Di Balik Sebuah Mimpi, Tersimpan Sebuah Konspirasi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
"Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu,
sebab mereka bisa merancang tipu daya terhadapmu.
Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia."
— (QS. Yusuf: 5)
Petuah itu terucap lembut di tengah malam yang senyap. Di bawah cahaya bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit Kanaan, Nabi Ya‘qub menggenggam tangan putranya, Yusuf kecil, yang wajahnya bersinar oleh kemurnian dan cahaya kenabian yang belum disadarinya sendiri.
Di antara detak jantung yang tenang dan bisikan angin gurun, sang ayah—seorang Nabi yang bijak—telah membaca gelombang masa depan yang tersembunyi dalam sebuah mimpi: sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud kepada Yusuf. Sebuah mimpi yang bukan sekadar bunga tidur, melainkan kabar langit yang bisa memancing gelombang kecemburuan di bumi.
"Jangan ceritakan ini kepada saudara-saudaramu," ucap Ya‘qub dengan tatapan mendalam. "Karena tidak semua orang mampu mencintai kebenaran, bahkan jika kebenaran itu adalah darah dagingnya sendiri."
Yusuf mengangguk polos, belum sepenuhnya mengerti bahwa sebagian kasih akan menumbuhkan iri, dan sebagian saudara bisa berubah menjadi duri.
Di Balik Semak, Di Bawah Malam, Sebuah Rapat Gelap
"Sungguh, dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang bertanya."
— (QS. Yusuf: 7)
Jauh dari pandangan ayah mereka, di sebuah tempat yang tersembunyi dan sunyi, di balik rerimbunan semak dan bayang-bayang gelap malam, berkumpullah sekelompok saudara. Suara mereka ditekan pelan, namun bara di dada mereka membakar seperti api yang tertahan.
“Kenapa Yusuf dan adiknya lebih dicintai ayah kita?” bisik salah seorang dengan gigi terkatup, seolah cinta yang diberikan Ya‘qub kepada Yusuf adalah sebuah pengkhianatan.
“Padahal kita ini satu kelompok yang kuat. Kita dewasa. Kita lebih layak diperhatikan,” sahut yang lain, matanya memerah oleh api iri yang membakar dalam diam bertahun-tahun.
Diam-diam mereka menyudutkan sang ayah, seorang nabi yang mereka anggap telah terlampau buta oleh kasih sayang kepada dua anak dari ibu yang berbeda.
“Sesungguhnya ayah kita benar-benar dalam kekeliruan yang nyata,” ujar mereka. Kalimat itu meluncur tajam, bukan hanya menggores Yusuf, tapi juga merobek kepercayaan kepada ayah yang selama ini membesarkan mereka dalam sabar dan cinta.
Api Kecemburuan Mencari Pelampiasan
Lalu seorang dari mereka melemparkan usul yang mencekam:
“Bunuh saja Yusuf.”
Kata-kata itu mengendap di udara, membeku dalam hening yang menegangkan. Sebagian terdiam, sebagian saling memandang, sebagian lainnya bergidik. Tapi yang berbicara tidak berhenti.
“Atau,” katanya, dengan nada lebih perlahan namun tetap mengancam, “buang saja dia ke suatu tempat yang jauh.”
Seseorang bertanya, “Mengapa?”
Jawaban itu keluar dengan kepastian yang dingin:
“Agar perhatian ayah tertumpah kepadamu. Supaya cinta yang selama ini menjadi milik Yusuf, kini menjadi milik kita.”
Dan dengan tambahan alasan yang mengejutkan, seolah ingin mencuci darah dengan kesalehan:
“Setelah itu… kita bisa menjadi orang yang baik. Kita bertobat.”
Namun Suara Nurani Menyela
Seseorang di antara mereka tiba-tiba bangkit dari diamnya. Hati nurani yang belum sepenuhnya mati berbicara, meski pelan.
“Janganlah kalian membunuh Yusuf,” ucapnya menahan napas, menahan ngeri.
“Masukkan saja dia ke dasar sumur…
Biarkan dia dipungut oleh musafir. Jika kalian memang harus berbuat, maka ini jalan yang lebih ringan.”
Perdebatan pun pecah. Di antara mereka ada yang ingin cepat menuntaskan rencana dengan kekerasan. Ada pula yang menyembunyikan rasa bersalah, namun takut dianggap lemah.
Setelah tarik-ulur, akhirnya suara yang menyarankan sumur itu diterima. Bukan karena belas kasih, tetapi karena terlihat lebih ‘bersih’. Tidak ada darah. Tidak ada tubuh. Hanya penghilangan.
Mereka sepakat.
Rencana Gelap yang Disusun Rapi
Angin malam berhembus kencang. Seperti ikut menyaksikan sekelompok manusia menutupi niat jahat dengan strategi dan sandiwara.
“Besok pagi kita minta izin kepada ayah,” kata salah seorang.
“Kita ajak Yusuf bermain bersama,” sambung yang lain.
“Lalu kita buang dia ke sumur tua itu… yang sepi dan tak berpenjaga.”
Rapat gelap itu ditutup dengan pandangan-pandangan saling menguatkan. Iri yang dibungkus logika. Kejahatan yang disamar dengan dalih kedewasaan dan rasa keadilan. Padahal semuanya berasal dari satu akar: hasad.
Mereka tidak tahu, rencana mereka bukanlah akhir dari kisah Yusuf. Tapi justru permulaan dari takdir agung yang ditulis oleh langit.
"Sungguh, dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang bertanya."
— (QS. Yusuf: 7)
0 komentar: