Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Senja baru saja turun di tanah Kanaan. Angin gurun membelai lembut bukit-bukit yang menghadap langit merah tembaga. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan bayang-bayang panjang mulai melingkupi ladang. Di sebuah dataran tenang, di pinggiran Palestina, seorang anak lelaki terjaga dari tidurnya yang dalam—matanya membelalak, jantungnya berdebar.
Yusuf kecil duduk diam di pembaringan tanah liat yang hangat sisa cahaya sore. Udara begitu hening hingga desir hatinya sendiri terasa menggema.
“Mengapa hatiku berguncang oleh cahaya itu?” bisiknya dalam hati. “Apa arti dari penglihatan tadi?”
Dalam tidurnya, ia melihat sesuatu yang tak biasa. Bintang-bintang, matahari, dan bulan—semuanya tunduk, bersujud padanya. Tapi siapakah dia hingga alam semesta memberi hormat?
Ia menatap langit yang mulai dihiasi bintang-bintang. Hatinya bergolak antara ingin menyimpan atau menceritakan. Tapi kepada siapa? Hanya satu orang yang bisa memahami gelisah dalam dadanya—ayahnya.
Dengan langkah pelan, ia mendekati tenda utama tempat ayahnya duduk bersandar sambil berzikir di bawah rembulan yang mengambang tenang. Wajah Yakub memantulkan kedamaian, namun jiwa seorang ayah selalu peka pada suara langkah anaknya.
Yusuf berdiri ragu, lalu mendekat dengan suara lirih:
“Wahai ayahku…”
Yakub membuka matanya, tersenyum penuh kasih. “Apa yang mengganggumu, putraku?”
“Sesungguhnya aku bermimpi… kulihat sebelas bintang, matahari dan bulan. Semuanya sujud kepadaku.” Suaranya bergetar, antara kagum dan bingung.
Sejenak, suasana menjadi sunyi. Angin berhenti seolah menanti jawaban dari langit.
Yakub menunduk. Wajahnya berubah. Bukan karena takut, tapi karena hati seorang nabi dapat membaca isyarat ilahi dari peristiwa kecil sekalipun. Ia tahu, ini bukan mimpi biasa. Ini adalah panggilan takdir.
Namun Yakub juga tahu, dunia ini tak hanya berisi kasih. Di dalam keluarganya sendiri, benih-benih iri dapat tumbuh jika tak dijaga.
Dengan lembut namun penuh peringatan, Yakub berkata,
“Wahai anakku… Jangan engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu.”
Yusuf mengernyit, namun Yakub melanjutkan, matanya menatap jauh seolah melihat bayangan masa depan.
“Sungguh, mereka akan membuat tipu daya untuk membinasakanmu. Setan itu musuh yang nyata bagi manusia…”
Angin malam mulai meniup tenda-tenda, dan api unggun berkedip-kedip seolah ikut gelisah. Di balik kata-kata itu, terpendam rasa cemas seorang ayah—ia mengenal gejolak dalam hati anak-anaknya yang lain, ia tahu bahwa cinta yang tak seimbang bisa melahirkan dendam.
Namun Yakub tak ingin putranya hidup dalam ketakutan.
Ia menatap Yusuf dalam-dalam, lalu suaranya berubah menjadi haru:
“Sesungguhnya Tuhanmu memilihmu, wahai anakku… Tuhan akan mengajarkanmu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua kakekmu, Ibrahim dan Ishaq.”
Yusuf menatap ayahnya. Dada kecilnya mulai mengembang oleh rasa haru dan harap.
“Engkau bukan anak biasa, Yusuf,” bisik Yakub, seolah kepada jiwanya sendiri. “Kau akan meniti jalan kenabian, jalan sunyi yang berat, namun bercahaya.”
Dan dengan nada akhir yang membawa keteguhan dan keimanan, Yakub berkata:
“Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Langit malam kini penuh bintang, seolah menyimak janji langit kepada bumi. Yusuf tidak lagi merasa kecil. Ia tahu, hidupnya akan berbeda. Tapi sejak malam itu, ia juga tahu bahwa cinta Allah tak selalu berarti jalan yang mudah. Kadang, ia dimulai dari mimpi—dan diikuti oleh ujian.
Sumber:
Surat Yusuf ayat 4-6
0 komentar: