Bergerilya Bertemu dan Belajar Bersama Nabi Khaidir
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Apakah engkau pernah bertanya, mengapa ilmu sejati seringkali tidak hadir di ruang-ruang yang terang benderang? Mengapa para pemilik hikmah tersembunyi dari cahaya lampu dan sorotan panggung?
Begitulah pertanyaan itu bergema dalam batin Musa, sang Nabi agung. Ia tidak menanyakan soal langit dan bintang, tapi ia ingin belajar tentang jalan di balik takdir. Ia ingin tahu mengapa sebuah kapal yang tak bersalah dirusak, mengapa anak kecil dibunuh sebelum dewasa, dan mengapa sebuah tembok ditinggikan tanpa upah.
Dan yang paling mengejutkan: Allah tidak langsung menjawab pertanyaan Musa. Sebaliknya, Dia mengarahkannya untuk belajar… dari seorang hamba.
“Hamba yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan telah Kami ajarkan ilmu dari sisi Kami.” (QS Al-Kahfi: 65)
Sosok itu… tidak disebut namanya dalam Al-Qur’an. Tidak dijelaskan nasabnya. Tak tercantum pula di silsilah kenabian. Tapi seluruh dunia Islam menyebutnya: Khaidir.
---
Kau Akan Menemukannya Jika Kau Mau Mencari
Pernahkah engkau membayangkan, seorang Nabi Ulul Azmi… berjalan kaki menyeberangi padang dan samudra, hanya untuk bertemu dengan seseorang yang bahkan tak dikenal oleh masyarakatnya?
Ia tak berjumpa di istana, bukan pula di ruang kelas. Pertemuan itu bukan pada jam akademik, bukan di perpustakaan, bukan dalam seminar. Tapi… di titik pertemuan dua lautan. Di tempat sunyi. Di tempat yang ditandai bukan oleh plang nama, melainkan oleh ikan yang hidup kembali dan melompat ke laut.
Kau tahu, Musa membawa bekal. Tapi bukan makanan biasa. Bekal itu disiapkan untuk menemukan satu orang. Bukan untuk kenyang, tapi untuk petunjuk.
Dan ketika bekal itu hilang—saat itulah petunjuk ditemukan. Kadang, barulah engkau menemukan ilmu saat bekalmu habis. Ketika kesombonganmu habis. Ketika gelar dan nama yang kau bawa lenyap ditelan perjalanan panjang.
---
Ia Tak Tercatat di Struktur, Tapi Ditulis oleh Langit
Khaidir tidak punya gelar. Ia tidak duduk di bangku kekuasaan. Tidak pula dikenal di struktur keilmuan formal. Tapi ia punya sesuatu yang bahkan para profesor sulit menggapainya: rahmat dan ilmu langsung dari sisi Tuhan.
Ia tak mengajar di universitas. Ia tak dikerumuni murid. Bahkan Musa pun harus bersusah payah untuk menemuinya.
Apa ini bukan sindiran bagi kita? Yang merasa cukup dengan sertifikat, cukup dengan sanjungan, cukup dengan popularitas?
Bukankah Musa lebih tinggi derajatnya dari kita? Tapi mengapa ia masih mencari?
---
Buya Hamka dan Para Guru yang Tak Bernama
Buya Hamka pernah berkata dengan lirih, “Aku menemukan profesor-profesor sejati di dusun-dusun, di ladang, di bawah pohon, di lereng bukit. Mereka bukan profesor yang dikenal, tapi kata-katanya penuh cahaya.”
Baginya, Khaidir bukan sekadar tokoh masa lalu. Ia adalah arketipe. Ia hadir dalam bentuk yang selalu berubah. Di zaman manapun, akan selalu ada Khaidir—jika kita mau mencari.
Tapi mengapa kita jarang menemukannya?
Bisa jadi… karena kita tak mencarinya. Atau lebih parah lagi, karena kita tak mengakui siapa pun yang tak tampil di televisi, tak punya akun media sosial, tak viral di kolom trending.
Kita lupa bahwa cahaya tidak butuh panggung. Ilmu tak memerlukan sorotan.
---
Menemukan Khaidir dalam Diri Orang Biasa
Mereka yang membawa kesuburan, itulah Khaidir. Ke mana pun ia pergi, tanah yang tandus menjadi subur. Hati yang keras menjadi lembut. Pikiran yang kering menjadi bersemi.
Itu bukan karena ia berorasi. Tapi karena ia membawa rahmat.
Mereka bisa jadi adalah tetanggamu. Seorang tua renta yang tak pernah bicara, tapi bila ia menatapmu, kau merasa disingkapkan sesuatu dari balik hidup. Bisa jadi ia hanya petani, buruh, atau pelayan toko. Tapi ucapannya jernih, pikirannya tajam, hatinya bersih.
Khaidir bukan soal nama. Tapi kualitas. Dan kehadirannya bukan diukur dari ketenaran, tapi dari jejak rahmat yang ditinggalkannya.
---
Gaya Belajar yang Terbalik dari Dunia
Musa, yang biasa berdialog langsung dengan Allah, kali ini harus belajar dengan cara yang asing: diam dan mengikuti.
“Ingatlah, jangan bertanya sebelum aku jelaskan padamu,” kata Khaidir.
Apa artinya? Kita diminta untuk bersabar, tidak menyela, tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan. Tidak sok tahu. Tidak sok kritis.
Kita diajak menyaksikan sesuatu yang menyakitkan, membingungkan, dan terlihat keliru… tapi disuruh diam.
Karena ilmu sejati bukan datang dari penalaran instan. Ia butuh waktu. Ia butuh perenungan. Ia butuh kejadian demi kejadian yang membentuk jiwa kita.
Inilah gaya belajar yang dilupakan manusia modern: sabar dalam ketidaktahuan, tunduk dalam kebingungan, dan yakin bahwa di balik semuanya… ada rahasia.
---
Pewarisan Ilmu Tanpa Majelis
Abu Hurairah belajar dari Rasulullah bukan dengan duduk di ruang kelas, tapi dengan mengikuti beliau ke mana pun. Ia memperhatikan, mencatat dalam hati, dan menyimpan dalam dada. Ia diam, tapi merekam. Ia tunduk, tapi menyerap.
Begitu pula para Tabi’in—Mujahid, Atha’, Thawus—mereka tidak banyak dikenal karena duduk lama di depan kitab. Tapi karena mereka menyertai orang-orang saleh. Mereka menyerap ilmu dari kehidupan, bukan hanya dari tulisan.
Mereka memeluk hikmah dari peristiwa, bukan sekadar dari definisi.
---
Khaidir Masih Ada, Jika Kita Mau Merendah
Kalau kita jujur, yang membuat kita tak bertemu Khaidir bukan karena ia tak ada. Tapi karena kita menutup diri. Karena kita ingin belajar hanya dari mereka yang tampil. Karena kita ingin diajari sambil dipuja. Karena kita ingin dikenal sebagai murid dari guru yang populer.
Padahal Khaidir tidak butuh itu. Ia tak ingin dikerumuni. Ia tak ingin dipuja. Ia bahkan menghilang setelah tugasnya selesai. Ia tidak membentuk sekolah. Ia tidak menulis buku.
Ilmu yang sejati tidak meninggalkan tanda di batu nisan, tapi mengakar dalam sejarah manusia.
---
Maka Bergerilyalah…
Mungkin, ini saatnya kita menelusuri jalan sunyi. Meninggalkan panggung, menjauhi gempita. Mungkin Khaidir tidak hadir di seminar, tapi ada di perbincangan sepi dengan kakek tua di serambi masjid. Mungkin ia hadir dalam laku seorang ibu yang menyuapi anak-anak yatim tanpa kamera. Mungkin ia adalah suaramu sendiri di tengah malam yang mengajakmu kembali pada fitrah.
Mungkin, Khaidir hadir dalam diam… saat engkau berhenti berkoar dan mulai mendengar.
---
Tanda-Tanda Khaidir: Bukan Populer, Tapi Membekas
Apa tandanya seseorang adalah bagian dari jalan Khaidir?
Sederhana. Ke mana pun ia pergi, kehidupan menjadi lebih hidup. Yang beku mencair. Yang bimbang menjadi yakin. Yang lelah kembali semangat.
Ia menebar kesuburan, bukan kegaduhan. Ia menyembuhkan luka, bukan membuka aib. Ia hadir… bukan untuk dipuja, tapi untuk menghidupkan hati yang nyaris mati.
---
Penutup: Carilah Dengan Cinta, Belajarlah Dengan Rendah Hati
Mungkin engkau belum bertemu Khaidir karena kau belum benar-benar mencarinya.
Mungkin selama ini kau mencari ilmu dengan niat menang debat. Mungkin kau duduk di majelis untuk menambah gelar, bukan untuk menundukkan jiwa.
Dan mungkin, kau mengira semua guru harus punya mikrofon.
Padahal Khaidir tak butuh pengeras suara. Sebab suaranya sudah cukup keras untuk mengguncang jiwa siapa pun yang bersedia diam dan mendengar.
Jadi… bersiaplah.
Simpan egomu. Lepaskan gelarmu. Kosongkan hatimu.
Dan bergerilyalah, wahai pencari… karena Khaidir masih ada.
Dan ia hanya tampak bagi mereka yang rela berjalan jauh dalam kerendahan.
0 komentar: