Dosa Kaum Khusus, Derita Kaum Awam
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Angin dingin gurun menyapu jalur tua menuju perbatasan Romawi. Di atas pelana unta yang berderak perlahan, aku duduk di samping seorang lelaki berwajah teduh dan bercahaya: Abdurrahman bin Mubarak Ash-Shuri. Perjalanan panjang itu bukan sekadar tentang arah, tapi juga makna. Dan hari itu, ia membisikkan kebenaran yang mengguncang nuraniku.
"Wahai Musayyib," katanya seraya menatap cakrawala yang memerah, "tahukah engkau, kehancuran masyarakat umum... bukan karena mereka bodoh atau jahat, tapi karena kelompok khusus dalam umat ini telah rusak."
Aku menoleh padanya. "Kelompok khusus? Apa maksudmu, Abdurrahman? Jelaskanlah kepadaku. Semoga Allah merahmatimu."
Ia menarik napas panjang. Angin berhembus, seolah menunggu kelanjutan ucapannya.
"Umat Nabi Muhammad ï·º," katanya lirih namun tegas, "dibangun atas lima pilar masyarakat. Bila satu pilar hancur, getarannya terasa. Bila semuanya runtuh... maka umat ini akan terseret ke jurang yang dalam."
Aku diam menyimak. Dan ia pun melanjutkan.
"Pertama," katanya, "adalah kaum ulama dan ilmuwan.
Mereka adalah pewaris para nabi. Lentera di kegelapan. Tetapi ketika ulama sudah rakus pada dunia, memburu kemewahan, menjual fatwa demi kekuasaan, siapa lagi yang akan dijadikan panutan oleh awam yang buta ilmu? Jika pelita itu padam, siapa yang akan menerangi malam panjang umat ini?"
Aku menunduk. Seperti ada beban menyesakkan dada.
"Kedua, adalah kaum zuhud dan ahli ibadah."
Mereka raja tanpa takhta, yang hatinya bersandar hanya pada langit. Tapi jika mereka mulai terpikat dunia, kehilangan khusyuk dan ketenangan, siapa lagi yang akan membimbing jiwa-jiwa yang ingin bertobat? Bila yang seharusnya menjadi telaga malah berubah menjadi fatamorgana, kemana para pendosa harus menengadah?"
Suara Abdurrahman makin dalam. Ada luka di nadanya.
"Ketiga, adalah pasukan dan para pejuang."
Mereka tentara Allah di muka bumi. Namun, bila mereka berperang demi nama, demi pujian, dan bukan karena Allah, kapan lagi kemenangan itu akan turun dari langit? Bila pedang digenggam dengan riya, bukan ikhlas, maka musuh akan datang bukan dari luar, tapi dari dalam dada mereka sendiri."
Aku menggenggam tali kekang unta lebih erat.
"Keempat, adalah para saudagar dan hartawan."
Mereka adalah penjaga amanah dan penyambung rezeki. Tapi bila mereka mulai menipu, khianat, dan memutar harta demi kerakusan, siapa lagi yang akan dipercaya oleh masyarakat yang lapar dan berharap? Bila lumbung berubah jadi jebakan, maka rakyat hanya akan panen kehancuran."
Dan Abdurrahman menatapku lebih dalam, seakan kalimat terakhirnya menyimpan luka paling dalam.
"Kelima, adalah para penguasa dan pemimpin."
Mereka adalah pelindung, pengayom, dan penentu arah umat. Tapi ketika seorang pemimpin telah menjelma serigala, memangsa rakyatnya sendiri, maka siapa lagi yang akan menjaga umat dari kekacauan? Bila pagar justru menjadi pencuri, maka rumah umat ini akan dirampok dari dalam."
Kami terdiam lama. Langit mulai gelap, tapi kalimat-kalimat Abdurrahman menyala di dadaku, seperti api kecil yang membakar rasa aman palsu dalam kebiasaan.
Aku sadar, umat ini bukan runtuh karena kebodohan massal, tapi karena kerusakan moral para pemegang kunci—ulama, zahid, mujahid, saudagar, dan penguasa. Bila yang khusus rusak, maka yang umum akan ikut hancur. Bila puncak bukit roboh, lembah pun akan tertimbun.
Dalam diam, aku berdoa,
“Ya Allah, selamatkan umat ini dengan memperbaiki yang terdepan… agar yang di belakang tidak tersesat dan tertindas.”
Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar
0 komentar: