Kisah, Pembuka Energi dan Kemukjizatan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Apakah Muhammad benar-benar seorang Rasul?”
Pertanyaan itu menggema di antara para pemuka Quraisy. Mereka gelisah. Risalah yang disampaikan Muhammad ﷺ makin kuat, pengikutnya bertambah. Tapi masih ada ruang ragu dalam dada mereka—bukan karena tak mengerti, tapi karena tak ingin kehilangan kuasa.
Maka, mereka mengutus orang-orang terbaik ke Yastrib. “Di sana,” kata mereka, “tinggal para ahli kitab. Yahudi yang membaca Taurat. Mereka pasti tahu seperti apa Nabi yang sebenarnya.”
Delegasi pun berangkat. Tidak untuk beriman, tapi untuk menguji. Mereka menempuh jalan pencarian bukan karena cinta kebenaran, tapi karena ingin menolaknya dengan cara yang tampak masuk akal.
Sesampainya di Yastrib, mereka bertanya kepada para rahib Yahudi:
“Bagaimana kami membuktikan kenabian seseorang yang mengaku membawa risalah dari langit?”
Para pemuka Yahudi menjawab—dengan serius dan penuh kehati-hatian, “Tanyakan kepadanya tiga hal. Jika ia mampu menjawab dengan benar, maka dia memang seorang Nabi. Tapi jika tidak, maka kalian berhak menolaknya.”
Tiga hal itu adalah:
1. Kisah sekelompok pemuda yang bersembunyi dalam gua.
2. Kisah seorang raja agung yang menjelajahi timur dan barat.
3. Kisah tentang ruh—apa dan bagaimana hakikatnya.
Pertanyaan itu pun dibawa kembali ke Makkah. Diajukan kepada Rasulullah ﷺ. Lalu, turunlah wahyu. Surat Al-Kahfi. Sebuah jawaban dari langit yang memuat tiga kisah itu dengan rinci, tajam, dan menyentuh jiwa. Bukan hanya untuk membungkam keraguan, tapi juga untuk menyalakan cahaya dalam hati.
---
Sejak saat itu, kita tahu bahwa kisah bukanlah pelarian dari realitas. Kisah adalah pintu menuju cahaya. Kisah bagian dari kemukjizatan.
Dan para Nabi, bukan hanya datang membawa hukum, tapi juga membawa kisah-kisah langit.
Pernahkah engkau bertanya,
mengapa Allah menghibur Rasul-Nya yang kelelahan, bukan dengan janji harta, tapi dengan narasi masa lalu?
Mengapa saat Rasulullah ﷺ kehilangan Khadijah dan Abu Thalib, saat kaum Quraisy mengusir dan menghina, Allah malah menurunkan surat Yusuf?
Karena kisah menyembuhkan.
Karena kisah menyentuh jiwa, bukan sekadar akal.
Karena kisah membuat manusia merasa:
"Aku tidak sendiri. Ada yang pernah mengalami ini, dan ia bertahan, bahkan menang."
Lihatlah Nabi Yusuf—ia dilemparkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya. Rasulullah pun diancam dibunuh oleh kaumnya sendiri. Yusuf dibeli seperti barang murah, tapi Allah memuliakannya di istana. Rasulullah ﷺ pun hijrah dalam sembunyi, tapi disambut bak pemimpin agung di Madinah.
Dan ketika semua kisah rasul terasa masih jauh, Allah turunkan surat Ad-Dhuha. Allah tak hanya bercerita tentang masa lalu para nabi dan rasul, tapi tentang masa lalu Muhammad sendiri. “Bukankah engkau yatim? Lalu Kami lindungi. Bukankah engkau bingung? Lalu Kami beri petunjuk. Bukankah engkau miskin? Lalu Kami beri kecukupan.”
Seakan Allah berkata: lihatlah, kisahmu sendiri pun adalah mukjizat. Maka jangan ragu.
Kisah bukan nostalgia. Ia adalah cetak biru kebangkitan.
Ia menanamkan hikmah tanpa luka. Memberikan solusi tanpa harus jatuh ke dalam kesalahan yang sama.
---
Dalam gelap malam hijrah, Rasulullah ﷺ ditemani oleh Abu Bakar. Di gua Tsur, saat suara langkah para pengejar begitu dekat, apa yang menguatkan mereka? Bukan senjata, bukan kekuatan fisik. Tapi kisah Nabi Musa—yang dikejar Firaun baik saat ke Madyan maupun hingga laut Merah, tapi tetap diselamatkan. Maka turunlah surat Al-Qashash, meneguhkan Rasul bahwa dalam kejaran, selalu ada penjagaan langit.
Kisah, ternyata, bukan sekadar cerita untuk anak-anak. Ia adalah senjata jiwa.
Saat tidak ada lagi yang bisa diandalkan dari dunia, kisah menjadi pelita terakhir yang membuat ruh tak padam.
---
Dan para Wali Sanga tahu itu. Mereka yang berdakwah di tanah Jawa bukan membawa hukum kaku atau debat teologis. Mereka membawa kisah. Dalam bentuk wayang, tembang, lakon, dan simbol. Mereka membumikan Al-Qur’an dalam bentuk pertunjukan.
Bukan agar manusia hafal dalil, tapi agar manusia merenung dari kisah.
Karena yang mengubah bukan selalu logika, tapi getaran jiwa yang disentuh oleh cerita.
Mereka tidak pulang dari pertunjukan membawa catatan, tapi membawa getaran.
Perubahan terjadi bukan karena ancaman atau hadiah, tapi karena tafakur.
Dan inilah seni kisah:
ia tak menggurui, tapi menuntun.
Ia tak menghakimi, tapi meneduhkan.
Ia tak memaksa kesimpulan, tapi mengundang perenungan.
---
Salman Al-Farisi adalah satu contoh kekuatan kisah dalam wujud manusia. Ia menempuh ribuan mil, melewati agama demi agama, hanya karena sebuah kisah tentang Nabi terakhir yang disebut dalam kitab. Kisah itu mendorong langkahnya. Kisah itu membangkitkan hasrat mencari. Dan kisah itu mengantarkannya ke kaki Rasulullah ﷺ—bukan dengan gelar, tapi dengan air mata.
Betapa banyak orang hari ini kehilangan arah, bukan karena bodoh, tapi karena tidak pernah membaca kisah yang benar.
Betapa banyak pemuda hari ini tersesat, bukan karena tidak diajari, tapi karena tidak pernah merasakan hangatnya kisah yang hidup.
---
Lihatlah bagaimana sejarah Islam tumbuh dari energi kisah.
Imam Ibnu Jauzi, yang dihadiri puluhan ribu pendengar, bukan karena suaranya lantang, tapi karena kisah-kisahnya hidup.
Buku-buku terlaris di dunia pun—apakah ia teori? Bukan. Ia adalah novel, film, drama—semuanya berbentuk kisah.
Karena kisah menyusup tanpa terasa. Ia mengubah pola pikir, membentuk sudut pandang, menata ulang niat dan hati.
Kisah adalah kekuatan yang lembut, tapi mendalam.
Ia bisa menyelinap di ruang yang tak bisa ditembus oleh dalil dan argumen.
Ia bisa mengubah seseorang yang keras menjadi lembut,
seseorang yang sombong menjadi merenung,
seseorang yang lemah menjadi bangkit kembali.
---
Dan ruh—yang ditanyakan Quraisy itu—apa maknanya?
“Ruh itu urusan Tuhanmu,” jawab Al-Qur’an.
Kita tak diberi ilmu tentangnya, kecuali sedikit.
Dan barangkali... begitulah juga ruh kisah.
Kita tak selalu bisa menjelaskan bagaimana ia mengubah kita.
Tapi kita tahu, setelah mendengar kisah Ashabul Kahfi, hati kita lebih berani.
Setelah membaca tentang Musa, jiwa kita lebih kuat.
Setelah menyelami hidup Nabi Yusuf, kita lebih sabar menunggu keajaiban.
Kita tak tahu bagaimana kisah itu bekerja. Tapi kita tahu, ia bekerja di kedalaman—di tempat yang tak dijangkau logika.
---
Hari ini, jika kita ingin menyampaikan nilai-nilai Islam, kebenaran, tauhid, dan perjuangan—maka mulailah dari kisah.
Bukan dogma kaku.
Bukan kemarahan tanpa arah.
Tapi kisah yang menyentuh, yang menundukkan hati, dan membangunkan jiwa.
Karena sesungguhnya,
kisah adalah kemukjizatan.
Dan ia akan tetap menjadi senjata kaum beriman, sampai akhir zaman.
—
"Sungguh, dalam kisah-kisah mereka terdapat ibrah bagi orang-orang yang berpikir."
(QS. Yusuf: 111)
0 komentar: