Ketika Yusuf Diajak Bermain: Sebuah Luka yang Disembunyikan di Balik Senyuman
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
"Maka ketika mereka membawanya..."
(QS. Yusuf: 15)
Pagi itu cerah. Angin semilir menggoyangkan dedaunan, seakan tidak ada duka yang mengendap di langit keluarga Ya'qub. Yusuf, si anak lembut yang wajahnya menyimpan keteduhan langit, diajak oleh saudara-saudaranya bermain. Ia menatap wajah-wajah mereka dengan penuh harap, meski hatinya menyimpan rasa janggal.
“Saudara-saudaraku, sungguh lama aku menanti hari ini… saat kalian mengajakku bermain,” ujar Yusuf dengan polos dan bahagia.
Namun, di balik senyum mereka, tersembunyi niat kelam yang disusun dengan penuh dengki dan kecemburuan. Hati mereka yang selama ini dirundung bayang-bayang kasih sayang ayah, merasa Yusuf-lah penyebab semua itu. Yusuf adalah cahaya di mata sang ayah, dan cahaya itu — menurut mereka — harus dipadamkan.
Langkah demi langkah menuju padang yang sunyi, hati Yusuf mulai dihantui tanya.
“Ke mana kita akan bermain?” tanyanya.
“Tunggulah, Yusuf. Di sana ada tempat yang menyenangkan,” jawab salah satu dari mereka, dengan suara yang memaksakan kehangatan.
---
Ketika Yusuf Dimasukkan ke Dalam Sumur: Runtuhnya Dunia Seorang Anak
"Maka mereka sepakat untuk memasukkannya ke dasar sumur..."
(QS. Yusuf: 15)
Dan tibalah saat yang telah mereka rencanakan. Di dekat sumur tua yang sepi, mereka melemparkan Yusuf ke dasar kegelapan. Tak ada air mata di wajah mereka. Justru sebaliknya—ada kepuasan yang ganjil.
"Sudah selesai. Kini Ayah akan mencintai kita," ujar salah satu dari mereka.
Yang lain mengangguk, lega. “Yusuf, penghalang itu, telah hilang.”
Di dasar sumur itu, Yusuf menggigil. Bukan hanya karena dingin, tetapi karena luka yang tak tertampung oleh kata-kata. Ia bukan hanya dijatuhkan oleh tubuhnya, tapi juga oleh kepercayaannya kepada orang-orang yang ia sebut saudara.
"Apakah ini akhir dari hidupku, ya Allah?" bisiknya lirih.
---
Ketika Allah Menghibur Seorang Anak yang Dikhianati
"Kami wahyukan kepadanya..."
(QS. Yusuf: 15)
Namun pada saat itulah, justru langit membuka pintunya. Allah membisikkan keteguhan ke dalam jiwa Yusuf yang ringkih:
"Tenanglah, Yusuf. Ini belum akhir. Akan tiba saatnya engkau berdiri tegak dan menceritakan semua ini kepada mereka..."
Di dalam sumur yang gelap, Yusuf tidak sendiri. Ia ditemani oleh janji langit. Janji bahwa penderitaan ini bukan kehancuran, melainkan permulaan dari kemuliaan. Bahwa pengkhianatan ini akan menjadi awal dari kisah panjang seorang pemimpin yang akan mengampuni mereka yang pernah mencelakakannya.
---
Ketika Mereka Tidak Sadar: Dunia Berputar, Rencana Ilahi Terus Bergerak
"Sedang mereka tidak menyadari..."
(QS. Yusuf: 15)
Saudara-saudaranya pergi dengan hati ringan, tanpa tahu bahwa langit punya rencana yang jauh lebih besar dari siasat mereka. Mereka tidak menyadari bahwa orang yang mereka celakai adalah orang yang kelak akan memberi mereka makan di masa paceklik, memeluk mereka di saat ketakutan, dan mengampuni mereka saat menangis menyesal.
Yusuf bertahan. Bukan karena kekuatannya, tetapi karena rahmat Allah. Ia tahu kini: bahkan sumur pun bisa menjadi panggung wahyu. Bahkan kegelapan bisa menjadi tempat datangnya cahaya.
---
“Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia…”
(QS. Ali Imran: 191)
Tiada satu pun kisah yang sia-sia dalam kehidupan ini, apalagi yang ditulis langsung oleh pena keagungan Ilahi. Dari mata Yusuf yang basah, dari hati saudara-saudaranya yang gelap, dari sumur yang bisu—semuanya bagian dari kisah yang akan membuktikan: Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, bahkan ketika semua orang melakukannya.
0 komentar: