Pagi itu, Sebelum Yusuf Pergi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Pagi itu di Kanaan, embun masih menggantung di ujung dedaunan. Udara sejuk menyelimuti perbukitan. Nabi Ya‘qub duduk di dekat pangkal pohon zaitun tua, tangannya sibuk merapikan anyaman wadah dari pelepah kurma. Wajahnya teduh, tetapi matanya memancarkan kepekaan seorang ayah yang selalu menyimpan kecemasan dalam diam. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau, dan angin padang membawa harum tanah yang baru tersiram embun.
Dari kejauhan, sekelompok anak lelaki mendekat. Langkah mereka pelan, seakan menyembunyikan kegugupan. Mereka adalah putra-putra Ya‘qub, kakak-kakak Yusuf. Saling melirik satu sama lain, ada keganjilan yang belum sempat mereka sepakati untuk disembunyikan. Namun hari itu mereka sepakat untuk satu hal: Yusuf harus dijauhkan.
Mereka duduk melingkar tak jauh dari ayah mereka. Suasana jadi senyap, hanya terdengar desir daun yang diterpa angin. Tak satu pun langsung bicara. Mereka terlihat ragu, lidah mereka kelu. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka memberanikan diri.
“Wahai Ayah kami,” katanya, dengan nada seolah memohon kepercayaan.
“Mengapa engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf?”
“Padahal kami benar-benar menginginkan kebaikan baginya.”
Ya‘qub menghentikan anyamannya. Ia menoleh, pandangannya tajam namun penuh kasih. Ia belum menjawab, seolah memberi ruang untuk anak-anaknya melanjutkan kata.
Yang lain menyambung, suaranya bergantian, terdengar seperti rencana yang sudah lama dirancang:
“Izinkan dia pergi bersama kami besok pagi,”
“Agar ia bersenang-senang dan bermain-main.”
“Dan sungguh, kami pasti menjaganya.”
Mereka saling sahut, meyakinkan, seakan semua telah siap menjaga Yusuf dengan penuh tanggung jawab. Namun Ya‘qub tetap diam sejenak, lalu menghela napas dalam. Dari raut wajahnya, tampak perasaan yang dalam antara cinta dan firasat yang menekan.
“Sesungguhnya kepergian Yusuf bersama kalian... itu sangat menyedihkanku,” ujarnya lirih, nyaris seperti bisikan angin.
“Aku khawatir… dia akan dimakan serigala... saat kalian lengah.”
Matanya memandang jauh ke arah padang, seolah menggambarkan ruang bermain yang luas namun berbahaya. Bayangan Yusuf kecil di tengah padang gersang, dengan tawa yang bisa sirna seketika oleh satu kelengahan.
Namun para kakak tetap berkeras. Salah seorang berkata:
“Jika dia sampai dimakan serigala—padahal kami ini kelompok yang kuat dan banyak—maka sungguh, kami inilah orang-orang yang benar-benar rugi!”
Yang lain mengangguk, menegaskan kalimat itu. Seakan membiarkan Yusuf celaka adalah kehancuran harga diri mereka. Mereka membangun benteng kata untuk membujuk sang ayah. Dan Ya‘qub… seorang nabi yang penuh hikmah dan cinta, menyimak semua dengan air mata yang belum tumpah, namun sudah tergenang dalam dada.
Akhirnya, dengan hati yang berat, ia mengangguk pelan. Sebab ia tahu: kadang ujian tidak bisa dihindari, hanya bisa dihadapi dengan doa.
Dan Yusuf pun berangkat pagi itu bersama saudara-saudaranya. Ia berjalan dengan langkah ringan, membawa keceriaan anak-anak. Ia tak tahu, rencana besar telah disembunyikan di balik senyum saudara-saudaranya. Dan sang ayah, Nabi Ya‘qub, berdiri di kejauhan, menatap kepergian itu dengan hati yang diguncang firasat.
Langit tetap biru, tetapi bumi mulai menyiapkan takdirnya.
0 komentar: