Dari Pasar Menuju Istana: Sebuah Jejak Takdir Yusuf
(Seri 8 Nabi Yusuf)
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Matahari sore menggantung redup di langit Mesir. Pasar budak mulai lengang. Para pembeli telah pulang dengan barang yang mereka anggap berharga. Tapi hari itu, seorang pembesar istana masih berdiri mematung di hadapan seorang pemuda yang wajahnya tenang seperti air sumur tua, sorot matanya dalam seperti padang malam.
“Namamu siapa, anak muda?” tanya sang pembesar, menunduk dengan penuh perhatian.
“Yusuf,” jawab pemuda itu lirih.
Senyum pembesar itu merekah. Ia merasa hatinya disentuh oleh sesuatu yang tidak biasa—semacam firasat yang selama ini hanya datang ketika ia sedang bermunajat di taman istana.
---
Perjalanan dari pasar menuju istana berlangsung sunyi. Yusuf duduk diam di dalam kereta, diapit dua penjaga. Ia memandang ke luar—pohon-pohon kurma yang menjulang, tembok tinggi kota, dan wajah-wajah para pelayan yang berlarian di sepanjang jalan utama.
Ia belum tahu, bahwa sore itu adalah awal dari panggung takdir yang besar.
Sesampainya di lingkungan istana, Yusuf menatap dinding marmer putih dan gerbang yang dijaga para prajurit berpedang. Hatinya bergolak. Apakah ini tempatnya? Setelah sumur? Setelah pasar?
Sang pembesar menoleh kepadanya, “Engkau akan tinggal di sini, Yusuf. Mulai hari ini, anggap tempat ini rumahmu.”
Yusuf diam. Dalam dadanya, nama ayahnya—Yakub—bergetar seperti angin gurun yang pulang ke padang. Ia belum bisa sepenuhnya memahami maksud dari semua ini, tapi hatinya mulai pasrah, seperti mata air yang tak memilih tanah mana yang akan menerimanya.
---
“Berikanlah kepadanya tempat dan layanan yang baik,” kata sang pembesar kepada istrinya dengan nada tegas namun lembut.
Sang istri, seorang wanita anggun yang terbiasa dengan keindahan dan kesempurnaan, menatap Yusuf dari ujung kaki hingga ubun-ubun.
“Lihatlah wajahnya,” katanya pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. “Ia seperti bukan manusia biasa. Ada kemuliaan yang terpancar darinya. Barangkali ia bukan budak—tapi titipan langit.”
Pembesar itu mengangguk. “Mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita. Lihat tatapannya… seperti membawa masa depan dalam diam.”
Sang istri mendekat pada suaminya dan berkata, “Kalau begitu, jangan perlakukan dia sebagai hamba. Perlakukanlah dia seperti keluarga.”
Lelaki itu tersenyum, “Atau kita pungut dia sebagai anak. Kita didik, kita sayangi. Siapa tahu, dia yang akan meneruskan jejak kita kelak.”
Yusuf berdiri membisu, tapi matanya mulai berbinar. Ia telah kehilangan keluarga, namun kini... mungkin ia sedang dipertemukan dengan takdir pengganti yang lebih besar.
---
Hari-hari pun berlalu.
Yusuf tumbuh di tengah taman istana, bukan sebagai pelayan, tapi sebagai anak angkat yang diberi pendidikan dan kepercayaan. Ia mempelajari bahasa, administrasi negeri, ilmu bintang dan mimpi. Ia menjadi lebih dari sekadar penghuni istana—ia menjadi jiwa yang menanti panggilan besar.
“Demikianlah,” kata suara langit,
“Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri Mesir, dan agar Kami mengajarkan kepadanya takwil mimpi.”
Di langit Mesir, malam turun perlahan, membawa bintang-bintang yang mengintip dari sela tirai langit. Yusuf memandang ke langit, mengingat pelukan ayahnya di tanah Kanaan, dan merenung dalam diam:
"Beginikah cara Allah membuka jalan? Dari sumur ke pasar. Dari pasar ke istana. Dari kesedihan ke pembesaran. Dari air mata ke ilmu yang agung."
"Allah berkuasa atas segala urusan-Nya,"
"tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti."
0 komentar: