basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Tunggulah! Dengarkan Jawaban dari Allah SWT Oleh: Nasrulloh Baksolahar Suatu senja yang tenang di Kufah. Langit mengguratkan war...

Tunggulah! Dengarkan Jawaban dari Allah SWT

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Suatu senja yang tenang di Kufah. Langit mengguratkan warna keemasannya, dan angin padang pasir menyusup pelan melalui sela-sela rumah-rumah para tabi’in.

Di dalam sebuah masjid yang sederhana, seorang ulama besar berdiri menjadi imam. Namanya terukir dalam sejarah keilmuan Islam: Sufyan Ats-Tsauri.

Malam itu, ia mengimami shalat Maghrib. Para murid berdiri khusyuk di belakangnya. Saat ia membaca surat pembuka Kitabullah, terdengar suaranya menggetarkan:

"Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in…”
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan…”

Lalu… suara itu terhenti.

Tidak karena lupa. Bukan karena sakit.

Tetapi karena tangis.
Tangis seorang yang tahu betapa beratnya janji dalam ayat itu.
Tangis seorang yang takut bahwa ibadahnya mungkin belum tulus.
Tangis seorang alim yang merasa kecil di hadapan Tuhan yang Mahabesar.

Ia diam cukup lama. Lalu perlahan mengulang kembali dari awal:
"Bismillahirrahmanirrahim… Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin…”

Dan lagi-lagi, saat sampai di ayat kelima, tubuhnya terguncang. Air matanya menetes. Ia tak sanggup melewati barisan ayat itu dengan ringan.

Karena di sanalah puncak dari semua kejujuran hati:
Kita sembah Engkau. Kita mohon hanya kepada-Mu.

Seseorang dari barisan jamaah bertanya setelah shalat, “Wahai Imam, mengapa engkau menangis terus setiap membaca Al-Fatihah?”

Sufyan menjawab pelan, “…Aku takut.”
“Aku takut… jika aku termasuk orang yang tidak beruntung.”
“Aku takut… ayat-ayat Al-Fatihah itu tidak berlaku padaku.”
“Aku takut menjadi pendusta dalam ibadah yang seolah kusampaikan.”


---

Tangisan Seorang Alim, Bukan Karena Dunia

Atha’ Al-Khuffaf, salah seorang tabi’in, pernah bersaksi, “Aku tak pernah melihat Sufyan kecuali dalam keadaan menangis.”

“Kenapa engkau selalu menangis, wahai Sufyan?” tanyanya suatu hari.

Dan Sufyan menjawab dengan suara bergetar, “Karena aku membaca surat yang menjadi Ummul Kitab… dan aku belum yakin apakah aku benar-benar termasuk dalam kandungannya…”

Ia menyebut surat Al-Fatihah.
Surat yang dibaca berkali-kali dalam sehari.
Surat yang mungkin dilafalkan lidah, tapi tidak masuk ke dalam dada.

Sufyan menangis bukan karena ia tak bisa membaca.
Bukan karena ia lupa ayat.
Tapi karena ia takut berbohong kepada Allah saat berkata “Iyyaka na’budu.”


---

Berhenti di Setiap Ayat, Menikmati Jawaban Allah

Adab ini juga diwariskan oleh seorang pemimpin agung: Umar bin Abdul Aziz.

Khalifah yang zuhud itu dikenal membaca Al-Fatihah dengan lambat. Tidak tergesa. Dan ada jeda di antara ayat.

Saat ditanya, “Mengapa engkau diam di antara ayat, wahai Amirul Mukminin?”

Ia menjawab lembut, “Karena aku sedang menunggu jawaban Allah.”

Ya. Menunggu jawaban Allah.

Sebab, dalam riwayat sahih, Rasulullah ï·º bersabda:

> “Aku telah membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Maka jika ia berkata: ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’
Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’.
Jika ia berkata: ‘Ar-Rahmanir Rahim’
Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’.
Dan seterusnya…”



Surat ini bukan monolog.
Ia dialog.
Surat ini bukan sekadar bacaan.
Ia perjumpaan.


---

Mengapa Kita Terburu-buru Membaca Doa yang Sedekat Itu?

Surat Al-Fatihah bukan sembarang surat. Ia adalah panggilan dari langit yang turun langsung ke dalam dada manusia. Ia adalah satu-satunya surat yang wajib dibaca dalam setiap rakaat.

Namun mengapa kita sering membacanya seperti mengejar waktu?
Mengapa lidah lebih cepat dari hati?
Mengapa ayat tentang penghambaan dan permohonan kita lafalkan dengan tergesa?

Apakah kita benar-benar sedang berbicara dengan Tuhan, atau hanya sekadar mengucapkan rutinitas?

Wahab bin Munabbih—seorang alim dari generasi tabi’in—menafsirkan kalimat “Amin” sebagai sebuah harapan yang gemetar:

> “Amin itu maknanya: Ya Allah, janganlah Engkau kecewakan harapan kami.”



Bayangkan, setelah membaca permohonan dalam ayat-ayat Al-Fatihah, kita menutupnya dengan sebuah seruan: "Jangan kecewakan kami, ya Allah…"


---

Jika Surat Ini Adalah Doa, Maka Bacalah dengan Cinta

Bayangkan engkau sedang berbicara langsung dengan Tuhan.
Bayangkan engkau berdiri di hadapan-Nya, membawa beban dosa dan kerinduan yang dalam.
Lalu engkau katakan:

> “Engkaulah yang kami sembah…”
“Engkaulah tempat kami bergantung…”
“Tunjukilah kami jalan yang lurus…”



Apakah engkau akan mengucapkannya dengan cepat?
Ataukah dengan segenap cinta dan pengharapan?

Al-Fatihah adalah tangga.
Dan setiap anak tangganya mengangkatmu lebih dekat ke hadirat Ilahi.
Jika engkau terburu, mungkin kau jatuh. Tapi jika engkau pelan, engkau naik dengan selamat.


---

Bukan Soal Tajwid Saja, Tapi Rasa Takut dan Cinta

Hari ini, banyak orang belajar tajwid. Belajar makhraj dan mad. Itu penting.

Tapi pernahkah kita belajar bagaimana menangis ketika membaca Al-Fatihah?
Pernahkah kita belajar takut menjadi pembohong dalam ibadah?
Pernahkah kita belajar bagaimana diam sejenak untuk mendengar jawaban Tuhan?

Bacaan Sufyan Ats-Tsauri bukan hanya benar secara kaidah, tapi juga benar secara jiwa.

Ia menangis… karena sadar bahwa Allah sedang menyimak.

Umar bin Abdul Aziz diam… karena sadar bahwa Allah sedang menjawab.


---

Penutup: Mulailah dengan Satu Ayat Saja… Tapi Masuklah Sepenuh Jiwa

Jika engkau ingin memperbaiki shalatmu, mulailah dari surat ini.

Bacalah Al-Fatihah bukan hanya dengan lidah, tapi dengan dada.
Bacalah bukan hanya dengan hafalan, tapi dengan keinsafan.
Dan setiap kali kau ucapkan “Amin”… biarlah itu keluar sebagai harapan terakhir dari jiwa yang sangat ingin dipeluk oleh Rahmat-Nya.

Al-Fatihah bukan hanya pembuka shalat.

Ia adalah pembuka hati.
Pembuka jalan.
Dan pembuka pertemuan antara hamba dan Tuhannya.

Maka berhentilah sejenak… dan dengarkan jawaban Allah…


Sumber: 
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar 
Amru Khalid, Khowathir Qur’aniyah, Al-Itishom
Abdurrahman Asy-Syafii, Amalul Kubro, Sahara Publisher

Mengintip Abdullah Ibnu Mubarak dari Balik Malam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Malam itu, angin gurun berembus lembut menyusuri din...

Mengintip Abdullah Ibnu Mubarak dari Balik Malam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Malam itu, angin gurun berembus lembut menyusuri dinding-dinding rumah penginapan di Syam. Rombongan kami singgah untuk beristirahat setelah perjalanan panjang. Gelap menyelimuti ruangan karena tidak ada lampu menyala. Beberapa dari kami keluar mencari cahaya. Aku memilih diam.

Di tengah keheningan itu, aku termenung. Pertanyaan demi pertanyaan bergema di benakku. Apa yang membuat Abdullah Ibnu Mubarak begitu dimuliakan?

Ia shalat, kami pun shalat. Ia berpuasa, kami juga. Ia berjihad, kami ikut. Ia menunaikan haji, kami bersamanya. Tapi mengapa derajatnya begitu tinggi? Apa rahasianya?

Tiba-tiba, seberkas cahaya menembus ruang yang gelap. Bukan dari pelita, tapi dari seseorang yang baru datang membawa lampu. Dalam cahaya itu, aku melihat wajah Ibnu Mubarak. Jenggotnya basah. Bukan oleh air wudhu, tapi air mata.

Ia duduk diam. Hatinya jelas tidak di bumi. Suara isak yang pelan terdengar. Matanya menatap ke arah yang tak kasat mata. Tubuhnya seolah hadir di hadapan kami, tapi jiwanya sedang berdiri di hadapan Tuhan-Nya.

Aku berkata dalam hati, “Dengan ini dia menjadi mulia.” Saat semua lampu padam, dia justru menyalakan cahaya jiwa.

Seorang ulama, Al-Marwazi, pernah bertanya pada Imam Ahmad bin Hambal tentang rahasia kemuliaan Ibnu Mubarak.

Imam Ahmad menjawab, "Dia tidak diangkat derajatnya oleh Allah, kecuali karena banyak kebaikan yang tidak diketahui orang lain."

Air mataku mengalir. Ternyata rahasia kemuliaan bukan pada apa yang tampak, tapi yang disembunyikan. Bukan pada pujian manusia, tapi pandangan Allah di keheningan malam.

Ibnu Mubarak bukan hanya ulama. Ia juga dermawan yang menyembunyikan tangannya. Diceritakan, dalam rombongan haji yang ia biayai, tak satu pun jamaah tahu bahwa sang penyandang dana adalah dia sendiri. Ia berjalan bersama mereka, makan bersama mereka, tidur bersama mereka. Tanpa keistimewaan. Tanpa pengumuman.

Ada pula kisah tentang muridnya yang menanggung hutang besar. Hingga tak sanggup lagi belajar. Suatu hari, hutangnya lunas. Ketika ia bercerita kepada gurunya, Ibnu Mubarak hanya mendengarkan, tersenyum tipis. Ia tidak mengaku bahwa ialah pelunasinya.

Beginilah para kekasih Allah menyembunyikan kebaikan mereka seperti menyembunyikan aib. Mereka beramal bukan untuk panggung manusia, tapi untuk disaksikan oleh langit.

Di tengah dunia yang riuh mengejar pengakuan, Ibnu Mubarak diam di malam yang sunyi, menangis mengingat Hari Kiamat. Saat kita sibuk membuat konten, ia sibuk mengisi catatan malaikat yang tak pernah dipublikasikan.

Ia hidup dalam cahaya yang tak tampak, tapi sinarnya abadi.
Ia berbicara dalam diam, dan diamnya lebih keras dari ribuan khutbah.

Barangkali malam itu, Allah sedang menyampaikan pesan padaku—bahwa kemuliaan bukanlah soal seberapa banyak yang kita kerjakan, tapi seberapa jujur hati kita saat mengerjakannya. Dan seberapa sanggup kita menyembunyikannya dari riya’.

Ketika dunia mencari sorotan, Abdullah Ibnu Mubarak memilih sudut gelap malam.
Dan dari sanalah ia bersinar paling terang.


Sumber:
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar

Bergerilya Bertemu dan Belajar Bersama Nabi Khaidir Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah engkau pernah bertanya, mengapa ilmu sejat...

Bergerilya Bertemu dan Belajar Bersama Nabi Khaidir

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Apakah engkau pernah bertanya, mengapa ilmu sejati seringkali tidak hadir di ruang-ruang yang terang benderang? Mengapa para pemilik hikmah tersembunyi dari cahaya lampu dan sorotan panggung?

Begitulah pertanyaan itu bergema dalam batin Musa, sang Nabi agung. Ia tidak menanyakan soal langit dan bintang, tapi ia ingin belajar tentang jalan di balik takdir. Ia ingin tahu mengapa sebuah kapal yang tak bersalah dirusak, mengapa anak kecil dibunuh sebelum dewasa, dan mengapa sebuah tembok ditinggikan tanpa upah.

Dan yang paling mengejutkan: Allah tidak langsung menjawab pertanyaan Musa. Sebaliknya, Dia mengarahkannya untuk belajar… dari seorang hamba.

“Hamba yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan telah Kami ajarkan ilmu dari sisi Kami.” (QS Al-Kahfi: 65)

Sosok itu… tidak disebut namanya dalam Al-Qur’an. Tidak dijelaskan nasabnya. Tak tercantum pula di silsilah kenabian. Tapi seluruh dunia Islam menyebutnya: Khaidir.


---

Kau Akan Menemukannya Jika Kau Mau Mencari

Pernahkah engkau membayangkan, seorang Nabi Ulul Azmi… berjalan kaki menyeberangi padang dan samudra, hanya untuk bertemu dengan seseorang yang bahkan tak dikenal oleh masyarakatnya?

Ia tak berjumpa di istana, bukan pula di ruang kelas. Pertemuan itu bukan pada jam akademik, bukan di perpustakaan, bukan dalam seminar. Tapi… di titik pertemuan dua lautan. Di tempat sunyi. Di tempat yang ditandai bukan oleh plang nama, melainkan oleh ikan yang hidup kembali dan melompat ke laut.

Kau tahu, Musa membawa bekal. Tapi bukan makanan biasa. Bekal itu disiapkan untuk menemukan satu orang. Bukan untuk kenyang, tapi untuk petunjuk.

Dan ketika bekal itu hilang—saat itulah petunjuk ditemukan. Kadang, barulah engkau menemukan ilmu saat bekalmu habis. Ketika kesombonganmu habis. Ketika gelar dan nama yang kau bawa lenyap ditelan perjalanan panjang.


---

Ia Tak Tercatat di Struktur, Tapi Ditulis oleh Langit

Khaidir tidak punya gelar. Ia tidak duduk di bangku kekuasaan. Tidak pula dikenal di struktur keilmuan formal. Tapi ia punya sesuatu yang bahkan para profesor sulit menggapainya: rahmat dan ilmu langsung dari sisi Tuhan.

Ia tak mengajar di universitas. Ia tak dikerumuni murid. Bahkan Musa pun harus bersusah payah untuk menemuinya.

Apa ini bukan sindiran bagi kita? Yang merasa cukup dengan sertifikat, cukup dengan sanjungan, cukup dengan popularitas?

Bukankah Musa lebih tinggi derajatnya dari kita? Tapi mengapa ia masih mencari?


---

Buya Hamka dan Para Guru yang Tak Bernama

Buya Hamka pernah berkata dengan lirih, “Aku menemukan profesor-profesor sejati di dusun-dusun, di ladang, di bawah pohon, di lereng bukit. Mereka bukan profesor yang dikenal, tapi kata-katanya penuh cahaya.”

Baginya, Khaidir bukan sekadar tokoh masa lalu. Ia adalah arketipe. Ia hadir dalam bentuk yang selalu berubah. Di zaman manapun, akan selalu ada Khaidir—jika kita mau mencari.

Tapi mengapa kita jarang menemukannya?

Bisa jadi… karena kita tak mencarinya. Atau lebih parah lagi, karena kita tak mengakui siapa pun yang tak tampil di televisi, tak punya akun media sosial, tak viral di kolom trending.

Kita lupa bahwa cahaya tidak butuh panggung. Ilmu tak memerlukan sorotan.


---

Menemukan Khaidir dalam Diri Orang Biasa

Mereka yang membawa kesuburan, itulah Khaidir. Ke mana pun ia pergi, tanah yang tandus menjadi subur. Hati yang keras menjadi lembut. Pikiran yang kering menjadi bersemi.

Itu bukan karena ia berorasi. Tapi karena ia membawa rahmat.

Mereka bisa jadi adalah tetanggamu. Seorang tua renta yang tak pernah bicara, tapi bila ia menatapmu, kau merasa disingkapkan sesuatu dari balik hidup. Bisa jadi ia hanya petani, buruh, atau pelayan toko. Tapi ucapannya jernih, pikirannya tajam, hatinya bersih.

Khaidir bukan soal nama. Tapi kualitas. Dan kehadirannya bukan diukur dari ketenaran, tapi dari jejak rahmat yang ditinggalkannya.


---

Gaya Belajar yang Terbalik dari Dunia

Musa, yang biasa berdialog langsung dengan Allah, kali ini harus belajar dengan cara yang asing: diam dan mengikuti.

“Ingatlah, jangan bertanya sebelum aku jelaskan padamu,” kata Khaidir.

Apa artinya? Kita diminta untuk bersabar, tidak menyela, tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan. Tidak sok tahu. Tidak sok kritis.

Kita diajak menyaksikan sesuatu yang menyakitkan, membingungkan, dan terlihat keliru… tapi disuruh diam.

Karena ilmu sejati bukan datang dari penalaran instan. Ia butuh waktu. Ia butuh perenungan. Ia butuh kejadian demi kejadian yang membentuk jiwa kita.

Inilah gaya belajar yang dilupakan manusia modern: sabar dalam ketidaktahuan, tunduk dalam kebingungan, dan yakin bahwa di balik semuanya… ada rahasia.


---

Pewarisan Ilmu Tanpa Majelis

Abu Hurairah belajar dari Rasulullah bukan dengan duduk di ruang kelas, tapi dengan mengikuti beliau ke mana pun. Ia memperhatikan, mencatat dalam hati, dan menyimpan dalam dada. Ia diam, tapi merekam. Ia tunduk, tapi menyerap.

Begitu pula para Tabi’in—Mujahid, Atha’, Thawus—mereka tidak banyak dikenal karena duduk lama di depan kitab. Tapi karena mereka menyertai orang-orang saleh. Mereka menyerap ilmu dari kehidupan, bukan hanya dari tulisan.

Mereka memeluk hikmah dari peristiwa, bukan sekadar dari definisi.


---

Khaidir Masih Ada, Jika Kita Mau Merendah

Kalau kita jujur, yang membuat kita tak bertemu Khaidir bukan karena ia tak ada. Tapi karena kita menutup diri. Karena kita ingin belajar hanya dari mereka yang tampil. Karena kita ingin diajari sambil dipuja. Karena kita ingin dikenal sebagai murid dari guru yang populer.

Padahal Khaidir tidak butuh itu. Ia tak ingin dikerumuni. Ia tak ingin dipuja. Ia bahkan menghilang setelah tugasnya selesai. Ia tidak membentuk sekolah. Ia tidak menulis buku.

Ilmu yang sejati tidak meninggalkan tanda di batu nisan, tapi mengakar dalam sejarah manusia.


---

Maka Bergerilyalah…

Mungkin, ini saatnya kita menelusuri jalan sunyi. Meninggalkan panggung, menjauhi gempita. Mungkin Khaidir tidak hadir di seminar, tapi ada di perbincangan sepi dengan kakek tua di serambi masjid. Mungkin ia hadir dalam laku seorang ibu yang menyuapi anak-anak yatim tanpa kamera. Mungkin ia adalah suaramu sendiri di tengah malam yang mengajakmu kembali pada fitrah.

Mungkin, Khaidir hadir dalam diam… saat engkau berhenti berkoar dan mulai mendengar.


---

Tanda-Tanda Khaidir: Bukan Populer, Tapi Membekas

Apa tandanya seseorang adalah bagian dari jalan Khaidir?

Sederhana. Ke mana pun ia pergi, kehidupan menjadi lebih hidup. Yang beku mencair. Yang bimbang menjadi yakin. Yang lelah kembali semangat.

Ia menebar kesuburan, bukan kegaduhan. Ia menyembuhkan luka, bukan membuka aib. Ia hadir… bukan untuk dipuja, tapi untuk menghidupkan hati yang nyaris mati.


---

Penutup: Carilah Dengan Cinta, Belajarlah Dengan Rendah Hati

Mungkin engkau belum bertemu Khaidir karena kau belum benar-benar mencarinya.

Mungkin selama ini kau mencari ilmu dengan niat menang debat. Mungkin kau duduk di majelis untuk menambah gelar, bukan untuk menundukkan jiwa.

Dan mungkin, kau mengira semua guru harus punya mikrofon.

Padahal Khaidir tak butuh pengeras suara. Sebab suaranya sudah cukup keras untuk mengguncang jiwa siapa pun yang bersedia diam dan mendengar.

Jadi… bersiaplah.

Simpan egomu. Lepaskan gelarmu. Kosongkan hatimu.

Dan bergerilyalah, wahai pencari… karena Khaidir masih ada.
Dan ia hanya tampak bagi mereka yang rela berjalan jauh dalam kerendahan.

Ketajaman Firasat: Melampaui Akal, Ilmu dan Analisis Big Data Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Berhati-hatilah terhadap firasat seora...

Ketajaman Firasat: Melampaui Akal, Ilmu dan Analisis Big Data

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

“Berhati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin,” sabda Rasulullah ï·º, “karena ia melihat dengan cahaya Allah.”
Kalimat ini singkat, tapi dalamnya menusuk hingga ke lubuk kalbu. Ia mengajak kita merenung, bahwa ada mata lain yang digunakan oleh orang beriman. Bukan mata kepala. Bukan pula semata akal dan ilmu. Tapi mata batin—yang peka, yang bening, yang terang oleh cahaya-Nya.

Firasat.
Satu kata yang sering terdengar samar, seakan bagian dari dunia sufi, mistik, atau bahkan klenik. Tapi sesungguhnya, ia adalah bagian dari warisan kenabian. Ia bukan sekadar perasaan. Ia adalah intuisi ruhani yang muncul dari kebeningan hati, dari kebersihan jiwa, dari hubungan yang intens dengan Allah.

Dalam kehidupan, kita sering berada di persimpangan. Dua jalan membentang, dan tak satu pun memiliki papan petunjuk. Ilmu tak cukup. Statistik membisu. Akal pun ragu. Maka yang bicara adalah nurani—yang terang karena iman, yang tajam karena takwa.

Dan di sanalah firasat berperan.
Ia tak berbicara dengan logika. Tapi ia menunjukkan arah dengan rasa. Seakan ada suara lembut berbisik dari langit, “Pergilah ke sana.” Dan ketika kita ikuti, ternyata benar: di sanalah keselamatan.


---

Firasat Para Kekasih Allah

Sejarah mencatat bahwa para ulama dan orang-orang shalih—yang hatinya bersih dan hidup dalam kedekatan kepada Allah—sering diberi isyarat-isyarat gaib. Bukan karena mereka sakti, tapi karena mereka dijaga. Allah, dalam kemahakuasaan-Nya, memberi mereka petunjuk-petunjuk yang tak tertangkap oleh radar akal biasa.

Seorang tabi’in pernah menyampaikan firasatnya: bahwa kota agung Konstantinopel akan ditaklukkan oleh seorang khalifah yang namanya berasal dari nama seorang nabi. Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah masa itu, merasa bahwa nubuat itu merujuk padanya. Ia segera mengerahkan pasukan, menyusun strategi, membakar semangat jihad. Tapi sejarah mencatat hal berbeda: penaklukan agung itu terjadi ratusan tahun kemudian, oleh seorang pemuda bernama Muhammad—Muhammad Al-Fatih. Dialah yang memenuhi sabda Rasulullah ï·º.

Apakah ini berarti firasat tabi’in itu salah? Tidak. Ia benar. Hanya saja, waktu Allah belum tiba.

Kemenangan itu pun bukan sekadar urusan tentara dan senjata. Di balik kemenangan itu, ada dua sosok penting: Syekh Aq Syamsuddin dan Imam Qurani. Dua ulama yang membimbing Muhammad muda dengan cahaya ilmu dan firasat. Mereka tak hanya mengajarkan strategi, tetapi juga membersihkan jiwanya, menyiapkan batinnya, menanamkan visi kenabian.

Ketika Muhammad Al-Fatih mulai ragu, Syekh Aq Syamsuddin menulis surat:
"Kita telah berserah diri kepada Allah, dan kita membaca Al-Qur’an. Maka semua ini seperti rasa kantuk dalam tidur setelahnya. Sesungguhnya, telah terjadi kelembutan kekuasaan Allah dan muncullah hal-hal yang menggembirakan yang belum pernah terjadi sebelumnya."

Itu bukan motivasi biasa. Itu adalah sinar keyakinan yang datang dari hati yang menyatu dengan kehendak langit.


---

Firasat, Cahaya dalam Dada

Imam Al-Ghazali menyebut firasat sebagai kasyf, pembukaan tabir antara manusia dan Allah. Bukan ramalan, bukan bisikan jin. Tapi nur yang ditanamkan dalam dada. Sebuah kepekaan terhadap tanda-tanda. Sebuah kemampuan membaca isyarat halus dari semesta, yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang hening.

Imam Qusyairi menukil dalam Risalah Qusyairiyah:
"Firasat adalah suara batin yang masuk ke dalam hati. Ia seperti cahaya yang memancar, membawa berbagai rahasia dari alam gaib, hingga seseorang bisa melihat dengan cara pandang Allah."

Dan memang, orang-orang yang hidup dalam ketakwaan memiliki cara pandang yang unik. Mereka melihat sesuatu yang tak terlihat. Mereka membaca keadaan tanpa data. Mereka tahu arah, bahkan ketika tidak ada kompas.

Bukankah Imam Malik pernah berkata kepada Imam Syafi’i kecil:
"Kelak engkau akan menjadi orang besar. Maka jangan padamkan cahayamu dengan maksiat."

Bagaimana Imam Malik bisa tahu? Apakah karena kecerdasan Syafi’i? Mungkin. Tapi lebih dari itu, karena beliau melihat dengan firasat.


---

Mimpi yang Jernih, Firasat dalam Tidur

Firasat juga sering datang dalam bentuk mimpi. Tidak semua mimpi itu benar, tentu. Tapi mimpi orang mukmin bisa menjadi bagian dari nubuat. Rasulullah ï·º bersabda bahwa mimpi yang benar adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.

Abbas Asisi pernah meriwayatkan kisah tentang seorang tahanan politik, Najib Abdul Aziz, yang bermimpi bahwa Gamal Abdul Nasser—penguasa Mesir—akan sekarat pada hari tertentu. Mimpi itu terdengar hingga ke telinga intelijen. Dan benar, ajal pun tiba di hari itu. Mimpi bukan sekadar bunga tidur, jika tidur itu didahului oleh doa, wudhu, dan hati yang bersih.


---

Firasat dalam Sejarah Indonesia

Apakah proklamasi 17 Agustus 1945 juga hasil firasat? Sejumlah ulama menyatakan demikian. KH. Abdul Moekti, seorang tokoh Muhammadiyah, menyarankan agar proklamasi dilakukan pada tanggal itu. KH. Hasyim Asy’ari pun dikisahkan ikut bermusyawarah dan beristikharah, hingga jatuh pilihan pada 17 Agustus, bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 H.

Mengapa tanggal itu penting? Karena saat itu Jepang sudah menyerah, dan Belanda belum datang. Ada celah waktu. Sebuah momen yang hanya bisa ditangkap oleh yang peka. Mereka membaca keadaan dengan mata hati, bukan sekadar politik.


---

Menajamkan Firasat: Jalan Riyadhah

Lalu, bagaimana agar kita bisa memiliki firasat yang tajam?
Syekh Al-Kirmani memberi resepnya:

> “Barangsiapa menundukkan pandangan dari yang haram, menahan diri dari syahwat, menjaga batinnya dengan rasa diawasi Allah, meneguhkan zahirnya dengan sunnah Rasulullah ï·º, dan membiasakan diri makan yang halal, maka firasatnya tak akan meleset.”



Firasat bukan hadiah tiba-tiba. Ia buah dari latihan panjang. Riyadhah. Mujahadah. Menahan diri. Meninggalkan yang syubhat. Menyucikan hati dari dengki, sombong, dan riya. Memelihara pandangan. Memperbanyak dzikir. Dan memutus ketergantungan pada makhluk.

Karena semakin bening hati, semakin terang cahaya Allah di dalamnya. Dan ketika cahaya itu menyala, seseorang bisa melihat dengan mata yang tidak terlihat.


---

Melampaui Akal dan Ilmu

Akal punya batas. Ilmu punya wilayah. Tapi kehidupan sering mengantar kita pada situasi-situasi yang belum dikenal. Sesuatu yang tak tercantum dalam buku teks. Suatu kejadian tiba-tiba, di luar rumus dan pola.

Apa yang harus dilakukan?

Di sinilah letak nilai firasat.
Akal hanya mengenang masa lalu. Ilmu merumuskan kebiasaan. Tapi firasat membuka pintu masa depan. Ia meraba yang belum terjadi, dan mempersiapkan diri sebelum semuanya terlambat.

Firasat bukan untuk menebak. Tapi untuk membaca tanda-tanda. Ia lebih seperti radar: tidak memprediksi, tapi mendeteksi. Dan yang paling tajam radarnya adalah mereka yang bersih dari kepentingan duniawi.


---

Pemimpin dan Firasat

Dalam dunia kepemimpinan, firasat adalah senjata utama. Seorang pemimpin tak cukup hanya mengandalkan penasihat, survei, atau strategi. Ia perlu ketajaman rasa. Karena keputusan besar sering harus diambil dalam keadaan sunyi, sepi, dan penuh risiko.

Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang memimpin dengan firasat. Bukan berdasarkan reaksi publik, tetapi berdasarkan keyakinan ruhani. Karena di atas pertimbangan politik dan ekonomi, ada satu bisikan suci: “Inilah jalan Allah.”

Para penasihat boleh berbicara dengan logika dan data. Tapi sang pemimpin... ia harus menafsirkan zaman dengan firasat. Seperti Izzuddin Abdus Salam, ulama besar di masa Mongol, yang menunjukkan kapan waktu menyerang, dan bagaimana caranya. Para sultan bertanya, dan para wali menjawab.


---

Penutup: Jadilah Mukmin yang Melihat dengan Cahaya Allah

Firasat bukan milik para nabi saja. Ia warisan yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang membersihkan diri. Tidak perlu menjadi wali besar, cukup menjadi mukmin sejati yang menata hati, memperbanyak takwa, dan berjalan dalam cahaya Al-Qur’an.

Jika dunia hari ini terasa gelap, mungkin bukan karena cahaya hilang—tetapi karena kita kehilangan ketajaman batin.

Maka, mari kita hidupkan kembali tradisi membaca tanda-tanda. Bukan dengan rasa takut, tapi dengan kepekaan spiritual. Bukan dengan firasat sembarangan, tapi dengan latihan dan penjagaan hati.

Dan jika cahaya itu mulai menyala dalam dada—dengan dzikir, dengan tangisan di malam hari, dengan menjaga pandangan, dan menahan syahwat—maka percayalah: Allah akan membisikkan sesuatu yang tak dibisikkan pada yang lain.

Karena benar sabda Nabi:

> “Orang mukmin itu melihat dengan cahaya Allah.”

Kisah, Pembuka Energi dan Kemukjizatan Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Apakah Muhammad benar-benar seorang Rasul?” Pertanyaan itu me...

Kisah, Pembuka Energi dan Kemukjizatan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

“Apakah Muhammad benar-benar seorang Rasul?”
Pertanyaan itu menggema di antara para pemuka Quraisy. Mereka gelisah. Risalah yang disampaikan Muhammad ï·º makin kuat, pengikutnya bertambah. Tapi masih ada ruang ragu dalam dada mereka—bukan karena tak mengerti, tapi karena tak ingin kehilangan kuasa.

Maka, mereka mengutus orang-orang terbaik ke Yastrib. “Di sana,” kata mereka, “tinggal para ahli kitab. Yahudi yang membaca Taurat. Mereka pasti tahu seperti apa Nabi yang sebenarnya.”

Delegasi pun berangkat. Tidak untuk beriman, tapi untuk menguji. Mereka menempuh jalan pencarian bukan karena cinta kebenaran, tapi karena ingin menolaknya dengan cara yang tampak masuk akal.

Sesampainya di Yastrib, mereka bertanya kepada para rahib Yahudi:
“Bagaimana kami membuktikan kenabian seseorang yang mengaku membawa risalah dari langit?”

Para pemuka Yahudi menjawab—dengan serius dan penuh kehati-hatian, “Tanyakan kepadanya tiga hal. Jika ia mampu menjawab dengan benar, maka dia memang seorang Nabi. Tapi jika tidak, maka kalian berhak menolaknya.”

Tiga hal itu adalah:

1. Kisah sekelompok pemuda yang bersembunyi dalam gua.


2. Kisah seorang raja agung yang menjelajahi timur dan barat.


3. Kisah tentang ruh—apa dan bagaimana hakikatnya.



Pertanyaan itu pun dibawa kembali ke Makkah. Diajukan kepada Rasulullah ï·º. Lalu, turunlah wahyu. Surat Al-Kahfi. Sebuah jawaban dari langit yang memuat tiga kisah itu dengan rinci, tajam, dan menyentuh jiwa. Bukan hanya untuk membungkam keraguan, tapi juga untuk menyalakan cahaya dalam hati.


---

Sejak saat itu, kita tahu bahwa kisah bukanlah pelarian dari realitas. Kisah adalah pintu menuju cahaya. Kisah bagian dari kemukjizatan. 
Dan para Nabi, bukan hanya datang membawa hukum, tapi juga membawa kisah-kisah langit.

Pernahkah engkau bertanya,
mengapa Allah menghibur Rasul-Nya yang kelelahan, bukan dengan janji harta, tapi dengan narasi masa lalu?
Mengapa saat Rasulullah ï·º kehilangan Khadijah dan Abu Thalib, saat kaum Quraisy mengusir dan menghina, Allah malah menurunkan surat Yusuf?

Karena kisah menyembuhkan.
Karena kisah menyentuh jiwa, bukan sekadar akal.
Karena kisah membuat manusia merasa:
"Aku tidak sendiri. Ada yang pernah mengalami ini, dan ia bertahan, bahkan menang."

Lihatlah Nabi Yusuf—ia dilemparkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya. Rasulullah pun diancam dibunuh oleh kaumnya sendiri. Yusuf dibeli seperti barang murah, tapi Allah memuliakannya di istana. Rasulullah ï·º pun hijrah dalam sembunyi, tapi disambut bak pemimpin agung di Madinah.

Dan ketika semua kisah rasul terasa masih jauh, Allah turunkan surat Ad-Dhuha. Allah tak hanya bercerita tentang masa lalu para nabi dan rasul, tapi tentang masa lalu Muhammad sendiri. “Bukankah engkau yatim? Lalu Kami lindungi. Bukankah engkau bingung? Lalu Kami beri petunjuk. Bukankah engkau miskin? Lalu Kami beri kecukupan.”

Seakan Allah berkata: lihatlah, kisahmu sendiri pun adalah mukjizat. Maka jangan ragu.

Kisah bukan nostalgia. Ia adalah cetak biru kebangkitan.
Ia menanamkan hikmah tanpa luka. Memberikan solusi tanpa harus jatuh ke dalam kesalahan yang sama.


---

Dalam gelap malam hijrah, Rasulullah ï·º ditemani oleh Abu Bakar. Di gua Tsur, saat suara langkah para pengejar begitu dekat, apa yang menguatkan mereka? Bukan senjata, bukan kekuatan fisik. Tapi kisah Nabi Musa—yang dikejar Firaun baik saat ke Madyan maupun hingga laut Merah, tapi tetap diselamatkan. Maka turunlah surat Al-Qashash, meneguhkan Rasul bahwa dalam kejaran, selalu ada penjagaan langit.

Kisah, ternyata, bukan sekadar cerita untuk anak-anak. Ia adalah senjata jiwa.
Saat tidak ada lagi yang bisa diandalkan dari dunia, kisah menjadi pelita terakhir yang membuat ruh tak padam.


---

Dan para Wali Sanga tahu itu. Mereka yang berdakwah di tanah Jawa bukan membawa hukum kaku atau debat teologis. Mereka membawa kisah. Dalam bentuk wayang, tembang, lakon, dan simbol. Mereka membumikan Al-Qur’an dalam bentuk pertunjukan.

Bukan agar manusia hafal dalil, tapi agar manusia merenung dari kisah.
Karena yang mengubah bukan selalu logika, tapi getaran jiwa yang disentuh oleh cerita.

Mereka tidak pulang dari pertunjukan membawa catatan, tapi membawa getaran.
Perubahan terjadi bukan karena ancaman atau hadiah, tapi karena tafakur.

Dan inilah seni kisah:
ia tak menggurui, tapi menuntun.
Ia tak menghakimi, tapi meneduhkan.
Ia tak memaksa kesimpulan, tapi mengundang perenungan.


---

Salman Al-Farisi adalah satu contoh kekuatan kisah dalam wujud manusia. Ia menempuh ribuan mil, melewati agama demi agama, hanya karena sebuah kisah tentang Nabi terakhir yang disebut dalam kitab. Kisah itu mendorong langkahnya. Kisah itu membangkitkan hasrat mencari. Dan kisah itu mengantarkannya ke kaki Rasulullah ï·º—bukan dengan gelar, tapi dengan air mata.

Betapa banyak orang hari ini kehilangan arah, bukan karena bodoh, tapi karena tidak pernah membaca kisah yang benar.
Betapa banyak pemuda hari ini tersesat, bukan karena tidak diajari, tapi karena tidak pernah merasakan hangatnya kisah yang hidup.


---

Lihatlah bagaimana sejarah Islam tumbuh dari energi kisah.
Imam Ibnu Jauzi, yang dihadiri puluhan ribu pendengar, bukan karena suaranya lantang, tapi karena kisah-kisahnya hidup.
Buku-buku terlaris di dunia pun—apakah ia teori? Bukan. Ia adalah novel, film, drama—semuanya berbentuk kisah.

Karena kisah menyusup tanpa terasa. Ia mengubah pola pikir, membentuk sudut pandang, menata ulang niat dan hati.

Kisah adalah kekuatan yang lembut, tapi mendalam.
Ia bisa menyelinap di ruang yang tak bisa ditembus oleh dalil dan argumen.
Ia bisa mengubah seseorang yang keras menjadi lembut,
seseorang yang sombong menjadi merenung,
seseorang yang lemah menjadi bangkit kembali.


---

Dan ruh—yang ditanyakan Quraisy itu—apa maknanya?

“Ruh itu urusan Tuhanmu,” jawab Al-Qur’an.
Kita tak diberi ilmu tentangnya, kecuali sedikit.

Dan barangkali... begitulah juga ruh kisah.
Kita tak selalu bisa menjelaskan bagaimana ia mengubah kita.
Tapi kita tahu, setelah mendengar kisah Ashabul Kahfi, hati kita lebih berani.

Setelah membaca tentang Musa, jiwa kita lebih kuat.

Setelah menyelami hidup Nabi Yusuf, kita lebih sabar menunggu keajaiban.

Kita tak tahu bagaimana kisah itu bekerja. Tapi kita tahu, ia bekerja di kedalaman—di tempat yang tak dijangkau logika.


---

Hari ini, jika kita ingin menyampaikan nilai-nilai Islam, kebenaran, tauhid, dan perjuangan—maka mulailah dari kisah.
Bukan dogma kaku.
Bukan kemarahan tanpa arah.
Tapi kisah yang menyentuh, yang menundukkan hati, dan membangunkan jiwa.

Karena sesungguhnya,
kisah adalah kemukjizatan.
Dan ia akan tetap menjadi senjata kaum beriman, sampai akhir zaman.


"Sungguh, dalam kisah-kisah mereka terdapat ibrah bagi orang-orang yang berpikir."
(QS. Yusuf: 111)

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik ...

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik tabir awan, seakan malu menyaksikan doa yang membelah keheningan bumi.

Seorang lelaki berdiri di ujung tenda, jubahnya terkulai lembut ditiup angin. Dalam gelap, suaranya gemetar, terangkat ke langit dalam bahasa air mata. Bibirnya bergetar, menyebut nama yang tak pernah letih ia panggil: Allah... Rabbul ‘Alamin.

Di hadapannya, medan Badar menanti. Pasukan kaum muslimin tak sampai 400. Sementara musuh, ribuan. Pedang mereka berkarat, kuda mereka tak seberapa. Tapi yang membuat lelaki itu berdiri bukan keberanian semata—melainkan karena ia tahu, kekuatan sejati tak lahir dari otot dan besi, melainkan dari hati yang bersandar total pada Tuhan.

Ia adalah Rasulullah ï·º.

Malam itu, tangisnya menyatu dengan bumi. Sujudnya mengguncang langit. “Ya Allah, jika pasukan kecil ini binasa, tidak ada lagi yang menyebut nama-Mu di bumi ini.”

Air mata membasahi wajahnya. Ia tahu esok adalah hari besar. Tapi malam ini adalah malam penentuan. Malam di mana langit menjadi saksi bahwa kemenangan bukan diraih oleh strategi, tapi oleh cinta yang paling dalam kepada Yang Maha Kuasa.


---

Berabad-abad setelah malam itu, seorang pemuda berdiri di bawah temaram lampu minyak di dalam kemahnya. Jubahnya lusuh, tapi matanya berkilat. Ia bukan sekadar panglima. Ia adalah pewaris malam-malam panjang para nabi—Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pasukan Salib mengelilingi Yerusalem. Eropa telah mengirim segala yang mereka punya. Raja-raja, kesatria, imam perang, hingga rakyat awam ikut menjadi darah di medan yang dijanjikan gereja sebagai jalan menuju surga.

Tapi malam itu, Shalahuddin tak tidur.

Ia menulis surat panjang kepada Tuhannya, bukan dengan pena, tapi dengan air mata. Ia tahu, Yerusalem bukan hanya tanah. Ia adalah amanah. Ia adalah tempat yang telah disucikan oleh langkah para nabi. Dan untuk itu, ia tidak meminta kepada pasukannya, melainkan kepada Pemilik langit dan bumi.

“Ya Allah,” bisiknya lirih, “Aku tak lagi memiliki kekuatan selain-Mu. Aku telah habis. Tapi aku percaya Engkau tidak akan pernah habis. Maka biarlah malam ini menjadi saksi bahwa aku menyerahkan segalanya kepada-Mu.”

Air mata menetes ke bumi, menyatu dengan tanah para syuhada. Dan esoknya, sejarah mencatat: Yerusalem kembali dalam pelukan Islam. Tanpa pembantaian. Tanpa darah balas dendam. Hanya ada kedamaian dan keadilan.


---

Namun jauh sebelum itu, bahkan sebelum Shalahuddin dilahirkan, seorang kaisar duduk terpaku di atas kudanya. Langkahnya berat. Konstantinopel terasa lebih jauh dari biasanya, meski ia sudah melewati separuh perjalanan.

Ia adalah Heraklius. Kaisar agung Romawi Timur. Di bawah kekuasaannya, Romawi adalah peradaban besar. Tapi hari ini, ia pulang membawa luka.

Pasukannya hancur di tangan pasukan kaum muslimin. Bukan karena senjata mereka lebih baik, tapi karena ada sesuatu yang tak ia mengerti. Maka ia bertanya kepada seorang prajurit yang pernah tertawan di tangan kaum muslimin, “Apa kekuatan mereka?”

Jawaban sang prajurit menusuk kalbunya seperti belati: “Mereka menang bukan karena senjata. Tapi karena shalat malam mereka, puasa mereka, hati mereka yang bersih. Mereka tidak menyerang kecuali setelah memperingatkan. Mereka tidak menjarah, tetapi membawa kedamaian.”

Heraklius terdiam. Dalam diamnya, ia tahu—kekuasaan ini akan jatuh, bukan karena pasukan yang lebih kuat, tapi karena ruh yang lebih bersih.

“Kelak mereka akan merebut Konstantinopel,” gumamnya.


---

Semuanya berpulang pada satu hal: malam.

Malam yang sepi, yang tidak memerlukan sorakan, tidak dihadiri pasukan, tidak dikawal strategi. Tapi di malam-malam itulah lahir kemenangan. Karena malam bagi para penakluk sejati bukan tempat untuk tidur, tapi tempat untuk bertemu Sang Raja segala raja.

Nuruddin Zanky tahu itu. Maka setiap malam, ia basahi sejadahnya. Ia tak pernah lalai menangis kepada Allah. Bahkan saat tak ada perang pun, ia tetap berperang melawan nafsunya di malam-malam sunyi.

Ketika wafat, tanah kehilangan seorang pejuang, tapi langit mendapatkan kekasihnya.

Dan muridnya, Shalahuddin, memikul wasiat itu. Ia tak hanya mewarisi pedang gurunya, tapi juga air matanya. Ia tahu, tidak ada kemenangan sejati tanpa sujud yang panjang. Tidak ada benteng yang dapat dihancurkan sebelum diri ini merobohkan sombongnya di hadapan Ilahi.


---

Sebuah kenangan pun mengalir dalam benak seorang lelaki hari ini. Ia bukan jenderal. Bukan raja. Ia hanyalah seorang guru kecil di sudut desa.

Tapi malam-malam itu menggetarkan hatinya.

Ia membaca lembar-lembar sejarah seperti membaca cermin jiwanya. Ia tahu, tidak ada musuh sebesar dunia jika hatinya terhubung dengan Tuhan. Ia tahu, zaman ini bukan kekurangan strategi, tapi kekurangan rintihan.

Maka setiap malam, ia bangun. Tak ada yang tahu. Bahkan istrinya pun tak sadar. Tapi ia tahu: kalau pun ia tidak memenangkan dunia, setidaknya ia tidak kalah dalam perjuangan di hadapan Tuhan.

Dalam gelap, ia bersujud.

“Ya Allah,” ucapnya lirih, “aku mungkin tak akan menjadi seperti mereka. Tapi aku ingin menjadi bagian dari rantai panjang itu—rantai sujud, air mata, dan malam-malam yang melahirkan fajar kemenangan.”


---

Malam-malam ini tidak mati. Ia masih hidup di hati mereka yang percaya bahwa kekuatan tak datang dari dunia. Ia hidup dalam tangisan-tangisan sunyi para pecinta Allah yang tak dikenal manusia, tapi dikenali oleh para malaikat.

Malam-malam ini masih menyimpan rahasia kemenangan. Sebagaimana Badar menjadi saksi, Yerusalem menjadi bukti, dan Konstantinopel menjadi warisan.

Dan kita hari ini, tak perlu menunggu menjadi jenderal. Tak harus mengangkat pedang. Cukuplah kita hidupkan malam-malam kita, dan semesta akan mencatat kita sebagai bagian dari para penakluk: penakluk nafsu, keangkuhan, dan cinta dunia.

Karena sesungguhnya...

Tidak ada kemenangan tanpa air mata.

Dan tak ada pejuang sejati, tanpa malam-malam yang bersujud penuh cinta.


---

Dosa Kaum Khusus, Derita Kaum Awam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin dingin gurun menyapu jalur tua menuju perbatasan Romawi. Di ...

Dosa Kaum Khusus, Derita Kaum Awam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Angin dingin gurun menyapu jalur tua menuju perbatasan Romawi. Di atas pelana unta yang berderak perlahan, aku duduk di samping seorang lelaki berwajah teduh dan bercahaya: Abdurrahman bin Mubarak Ash-Shuri. Perjalanan panjang itu bukan sekadar tentang arah, tapi juga makna. Dan hari itu, ia membisikkan kebenaran yang mengguncang nuraniku.

"Wahai Musayyib," katanya seraya menatap cakrawala yang memerah, "tahukah engkau, kehancuran masyarakat umum... bukan karena mereka bodoh atau jahat, tapi karena kelompok khusus dalam umat ini telah rusak."

Aku menoleh padanya. "Kelompok khusus? Apa maksudmu, Abdurrahman? Jelaskanlah kepadaku. Semoga Allah merahmatimu."

Ia menarik napas panjang. Angin berhembus, seolah menunggu kelanjutan ucapannya.

"Umat Nabi Muhammad ï·º," katanya lirih namun tegas, "dibangun atas lima pilar masyarakat. Bila satu pilar hancur, getarannya terasa. Bila semuanya runtuh... maka umat ini akan terseret ke jurang yang dalam."

Aku diam menyimak. Dan ia pun melanjutkan.

"Pertama," katanya, "adalah kaum ulama dan ilmuwan.
Mereka adalah pewaris para nabi. Lentera di kegelapan. Tetapi ketika ulama sudah rakus pada dunia, memburu kemewahan, menjual fatwa demi kekuasaan, siapa lagi yang akan dijadikan panutan oleh awam yang buta ilmu? Jika pelita itu padam, siapa yang akan menerangi malam panjang umat ini?"

Aku menunduk. Seperti ada beban menyesakkan dada.

"Kedua, adalah kaum zuhud dan ahli ibadah."
Mereka raja tanpa takhta, yang hatinya bersandar hanya pada langit. Tapi jika mereka mulai terpikat dunia, kehilangan khusyuk dan ketenangan, siapa lagi yang akan membimbing jiwa-jiwa yang ingin bertobat? Bila yang seharusnya menjadi telaga malah berubah menjadi fatamorgana, kemana para pendosa harus menengadah?"

Suara Abdurrahman makin dalam. Ada luka di nadanya.

"Ketiga, adalah pasukan dan para pejuang."
Mereka tentara Allah di muka bumi. Namun, bila mereka berperang demi nama, demi pujian, dan bukan karena Allah, kapan lagi kemenangan itu akan turun dari langit? Bila pedang digenggam dengan riya, bukan ikhlas, maka musuh akan datang bukan dari luar, tapi dari dalam dada mereka sendiri."

Aku menggenggam tali kekang unta lebih erat.

"Keempat, adalah para saudagar dan hartawan."
Mereka adalah penjaga amanah dan penyambung rezeki. Tapi bila mereka mulai menipu, khianat, dan memutar harta demi kerakusan, siapa lagi yang akan dipercaya oleh masyarakat yang lapar dan berharap? Bila lumbung berubah jadi jebakan, maka rakyat hanya akan panen kehancuran."

Dan Abdurrahman menatapku lebih dalam, seakan kalimat terakhirnya menyimpan luka paling dalam.

"Kelima, adalah para penguasa dan pemimpin."
Mereka adalah pelindung, pengayom, dan penentu arah umat. Tapi ketika seorang pemimpin telah menjelma serigala, memangsa rakyatnya sendiri, maka siapa lagi yang akan menjaga umat dari kekacauan? Bila pagar justru menjadi pencuri, maka rumah umat ini akan dirampok dari dalam."

Kami terdiam lama. Langit mulai gelap, tapi kalimat-kalimat Abdurrahman menyala di dadaku, seperti api kecil yang membakar rasa aman palsu dalam kebiasaan.

Aku sadar, umat ini bukan runtuh karena kebodohan massal, tapi karena kerusakan moral para pemegang kunci—ulama, zahid, mujahid, saudagar, dan penguasa. Bila yang khusus rusak, maka yang umum akan ikut hancur. Bila puncak bukit roboh, lembah pun akan tertimbun.

Dalam diam, aku berdoa,
“Ya Allah, selamatkan umat ini dengan memperbaiki yang terdepan… agar yang di belakang tidak tersesat dan tertindas.”

Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (563) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (490) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (251) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (235) Sirah Sahabat (152) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (153) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)