Tunggulah! Dengarkan Jawaban dari Allah SWT
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Suatu senja yang tenang di Kufah. Langit mengguratkan warna keemasannya, dan angin padang pasir menyusup pelan melalui sela-sela rumah-rumah para tabi’in.
Di dalam sebuah masjid yang sederhana, seorang ulama besar berdiri menjadi imam. Namanya terukir dalam sejarah keilmuan Islam: Sufyan Ats-Tsauri.
Malam itu, ia mengimami shalat Maghrib. Para murid berdiri khusyuk di belakangnya. Saat ia membaca surat pembuka Kitabullah, terdengar suaranya menggetarkan:
"Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in…”
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan…”
Lalu… suara itu terhenti.
Tidak karena lupa. Bukan karena sakit.
Tetapi karena tangis.
Tangis seorang yang tahu betapa beratnya janji dalam ayat itu.
Tangis seorang yang takut bahwa ibadahnya mungkin belum tulus.
Tangis seorang alim yang merasa kecil di hadapan Tuhan yang Mahabesar.
Ia diam cukup lama. Lalu perlahan mengulang kembali dari awal:
"Bismillahirrahmanirrahim… Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin…”
Dan lagi-lagi, saat sampai di ayat kelima, tubuhnya terguncang. Air matanya menetes. Ia tak sanggup melewati barisan ayat itu dengan ringan.
Karena di sanalah puncak dari semua kejujuran hati:
Kita sembah Engkau. Kita mohon hanya kepada-Mu.
Seseorang dari barisan jamaah bertanya setelah shalat, “Wahai Imam, mengapa engkau menangis terus setiap membaca Al-Fatihah?”
Sufyan menjawab pelan, “…Aku takut.”
“Aku takut… jika aku termasuk orang yang tidak beruntung.”
“Aku takut… ayat-ayat Al-Fatihah itu tidak berlaku padaku.”
“Aku takut menjadi pendusta dalam ibadah yang seolah kusampaikan.”
---
Tangisan Seorang Alim, Bukan Karena Dunia
Atha’ Al-Khuffaf, salah seorang tabi’in, pernah bersaksi, “Aku tak pernah melihat Sufyan kecuali dalam keadaan menangis.”
“Kenapa engkau selalu menangis, wahai Sufyan?” tanyanya suatu hari.
Dan Sufyan menjawab dengan suara bergetar, “Karena aku membaca surat yang menjadi Ummul Kitab… dan aku belum yakin apakah aku benar-benar termasuk dalam kandungannya…”
Ia menyebut surat Al-Fatihah.
Surat yang dibaca berkali-kali dalam sehari.
Surat yang mungkin dilafalkan lidah, tapi tidak masuk ke dalam dada.
Sufyan menangis bukan karena ia tak bisa membaca.
Bukan karena ia lupa ayat.
Tapi karena ia takut berbohong kepada Allah saat berkata “Iyyaka na’budu.”
---
Berhenti di Setiap Ayat, Menikmati Jawaban Allah
Adab ini juga diwariskan oleh seorang pemimpin agung: Umar bin Abdul Aziz.
Khalifah yang zuhud itu dikenal membaca Al-Fatihah dengan lambat. Tidak tergesa. Dan ada jeda di antara ayat.
Saat ditanya, “Mengapa engkau diam di antara ayat, wahai Amirul Mukminin?”
Ia menjawab lembut, “Karena aku sedang menunggu jawaban Allah.”
Ya. Menunggu jawaban Allah.
Sebab, dalam riwayat sahih, Rasulullah ï·º bersabda:
> “Aku telah membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Maka jika ia berkata: ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’
Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’.
Jika ia berkata: ‘Ar-Rahmanir Rahim’
Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’.
Dan seterusnya…”
Surat ini bukan monolog.
Ia dialog.
Surat ini bukan sekadar bacaan.
Ia perjumpaan.
---
Mengapa Kita Terburu-buru Membaca Doa yang Sedekat Itu?
Surat Al-Fatihah bukan sembarang surat. Ia adalah panggilan dari langit yang turun langsung ke dalam dada manusia. Ia adalah satu-satunya surat yang wajib dibaca dalam setiap rakaat.
Namun mengapa kita sering membacanya seperti mengejar waktu?
Mengapa lidah lebih cepat dari hati?
Mengapa ayat tentang penghambaan dan permohonan kita lafalkan dengan tergesa?
Apakah kita benar-benar sedang berbicara dengan Tuhan, atau hanya sekadar mengucapkan rutinitas?
Wahab bin Munabbih—seorang alim dari generasi tabi’in—menafsirkan kalimat “Amin” sebagai sebuah harapan yang gemetar:
> “Amin itu maknanya: Ya Allah, janganlah Engkau kecewakan harapan kami.”
Bayangkan, setelah membaca permohonan dalam ayat-ayat Al-Fatihah, kita menutupnya dengan sebuah seruan: "Jangan kecewakan kami, ya Allah…"
---
Jika Surat Ini Adalah Doa, Maka Bacalah dengan Cinta
Bayangkan engkau sedang berbicara langsung dengan Tuhan.
Bayangkan engkau berdiri di hadapan-Nya, membawa beban dosa dan kerinduan yang dalam.
Lalu engkau katakan:
> “Engkaulah yang kami sembah…”
“Engkaulah tempat kami bergantung…”
“Tunjukilah kami jalan yang lurus…”
Apakah engkau akan mengucapkannya dengan cepat?
Ataukah dengan segenap cinta dan pengharapan?
Al-Fatihah adalah tangga.
Dan setiap anak tangganya mengangkatmu lebih dekat ke hadirat Ilahi.
Jika engkau terburu, mungkin kau jatuh. Tapi jika engkau pelan, engkau naik dengan selamat.
---
Bukan Soal Tajwid Saja, Tapi Rasa Takut dan Cinta
Hari ini, banyak orang belajar tajwid. Belajar makhraj dan mad. Itu penting.
Tapi pernahkah kita belajar bagaimana menangis ketika membaca Al-Fatihah?
Pernahkah kita belajar takut menjadi pembohong dalam ibadah?
Pernahkah kita belajar bagaimana diam sejenak untuk mendengar jawaban Tuhan?
Bacaan Sufyan Ats-Tsauri bukan hanya benar secara kaidah, tapi juga benar secara jiwa.
Ia menangis… karena sadar bahwa Allah sedang menyimak.
Umar bin Abdul Aziz diam… karena sadar bahwa Allah sedang menjawab.
---
Penutup: Mulailah dengan Satu Ayat Saja… Tapi Masuklah Sepenuh Jiwa
Jika engkau ingin memperbaiki shalatmu, mulailah dari surat ini.
Bacalah Al-Fatihah bukan hanya dengan lidah, tapi dengan dada.
Bacalah bukan hanya dengan hafalan, tapi dengan keinsafan.
Dan setiap kali kau ucapkan “Amin”… biarlah itu keluar sebagai harapan terakhir dari jiwa yang sangat ingin dipeluk oleh Rahmat-Nya.
Al-Fatihah bukan hanya pembuka shalat.
Ia adalah pembuka hati.
Pembuka jalan.
Dan pembuka pertemuan antara hamba dan Tuhannya.
Maka berhentilah sejenak… dan dengarkan jawaban Allah…
Sumber:
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar
Amru Khalid, Khowathir Qur’aniyah, Al-Itishom
Abdurrahman Asy-Syafii, Amalul Kubro, Sahara Publisher
0 komentar: