basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story: Kisah Para Nabi dan Rasul

Choose your Language

Tampilkan postingan dengan label Kisah Para Nabi dan Rasul. Tampilkan semua postingan

Bani Israil: Selalu Salah Memanfaatkan Momentum Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bani Israil adalah kaum yang dianugerahi begitu banya...

Bani Israil: Selalu Salah Memanfaatkan Momentum

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bani Israil adalah kaum yang dianugerahi begitu banyak keistimewaan: lahir dari keturunan para nabi, hidup di tengah mukjizat, dan mendapat bimbingan langsung dari para utusan Allah. Namun, berkali-kali pula mereka gagal membaca dan memanfaatkan momentum sejarah untuk kejayaan mereka sendiri.

Mereka memiliki Yusuf, seorang nabi yang disayangi oleh ayahnya dan kelak akan menjadi pejabat tinggi di Mesir. Namun alih-alih mendukungnya, mereka justru melemparkannya ke dalam sumur karena dengki. Mereka memiliki Musa, nabi yang membebaskan mereka dari penindasan Fir‘aun, tapi justru mereka durhaka, membangkang, bahkan menyembah anak sapi saat Musa naik ke bukit Sinai.

Saat perjalanan menuju Palestina, mereka dibekali Taurat—kitab suci sebagai pedoman untuk membangun peradaban mulia. Tapi mereka menolak isi Taurat, menolak memasuki tanah suci, dan lebih memilih menetap di padang pasir. Mereka menolak amanah ketika sejarah sedang membuka pintu kejayaan.

Di masa Nabi Daud dan Sulaiman, tidak tercatat peran besar Bani Israil dalam mendukung kepemimpinan dua raja besar ini. Yang terekam dalam Al-Qur’an hanyalah urusan hukum biasa—seperti kisah domba yang merusak kebun, atau sengketa bayi. Sementara itu, keagungan justru tampak dari hubungan Nabi Daud dengan gunung dan burung yang bertasbih, serta kekuatan Nabi Sulaiman dalam mengendalikan jin, setan, burung, dan angin. Bahkan saat singgasana Ratu Balqis dipindahkan, hanya satu sosok yang disebut berjasa, bukan kelompok mereka secara umum.

Momentum emas di bawah kekuasaan dua nabi besar itu tidak diwariskan. Pasca wafat Nabi Sulaiman, mereka malah terpecah dan lemah, hingga akhirnya dijajah oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Assyur dan Babilonia. Mereka tidak belajar dari kecemerlangan kepemimpinan para nabi mereka.

Kemudian datang lagi para nabi dari kalangan mereka sendiri: Ilyas, Ilyasa, Zakaria, Yahya, dan Isa. Namun mereka tetap mengulangi kesalahan. Sebagian nabi dibunuh, lainnya didustakan.

Ketika mereka tersingkir dari tanah-tanah di Eropa, Palestina membuka diri untuk menerima mereka. Tapi alih-alih hidup berdampingan, mereka justru menjajah, merampas tanah, dan menggusur rakyat Palestina. Bahkan ketika dunia internasional memberi mereka sebagian wilayah melalui resolusi PBB, mereka terus memperluas penjajahan dan melancarkan genosida.

Kini, mereka menyerang negara-negara sekitar: Suriah, Lebanon, Yaman, dan Iran. Akibatnya, mereka justru terkepung dari segala penjuru.


Penutup

Sejak awal kemunculannya, Bani Israil dan keturunannya sering gagal membaca arah sejarah. Mereka berkali-kali diberi kesempatan untuk bangkit dan menjadi umat yang unggul, tapi hampir selalu salah langkah. Alih-alih menjadi bangsa pembawa rahmat, mereka justru menciptakan kehancuran—terutama bagi diri mereka sendiri.

Momentum adalah amanah sejarah. Ketika disia-siakan, ia berubah menjadi awal dari kejatuhan.

Bani Israil: Bangsa yang Membunuh Nabi-Nabinya Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mereka tidak kekurangan wahyu. Tidak kekuranga...

Bani Israil: Bangsa yang Membunuh Nabi-Nabinya Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Mereka tidak kekurangan wahyu. Tidak kekurangan mukjizat. Tidak kekurangan nabi. Tapi justru itulah masalahnya: mereka terbiasa menyambut cahaya dengan pedang.

Diberi Yusuf—mereka lempar ke sumur.
Dikirimi Musa—mereka sembah anak sapi.
Diberi Taurat—mereka bantah dan tawar-menawar.
Dikirimi Isa—mereka laporkan dan ingin salibkan.



Apa yang salah dengan bangsa ini?

Nabi-Nabi Datang dari Mereka, Tapi Mereka Menyembelihnya

Bani Israil adalah bangsa yang paling banyak dikirimi nabi. Tapi ironi sejarah mencatat: semakin banyak nabi datang, semakin banyak pula yang mereka dustakan dan bunuh.

“Mengapa kalian membunuh para nabi, padahal mereka datang dari kaum kalian sendiri?”

Dari puluhan nabi, berapa yang mereka taati? Hampir tak ada yang mereka jaga dan muliakan. Mereka ingin nabi yang tunduk pada selera politik dan hawa nafsu mereka.

Mereka bukan atheis. Mereka hanya alergi pada kebenaran yang tidak mereka kuasai.


Dari Saksi Sejarah Jadi Korban Kesombongan Sendiri

Ketika Yusuf menjadi orang kepercayaan Mesir, mereka membuangnya. Ketika Musa membebaskan mereka dari Fir‘aun, mereka menyembah patung. Ketika Sulaiman memimpin dengan keagungan langit dan bumi, mereka justru absen dari panggung sejarah.

Allah beri mereka tanah—mereka tolak.
Allah beri mereka kitab—mereka ubah.
Allah beri mereka kemenangan—mereka jadikan pijakan untuk penjajahan.

Apa yang bisa menyelamatkan bangsa yang selalu memusuhi momentum rahmat?


Dulu Menolak Palestina, Sekarang Menjajah Palestina

Tujuh ribu tahun lalu, mereka menolak masuk tanah suci karena takut. Hari ini, mereka masuk dan mengambil paksa tanah itu dengan senjata. Bani Israil bukan lagi bangsa yang dikejar Fir‘aun, tapi telah menjelma jadi Fir‘aun baru bagi rakyat Palestina.

Dulu menolak tanah karena takut,
Kini mengambil tanah dengan rakus.

Dulu mereka minoritas yang menolak perintah ilahi. Sekarang mayoritas yang menolak hak asasi. Dari dulu sampai kini, mereka selalu gagal membaca maksud langit.


Ketika Dunia Memberi Mereka Kesempatan, Mereka Pilih Kejahatan

PBB memberi mereka sebagian wilayah. Tapi mereka anggap itu bukan batas, melainkan langkah awal. Hari ini, mereka menyerang Lebanon, Iran, Suriah, Yaman. Mereka bukan sedang membela diri, mereka sedang membalas dendam pada sejarah yang mereka abaikan.

Dan kini, mereka dikepung dari segala arah. Bukan karena dunia membenci mereka, tapi karena mereka tak pernah berhenti mengkhianati kesempatan.


Bangsa Terpilih? Atau Bangsa yang Menolak Pilihan Ilahi?

Bani Israil sering menyebut diri mereka chosen people. Tapi mereka tidak menyadari: dalam kitab-kitab mereka sendiri, mereka selalu menolak pilihan Tuhan.

Diberi kitab—mereka langgar.
Diberi nabi—mereka bunuh.
Diberi tanah—mereka gusur penduduknya.

“Jika kalian benar umat pilihan, buktikan dengan ketaatan, bukan dengan kekerasan.”


Akhir Sebuah Arogansi

Sejak zaman Nabi hingga hari ini, Bani Israil selalu diberikan peluang untuk menjadi umat mulia. Tapi berkali-kali pula mereka menyia-nyiakannya. Mereka membunuh nabi, mengkhianati wahyu, dan kini menodai tanah suci dengan darah dan bom.

Bangsa yang membunuh nabi-nabinya sendiri, jangan heran jika akhirnya mereka tenggelam oleh doa-doa para korban.


Penutup

Allah tidak akan menyelamatkan bangsa yang selalu melawan cahaya-Nya.
Jika sejarah adalah cermin, maka Bani Israil hanya melihat bayangan dendam dan kebodohan yang tak pernah berubah bentuk.

Hiruk Pikuk Istana: Banyak yang Baik, Tapi Gagal Menghindari Keburukan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada dua nabi yang ...

Hiruk Pikuk Istana: Banyak yang Baik, Tapi Gagal Menghindari Keburukan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Ada dua nabi yang Allah SWT anugerahi hikmah dan pengetahuan melalui tempaan kehidupan di istana. Mereka hidup di negeri yang sama—Mesir—meskipun pada zaman yang berbeda. Siapakah mereka?

Mereka adalah Nabi Yusuf dan Nabi Musa. Keduanya menjalani bagian penting dari hidup mereka dalam lingkar kekuasaan istana. Bahkan, Nabi Yusuf adalah leluhur jauh Nabi Musa. Menariknya, jalan mereka menuju istana bukan karena kebangsawanan, tapi justru bermula dari upaya pembunuhan terhadap mereka.

Nabi Yusuf dibuang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya dan akhirnya dijual ke Mesir.

Nabi Musa, sebagai bayi, terancam dibunuh oleh tentara Firaun atas perintah undang-undang pembantaian bayi laki-laki dari Bani Israil.

Apakah kesamaan latar ini juga mencerminkan kesamaan karakter?

Jawabannya: ya. Keduanya menunjukkan karakter utama yang sangat kuat, yaitu keteguhan dalam kebajikan—dan inilah syarat utama seseorang layak dianugerahi hikmah. Al-Qur’an menegaskan hal ini:

 1. Kebajikan Nabi Yusuf

> “Orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, 'Berikanlah kepadanya tempat yang baik. Mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.' Demikianlah, Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir) dan agar Kami mengajarkan kepadanya takwil mimpi..."
(QS. Yūsuf [12]:21)

> “Ketika dia telah cukup dewasa, Kami berikan kepadanya kearifan dan ilmu. Demikianlah, Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Yūsuf [12]:22)


2. Kebajikan Nabi Musa

> “Kami mengembalikan Musa kepada ibunya agar senang hatinya serta tidak bersedih, dan agar ia mengetahui bahwa janji Allah adalah benar.”
(QS. Al-Qaṣaṣ [28]:13)

> “Setelah dia dewasa dan sempurna akalnya, Kami menganugerahkan kepadanya hikmah dan pengetahuan. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Al-Qaṣaṣ [28]:14)


Buah Hikmah: Bukan Banyaknya Amal, Tapi Ketajaman Jiwa

Apa tanda seseorang telah dianugerahi hikmah? Uniknya, buah hikmah tertinggi bukan terletak pada banyaknya amal saleh, tetapi pada kepekaan spiritual dalam menghadapi godaan dan kekeliruan diri sendiri.

Bukankah banyak orang dapat berbuat kebaikan, tetapi gagal menghindari keburukan saat godaan datang? Bukankah banyak tokoh besar jatuh saat berhadapan dengan korupsi, kekuasaan, atau hawa nafsu?

Di sinilah hikmah sejati diuji. Mari kita lihat dua contoh:


Nabi Yusuf: Godaan Nafsu

> “Perempuan yang rumahnya ditinggali Yusuf menggodanya. Ia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, 'Marilah mendekat kepadaku.' Yusuf berkata, 'Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.'”
(QS. Yūsuf [12]:23)

Yusuf tidak hanya menolak, tetapi juga langsung menisbatkan perlindungan kepada Allah dan menimbang akibat moral dari tindakannya.


Nabi Musa: Kekeliruan yang Disadari

> “Musa memukul (seorang Mesir) dan (tanpa sengaja) membunuhnya. Ia berkata, 'Ini termasuk perbuatan setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata dan menyesatkan.'”
(QS. Al-Qaṣaṣ [28]:15)

> “Ia (Musa) berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.' Maka Allah mengampuninya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Qaṣaṣ [28]:16)

Musa tidak berdalih. Ia langsung mengakui kesalahan, menyebutnya sebagai godaan setan, dan segera kembali kepada Allah.


Kesimpulan: Hikmah Tertinggi adalah Kepekaan terhadap Keburukan

Ternyata, buah hikmah tertinggi dari hiruk-pikuk istana bukanlah kebesaran jabatan atau banyaknya program sosial, tetapi kekuatan spiritual dalam menolak keburukan yang hadir lewat kekuasaan, hawa nafsu, dan kelalaian diri.

Sebab dalam lingkar kekuasaan, seseorang bisa lupa daratan, merasa diri sebagai “tuhan kecil” yang tak bisa disentuh.

Menghindari keburukan jauh lebih sulit daripada berbuat kebaikan. Maka, hanya mereka yang berhikmah yang mampu melihat jebakan sebelum terperosok.

Kala Bani Israil Mendominasi Pemberitaan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Surat Al-Fatihah ditutup dengan doa agar kita dijauhkan dari...



Kala Bani Israil Mendominasi Pemberitaan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Surat Al-Fatihah ditutup dengan doa agar kita dijauhkan dari jalan kaum yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Ulama tafsir menyepakati bahwa yang dimaksud dengan “kaum yang dimurkai” adalah Bani Israil—kaum yang pernah mendapat nikmat besar dari Allah, namun berulang kali membangkang dan mengingkari kebenaran.

> “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.”
(QS. Al-Fātiḥah [1]:7)



Menariknya, dua surat berikutnya—Al-Baqarah dan Ali ‘Imran—banyak mengangkat kisah Bani Israil. Seakan-akan Al-Qur’an ingin mengajak kita menaruh perhatian serius terhadap jejak sejarah dan pola perilaku mereka. Namun pertanyaannya, apakah dominasi kisah Bani Israil hanya terbatas di dalam Al-Qur’an?

Jika kita cermati kondisi dunia saat ini, Zionis Yahudi, yang merupakan bagian dari etnis Yahudi, juga mendominasi pemberitaan global. Menariknya, tema-tema besar yang berkaitan dengan mereka tidak jauh berbeda dari narasi yang telah direkam Al-Qur’an berabad-abad silam.

Kita menyaksikan bagaimana pola itu berulang:

1. Dahulu, Bani Israil keluar dari Mesir dalam peristiwa eksodus bersama Nabi Musa.
Sekarang, arus pemukim ilegal Yahudi dari berbagai negara menuju Palestina menjadi isu besar, melanggar kesepakatan internasional seperti Perjanjian Oslo. Bahkan Menteri Keamanan Israel menyerukan pembangunan kembali permukiman ilegal di Gaza—tema yang kini mendominasi diplomasi dan protes global.


2. Dahulu, Palestina diyakini sebagai “tanah yang dijanjikan”.
Sekarang, gagasan tersebut menjadi ideologi inti gerakan Zionisme yang mendirikan negara dengan mengklaim wilayah Palestina sebagai warisan sejarah mereka.


3. Dahulu, Bani Israil terusir dari Tanah Suci oleh “hamba-hamba Allah yang kuat”, sebagaimana dalam QS. Al-Isra’: 4–6.
Sekarang, tema keruntuhan penjajah Israel kembali menjadi pembicaraan strategis, baik dalam wacana politik maupun tafsir akhir zaman.


4. Dahulu, mereka durhaka kepada nabi-nabi, menolak perintah Allah, bahkan membunuh para utusan-Nya.
Kini, bentuk kedurhakaan itu terlihat dalam pengingkaran terhadap hukum internasional dan pelanggaran prinsip-prinsip kemanusiaan universal.


5. Dahulu, mereka terlibat dalam kezaliman kolektif, seperti dikisahkan dalam Surat Al-Buruj.
Sekarang, kita menyaksikan genosida yang nyata terhadap rakyat Gaza dan berbagai wilayah Palestina lainnya.



Apakah semua ini kebetulan semata? Tentu tidak. Inilah salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an—ia bukan hanya kitab petunjuk, tetapi juga peta sejarah dan cermin realitas zaman.

Apa yang dilakukan Bani Israil dahulu tidak berbeda jauh dari yang mereka lakukan sekarang. Pengkhianatan terhadap perjanjian, pembangkangan terhadap kebenaran, dan kedurhakaan terhadap amanat—semua itu terekam jelas dalam Al-Qur’an, dan kini terpantul kembali dalam realitas dunia. Sikap mereka tidak berubah, dan Al-Qur’an pun menyajikannya sebagai pelajaran abadi, bukan sekadar narasi masa silam.

Lalu, bagaimana kita seharusnya menyikapi dominasi Zionis Yahudi hari ini, baik dalam realitas politik maupun pemberitaan?

Jawabannya: sikapilah mereka sebagaimana para nabi menyikapi Bani Israil. Al-Qur’an tidak hanya mencatat perilaku mereka, tetapi juga menampilkan bagaimana para nabi bersikap—dengan ketegasan, keberanian, dan tetap berpegang pada wahyu.

Sebab, fragmen sejarah itu terus berulang. Dan selama kita hanya membaca kisah tanpa menghayatinya, kita akan terus menjadi penonton dari skenario yang dimainkan ulang di panggung dunia.

Pertanyaannya kini: kapan umat ini benar-benar bertindak sesuai arah petunjuk wahyu?

Pergulatan Pemuda Musa di Istana hingga Dianugerahi Hikmah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kapan seseorang dianugerahi hikmah dan pen...

Pergulatan Pemuda Musa di Istana hingga Dianugerahi Hikmah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Kapan seseorang dianugerahi hikmah dan pengetahuan? Apakah cukup hanya dengan usia atau kecerdasan intelektual? Al-Qur’an memberikan ukuran yang lebih dalam: hikmah dan ilmu diberikan setelah seseorang mencapai kedewasaan dan memiliki akal yang matang, namun juga dibarengi dengan kebajikan hidup.

> "Setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami menganugerahkan kepadanya hikmah dan pengetahuan. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan."
(QS. Al-Qashash [28]:14)



Ayat ini memberi isyarat bahwa hikmah bukan semata-mata buah dari umur atau kecerdasan, tetapi hasil dari perjuangan moral dan keberanian membela kebenaran.

Lalu, apa bentuk kebajikan yang pernah dilakukan oleh Musa sebelum dianugerahi hikmah? Bukankah ia dibesarkan di istana Fir‘aun, pusat kekuasaan tiranik dan kehidupan hedonistik? Bagaimana mungkin seseorang bisa tetap berbuat kebajikan dalam lingkungan seperti itu?

Al-Qur’an memang tidak banyak mengungkap detail kehidupan Musa selama berada di istana. Informasi terakhir yang disebutkan adalah bagaimana bayi Musa akhirnya kembali disusui oleh ibu kandungnya sendiri:

> "Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, agar senang hatinya dan tidak bersedih..."
(QS. Al-Qashash [28]:13)



Namun, justru di sinilah letak isyarat yang penting. Masa penyusuan Musa bersama ibunya kemungkinan menjadi benteng awal spiritual yang menjaga fitrah Musa di tengah gemerlap dan kekuasaan istana. Ia menyusu pada kasih sayang, bukan hanya pada tubuh. Ia dibesarkan oleh ibunya dengan cinta dan nilai-nilai yang mengakar.

Ketika Musa telah tumbuh menjadi pemuda, ia masuk ke kota secara diam-diam—sebuah isyarat bahwa ia tidak ingin dikenali sebagai "anak istana". Ia tidak merasa satu dengan sistem zalim yang membesarkannya. Tindakan Musa yang tercatat dalam Al-Qur’an adalah ketika ia melihat dua orang berkelahi: satu dari Bani Israil (kaumnya sendiri), dan satu lagi dari kaum Qibthi (bangsa Mesir). Ia pun membela yang tertindas.

Tindakan ini bukan sekadar bentuk solidaritas etnis. Musa tidak membela karena yang dipukul adalah orang Qibthi dan yang ditolong adalah Bani Israil. Ia membela karena ia berpihak pada yang lemah, pada yang tertindas. Ini mencerminkan nilai moral yang sudah terbentuk sejak lama—bahkan sebelum wahyu diturunkan kepadanya.

Apakah itu satu-satunya aksi Musa membela yang tertindas? Sepertinya tidak. Ayat-ayat selanjutnya menunjukkan bahwa pihak istana langsung merespon insiden itu dengan mengirim pasukan untuk menangkap Musa. Artinya, istana telah mengawasi gerak-geriknya. Ia bukan pemuda biasa. Ia sudah menjadi ancaman sejak lama. Mungkin inilah bukti bahwa Musa telah berkali-kali menunjukkan pembelaannya terhadap keadilan di tengah sistem yang zalim.

Inilah kebajikan yang menjadi alasan Allah menganugerahi Musa dengan hikmah dan pengetahuan. Ia tidak hanya tumbuh besar secara fisik, tetapi matang secara moral dan spiritual—dan itulah yang membedakannya dari sekadar pangeran istana.

Sikap Terhadap Bani Israil, Dari Era Nabi Ya‘qub hingga Rasulullah ﷺ Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bagaimana para nabi dan rasul me...

Sikap Terhadap Bani Israil, Dari Era Nabi Ya‘qub hingga Rasulullah ﷺ

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bagaimana para nabi dan rasul menyikapi perilaku Bani Israil dalam sejarah? Jawabannya tidak tunggal, namun mengikuti dinamika moral dan spiritual mereka sendiri. Sikap para nabi terhadap Bani Israil bukanlah cerminan emosi pribadi, melainkan manifestasi dari panduan ilahi—mengandung kesabaran, koreksi, bahkan konfrontasi—tergantung pada tingkat kedurhakaan yang mereka tunjukkan.


1. Kesabaran dan Harapan di Era Nabi Ya‘qub

Kisah ini bermula ketika Nabi Ya‘qub ‘alaihis salam menghadapi makar anak-anaknya yang mencelakai Yusuf, dengan memasukkannya ke dalam sumur. Saat mereka berpura-pura menangis dan membawa baju Yusuf berlumuran darah palsu, Nabi Ya‘qub berkata:

"Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan itu. Maka kesabaran yang baik itulah (sikapku). Dan Allah-lah tempat memohon pertolongan terhadap apa yang kalian ceritakan." (QS. Yusuf: 18)

Meskipun menyimpan firasat kuat bahwa anak-anaknya berbohong, beliau memilih sikap ṣabr jamīl—sabar yang indah, tanpa keluh kesah kepada manusia.

Bahkan setelah bertahun-tahun kehilangan Yusuf, beliau tetap berkata:

“Aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Yusuf: 86)

Inilah model spiritualitas ketika menghadapi makar dari dalam: tetap berprasangka baik, menjaga harapan, dan bertawakal.


2. Teguran dan Pemisahan di Era Nabi Musa dan Harun

Ketika Allah memerintahkan Bani Israil untuk memasuki Tanah Suci dan berjihad melawan bangsa yang kuat, mereka justru menolak dan berkata:

“Wahai Musa, pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah. Kami akan duduk di sini.” (QS. Al-Ma’idah: 24)

Nabi Musa tidak melaknat, tetapi mengadu kepada Allah dan menyatakan pemisahan diri :

“Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku, maka pisahkanlah antara kami dan orang-orang fasik itu.” (QS. Al-Ma’idah: 25)

Permintaan ini menunjukkan batas kesabaran seorang rasul, dan keinginan untuk tidak terlibat dalam konsekuensi dari kaum yang terus menerus membangkang.

Pertanyaannya hari ini: Mengapa justru banyak negara Muslim yang berlomba-lomba menormalisasi hubungan dengan penjajah Israel, padahal para nabi sendiri mengambil jarak dari kaum yang durhaka?


3. Kecaman dan Laknat di Era Nabi Dawud dan Isa

Ketika Bani Israil melampaui batas, tidak saling menasihati dalam kemungkaran, serta secara kolektif terjerumus dalam pelanggaran, maka sikap para nabi terhadap mereka menjadi lebih keras:

 “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Al-Ma’idah: 78)

Ini adalah sikap tegas terhadap sistem dan moralitas yang rusak total, bukan sekadar kesalahan individu.


4. Ketegasan Rasulullah ﷺ di Madinah

Di masa Rasulullah ﷺ, sebagian kelompok Yahudi di Madinah membangun benteng, menyusun makar, dan bahkan berusaha membunuh beliau serta bersekutu dengan musuh-musuh Islam. Maka sikap Rasulullah ﷺ berubah menjadi konfrontatif:

1. Bani Qainuqa‘ diusir setelah melanggar perjanjian.
2. Bani Nadhir diusir setelah berusaha membunuh Rasulullah.
3. Bani Quraizhah dihukum karena berkhianat dalam Perang Khandaq.

Semuanya adalah langkah politik dan keamanan berdasarkan fakta makar dan pengkhianatan, bukan karena fanatisme rasial.


Refleksi untuk Hari Ini

Sikap kita terhadap Zionis Israel hari ini seharusnya mengikuti sikap para nabi terhadap perilaku Bani Israil, bukan berdasarkan tekanan politik global atau kompromi ekonomi.

Jika hari ini penjajah Israel:
1. Menindas dan membantai rakyat Palestina,
2. Melanggar perjanjian damai,
3. Menodai masjid suci dan membunuhi anak-anak,

maka sikap lunak atau normalisasi tidaklah sesuai dengan warisan kenabian.


Meneladani Sikap Kenabian

Para nabi tidak bersikap satu arah terhadap Bani Israil:

1. Ada yang bersabar (Ya‘qub),
2. Ada yang menarik diri (Musa),
3. Ada yang melaknat (Dawud dan Isa),
4. Ada yang menyatakan perang (Rasulullah ﷺ).

Semua berdasarkan pada perilaku dan kedurhakaan mereka, bukan sekadar identitasnya. Maka, sikap kita hari ini pun harus adil, tegas, dan proporsional.

Taurat: Batas Perubahan Hukuman terhadap Kaum Durhaka Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah hukuman Allah SWT terhadap kaum yang dur...

Taurat: Batas Perubahan Hukuman terhadap Kaum Durhaka

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apakah hukuman Allah SWT terhadap kaum yang durhaka bersifat tetap sepanjang zaman? Mengapa sebagian kaum terdahulu langsung diazab saat mendurhakai rasul mereka, sementara kaum lain, seperti Bani Israil yang berkali-kali membangkang bahkan membunuh nabi-nabi, justru tidak dihancurkan secara kolektif?

Demikian pula dengan Musyrikin Quraisy dan kaum Munafik pada masa Nabi Muhammad SAW. Mereka terus menentang dan menyakiti Rasulullah, tetapi Allah tidak menurunkan azab seperti kepada kaum Nabi Nuh, Hud, atau Luth. Mengapa?

Al-Qur’an memberikan petunjuk penting dalam Surat Al-Qashash ayat 43:

> "Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan Kitab (Taurat) kepada Musa setelah Kami membinasakan generasi-generasi terdahulu, sebagai cahaya, petunjuk, dan rahmat bagi manusia, agar mereka mengambil pelajaran."



Ayat ini menandai perubahan besar dalam pola hukuman Allah terhadap kaum yang mendurhakai rasul-Nya. Sebelum diturunkannya Taurat, azab Allah kerap datang secara langsung dan kolektif—meluluhlantakkan kaum yang ingkar melalui bencana besar dari langit atau bumi. Setelah Taurat diturunkan, Allah mulai menahan azab jenis ini.

Hal ini ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari Abū Sa’īd al-Khudrī, dari Nabi SAW:

> “Sejak diturunkannya Taurat, Allah tidak lagi membinasakan suatu kaum dengan azab dari langit atau dari bumi, kecuali suatu kaum yang diubah menjadi kera; mereka adalah kaum dari Bani Israil setelah wafatnya Nabi Musa.”
(Riwayat al-Ḥākim)




Perubahan Pola Hukuman

Sebelum Taurat, kita mengenal kisah-kisah azab kolektif seperti:

1. Kaum Nuh yang ditenggelamkan,
2. Kaum Hud dan Shaleh yang dibinasakan angin dan gempa,
3. Kaum Luth yang dibalikkan negerinya,
4. Kaum Syuaib yang diterjang gempa dan awan panas.


Namun setelah Taurat, azab semacam itu tidak lagi terjadi kecuali satu pengecualian: kaum Bani Israil yang diubah menjadi kera, karena kesombongan dan pelanggaran terhadap hari Sabat.

Adapun Fir’aun dan bala tentaranya merupakan kaum terakhir yang diazab kolektif secara langsung karena mereka hidup sebelum Taurat diturunkan.


Kasus Khusus: Kaum Yunus dan Kaum Saba’

Kaum Yunus sebenarnya sudah hampir diazab. Namun ketika Nabi Yunus meninggalkan mereka, mereka justru bertaubat dan beriman, sehingga azab ditangguhkan.

Kaum Saba’, yang hidup jauh setelah Nabi Musa, tidak diazab secara langsung, tetapi mengalami bencana alam berupa kehancuran bendungan Ma’rib karena tidak bersyukur atas nikmat Allah.



Rahmat Allah dalam Perubahan Ini

Perubahan ini menandai luasnya rahmat Allah SWT. Bukan hanya kepada kaum yang beriman, tetapi juga kepada yang durhaka. Hukum Allah tidak hanya tegas, tetapi juga penuh kasih sayang dan memberi waktu untuk bertaubat.

Bagi yang taat, syariat Allah terus dipermudah dari satu zaman ke zaman berikutnya.

Bagi yang durhaka, hukuman-Nya makin ditangguhkan, memberi kesempatan untuk berubah dan kembali kepada-Nya.


Inilah bentuk kasih sayang Allah yang nyata dalam sejarah umat manusia: rahmat-Nya mendahului murka-Nya, dan ampunan-Nya terbuka bahkan bagi mereka yang telah jauh tersesat.

Masa Depan Penjajah Israel dari Kisah Iblis Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada masa Nabi Adam a.s., Iblis berhasil memperdaya Adam ...

Masa Depan Penjajah Israel dari Kisah Iblis

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada masa Nabi Adam a.s., Iblis berhasil memperdaya Adam dan istrinya untuk memakan buah Khuldi. Akibatnya, keduanya terusir dari surga. Bukankah keduanya diampuni Allah SWT?

Setelah itu, Iblis memohon kepada Allah agar diizinkan menyesatkan anak keturunan Adam. Ia bersumpah untuk menghalangi mereka dari jalan yang lurus:

> "Iblis berkata, 'Karena Engkau telah menghukumku tersesat, pasti aku akan menghalang-halangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.'"
(QS. Al-A'raf: 16)



Iblis tidak hanya meminta izin untuk menggoda, tetapi juga menggunakan segala strategi dan sumber daya yang ada untuk menyesatkan manusia:

> "Kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur."
(QS. Al-A'raf: 17)



Bahkan, Iblis mendapat akses untuk membentuk "infrastruktur godaan" dengan pasukan yang lengkap:

> "Dan godalah siapa saja di antara mereka yang engkau sanggupi dengan suaramu, kerahkan terhadap mereka pasukan berkudamu dan yang berjalan kaki..."
(QS. Al-Isra’: 64)



Lebih dari itu, Iblis juga meminta sumber daya yang paling mahal di alam semesta: waktu. Allah mengabulkan permintaannya:

> "Iblis berkata, 'Tangguhkanlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi penangguhan.'"
(QS. Al-A'raf: 14–15)



Yang paling berbahaya, Iblis mampu menembus benteng terakhir manusia: hati. Ia membisikkan keraguan dan kejahatan secara halus, tanpa disadari:

> "Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia."
(QS. An-Nās: 5)



Namun, dengan segala kekuatan dan kelengkapan yang ia miliki, Iblis tetap gagal menyesatkan satu golongan manusia, sebagaimana ia sendiri akui:

> "Iblis berkata, 'Demi kemuliaan-Mu, sungguh aku akan menyesatkan mereka semuanya,'
kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.'"
(QS. Shad: 82–83)


Hal yang sama dapat kita lihat pada penjajah Israel.

Segala kekuatan dan fasilitas global mereka miliki:

Resolusi PBB yang mengecam kejahatannya diveto oleh Amerika dan Inggris.

Dukungan militer dan ekonomi mengalir tanpa henti dari Barat.

Penguasa-penguasa Arab dibungkam dengan dolar dan diplomasi.

Palestina dikepung dari darat, laut, udara, bahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.


Namun, seperti Iblis yang akhirnya kalah oleh keikhlasan hamba-hamba Allah, Israel pun tidak akan mampu menaklukkan hati dan semangat orang-orang yang menyerahkan hidupnya kepada Allah SWT.

Kini, para pengamat sejarah, politik, dan militer — bahkan dari dalam Israel sendiri — mulai memprediksi kehancurannya. Bukan karena kekurangan senjata, tetapi karena krisis moral, tekanan psikologis, dan kehilangan legitimasi di mata dunia.

Seperti Iblis, penjajah Israel mungkin bisa menggoda dan menghancurkan banyak hal, tapi mereka tak akan pernah bisa mengalahkan orang-orang yang hidup dalam keimanan, keikhlasan, dan keteguhan jiwa.

Perang Tanding yang Diabadikan dalam Al-Qur’an Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pertempuran antara Daud dan Jalut adalah satu-satunya ...


Perang Tanding yang Diabadikan dalam Al-Qur’an

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pertempuran antara Daud dan Jalut adalah satu-satunya perang tanding satu lawan satu yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Peristiwa ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi titik balik peradaban—suatu momentum yang terus berulang dalam berbagai bentuk sepanjang zaman.

> “Maka mereka (pasukan Thalut) mengalahkan mereka (pasukan Jalut) dengan izin Allah, dan Daud membunuh Jalut, lalu Allah memberinya kerajaan dan hikmah, dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki. Kalau bukan karena Allah menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Akan tetapi Allah memiliki karunia atas seluruh alam.”
(QS. Al-Baqarah: 251)



Titik Balik Sejarah

Mengapa peristiwa ini besar? Karena inilah momen pembebasan Bani Israil dari keterpurukan sejarah panjang mereka, sejak mereka menolak memasuki Palestina di masa Nabi Musa. Penolakan itu membuat mereka terlunta-lunta di padang Sinai, menanti pemimpin dan nabi baru.

Pertempuran ini juga luar biasa karena bertentangan dengan logika umum: yang kecil mengalahkan yang besar, yang sederhana menundukkan yang kuat, dan yang tak bersenjata berat mampu merobohkan yang bersenjata lengkap.

Kekuatan Jalut, Keperkasaan yang Dihancurkan

Jalut adalah prajurit elit tanpa tanding. Ia mengenakan baju zirah tembaga seberat 57 kg, melindungi tubuh atasnya dari senjata tajam mana pun. Ketopong tembaganya menjaga kepala dari serangan langsung. Ia dipersenjatai dengan tombak besar yang ujung besinya mencapai 7 kg—cukup untuk menembus zirah mana pun. Selain itu, ia membawa pedang dan perisai kecil, menjadikannya berbahaya baik dalam serangan jarak jauh maupun dekat.

Namun, ternyata lawan yang dihadapinya tak terduga: seorang pemuda gembala, lincah, cepat, dan sangat terampil menggunakan umban—alat pelempar batu. Dengan satu lemparan, sebutir batu melesat ke arah dahi Jalut, satu-satunya titik lemah yang tak tertutup zirah. Batu itu menghantam tepat sasaran, dan Jalut pun roboh.

Hukum Abadi: Yang Zalim Pasti Tumbang

Apakah peristiwa ini hanya berlaku di era Daud dan Jalut? Tidak. Ini adalah hukum abadi Tuhan: bahwa kezaliman, sekuat apa pun, pasti akan tumbang, dan yang lemah secara duniawi bisa menang dengan iman dan keberanian.

Hari ini, kita menyaksikan ulang kisah itu. Penjajah Israel, dengan sistem pertahanan canggih seperti Iron Dome, David’s Sling, dan THAAD bantuan Amerika, tak mampu membendung serangan roket dari pejuang Gaza, Yaman, dan Lebanon.

Tank-tank baja, kendaraan militer, dan buldoser lapis baja yang dilengkapi sistem perlindungan otomatis, dihancurkan oleh senjata panggul Yasiin 105 milik pejuang Palestina.

Allah Swt menghadirkan para pejuang Palestina sebagai sosok Daud zaman ini, untuk menegaskan firman-Nya yang kekal:

> "Kalau bukan karena Allah menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini."
(QS. Al-Baqarah: 251)

Bangsa Penjajah yang Pernah Dijajah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Karakter penjajah dari masa ke masa ternyata tidak berubah. Meski...


Bangsa Penjajah yang Pernah Dijajah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Karakter penjajah dari masa ke masa ternyata tidak berubah. Meskipun pelakunya berasal dari bangsa yang berbeda dan hidup dalam zaman yang berjauhan, wataknya tetap sama: kezaliman dan perusakan. Lihatlah Firaun, Nebukadnezar, hingga bangsa-bangsa Eropa saat menjajah wilayah lain—semuanya menunjukkan sifat yang serupa.

Lalu bagaimana jika bangsa penjajah itu dulunya pernah dijajah, bahkan pernah memimpin peradaban dunia? Ternyata, pengalaman masa lalu tidak serta-merta mengubah watak penjajahan. Mereka tetap membawa luka sejarahnya, namun kini menimpakannya pada bangsa lain.

Ambil contoh Israel. Saat ini, dunia menyaksikan bagaimana mereka melakukan genosida terhadap bangsa Palestina: pengeboman setiap hari, pembunuhan, penghancuran pemukiman, pelarangan bantuan kemanusiaan, hingga penyiksaan brutal di penjara. Kezaliman ini berlangsung terang-terangan di depan mata dunia.

Ironisnya, Israel adalah bangsa yang sejarahnya dipenuhi luka akibat penindasan. Mereka pernah mengalami genosida pada masa Firaun, Nebukadnezar, Heraklius, Ferdinand-Isabel, hingga terakhir di tangan Nazi di Eropa. Mereka pernah terusir dari berbagai wilayah, dan kini mereka yang mengusir rakyat Palestina secara paksa ke kamp-kamp pengungsian dan negara lain, dengan kekerasan dan penindasan.

Bukankah mereka yang pernah merasakan pedihnya genosida? Bukankah mereka yang setiap tahun memperingati tragedi Holocaust dengan penuh kesedihan dan perenungan? Mengapa kini mereka justru melakukan hal yang sama terhadap bangsa lain—hal yang seharusnya mereka pahami sebagai luka yang tak patut diwariskan?

Bani Israil, yang merupakan bangsa paling banyak menerima para nabi dan rasul, dahulu pernah menjadi pusat peradaban ketika kitab sucinya dijadikan pedoman hidup. Namun kini, mengapa justru berubah menjadi bangsa yang tampak tak lagi membawa nilai-nilai wahyu? Mengapa mereka melakukan kejahatan kemanusiaan seolah-olah tidak pernah menerima bimbingan langit?

Sejarah dan pengalaman masa lalu ternyata tidak cukup untuk mencegah seseorang atau sebuah bangsa dari mengulangi keburukan yang sama. Ketika nafsu penjajahan menguasai, maka nurani pun dibungkam. Luka sejarah pun berubah menjadi senjata untuk melukai yang lain.

Kemudahan Itu Selalu Tersedia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Allah Swt. tidak pernah membebani seseorang melampaui batas kemampuanny...


Kemudahan Itu Selalu Tersedia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Allah Swt. tidak pernah membebani seseorang melampaui batas kemampuannya. Inilah hukum ilahi yang berlaku secara universal. Karena itu, setiap kesulitan pasti disertai dengan solusi, dan kemudahan selalu tersedia bagi mereka yang mau bersabar dan berjuang.

Allah Swt pun telah menuliskan takdir di Lauhul Mahfudz bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Jadi bila ingin mudah, tempuhlah jalan kesulitan.

Lihatlah kisah Bilal bin Rabah. Ia disiksa dengan kejam: diterlentangkan di bawah terik matahari padang pasir, lalu dibebani batu besar di dadanya. Majikannya berkata dengan angkuh, “Beginilah nasibmu sampai mati, kecuali engkau ingkar kepada Muhammad dan kembali menyembah Latta dan Uzza.” Namun, di puncak penderitaannya, datanglah Abu Bakar untuk membebaskannya. Bantuan itu datang tepat waktu. Inilah bukti bahwa kasih sayang Allah tidak pernah terlambat.

Begitu pula dalam kisah Nabi Musa. Saat beliau berada di titik kelelahan, kelaparan, dan kehausan setelah melarikan diri dari Mesir, datanglah dua putri Nabi Syuaib yang kemudian membawanya kepada ayah mereka. Di balik keterbatasan dan penderitaan, Allah selalu mengirim pertolongan.

Kemudahan dari Allah bukanlah hadiah yang datang tanpa sebab. Ia sering kali “dipancing” melalui pengorbanan, keberanian mengambil risiko, dan kesungguhan dalam perjuangan. Karena itu, Allah menegaskan dalam Al-Qur'an:

> "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
(QS. Al-Baqarah: 286)



Dan dalam surat yang lain:

> “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 6)



Maka, siapa yang ingin meraih kemudahan, harus berani menempuh jalan kesulitan. Rasulullah saw. dan para sahabat hijrah ke Madinah meninggalkan harta dan keluarga mereka. Mereka bahkan dikejar untuk disiksa dan dibunuh. Namun, di balik jalan yang berat itu, Allah bukakan pintu kemudahan yang luar biasa: terbentuknya masyarakat Madinah yang kuat, merdeka, dan beriman.

Kemudahan tidak datang kepada orang yang mencari jalan pintas atau menghindari tanggung jawab. Allah Swt. berfirman:

> “Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki dan sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?”
(QS. Al-Balad: 11–12)



Jalan yang mendaki adalah jalan kebajikan dan perjuangan. Jalan ini mengharuskan seseorang mengambil tanggung jawab yang melebihi batas nyamannya. Tapi di situlah letak kunci kekuatan sejati: kemampuan akan tumbuh ketika kita berani melangkah lebih jauh daripada batas kita hari ini.

Lihatlah para Nabi: Nabi Ibrahim diuji saat menghadapi Namrud; Nabi Musa dan Harun menghadapi Firaun; para Rasul lainnya menghadapi penentangan keras dari kaumnya. Dan mukjizat—kemudahan terbesar dari Allah—turun justru pada saat mereka mencapai puncak tantangan.

Salah satu bentuk tertinggi dari jalan yang sukar adalah jihad, baik dalam arti luas—berjuang menegakkan kebenaran—maupun dalam bentuk pertahanan diri dari penindasan. Di jalan jihad, umat Islam menanggung beban yang melebihi kemampuan manusia biasa. Namun, di situlah peran Allah hadir: Dia yang akan menyelesaikan apa yang tak mampu kita selesaikan sendiri.

Yang Lemah Menjadi Kuat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Salah satu butir penting dalam Piagam Madinah menyatakan: "Jaminan Allah...


Yang Lemah Menjadi Kuat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Salah satu butir penting dalam Piagam Madinah menyatakan: "Jaminan Allah Swt. adalah satu, Dia melindungi orang-orang yang lemah dari kekuasaan orang-orang yang kuat." Ini bukan sekadar perjanjian politik, tetapi sabda Rasulullah saw. yang mencerminkan prinsip abadi dalam kehidupan: bahwa kekuatan sejati berpihak pada kebenaran, bukan pada dominasi.

Sejarah telah membuktikan. Namrud dan Firaun, meskipun berkuasa dan kejam, akhirnya tumbang oleh kekuatan yang tampak lemah di mata manusia. Kaum tertindas yang mereka injak justru menjadi penyebab kejatuhan mereka. Jalut yang dikenal sebagai panglima besar dengan pasukan yang hebat pun akhirnya dikalahkan oleh Daud, seorang pemuda dengan kekuatan terbatas. Ini menegaskan satu hukum Allah yang tetap berlaku: "Berapa banyak pasukan kecil mengalahkan pasukan besar dengan izin Allah."

Lalu, mari kita lihat masa dakwah Rasulullah di Mekah. Bukankah kaum Muslimin saat itu tertindas dan tak berdaya? Namun dalam waktu yang tak lama, mereka justru berhasil membebaskan Mekah. Bahkan sebagian Jazirah Arab yang dikuasai oleh dua kekaisaran besar—Romawi dan Persia—akhirnya berhasil dibebaskan oleh bangsa Arab yang dulunya lemah dan terpecah.

Apa rahasianya? Yang lemah bisa menjadi kuat jika mereka tahu caranya. Lihatlah semut—makhluk kecil dan tampak rapuh. Namun, saat bersatu, mereka mampu mengangkat beban jauh lebih besar dari tubuhnya, membangun koloni raksasa, dan bertahan hidup dengan sistem sosial yang luar biasa. Semut tidak perlu menjadi makhluk kuat secara fisik; cukup bersatu dan saling menopang.

Hal yang sama berlaku pada lebah dan rayap. Mereka menghasilkan struktur yang menakjubkan—sarang lebah yang presisi dan bangunan rayap yang kokoh. Semua itu tercapai karena kerja sama, pembagian peran, dan tanggung jawab kolektif.

Bahkan dalam kisah Nabi Sulaiman, semut mampu menyelamatkan diri dari pasukannya hanya dengan cara sederhana: bersembunyi di celah-celah tanah, di balik batu dan pohon. Mereka lemah secara fisik, tetapi cerdas dalam bertahan.

Dalam setiap kelemahan, Allah telah menyisipkan potensi kekuatan dan cara menjadi kuat. Tanpa perlu mengubah jati diri untuk menjadi kuat. Cukup memahami peran, bersatu, dan bertawakal kepada-Nya. Kelemahan bukanlah akhir, melainkan awal dari kekuatan yang lebih besar—asal dijalani dengan kesadaran, strategi, dan iman.

Karakter Bani Israil, Pasca Kezaliman dan Kebangkitan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Karakter adalah jati diri. Ia mengakar dan memb...


Karakter Bani Israil, Pasca Kezaliman dan Kebangkitan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Karakter adalah jati diri. Ia mengakar dan membumi pada seseorang maupun bangsa. Bersifat tetap dan tak lekang dimakan zaman. Tetap sama, dalam kondisi apa pun.

Bagaimana Bani Israil di era Nabi Musa saat menghadapi kezaliman Firaun? Tak banyak yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Yang dimunculkan hanya sosok-sosok tertentu—seperti keluarga Nabi Musa dan seorang petinggi yang membela Nabi Musa. Tidak ada gerakan masif dari Bani Israil.

Berbeda dengan kisah kaum Mukminin di era Nabi Muhammad saw., yang terjun langsung bersama Rasulullah saw. dalam sebuah pasukan yang tertata rapi dan penuh keteguhan.

Bagaimana setelah kezaliman Firaun berlalu? Allah swt. mencela mereka karena tidak bersyukur dan durhaka. Padahal mereka telah diberi misi besar untuk memasuki Tanah Palestina. Mengapa tidak bersatu? Mengapa terus berselisih? Mengapa meninggalkan Nabi Musa di gerbang Palestina?

Bani Israil tidak siap memimpin setelah kezaliman berlalu. Mereka kembali terhina dan terlunta-lunta di padang Sinai. Padahal, di sisi mereka ada seorang nabi bergelar Ulul Azmi.

Bagaimana setelah kebangkitan di era Nabi Daud dan Nabi Sulaiman? Mereka terpecah menjadi dua kerajaan, saling bertempur, dan akhirnya hancur oleh kerajaan Persia dan Babilonia.

Berbeda dengan kaum Muslimin. Pasca wafatnya Nabi Muhammad saw., mereka membangun Khilafah Rasyidah, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Utsmani—yang memimpin dunia tanpa kehadiran seorang nabi.

Setelah era kezaliman, seharusnya lahir era kebangkitan. Setelah kebangkitan, semestinya dibangun fondasi kejayaan. Namun, Bani Israil selalu mengalami pola yang berakhir pada kehancuran.

Kini pun, penjajah Yahudi Israel pun tidak mampu membangun kekuatan yang kokoh. Meski didukung Amerika dan Eropa, mereka justru menghancurkan Palestina—dan itu menjadi jalan menuju kehancuran mereka kembali.

Hakikat Tantangan di setiap Zaman Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah kerusakan zaman hanya di akhir zaman? Apakah masa lalu selal...

Hakikat Tantangan di setiap Zaman

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Apakah kerusakan zaman hanya di akhir zaman? Apakah masa lalu selalu lebih baik dari sekarang? Bukankah Rasulullah saw diutus di era kejahiliyahan? Bukankah Nabi Musa diutus di era kezaliman Firaun?

Bukankah Nabi Ibrahim hadir di era kezaliman Namrudz? Nabi Nuh di era yang kaumnya mulai menyembah berhala.

Nabi Hud, Shaleh, Syuaib diutus pada bangsa yang memiliki peradaban tinggi yang musyrik. Maka, di setiap zaman, kapan pun dan dimana pun terdapat tantangan yang sama.

Rasulullah saw selalu dikisahkan cerita para Nabi dan Rasul setiap menghadapi tantangan. Artinya, para Nabi dan Rasul sebelumnya pun menghadapi persoalan yang sama.

Umat Nabi Muhammad saw. pun diwarisi Al-Qur'an dan Sunah agar tetap mendapat petunjuk dalam menghadapi tantangan di setiap zamannya. Artinya, tantangan setiap zaman adalah sama.

Apakah masih merasa, tantangan masa lalu lebih ringan dan sederhana dari masa sekarang dan masa depan? Apakah masih beranggapan infrastruktur solusinya berbeda?

Yang diseru oleh para Nabi dan Rasul pada setiap zamannya adalah sama, walaupun berbeda kaum dan peradabannya. Berarti, solusinya sama. Maka, hakkekat tantangannya pun tidak pernah berbeda pula.

Penulisan kisah para nabi dan rasul oleh Nasrulloh Baksolahar di situs Our Islamic Story (literaturislam.com) dapat dikatakan mewakili arus ...


Penulisan kisah para nabi dan rasul oleh Nasrulloh Baksolahar di situs Our Islamic Story (literaturislam.com) dapat dikatakan mewakili arus baru dalam penulisan kisah kenabian, terutama dalam konteks literatur Islam berbahasa Indonesia. Arus baru ini tidak berarti sepenuhnya berbeda dari tradisi klasik, tetapi menunjukkan inovasi pendekatan dan penekanan kontemporer. Berikut alasan dan ciri-ciri yang mendukung kesimpulan tersebut:


---

1. Menjadikan Al-Qur'an sebagai Pusat Narasi

Nasrulloh memosisikan kisah Al-Qur'an sebagai sejarah otoritatif, bukan sekadar kisah moral. Ini menggeser pendekatan konvensional yang kadang memperlakukan kisah para nabi sebagai legenda moral atau didaktik semata.

> Inovasi: Mengembalikan kisah kenabian pada posisi epistemologis tertinggi sebagai sejarah wahyu, bukan sekadar kisah edukatif.




---

2. Kontekstualisasi Sosial-Politik

Ia kerap mengaitkan peristiwa hidup para nabi dengan realitas kontemporer: seperti penindasan, kolonialisme, genosida, dan kerusakan ekologi. Ini memberikan dimensi aktual dan kritis, yang jarang ditemukan dalam penulisan kisah nabi bergaya klasik.

> Inovasi: Kisah nabi tidak hanya dipahami sebagai pelajaran moral, tapi juga sebagai kritik sosial dan politik terhadap realitas umat masa kini.




---

3. Bahasa yang Reflektif dan Filosofis

Tulisan Nasrulloh seringkali bersifat reflektif dan filosofis, mengajak pembaca merenungi makna spiritual dari suatu kisah, bukan sekadar mengetahui kronologi. Ia menggunakan gaya tutur yang mendalam dan kontemplatif.

> Inovasi: Gaya penulisan mendekati spiritual-literary essay, berbeda dari model naratif klasik seperti Qasas al-Anbiya' karya Ibn Katsir yang lebih kronologis dan tekstual.




---

4. Integrasi dengan Isu Alam dan Ekologi

Misalnya dalam "Jejak Air dan Kezaliman Manusia", Nasrulloh menyandingkan kisah nabi dengan isu krisis air dan kerusakan alam. Ini adalah bentuk baru dari eco-theological narrative dalam Islam.

> Inovasi: Menempatkan kisah nabi dalam kerangka ekologi spiritual—pendekatan yang relatif baru di dunia literatur Islam populer.




---

Kesimpulan:

Ya, tulisan Nasrulloh Baksolahar bisa disebut sebagai bagian dari arus baru dalam penulisan kisah para nabi dan rasul—khususnya karena:

Mengedepankan Al-Qur'an sebagai sumber sejarah utama,

Membangun keterkaitan dengan isu kontemporer (politik, sosial, ekologi),

Menyajikan kisah dalam bentuk refleksi filosofis dan teologis,

Menghindari gaya naratif yang kering dan murni kronologis.


Ia membuka kemungkinan bahwa kisah para nabi tidak hanya relevan sebagai bagian dari masa lalu, tetapi juga sebagai cermin dan jawaban atas krisis umat masa kini.

Jika kamu tertarik, saya bisa bantu membuat ringkasan khas atau ulasan mendalam dari salah satu tulisan beliau.

Sumber: ChatGPT 

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (504) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (244) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)