Mengintip Abdullah Ibnu Mubarak dari Balik Malam
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Malam itu, angin gurun berembus lembut menyusuri dinding-dinding rumah penginapan di Syam. Rombongan kami singgah untuk beristirahat setelah perjalanan panjang. Gelap menyelimuti ruangan karena tidak ada lampu menyala. Beberapa dari kami keluar mencari cahaya. Aku memilih diam.
Di tengah keheningan itu, aku termenung. Pertanyaan demi pertanyaan bergema di benakku. Apa yang membuat Abdullah Ibnu Mubarak begitu dimuliakan?
Ia shalat, kami pun shalat. Ia berpuasa, kami juga. Ia berjihad, kami ikut. Ia menunaikan haji, kami bersamanya. Tapi mengapa derajatnya begitu tinggi? Apa rahasianya?
Tiba-tiba, seberkas cahaya menembus ruang yang gelap. Bukan dari pelita, tapi dari seseorang yang baru datang membawa lampu. Dalam cahaya itu, aku melihat wajah Ibnu Mubarak. Jenggotnya basah. Bukan oleh air wudhu, tapi air mata.
Ia duduk diam. Hatinya jelas tidak di bumi. Suara isak yang pelan terdengar. Matanya menatap ke arah yang tak kasat mata. Tubuhnya seolah hadir di hadapan kami, tapi jiwanya sedang berdiri di hadapan Tuhan-Nya.
Aku berkata dalam hati, “Dengan ini dia menjadi mulia.” Saat semua lampu padam, dia justru menyalakan cahaya jiwa.
Seorang ulama, Al-Marwazi, pernah bertanya pada Imam Ahmad bin Hambal tentang rahasia kemuliaan Ibnu Mubarak.
Imam Ahmad menjawab, "Dia tidak diangkat derajatnya oleh Allah, kecuali karena banyak kebaikan yang tidak diketahui orang lain."
Air mataku mengalir. Ternyata rahasia kemuliaan bukan pada apa yang tampak, tapi yang disembunyikan. Bukan pada pujian manusia, tapi pandangan Allah di keheningan malam.
Ibnu Mubarak bukan hanya ulama. Ia juga dermawan yang menyembunyikan tangannya. Diceritakan, dalam rombongan haji yang ia biayai, tak satu pun jamaah tahu bahwa sang penyandang dana adalah dia sendiri. Ia berjalan bersama mereka, makan bersama mereka, tidur bersama mereka. Tanpa keistimewaan. Tanpa pengumuman.
Ada pula kisah tentang muridnya yang menanggung hutang besar. Hingga tak sanggup lagi belajar. Suatu hari, hutangnya lunas. Ketika ia bercerita kepada gurunya, Ibnu Mubarak hanya mendengarkan, tersenyum tipis. Ia tidak mengaku bahwa ialah pelunasinya.
Beginilah para kekasih Allah menyembunyikan kebaikan mereka seperti menyembunyikan aib. Mereka beramal bukan untuk panggung manusia, tapi untuk disaksikan oleh langit.
Di tengah dunia yang riuh mengejar pengakuan, Ibnu Mubarak diam di malam yang sunyi, menangis mengingat Hari Kiamat. Saat kita sibuk membuat konten, ia sibuk mengisi catatan malaikat yang tak pernah dipublikasikan.
Ia hidup dalam cahaya yang tak tampak, tapi sinarnya abadi.
Ia berbicara dalam diam, dan diamnya lebih keras dari ribuan khutbah.
Barangkali malam itu, Allah sedang menyampaikan pesan padaku—bahwa kemuliaan bukanlah soal seberapa banyak yang kita kerjakan, tapi seberapa jujur hati kita saat mengerjakannya. Dan seberapa sanggup kita menyembunyikannya dari riya’.
Ketika dunia mencari sorotan, Abdullah Ibnu Mubarak memilih sudut gelap malam.
Dan dari sanalah ia bersinar paling terang.
Sumber:
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar
0 komentar: