Petang di Lembah Air Mata Palsu
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Senja mulai menyelimuti padang Kanaan. Langit berganti warna, dari biru kejinggaan, lalu menggelap perlahan. Angin petang membawa debu dan kesepian. Di dasar sebuah sumur tua, dingin batu dan kesunyian malam menyambut seorang bocah yang baru saja dilempar oleh darah dagingnya sendiri.
Yusuf.
Tubuh kecil itu menggigil, namun bukan hanya karena dingin. Ia baru saja kehilangan kepercayaan pada manusia.
---
Di kejauhan, sekelompok pemuda berjalan cepat menuruni bukit menuju kemah Nabi Ya’qub. Langkah mereka tergesa, pakaian mereka berdebu, suara tangis mereka menggema... tapi tidak sampai ke hati.
“Wahai Ayah kami...” seru mereka sambil menyeka air mata yang tak tulus. “Kami pergi berlomba, seperti biasa... berlarian di padang, tertawa, bergembira.”
Nada suara mereka menggambarkan riang masa lalu, bukan duka hari ini. Mereka menyusun narasi: Yusuf ditinggal hanya sejenak, di dekat barang-barang kami. Aman. Kami tidak lalai.
Mereka memilih waktu petang. Waktu di mana kabut keraguan mudah diselipkan. Agar Ya’qub tak sempat menyelidiki. Agar tidak ada pencarian. Agar malam menjadi selimut bagi dusta mereka.
Dan kemudian, mereka mengeluarkan sesuatu: baju Yusuf. Baju yang dicelup darah, tapi tidak terkoyak.
“Ini, Ayah...,” kata mereka. “Lihat, serigala itu kejam. Tapi kami tak bisa menyelamatkannya... kami lengah.”
Nabi Ya’qub memandang baju itu. Lama. Mata tuanya jeli dan jujur.
“Darah ini palsu,” batinnya. “Kalaupun Yusuf diserang serigala, mengapa bajunya masih utuh? Tak ada bekas robekan. Tak ada gigitan. Tak ada jeritan yang kalian ceritakan.”
Ia menarik napas dalam-dalam. Ada luka, tapi lebih dalam dari kehilangan adalah kebohongan anak-anaknya sendiri.
“Tidak,” ucapnya pelan, tapi pasti. “Bukan serigala yang memangsanya. Tapi serigala dalam hatimu... yang telah menggodamu, dan membuatmu menzalimi saudaramu sendiri.”
Mereka tertunduk. Tapi hati mereka belum menyesal. Sementara Ya’qub, ayah yang patah hati itu, menunduk, bukan karena kalah—melainkan karena menyerahkan segalanya kepada Sang Mahakuasa.
“Maka, bersabarlah... karena hanya sabar yang terbaik bagiku,” ucapnya lirih.
Sabar yang tidak berarti diam. Tapi sabar yang menggantungkan harapan pada langit, bukan pada manusia.
Dalam malam yang semakin pekat, tangis Ya’qub tak disertai teriakan. Ia tidak memaki, tidak mengutuk. Ia hanya menatap langit, dan memohon: “Wahai Tuhan, jagalah anakku. Jika masih hidup, tuntunlah dia. Jika telah tiada, temukan aku dengannya kelak.”
Air matanya mengalir. Tapi bukan karena ia percaya pada dusta itu. Ia menangis karena hatinya telah mencium aroma pengkhianatan, namun tak dapat membalas kecuali dengan kesabaran dan tawakal.
Dan malam pun terus berjalan... membawa Yusuf ke takdirnya, dan Ya’qub ke luka panjang yang hanya bisa diobati oleh janji Tuhan.
0 komentar: