Ketajaman Firasat: Melampaui Akal, Ilmu dan Analisis Big Data
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Berhati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin,” sabda Rasulullah ï·º, “karena ia melihat dengan cahaya Allah.”
Kalimat ini singkat, tapi dalamnya menusuk hingga ke lubuk kalbu. Ia mengajak kita merenung, bahwa ada mata lain yang digunakan oleh orang beriman. Bukan mata kepala. Bukan pula semata akal dan ilmu. Tapi mata batin—yang peka, yang bening, yang terang oleh cahaya-Nya.
Firasat.
Satu kata yang sering terdengar samar, seakan bagian dari dunia sufi, mistik, atau bahkan klenik. Tapi sesungguhnya, ia adalah bagian dari warisan kenabian. Ia bukan sekadar perasaan. Ia adalah intuisi ruhani yang muncul dari kebeningan hati, dari kebersihan jiwa, dari hubungan yang intens dengan Allah.
Dalam kehidupan, kita sering berada di persimpangan. Dua jalan membentang, dan tak satu pun memiliki papan petunjuk. Ilmu tak cukup. Statistik membisu. Akal pun ragu. Maka yang bicara adalah nurani—yang terang karena iman, yang tajam karena takwa.
Dan di sanalah firasat berperan.
Ia tak berbicara dengan logika. Tapi ia menunjukkan arah dengan rasa. Seakan ada suara lembut berbisik dari langit, “Pergilah ke sana.” Dan ketika kita ikuti, ternyata benar: di sanalah keselamatan.
---
Firasat Para Kekasih Allah
Sejarah mencatat bahwa para ulama dan orang-orang shalih—yang hatinya bersih dan hidup dalam kedekatan kepada Allah—sering diberi isyarat-isyarat gaib. Bukan karena mereka sakti, tapi karena mereka dijaga. Allah, dalam kemahakuasaan-Nya, memberi mereka petunjuk-petunjuk yang tak tertangkap oleh radar akal biasa.
Seorang tabi’in pernah menyampaikan firasatnya: bahwa kota agung Konstantinopel akan ditaklukkan oleh seorang khalifah yang namanya berasal dari nama seorang nabi. Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah masa itu, merasa bahwa nubuat itu merujuk padanya. Ia segera mengerahkan pasukan, menyusun strategi, membakar semangat jihad. Tapi sejarah mencatat hal berbeda: penaklukan agung itu terjadi ratusan tahun kemudian, oleh seorang pemuda bernama Muhammad—Muhammad Al-Fatih. Dialah yang memenuhi sabda Rasulullah ï·º.
Apakah ini berarti firasat tabi’in itu salah? Tidak. Ia benar. Hanya saja, waktu Allah belum tiba.
Kemenangan itu pun bukan sekadar urusan tentara dan senjata. Di balik kemenangan itu, ada dua sosok penting: Syekh Aq Syamsuddin dan Imam Qurani. Dua ulama yang membimbing Muhammad muda dengan cahaya ilmu dan firasat. Mereka tak hanya mengajarkan strategi, tetapi juga membersihkan jiwanya, menyiapkan batinnya, menanamkan visi kenabian.
Ketika Muhammad Al-Fatih mulai ragu, Syekh Aq Syamsuddin menulis surat:
"Kita telah berserah diri kepada Allah, dan kita membaca Al-Qur’an. Maka semua ini seperti rasa kantuk dalam tidur setelahnya. Sesungguhnya, telah terjadi kelembutan kekuasaan Allah dan muncullah hal-hal yang menggembirakan yang belum pernah terjadi sebelumnya."
Itu bukan motivasi biasa. Itu adalah sinar keyakinan yang datang dari hati yang menyatu dengan kehendak langit.
---
Firasat, Cahaya dalam Dada
Imam Al-Ghazali menyebut firasat sebagai kasyf, pembukaan tabir antara manusia dan Allah. Bukan ramalan, bukan bisikan jin. Tapi nur yang ditanamkan dalam dada. Sebuah kepekaan terhadap tanda-tanda. Sebuah kemampuan membaca isyarat halus dari semesta, yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang hening.
Imam Qusyairi menukil dalam Risalah Qusyairiyah:
"Firasat adalah suara batin yang masuk ke dalam hati. Ia seperti cahaya yang memancar, membawa berbagai rahasia dari alam gaib, hingga seseorang bisa melihat dengan cara pandang Allah."
Dan memang, orang-orang yang hidup dalam ketakwaan memiliki cara pandang yang unik. Mereka melihat sesuatu yang tak terlihat. Mereka membaca keadaan tanpa data. Mereka tahu arah, bahkan ketika tidak ada kompas.
Bukankah Imam Malik pernah berkata kepada Imam Syafi’i kecil:
"Kelak engkau akan menjadi orang besar. Maka jangan padamkan cahayamu dengan maksiat."
Bagaimana Imam Malik bisa tahu? Apakah karena kecerdasan Syafi’i? Mungkin. Tapi lebih dari itu, karena beliau melihat dengan firasat.
---
Mimpi yang Jernih, Firasat dalam Tidur
Firasat juga sering datang dalam bentuk mimpi. Tidak semua mimpi itu benar, tentu. Tapi mimpi orang mukmin bisa menjadi bagian dari nubuat. Rasulullah ï·º bersabda bahwa mimpi yang benar adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.
Abbas Asisi pernah meriwayatkan kisah tentang seorang tahanan politik, Najib Abdul Aziz, yang bermimpi bahwa Gamal Abdul Nasser—penguasa Mesir—akan sekarat pada hari tertentu. Mimpi itu terdengar hingga ke telinga intelijen. Dan benar, ajal pun tiba di hari itu. Mimpi bukan sekadar bunga tidur, jika tidur itu didahului oleh doa, wudhu, dan hati yang bersih.
---
Firasat dalam Sejarah Indonesia
Apakah proklamasi 17 Agustus 1945 juga hasil firasat? Sejumlah ulama menyatakan demikian. KH. Abdul Moekti, seorang tokoh Muhammadiyah, menyarankan agar proklamasi dilakukan pada tanggal itu. KH. Hasyim Asy’ari pun dikisahkan ikut bermusyawarah dan beristikharah, hingga jatuh pilihan pada 17 Agustus, bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 H.
Mengapa tanggal itu penting? Karena saat itu Jepang sudah menyerah, dan Belanda belum datang. Ada celah waktu. Sebuah momen yang hanya bisa ditangkap oleh yang peka. Mereka membaca keadaan dengan mata hati, bukan sekadar politik.
---
Menajamkan Firasat: Jalan Riyadhah
Lalu, bagaimana agar kita bisa memiliki firasat yang tajam?
Syekh Al-Kirmani memberi resepnya:
> “Barangsiapa menundukkan pandangan dari yang haram, menahan diri dari syahwat, menjaga batinnya dengan rasa diawasi Allah, meneguhkan zahirnya dengan sunnah Rasulullah ï·º, dan membiasakan diri makan yang halal, maka firasatnya tak akan meleset.”
Firasat bukan hadiah tiba-tiba. Ia buah dari latihan panjang. Riyadhah. Mujahadah. Menahan diri. Meninggalkan yang syubhat. Menyucikan hati dari dengki, sombong, dan riya. Memelihara pandangan. Memperbanyak dzikir. Dan memutus ketergantungan pada makhluk.
Karena semakin bening hati, semakin terang cahaya Allah di dalamnya. Dan ketika cahaya itu menyala, seseorang bisa melihat dengan mata yang tidak terlihat.
---
Melampaui Akal dan Ilmu
Akal punya batas. Ilmu punya wilayah. Tapi kehidupan sering mengantar kita pada situasi-situasi yang belum dikenal. Sesuatu yang tak tercantum dalam buku teks. Suatu kejadian tiba-tiba, di luar rumus dan pola.
Apa yang harus dilakukan?
Di sinilah letak nilai firasat.
Akal hanya mengenang masa lalu. Ilmu merumuskan kebiasaan. Tapi firasat membuka pintu masa depan. Ia meraba yang belum terjadi, dan mempersiapkan diri sebelum semuanya terlambat.
Firasat bukan untuk menebak. Tapi untuk membaca tanda-tanda. Ia lebih seperti radar: tidak memprediksi, tapi mendeteksi. Dan yang paling tajam radarnya adalah mereka yang bersih dari kepentingan duniawi.
---
Pemimpin dan Firasat
Dalam dunia kepemimpinan, firasat adalah senjata utama. Seorang pemimpin tak cukup hanya mengandalkan penasihat, survei, atau strategi. Ia perlu ketajaman rasa. Karena keputusan besar sering harus diambil dalam keadaan sunyi, sepi, dan penuh risiko.
Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang memimpin dengan firasat. Bukan berdasarkan reaksi publik, tetapi berdasarkan keyakinan ruhani. Karena di atas pertimbangan politik dan ekonomi, ada satu bisikan suci: “Inilah jalan Allah.”
Para penasihat boleh berbicara dengan logika dan data. Tapi sang pemimpin... ia harus menafsirkan zaman dengan firasat. Seperti Izzuddin Abdus Salam, ulama besar di masa Mongol, yang menunjukkan kapan waktu menyerang, dan bagaimana caranya. Para sultan bertanya, dan para wali menjawab.
---
Penutup: Jadilah Mukmin yang Melihat dengan Cahaya Allah
Firasat bukan milik para nabi saja. Ia warisan yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang membersihkan diri. Tidak perlu menjadi wali besar, cukup menjadi mukmin sejati yang menata hati, memperbanyak takwa, dan berjalan dalam cahaya Al-Qur’an.
Jika dunia hari ini terasa gelap, mungkin bukan karena cahaya hilang—tetapi karena kita kehilangan ketajaman batin.
Maka, mari kita hidupkan kembali tradisi membaca tanda-tanda. Bukan dengan rasa takut, tapi dengan kepekaan spiritual. Bukan dengan firasat sembarangan, tapi dengan latihan dan penjagaan hati.
Dan jika cahaya itu mulai menyala dalam dada—dengan dzikir, dengan tangisan di malam hari, dengan menjaga pandangan, dan menahan syahwat—maka percayalah: Allah akan membisikkan sesuatu yang tak dibisikkan pada yang lain.
Karena benar sabda Nabi:
> “Orang mukmin itu melihat dengan cahaya Allah.”
0 komentar: