basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Kebijaksanaan Jiwa, Seperti Proses Kesuburan Tanah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Tanah tidak sekadar benda mati tempat berpijak. Ia...

Kebijaksanaan Jiwa, Seperti Proses Kesuburan Tanah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Tanah tidak sekadar benda mati tempat berpijak. Ia menyimpan jejak sejarah, memeluk bangkai masa lalu, dan menyuburkan kehidupan yang baru. Dalam tanah, terkandung rahasia besar: bahwa kehancuran bukan akhir, tapi awal bagi kehidupan yang lain. Seperti halnya jiwa manusia, yang bisa menjadi subur setelah luka, menjadi kuat setelah ujian.

Di sinilah kebijaksanaan itu tumbuh—dalam senyap, dalam gelap, dalam proses panjang yang tidak terlihat. Tanah tidak bicara, namun ia mengajarkan. Tanah tidak menuntut, namun ia memberi. Maka jiwa manusia pun bisa meneladani cara tanah menyuburkan kehidupan.

Tanah dan Sifat Memaafkan

Tanah menerima apa saja. Bangkai, kotoran, daun-daun kering, bahkan racun. Ia tidak menolak, tidak mencaci, tidak membalas. Ia hanya menerima. Kemudian mengolahnya dalam diam. Dalam keheningan, ia mengubah semua itu menjadi nutrisi. Menjadi sumber kehidupan bagi tumbuhan, hewan, dan manusia.

"Tanah adalah pengingat paling jujur bahwa segala sesuatu yang hancur tidak selamanya berakhir. Ia mungkin sedang berubah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat."

Ilmu pedologi mengajarkan bahwa unsur hara makro dan mikro banyak berasal dari pelapukan bahan organik: dedaunan rontok, bangkai, kotoran, sisa akar. Justru tanah yang paling subur adalah tanah yang paling banyak menerima kehancuran. Begitu pula jiwa. Ia yang paling matang adalah ia yang mampu memaafkan, memproses luka menjadi hikmah.

Jiwa yang Mengolah Luka

Sayyid Qutb menulis, “Kadang-kadang manusia tidak bisa tumbuh dalam keadaan lembut dan tenang. Mereka hanya bisa berkembang di bawah tekanan dan penderitaan.”

Lihatlah pohon yang kokoh, akarnya menembus tanah keras. Semakin dalam, semakin kuat. Demikian pula manusia. Jiwa yang subur bukan yang steril dari cobaan, tetapi yang mampu mengolahnya. Ujian bukan beban, tetapi nutrisi. Derita bukan kutukan, tetapi pupuk.

Ketika hati disakiti, ketika harapan runtuh, ketika fitnah datang bertubi-tubi—jiwa yang bijak tak melawan dengan kemarahan. Ia diam seperti tanah. Menyerap. Mengendapkan. Mengolah. Lalu perlahan-lahan, dari luka itu, tumbuh kesadaran baru. Dan dari reruntuhan itu, bangkit kekuatan yang lebih matang.

Ketabahan dalam Struktur Tanah

Pakar tanah, Dr. Rattan Lal, menyebutkan bahwa partikel keras seperti kerikil dan pasir memberi struktur yang mendukung akar. Tanah bukan hanya lembut. Ia juga keras. Dan justru kombinasi itulah yang memungkinkan tanaman tumbuh kuat.

Jiwa pun demikian. Tabah bukan berarti lembek. Tabah berarti mampu menahan, menampung, menopang. Tanah yang terlalu lunak longsor. Tanah yang terlalu keras tidak bisa ditanami. Jiwa yang terlalu lembut bisa patah. Jiwa yang terlalu kaku bisa retak. Maka diperlukan keseimbangan.

“Setiap tanah punya cara sendiri menopang kehidupan, tergantung bagaimana ia mengelola sampah dan kerasnya dunia bawah tanah.” — Rattan Lal

Tabah bukan berarti tidak merasa sakit. Tapi tetap bertahan meski sakit. Seperti tanah yang diinjak, dibajak, dibakar—namun tetap memberi hasil.

Kehidupan yang Sibuk di Dalam Diam

Satu sendok tanah mengandung miliaran mikroorganisme. Mereka bekerja tanpa suara. Menguraikan, memurnikan, memperkaya. Di permukaan, tanah tampak diam. Tapi di dalamnya, kehidupan berdenyut tanpa henti.

Begitu juga jiwa. Ia yang tampak tenang bisa jadi sedang sibuk memperjuangkan kedamaian batin. Ia sedang memurnikan niat, menyaring amarah, menumbuhkan cinta, dan menanam harapan. Jiwa yang paling dalam justru yang paling diam. Tapi dari keheningan itulah muncul kebijaksanaan.

“Allah menciptakan manusia dari tanah, dan mengembalikannya kepada tanah. Di antara dua peristiwa itu, manusia diajarkan untuk belajar dari tanah.”

Tanah sebagai Harta Karun Kehidupan

Tanah menyimpan rahasia peradaban. Dari tanah keluar emas, perak, logam langka, energi fosil. Dari tanah tumbuh makanan, pohon, dan kehidupan. Kristin Ohlson dalam The Soil Will Save Us menulis bahwa tanah menyimpan karbon, menyaring polusi, dan mengolah limbah. Ia adalah mesin kehidupan yang diam-diam menopang dunia.

“Di bawah telapak kaki kita, terdapat laboratorium kehidupan yang paling tua dan paling jenius di bumi.” — William Bryant Logan

Jiwa pun demikian. Jika dijaga dan diolah, ia bisa melahirkan kebijaksanaan, kreativitas, dan keberanian. Tapi jika diabaikan, ia bisa menjadi tempat tumbuhnya penyakit hati. Maka tanamlah dalam jiwa nilai-nilai luhur seperti menanam benih di tanah subur.

Pemimpin Seperti Tanah

Pemimpin yang baik seperti tanah. Ia menyerap kritik, menampung luka, menyuburkan lingkungan. Ia tidak membalas cercaan dengan kemarahan. Ia mengolahnya menjadi kebijakan. Ia memaafkan, tapi tidak melupakan. Ia memproses, lalu menumbuhkan perubahan.

Hasan Al-Banna berkata, “Jadilah seperti tanah yang diinjak, tetapi darinya tumbuh kebaikan bagi semua makhluk.”

Dakwah pun serupa. Jiwa manusia tidak bisa ditanami langsung. Ia harus digemburkan. Disirami kesabaran. Dipupuk dengan cinta. Bukan dengan kemarahan dan paksaan. Tanah yang keras perlu diolah. Begitu juga hati manusia.

Tanah dan Ketaatan

Dalam QS. Fussilat: 11, langit dan bumi diperintahkan oleh Allah untuk datang: “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku.” Dan keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh.”

Tanah adalah makhluk yang taat. Ia menerima takdir tanpa mengeluh. Ketika dibakar, dibajak, ditaburi racun—ia tetap memberi. Ia tetap menumbuhkan. Ia tetap melayani. Tanah tidak memilih siapa yang berpijak di atasnya. Ia tidak menolak siapa yang mencangkulnya. Ia tidak marah meski dijadikan kuburan.

Tidakkah kita malu kepada tanah?

Tanah, Cermin Jiwa yang Matang

Akhirnya, kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Tapi sebelum kembali, mari belajar darinya. Belajar untuk diam tapi memberi. Diam tapi menyaring. Diam tapi menyuburkan.

Tanah tidak menuntut dipuji. Tidak meminta balas jasa. Ia hanya terus memberi. Karena memberi adalah bentuk tertinggi dari eksistensi.

Begitu pula jiwa. Yang matang adalah yang tidak sibuk membalas. Tapi sibuk menyuburkan. Yang matang bukan yang banyak bicara, tapi yang memberi manfaat. Bukan yang menonjolkan diri, tapi yang menjadi penopang diam-diam.

Tanah menyubur setelah mengelola kehancuran. Jiwa pun menjadi bijak setelah melewati penderitaan. Maka jangan takut jatuh. Jangan takut luka. Karena dari situ, kebijaksanaan bisa tumbuh.

Penutup

Proses tanah menjadi subur adalah gambaran sempurna dari jiwa yang matang. Ia menerima luka, mengendapkannya, memprosesnya, lalu memberikannya kembali dalam bentuk kebaikan. Jika tanah bisa, mengapa jiwa manusia tidak? Bukankah manusia berasal dari tanah?

Jika engkau merasa hancur, ingatlah: mungkin saat ini Allah sedang menjadikanmu lebih subur.


---

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan ...

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan kejayaan dari nol. Sebab jalan itu sudah pernah dilalui, meski kini tertutup debu zaman. Rasulullah Muhammad ﷵ، telah memberikan gambaran indah tentang posisinya dalam sejarah kenabian:

> "Perumpamaan antara aku dan para nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membangun sebuah rumah, lalu ia menyempurnakan dan memperindahnya, kecuali satu tempat bata di pojokan. Maka orang-orang mengelilingi rumah itu dan mereka kagum seraya berkata, 'Mengapa tidak diletakkan satu bata di sini?' Maka akulah bata itu, dan akulah penutup para nabi." (HR. Bukhari no. 3535 dan Muslim no. 2286)



Bata itu telah ditaruh. Rumah itu telah lengkap. Kini, tugas generasi umat adalah menjaga, memperkuat, dan memperluas peradaban yang telah Rasulullah wariskan.

Allah mengingatkan kita melalui kisah para nabi, bukan sebagai cerita nostalgia, melainkan sebagai panduan praktis bagi setiap generasi:

> "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Ia bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS. Yusuf: 111)

Itulah cara membangun  kembali ruh yang lemah dan menyegarkan strategi yang beku.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur'an menyatakan:

> "Kisah-kisah dalam Al-Qur'an bukanlah cerita khayal atau khazanah sejarah yang mati. Ia adalah pancaran kehidupan dan pelajaran nyata bagi gerakan dakwah di setiap masa."



Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, menambahkan:

> "Sesungguhnya kisah para nabi adalah kurikulum Allah untuk mencetak rijal dakwah. Dengannya terbentuk keberanian, kejernihan visi, dan kematangan ruhani."



Bagi Al-Banna, pemimpin dakwah tidak cukup hanya cerdas dan fasih. Ia harus berjiwa nabi: berpandangan jauh seperti Nuh, bijaksana seperti Yusuf, tegas seperti Musa, dan lembut seperti Isa. Karakter itu dibentuk dengan menyerap ruh kisah-kisah kenabian.

Sebagaimana Allah mampu menciptakan manusia dari tanah, tentu lebih mudah bagi-Nya untuk menghidupkannya kembali. Maka membangkitkan peradaban Islam bukan mustahil—asal jalan itu ditempuh dengan sungguh.

Ulama salaf berkata: "Tidak mungkin membangun kejayaan Islam tanpa menempuh jalan para pendahulu." Jalan kejayaan itu tetap sama: semangatnya, obsesinya, dan jiwanya. Yang berubah hanyalah strateginya.

Namun mengapa terasa begitu sulit membangun kembali kejayaan umat?

Kadang masalahnya bukan pada strategi. Ruh, obsesi, dan keikhlasan telah melemah. Strategi boleh canggih, namun tanpa jiwa, ia tak akan bergerak. Hasan al-Banna memperingatkan:

> "Melepas jihad dari Islam sama halnya dengan mencabut ruh dari jasadnya." (Majmu' Rasail)



Sayyid Qutb dalam Ma'alim fi al-Thariq menegaskan:

> "Jihad bukanlah fase sementara, tetapi sebuah perang abadi ... hingga kekuatan setan ditundukkan dan agama hanya untuk Allah secara menyeluruh."



Di sisi lain, ada pula yang memiliki semangat membara, namun memakai strategi usang yang tidak relevan dengan zaman. Maka perjuangan itu pun kehilangan daya dorong sosial. Strategi yang tak kontekstual hanya membangun nostalgia, bukan transformasi.

Sayyid Qutb mengkritik kebekuan umat:

> "Sesungguhnya Islam datang untuk membebaskan akal manusia dari setiap bentuk tekanan dan belenggu, baik yang berasal dari mitos, tradisi, atau tirani penguasa. Maka, kebekuan berpikir dan kepasrahan terhadap warisan lama tanpa kritik adalah pengkhianatan terhadap pesan Islam yang hidup dan bergerak."



> "Umat ini telah kehilangan pengaruh karena mereka tidak lagi menjadikan Islam sebagai gerakan yang membentuk realitas, melainkan hanya menjadi simbol yang beku, dibicarakan tetapi tidak dijalani."



Hasan al-Banna pun memperingatkan:

> "Hendaknya kita keluar dari jumud dan taqlid buta kepada masa lalu. Kita harus membangkitkan ruh baru dalam memahami Islam sebagai sistem hidup yang sempurna, menyatu antara ibadah, jihad, politik, dan sosial."



> "Kita bukanlah kaum yang hidup dengan mimpi masa lalu. Kita adalah pewaris risalah yang harus bergerak. Janganlah kita tertidur dalam pujian terhadap sejarah, sementara ruh dan semangat para pendahulu telah hilang dari kita."



Sejarah membuktikan: ruh yang sama, jika dikawinkan dengan strategi baru, akan membangkitkan kejayaan.

Umar bin Khattab dan Abu Bakar tidak memimpin dengan cara yang sama. Utsman bin Affan membangun armada laut, sesuatu yang tak dilakukan sebelumnya. Ali bin Abi Thalib menyelesaikan konflik internal dengan kebijaksanaan tersendiri.

Lihat juga Umar bin Abdul Aziz. Dengan ruh khilafah yang bersih, ia mengembalikan keadilan sosial dalam waktu singkat. Lihat Shalahuddin Al-Ayyubi. Ia menyatukan kembali negeri-negeri Islam yang tercerai dan menaklukkan Al-Quds. Lihat Muhammad Al-Fatih. Ia menaklukkan Konstantinopel dengan teknologi meriam dan strategi pengepungan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Mereka semua punya ruh yang sama, tetapi strategi yang kontekstual. Inilah pelajaran penting bagi kita: kejayaan Islam tidak akan terulang hanya dengan mengutip masa lalu, tetapi dengan menjiwai ruhnya dan menyesuaikan caranya.

Sekarang, hidupkan ruh itu. Juga bangun tubuhnya. Tubuh berupa strategi. Tubuh berupa gerakan. Tubuh berupa pemimpin dan umat yang bersatu.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya, adalah tanggung jawab generasi ini.

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Rasulullah ﷺ baru saja melepas pas...

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Rasulullah ﷺ baru saja melepas pasukan Usamah bin Zaid menuju Syam. Tapi belum sempat menyaksikan hasil perjalanannya, beliau dipanggil oleh Allah. Di ujung kehidupan beliau yang mulia, masih ada tugas yang belum selesai: pembebasan negeri-negeri besar yang menjadi pusat kekuatan dunia saat itu.

Syam adalah jantung kekaisaran Bizantium. Di sanalah jejak darah para syuhada Muslim mengering: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur dalam Perang Mu’tah. Maka, ketika Rasulullah ﷺ menunjuk Usamah bin Zaid—seorang pemuda—untuk memimpin ekspedisi ke Syam, itu adalah pesan penting: misi ini belum selesai, tapi harus terus berjalan.

> "Siapkanlah pasukan Usamah! Semoga Allah memberkahi pasukan itu."
(HR. Ahmad)



Belum sempat menanti kabar kemenangan, Rasulullah ﷺ wafat. Maka siapakah yang melanjutkan misi ini?

Abu Bakar Ash-Shiddiq: Menyambung Benang yang Terputus

Abu Bakar di tengah  menyelesaikan badai dahsyat: kemurtadan dan nabi-nabi palsu. Beliau mengutus pasukan Usamah seperti yang diwasiatkan Rasulullah ﷺ. Meski ditentang oleh beberapa sahabat, Abu Bakar tegas:

> "Demi Allah, aku tidak akan membatalkan pasukan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ."



Begitulah Abu Bakar menjaga warisan Nabi. Tapi waktu tidak memberinya banyak ruang. Beliau pun wafat, dan sekali lagi, benang sejarah itu belum selesai dirajut.

Umar bin Khattab: Mematahkan Kisra dan Kaisar

Umar bin Khattab tampil menggenapi nubuwah Nabi. Di masanya, Persia runtuh. Kaisarnya tumbang. Syam dan Mesir ditaklukkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika Kisra bin Hurmuz binasa, maka tidak akan ada Kisra setelahnya. Jika Kaisar binasa, maka tidak akan ada Kaisar setelahnya..."
(HR. Bukhari no. 3593)



Nubuwah ini nyata. Persia hancur. Romawi kehilangan tanah jajahan penting. Tapi Umar pun gugur. Dan misi itu belum selesai. Masih ada negeri-negeri di seberang lautan.

Utsman bin Affan: Membuka Lintasan Lautan

Utsman meletakkan fondasi armada laut pertama umat Islam. Beliau membuka pintu ke arah lautan: ke Siprus, Tunisia, dan wilayah Mediterania. Ekspedisi-ekspedisi maritim diluncurkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Pasukan pertama dari umatku yang berlayar di lautan, wajib baginya surga."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Utsman membuktikan sabda itu. Ia menapak jejak kemenangan Rasul di medan air. Namun badai fitnah membunuhnya. Dan sekali lagi, sejarah tergantung di udara.

Ali bin Abi Thalib: Meredam Fitnah, Menjaga Umat

Ali tidak mendapat kemewahan memperluas wilayah. Ia tidak membangun ekspedisi. Ia menjaga nyawa umat dari saling tikam.

Perang Jamal. Perang Shiffin. Fitnah internal. Ali memikul beban sejarah paling berat: menjaga rumah umat dari kehancuran.

Namun, sekeras apa pun usahanya, Ali pun dibunuh. Dan sejarah kembali meminta pewaris.

Hasan bin Ali: Damai Lebih Tinggi dari Tahta

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin. Semoga Allah mendamaikan dengan perantaraannya dua kelompok besar dari kaum Muslimin."
(HR. Bukhari no. 2704)



Hasan bin Ali tidak bertempur. Ia melepaskan kekuasaan demi kedamaian. Langkahnya bukan kelemahan, tapi nubuwah.

Kini, para khalifah setelahnya menyambung kembali benang yang lama terputus. Siapkah membebaskan Konstantinopel dan Roma?



Muawiyah bin Abu Sufyan: Ekspedisi ke Konstantinopel

Muawiyah memulai jihad maritim besar. Antara tahun 49–55 H, ia meluncurkan ekspedisi darat dan laut menuju Konstantinopel. Medan yang sangat sulit:

Kota dengan perlindungan benteng berlapis.

Dijaga laut dan armada tangguh.

Jauh dari pusat kekuasaan Islam (Damaskus).


Tapi Muawiyah tidak mundur. Ia kirim sahabat-sahabat utama. Jalan menuju penaklukan Konstantinopel dibuka.

Harun ar-Rasyid: Membuat Bizantium Tunduk

Harun ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah melanjutkan jihad ini. Ia mengirim jenderal Humayd bin Ma’yuf al-Hajbi memimpin ekspedisi besar. Kaisar Nikephoros sempat menghinakan Islam. Tapi Harun membalas:

> "Dari Harun, Amirul Mukminin, kepada kaisar Romawi. Telah engkau baca suratmu, dan jawabannya akan kau lihat, bukan kau dengar."



Pasukannya menghantam jantung Bizantium. Kaisar tunduk dan membayar upeti. Namun dua kekhalifahan yang telah berdiri tidak juga membebaskan Konstantinopel, siapakah yang akan melanjutkan?

Muhammad Al-Fatih: Menggenapi Penaklukan

Saat Abbasiyah runtuh, Khilafah Utsmaniyah muncul. Muhammad Al-Fatih menuntaskan nubuwah Rasulullah ﷺ:

> "Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya."
(HR. Ahmad)



Konstantinopel jatuh. Tapi Al-Fatih belum puas. Ia siapkan pasukan ke Italia untuk membebaskan Roma. Namun di tengah perjalanan:

> Sejarah mencatat: Muhammad Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Dalam perjalanan menuju Italia, beliau wafat sebelum mencapai Roma.



Mengapa Al-Fatih tak berhasil menaklukkan Roma? Karena Allah masih menyisakan tugas untuk generasi selanjutnya.

Sejarah Tak Pernah Selesai

Seakan-akan, Allah menulis sejarah ini secara bersambung. Agar setiap generasi punya bagian. Agar kita tidak hanya menjadi pembaca sejarah, tapi pelanjut.

Hari ini, nubuwah Rasul belum tuntas:

Roma belum dibebaskan.

Sistem keadilan ekonomi belum ditegakkan.

Dunia masih dikuasai oleh 1% elite ekonomi.


Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Akan datang suatu masa di mana seorang manusia berkeliling membawa zakat, namun tidak seorang pun yang membutuhkan."
(HR. Ahmad dan al-Hakim)



Maka ini bukan nostalgia. Ini kewajiban. Para sahabat gelisah bila nubuwah belum terwujud. Mereka merasa bersalah jika belum menuntaskan tugas Rasul.

Apakah kita memiliki kegelisahan yang sama?

Sekarang Giliran Kita

Kita tidak hidup di zaman penaklukan kota, tapi kita masih memikul penaklukan ide. Penaklukan ketimpangan. Penaklukan kemiskinan. Penaklukan kebodohan.

Kita tidak mengangkat pedang, tapi kita membawa pena, ilmu, teknologi, dan kekuatan moral.

Mari naikkan level kegelisahan kita. Bukan dalam skala pribadi. Tapi dalam skala umat.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya adalah tanggung jawab generasi ini.

Nubuwah Perguliran Peradaban  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- "Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. ...

Nubuwah Perguliran Peradaban 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

"Akan ada pada kalian masa kenabian selama Allah menghendaki. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Setelah itu akan ada kekhilafahan di atas manhaj kenabian, lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki. Kemudian akan datang masa kerajaan menggigit (mulkan ‘aḍdan), lalu Allah mengangkatnya bila Dia menghendaki. Lalu datang masa kerajaan diktator (mulkan jabriyyan), kemudian Allah angkat bila Dia menghendaki. Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."

(HR. Ahmad)


---

Dalam sunyi malam dan renung sejarah, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan peta besar peradaban umat ini. Bukan sekadar nubuwah, melainkan peta spiritual tentang pergiliran zaman. Sebuah siklus yang bukan hanya menandai naik turunnya kekuasaan, tetapi juga mengukur kualitas ruhani umat.

Dari kenabian menuju kekhalifahan, dari kekhalifahan menuju kerajaan, dari kerajaan ke otoritarianisme, lalu kembali lagi pada khilafah yang bersandar pada manhaj kenabian. Ini bukan sekadar urutan waktu, ini adalah pusaran peradaban.

Awal yang Agung: Khilafah Rasyidah

Masa setelah wafatnya Nabi ﷺ️ menyisakan pertanyaan terbesar: siapa yang akan melanjutkan tongkat estafet kenabian? Meski tak menunjuk secara eksplisit dalam bentuk teks pewarisan, Rasulullah ﷺ️ telah meletakkan simbol dalam tindakan. Dalam pembangunan Masjid Nabawi, beliau meminta Abu Bakar, Umar, dan Utsman masing-masing meletakkan batu di sisinya. Sebuah penataan yang tidak hanya bersifat arsitektural, tapi isyarat kenabian.

Dan sejarah pun menjawabnya: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali tampil sebagai empat mata rantai pertama dari kekhilafahan di atas manhaj kenabian. Mereka memimpin bukan hanya dengan kekuasaan, tetapi dengan jiwa kenabian yang diwariskan.

Bergulir ke Dinasti: Kerajaan Menggigit

Namun kekuasaan adalah amanah yang berat. Ia melelahkan, dan sejarah menunjukkan bahwa idealisme awal umat mulai bergeser. Setelah Hasan bin Ali — sang pemersatu dua kelompok besar umat — menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, babak baru dimulai.

> “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin (sayyid), dan semoga Allah memperbaiki dengan sebab dia antara dua kelompok besar dari kaum Muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 2704)



Muawiyah memulai era baru yang dikenal sebagai mulk ‘aḍdan, kerajaan menggigit. Kekuasaan mulai diwariskan secara turun-temurun. Meski tetap dalam bingkai Islam, coraknya berbeda. Politik mulai mengambil bentuk dinasti. Bani Umayyah berkuasa. Kemudian datang Bani Abbas.

Isyarat Kenabian: Umayyah dan Abbasiyah

Rasulullah ﷺ️ telah memberikan isyarat:

> "Jika kekuasaan keturunan Muawiyah hanya sehari, maka kekuasaan keturunan Abbas akan dua kali lipat dari itu." (HR. Thabrani dan lainnya)



Ini bukan soal durasi waktu, tetapi soal skala dan pengaruh. Dan itu terbukti: Umayyah memerintah dari Damaskus, meluas sampai Andalusia. Abbasiyah tampil sebagai pusat intelektual dunia dari Baghdad.

Namun tetap, keduanya berada dalam siklus kerajaan menggigit: mewariskan, mempertahankan, terkadang dengan tangan besi.

Turki Utsmani: Penerus Tanpa Teks

Setelah Baghdad hancur, khilafah nyaris padam. Tapi takdir Allah membalikkan keadaan. Bangsa yang dulu dikenal sebagai pelindung Abbasiyah, yakni bangsa Turki, tampil menjadi pemimpin dunia Islam.

Turki Utsmani bukan hanya meneruskan kekuasaan, tetapi menunaikan nubuwah:

> “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad dan Hakim)



Muhammad Al-Fatih bukan hanya penakluk kota, tetapi penjaga nubuwah. Dan Utsmani berdiri sebagai puncak terakhir sebelum fase mulk jabriyyan mengambil alih.

Mulk Jabriyyan: Era Diktator dan Kegelapan

Zaman modern menyaksikan fase ini. Kekuasaan berpindah ke tangan-tangan besi. Sekularisme, kolonialisme, nasionalisme sempit, dan pemujaan pada militer menjadi wajah dominan dunia Islam. Khilafah dihapus secara resmi tahun 1924. Umat tercerai-berai menjadi negara-negara kecil yang terkungkung batas-batas buatan.

Di sinilah fase mulk jabriyyan mencapai puncaknya. Dan justru dalam kegelapan seperti ini, nubuwah bersinar lagi:

> "Kemudian akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian."



Nubuwah Persia dan Romawi: Keruntuhan Kekuasaan Dunia

Rasulullah ﷺ️ telah menubuatkan:

> "Kalian akan memerangi Jazirah Arab hingga Allah menangkan kalian, lalu Persia hingga Allah menangkan kalian, lalu Romawi (Rum) hingga Allah menangkan kalian, setelah itu Dajjal hingga Allah menangkan kalian." (HR. Muslim 5161)



Dan benar adanya.

> “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya. Dan jika Qaisar binasa, maka tidak ada Qaisar setelahnya...” (HR. Bukhari dan Muslim)



Imam Nawawi menegaskan bahwa maksudnya adalah, sistem imperium mereka tidak akan kembali. Mereka akan lenyap sebagai kekuatan hegemonik.

Ibnu Hajar menyatakan, ini adalah nubuwah yang telah nyata: Persia runtuh di masa Umar. Romawi Timur kehilangan jantungnya saat Konstantinopel ditaklukkan.

Roma sendiri masih menanti.

Menuju Roma: Nubuwah yang Belum Tuntas

Rasulullah ﷺ️ menyebut dua kota: Konstantinopel dan Roma. Yang pertama sudah ditaklukkan. Yang kedua, masih dalam janji.

Imam As-Suyuthi dalam al-Kashf ‘an Mujawazah Hadzihil Ummah al-Alf menyebut:

> "Roma akan ditaklukkan setelah Konstantinopel. Jika belum terjadi, maka itu tanda janji Allah belum tuntas, dan akan terjadi menjelang akhir zaman."



Ibn Katsir dalam An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim juga menyatakan:

> "Penaklukan Roma adalah bagian dari kemenangan akhir zaman, beriringan dengan bangkitnya Islam sebagai kekuatan dunia."



Renungan Akhir: Apa Peran Kita?

Perguliran kekuasaan bukan sekadar narasi sejarah. Ia adalah undangan kontemplatif: di fase manakah kita hidup sekarang? Dan di mana posisi kita dalam nubuwah itu?

Hari ini, dunia Islam tak lagi bersatu di bawah satu payung. Namun janji Rasulullah ﷺ️ bukan isapan jempol. Ia pasti terjadi. Akan datang kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian.

Bukan untuk memaksakan mimpi sejarah, tetapi untuk membangkitkan jiwa. Untuk mempersiapkan hati. Agar saat fajar itu menyingsing, kita termasuk yang menyalakan pelita.

Bukan sebagai pengamat sejarah. Tetapi sebagai bagian darinya.


---

"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka ahli waris (bumi)." (QS. Al-Qashash: 5)

Bertindak dengan Efektivitas Tinggi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada saatnya kemenangan besar justru muncul dari tindakan kecil. B...

Bertindak dengan Efektivitas Tinggi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ada saatnya kemenangan besar justru muncul dari tindakan kecil. Bukan dari kekuatan yang meledak-ledak, tapi dari langkah yang tepat sasaran. Inilah seni strategi ilahiah: memukul di tempat yang benar, meski dengan tenaga terbatas.

Allah menunjukkan kepada manusia, dari zaman Nabi Nuh hingga Khalid bin Walid, bahwa kemenangan tidak diukur dari seberapa banyak kita bergerak, tapi dari seberapa jitu kita melangkah.


---

Kapal di Tengah Banjir Besar

Mari kita mulai dari kisah Nuh 'alaihis salam. Saat dunia dilanda banjir besar, perintah Allah kepada beliau tidaklah rumit:

> "Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan wahyu dari Kami..."
(QS. Hud: 37)



Hanya sebuah kapal. Satu benda, satu alat. Tapi ia menjadi garis pemisah antara keselamatan dan kebinasaan. Allah tidak meminta Nabi Nuh menahan banjir, atau memindahkan gunung, hanya: bangunlah kapal. Titik.

Efektivitas tinggi. Minimum upaya, maksimum hasil. Itulah pola kemenangan para nabi.


---

Sasaran Jelas dalam Perang

Dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan tentang strategi yang sangat spesifik:

> "Pukullah bagian leher mereka dan potonglah tiap-tiap ujung jari mereka."
(QS. Al-Anfal: 12)



Leher: pusat kehidupan. Jari: pusat kontrol dan mobilisasi kekuatan. Bukan tubuh secara keseluruhan yang disasar, tapi titik-titik vital. Ini bukan sekadar perintah perang, tapi pelajaran strategi: pukul titik pusat, bukan seluruh permukaan.


---

 Parit yang Menghentikan Ribuan Pasukan

Dalam Perang Ahzab, Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak membuat benteng besar atau menyiapkan pasukan tambahan. Cukup menggali parit—sebuah strategi yang belum dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya.

Salman Al-Farisi yang mengusulkan ide ini, dan Rasulullah ﷺ langsung menerimanya. Parit itulah yang menjadi tameng tak terlihat:

> "Ketika pasukan Quraisy datang dan melihat parit itu, mereka terkejut dan berkata: 'Ini adalah tipu daya yang tidak pernah dikenal bangsa Arab sebelumnya.'"
(Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir)



> "Kuda-kuda mereka tidak sanggup melompatinya. Mereka kebingungan."
(Sirah Ibnu Hisyam)



Efeknya sangat besar: pasukan koalisi yang kuat dan bersatu menjadi stagnan, frustasi, dan akhirnya bubar karena kelelahan dan terpaan badai. Parit itu bukan hanya penghalang fisik, tapi juga pemutus psikologis.

Allah pun berfirman:

> "Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika datang pasukan-pasukan (Ahzab) kepadamu, lalu Kami kirim kepada mereka angin dan pasukan-pasukan yang tidak terlihat olehmu..."
(QS. Al-Ahzab: 9)




---

Strategi Ilusi di Perang Mu’tah

Perang Mu’tah adalah saksi bagaimana 3.000 pasukan Muslim menghadapi lebih dari 100.000 pasukan Romawi. Bukan kemenangan total secara fisik, tapi kemenangan strategi dan kelangsungan dakwah.

Setelah tiga panglima utama syahid, panji dipegang oleh Khalid bin Walid. Beliau tidak menerjang membabi buta, tapi merancang strategi cerdik:

1. Reorganisasi formasi: barisan depan ditukar dengan belakang, sayap kanan menjadi kiri, dan sebaliknya.


2. Debu ditabur: pasukan berjalan membentuk debu besar agar musuh mengira bala bantuan dari Madinah telah datang.


3. Mundur teratur: bukan lari panik, tapi penarikan pasukan yang sistematis.



Ibnu Katsir menulis:

> "Allah menyelamatkan pasukan Muslim melalui tangan Khalid bin al-Walid."
(Al-Bidayah wan-Nihayah)



Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan:

> "Khalid menyusun siasat mundur taktis yang membuat musuh merasa dikepung kekuatan baru. Padahal itu hanya pergantian posisi dan formasi."



Ilusi menjadi strategi, strategi menjadi penyelamat.


---
 Menundukkan Gajah, Bukan Menumbangkannya

Di medan perang melawan Persia, gajah-gajah besar menjadi senjata intimidasi. Tapi pasukan Muslim tak menanggapi dengan kepanikan. Mereka tidak sibuk menumbangkan tubuh besar itu satu-satu. Mereka fokus ke titik lemahnya: mata.

Begitu gajah buta, ia kehilangan arah. Dan saat gajah panik, seluruh formasi musuh menjadi kacau.


---

Efektivitas Itu Tajam, Bukan Ramai

Semua kisah ini menyiratkan satu pesan: jangan remehkan langkah kecil yang terarah. Dalam strategi Allah, yang kecil bisa mengalahkan yang besar, asal tepat.

Efektivitas bukan tentang kuantitas, tapi tentang presisi. Bukan tentang jumlah pasukan, tapi ketepatan langkah. Bukan tentang banyaknya senjata, tapi tentang arah pukulan.

Rasulullah ﷺ tidak pernah berpikir linear. Beliau tidak sibuk mengumpulkan jumlah terbanyak, tapi menata kekuatan terbaik. Tidak asal bergerak, tapi membaca celah dan mengatur nafas.


---

Kemenangan adalah Ilmu dan Keikhlasan

Lihatlah: Nabi Nuh dengan kapal. Rasulullah ﷺ dengan parit. Khalid bin Walid dengan formasi. Pasukan Muslim dengan panah ke mata gajah. Semua bukan tentang kekuatan raksasa, tapi kejelian menangkap titik penting.

Allah mengajarkan kita bahwa kemenangan bukan hasil dari ledakan energi, tapi dari ketundukan pada hikmah dan ilmu-Nya.

> "Sesungguhnya kemenangan itu hanya datang dari sisi Allah."
(QS. Al-Anfal: 10)



Jadi, ketika engkau merasa kecil, tidak berdaya, dan tak punya banyak sumber daya, jangan takut. Cukup temukan titik lemah musuhmu. Lalu pukul di sana—dengan iman, dengan ilmu, dan dengan doa.

Itulah kemenangan sejati: sedikit bergerak, besar hasilnya.

Pertolongan Allah Itu Tak Terasa Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Kadang kita membayangkan pertolongan Allah itu datang dalam bent...

Pertolongan Allah Itu Tak Terasa
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Kadang kita membayangkan pertolongan Allah itu datang dalam bentuk luar biasa: mukjizat langit, ledakan kekuatan, atau hancurnya musuh dalam sekejap. Tapi sejarah, dan lebih dalam lagi: wahyu, justru mengajarkan sebaliknya. Bahwa pertolongan Allah sering kali tidak terasa. Ia hadir dengan cara yang lembut, tenang, kadang tampak biasa. Tapi di situlah kemenangannya tersembunyi.

> "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)."
(QS. Ath-Thalaq: 2–3)



Takdir kemenangan pertama kaum Muslimin di Perang Badar memperlihatkan itu dengan sangat jelas. Langit tidak menurunkan petir api untuk membakar musuh. Tidak juga menurunkan gempa untuk merobohkan kemah Quraisy. Tapi yang turun... adalah hujan. Hujan malam sebelum perang. Hujan biasa, tapi bermakna luar biasa.

Hujan itu membersihkan tubuh para pejuang yang kelelahan, menyegarkan fisik yang akan bertempur. Lebih dari itu, ia menjadi air penyucian batin. Menghilangkan was-was setan. Membasuh keraguan. Membangunkan semangat.

> “Dan Allah menurunkan hujan kepadamu dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu, dan menghilangkan gangguan syaitan dari kamu, dan untuk menguatkan hatimu serta meneguhkan dengannya telapak kaki (mu).”
(QS. Al-Anfal: 11)



Namun, perhatikan lebih dalam: hujan itu tidak turun merata. Di sisi kaum Muslimin, ia turun lembut. Tanah menjadi padat, nyaman untuk pijakan. Di sisi musyrikin Quraisy, hujan lebih deras. Tanah becek dan licin. Bukankah ini cara langit mengintervensi geospasial dengan penuh kelembutan?

Lihat pula strategi posisi. Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat telah lebih dulu tiba di sumur Badar. Mereka menguasai sumber air. Rasulullah menempatkan markas di dataran yang lebih tinggi. Sementara Quraisy datang dari arah berpasir yang rendah. Tanah mereka becek oleh hujan. Gerakan mereka berat.

Semua tampak biasa. Tapi bukankah di balik semua itu ada tangan langit yang mengatur?

Bahkan pandangan pun dijaga oleh Allah. Allah memperlihatkan jumlah musuh sebagai sedikit di mata kaum Muslimin, agar mereka tidak gentar. Allah juga membuat pasukan musuh melihat kaum Muslimin seakan banyak dan kuat. Bahkan muncul pasukan misterius berkuda berbaju putih dari sisi langit. Malaikat?

> “Ingatlah ketika Allah memperlihatkan mereka (musuh-musuhmu) kepadamu dalam mimpimu (sebagai) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepadamu (dalam jumlah) banyak, niscaya kamu akan menjadi gentar dan kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu. Tetapi Allah telah menyelamatkan kamu.”
(QS. Al-Anfal: 43)



> “Dan (ingatlah) ketika Allah menampakkan mereka kepadamu ketika kamu berjumpa mereka (di medan perang), sebagai jumlah yang sedikit di matamu, dan kamu pun dijadikan sedikit dalam pandangan mereka, agar Allah melaksanakan suatu urusan yang sudah ditetapkan.”
(QS. Al-Anfal: 44)



Pertolongan itu pun turun lewat kantuk.

> “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu ketenteraman dari-Nya...”
(QS. Al-Anfal: 11)



Bayangkan, menjelang perang hidup dan mati, Allah justru membuat mereka tertidur sejenak. Tapi bukan tidur karena lelah. Ini adalah ‘na’as’—kantuk ilahiah. Penyegaran batin. Penyeimbang emosi. Penenang jiwa. Pertolongan langit yang tak terlihat, tapi terasa di dalam hati.


---

Kita pun menyaksikan pola yang sama dalam sejarah tanah air.

Saat Jenderal Sudirman memimpin gerilya dan dikepung Belanda, hujan deras turun. Petir menggelegar. Tentara Belanda kehilangan arah. Sudirman lolos. Atau saat markas Letkol Soeharto hendak disergap musuh, tiba-tiba listrik padam. Gelap total. Belanda kehilangan sasaran. Mereka membatalkan penyergapan.

Itu bukan kebetulan. Itu pola langit yang sama: pertolongan Allah itu tak terasa.


---

Dalam Perang Uhud, situasi nyaris berbalik tragis. Rasulullah صلى الله عليه وسلم terluka. Gigi beliau patah. Darah mengalir dari wajahnya. Musuh menyerang dari belakang setelah para pemanah lalai.

Namun, Allah menyelamatkan Rasulullah melalui sebuah celah kecil di kaki Gunung Uhud. Dikenal sebagai “Syib Rasul”—Celah Rasulullah. Di situ beliau terjatuh dan para sahabat membentuk perisai hidup: Abu Dujanah, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan lainnya.

> "Rasulullah berlindung di celah bukit, sementara para sahabat menjaga beliau dari semua sisi."



Gunung itu bukan sekadar batu. Ia menjadi tameng. Rasulullah bersabda:

> “Uhud adalah gunung yang mencintai kami, dan kami mencintainya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)



Ketika tidak ada lagi benteng, Allah jadikan celah kecil di gunung sebagai istana perlindungan. Ketika tidak ada lagi pasukan, Allah jadikan tubuh sahabat sebagai perisai hidup. Ketika dunia memusuhi, langit menutupi.


---

Itulah rahasia pertolongan Allah: lembut tapi menguatkan. Diam tapi menentukan. Tak terasa, tapi menyelamatkan.

Allah tidak butuh teriakan. Ia tidak butuh demonstrasi kekuatan. Cukup hujan. Cukup gelap. Cukup kantuk. Cukup celah sempit di batu. Dan kemenangan pun datang.

Jika hari ini engkau sedang berjuang, dan merasa sendiri... Jika engkau tak melihat keajaiban besar... Jika engkau hanya melihat hujan, rasa lelah, gelap, dan sepi...

Jangan takut. Mungkin itulah pertolongan Allah sedang bekerja. Pelan-pelan. Diam-diam. Tanpa terasa. Tapi nyata.

> "Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

Takdir Umat Islam Menurut Umat Terdahulu: Pembebas Timur dan Barat Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Pernahkah kita merenung sejena...

Takdir Umat Islam Menurut Umat Terdahulu: Pembebas Timur dan Barat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Pernahkah kita merenung sejenak, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad ﷼ lahir ke dunia, kabar tentang beliau dan umatnya telah disebut-sebut oleh para nabi terdahulu? Bahwa umat ini, umat Islam, adalah umat pilihan—pembebas dari gelapnya zaman, penakluk kekuatan batil, dan pelita dari Timur hingga ke Barat?

Bayangkan, seorang nabi besar seperti Musa tercengang. Bukan karena mukjizat laut terbelah atau tongkat yang berubah menjadi ular. Tapi karena satu hal yang menggetarkan jiwa: umat akhir zaman, yang amalnya tampak lebih ringan, justru diberi keutamaan luar biasa oleh Allah.

Ibnu al-Jauzi, dalam mahakaryanya al-Tabsirah (Juz 1), menuliskan sebuah percakapan penuh kekaguman:

> "Ya Tuhanku, aku melihat dalam catatan umat akhir zaman, mereka yang paling dahulu masuk surga meskipun amal mereka lebih sedikit. Mereka hafal kitab suci di dada-dada mereka, dan mereka melantunkannya di siang dan malam. Jadikanlah mereka umatku."



Lalu Allah menjawab:

> "Itu adalah umat Ahmad."



Betapa harunya hati seorang Nabi ketika menyaksikan keagungan umat yang akan datang setelahnya.

Dalam bagian lain kitab yang sama, Ibnu al-Jauzi meriwayatkan:

> "Aku mendapati dalam kitab Taurat, akan datang satu umat yang mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, dan berjihad di jalan Allah. Ya Allah, jadikanlah mereka umatku."



Lagi-lagi, jawabannya sama:

> "Mereka adalah umat Ahmad."



Ini bukan sekadar pujian. Ini adalah pernyataan langit. Sebuah isyarat bahwa umat Nabi Muhammad ﷼ bukan hanya besar dalam jumlah, tapi juga kuat dalam jiwa. Mampu mengalahkan musuh terbesar akhir zaman: Dajjal. Sementara nabi-nabi sebelumnya hanya mampu memperingatkan tentang bahayanya.

Lalu, apakah kekuatan ini murni berasal dari senjata dan jumlah? Tidak. Ia datang dari cahaya iman, kekuatan ibadah, dan keberanian spiritual yang tak tertandingi.


---

Mari menelusuri waktu. Sekitar dua abad sebelum kelahiran Rasulullah ﷼, seorang penguasa Syam bernama Nadhr bin Rabi‘ah mengalami sebuah mimpi. Mimpi yang begitu terang dan mengusik batinnya. Ia melihat cahaya besar muncul dari Makkah, menyinari seluruh Jazirah Arab hingga ke negeri Syam. Di atas Ka'bah, berdiri seorang laki-laki yang menyeru manusia untuk hanya menyembah Allah.

Terkejut dan penasaran, Nadhr mengumpulkan rahib dan ahli tafsir mimpi:

> "Aku bermimpi ada seseorang dari Makkah yang kelak akan mengguncang dunia ini. Apakah ini kabar tentang seorang nabi yang akan datang?"



Seorang rahib dari keturunan Nabi Isa menjawab tenang:

> "Ya, ini adalah cahaya kenabian terakhir. Ia akan lahir di tengah padang pasir, tetapi akan menyinari Syam dan seluruh dunia."



Lalu Nadhr menulis mimpinya, menyimpannya sebagai warisan, dan berpesan kepada keturunannya:

> "Jika mimpi ini benar, maka anak keturunanku kelak harus menjadi orang pertama yang beriman kepada nabi akhir zaman."



Tidakkah ini cukup menjadi saksi bahwa kelahiran Rasulullah ﷼ adalah janji lama yang ditunggu peradaban?


---

Kisah lain datang dari tanah suci. Dari seorang tua yang mulia: Abdul Muthalib. Suatu malam ia tertidur di al-Hijr, bagian Ka'bah yang penuh berkah. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya keluar dari tulang rusuknya. Cahaya itu menjulang ke langit, menembus gurun dan gunung, menyinari Timur dan Barat.

Dalam mimpi itu, terdengar suara berkata:

> "Dari keturunanmu akan lahir seorang pemimpin yang akan mengguncang zaman. Ia membawa kebenaran, dan namanya akan disebut di langit dan bumi."



Ketika ia bangun, tubuhnya menggigil. Ia segera mencari para rahib dari Yaman dan Syam. Salah satu dari mereka berkata:

> "Jika mimpimu benar, maka salah satu keturunanmu akan menjadi Nabi umat akhir zaman."



Sejak saat itu, Abdul Muthalib menjaga dan mencintai cucunya, Muhammad ﷼, dengan sepenuh hati. Karena ia tahu, cahaya yang dilihatnya telah mengambil wujud.


---

Buya Hamka, dalam Sejarah Umat Islam, menegaskan bahwa umat ini tidak pernah benar-benar hancur. Hanya jatuh, lalu bangkit kembali. Seperti ombak yang surut untuk kembali menggulung lebih besar.

Perang Salib yang mengerikan? Tartar yang membakar Baghdad? Semua akhirnya dikalahkan oleh umat Islam. Bahkan dari kehancuran, lahir pahlawan. Salahuddin al-Ayyubi, Baybars, Sultan Murad.

Konstantinopel yang dahulu benteng tak tertembus, akhirnya runtuh di tangan Muhammad al-Fatih.

Penjajahan Eropa yang menyayat tanah Muslim? Juga akhirnya tumbang. Umat ini memang diuji. Tapi tak pernah padam. Seperti bara yang tak mati. Ia hanya menunggu waktu untuk menyala kembali.


---

Namun, pertanyaan penting mengemuka: Mengapa masih ada rasa rendah diri di hadapan bangsa lain?

Padahal sebelum kita hadir, umat-umat terdahulu sudah mengakui keagungan umat ini.

> "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk (kebaikan) manusia, karena kalian menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110)



Umat ini bukan dipilih karena bangsanya. Bukan karena leluhurnya. Tapi karena amal dan peran: menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman dengan sepenuh keyakinan.

Inilah amanah besar. Inilah syahadah umat.


---

Kini, kita hidup di zaman yang penuh keraguan. Di mana kebanggaan sering kalah oleh kekaguman pada yang asing. Di mana banyak dari kita lupa siapa kita.

Padahal, setiap Nabi telah menyebut-nyebut kita.

Padahal, dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur—ada deskripsi tentang umat Muhammad ﷼: kuat dalam iman, teguh dalam amal, dan luas dalam pengaruh.

Tidakkah ini cukup untuk membuat kita bangga tanpa menjadi sombong? Kuat tanpa menjadi congkak?

Umat ini adalah lilin di tengah kegelapan. Cahaya di ujung malam. Umat yang disiapkan bukan hanya untuk satu tempat, tapi untuk dunia. Timur dan Barat.

Sebagaimana doa Abdul Muthalib, Sebagaimana mimpi Nadhr bin Rabi‘ah, Sebagaimana harapan Nabi Musa,

Kita adalah bagian dari janji besar itu.

Kini saatnya kita bukan hanya membaca kisah ini dengan mata. Tapi juga dengan jiwa.

Saatnya umat ini kembali mengambil peran.

Sebagai pelita. Sebagai pemimpin. Sebagai rahmat bagi semesta alam.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (575) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (254) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (237) Sirah Sahabat (153) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (154) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)