Dari Gelap, Sebuah Cahaya Diturunkan
(Seri 6 Nabi Yusuf)
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Gelap adalah teman paling setia Yusuf sejak tubuh mungilnya dijatuhkan ke dasar sumur oleh saudara-saudaranya. Dingin merayap pelan ke tulangnya, menyalip kehangatan terakhir dari pelukan ayahnya. Tak ada suara, selain tetesan air dari dinding sumur dan desah napasnya sendiri yang menipis oleh lapar dan takut.
Dalam sunyi itu, ia memejamkan mata.
"Ya Rabbi, Engkaulah pelindungku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku percaya, Engkau melihat."
Waktu berjalan lambat. Hari telah berganti. Tak ada tanda-tanda pertolongan.
Hingga tiba-tiba, dari kejauhan—derap kaki unta, debur pasir diinjak langkah-langkah lesu. Kafilah dari Madyan. Wajah-wajah letih, bibir pecah-pecah oleh dahaga. Persediaan air telah habis.
"Itu... sumur! Lihat, di sana!"
Salah seorang berseru dengan mata berbinar, seperti melihat kehidupan itu sendiri.
Para musafir pun bergegas. Langkah mereka berat, tapi harapan membuatnya ringan. Setiba di sumur, salah satu dari mereka segera mengambil tali dan timba. "Semoga sumur ini masih menyimpan sisa rahmat Tuhan," gumamnya.
Ia menjatuhkan timba.
Suara gemericik tali menggulung memecah sunyi. Di bawah sana, Yusuf yang duduk lemah membuka matanya. Cahaya kecil tampak menembus gelap. Sebuah ember? Harapan?
"Ini... ini kesempatan itu," bisik Yusuf dengan detak jantung tak menentu.
Dengan sisa tenaga, ia raih tali itu dan menggenggam erat. Sangat erat. Tangannya kecil, tapi tekadnya besar.
Di atas, penimba terkejut.
"Apa ini? Berat sekali..."
"Tarik! Bersama-sama!"
Mereka menarik timba itu perlahan, penuh curiga. Embusan napas makin cepat, tangan berpeluh. Lalu... muncullah kepala seorang anak lelaki dari mulut sumur.
"Oh!"
"Ya busyrā! Hādzā ghulām!"
“Oh senangnya! Ini ada seorang anak muda!”
Yusuf terangkat dari gelap menuju cahaya.
Orang-orang kafilah terpana. Anak itu elok, wajahnya bersinar, meski tubuhnya kotor dan lelah. Pemimpin kafilah menatapnya, dan tak lama kemudian terlintas niat di benaknya:
"Ini bisa jadi keuntungan besar di Mesir. Anak seperti ini... pasti laku mahal."
Tak ingin kehilangan kesempatan, ia berbisik, "Sembunyikan dia. Jangan sampai warga sekitar melihatnya. Nanti mereka mengklaim bahwa ini anak kampung mereka."
Mereka bungkus Yusuf dalam diam. Tak ada yang bertanya siapa dia. Tak ada yang bertanya kenapa ia berada di sumur. Ia dibungkam, dijadikan barang dagangan.
Yusuf tak melawan. Ia pasrah.
Namun di dalam hatinya, ada suara yang menenangkan:
"Jangan takut. Ini bukan akhir, tapi awal. Aku bersamamu."
Dan Allah...
"Wallāhu ‘alīmun bimā ya‘malūn."
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Yusuf diam. Tapi Allah berbicara padanya lewat peristiwa.
Manusia menilai dari rupa. Allah menilai dari rahasia hati.
Mereka ingin menjual Yusuf untuk untung dunia. Tapi Allah sedang membelinya untuk jalan kenabian.
0 komentar: