati bukan ditulis oleh pemenang, tapi oleh mereka yang dicintai langit. Mereka yang hidup dalam keikhlasan, yang setiap jejaknya adalah doa dan setiap langkahnya adalah amal.

Dalam sejarah, bukan nama besar yang abadi, tapi makna besar.

Yang dicintai Allah, akan disebut di langit. Yang disebut di langit, akan dikenang di bumi.

Dan mereka itulah—yang sejarahnya tetap jujur.


---

Biografi, Duplikasi Kebrilianan  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Membaca biografi adalah cara paling sederhana untuk menduplikasi dir...

Biografi, Duplikasi Kebrilianan 
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Membaca biografi adalah cara paling sederhana untuk menduplikasi diri terhadap tokoh-tokoh hebat. Ia adalah jalan tercepat untuk merevolusi kepribadian dan mempercepat pertumbuhan jiwa. Tak semua orang mampu duduk di dekat orang besar, apalagi belajar langsung dari mereka. Tapi melalui lembar-lembar biografi, kita bisa seakan hadir di tengah peristiwa, mendengarkan langsung napas, kata, dan keputusan mereka.

Biografi bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah cermin masa depan. Ia menjadi lensa yang menyoroti bagaimana manusia biasa bisa menjadi luar biasa. Saat seseorang menyibukkan diri dengan membaca biografi, sejatinya ia sedang membangun hubungan tak kasat mata dengan jiwa-jiwa yang telah menembus sejarah.

Aku selalu meyakini, membaca biografi adalah bentuk komunikasi batin dengan para tokoh besar. Ia seperti ziarah intelektual. Kita tidak sekadar membaca huruf dan peristiwa, tapi jiwa kita sedang diajak berdialog, dididik, dan dibentuk oleh pengalaman panjang yang pernah mereka jalani. Dan sungguh, saat energi diri melemah, ketika gairah hidup seakan pudar, maka aku akan kembali membuka halaman-halaman biografi. Seolah-olah sedang duduk riung bersama para pemimpin cahaya.

Saat Kata Menjadi Cahaya

Dianugerahi setetes dari ilmu mereka saja sudah luar biasa. Dianugerahi seberkas pemikiran dan mindset mereka adalah anugerah agung. Bahkan satu cipratan cinta mereka saja menjadi kekuatan yang sanggup menghidupkan hati yang nyaris mati. Karena itu, membaca biografi tak ubahnya duduk membersamai mereka—jiwa-jiwa terpaut, hati-hati saling mengenal, dan pemikiran bergetar dalam satu frekuensi ilham.

Ada saatnya aku merasa tak mampu melanjutkan hari. Ada saatnya jiwa ini ringkih, hati ini berat, dan langkah seperti terbelenggu keraguan. Tapi ketika membaca biografi para pejuang, para ulama, para pemimpin, para pencinta Tuhan—jiwa ini seakan disetrum ulang. Tiba-tiba tubuh ini bangkit. Hati ini menyala. Semangat kembali menyala tanpa harus disuruh.

Satu malam bersama kisah hidup Umar bin Khattab bisa membuat hatiku menangis. Satu jam bersama kisah Hasan Al-Banna bisa membuat pikiranku bergolak. Satu paragraf tentang hidup Muhammad Al-Fatih bisa menggetarkan sendi-sendi ketidakyakinan. Dan sungguh, tidak ada yang lebih berbahaya dalam hidup seorang mukmin selain kehilangan gairah dan orientasi.

Ilmu yang Menghidupkan

Membaca biografi bukan sekadar menambah wawasan, melainkan membangkitkan ruh. Ia melatih cara berpikir, memperluas horizon, dan mengasah sensitivitas sejarah. Biografi membuat kita sadar bahwa hidup bukan sekadar mencari kenyamanan, tetapi menghidupi sebuah tujuan. Biografi para pahlawan adalah tamparan lembut sekaligus pelukan hangat bagi jiwa-jiwa yang tertidur.

Bukankah Allah sendiri memerintahkan kita untuk banyak membaca sejarah?

> “Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang sebelum kalian…”
(QS. Ar-Rum: 42)



Sejarah dan biografi adalah bahan bakar perenungan. Bahkan kisah para nabi dalam Al-Qur’an—tak lain adalah biografi suci yang dituturkan langsung oleh Allah agar menjadi petunjuk, peneguh jiwa, dan cahaya penerang hidup.

Menduplikasi Tanpa Merampas

Mengapa biografi bisa mengubah hidup? Karena dalam setiap kisah hidup ada keputusan-keputusan kritis yang pernah diambil di tengah badai. Dalam setiap biografi ada jejak luka, pilihan berani, dan keyakinan yang diuji. Kita tidak meniru segala hal secara literal, tetapi kita meniru nilai, semangat, dan keteguhan. Itulah duplikasi yang sah secara spiritual dan intelektual.

Kita tidak sedang menjadi mereka. Kita sedang mengaktifkan potensi terbaik kita dengan menyalakan bara semangat yang dulu pernah mereka nyalakan. Kita menjadikan mereka sebagai cermin, bukan sebagai topeng. Kita tidak kehilangan diri kita, tapi menemukan versi terbaik dari diri sendiri.

Dan kadang, dari membaca satu biografi saja, arah hidup seseorang bisa berubah selamanya.

Hari-Hari Bersama Para Pahlawan

Hari-hari di mana aku paling merasa hidup adalah hari-hari saat dikelilingi buku-buku biografi. Hari-hari itu bukan sekadar hari membaca, tapi hari pemulihan spiritual. Di saat virus kelemahan dan kemalasan menyerang, aku kembali merapat pada kisah para pejuang. Seperti anak ayam yang kembali berlindung di bawah sayap induknya, seperti santri yang kembali duduk di hadapan mursyidnya, seperti pejuang yang kembali merapikan senjatanya sebelum perang.

Ada ketenangan dalam mendengarkan kisah hidup Imam Syafi’i. Ada kekuatan dalam mengikuti jejak hidup Umar bin Abdul Aziz. Ada keindahan dalam merenungi perjalanan Ibnu Sina. Ada keberanian dalam menyelami perjuangan Imam Hassan Al-Banna, dan ada kemurnian dalam menelusuri hidup para sahabat Nabi.

Cinta yang Menyatu dalam Waktu

Dari membaca biografi, aku berharap tumbuh cinta yang mendalam kepada para tokoh itu. Bukan cinta buta, tapi cinta sadar. Cinta yang ingin berjumpa dengan mereka kelak. Cinta yang membuat mereka pun mengenalku, meski aku bukan siapa-siapa. Cinta yang membuatku yakin bahwa Allah akan mengumpulkan jiwa-jiwa yang saling mencintai karena-Nya di akhirat kelak.

> “Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)



Maka membaca biografi bukan hanya untuk dunia. Ia adalah bagian dari bekal akhirat. Karena cinta kepada orang-orang shalih adalah tanda kemuliaan. Dan siapa tahu, dengan membaca dan mencintai mereka, Allah akan menempatkanku dekat dengan mereka—meski amal tak sebanding.

Kebiasaan yang Membentuk Diri

Kebiasaan membaca biografi pelan-pelan mengubah kebiasaan harian. Kita menjadi lebih sadar waktu. Lebih berhati-hati dalam bertindak. Lebih rindu untuk bermakna daripada sekadar berumur panjang. Kita jadi merasa berdosa ketika terlalu banyak mengeluh, sebab tokoh-tokoh dalam biografi jarang sekali punya waktu untuk mengeluh. Mereka sibuk dengan misi hidup.

Maka akhlak mereka mulai menetes pada kita. Cara berpikir mereka mulai merasuki pikiran kita. Jiwa kita mulai terlatih menghadapi badai. Dan kita tidak lagi mudah tumbang hanya karena ucapan orang, atau karena satu-dua kegagalan. Karena kita tahu, orang-orang besar dalam sejarah pun sering gagal, dikhianati, difitnah, tapi mereka tetap tegak berdiri.

Menyambut Hari dengan Biografi

Aku ingin hari-hariku selalu bersahabat dengan biografi. Jika pagi diawali dengan zikir dan biografi, maka hari itu insya Allah akan penuh kekuatan dan makna. Jika malam ditutup dengan munajat dan membaca kisah perjuangan, maka tidurku terasa lebih dalam dan hati lebih tenang.

Karena saat membaca biografi, aku merasa tidak sendirian. Aku merasa sedang ditatap oleh para tokoh itu. Seolah mereka berkata: “Lanjutkan perjuangan kami. Hidup bukan sekadar hidup. Tapi hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari dirimu.”

Dan aku ingin menyambut hari-hari mendatang dengan semangat baru. Semangat yang tidak mudah padam. Semangat yang dibentuk dari serpihan kisah para manusia unggul yang telah menyelesaikan larinya di dunia dengan kemuliaan.

Biografi Adalah Cermin Takdir

Biografi adalah bukti bahwa takdir Allah bekerja dalam ritme yang indah. Bahwa kemenangan selalu menunggu di balik kesabaran. Bahwa arah sejarah bisa diubah oleh tekad satu orang. Bahwa tidak ada hidup yang remeh jika niatnya agung.

Dan pada akhirnya, membaca biografi bukan sekadar mengenang, tapi mengambil bagian. Kita tidak sedang menonton film sejarah. Kita sedang menulis ulang sejarah, dengan jiwa dan pena kita sendiri. Kita tidak sedang jadi penonton, tapi pemain dalam panggung besar peradaban ini.

Maka, jika hari ini terasa gelap dan melelahkan, bukalah kembali biografi. Duduklah bersama para sahabat Nabi, para mujahid, para ulama, para penemu, para pemimpin hati. Biarkan ruh mereka menyalakan kembali semangat kita yang padam. Karena saat mereka hidup, sejarah berubah. Dan jika kita hidup dengan semangat yang sama, insya Allah sejarah akan kembali bergerak ke arah yang benar.


---

Kisah Para Nabi: Persoalan dan Solusi Komprehensif Kehidupan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- 1. Wahyu Telah Turun, Masalah Telah ...

Kisah Para Nabi: Persoalan dan Solusi Komprehensif Kehidupan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

1. Wahyu Telah Turun, Masalah Telah Dijawab

Segala kalimat telah sempurna. Wahyu terakhir telah diturunkan. Tak ada lagi ayat baru yang akan turun. Tak ada lagi langit yang akan terbuka dengan petunjuk yang belum tersampaikan.

Segala persoalan kehidupan—baik yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi—telah dijelaskan. Segala bentuk ujian, kesalahan, kesesatan, dan kebingungan sudah pernah dialami, sudah pernah ditunjukkan cara menghadapinya.

Dan semua itu telah terhimpun… dalam satu kitab penutup: Al-Qur’an.

Kitab yang bukan sekadar bacaan suci untuk malam Jumat. Tapi pedoman menyeluruh tentang bagaimana manusia seharusnya hidup: berpikir, merasa, berbuat, dan bertahan dalam arus zaman.

Lalu mengapa manusia tetap terperangkap dalam kesulitan?

Mengapa banyak yang mengeluh tak tahu jalan keluar?

Mengapa akar persoalan hidup sering tak teridentifikasi, apalagi solusinya?

Jawabannya ternyata sederhana:
Manusia tertipu oleh dirinya sendiri.
Tertipu oleh apa yang ia sebut “kecerdasan” dan “kemajuan.”


---

2. Nabi-Nabi dan Kecerdasan Wahyu

Para Nabi adalah manusia pilihan. Mereka bukan manusia biasa yang kebetulan menjadi pemimpin. Mereka adalah insan-insan yang dipersiapkan secara spiritual dan moral, dibimbing langsung oleh Allah, dan diperkuat oleh wahyu.

Rasulullah ﷺ adalah puncaknya.
Manusia paling berpengaruh dalam sejarah.
Tapi bagaimana beliau memecahkan masalah?

> Beliau menunggu wahyu.
Menunggu Jibril datang membawa jawaban.
Beliau tidak berspekulasi. Tidak menerka-nerka. Tidak mengandalkan insting duniawi semata.



Maka, ketika wahyu tak lagi turun, ia telah diwariskan dalam bentuk Al-Qur’an. Kini kita tak perlu menunggu Jibril turun. Tak perlu menanti malaikat membawa jawaban.

Karena jawabannya… sudah ada.
Karena semua telah dirangkum.
Kini, tugas manusia bukan menunggu jawaban, tapi membacanya.
Merenungkannya. Mengamalkannya.

Ironisnya, sebagian besar manusia justru menolak memahaminya. Padahal jawabannya sudah ada di tangannya.


---

3. Seluruh Persoalan Telah Diceritakan

Kisah para nabi bukan cerita lama. Ia bukan dongeng masa lalu. Ia adalah cermin yang jernih—yang menampilkan wajah kita hari ini, dengan segala luka dan pertanyaannya.

> Bagaimana manusia pertama—Adam—jatuh ke dalam kesalahan karena bisikan iblis?
Bagaimana anaknya, Qabil, membunuh saudaranya sendiri karena dengki?
Bagaimana Nuh harus menghadapi umat yang keras kepala dan anak yang tak mau ikut bahtera?
Bagaimana Yusuf ditikam saudaranya sendiri dan tetap memaafkan?
Bagaimana Musa menantang tirani dan takut berbicara?
Bagaimana Isa menghadapi konspirasi dan pengkhianatan?
Bagaimana Muhammad ﷺ memikul seluruh beban umat di punggungnya—dengan kasih, bukan kebencian?



Setiap kisah para nabi adalah simbol dari persoalan manusia.
Dan setiap langkah mereka, adalah simbol dari solusi yang Allah ridai.

> Seluruh persoalan manusia sudah diangkat.
Seluruh solusi hidup sudah diberikan.
Langkah demi langkah. Jalan keluar. Hikmah-hikmah.



Dan semuanya telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an:

> "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal."
(QS. Yusuf: 111)



Lalu mengapa kita mencari solusi di luar itu?


---

4. Solusi Tidak Pernah Berubah

Masalah hidup akan selalu berulang. Formatnya mungkin berbeda. Tapi hakikatnya tetap sama.

Hasad, tamak, cinta dunia, pengkhianatan, kezaliman, kebodohan, kesombongan—semuanya adalah penyakit lama. Hanya berganti rupa, tapi tak pernah berubah akar.

Dan solusinya pun tak berubah:

> Iman, sabar, syukur, tawakal, kejujuran, kasih sayang, taubat.



Maka hidup ini sesungguhnya mudah, jika kita benar-benar mau mendengarkan kisah para nabi—bukan sekadar membacanya.

Karena para nabi tidak hanya mewakili masa lalu. Mereka mewakili semua musim dalam hidup manusia. Mereka adalah peta, bukan nostalgia.


---

5. Kehidupan Sudah Dibocorkan

Bayangkan ini:
Allah telah membocorkan masa depan.
Segala jebakan, tipu daya syaitan, fitnah dunia, tipu muslihat hawa nafsu—semuanya telah dijelaskan.

Allah bahkan memberi daftar jebakan hidup yang akan datang. Memberi skenario lengkap: dari fitnah Dajjal, munculnya Ya’juj Ma’juj, hingga kegelapan menjelang hari kiamat.

> Allah tidak ingin kita tersesat. Maka Allah membocorkan segalanya.



Lalu…
Mengapa manusia masih tersesat?
Mengapa manusia masih mencari arah dari suara-suara yang menyesatkan?

Karena mereka menolak peta.
Menolak petunjuk.
Lebih percaya pada bisikan syaitan daripada cahaya wahyu.


---

6. Para Nabi: Guru Kehidupan

Para Nabi bukan hanya utusan. Mereka adalah pelatih kehidupan.

Mereka tidak datang membawa teori, tapi teladan nyata. Mereka hidup, menderita, tertawa, jatuh, bangkit—untuk menjadi pelajaran.

> Mereka mengajari manusia mengenali penyakit hatinya.
Mereka menunjukkan arah keluar dari labirin dunia.
Mereka menemani jiwa manusia dari kegelapan menuju cahaya.



Nabi Muhammad ﷺ adalah guru paling sempurna. Bukan karena tak pernah salah, tapi karena setiap langkahnya dituntun oleh langit.

Dan kini, setelah wahyu berhenti turun, kita tetap punya warisan:
Al-Qur’an dan Sunnah.


---

7. Manusia Sudah Dibimbing Sejak Awal

Pernahkah kita berpikir…

Hewan pun bisa bertahan hidup. Tumbuhan pun tahu kapan berbunga dan berbuah.

Padahal mereka tak punya akal. Tak ada sekolah untuk mereka. Tapi mereka bertindak sesuai takdirnya.

Lalu bagaimana dengan manusia?

> Manusia telah dibimbing bahkan sejak dalam kandungan.
Diperkuat oleh wahyu, para nabi, ulama, orang tua, guru, dan akal.
Dilengkapi dengan hati nurani, intuisi, fitrah, dan pengalaman sejarah.



Tapi mengapa manusia masih gagal memahami persoalan hidupnya?

Karena ia sering kali menolak bimbingan.


---

8. Yang Kurang Hanya Pengamalan

Maka sesungguhnya yang kurang itu bukan pengetahuan.
Yang kurang adalah pengamalan.

Allah telah membocorkan semuanya. Para nabi telah memberi contoh. Kitab suci sudah ada di rak rumah kita. Tafsir telah tersedia dalam berbagai bahasa. Kajian tersedia gratis di internet.

Lalu apa yang membuat kita tetap gagal?

> Yang kurang hanya satu:
Kita tidak mengamalkan apa yang telah diajarkan.



Padahal Allah sudah berjanji:

> "Barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka."
(QS. Thaha: 123)




---

9. Penutup: Kembali kepada Jejak Para Nabi

Kisah para nabi bukan hanya sejarah.
Ia adalah panduan bertahan di dunia yang penuh jebakan.
Ia adalah rambu di tengah jalan hidup yang rumit.
Ia adalah obat bagi penyakit hati yang dalam.

Dan semua telah diberikan. Lengkap. Jelas. Terang.

Kita tidak butuh nabi baru. Tidak perlu kitab baru. Tidak perlu teori barat atau filsafat timur.

Kita hanya perlu membuka kembali lembaran yang telah diwariskan oleh langit.
Kembali membaca kisah-kisah yang diturunkan bukan untuk hiburan, tapi untuk keselamatan.

Dan bertanya dengan jujur pada diri sendiri:

> “Sudahkah aku memahami persoalan hidup seperti para nabi memahaminya?”
“Sudahkah aku mencari solusi seperti para nabi mencarinya—melalui wahyu, bukan ego?”




---

Satu kalimat penutup:

> Kehidupan tidak rumit. Yang membuat rumit adalah kita sendiri—karena menolak solusi yang telah diturunkan.




---

Bodoh Sejarah, Buntu Solusi Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- “Wahai Amirul Mukminin, mengapa para sahabat berbeda pendapat?” Perta...

Bodoh Sejarah, Buntu Solusi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

“Wahai Amirul Mukminin, mengapa para sahabat berbeda pendapat?”
Pertanyaan itu suatu kali diajukan kepada Umar bin Abdul Aziz. Ia tersenyum, tidak terkejut. Ia tahu, pertanyaan seperti itu muncul dari kegelisahan mereka yang ingin menyederhanakan kehidupan: seragam, lurus, tanpa dinamika.

Tapi Umar menjawab dengan penuh hikmah:

> “Saya tidak suka jika para sahabat Nabi Muhammad ﷺ tidak berselisih pendapat. Karena kalau mereka tidak berselisih, tidak akan ada keringanan bagi umat. Mereka itu para pemimpin. Jika salah satu dari mereka mengambil suatu pendapat, maka saya akan mengikutinya.”



(Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Barr dalam Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm, no. 1437)

Bagi Umar bin Abdul Aziz, perbedaan bukan ancaman. Ia adalah kekayaan. Ia adalah bintang-bintang di malam gelap. Tidak saling memadamkan, justru bersama memberi cahaya.


---

Mari bayangkan satu momen dalam sejarah: wabah melanda wilayah Syam. Umar bin Khattab, sang khalifah, telah sampai di Sargh—sebuah tempat di perbatasan. Kabar datang: wabah menjalar, menakutkan. Apa yang harus dilakukan?

Abdurrahman bin Auf angkat bicara. Ia berkata kepada Umar:

> “Aku memiliki ilmu tentang hal ini. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika kalian mendengar wabah di suatu negeri, janganlah kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di negeri itu, maka jangan keluar darinya, lari darinya.’”
(HR. al-Bukhari no. 5728, Muslim no. 2219)



Umar merenung. Kemudian memutuskan: tidak jadi memasuki Syam. Ia pulang ke Madinah.

Apakah itu kelemahan? Bukan. Itu ketundukan kepada ilmu. Kepada pengalaman Rasulullah. Kepada sejarah.


---

Kini kita menyadari, keputusan itu menjadi fondasi awal protokol karantina dalam sejarah Islam. Dalam bahasa modern, itu adalah lockdown. Dan semua itu berasal dari teladan sejarah—bukan teori baru.

Apakah kita bisa belajar jika para sahabat tidak berselisih, tidak saling memberi pandangan?

Kita tahu Abu Ubaidah bin Jarrah adalah panglima tertinggi di Syam. Ia tidak ingin meninggalkan pasukannya meskipun Umar memintanya kembali ke Madinah. Dan Umar pun tidak memaksanya. Sikap ini mengajarkan integritas dan adab dalam kepemimpinan: ketika perintah logika bertemu dengan keberanian nurani.


---

Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Sesungguhnya setiap umat memiliki orang yang paling dipercaya. Dan orang yang paling dipercaya dari umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah."
(HR. al-Bukhari no. 3744, Muslim no. 2419)



Aminu hadzihil ummah.
Abu Ubaidah adalah simbol amanah, kesetiaan, dan keteguhan. Tapi sejarah juga mencatat: ketika karakter yang dibutuhkan berubah—ketika kondisi medan perang menuntut gaya kepemimpinan yang lain—Umar mengganti panglima dari Khalid bin Walid ke Abu Ubaidah.

Dan Khalid? Tidak ada pemberontakan. Tidak ada protes. Tidak ada “drama politik”.
Ia tunduk. Ia setia. Karena ia tidak berjuang untuk Umar, tapi untuk Islam.


---

Sejarah bukan hanya catatan, ia adalah guru. Bahkan konflik besar dalam sejarah Islam pun menyimpan hikmah.

> Seandainya Sayyidina Ali, Siti Aisyah, dan Muawiyah tidak pernah berselisih, mungkinkah umat hari ini belajar bagaimana mengelola konflik internal?



> Seandainya Hasan bin Ali tidak menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, akankah kita memahami pentingnya rekonsiliasi nasional demi menjaga dakwah?



Ya. Bahkan dari luka sejarah, tumbuh pelajaran.
Bahkan dari pecah belah, bisa lahir peta kebijaksanaan.


---

Namun, hari ini kita jauh dari cara berpikir itu. Kita sibuk meratapi perbedaan tanpa memahami esensinya. Kita sibuk bertengkar, tapi lupa belajar dari masa lalu.

Kebodohan terbesar kita hari ini adalah kebodohan terhadap sejarah sendiri.

> Ketika buta sejarah, kita pun buntu dalam mencari solusi.
Padahal solusi sudah lama ada. Telah tertulis, telah tercatat, telah diteladankan.



Apakah kita tidak malu kepada generasi terdahulu?


---

Yusuf Al-Qaradawi, dalam Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Tarikh wa Turats, berkata:

> “Sejarah bukan hanya catatan masa lalu. Ia adalah gudang pengalaman manusia, tempat kita mengambil ibrah dan pelajaran. Siapa yang tidak belajar dari sejarah, akan jatuh ke lubang yang sama seperti orang-orang sebelumnya.”



Sejarah, bagi Qaradawi, adalah cermin. Ia bukan tempat bersedih, tapi tempat mengkaji realitas. Ia bukan mitos, tapi alat ukur: mengapa kita mundur? Bagaimana kita bangkit?


---

Muhammad Shalabi, sejarawan besar, berkata dalam Tarikh al-Umam al-Islamiyah:

> “Sejarah adalah cermin tempat umat bercermin. Dengan sejarah, kita tahu kapan kita bangkit, dan kapan kita jatuh—dan mengapa.”



Jatuh dan bangkit, katanya, punya sebab. Dan sebab itu dapat dibaca—jika kita mau membuka buku sejarah, bukan sekadar buku motivasi.


---

Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair dari India, menulis dengan nada getir:

> “They read history, not to reform the future, but to glorify the past.”
Mereka membaca sejarah bukan untuk membentuk masa depan, tapi hanya untuk memuliakan masa lalu.



Dan juga:

> “The past is not dead matter, it is living. The past must be understood to mold the future.”
Masa lalu bukanlah benda mati. Ia hidup. Ia harus dipahami, agar kita bisa membentuk masa depan.



Iqbal kecewa pada kaum Muslim yang sibuk dengan nostalgia, bukan perbaikan. Ia ingin sejarah dijadikan bahan bakar, bukan beban.


---

Buya Hamka, ulama dan pujangga besar Nusantara, dalam Sejarah Umat Islam menulis:

> “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu akan sejarahnya. Dan umat Islam, bila hendak bangkit, harus kembali meneliti sejarah Islam—bukan hanya sebagai dongeng, tapi sebagai pelajaran hidup.”



Dan dalam Tafsir Al-Azhar, Buya menekankan:

> “Allah menyebutkan kisah-kisah dalam Al-Qur’an agar kita tidak jatuh ke lubang yang sama. Sejarah adalah pelajaran, bukan hiburan.”




---

Lalu kita, hari ini, sedang apa?

Apakah kita menjadikan sejarah sebagai pelajaran? Atau sekadar pajangan?

Apakah kita menyerap hikmah dari sahabat, tabi’in, dan ulama? Atau sekadar mengutip nama mereka untuk membenarkan ego kita?

Apakah kita menyadari bahwa sejarah itu jantung dari kebangkitan?


---

Mari kita jujur:
Kita sering menyalahkan keadaan, menyalahkan musuh, menyalahkan takdir. Tapi jarang menyalahkan kebodohan kita sendiri atas sejarah.

> Bodoh sejarah = buntu solusi.
Paham sejarah = terbuka jalan keluar.



Umar bin Khattab tidak asal bertindak. Ia bertanya. Ia belajar. Ia merujuk pada sejarah Rasulullah. Ia tidak merasa cukup dengan jabatan.

Rasulullah sendiri, sebelum membuat keputusan penting dalam perang, meminta pendapat sahabat. Karena sejarah itu bukan monolog. Tapi dialog yang berisi nurani, kebijaksanaan, dan tanggung jawab.


---

Penutup:

Keempat tokoh besar yang disebut di atas—Yusuf Al-Qaradawi, Muhammad Shalabi, Muhammad Iqbal, dan Buya Hamka—bersepakat dalam satu simpulan:

> “Sejarah bukan sekadar memori kolektif. Sejarah adalah referensi strategis dalam memecahkan masalah umat.”



Dan jika kita masih gagal hari ini, bisa jadi karena kita menjauh dari kitab sejarah—yang seharusnya menjadi petunjuk.

Maka, mari kita kembali.
Bukan untuk memuja masa lalu. Tapi agar kita bisa menyusun masa depan.

Karena yang tidak belajar dari sejarah, pasti akan menjadi bagian dari kegagalan yang terus diulang—tanpa akhir.

Ceritakan Kegagalan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Apakah para nabi selalu berbicara tentang kemenangan? Tidak. Dalam Al-Qur...

Ceritakan Kegagalan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Apakah para nabi selalu berbicara tentang kemenangan?

Tidak. Dalam Al-Qur'an, kita justru menemukan kisah-kisah kegagalan yang sangat manusiawi. Bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan—bahwa bahkan para nabi pun diuji oleh Allah, bukan karena mereka lemah, tapi karena mereka sedang dibentuk.

Nabi Adam tergoda

Lihatlah Nabi Adam. Ia tergoda.

> "Lalu setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: 'Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kekuasaan yang tidak akan binasa?' Maka keduanya pun memakannya, lalu tampaklah aurat keduanya. Dan keduanya mulai menutupinya dengan daun-daun surga. Adam pun telah durhaka kepada Tuhannya, maka sesatlah ia."
(QS. Thaha: 120–121)



Ia bukan sekadar tergoda karena lemah, tapi karena ada keinginan akan keabadian dan kekuasaan—dua hal yang paling sering menjerat manusia sepanjang zaman.

Nabi Sulaiman terpedaya

Demikian pula Nabi Sulaiman. Di satu petang, ia terpesona oleh kuda-kuda perang—simbol kekuatan dan keindahan dunia. Hingga tanpa sadar, ia lalai dari mengingat Allah.

> "Ketika pada suatu petang dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang ketika berhenti dan cepat ketika berlari, ia berkata: 'Sesungguhnya aku menyukai harta (kuda-kuda) yang baik ini karena (mengingat) Tuhanku, sampai kuda-kuda itu hilang dari pandangan.' (Maka ia berkata): 'Bawa kembali kuda-kuda itu kepadaku.' Lalu ia mulai mengusap kaki dan leher mereka."
(QS. Shad: 31–33)



Nabi Sulaiman menyadari bahwa pesona dunia—dalam bentuk kekuatan dan keindahan—telah melalaikannya. Maka ia menebusnya dengan sikap simbolik: mengusap kuda-kuda itu sebagai tanda penyesalan dan pelepasan keterikatan.

> "Manusia tergoda bukan karena ia hina, tapi karena ia lemah di titik yang paling ia cintai."



Namun yang paling indah dari kisah ini: mereka kembali kepada Allah. Mereka bertobat. Dan dari merekalah kita belajar bahwa taubat bukanlah aib, tapi jalan kemuliaan.


---

Nabi-Nabi yang Gagal Menyelamatkan Umatnya

Lihatlah Nabi Nuh. Ia menyeru umatnya siang dan malam. Namun...

> "Nuh berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, tetapi seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).'"
(QS. Nuh: 5–6)



Secara duniawi, itu tampak seperti kegagalan. Tapi dalam pandangan Allah, ia tetap utusan yang agung.

Begitu pula Nabi Yunus. Ia pernah merasa putus asa. Ia meninggalkan umatnya dalam kemarahan, menyangka Allah tak akan mengujinya lebih jauh.

> "Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menguji/menyulitkannya)."
(QS. Al-Anbiya: 87)



Dan Nabi Musa—ketika ia mengajak Bani Israil masuk ke Tanah Suci. Apa kata mereka?

> "Wahai kaumku! Masuklah ke Tanah Suci (Palestina) yang telah ditetapkan Allah untukmu dan janganlah kamu berbalik ke belakang, niscaya kamu akan menjadi orang-orang yang rugi."
(QS. Al-Ma’idah: 21)



Namun mereka menjawab:

> "Wahai Musa! Sesungguhnya dalamnya ada kaum yang sangat kuat. Sesungguhnya kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar darinya, pasti kami akan masuk."
(QS. Al-Ma’idah: 22)



Akibat penolakan itu, mereka dihukum mengembara selama 40 tahun di padang pasir. Apakah ini kegagalan? Mungkin dalam pandangan manusia. Tapi dalam rencana Allah, ini adalah bentuk tarbiyah—pendidikan rohani.


---

Kegagalan adalah Bagian dari Takdir

Mengapa Allah kisahkan kegagalan para nabi?

Agar kita tidak menyembah keberhasilan. Agar kita tak hancur hanya karena gagal. Karena sukses dan gagal adalah dua sisi dari mata uang kehidupan.

Seperti yang dikatakan Muhammad Iqbal, filsuf Muslim dari India:

> "Kegagalan bukanlah kehancuran—selama kita tidak menyerah. Mencoba kembali adalah kunci kemenangan yang gemilang."



> "Tujuan akhir dari diri manusia bukan sekadar melihat sesuatu, melainkan menjadi sesuatu."



> "Bangkitlah dari kepentingan sempit dan ambisi pribadi. Melangkahlah dari materi menuju ruh. Materi itu keragaman, ruh itu cahaya, kehidupan, dan kesatuan."



Iqbal mengajarkan bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya, tapi momen transformasi. Ruh manusia tidak diciptakan untuk menyerah.


---

Buya Hamka: Kegagalan adalah Guru Terbaik

Buya Hamka, ulama dan sastrawan besar Indonesia, menyatakan:

> "Orang yang gagal bukan orang yang jatuh, tapi yang tidak bangkit kembali setelah jatuh."



> "Kegagalan bukanlah kehinaan. Justru darinya kita belajar berdiri lebih tegak."



> "Berani hidup berarti berani menghadapi kegagalan. Karena hidup bukan untuk menang terus, tapi untuk tetap tegar meski kalah."



> “Bila hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Bila bekerja sekadar bekerja, kera pun bekerja. Maka hidup dan bekerja harus punya tujuan.”




---

Dua Umar: Takdir Itu Ketenangan

Bagaimana para khalifah menyikapi takdir?

Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah ﷺ dan khalifah kedua, berkata:

> “Aku tidak peduli dalam keadaan apa aku berada—apakah dalam kesenangan atau kesusahan. Sebab aku tidak tahu mana di antara keduanya yang lebih baik bagiku.”
(HR. Ibnu Sa’ad)



Umar bin Abdul Aziz, khalifah besar Bani Umayyah, berkata:

> “Barangsiapa merasa cukup dengan takdir dan ridha terhadap keputusan Allah, maka ketenangan akan tinggal dalam hatinya.”




---

Maka Ceritakanlah Kegagalanmu...

Walaupun dirimu sedang jatuh, ceritakanlah. Agar orang lain tidak jatuh pada lubang yang sama.

Cerita kegagalan bisa menjadi:

Samudera ilmu bagi yang sedang mencari arah,

Tiang pancang untuk membangun ulang kehidupan,

Penyejuk bagi jiwa yang patah,

Jalan pulang bagi yang tersesat.


Bukan untuk melemahkan, tapi untuk menunjukkan:
Di balik kegagalan, selalu ada keajaiban dan samudera hikmah.

Kita semua adalah bagian dari kisah besar Allah.
Dan setiap kegagalan yang kita alami…
bukan tanpa arti.

Tragedi Sejarah, Menghancurkan Umat Islam? Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Malam itu, langit Uhud memerah. Pedang-pedang berkilat...

Tragedi Sejarah, Menghancurkan Umat Islam?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Malam itu, langit Uhud memerah. Pedang-pedang berkilat di bawah matahari yang belum jatuh sempurna. Darah mengalir bukan hanya dari tubuh, tapi juga dari hati. Rasulullah sendiri terluka. Sahabat-sahabat terbaik gugur satu per satu. Tapi benarkah kekalahan di Uhud adalah bencana? Atau justru jalan menuju kebangkitan?

Sayyid Qutb, dalam Fi Zhilalil Qur'an, mengajak kita merenung lebih dalam. Ia menolak menyebut Uhud sebagai tragedi kehancuran. Bagi Qutb, Uhud adalah madrasah—tempat Allah menempah ruh para pejuang.

> "Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia..." (QS. Ali Imran: 140)



Kemenangan dan kekalahan, menurut Sayyid Qutb, adalah cara Allah menyaring keimanan. Agar tampak siapa yang benar-benar jujur dalam janji jihad, dan siapa yang goyah saat musibah datang. Bukankah sebagian pemanah yang turun dari bukit tergoda oleh dunia?

> "Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada umat yang belum selesai proses tarbiyahnya."



Begitulah. Umat Islam diajarkan untuk tidak sekadar bersemangat, tetapi harus lurus niat, disiplin, dan siap diuji.

Hasan al-Banna pun bersuara dalam nada yang seirama. Baginya, Uhud bukan sekadar sejarah kekalahan, melainkan refleksi ruhani. Ia berkata:

> "Perhatikanlah peristiwa Uhud! Mereka tidak kalah karena jumlah, tetapi karena pelanggaran disiplin yang kecil tetapi fatal."



Kekalahan, menurutnya, bukan akhir. Itu awal dari evaluasi, cermin untuk melihat ke dalam: sejauh mana niat kita lurus? Apakah ukhuwah terjaga? Apakah pemimpin ditaati?

> "Rasulullah sendiri terluka dalam Uhud, namun beliau tetap menjadi pusat keteguhan. Maka, pemimpin dakwah harus menjadi sumber ketenangan di tengah badai."



Sejarah Islam tak kekurangan tragedi. Tapi dari sana, bangkit tokoh-tokoh besar. Lihatlah Abdullah bin Zubair.

Ia bertahan di Mekkah, kota suci yang pada akhirnya dibombardir dengan manjanik oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Batu-batu besar menghantam Ka'bah, tempat yang selama ini menjadi arah sujud. Mekkah pun luka. Bangunan Ka'bah retak.

Namun tahukah kamu? Dari retakan itu, Rasulullah seakan berbicara kembali.

Beliau pernah berkata kepada Aisyah:

> "Wahai Aisyah, seandainya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyah, niscaya aku akan menghancurkan Ka'bah dan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim."



Maka saat Ka'bah rusak akibat serangan, Abdullah bin Zubair membangunnya seperti yang diinginkan Rasulullah: dengan dua pintu, dan mengembalikan bagian Hijr Ismail ke dalam struktur. Tragedi melahirkan penyempurnaan.

Tapi sejarah belum selesai.

Abdullah dikhianati oleh salah satu jenderalnya, yang kemudian pergi ke Irak. Ironisnya, dari pengkhianatan itu lahirlah babak keadilan: ia menumpas para pembunuh Husein bin Ali, cucu Rasulullah, yang selama ini lolos dari hukuman. Tidak ada yang menyangka: pengkhianatan justru membuka jalan bagi qisas yang selama ini tertunda.

Sejarah Islam seperti itu. Penuh luka, tapi dari luka-luka itu tumbuh pohon keadilan.

Mari melompat lebih jauh.

Bangsa Tartar. Nama yang membuat jantung berdegup di abad pertengahan. Mereka membumihanguskan Baghdad, menenggelamkan buku-buku ulama dalam tinta yang menghitamkan Sungai Tigris. Peradaban runtuh. Kekhalifahan berakhir.

Tapi apakah ini akhir?

Yusuf al-Qaradawi menjawab tidak.

> "Bangsa Tartar yang selalu menang... akhirnya masuk Islam atas kehendak dan pilihan mereka sendiri. Mereka menjadi bangsa yang menang masuk agama bangsa yang kalah."



Betapa dahsyatnya dakwah Islam. Tanpa pedang. Tanpa paksaan. Tapi menembus hati bahkan bangsa yang paling brutal. Setelah itu, mereka mendirikan kerajaan-kerajaan Islam seperti Timurid, dan menjadi fondasi bagi kebangkitan Utsmani.

Dan lihatlah Utsman bin Ertugrul. Di tengah reruntuhan Abbasiyah, ia memulai dari suku kecil, melawan Tartar. Dari sana, berdirilah kekhalifahan Turki Utsmani yang bertahan lebih dari enam abad.

Tak cukup? Mari kita tengok Salib.

Perang Salib memporak-porandakan Syam dan Palestina. Tapi siapa yang muncul?

Shalahuddin al-Ayyubi. Seorang pemimpin yang bukan hanya menang, tetapi juga mengajarkan kepada Eropa arti akhlak mulia. Ia menang dengan cinta, bukan hanya pedang.

Dari tragedi, lahir tokoh. Dari runtuhan, tumbuh kekuatan.

Lalu, adakah semua tragedi itu menghancurkan umat Islam?

Jika kita menilai hanya dari darah dan reruntuhan, jawabannya bisa jadi iya. Tapi jika kita melihat dari kelahiran ruh baru, jawabannya adalah: tidak. Bahkan sebaliknya.

Tragedi adalah panggilan. Panggilan untuk bangkit. Untuk membersihkan barisan. Untuk menyaring niat. Untuk memperbaiki jalan dakwah.

> "Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberi rezeki." (QS. Ali Imran: 169)



Sejarah bukan kuburan. Ia adalah nadi. Tragedi bukan akhir. Ia adalah permulaan. Seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—menyakitkan di awal, tapi membawa kehidupan.

Uhud bukan akhir. Karbala bukan penutup. Baghdad bukan kehancuran total. Setiap tragedi adalah batu loncatan. Tinggal kita, apakah hanya menangisi masa lalu, atau menumbuhkan benih harapan dari tanah yang basah oleh darah syuhada?

Di sanalah letak kebangkitan. Di antara reruntuhan dan keheningan.

Wallahu a'lam.

Bertindak dengan Efektivitas Tinggi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada saatnya kemenangan besar justru muncul dari tindakan kecil. B...

Bertindak dengan Efektivitas Tinggi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ada saatnya kemenangan besar justru muncul dari tindakan kecil. Bukan dari kekuatan yang meledak-ledak, tapi dari langkah yang tepat sasaran. Inilah seni strategi ilahiah: memukul di tempat yang benar, meski dengan tenaga terbatas.

Allah menunjukkan kepada manusia, dari zaman Nabi Nuh hingga Khalid bin Walid, bahwa kemenangan tidak diukur dari seberapa banyak kita bergerak, tapi dari seberapa jitu kita melangkah.


---

Kapal di Tengah Banjir Besar

Mari kita mulai dari kisah Nuh 'alaihis salam. Saat dunia dilanda banjir besar, perintah Allah kepada beliau tidaklah rumit:

> "Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan wahyu dari Kami..."
(QS. Hud: 37)



Hanya sebuah kapal. Satu benda, satu alat. Tapi ia menjadi garis pemisah antara keselamatan dan kebinasaan. Allah tidak meminta Nabi Nuh menahan banjir, atau memindahkan gunung, hanya: bangunlah kapal. Titik.

Efektivitas tinggi. Minimum upaya, maksimum hasil. Itulah pola kemenangan para nabi.


---

Sasaran Jelas dalam Perang

Dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan tentang strategi yang sangat spesifik:

> "Pukullah bagian leher mereka dan potonglah tiap-tiap ujung jari mereka."
(QS. Al-Anfal: 12)



Leher: pusat kehidupan. Jari: pusat kontrol dan mobilisasi kekuatan. Bukan tubuh secara keseluruhan yang disasar, tapi titik-titik vital. Ini bukan sekadar perintah perang, tapi pelajaran strategi: pukul titik pusat, bukan seluruh permukaan.


---

 Parit yang Menghentikan Ribuan Pasukan

Dalam Perang Ahzab, Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak membuat benteng besar atau menyiapkan pasukan tambahan. Cukup menggali parit—sebuah strategi yang belum dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya.

Salman Al-Farisi yang mengusulkan ide ini, dan Rasulullah ﷺ langsung menerimanya. Parit itulah yang menjadi tameng tak terlihat:

> "Ketika pasukan Quraisy datang dan melihat parit itu, mereka terkejut dan berkata: 'Ini adalah tipu daya yang tidak pernah dikenal bangsa Arab sebelumnya.'"
(Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir)



> "Kuda-kuda mereka tidak sanggup melompatinya. Mereka kebingungan."
(Sirah Ibnu Hisyam)



Efeknya sangat besar: pasukan koalisi yang kuat dan bersatu menjadi stagnan, frustasi, dan akhirnya bubar karena kelelahan dan terpaan badai. Parit itu bukan hanya penghalang fisik, tapi juga pemutus psikologis.

Allah pun berfirman:

> "Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika datang pasukan-pasukan (Ahzab) kepadamu, lalu Kami kirim kepada mereka angin dan pasukan-pasukan yang tidak terlihat olehmu..."
(QS. Al-Ahzab: 9)




---

Strategi Ilusi di Perang Mu’tah

Perang Mu’tah adalah saksi bagaimana 3.000 pasukan Muslim menghadapi lebih dari 100.000 pasukan Romawi. Bukan kemenangan total secara fisik, tapi kemenangan strategi dan kelangsungan dakwah.

Setelah tiga panglima utama syahid, panji dipegang oleh Khalid bin Walid. Beliau tidak menerjang membabi buta, tapi merancang strategi cerdik:

1. Reorganisasi formasi: barisan depan ditukar dengan belakang, sayap kanan menjadi kiri, dan sebaliknya.


2. Debu ditabur: pasukan berjalan membentuk debu besar agar musuh mengira bala bantuan dari Madinah telah datang.


3. Mundur teratur: bukan lari panik, tapi penarikan pasukan yang sistematis.



Ibnu Katsir menulis:

> "Allah menyelamatkan pasukan Muslim melalui tangan Khalid bin al-Walid."
(Al-Bidayah wan-Nihayah)



Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan:

> "Khalid menyusun siasat mundur taktis yang membuat musuh merasa dikepung kekuatan baru. Padahal itu hanya pergantian posisi dan formasi."



Ilusi menjadi strategi, strategi menjadi penyelamat.


---
 Menundukkan Gajah, Bukan Menumbangkannya

Di medan perang melawan Persia, gajah-gajah besar menjadi senjata intimidasi. Tapi pasukan Muslim tak menanggapi dengan kepanikan. Mereka tidak sibuk menumbangkan tubuh besar itu satu-satu. Mereka fokus ke titik lemahnya: mata.

Begitu gajah buta, ia kehilangan arah. Dan saat gajah panik, seluruh formasi musuh menjadi kacau.


---

Efektivitas Itu Tajam, Bukan Ramai

Semua kisah ini menyiratkan satu pesan: jangan remehkan langkah kecil yang terarah. Dalam strategi Allah, yang kecil bisa mengalahkan yang besar, asal tepat.

Efektivitas bukan tentang kuantitas, tapi tentang presisi. Bukan tentang jumlah pasukan, tapi ketepatan langkah. Bukan tentang banyaknya senjata, tapi tentang arah pukulan.

Rasulullah ﷺ tidak pernah berpikir linear. Beliau tidak sibuk mengumpulkan jumlah terbanyak, tapi menata kekuatan terbaik. Tidak asal bergerak, tapi membaca celah dan mengatur nafas.


---

Kemenangan adalah Ilmu dan Keikhlasan

Lihatlah: Nabi Nuh dengan kapal. Rasulullah ﷺ dengan parit. Khalid bin Walid dengan formasi. Pasukan Muslim dengan panah ke mata gajah. Semua bukan tentang kekuatan raksasa, tapi kejelian menangkap titik penting.

Allah mengajarkan kita bahwa kemenangan bukan hasil dari ledakan energi, tapi dari ketundukan pada hikmah dan ilmu-Nya.

> "Sesungguhnya kemenangan itu hanya datang dari sisi Allah."
(QS. Al-Anfal: 10)



Jadi, ketika engkau merasa kecil, tidak berdaya, dan tak punya banyak sumber daya, jangan takut. Cukup temukan titik lemah musuhmu. Lalu pukul di sana—dengan iman, dengan ilmu, dan dengan doa.

Itulah kemenangan sejati: sedikit bergerak, besar hasilnya.

Pertolongan Allah Itu Tak Terasa Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Kadang kita membayangkan pertolongan Allah itu datang dalam bent...

Pertolongan Allah Itu Tak Terasa
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Kadang kita membayangkan pertolongan Allah itu datang dalam bentuk luar biasa: mukjizat langit, ledakan kekuatan, atau hancurnya musuh dalam sekejap. Tapi sejarah, dan lebih dalam lagi: wahyu, justru mengajarkan sebaliknya. Bahwa pertolongan Allah sering kali tidak terasa. Ia hadir dengan cara yang lembut, tenang, kadang tampak biasa. Tapi di situlah kemenangannya tersembunyi.

> "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)."
(QS. Ath-Thalaq: 2–3)



Takdir kemenangan pertama kaum Muslimin di Perang Badar memperlihatkan itu dengan sangat jelas. Langit tidak menurunkan petir api untuk membakar musuh. Tidak juga menurunkan gempa untuk merobohkan kemah Quraisy. Tapi yang turun... adalah hujan. Hujan malam sebelum perang. Hujan biasa, tapi bermakna luar biasa.

Hujan itu membersihkan tubuh para pejuang yang kelelahan, menyegarkan fisik yang akan bertempur. Lebih dari itu, ia menjadi air penyucian batin. Menghilangkan was-was setan. Membasuh keraguan. Membangunkan semangat.

> “Dan Allah menurunkan hujan kepadamu dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu, dan menghilangkan gangguan syaitan dari kamu, dan untuk menguatkan hatimu serta meneguhkan dengannya telapak kaki (mu).”
(QS. Al-Anfal: 11)



Namun, perhatikan lebih dalam: hujan itu tidak turun merata. Di sisi kaum Muslimin, ia turun lembut. Tanah menjadi padat, nyaman untuk pijakan. Di sisi musyrikin Quraisy, hujan lebih deras. Tanah becek dan licin. Bukankah ini cara langit mengintervensi geospasial dengan penuh kelembutan?

Lihat pula strategi posisi. Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat telah lebih dulu tiba di sumur Badar. Mereka menguasai sumber air. Rasulullah menempatkan markas di dataran yang lebih tinggi. Sementara Quraisy datang dari arah berpasir yang rendah. Tanah mereka becek oleh hujan. Gerakan mereka berat.

Semua tampak biasa. Tapi bukankah di balik semua itu ada tangan langit yang mengatur?

Bahkan pandangan pun dijaga oleh Allah. Allah memperlihatkan jumlah musuh sebagai sedikit di mata kaum Muslimin, agar mereka tidak gentar. Allah juga membuat pasukan musuh melihat kaum Muslimin seakan banyak dan kuat. Bahkan muncul pasukan misterius berkuda berbaju putih dari sisi langit. Malaikat?

> “Ingatlah ketika Allah memperlihatkan mereka (musuh-musuhmu) kepadamu dalam mimpimu (sebagai) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepadamu (dalam jumlah) banyak, niscaya kamu akan menjadi gentar dan kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu. Tetapi Allah telah menyelamatkan kamu.”
(QS. Al-Anfal: 43)



> “Dan (ingatlah) ketika Allah menampakkan mereka kepadamu ketika kamu berjumpa mereka (di medan perang), sebagai jumlah yang sedikit di matamu, dan kamu pun dijadikan sedikit dalam pandangan mereka, agar Allah melaksanakan suatu urusan yang sudah ditetapkan.”
(QS. Al-Anfal: 44)



Pertolongan itu pun turun lewat kantuk.

> “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu ketenteraman dari-Nya...”
(QS. Al-Anfal: 11)



Bayangkan, menjelang perang hidup dan mati, Allah justru membuat mereka tertidur sejenak. Tapi bukan tidur karena lelah. Ini adalah ‘na’as’—kantuk ilahiah. Penyegaran batin. Penyeimbang emosi. Penenang jiwa. Pertolongan langit yang tak terlihat, tapi terasa di dalam hati.


---

Kita pun menyaksikan pola yang sama dalam sejarah tanah air.

Saat Jenderal Sudirman memimpin gerilya dan dikepung Belanda, hujan deras turun. Petir menggelegar. Tentara Belanda kehilangan arah. Sudirman lolos. Atau saat markas Letkol Soeharto hendak disergap musuh, tiba-tiba listrik padam. Gelap total. Belanda kehilangan sasaran. Mereka membatalkan penyergapan.

Itu bukan kebetulan. Itu pola langit yang sama: pertolongan Allah itu tak terasa.


---

Dalam Perang Uhud, situasi nyaris berbalik tragis. Rasulullah صلى الله عليه وسلم terluka. Gigi beliau patah. Darah mengalir dari wajahnya. Musuh menyerang dari belakang setelah para pemanah lalai.

Namun, Allah menyelamatkan Rasulullah melalui sebuah celah kecil di kaki Gunung Uhud. Dikenal sebagai “Syib Rasul”—Celah Rasulullah. Di situ beliau terjatuh dan para sahabat membentuk perisai hidup: Abu Dujanah, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan lainnya.

> "Rasulullah berlindung di celah bukit, sementara para sahabat menjaga beliau dari semua sisi."



Gunung itu bukan sekadar batu. Ia menjadi tameng. Rasulullah bersabda:

> “Uhud adalah gunung yang mencintai kami, dan kami mencintainya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)



Ketika tidak ada lagi benteng, Allah jadikan celah kecil di gunung sebagai istana perlindungan. Ketika tidak ada lagi pasukan, Allah jadikan tubuh sahabat sebagai perisai hidup. Ketika dunia memusuhi, langit menutupi.


---

Itulah rahasia pertolongan Allah: lembut tapi menguatkan. Diam tapi menentukan. Tak terasa, tapi menyelamatkan.

Allah tidak butuh teriakan. Ia tidak butuh demonstrasi kekuatan. Cukup hujan. Cukup gelap. Cukup kantuk. Cukup celah sempit di batu. Dan kemenangan pun datang.

Jika hari ini engkau sedang berjuang, dan merasa sendiri... Jika engkau tak melihat keajaiban besar... Jika engkau hanya melihat hujan, rasa lelah, gelap, dan sepi...

Jangan takut. Mungkin itulah pertolongan Allah sedang bekerja. Pelan-pelan. Diam-diam. Tanpa terasa. Tapi nyata.

> "Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

Takdir Umat Islam Menurut Umat Terdahulu: Pembebas Timur dan Barat Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Pernahkah kita merenung sejena...

Takdir Umat Islam Menurut Umat Terdahulu: Pembebas Timur dan Barat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Pernahkah kita merenung sejenak, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad ﷼ lahir ke dunia, kabar tentang beliau dan umatnya telah disebut-sebut oleh para nabi terdahulu? Bahwa umat ini, umat Islam, adalah umat pilihan—pembebas dari gelapnya zaman, penakluk kekuatan batil, dan pelita dari Timur hingga ke Barat?

Bayangkan, seorang nabi besar seperti Musa tercengang. Bukan karena mukjizat laut terbelah atau tongkat yang berubah menjadi ular. Tapi karena satu hal yang menggetarkan jiwa: umat akhir zaman, yang amalnya tampak lebih ringan, justru diberi keutamaan luar biasa oleh Allah.

Ibnu al-Jauzi, dalam mahakaryanya al-Tabsirah (Juz 1), menuliskan sebuah percakapan penuh kekaguman:

> "Ya Tuhanku, aku melihat dalam catatan umat akhir zaman, mereka yang paling dahulu masuk surga meskipun amal mereka lebih sedikit. Mereka hafal kitab suci di dada-dada mereka, dan mereka melantunkannya di siang dan malam. Jadikanlah mereka umatku."



Lalu Allah menjawab:

> "Itu adalah umat Ahmad."



Betapa harunya hati seorang Nabi ketika menyaksikan keagungan umat yang akan datang setelahnya.

Dalam bagian lain kitab yang sama, Ibnu al-Jauzi meriwayatkan:

> "Aku mendapati dalam kitab Taurat, akan datang satu umat yang mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, dan berjihad di jalan Allah. Ya Allah, jadikanlah mereka umatku."



Lagi-lagi, jawabannya sama:

> "Mereka adalah umat Ahmad."



Ini bukan sekadar pujian. Ini adalah pernyataan langit. Sebuah isyarat bahwa umat Nabi Muhammad ﷼ bukan hanya besar dalam jumlah, tapi juga kuat dalam jiwa. Mampu mengalahkan musuh terbesar akhir zaman: Dajjal. Sementara nabi-nabi sebelumnya hanya mampu memperingatkan tentang bahayanya.

Lalu, apakah kekuatan ini murni berasal dari senjata dan jumlah? Tidak. Ia datang dari cahaya iman, kekuatan ibadah, dan keberanian spiritual yang tak tertandingi.


---

Mari menelusuri waktu. Sekitar dua abad sebelum kelahiran Rasulullah ﷼, seorang penguasa Syam bernama Nadhr bin Rabi‘ah mengalami sebuah mimpi. Mimpi yang begitu terang dan mengusik batinnya. Ia melihat cahaya besar muncul dari Makkah, menyinari seluruh Jazirah Arab hingga ke negeri Syam. Di atas Ka'bah, berdiri seorang laki-laki yang menyeru manusia untuk hanya menyembah Allah.

Terkejut dan penasaran, Nadhr mengumpulkan rahib dan ahli tafsir mimpi:

> "Aku bermimpi ada seseorang dari Makkah yang kelak akan mengguncang dunia ini. Apakah ini kabar tentang seorang nabi yang akan datang?"



Seorang rahib dari keturunan Nabi Isa menjawab tenang:

> "Ya, ini adalah cahaya kenabian terakhir. Ia akan lahir di tengah padang pasir, tetapi akan menyinari Syam dan seluruh dunia."



Lalu Nadhr menulis mimpinya, menyimpannya sebagai warisan, dan berpesan kepada keturunannya:

> "Jika mimpi ini benar, maka anak keturunanku kelak harus menjadi orang pertama yang beriman kepada nabi akhir zaman."



Tidakkah ini cukup menjadi saksi bahwa kelahiran Rasulullah ﷼ adalah janji lama yang ditunggu peradaban?


---

Kisah lain datang dari tanah suci. Dari seorang tua yang mulia: Abdul Muthalib. Suatu malam ia tertidur di al-Hijr, bagian Ka'bah yang penuh berkah. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya keluar dari tulang rusuknya. Cahaya itu menjulang ke langit, menembus gurun dan gunung, menyinari Timur dan Barat.

Dalam mimpi itu, terdengar suara berkata:

> "Dari keturunanmu akan lahir seorang pemimpin yang akan mengguncang zaman. Ia membawa kebenaran, dan namanya akan disebut di langit dan bumi."



Ketika ia bangun, tubuhnya menggigil. Ia segera mencari para rahib dari Yaman dan Syam. Salah satu dari mereka berkata:

> "Jika mimpimu benar, maka salah satu keturunanmu akan menjadi Nabi umat akhir zaman."



Sejak saat itu, Abdul Muthalib menjaga dan mencintai cucunya, Muhammad ﷼, dengan sepenuh hati. Karena ia tahu, cahaya yang dilihatnya telah mengambil wujud.


---

Buya Hamka, dalam Sejarah Umat Islam, menegaskan bahwa umat ini tidak pernah benar-benar hancur. Hanya jatuh, lalu bangkit kembali. Seperti ombak yang surut untuk kembali menggulung lebih besar.

Perang Salib yang mengerikan? Tartar yang membakar Baghdad? Semua akhirnya dikalahkan oleh umat Islam. Bahkan dari kehancuran, lahir pahlawan. Salahuddin al-Ayyubi, Baybars, Sultan Murad.

Konstantinopel yang dahulu benteng tak tertembus, akhirnya runtuh di tangan Muhammad al-Fatih.

Penjajahan Eropa yang menyayat tanah Muslim? Juga akhirnya tumbang. Umat ini memang diuji. Tapi tak pernah padam. Seperti bara yang tak mati. Ia hanya menunggu waktu untuk menyala kembali.


---

Namun, pertanyaan penting mengemuka: Mengapa masih ada rasa rendah diri di hadapan bangsa lain?

Padahal sebelum kita hadir, umat-umat terdahulu sudah mengakui keagungan umat ini.

> "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk (kebaikan) manusia, karena kalian menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110)



Umat ini bukan dipilih karena bangsanya. Bukan karena leluhurnya. Tapi karena amal dan peran: menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman dengan sepenuh keyakinan.

Inilah amanah besar. Inilah syahadah umat.


---

Kini, kita hidup di zaman yang penuh keraguan. Di mana kebanggaan sering kalah oleh kekaguman pada yang asing. Di mana banyak dari kita lupa siapa kita.

Padahal, setiap Nabi telah menyebut-nyebut kita.

Padahal, dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur—ada deskripsi tentang umat Muhammad ﷼: kuat dalam iman, teguh dalam amal, dan luas dalam pengaruh.

Tidakkah ini cukup untuk membuat kita bangga tanpa menjadi sombong? Kuat tanpa menjadi congkak?

Umat ini adalah lilin di tengah kegelapan. Cahaya di ujung malam. Umat yang disiapkan bukan hanya untuk satu tempat, tapi untuk dunia. Timur dan Barat.

Sebagaimana doa Abdul Muthalib, Sebagaimana mimpi Nadhr bin Rabi‘ah, Sebagaimana harapan Nabi Musa,

Kita adalah bagian dari janji besar itu.

Kini saatnya kita bukan hanya membaca kisah ini dengan mata. Tapi juga dengan jiwa.

Saatnya umat ini kembali mengambil peran.

Sebagai pelita. Sebagai pemimpin. Sebagai rahmat bagi semesta alam.

Pergesekan Internal, Tumbuhkan Ukhuwah dan Khazanah Peradaban   Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah bukanlah catatan kering yang ...

Pergesekan Internal, Tumbuhkan Ukhuwah dan Khazanah Peradaban 

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sejarah bukanlah catatan kering yang beku di rak-rak perpustakaan. Ia adalah cermin panjang tempat umat manusia mematut diri. Di balik riwayat kejayaan dan kehancuran, selalu ada denyut emosi, tarikan cinta, luka-luka kecil—dan seringkali, pergesekan.

Tapi dari pergesekan itu pula, lahir kematangan.

Bahkan para tokoh yang paling suci, manusia-manusia pilihan, tidak lepas dari gesekan—bukan karena lemahnya akhlak, tetapi karena kekayaan rasa dan tugas besar yang mereka emban. Di sanalah ruh ukhuwah diuji dan dimurnikan.

1. Dari Kecemburuan, Tumbuh Peradaban

Siti Hajar dan Siti Sarah—dua perempuan mulia dalam rumah tangga Nabi Ibrahim—pernah terlibat kecemburuan. Kisah ini bukan untuk mencela, tetapi menunjukkan bahwa bahkan para istri nabi pun manusia biasa.

Apa hasil dari perasaan yang rapuh ini?

Lihatlah: Siti Hajar akhirnya harus tinggal di sebuah lembah tandus bersama putranya, Ismail. Di sana, ia berlari-lari di antara dua bukit. Lalu Zamzam memancar, dan peradaban Mekah pun tumbuh. Semua bermula dari luka kecil, yang disirami iman dan kesabaran.

> "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di sebuah lembah yang tidak memiliki tanaman, di dekat rumah-Mu yang dihormati..." (QS. Ibrahim: 37)



2. Musa dan Harun: Teguran Sangat Manusiawi

Ketika Musa kembali dari munajatnya di gunung, ia terperanjat. Kaumnya menyembah patung anak sapi. Marah, ia menarik janggut saudaranya, Harun.

Namun Harun tidak membalas keras dengan keras. Ia menjawab lembut:

> "Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku... Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata: 'Engkau telah memecah belah Bani Israil..." (QS. Thaha: 94)



Apakah ini pertikaian? Bukan. Ini adalah ruang klarifikasi, tempat ukhuwah justru dipertegas oleh kejujuran dan saling menahan diri.

3. Yusuf dan Saudara-saudaranya: Luka yang Disembuhkan oleh Takdir

Saudara-saudara Yusuf pernah melemparkannya ke dalam sumur karena iri. Konflik keluarga nabi. Lagi-lagi, ini bukan cela. Ini adalah cara Allah mengajar umat bahwa pengkhianatan bisa menjadi awal keagungan jika disikapi dengan iman.

Apa akhir dari kisah ini? Yusuf berdiri sebagai penguasa Mesir. Saudara-saudaranya bersimpuh, bukan karena kalah, tapi karena mereka akhirnya memahami rencana Allah yang agung.

4. Sahabat dan Rasulullah: Beda Pendapat, Bukan Pecah

Dalam Perang Badar dan Hunain, para sahabat berselisih soal ghanimah (harta rampasan). Ketegangan muncul. Tapi Allah langsung turun tangan lewat wahyu. Dan Rasulullah ﷺ membimbing mereka dengan kelembutan.

Bahkan dalam Perang Hunain, kaum Anshar sempat merasa tersisih ketika Rasul membagikan harta kepada para mualaf.

Rasul pun bersabda:

> “Seandainya manusia menempuh satu lembah dan kaum Anshar menempuh lembah lain, maka aku akan menempuh lembah kaum Anshar...” (HR. Bukhari dan Muslim)



Kata-kata itu bukan basa-basi. Ia adalah pernyataan cinta, yang meredakan perbedaan dan menyiram ukhuwah yang sempat mengering.

5. Hudaibiyah: Musyawarah dan Keikhlasan

Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu titik penting dalam sejarah umat Islam. Tapi juga salah satu titik paling emosional.

Umar bin Khattab marah. Ia bertanya kepada Abu Bakar:

> “Bukankah dia Rasulullah?”



> “Benar.”



> “Bukankah kita di atas kebenaran?”



> “Benar.”



> “Mengapa kita harus menerima kerendahan ini?”



Abu Bakar menjawab dengan tegas:

> “Sesungguhnya dia adalah Rasulullah. Dia tidak akan menyalahi perintah Rabb-nya. Maka tetaplah engkau berada di sisinya!”



Ali bin Abi Thalib, saat diminta menghapus gelar "Rasulullah" dalam naskah perjanjian, menjawab:

> “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya.”



Namun Nabi ﷺ sendiri yang akhirnya menghapus tulisan itu, meski beliau buta huruf. Itulah bentuk keikhlasan tertinggi dalam ukhuwah dan strategi.

Bahkan ketika sahabat enggan menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut setelah perjanjian, Ummu Salamah memberi saran bijak:

> “Wahai Rasulullah, jika engkau ingin mereka taat, lakukanlah lebih dulu tanpa berkata-kata.”



Dan benar. Setelah Nabi mencontohkan, para sahabat segera mengikuti. Kadang, pergesekan hanya perlu ditenangkan dengan keteladanan.

6. Bani Quraizah dan Ijtihad yang Dihargai

Setelah Perang Khandaq, Nabi ﷺ bersabda:

> “Janganlah salah seorang dari kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizah.” (HR. Bukhari dan Muslim)



Waktu hampir habis. Sebagian sahabat shalat di perjalanan. Sebagian lagi menundanya hingga tiba. Dan Rasulullah tidak menyalahkan keduanya.

Ibn Hajar berkata:

> “Rasulullah tidak mencela salah satu dari dua kelompok tersebut.” (Fath al-Bari)



Imam Nawawi menambahkan:

> “Ini dalil bahwa perbedaan ijtihad itu bisa diterima, dan semua mendapatkan pahala selama niatnya benar.”



Inilah pelajaran paling mendalam dari ukhuwah: bukan menuntut keseragaman mutlak, tetapi menerima perbedaan dalam bingkai kejujuran.

7. Mengapa Allah Hadirkan Gesekan?

Agar kita paham: ukhuwah bukanlah kondisi steril tanpa masalah. Justru, ukhuwah sejati lahir dari badai. Dari peluh dan luka. Dari beda pendapat dan keberanian untuk saling memahami.

Jika para nabi pernah berdebat, Jika para sahabat pernah berbeda pandangan, Jika keluarga para nabi pernah diguncang rasa cemburu dan iri,

...lalu mengapa kita harus takut dengan konflik kecil di antara kita?

Jangan remehkan pergesekan. Jangan takut berselisih. Yang penting adalah adab setelahnya: apakah kita saling memaafkan, saling memahami, dan tetap menempuh jalan ukhuwah?

Pergesekan itu seperti api—ia bisa membakar, tapi bisa juga menghangatkan, jika dikawal oleh iman dan kejujuran.

Maka nikmatilah pergesekan. Peluk ia dengan rendah hati. Karena darinya, ukhuwah tumbuh.

Dan dari ukhuwah, Allah menurunkan keberkahan.

Berkah Musyawarah pada Prosesnya Bukan Hasilnya Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Ada kalanya keputusan benar tidak membawa kemenan...

Berkah Musyawarah pada Prosesnya Bukan Hasilnya

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Ada kalanya keputusan benar tidak membawa kemenangan, dan kesalahan tidak selalu berakhir kehancuran. Namun musyawarah—meski hasilnya benar atau salah—tetap menyimpan keberkahan. Sebab, Allah tidak hanya menilai hasil akhir, tapi juga proses yang dilalui dengan adab, keikhlasan, dan kebersamaan.

Mari kita simak bagaimana para Nabi, para pemimpin pilihan Allah, menjadikan musyawarah sebagai pelita dalam gelapnya zaman, petunjuk di tengah ujian yang mengguncang jiwa.


---

1. Dialog Langit: Musa dan Harun

Nabi Musa adalah sosok pemimpin tangguh, yang tahu bahwa beratnya amanah kenabian tak bisa dipikul seorang diri. Dalam doanya, ia mengajukan permintaan:

> "Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.”
(QS. Thaha: 25–32)



Musa tidak meminta pasukan. Ia tidak meminta kekayaan. Ia meminta sahabat sejati. Seorang pendamping dalam memikul amanah.

Namun sejarah juga mencatat: ada momen saat Harun gagal membendung Bani Israil dari menyembah patung anak sapi. Ketika Musa kembali, ia marah, mengguncang kepala saudaranya.

> “Wahai Harun, apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat? ... Apakah engkau telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”
(QS. Thaha: 92–93)



Harun tak membalas dengan amarah. Ia menjawab lirih, dengan hati yang lapang:

> “Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku dan kepalaku. Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah Bani Israil...’”
(QS. Thaha: 94)



Di sinilah makna musyawarah menemukan bentuk terdalamnya: mendengar, menegur, dan menjelaskan. Bahkan antara dua nabi.


---

2. Hikmah Dua Raja: Daud dan Sulaiman

Dua pemimpin, dua pandangan, satu tujuan. Ketika seekor kambing merusak ladang, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman memutuskan hukumnya. Allah mengabadikan peristiwa ini:

> “Dan Kami memberikan pengertian tentang hukum itu kepada Sulaiman; dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu...”
(QS. Al-Anbiya: 79)



Satu pendapat lebih tepat. Tapi keduanya tetap diberi hikmah. Karena dalam ruang musyawarah, setiap suara yang jujur adalah langkah menuju kebijaksanaan.


---

3. Ayah dan Anak: Ibrahim dan Ismail

Bayangkan seorang ayah berkata kepada anaknya:

> “Wahai anakku! Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)



Apakah Ibrahim butuh restu dari Ismail? Tidak. Ia seorang nabi. Tapi ia tetap mengajak bicara. Karena musyawarah bukan sekadar soal teknis, melainkan penyelarasan hati.

Dan Ismail menjawab:

> “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”



Beginilah cinta dan ketaatan bertemu dalam satu ruang. Musyawarah menjadi jembatan antara wahyu dan ketundukan.


---

4. Rasulullah dan Musyawarah Strategis

Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah berjalan sendiri. Dalam setiap keputusan besar, beliau bermusyawarah. Termasuk saat kondisi paling genting sekalipun.

Perang Khandaq: Ketika Madinah dikepung oleh 10.000 pasukan, Salman al-Farisi mengusulkan strategi asing: menggali parit. Rasulullah menerimanya. Strategi itu menyelamatkan umat.


> "Ide menggali parit tidak dikenal dalam perang Arab sebelumnya..."
—Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah



Perang Badar: Salah satu sahabat mengusulkan perpindahan posisi agar bisa menguasai sumber air. Nabi mengikuti. Hasilnya: kemenangan telak.


> “Wahai Rasulullah, andai engkau menempuh lautan, kami akan menempuhnya bersamamu!”
—Sa'ad bin Mu'adz



Perang Uhud: Rasul ingin bertahan dalam kota. Tapi mayoritas sahabat ingin keluar. Rasul mengikuti pendapat mereka. Hasilnya: kekalahan pahit.


Namun di situ pula, keberkahan musyawarah hadir:

> “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka... kemudian bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Ali Imran: 159)




---

5. Luka yang Mendidik: Pelajaran dari Uhud

Apakah Rasulullah menyalahkan sahabatnya? Tidak. Justru Allah menurunkan ayat yang menguatkan hati mereka.

> “Kekalahan itu bukan karena lemahnya Rasul, tapi karena Allah sedang mengasah para pejuang Islam dengan luka dan darah.”
—Ibnul Qayyim, Zad al-Ma’ad



Kadang kita kalah, bukan karena salah strategi. Tapi karena Allah sedang menumbuhkan kekuatan baru dari dalam dada yang luka.


---

6. Shalahuddin dan Akka: Keteguhan dalam Kesalahan

Saat pasukan Salib menyerbu Syam, Shalahuddin Al-Ayyubi ingin mencegat mereka di jalan. Tapi hasil musyawarah menyarankan bertahan di kota Akka. Dua tahun pengepungan, dan kota itu jatuh ke tangan musuh.

Banyak yang menilai keputusan itu salah. Tapi Shalahuddin tidak menyalahkan siapapun. Ia jalankan hasil musyawarah dengan sabar dan adab.

> “Akka adalah kota yang tangguh. Shalahuddin tahu bahwa menjaganya berarti menjaga seluruh pesisir Syam.”
—Ibn al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh



Dan dari situlah keberkahan muncul. Pasukan Salib mengalami kehancuran moral. Lebih dari 50.000 tewas. Mereka mundur. Umat Islam bangkit kembali.


---

7. Musyawarah: Jalan Rahmat, Bukan Hanya Hasil

Musyawarah bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah. Ia adalah ruang pembelajaran rohani:

Untuk belajar mendengar.

Untuk belajar menahan ego.

Untuk membuka pintu hikmah yang mungkin tidak lahir dari satu kepala.


Rasulullah ﷺ tidak butuh saran. Tapi beliau mendidik umat dengan bermusyawarah. Para Nabi tidak perlu bertanya. Tapi mereka tetap bertanya, karena cinta selalu melibatkan lawan bicara.


---

Penutup: Nikmati Prosesnya

Musyawarah itu ibadah, bukan sekadar metode. Ia adalah jalan untuk menjemput berkah—bahkan bila hasilnya tidak sesuai harapan.

> “Musyawarah adalah tempat Allah menyemai rahmat dan menumbuhkan kekuatan umat.”



Maka, mari kita menikmati prosesnya. Baik salah maupun benar, dalam musyawarah yang tulus, selalu ada cahaya Ilahi yang turun menyinari langkah-langkah kita.


---

Allah memberkahi proses, bukan hanya kemenangan.

Malaikat Heran, Masuk Surga Sebelum Dihisab? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dari Ali bin al-Husain, yang masyhur dikenal Zainal Abid...

Malaikat Heran, Masuk Surga Sebelum Dihisab?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Dari Ali bin al-Husain, yang masyhur dikenal Zainal Abidin, yang berarti "Perhiasan bagi para ahli ibadah", karena ketekunannya dalam ibadah, doa, dan tangisan di malam hari. berkata,

"Apabila Allah SWT mengumpulkan orang-orang terdahulu dan akhir, maka ada yang berseru,:

"Dimanakah orang-orang yang memiliki keutamaan?"

Kemudian beberapa orang bangkit dan berjalan menuju surga.

Para malaikat menyambutnya seraya berkata, "Hendak kemana kalian?"

Mereka menjawab, "Hendak ke Surga."

Malaikat bertanya, "Sebelum dihisab?"

Mereka menjawab, "Ya."

Malaikat bertanya, "Siapakah kamu?"

Mereka menjawab, 'Kami adalah orang-orang yang memiliki keutamaan."

Malaikat menjawab, "Apakah keutamaanmu sewaktu di dunia?"

Mereka menjawab, "Apabila Kami dibodoh-bodohkan orang, kami sabar, dan apabila diperlakukan tidak baik, kami memaafkan."

Malaikat berkata, "Masuklah ke dalam surga, betapa baiknya pahala orang yang beramal."

Kemudian ada seruan yang berseru, "Dimanakah orang-orang sabar?"

Lantas beberapa orang bangkit menuju surga.

Para malaikat menyambutnya seraya berkata, "Hendak kemana kalian?"

Mereka menjawab, "Hendak ke Surga."

Malaikat bertanya, "Sebelum dihisab?"

Mereka menjawab, "Ya."

Malaikat bertanya, "Siapakah kamu?"

Mereka menjawab, "Kami orang-orang yang sabar."

Malaikat bertanya, "Dalam hal apa kesabaran kamu?"

Mereka menjawab, "Sabar dalam hal melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT dan dalam menjauh maksiat kepada-Nya."

Malaikat berkata, "Masuklah ke dalam surga, betapa baiknya pahala orang yang beramal."

Kemudian ada seruan, "Dimanakah tetangga-tetangga Allah SWT?" 

Lantas beberapa orang bangkit menuju surga.

Para malaikat menyambutnya seraya berkata, "Hendak kemana kalian?"

Mereka menjawab, "Hendak ke Surga."

Malaikat bertanya, "Sebelum dihisab?"

Mereka menjawab, "Ya."

Malaikat bertanya, "Siapakah kamu?"

Mereka menjawab," Kami adalah tetangga-tetangga Allah SWT sewaktu di dunia."

Malaikat bertanya, "Bagaimanakah ketetanggaanmu itu?"

Mereka menjawab, "Kami saling mencintai karena Allah SWT dan saling berkorban karena Allah SWT."

Malaikat berkata, "Masuklah ke dalam surga, betapa baiknya pahala orang yang beramal."

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya nanti pada hari kiamat Allah SWT berfirman, "Dimanakah orang-orang yang dahulu saling mencintai karena Aku? Maka demi kemuliaan dan keagungan-Ku, pada hari ini Aku menaungi mereka dengan naungan-Ku pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku."


Sumber:
Abu Laits As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, Pustaka Amani

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (260) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (239) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)